Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman seni dan budaya

yang menjadi salah satu keunggulan dibandingkan negara lain.

Keanekaragaman seni dan budaya tersebut salah satunya dapat dibuktikan

dengan adanya Benda Cagar Budaya. Menurut Undang – Undang Nomor

11 Tahun 2010, Bangunan Cagar Budaya memiliki kriteria diantaranya;

benda buatan manusia, bergerak atau tidak yang berupa satu kesatuan atau

kelompok atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-

kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan

mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta

dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan

kebudayaan; Benda alam yang dianggap mempunyai niali penting bagi

sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Benda Cagar Budaya memiliki peranan penting bagi kita karena

dapat memberikan gambaran terhadap sejarah, ilmu pengetahuan, dan

kebudayaan pada masa lampau. Hal ini dapat menumbuhkan rasa cinta dan

kebanggaan terhadap kebudayaan yang kita miliki khususnya bagi

generasi muda, sehingga warisan tersebut dapat terjaga kelestariannya.

Bayat merupakan salah satu daerah yang berada di Kabupaten Klaten

Tengah. Bayat mempunyai Benda Cagar Budaya yang cukup menarik

salah satunya Makam Sunan Padangaran dan Tujuh Gapura yang terletak

1
2

di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Klaten. Bayat merupakan salah satu

daerah yang berada di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Bayat

merupakan daerah yang memiliki warisan cagar budaya yang menarik.

Salah satu cagar budaya tersebut Makam Sunan Padangaran di Desa

Paseban, Kecamatan Bayat. Makam Sunan Padangaran merupakan cagar

budaya bernilai tinggi yang perlu dijaga dan dilestarikan. Makam Sunan

Padangaran merupakan salah satu wisata religi atau ziarah makam yang

berada di wilayah kabupaten Klaten. Keberadaannya cukup terkenal oleh

para peziarah karena dalam sejarahnya merupakan wali penyebar agama

Islam di tanah Jawa pada zaman Kerajaan Demak dan murid Sunan

Kalijaga.

Menurut sejarah, Sunan Bayat merupakan Raja dari Kerajaan

Majapahit yang bernama Brawijaya 5. Brawijaya 5 meninggalkan

Kerajaan Majapahit karena mengalami kekalahan dari peperangan.

Brawijaya 5 lari ke arah selatan menuju ke Gunung Genthong yang berada

di daerah Istimewa Yogyakarta. Berjalannya waktu, Brawijaya 5 yang

memiliki nama asli Asnawi didatangi oleh Adhipati Semarang yang

bernama Pandanaran I. Pandanaran I merupakan Bupati Semarang. Mula-

mula, suasana di Kabupaten Semarang diselimuti rasa kesedihan, karena

putri Adipati Pandanaran I menderita sakit yang sulit untuk disembuhkan.

Kemudian Adipati Pandanaran mempunyai gagasan untuk mengadakan

sayembara.

Adapun bunyi sayembara, “Barang siapa saja yang dapat

menyembuhkan sang putri, jika wanita akan diangkat sebagai saudara,


3

apabila pria akan dijadikan menantu Adipati Pandanaran I. Akhirnya

Browijoyo 5 sanggup menyembuhkan penyakit puteri dari Adipati

Semarang, akhirnya diangkat menjadi menantunya. Kemudian berjalannya

waktu Adipati Pandanaran sudah merasa usianya tua dan tidak sanggup

meneruskan masa kepemimpinan di Pemerintahannya. Kemudian Adipati I

mewariskan Jabatannya kepada Browijoyo 5 yang kemudian menjadi

nama Pandanaran II di Semarang. Adapun nama dari Pandanaran sendiri

memiliki makna Pandan menjelaskan dari nama tanaman Pandan dan Aran

menjelaskan dari sebuah nama. Nama Pandanaran diambil dari halaman

kerajaan di Semarang yang banyak ditanami tanaman Pandan Wangi.

Sehingga Masyarakat menamainya dengan nama Pandanaran.

Berjalannya waktu, datanglah seorang pencari rumput dengan

penampilan yang sederhana yang sejatinya bernama Sunan Kalijaga.

Beliau menyerahkan keranjang yang berisi rumput dan emas sampai ketiga

kalinya ke Adipati Pandanaran II, hal itu membuat Adipati penasaran.

Kemudian Adipati menyusul orang pembawa emas tersebut untuk berguru.

Setelah bertemu, si pembawa emas tersebut memberi syarat kepada

Adipati, jika ingin berguru maka Adipati harus meninggalkan harta benda

dan harus datang ke Hastana Cakra Kembang. Kemudian Adipati

mengajak istrinya untuk melakukan syarat tersebut. Sesampainya Adipati

dan istrinya di Hastana Cakra Kembang, Adipati bertemu dengan Sunan

Kalijaga untuk berguru. Dengan begitu lahirlah sebuah komplek santri di

sekitar Hastana Cakra Kembang.


4

Selama berguru dengan Sunan Kalijaga, ilmu agama Islam Adipati

Pandanaran II mengalami kemajuan pesat. Akhirnya Adipati Pandanaran

II diangkat oleh Sunan Kalijaga menjadi Wali, kemudian memiliki murid

atau santri yang semakin hari jumlah muridnya bertambah. Menurut Ustad

H. Mawardi ( Takmir Masjid GOLO ) Beliau Membangun Tempat Ibadah

yang terbuka tanpa dinding yang bangunannya disangga dengan 4

penyangga dari kayu dan atap dari kayu.Sebelum tutup usia Sunan

Pandanaran menyampaikan kepada para santrinya “ siapa yang hidupnya

ingin terang datanglah kesini’’. Setelah Sunan Pandanaran meninggal

dunia, santri dan masyarakat memberikan nama atau julukan kepada

Sunan Pandanaran menjadi Sunan Padangaran yang memiliki arti Padang

berarti terang dan aran berarti nama.

Komplek Makam Sunan Padangaran menempati sebuah bukit

dengan makam umum di bagian dasar hingga anak tangga kemudian

kompleks makam utama berada di puncak Jabalakad. Makam Sunan

Pandanaran atau biasa dikenal dengan sebutan Sunan Bayat (Tembayat)

ini terletak di kelurahan Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

Makam ini konon dibangun sejak 1526 .Sunan Padangaran merupakan

sosok besar dalam sejarah penyebaran agama Islam terutama di kawasan

Jawa Tengah. Sosok yang hidup di masa yang sama dengan Wali Sanga

ini berjuang selama 25 tahun untuk menyebarkan agama bersama sahabat

dan pengikutnya dari kawasan Bayat, Klaten.


5

Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas tentang Peninggalan

Cagar Budaya Makam Sunan Padangaran dan Tujuh Gapura di Desa

Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat

diidentifikasi beberapa masalah yaitu sebagai berikut:

1. Kurangnya pemahaman dari masyarakat tentang cagar budaya sejarah

Makam Sunan Padangaran di Desa Paseban, Kecamatan Bayat,

Kabupaten Klaten.

2. Kurangnya minat dan perhatian masyarakat tentang cagar budaya

Gapura Makam Sunan Padangaran di Desa Paseban, Kecamatan Bayat,

Kabupaten Klaten.

C. Pembatasan Masalah

Pemahaman pada penelitian ini dibatasi pada dua hal yaitu:

1. Pemahaman masyarakat tentang Makam Sunan Padangaran di Desa

Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

2. Pemahaman masyarakat tentang cagar budaya Gapura Makam Sunan

Padangaran di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

D. Perumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah Makam Sunan Padangaran di Desa Paseban,

Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten?

2. Bagaimana sejarah cagar budaya Gapura Makam Sunan Padangaran di

Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten?


6

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian untuk:

1. Mengetahui sejarah Makam Sunan Padangaran.

2. Mengetahui sejarah cagar budaya Gapura Makam Sunan Padangaran

Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

3. Menambah wawasan mengenai Makam Sunan Padangaran di Desa

Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten

F. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cagar budaya Makam

Sunan Padangaran Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten

Klaten.

2. Meningkatkan wawasan masyarakat tentang cagar budaya Gapura

Makam Sunan Padangaran Desa Paseban, Kecamatan Bayat,

Kabupaten Klaten.

3. Mendokumentasikan cagar budaya Makam Sunan Padangaran Desa

Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

4. Melestarikan cagar budaya Makam Sunan Padangaran Desa Paseban,

Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.


BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Budaya

Menurut bahasa, Budaya atau Kebudayaan berasal dari Bahasa

sanksekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak daru buddi

(budia dan akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan

akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan

dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan warisan dari generasi

ke generasi.

B. Pengertian Cagar Budaya

Cagar Budaya adalah daerah kelestarian hidup masyarakat dan peri

kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan.

Menurut UU no. 11 tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya

yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Struktur Cagar

Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat

dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki

nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau

kebudayaan melalui proses penetapan.

C. Benda Cagar Budaya

Benda Cagar Budaya adalah benda alami atau benda buatan

manusia, baik bergerak atau tidak yang berupa kesatuan atau kelompok,

7
8

atau bagian-bagain, sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50

(lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah,

ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; dan benda alam yang dianggap

mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan

(UU No. 5/1992 Pasal 1).

Benda cagar alam mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan

dan sejarah perkembangan manusia. Benda cagar budaya tidak hanya

penting bagi disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang

dapat melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat

melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang.

D. Gapura

Gapura bila ditilik dari asal katanya, dari bahasa sanksekerta “Go”

berarti lembu dan “pura” berarti depan;m dalam hal ini berarti arca lembu

yang dipasang di depan kraton atau tempang suci Agama Hindu. Tetapi

ada juga yang menilik kata gapura berasal dari bahasa Arab “Ghafuru”,

yang berarti pengampunan (Jawa: Pangapura). Yang dimaksud

pengampunan adalah; barang siapa yang memasuki gapura, berarti telah

diberi izin untuk menghadap penjaga bangunan atau penjaga wilayah

tertentu.

E. Kerangka Pemikiran

Penyusun karya tulis ilmiah tentang Makam Sunan Padangaran dan

Tujuh Gapura sebagai Benda Cagar Budaya ini mengikuti alur pemikiran

yang tertuang dalam bagan berikut:


9

Pengertian Benda Cagar Budaya (BCB)

UU No. 11 Tahun 2010

Data Data
Data Observasi
Kajian Pustaka Wawancara

Analisis Data

Komperasi Data dengan

Pengertian Benda Cagar


Budaya

Hasil Analisis

Makam Padangaran dan Tujuh


Gapura termasuk Benda Cagar
Budaya

Penyusunan

Karya Tulis Ilmiah


BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini menggunakan deskritif kualitatif. Untuk

mendapatkan pemahaman tentang peninggalan sejarah 7 gapura di Makam

Sunan Padangaran. Maka penelitian ini merupakan penelitian dekriptif

dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Suharsimi (2006:12)

menyebutkan bahwa penelitian dekriptif merupakan penelitian yang tidak

dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya

menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel,gejala atau keadaan.

Pendapat yang hamper sama juga dikemukakan oleh Husaini Usman dan

Purnomo (2006:4) bahwa penelitian dekriptif bertujuan membuat

penyadaran secara sisitematis,faktual, serta akurat mengenai fakta-fakta

dan sifat populasi tertentu. Jenis penelitian ini menggunakan jenis

penelitian lapangan.

Menurut Sukmadinata (2006:72), menjelaskan penelitian dekriptif

adalah suatu bentuk penelitian yang ditunjukan untuk mendeskripsikan

tentang peninggalan sejarah 7 gapura di makam Sunan Padangaran.

Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat

tentang penjelasan peninggalan sejarah 7 gapura di makam Sunan

Pandangaran. Mengacu referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa

penelitian ini bermaksud untuk mengelolah data-data dengan

menggunakan penalaran induktif yang kemudian dianalisi ke dalam bentuk

10
11

verbal (kata-kata, tulisan ataupun gambar) sesuai dengan kondisi yang

ada.

B. Prosedur Penelitian

1. Latar Setting Penelitian

Penelitian ini dilakukan di makan Sunan Padangaran,paseban

bayat klaten dan dilaksanakan pada bulan Oktober 2018. Pertimbangan

dalam pemilihan lokasi di makam Sunan Padangaran Bayat ini

merupakan salah satu peninggalan sejarah 7 gapura di makam Sunan

Padangaran di daerah Bayat.

2. Subyek dan Informasi Penelitian

Subjek data dalam penelitian ini adalah Sunan Padangaran

Informen dari Suparman PW. Obyek penelitiannya adalah

peninggalan sejarah 7 gapura di makam Sunan Padangaran.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian dari buku sejarah Babad Sunan

Padangaran, Suparman PW(tokoh masyarakat Paseban), Mino (juru

kunci), H. Mawardi (ketua takmir Masjid Golo Paseban)

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik yang diggunakan untuk menggumpulkan data dalam

penelitian ini adalah wawancara sebagai instrumen pertama,observasi

dan studi dokumen sebagai instrumen pendukung. Alat pengumpul

data menggunakan buku tulis dan bolpen, hand phone dan laptop.
12

5. Validitas data

Menurut aritonang R. (2007) validitas suatu instrument

berkaitan dengan kemampuam instrument itu untuk mengukur atau

mengungkapkan karakteristik dari variabel yang dimaksudkan untuk

sikap konsumen terhadap suatu iklan, misalnya, harus dapat

menghasilkan skor sikap yang memang menunjukan sikap konsumen

terhadap iklat tersebut. Jadi jangan sampai hasil yang diperoleh adalah

skor yang menunjukan minat konsumen terhadap iklan itu.

Sekirannya penelitian menggunakan kuesioner di dalam

pengumpulan data penelitian, maka kuesioner yang disusunnya harus

mengukur apa yang ingin diukurnya. Setelah kuesioner tersusun dan

teruji validitasnya, dalam praktek belum tentu data yang dikumpulkan

adalah data yang valid. Banyak hal-hal lain yang akan mengurangi

validitas; misalnya apakah si pewawancara yang mengumpulkan data

betul-betul mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan dalam kuesioner.

(Masri Singarimbun). Pengukuran data ini menyatukan dari beberapa

narasumber untuk mengolah data yang sesuai dari latar belakang

penelitian ini dari keberadaan nama Sunan Padangaran dan 7 gapura

yang ada di makamnya.

6. Analisis Data

Tenik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis deskriptif kualitatif , yaitu metode analisis penelitian yang

menggunakan penuturan, uraian, dan penjelasan berdasarkan data serta

informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, obervasi, dan studi


13

dokumen yang dilakukan terhadap sumber informasi di lapangan.

Proses analisis data dilakukan data dilakukan pada saat penulis

melakukan pencarin data secara langsung baik melalui wawancara,

observasi, ataupun studi dokumentasi. Dalam hal ini dapat dikatakan

bahwa analisis data kualitatif dialakukan secara interaktif dan

berlangsung secara terus menerus pada setiap tahapan penelitian

sehingga sampai tuntas. Ada berbagai cara untuk menganalisis data,

menurut Milles dan Huberman (Sugiyono, 2007:337) komponen

dalam menganalisis data adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan data, pada tahap ini penulis mengumpulkan data

dari hasil wawancara, observasi, dan studi dokumen.

2. Mereduksi data, pada tahap ini penulis merangkum memilih hal

– hal pokok sehingga menfokuskan pada hal – hal yang

dianggap penting.

3. Penyajian data yang telah diperoleh. Selanjutnya menganalis

hasil reduksi data dan menarik kesimpulan data tentang Cagar

Budaya Makam Sunan Padangaran dan 7 Gapura.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskrisi Data

1. Topografi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang

umum dari sejarah Makam Sunan Padangaran yang betujuan untuk

mendapatkan gambaran yang nyata.

a. Sejarah Berdirinya Makam Sunan Padangaran

Makam Sunan padangaran ini dibangun oleh Sultan Agung

Hanyokrokusuma dari kerajaan Mataram pada tahun 1633 M.

makam ini terletak di Hastana Cakra Kembang di sebelah

selatan Gunung Jabalkat. Terletak di kelurahan Paseban

kecamatan Bayat.

b. Identitas makam

Nama : Makam Sunan Padangaran dan Tujuh

Gapura

Alamat : Paseban, Bayat, Klaten

Desa : Paseban

Kelurahan : Paseban

Kecamatan : Bayat

Kabupaten : Klaten

Didirikan : pada tahun 1633 M

14
15

2. Aspek Permasalahan Penelitian

a. Nama Sunan Pandanaran yang dimakamkan dikomplek makam

Bayat sebenarnya bukan bernama Pandanaran tetapi nama yang

sebenarnya adalah Sunan Padangaran. Nama tersebut diambil dari

pesan terakhir sebelum meninggal dunia yang berbunyi ‘’sopo wonge

seng arep nggolek pepadange urip podo moro’o neng kene’’. Setelah

itu beliau meninggal dunia. Setelah dimakamkan di sebelah barat

Masjid Golo yang bernama Dadap Tulis kemudian hari santri dan

masyarakat sekitarnya menyebutnya dengan Sunan Padangaran.

Padang memiliki makna terang, aran memiliki makna nama. Sehingga

nama yang dikenal oleh masyarakat umum dengan Sunan pandanaran

adalah Adipati semarang, sedangkan Sunan Bayat bernama Sunan

Padangaran.

1. Gapura Segara muncar

Gapura Segara Muncar merupakan gapura pertama yang menjadi pintu masuk

halaman atau komplek makan Sunan Padang Aran. Pada Gapura Segara

Muncar itu terdapat tulisan sengkalan yang menandai waktu dibangunnya

gapura yaitu”Murti Sarira Jleging Ratu”yang berarti tahun 1488 tahun saka

jawa atau tahun 1566 masehi. Gapura Segara adalah gapura yang paling tua

sendiri

2. Gapura Dudha
16

Dari Gapura Segara Muncar,pengunjung(peziarah)terus berjalan ke utara

kurang lebih 25 m akan menemui gapura dhudha. Pada jaman dulu gapura

dhudha itu hanya 1 yaitu disebelah kiri. Dan pada saat itu dinas purbakala

membuatkan satu gapura lagi yang bentunya sama persis dengan yang di

sebelah kiri. Walaupun sudah dibuatkan satu gapura yang sama persis seperti

yang disebelah kiri namun namanya tetap sama(gapura dhudha). Gapura ini

sekarang tidak dapat dilewati oleh para peziarah dan diganti dengan gapura

pintu masuk yang dibangun oleh Dinas Purbakala. Dari gapura ini peziarah

berjalan naik melalui tangga(undhakan).

3. Gapura Pangrantunan

Dari Gapura Dhudha, para pengunjung(peziarah) akan

berjalan naik tangga(undakan). Setelah sampai diatas (undakan terakhir)

peziarah akan menemui masjid.Gapura Pangrantunan ini terletak

disamping masjid.gapura ini dikelilingi pagar

4. Gapura Panemut Setelah

dari Gapura Pangrantunan,pengujung peziarah terus berjalan terus ke

atas dan menenemui bangunan Gapura Panemut. Gapura Panemut

merupakan bangunan lama (kuno)dan nasih bergaya hindu. Pada kakai

gapura ini di sebelah utara terdapat tulisan candra sengkala yang

berbunyi “Wisaya Anata Wisiking” yang artinya pada tahun 1555 Saka

atau tahun 1633 Masehi. Disebelah selatan terdapat tulisan angka Jawa

yaitu 1555. Pada tahun 1633 Masehi setelah selesainya pemugaran

gapura dan pagar keliling, tanggal 1 sura tahun saka 1555 tersebut

bertepatan dengan tanggal 1 Muharam tahun 1403 Hijriah. Maka Sultan


17

Agung Hanyokrokusuma menetapkan sebagai permulaan perhitungan

tahun atau tanggal. Sebelum melewati gapura ini disamping kanan kiri

terdapat makam dan disetelah melewati Gapura Panemut ini di samping

kanan kirinya juga terdapat makan.

5. Gapura Pamuncar

Setelah melewati Gapura Panemut pengunjung peziarah terus

berjalan keatas jaraknya tidak jauh dari gapura panemut. Gapura ini juga

merupakan bangunan lama(kuna)dan juga masih bergaya Hindhu.

Sebelum melewati Papura Pamuncar disekeliling dan disamping kanan

kiri terdapat makam. Setelah melewati Gapura pamuncar ini disebelah

kanan kirinya juga terdapat makam.

6. Gapura Bale Kencur

Dari Gapura Pamuncar ini terus berjalan keatas pengunjung

peziarah menemui Gapura Bale Kencur. Gapura ini bentuknya bernuansa

agama islam. Gapura ini memiliki atap yang tidak terpisah dan tidak

berdiri sendiri.

7. Gapura Prabayeksa

Gapura Prabayeksa bentuknya bernuansa agama islam. Gapura ini

merupakan gapura terakhir sebelum ke makam Sunan Padangaran.

Gapura ini juga memiliki atap yang tidak terpisah dan tidak berdiri

sendiri.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:

1.

18

Anda mungkin juga menyukai