Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INDIVIDU

PSIKOLOGI PERSEPSI (DK3014)

PENGERTIAN KATA LEKSIKAL DAN SINESTESIA

Oleh:
Michael Jhonson Arnold Sirait
12115025

PROGAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
Leksikal
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, leksikal memiliki 3 arti yaitu:
1. Berkaitan dengan kata
2. Berkaitan dengan leksem
3. Berkaitan dengan kosakata
Makna leksikal adalah makna kata berdasarkan yang sebenarnya. Oleh karena itu, makna
leksikal bisa kita lihat di dalam sebuah kamus. Apa yang ada di kamus itulah makna leksikal dari
sebuah kata. Secara garis besar makna leksikal bisa kita telusuri juga dari asosiasi dari kata
tersebut, misalnya dari segi sinonim, homonim, antonim, polisemi, kolokasi, metafora, idiom,
meronimi, dan sebagainya. Dengan demikian, makna leksikal juga termasuk dalam hal ini makna
denotasi dan makna konotasi.
Sebagai contoh :
(1)Andi membanting tulang ayam.
(2)Andi membanting tulang agar bisa memiliki mobil.
Kalimat (1) adalah makna denotatif dalam hal ini 'membanting tulang' ayam secara fisik, tetapi
pada kalimat (2) membanting tulang tersebut adalah makna konotatif karena 'membanting tulang'
di sini artinya adalah bekerja keras. 'Membanting tulang' tersebut merupakan sebuah idiom.
Dalam hal ini, meskipun maknanya berbeda jauh, tetapi masih ada asosiasi antara makna
denotatif dan makna konotatif tersebut, misalnya membanting tulang memerlukan energi keras
untuk melakukannya, sehingga dalam konteks yang lain, 'membanting tulang' disamakan dengan
'bekerja keras'.

Sinestesia
Dalam konteks bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinestesia merupakan metafora
berupa ungkapan yang bersangkutan dengan indria yang dipakai untuk objek atau konsep
tertentu, biasanya disangkutkan dengan indria lain. Secara umumnya, Sinestesia adalah metafora
berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
Contoh:
Betapa sedap memandang gadis cantik yang selesai berdandan.
Suaranya terang sekali.
Rupanya manis.
Namanya harum.
Dalam konteks psikologi persepsi, sinestesia merupakan sebuah fenomena neurologis di mana
otak menimbulkan beberapa persepsi berupa penglihatan, suara, ataupun rasa dari suatu respon
indera.
Setiap orang yang memiliki sinestesia memiliki persepsi berupa penglihatan, pendengaran, atau
sensasi lainnya dari hal-hal yang biasanya tidak menimbulkan respon indra tersebut. Misalnya, ia
akan langsung melihat warna merah saat ia mendengar atau membaca kata “Senin”, sedangkan
setiap mendengar atau melihat kata “Selasa” ia akan langsung melihat warna biru.
Hingga saat ini terdapat beberapa jenis sinestesia yang sudah dikenali, di antaranya:
1. Warna
Warna merupakan jenis sinestesia yang paling umum, biasanya berkaitan dengan warna
huruf atau kata. Misalnya seorang dengan sinestesia berpendapat huruf “A” berwarna
merah dan “B” berwarna biru, namun persepsi warna dan huruf tersebut dapat berbeda
pada orang lain dengan sinestesia.

2. Pola atau bentuk


Orang yang mengalami jenis sinestesia ini seringkali mengasosiasikan suatu kata dengan
bentuk atau pola tertentu, misalnya kata saat mendengar “bulan” berkaitan dengan pola
spiral atau lingkaran.

3. Rasa dan aroma


Sinestesia yang memicu persepsi rasa terjadi saat seseorang mengalami sensasi pengecap,
tekstur, ataupun suhu saat melihat warna atau mendengar suatu kata. Ada juga stimulus
yang berkaitan dengan suatu aroma atau bau tertentu, yang muncul terkait bentuk atau
warna, namun jenis sinestesia ini termasuk jarang.

4. Sensasi sentuhan
Jenis sinestesia ini merupakan jenis sinestesia yang menimbulkan persepsi seperti
disentuh saat melihat orang lain disentuh. Sebaliknya, ada juga orang yang mengalami
sensasi penglihatan atau warna setiap kali ia disentuh.

Penelitian Mengenai Sindrom Sinestesia


Orang-orang yang dapat melihat warna hari tertentu, atau merasakan keras atau lembeknya
angka tertentu, digolongkan mengidap sindrom Sinesthesia. Sebetulnya fenomena kejiwaan ini
sudah ditulis secara ilmiah sejak 300 tahun lalu. Ditulis, pada abad ke 17 ada seorang tuna netra
yang menyatakan mampu mendengar penyakit cacar air, yakni seperti bunyi terompet. Akan
tetapi, hingga akhir abad ke 19, tidak ada penelitian sistematis mengenai sinesthesia. Baru pada
tahun 1883 ilmuwan Inggris, Francis Galton, melakukan penelitian dengan membandingkan
persepsi para sinesthetiker yakni pengidap sinesthesia.
Galton menarik kesimpulan, bentuk sinesthesia paling umum, adalah fenomena mendengar
warna. Memang kedengarannya amat janggal, warna dapat didengar. Hasil penelitian Galton
cukup lama terlupakan dari dunia ilmu pengetahuan. Akan tetapi di akhir tahun 70-an,
sinesthesia ibaratnya ditemukan kembali oleh Dr. Richard Cytowic, pakar ilmu saraf dan peneliti
otak terkemuka, pendiri rumah sakit Capitol Neurology di AS.
Kasus sinesthesia pertamanya ditemukan secara tidak sengaja, pada tahun 1979. Ketika makan
malam dengan seorang temannya, ia mendengar komentar, rasa ayamnya kurang banyak
titiknya.Sebagai seorang dokter ahli saraf, Cytowic langsung bereaksi, dengan menanyai lebih
jauh temannya tersebut. Dengan malu-malu, temannya mengakui, ia memiliki persepsi bentuk
pada rasa makanan. Misalnya saja, ayam yang enak rasanya bentuknya terdiri dari banyak titik.
Temannya juga mengeluh, banyak yang menyangka ia gila atau kecanduan narkoba, karena
persepsinya yang tidak lazim itu. Ketika ditanyai lebih lanjut, temannya mengatakan ia
merasakan persepsi bentuk dari rasa dimanapun ia makan. Ternyata kelainan itu sudah diidapnya
sejak lahir. Temannya juga mengeluh, tidak ada satupun dokter menganggap fenomena itu
sebagai penyakit. Dr.Cytowic langsung teringat pada penelitian Galton mengenai gejala
sinesthesia. Ketika temannya diberitahu, bahwa ia tidak sendirian, karena cukup banyak yang
mengidap sindrom Sinesthesia, barulah temannya merasa lega. Cytowic mengatakan, ada orang
yang memiliki persepsi angka lima kenyal seperti karet, atau musik karya Beethoven rasanya
asin, atau masakan yang enak bentuknya persegi dan rangkaian kesan lainnya, yang bagi orang
normal terdengar aneh.
Seseorang yang mempunyai kondisi Synesthesia memiliki koneksi antar-bagian otak yang lebih
kuat, khususnya wilayah otak yang mengatur tentang bahasa dan warna. Dengan semakin
kuatnya koneksi antar-bagian otak tersebut, memunculkan efek pelatuk dimana satu aktivitas di
bagian otak akan memicu terjadinya pergerakan aktivitas di bagian otak lain. Dengan begitu,
setiap mendengar nada tertentu seseorang akan melihat warna yang berbeda-beda, atau tiap
seseorang melihat angka tertentu, akan selalu ada warna berbeda yang menyertai angka-angka
tersebut.
Terdapat suatu teori yang menjelaskan bahwa fenomena sinestesia terjadi karena otak orang
tersebut memiliki sambungan neuron yang berbeda, atau memiliki sambungan ekstra
dibandingkan otak pada umumnya. Hal ini dibuktikan dengan suatu studi pencitraan otak yang
menunjukkan bahwa otak seseorang yang mengalami sinestesia mengalami peningkatan aktivitas
pada bagian yang memproses warna, bersamaan saat sedang mendengar suatu kata.
Gejala sinestesia dapat muncul semenjak usia anak-anak. Tidak diketahui secara pasti bagaimana
seseorang dapat memperoleh sinestesia, namun fenomena ini dapat diturunkan dalam keluarga.
Sinestesia juga memiliki pola hereditari yang unik karena tidak selalu muncul di setiap generasi
dan setiap anggota keluarga dapat memiliki jenis sinestesia yang berbeda. Hal ini menunjukkan
selain faktor genetik, lingkungan juga dapat mempengaruhi.

Pengaruh Sinestesia Terhadap Kreativitas


Para peneliti berpendapat bahwa fenomena sinestesia merupakan suatu kelebihan yang
mempengaruhi kinerja otak. Akan tetapi menurut suatu hasil wawancara dilansir NHS Inggris,
individu dengan sinestesia memiliki pendapat yang bervariasi akan kondisinya. Sebagian besar
memiliki pendapat positif dan beberapa berpendapat netral karena sudah terbiasa dan tidak
mengganggua aktivitas mereka, namun sebagian kecil berpendapat bahwa gejala sinestesia dapat
mengganggu saat sedang berpikir.
Salah satu keuntungan yang mungkin dialami seseorang dengan sinestesia adalah otak yang lebih
kreatif. Seorang ilmuan neurologi kognitif Vilayanur Ramachan (seperti yang dilansir
LiveScience) berpendapat sinestesia merupakan mutasi genetik yang tidak hanya membuat
seseorang merasakan sensasi yang tidak biasa, namun juga dapat memunculkan ide dan
mendorong kreativitas yang lebih besar. Terlebih lagi fenomena sinestesia lebih besar ditemukan
pada kelompok seniman, penyair dan novelis dibandingkan pada kelompok lainnya.
Menurut VS Ramachandran, kondisi ini relatif baru-baru ini diakui dunia medis. Dahulu
seringkali kondisi ini dianggap gangguan jiwa, schizophrenia, atau sekedar mencari perhatian.
Melalui berbagai metode tes yang jenius, Ramachandran membuktikan bahwa fenomena ini riil,
tidak dibuat-buat.
Ramachandran menduga adanya hubungan dekat antara synesthesia dan kreativitas! Banyak
penulis buku, pujangga, penulis puisi di dunia yang ternyata diduga memiliki Synesthesia. Dan
tidakkah menarik jika dipikirkan, bahwa dunia kreatif penuh dengan metafora yang unik?
Kemampuan bermetafora umum dijumpai di antara penulis/seniman berbakat. Mungkinkah
synesthesia ada hubungannya dengan kreativitas, dengan memungkinkan otak manusia memiliki
kemampuan berpikir metafora? Dan synesthesia adalah kondisi ekstrim dari hubungan antar
bagian otak di balik kreativitas? Belum ada jawaban yang pasti untuk ini.

Sumber:
https://kbbi.web.id/leksikal (diakses pada 31 Februari 17.43 WIB)
https://m.belajarbahasa.id/artikel/dokumen/445-perbedaan-makna-leksikal-makna-gramatikal-
dan-makna-pragmatis-2017-10-30-00-09 (diakses pada 31 Februari 18.00 WIB)
https://kbbi.web.id/sinestesia (diakses pada 31 Februari 18.21 WIB)
https://id.wikipedia.org/wiki/Sinestesia (diakses pada 31 Februari 18.32 WIB)
https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/sinestesia-adalah-merasakan-warna/ (diakses pada
31 Februari 18.51 WIB)
http://shujinkouron.blogspot.com/2015/05/synesthesia-kemampuan-melihat-bau.html (diakses
pada 31 Februari 19.17 WIB)

Anda mungkin juga menyukai