Ujud Kelainan Kulit atau “Efloresensi” adalah kelainan kulit yang dapat
dilihat dengan mata telanjang (secara objektif) dan bila perlu dapatdiperiksa dengan
perabaan. Untuk mempermudah dalam pebuatan diagnosis, ruam kulit dibagi menjadi
beberapa kelompok. Menurut terjadinya, efloresensi dibagi atas 2:
PRIMER
Bulla adalah lesi yang terisi oleh cairan dengan ukuran < 0.5 cm sedangkan vesikel >
0.5 cm. Dapat terjadi intraepidermal dan subepidermal. Pada intraepidermal lesi
tersebut longgar dan mudah pecah dan subepidermal tegang dan tidak mudah pecah
Patofisiologi
Terjadi karena plasma yang bocor dari pembuluh darah mengisi ruang epidemis
sehingga terjadi penumpukan cairan.
Vesikel Bulla
Makula Patch
2. Makula dan Patch
Makula adalah lesi kulit yang datar dimana terjadi perubahan warna kulit yang dapat
berbatas tegas atau samar dibandingkan dengan kulit sekitarnya dengan ukuran < 0.5
cm, sedangkan patch berukuran > 0.5 cm.
Patofisiologi
Makula Hiperpigmentasi terjadi karena peningkatan sekresi melanin.
Makula Hipopigmentasi terjadi karena penurunan atau tidak adanya sintesis melanin.
Makula Eritem terjadi karena dilatasi pembuluh darah, ekstravasasi sel-sel darah
merah kepermukaan kulit.
Papul adalah massa solid dengan ukuran < 0.5 cm, sedangkan nodul berukuran > 0.5
cm. Adapun Plak adalah suatu lesi dengan peninggian yang permukaannya datar di
banding dengan kulit normal dibawahnya.
Patofisiologi
Terjadi karena peradangan yang sebagian besar terjadi di dermis. Kemudian
komponen-komponen peradangan tersebut membentuk masa yang solid
4. Kista
Kista adalah suatu ruangan berkapsul dengan epitel yang terdiri dari cairan atau dari
bahan-bahan semi solid berupa sel-sel yang telah mati atau produk-produk sel itu
sendiri, seperti keratin.
Patofisiologi
Terjadi karena peradangan sehingga komponen-komponen peradangan tersebut
membentuk masa yang semisolid.
5. Urtika
Urtika adalah penonjolan di atas permukaan kulit akibat edema setempat dan dapat
hilang perlahan-lahan, misalnya pada dermatitis medikamentosa, dan gigitan serangga
Patofisiologi
Terjadi karena edema atau pembekakan yang dihasilkan oleh kebocoran plasma
melalui dinding pembuluh darah di bagian atas dermis
6. Pustula
Pustula adalah lesi kulit yang terisi dengan pus dibagian epidermis
Patofisiologi
1. Sikatriks
Patofisiologi
2. Erosi
Erosi adalah kerusakan kulit sampai stratum spinosum. kulit tampak menjadi
merah dan keluar cairan serosa, misalnya pada dermatitis kontak
Patofisiologi
3. Likenifikasi
Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan kulit tampak lebih
jelas.
Patofisiologi
Terjadi karena perubahan kolagen pada bagian superficial dermis menyebabkan
penebalan kulit.
4. Eksoriasi
Eksoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris sehingga kulit
tampak merah disertai bintik-bintik perdarahan. ditemukan pada dermatitis kontak dan
ektima
Patofisiologi
Terjadi karena adanya lesi yang gatal sehingga di garuk dan dapat menyebabkan
perdarahan.
5. Krusta
Atrofi adalah pengurangan ukuran sel, organ atau bagian tubuh tertentu
Patofisiologi
Penurunan jaringan ikat retikuler dermis sehingga menyebabkan penekanan
permukaan kulit yang reversible.
7. Abses
Patofisiologi
Impetigo bisa terjadi akibat trauma superficial yang membuat robekan kulit
dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari Pediculosis,
Skabies, Infeksi jamur, dan pada Insect bites (Beheshti, 2:2007).
ETIOLOGI
KLASIFIKASI
Impetigo jenis ini utamanya menyerang bayi dan anak di bawah usia 2
tahun. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Impetigo bulosa
terdapat pada anak dan juga pada orang dewasa, paling sering muncul di
ketiak, dada, dan punggung. Kelainan kulit berupa eritema, vesikel, dan bula.
Kadang-kadang waktu penderita datang berobat, vesikel atau bula telah pecah.
Impetigo ini meski tak terasa sakit, tapi menyebabkan kulit melepuh berisi
cairan. Bagian tubuh yang diserang seringkali badan, lengan dan kaki. Kulit di
sekitar luka biasanya berwarna merah dan gatal tapi tak terasa sakit. Luka
akibat infeksi ini dapat berubah menjadi koreng dan sembuhnya lebih lama
ketimbang serangan impetigo jenis lain
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bila diperlukan dapat memeriksa isi vesikel dengan pengecatan gram untuk
menyingkirkan diagnosis banding dengan gangguan infeksi gram negatif. Bisa
dilanjutkan dengan tes katalase dan koagulase untuk membedakan antara
Staphylococcus dan Streptococcus (Brooks, 332:2005).
MANIFESTASI KLINIS
a. Impetigo Krustosa
Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di wajah,
terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena pada daerah tersebut
dianggap sumber infeksi. Tempat lainnya yang dapat terkena, yaitu anggota
gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi umumnya terbatas,
walaupun penyebaran luas dapat terjadi (Boediardja, 2005; Djuanda, 2005).
Biasanya mengenai anak pra sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman
dapat terjadi, tetapi tidak disertai gejala konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe
regional lebih sering disebabkan oleh Streptococcus.
Kelainan kulit didahului oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm.
Kemudian segera terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan
meninggalkan erosi. Cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal
berwarna kekuningan yang memberi gambaran karakteristik seperti madu
(honey colour). Lesi akan melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit
disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung membentuk daerah krustasi yang
lebar. Eksudat dengan mudah menyebar secara autoinokulasi (Boediardja,
2005).
b. Impetigo Bulos
Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak,
dada, punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada anak
dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung berisi cairan dengan
diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar
normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang
berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan
gambaran “collarette” pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada
bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan
basah. Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh (Yayasan Orang
Tua Peduli, 1:2008).
Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu
dapat menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain. Lesi
dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat
yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher. Tidak ada pembengkakan
kelenjar getah bening di dekat lesi. Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai
dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang sekali disetai dengan radang paru,
infeksi sendi atau tulang.
PENATALAKSANAAN
Bakteri masuk
Lewat kulit
terluka sehat
Hygiene
buruk
infeksi bakteri
Menghasilkan
enzim
Infeksi pada · Katalase
Berkembang
hipotalamus · Koagulase
biak
· Hyaturonidase
· Eksotoksin
Suhu tubuh · Toksin
meningkat Membelah diri eksfoliatif
Menyebar ke
MK : hipertermia Menghasilkan
jaringan
toksin
Enzim menyerang
protein
Protein rusak
Discharge planning :
1. ajarkan cuci tangan yang
baik dan benar
2. memberikan info untuk S. Aureus
tidak menggunakan Sel kulit rusak
handuk /baju yang
bergantian. Contangiosa
3. memberikan penjelasan
kepada pasien/keluarga jika Eksotoksin
ada luka jangan disentuh/ Menghasilkan
digaruk karena dpat push
menyebarkan infeksi Makula/Papul
kebagian tubuh lain. Eksfoliatif
MK : gangguan Ekstra Seluler
MK : gangguan Rasa gatal
rasa nyaman pola tidur
Vesikel/Pustul
Eksfoliatif A Eksfoliatif B
lesi
Mudah Pecah
Kehilangan
Impetigo trauma superficial yang membuat Adhesi Sel
Orang tua kurang mengetahui Kulit
robekan kulit dan paling sering merupakan
kondisi dan proses penyakit Keropeng /
penyakit penyerta (secondary infection) dari
kering Permukaan
Pediculosis, Skabies, Infeksi jamur, dan pada
Bulosa Dermis Rusak
Insect bites (Beheshti, 2:2007).
Kulit
MK : Defisit Terkelupas
Melepuh
Pengetahuan Timbul
MK : gangguan
tiba-tiba
citra tubuh Muncul Push
Kuning
Plak Merah Kecoklatan
Muncul Mengering
Pecah
Krusta
MK : Resiko MK : Kerusakan
Infeksi Integritas Kulit
FURUNKEL
DEFINISI
PATOFISIOLOGI
GEJALA KLINIS
DIAGNOSIS BANDING
PENATALAKSANAAN
KOMPLIKASI
KARBUNKEL
I. Definisi
Furunkel ( boll = bisul ) adalah peradangan pada folikel rambut pada kulit
dan jaringan sekitarnya yang sering terjadi pada daerah bokong,kuduk,aksila,badan
dan tungkai. Fuwnkel dapat terbentuk pada Iebih dan satu tempat. Jika lebih dan
satu disebut furunkulosis. Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain akibat iritasi, kebersihan yang kurang,daya tahan tubuh kurang dan
infeksi oleh staphylococcus Aureus. Infeksi dimulal dan peradangan pada folikel
rambut pada kulit (folikulitis ) yang menyebar ke jaringan sekitarnya.
Karbunkel adalah infeksi bakteri pada sekelompok folikel rambut dan
jaringan sekitarnya yang berdekatan. Karbunkel terbentuk dari gabungan beberapa
furunkel yang berkelompok dan dibatasi oleh trabekula fibrosa yang berasal dari
jaringan subkutan yang padat7. Karbunkel merupakan nodul inflamasi pada daerah
folikel rambut yang lebih luas dan dasarnya lebih dalam daripada furunkel.
II. Etiologi
A. Bakteri :
stafilokokus aureus, berbentuk bulat (coccus), diameter 0,5-1,5µm,
susunan bergerombol seperti anggur, tidak mempunyai kapsul, nonmotil,
katalase positif, pada pewarnaan gram tampak berwarna ungu.
B. Bakteri lain atau jamur
Paling sering ditemukan didaerah tengkuk, axial, paha dan bokong.
Akan terasa sangat nyeri jika timbul didaerah sekitar hidung, telinga, atau
jari-jari tangan.
III. Faktor Resiko
Setiap orang dapat beresiko terkena karbunkel, namun terdapat beberapa
faktor yang dapat meningkatkan resiko, antara lain:
1. Karier S.aureus kronik (pada hidung, aksila, perineum, vagina).
2. Diabetes. Pada diabetes terjadi gangguan fungsi leukosit sehingga membuat
tubuh sulit untuk melawan infeksi.
3. Higiene yang buruk. Hal ini mempermudah bakteri berkolonisasi di
permukaan kulit, sehingga meningkatkan resiko infeksi.
4. Pakaian yang ketat. Iritasi yang terus menerus dari pakaian yang ketat dapat
menyebabkan luka pada kulit, membuat bakteri mudah untuk masuk
kedalam tubuh.
5. Kondisi kulit tertentu. Karena kerusakan barier protektif kulit, masalah kulit
seperti jerawat, dermatitis, scabies, atau pedukulosis membuat kulit rentan
menjadi furunkel atau karbunkel.
IV. Gejala klinis
a. Pada permulaan infeksi terasa sangat nyeri dan tampak benjolan merah,
permukaan halus, bentuk seperti kubah dan lunak.
b. Beberapa hari ukuran membesar 3 – 10 cm.
c. Supurasi terjadi setelah 5 – 7 hari dan pus keluar dari banyak lubang fistel.
d. Setelah nekrosis tampak modul yang menggaung atau luka yang dalam
dengan dasar yang purulen
V. Patofisiologi
Bakteri stafilokokus aureus umumnya masuk melalui luka, goresan atau
robekan pada kulit. Respon primer host terhadap infeksi stafilokokus aureus adalah
mengerahkan sel PMN ketempat masuknya kuman tersebut untuk melawan infeksi
yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ketempat infeksi oleh komponen bakteri seperti
formylated peptides atau peptidoglikan dan sitokolin TNF (tumor necrosis factor)
dan IL (interleukin) yang dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofak yang teraktivasi,
hal tersebut menyebabkan inflamasi dan terbentuklah pus (gab sel darah putih,
bakteri, dan sel kulit mati).
VI. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan karbunkel meliputi pembedahan untuk mengeluarkan pus,
pemberian antibiotic sistemik dan terapi adjuvans.
1. Pembedahan
Terapi adekuat dari karbunkel adalah insisi dan drainase pus.
Persetujuan tindakan medis diperlukan sebelum melakukan tindakan.
Selanjutnya semua perlengkapan operasi disiapkan. Pertama disinfeksi area
karbunkel dan sekitarnya didisinfeksi dan dibatasi dengan duk steril..
Anastesi lokal yang umumnya digunakan adalah lidokain 1%. Scalpel
dipegang menggunakan ibu jari dan jari telunjuk untuk membuat initial
entry. insisi dilakukan langsung ke pusat abses. Insisi dibuat searah dengan
skin-tension line. Insisi dilebarkan untuk membuat ruang yang cukup
memadai sehingga semua pus dapat keluar. Hal ini dapat mencegah
terjadinya rekurensi. Pengambilan pus utuk kultur dapat menggunakan
hapusan atau spuit ke dalam ruang abses. Setelah pus mengalir spontan.
klem yang berujung bengkok untuk membuka seluruh ruang abses. Klem
dimasukkan ke dalam ruang abses ke dalam sampai menyentuh jaringan
yang sehat, kemudian ujung klem dibuka dan digerakkan melingkar untuk
mengeksplorasi memisahkan jaringan sehat dan ruang abses. Selanjutnya
dilakukan irigasi menggunakan spuit tanpa jarum dengan normal saline
sampai cairan irigasi yang keluar dari ruang abses jernih. Wound-packing
material ukuran seperempat atau setengan inchi dimasukkan dalam ruang
abses. Kemudian tutup luka dengan kasa steril dan plester. Penderita follow-
up setelah 2-3 hari, jika tidak ada pus, wound-packing material di ambil
2. Antibiotik Sistemik
Antibiotik sistemik mempercepat resolusi penyembuhan dan wajib
diberikan pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia. Antibiotik
diberikan selama empat sampai tujuh hari.
.Tabel 1 Antibiotik Sistemik3
Antimicrobial Agent Dosing (PO Unless Indicated), Usually For 7 to 14
Days
Natural penicillins
Penicillinase-resistant penicillins
Aminopenicillins
Amoxicillin plus clavulanic acid 875/125 mg bid; 20 mg/kg per day tid for 10 days
(Betha-lactamase inhibitor)
Cephalosporins
Cephalexin (drug of choice) 250-500 mg (adults) qid for 10 days; 40–50 mg/kg
per day (children) for 10 days
Erythromycin group
Tetracylines
Miscellaneous agents
VIII. Komplikasi
Invasi bakteri kedalam aliran darah biasanya terjadi kapan saja, tidak dapat
ditentukan. Prevalensi infeksi metastasis selama bakteremia diperkirakan sekitar
30% dan menyebabkan komplikasi endokarditis, osteomyelitis, septic arthritis,
perinephric abses, meningitis dan sepsis. Manipulasi pada lesi dapat memfasilitasi
penyebaran infeksi melalui aliran darah.
Endokarditis merupakan akibat tersering dari bakteremia akibat S.aureus.
Insidensi endokarditis disebabkan S.aureus meningkat selama 20 tahun terakhir dan
sekarang menjadi penyebab utama endokarditis di seluruh dunia, terhitung sekitar
25-30% kasus. Komplikasi berat seperti sepsis, memberikan tanda dan gejala awal
menggigil, demam, gelisah, takikardi dan takipnea.
Komplikasi lainnya yang jarang yaitu trombosis sinus kavernosus. Lesi pada
bibir dan hidung juga dapat menyebabkan bakteremia melalui vena-vena emisaria
wajah dan sudut bibir yang menuju sinus kavernosus.
FOLIKULITIS
Definisi Folikulitis
Klasifikasi Folikulitis
A. Folikulitis berdasarkan letaknya
1. Folikulitis Superficial
a. Pseudomonas Folikulitis
Sekitar 12 sampai 48 jam, akan timbul papul kemerahan sampai dengan
adanya pustul. Ruam akan bertambah berat pada bagian tubuh yang tertutup
pakaian renang dengan air yang terkontaminasi dengan pseudomonas.
b. Tinea Barbae
Lebih sering disebabkan oleh jamur Trychopyton
verrucosumatau Trychopyton mentagrophytes. Folikulitis tipe ini juga terjadi di
daerah dagu pria ( jenggot ). Tinea barbae menyebabkan timbulnya bintik-bintik
putih yang gatal.
c. Pseudofolikulitis Barbae
Pada inflamasi folikel rambut di daerah jenggot, pseudofolikulitis barbae
menyebabkan jenggot menjadi keriting.
d. Pityrosporum Folikulitis
25
Lebih sering terjadi pada dewasa muda. Folikulitis tipe ini menimbulkan
gejala kemerahan, pustul dan gatal pada daerah punggung, dada dan kadang-
kadang daerah bahu, lengan atas dan wajah. Disebabkan oleh infeksi ragi,
seperti malassezia furfur, sama halnya seperti jamur yang menyebabkan ketombe.
2. Folikulitis Profunda
a. Folikulitis Gram negative
Lebih sering berkembang pada seseorang dengan terapi antibiotik jangka
panjang dengan pengobatan akne. Antibiotik mengganggu keseimbangan normal
bakteri pada hidung, yang akan mempermudah berkembangnya bakteri yang
berbahaya ( Bakteri Gram-negatif ). Pada umumnya hal ini tidak membahayakan,
karena flora di hidung akan kembali normal apabila pemakaian antibiotik
dihentikan.
b. Folikulitis Eosinofilik
Terutama terjadi pada penderita dengan HIV positif. Folikulitis tipe ini
memiliki gejala khas yaitu inflamasi yang berulang, luka yang bernanah (pus),
terutama terjadi pada wajah tetapi dapat juga terjadi pada punggung dan lengan
atas. Luka biasanya menyebar, sangat gatal dan seringkali menimbulkan
hipopigmentasi. (Anonymus, 2009)
26
menimbulkan luka yang membekas pada kulit. Folikulitis bakterial biasanya
terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Staphylococcus aureus adalah penyebab
folikulitis bakterial terbanyak. Ini juga menyebabkan sikosis, yaitu
infeksi kronis yang melibatkan seluruh folikel rambut. Selain itu spesies
streptococcus, pseudomonas, proteus dan bakteri coliformjuga menjadi penyebab
folikulitis bakterial.
2. Folikulitis jamur
Seperti namanya folikulitis jamur ini disebabkan karena infeksi jamur.
Infeksi jamur dangkal ditemukan di lapisan atas kulit, infeksi jamur dalam
menyerang lapisan kulit yang lebih dalam. Infeksi dari folikel rambut juga dapat
menyebar ke dalam darah atau organ dalam.Jamur Dermatophytic ,
jamur Pityrosporum dan folikulitis ragi kandida adalah penyebab utama folikulitis
jamur. Folikulitis dermatophytic paling sering disebabkan oleh spesies zoofilik,
yaitu spesies jamur yang menunjukkan daya tarik atau persamaan dengan hewan.
Kondisi ini ditandai dengan munculnya bintil folikuler di sekitar
plak eritematosa berwarna merah yang mengeras. Penetrasi jamur yang dalam
menyebabkan peradangan yang tinggi dan menentukan besarnya kerontokan
rambut yang terjadi akibat infeksi.
3. Folikulitis virus
Folikulitis Virus melibatkan berbagai infeksi virus pada folikel rambut.
Infeksi karena virus herpes sederhana (HSV) sering berubah menjadi luka
berbintil atau borok, dan akhirnya menjadi kerak. Infeksi yang disebabkan
oleh kontagiosum moluskummengindikasikan sebuah imunitas tertahan yang
bermanifestasi sebagai papula berwarna keputihan dan gatal yang berada di
daerah jenggot. Ada juga beberapa laporan tentang folikulitis yang disebabkan
oleh infeksi herpes zoster.
4. Folikulitis parasit
Parasit yang menyebabkan folikulitis biasanya adalah patogen kecil yang
bersembunyi di dalam folikel rambut untuk tinggal atau bertelur di sana. Kutu
rambut seperti demodex folliculorum dandemodex brevis adalah penghuni alami
pada folikel pilo-sebaceousmanusia. (Anonymus, 2011)
27
2.2.2 Prognosis
Insidensi folikulitis pada masyarakat luas sulit ditentukan karena banyak
individu yang terkena infeksi ini tidak pernah berobat ke dokter. Dengan
penanganan yang tepat, pasien folikulitis memiliki prognosis yang baik.
Gangguan ini biasanya menghilang dalam dua hingga tiga minggu. Prognosis
pasien folikulitis tergantung pada intensitas infeksi dan kondisi fisik pasien serta
kemampuan tubuhnya untuk menahan infeksi. (Kowalak, 2011)
28
f. Pencukuran
g. Terapi imunosupresan
h. Pajanan pelarut tertentu
i. Diabetes (Kowalak, 2011)
29
Gejala klinis folikulitis berbeda beda tergantung jenis infeksinya. Pada
bentuk kelainan superfisial, bintik-bintik kecil (papul ) berkembang di sekeliling
satu atau beberapa folikel. Papul kadang-kadang mengandung pus ( pustul ),
ditengahnya mengandung rambut serta adanya krusta disekitar daerah inflamasi.
Infeksi terasa gatal dan agak sakit, tetapi biasanya tidak terlalu menyakitkan.
Tempat predileksi folikulitis superfisial yaitu di tungkai bawah.
Folikulitis profunda akan merusak seluruh folikel rambut sampai ke
subkutan sehingga akan teraba infiltrat di subkutan dan dapat menimbulkan gejala
yang lebih berat yaitu sangat sakit, adanya pus yang akhirnya dapat meninggalkan
jaringan ikat apabila telah sembuh. (Anonymus, 2009)
30
1. Riwayat pasien yang memperlihatkan folikulitis sebelumnya sudah ada.
2. Pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya lesi kulit untuk penegakan
diagnosis folinokulitis.
3. Pemeriksaan kultur luka pada tempat yang terinfeksi (biasanya
memperlihatkan S. aureus).
4. Kanaikan jumlah sel darah putih (leukositosis) yang mungkin terjadi.
(Kowalak, 2011).
31
d. Anjurkan pasien untuk mengganti perban dengan sering dan segera
membuangnya dalam kantung kertas ke tempat sampat. (Kowalak, 2011)
SELULITIS
DEFINISI
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi
menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis.1 Infeksi ini biasanya
didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptococcus beta
hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Pada anak usia di bawah 2 tahun dapat
disebabkan oleh Haemophilus influenza, keadaan anak akan tampak sakit berat,
sering disertai gangguan pernapasan bagian atas, dapat pula diikuti bakterimia dan
septikemia.3 Terdapat tanda-tanda peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti
eritema, teraba hangat, dan nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala
sistemik seperti demam dan peningkatan hitungan sel darah putih.4 Selulitis yang
mengalami supurasi disebut flegmon, sedangkan bentuk selulitis superfisial yang
mengenai pembuluh limfe yang disebabkan oleh Streptokokus beta hemolitikus
grup A disebut erisepelas. Tidak ada perbedaan yang bersifat absolut antara
selulitis dan erisepelas yang disebabkan oleh Streptokokus.1
ETIOLOGI
32
Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus diabetikum dan ulkus dekubitus
biasanya disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif dan
gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur
eksternal maupun hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan barrier
kulit, sedangkan pada imunokopromais lebih sering melalui aliran darah (buku
kuning). Onset timbulnya penyakit ini pada semua usia.
33
34
Gambar 2: Specific Anatomical Variants of Cellulitis and Causes of
Predisposition to the Condition (6)
GEJALA KLINIS
35
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala prodormal
berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang dengan cepat,
sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien imunokompromais rentan
mengalami infeksi walau dengan patogen yang patogenisitas rendah. Terdapat
gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala
akan menjalar ke sekitar lesi terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat
yang sama dapat terjadi elefantiasis. (buku merah)
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada
orang dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat
seringnya trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi di
lengan atas. Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis akut
(jika disebabkan oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis, endokarditis
bakterial subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis
rekurens. (buku kuning)
36
PATOGENESIS
37
fibrinolysin mencerna barrier fibrin, dan lecithinase menghancurkan membran sel
(2).
DIAGNOSIS
38
merah keunguan. Lesi kebiru-biruan dapat juga ditemukan pada selulitis yang
disebabkan oleh Streptokokus pneumonia Pada pemeriksaan darah tepi selulitis
terdapat leukositosis (15.000-400.000) dengan hitung jenis bergeser ke kiri.(7)
Gejala dan tanda Selulitis
Gejala prodormal : Demam, malaise, nyeri sendi dan menggigil
Daerah predileksi : Ekstremitas atas dan bawah, wajah, badan dan
genitalia
Makula eritematous : Eritema cerah
Tepi : Batas tidak tegas
Penonjolan : Tidak terlalu menonjol
Vesikel atau bula : Biasanya disertai dengan vesikel atau bula
Edema : Edema
Hangat : Tidak terlalu hangat
Fluktuasi : Fluktuasi
Tabel 1. Gejala dan tanda selulitis (6)
Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pada
sebagian besar pasien dengan selulitis. Seperti halnya pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan pencitraan juga tidak terlalu dibutuhkan. Pada pemeriksaan darah
lengkap, ditemukan leukositosis pada selulitis penyerta penyakit berat, leukopenia
juga bisa ditemukan pada toxin-mediated cellulitis. ESR dan C-reactive protein
(CRP) juga sering meningkat terutama penyakit yang membutuhkan perawatan
rumah sakit dalam waktu lama. Pada banyak kasus, pemeriksaan Gram dan kultur
darah tidak terlalu penting dan efektif.
e. PENGOBATAN
39
juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hari PO; anak-anak 16-20
mg/kgbb/hari). Pada yang penyebabnya SAPP selain eritromisin dan klindamisin,
juga dapat diberikan dikloksasilin 500 mg/hari secara oral selama 7-10 hari. (6)
f. KOMPLIKASI
ERITRASMA
DEFINISI
ETIOLOGI
40
· Higine yang buruk
· Lanjut usia
· Gangguan immunocompromised Lainnya
PATOFISIOLOGI
GEJALA KLINIS
Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Lesi
tidak menimbulkan dan tidak terlihat vesikulasi. Skuama kering yang halus
menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak.1
41
tidak begitu menular, berdasarkan observasi pada pasangan suami-isteri yang
biasanya tidak terserang penyakit tersebut secara bersama-sama. Eritrasma tidak
menimbulkan keluhan subyektif, kecuali bila terjadi ekzematisasi oleh karena
penderita berkeringat banyak atau terjadi maserasi pada kulit.1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
42
yang muda putus sebagai bentuk basil kecil atau difteroid. Pemeriksaan harus
teliti untuk melihat bentuk terakhir ini.1,5
43
Pada kandidiasis intertriginosa lesi umumnya terdapat di lipatan kulit
ketiak, lipatan paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki,
gland penis, dan umbilicus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, dan
eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oeh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustule
kecil atau bula yang bila pecah menimbulkan daerah yang erosif.1
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas
tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata (lebih aktif) daripada daerah tengahnya.1
T
Tinea Kruris Kandidiasis
Intertriginosa
Pitiriasis Versikolor
44
Pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung KOH dapat
menentukan diagnosis. Pitiriasis versikolor biasanya tidak terbatas pada daerah
intertriginosa. Pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung dapat
membedakan kedua penyakit tersebut. Tinea kruris dan dermatitis seboroik,
maupun dermatitis kontak lebih nyata tanda radangnya, apalagi bila terlihat
vesikulasi.1
2.2. PENATALAKSANAAN
Terdapat penelitian pada 151 pasien berusia lebih dari 18 tahun secara
acak menjadi 5 kelompok dan diberi eritromisin, klaritromisin dosis tunggal, asam
fusidic topikal, krim plasebo, atau tablet plasebo. Krim asam fusidic secara
signifikan lebih efektif daripada terapi lain. Selain itu, kelompok yang menerima
klaritromisin melakukan yang lebih baik pada 48 jam daripada kelompok yang
menerima eritromisin.4
45
Topikal antibakteri yang menghambat sintesis protein bakteri,
menyebabkan kematian bakteri. Gunakan 2% krim.4
· Miconazole topikal (Femazole, Lotrimin, Monistat)
Kerusakan membran sel jamur dinding dengan menghambat biosintesis
ergosterol. Permeabilitas membran meningkat, menyebabkan nutrisi bocor
keluar dan mengakibatkan kematian sel jamur. Lotion lebih disukai di
daerah intertriginosa. Jika krim digunakan, berlaku hemat untuk
menghindari efek maserasi. Gunakan 2% krim.4
· Asam benzoat 6%, asam salisilat 3% (salep Whitfield)
Digunakan untuk infeksi dan peradangan yang terkait dengan erythrasma.4
· Klindamisin (Cleocin)
Memiliki efek bakteriostatik, mengganggu sintesis protein bakteri mirip
dengan eritromisin dan kloramfenikol dengan mengikat subunit 50S
ribosom bakteri.4
· Tetrasiklin (Achromycin)
Menghambat pertumbuhan sel oleh translasi penghambat mRNA.
Mengikat 16S bagian dari subunit ribosom 30S dan mencegah amino-asil
tRNA dari mengikat ke situs A dari ribosom.4
2.3. PROGNOSIS
Prognosis cukup baik, bila semua lesi diobati dengan tekun, menyeluruh,
menjaga daerah yang terkena tetap kering dan mengeliminasi faktor
predisposisi.1,5
2.4. PENCEGAHAN
46
· Menghindari panas atau kelembaban yang berlebihan.
EKTIMA
1. DEFINISI
Ektima adalah bentuk pioderma kulit yang ditandai dengan erosi krusta
yang menebal atau disertai ulkus. Ektima dipertimbangkan sebagai bentuk
ulseratif dari impetigo bulosa dimana lesi dini mencapai dermis untuk
menghasilkan ulkus yang dangkal.1,2
2. ETIOLOGI
Status bakteriologis dari ektima mirip dengan impetigo. Penyakit ini
dipertimbangkan akibat infeksi Streptokokus. Semenjak banyak kasus di lapangan
hanya kultur dari Streptokokus pyogenes. Kasus yang lainnya baik itu golongan
streptokokus maupun golongan stafilokokus, dan beberapa hanya dari golongan
stafilokokus. Grup A streptokokus berkembang dari semua 66 kasus, dan
stafilokokus koagulase-positif dari 85 % kasus.3
3. EPIDEMIOLOGI
Di Eropa, kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak, tetapi pada daerah
tropis, di mana penyakit ini merupakan yang paling umum terjadi, penyakit ini
bisa mengenai semua umur. Higien yang buruk dan malnutrisi menjadi faktor
predisposisi, serta luka-luka kecil atau beberapa kondisi kulit lainnya, khususnya
skabies, bisa mempengaruhi secara langsung pada lokasi di mana lesi berada.
Pada daerah urban, lesi-lesi muncul karena S. aureus dan terlihat pada pemakai
obat-obatan melalui intravena dan pasien HIV.3,4
4. PATOMEKANISME
Patogen utama streptokokus pada manusia merupakan bagian grup A
streptokokus (GAS), terutama Streptokokus pyogenes. Bakteri ini terbagi menjadi
beberapa divisi tergantung antigen protein permukaan M dan T. Protein M
melindungi organisme melawan fagosit, mengakibatkan adherensi pada jaringan
epitel yang berbeda dan berkontribusi pada terjadinya virulensi. Antigen protein T
47
juga berada pada permukaan dan gen untuk protein T telah diinvestigasi,
khususnya dalam kejadian tiba-tiba (outbreaks) di mana protein M tidak
terindentifikasi. C5a peptidase, sebuah enzim proteolitik pada permukaan grup A
streptokokus, menghambat dalam pengenalan sel-sel fagosit terhadap lokasi
infeksi, dan selanjutnya memainkan peran dalam patogenesis penyakit yang
diakibatkan oleh streptokokus. Eksotoksin pirogenik streptokokus, termasuk di
dalamnya toksin eritrogenik, memainkan bagian penting dalam syok endotoksik,
dan memiliki efek superantigenik pada sistem imun, sebagai hasil dari produksi
sitokin secara massif.3
5. DIAGNOSIS
1. Manifestasi klinis
Ektima terjadi paling banyak pada ekstremitas bawah pada
anak-anak, atau daerah yang biasanya digantungkan kalung pada orang
dewasa atau individu dengan penyakit diabetes. Higien yang buruk dan
kalung (perhiasan yang dipakai di leher) adalah elemen kunci dalam
patogenesis penyakit ini. Ulkus eritem pada engkel dan bagian dorsum
kaki adalah bentuk pioderma yang paling umum terlihat pada iklim
tropis.1
Ulkus memiliki gambaran “punched out” ketika krusta
berwarna kuning keabu-abuan yang tidak bersih dan material purulen
ditekan. Pinggiran dari ulkus indurasi, meninggi, berwarna violet.
Dasar granulasi mencapai bagian dalam dermis. Lesi eritem yang tidak
diobati akan membesar selama beberapa minggu sampai beberapa
bulan menjadi diameter 2-3 cm atau lebih.1
48
Gambar 1. Stafilokokus aureus: Ektima. Ulkus dan krusta tebal yang multipel pada
tungkai pasien dengan penyakit diabetes dan gagal ginjal. Lesi eritem juga muncul
pada tungkai sebelahnya, kedua lengan, dan kedua tangan.
(dikutip dari kepustakaan 1)
49
Manifestasi klinis ditemukan kurang dari 10 lesi yang terlihat
pada pemeriksaan, kebanyakan pada ekstremitas bawah. Vesikel awal
atau vesikulopustula melebar (diameter 0,5-3 cm) selama pengobatan
beberapa hari, dan berkembang menjadi krusta yang hemoragik. Ulkus
memiliki gambaran punched out dan tampak purulen, memiliki dasar
yang nekrosis. Lesi lama untuk sembuh dan menimbulkan skar.2
50
2. Pemeriksaan Laboratorium
Biopsi kulit dengan pewarnaan gram dari jaringan kulit dalam
dan kultur bakteri. Pewarnaan gram dari cairan vesikular dan terlihat di
bawah mikroskop biasanya dipastikan terdapat kokus gram positif
yang menggambarkan grup A streptokokus. Stafilokokus aureus bisa
juga terlihat. Tes kultur dan sensitivitas dari cairan atau kulit yang
terlepas bisa digunakan untuk mengidentifikasi jenis antibiotik yang
paling sesuai. Hitung sel darah putih bisa saja meningkat.2,6
6. DIAGNOSIS BANDING
Ektima gangrenosum adalah ulkus pada kulit yang disebabkan oleh P.
aeruginosa dan mirip dengan ektima stafilokokus atau ektima streptokokus. Lesi
pada ektima gangrenosum terdiri atas ulkus multipel atau ulkus soliter yang tidak
menular. Dimulai dengan lesi yang tertutup, merah, makula purpura yang
kemudian menjadi vesikel, indurasi, dan akhirnya menjadi bula atau pustul. Pustul
mungkin hemoragik. Lesi terlokalisasi, lebih tipikal, mencapai hingga beberapa
sentimeter. Area sentral dari lesi menjadi hemoragik dan nekrosis. Lesi kemudian
berganti kulit menjadi bentuk ulkus gangren dengan skar yang ungu-kehitaman
dan di sekelilingnya terdapat halo eritem. Lesi terjadi utamanya pada regio gluteus
dan perianal (57%), ekstremitas (30%), pinggang (6%), dan wajah (6%) tetapi
bisa terjadi di mana saja.1,7
51
Gambar 6. Ektima gangrenosum. Manifestasi kulit dari Pseudomonas septikemia. Lesi besar,
vesikel, bula, massa perdarahan berlokasi di paha. (dikutip dari kepustakaan 7)
7. PENATALAKSANAAN
Meningkatkan higien dan nutrisi, dan pengobatan pada penyakit skabies,
dan penyakit lain yang mendasari. Antibiotik yang dipilih sebaiknya aktif
melawan bakteri baik Streptococcus pyogenes maupun Staphylococcus aureus.
Pengobatan ektima sama dengan pengobatan pada impetigo stafilokokus. Lihat
tabel di bawah.1,3
52
Lini Azithromycin 500 mg x 1, then 250 mg
Kedua perhari selama 4 hari
(alergi
terhadap
penisilin)
Clindamycin 15 mg/kg/day tid
Erythromycin 250-500 mg PO empat
klai sehari selama 5-7
hari
ERISIPELAS
A. PENGERTIAN
(Arif, 2000).
Erisipelas adalah infeksi pada dermis dan jaringan subkutis bagian atas
yang hampir selalu disebabkan oleh Streptococcus pygogenes ( = Streptococcus
beta hemolyticus grup A).
(Herry, 1996).
B. ETIOLOGI
53
Faktor predisposisi terjadinya erisipelas adalah:
1. trauma lokal (robekan kulit),
2. gangguan pada pembuluh balik (vena)
3. Luka di kulit
4. Usia
5. Malnutrisi
6. Melemahnya sistem imun
C. TANDA DAN GEJALA
Permulaan erisipelas didahului oleh gejala prodormal malaise dan
mialgia. Lapisan kulit yang diserang adalah epidermis dan dermis. Lesi kulitnya
merupakan bercak eritema berwarna merah cerah yang dalam, dengan batas tegas,
sedikit menimbul, dan pinggir cepat meluas dengan tanda radang akut. Daerah
yang tekena terasa panas, sakit dan dan bengkak, kadang-kadang terdapat indurasi
dan sewaktu-waktu timbul bula superfisial. Dapat disertai edema dan vesikel. Lesi
menjadi reda ditengah dan seketika itu lesi menjalar ke perifer, sehingga
menimbulkan konfigurasi anuler. Penderita sering menggigil dan demam tinggi,
sakit kepala, atralgia, mialgia, nausea, muntah dan lemah.
Tempat lesi tergantung pada pintu gerbang Streptooknya, yang dapat berupa luka
bedah, umbilikus pada neonatus, atau setiap kerusakan kulit lainnya. Muka dan
ekstremitas inferior merupakan tempat umum erisipelas non-bedah. Faktor
predisposisinya adalah obstruksi limfatik kronik dan daya tahan penderita yang
berkurang akibat penyakitnya berat dan menahun, juga dapat di temui pada
penderita diabetes melitus dan infeksi saluran nafas atas
D. PATOFISIOLOGI
Inokulasi bakteri ke daerah kulit yang mengalami trauma merupakan peristiwa
awal perkembangan dari erisipelas. Dengan demikian, faktor-faktor lokal, seperti
insusfisiensi vena, statis ulserasi, dermatitis, gigitan serangga, dan sayatan bedah
telah terlibat sebagai pintu masuknya kuman ke kulit.
Sumber bakteri di erisepalas wajh sering bersumber dari nasofaring dan
riwayat faringitis streptokokus baru-baru ini telah dilaporkan dalam sampai
sepertiga dari kasus. Faktor predisposisi lainnya termasuk diabetes,
54
penyalahgunaaan alkohol, infeksi HIV, sindrom nefrotik, kondisi penurunan
sistem imun lain, dan tidak optimalnya higienis meningkatkan risiko erisipelas.
Disfungsi limfatik subklinis adalah faktor resiko untuk erisipelas. Dalam
erisipelas, infeksi dengan cepat menyerang dan menyebar melalui pembuluh
limfatik. Kondisi ini akan memberikan manifestasi kerusakan kulit diatasnya dan
pembengkakan kelenjar getah bening regional. Respon imunitas menjadi menurun
dan memberikan optimalisasi bagi organisme untuk berkembang.
E. PATHWAY
Invasi bakteri ke dermis, erisipelas
jar.subkutis, dan
jar.limfatik
hipertermi
nyeri cemas
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah : Leucocytosis.
2. Bila memungkinkan :
· Periksa Titer ASO : meningkat seminggu seelah infeksi.
· Mencari Streptococcus dengan kultur dari tenggorokan, hidup atau mata..
55
G. KOMPLIKASI
1. Nefritis
2. Abses subkutan
3. Septisemia
4. Kematian 50% pada bayi, penderita usia tua dan yang lemah.
5. Kambuh lagi – Cellulitis
H. PENATALAKSANAAN
1. Pada penderita bayi, usia tua dan yang keadaan umumnya lemah sebaiknya
dirawat di RS.
2. Pemberian antibiotika sistemik diberikan 7 – 10 hari.
a. Penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu)
· Penisilina G Prokain
Dosis : 1 – 2 dd 0,6 – 1,2 juta U
Anak-anak : 1 – 2 dd 25.000 – 50.000 I.U./kg
· Ampisilin
4 dd 250 – 500 mg a.c.
anak-anak : 4 dd 25 – 75 mg/kg – a.c.
· Amoksilin (penulisan resep harus diparaf staf medik UPF)
3dd 250 – 500 mg.a.
anak-anak : 3 dd. 7,5 – 25 mg/kg a.c.
b. Eritromisin
4 dd 250 – 500 mg pc
anak-anak : 4 dd 12,5 mg – 25 mg/kg – pc
bila alergi penisilin
c. Linkomisin
3 – 4 dd 250 – 500 mg
anak-anak lebih 1 bulan 3 dd 10 – 20 mg/kg
bila alergi penisilin dan yang menderita gangguan saluran cerna
56
d. Bila kambuh-kambuh diberikan antibiotika sistemik dosis tinggi dulu
sampai sembuh, baru dilanjutkan dosis rendah jangka lama selama 1 – 3
bulan.
3. Pengobatan topical
a. Kompres dengan solusio Sodium Chloride 0,9 % atau Solusio Burowi :
· bila ada vesikule/bule
· dapat sebagai pendingin
b. Neocitrin ointment (Basitrasina dan Polimiksina B)
bila lesi kulit telah kering
SKLOFULODERMA
a. Definisi
Skrofuloderma adalah infeksi mikrobakterial tuberkulosis yang
menyerang anak-anak dan dewasa muda, dimana terjadi penyebaran
langsung tuberkulosis ke dalam kulit dari struktur dibawahnya seperti
kelenjar getah bening (terutama servikal), tulang atau paru atau dengan
pajanan kontak terhadap tuberkulosis dengan manifestasi berupa
pembengkakan subkutan yang tidak nyeri yang berubah menjadi abses
dingin, ulkus multipel dan pengaliran traktus sinus(Dorland).
b. Epidemiologi
Skrofuloderma merupakan bentuk tuberkulosis kutis terbanyak yang
ditemukan di Indonesia. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo,
skrofuloderma ditemukan sebanyak 84%, disusul tuberkulosis kutis
verukosa sekitar 13% (BKM). Sama seperti tuberkulosis kutis pada
umumnya, skrofuloderma sering terjadi terutama pada anak-anak dan
dewasa muda. Prevalensinya tinggi pada anak-anak yang mengonsumsi
susu yang telah terkontaminasi Mycobacterium bovis. (sk2)
c. Etiologi
Penyebab skrofuloderma adalah mikobakterium obligat yang bersifat
patogen terhadap manusia yang juga berperan sebagai penyebab
terjadinya tuberkulosis kutis pada umumnya. Untuk penyebab
utamanya sendiri, yang ditemukan di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo ialah Mycobacterium tuberculosis berjumlah 91,5%.
Sisanya disebabkan oleh mikobakteria atipikal.
d. Bakteriologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang bersifat aerob dan
merupakan patogen pada manusia, dimana bakteri ini bersifat tahan
57
asam sehingga biasa disebut bakteri tahan asam (BTA), dan hidupnya
intraselular fakultatif, artinya bakteri ini tidak mutlak harus berada
didalam sel untuk dapat hidup. Mycobacterium tuberculosis mempunyai
sifat-sifat yaitu berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob, tahan
asam, panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/µ, tidak bergerak dan suhu
optimal pertumbuhan pada 370 C (BKM). Bakteri ini merupakan kuman
yang berbentuk batang yang lebih halus daripada bakteri
Mycobacterium leprae, sedikit bengkok dan biasanya tersusun satu-satu
atau berpasangan.(sk4)
Di lain pihak, penyebab lain dari penyakit ini adalah mikobakterium
atipikal. Dimana kuman tahan asam ini agak lain sifatnya dibandingkan
M. tuberculosis, yakni patogenitasnya rendah, pada pembiakan
umumnya membentuk pigmen dan tumbuh pada suhu kamar. Menurut
klasifikasi Runyon, kuman tersebut dibagimenjadi empat golongan yaitu
fotokromogen yang dapat membentuk pigmen bila mendapat cahaya,
skotokromogen yang dapat membentuk pigmen dengan atau tanpa
cahaya, non-fotokromogen yang tidak dapat atau sedikit membentuk
pigmen dan rapid growers yang tumbuh cepat dalam beberapa hari.
Infeksi M. scrofulaceum dari golongan skotokromogen dapat
menimbulkan limfadenitis dan skrofuloderma dimana gambaran klinis
yang ditampilkan sama dengan yang disebabkan M. tuberculosis. (BKM)
e. Patogenesis
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran per kontinuitatum dari
organ di bawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang
tersering berasal dari kgb, juga dapat berasal dari sendi dan tulang.
Tempat predileksinya pun banyak dijumpai pada kgb superfisialis, yang
tersering ialah kelenjar getah bening pada supraklavikula,
submandibula, leher bagian lateral, ketiak, dan yang terjarang pada
lipatan paha.(sk2)
Port d’entre skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru.
Jika di ketiak kemungkinan port d’entre pada apeks pleura, bila di lipat
paha pada ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi
tersebut diserang sekaligus dimana kemungkinan sudah terjadi
penyebaran secara hematogen.(BKM)
f. Gambaran Klinis
Skrofuloderma biasanya mulai sebagai limfadenitis tuberkulosis, berupa
pembesaran kgb, tanpa tanda-tanda radang akut, selain tumor. Mula-
mula hanya beberapa kgb yang diserang, lalu makin lama makin banyak
dan sebagian berkonfluensi. Selain limfadenitis, juga terdapat
periadenitis yang menyebabkan perlekatan kgb tersebut dengan
jaringan di sekitarnya. Kemudiaan kelenjar-kelenjar tersebut mengalami
58
perlunakan tidak serentak,mengakibatkan konsistensinya kenyal dan
lunak (abses dingin). Abses akan memecah dan membentuk fistel.
Kemudian muara fistel meluas, hingga menjadi ulkus yang mempunyai
sifat khas yakni bentuknya memanjang dan tidak teratur, di sekitarnya
berwarna merah kebiru-biruan (livid), dindingnya bergaung, jaringan
granulasinya tertutup oleh pus seropurulen, jika mongering menjadi
krusta berwarna kuning. Ulkus-ulkus tersebut dapat sembuh spontan
menjadi sikatriks-sikatriks yang juga memanjang dan tidak teratur.
Kadang-kadang di atas sikatriks tersebut terdapat jembatan kulit (skin
bridge), bentuknya seperti tali, yang kedua ujungnya melekat pada
sikatriks tersebut, hingga sonde dapat dimasukkan.
Gambaran klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya
penyakit. Jika penyakitnya telah menahun, maka gambaran klinisnya
lengkap, artinya terdapat semua kelainan yang telah disebutkan. Bila
penyakitnya belum menahun, maka sikatriks dan jembatan kulit belum
terbentuk.
g. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik penting untuk mengetahui penyebabnya.
Pemeriksaan bakteriologik menggunakan bahan berupa pus.
Pemeriksaan bakteriologik yang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan BTA, kultur dan PCR. Pemeriksaan BTA dengan
menggunakan pewarnaan Ziehl Nielson mendeteksi kurang lebih 10.000
basil per mL.(Buku saku Paru) Pada pemeriksaan PCR (Polymerase Chain
Reaction) dapat juga digunakan untuk mendeteksi M. tuberculosis.
Pemeriksaan kultur menggunakan medium non selektif (Lowenstein-
Jensen), tetapi hasilnya memerlukan waktu yang lama karena M.
tuberculosis butuh waktu 3-4 minggu untuk berkembang biak.
2. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis. Pada
gambaran histopatologi tampak radang kronik dan jaringan nekrotik
mulai dari lapisan dermis sampai subkutis tempat ulkus terbentuk.
Jaringan yang mengalami nekrosis kaseosa oleh sel-sel epitel dan sel-sel
Datia Langhan’s.
3. Tes Tuberkulin (Tes Mantoux)
Diagnosis pasti tuberkulosis kutis tidak dapat ditegakkan berdasarkan
tes tuberkulin yang positif karena tes ini hanya menunjukkan bahwa
penderita pernah terinfeksi tuberkulosis tetapi tidak dapat
membedakan apakah infeksi tersebut masih berlangsung aktif atau telah
berlalu.
4. LED
59
Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami peningkatan tetapi LED ini lebih
penting untuk pengamatan obat daripada untuk membantu
menegakkan diagnosis. Peninggian LED menunjukkan terjadinya
kerusakan jaringan.
h. Diagnosis
Diagnosis pada skrofuloderma dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan
histopatologi. Selain itu dapat juga ditunjang dengan pemeriksaan
bakteriologik.
i. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa: istirahat dan isolasi
2. Medikamentosa: (ppm)
a. Sistemik
Digunakan kombinasi 3 obat:
· INH: 5-10 mg/kgBB
· Rifampisin: 10 mg/kgBB
· Pirazinamid: 20-35 mg/kgBB, hanya diberikan 2
bulan; bila belum sembuh diteruskan dengan
etambutol dengan dosis bulan I/II 25 mg/kgBB,
berikutnya 15 mg/kgBB
b. Topikal
Pada ulkus dengan pus diberi kompres permanganas
kalikus 1/5000.
HIDRADENITIS SUPPURATIVA
Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit inflamasi kronis yang
berasal dari kelenjar apokrin, yang dapat menjadi kronis dan cenderung
menimbulkan sikatriks.1 Penyakit ini secara klinis ditandai dengan
pembentukan nodul bulat dan abses dengan jaringan parut hipertrofik dan
supurasi yang rekuren, menyakitkan dan dalam yang terjadi terutama pada
area lipatan-lipatan kulit yang memiliki ujung rambut dan kelenjar apokrin.
60
Penyakit ini cenderung menjadi kronis dengan ekstensi subkutan yang
mengarah pada pembentukan jaringan parut hipertrofi, sinus, dan fistula.2,3
Daerah axillae, inguinal, dan perineal merupakan daerah yang sering
terkena, sementara bokong dan submamary jarang terkena. Penyakit ini
biasanya terjadi setelah pubertas dan empat kali lebih banyak menyerang
wanita daripada pria serta lebih sering terjadi pada orang yang obesitas.
A. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Etiologi HS masih belum diketahui pasti. Studi histologik pada HS
memperlihatkan hiperkeratosis folikular yang diikuti oleh ruptur epitel folikel
dan pelepasan keratin, sebum, bakteri dan rambut ke lapisan dermis
menyebabkan terjadinya suatu oklusi pada kelenjar apokrin. Terjadinya reaksi
inflamasi pada kelenjar apokrin yang dipicu oleh oklusi tersebut menyebabkan
ruptur pada kulit, fibrosis, dan pembentukan sinus. Infeksi sekunder oleh
bakteri S. Aureus, Streptococcus pyogenes, dan berbagai bakteri gram negatif
lain dapat terjadi.2,5
Beberapa faktor risiko terjadinya HS antara lain:5
- Faktor genetik
Adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit hidradenitis
supurativa diperoleh pada 26% pasien. Beberapa studi tidak
menunjukkan adanya hubungan dengan HLA. Namun beberapa studi
lainnya menunjukkan adanya penurunan autosomal dominan dengan
single gene transmission. Namun, lokus genetik yang terkait tidak
ditemukan.
- Hormonal
Kecenderungan terjadinya hidradenitis suppurativa ketika pubertas atau
setelah pubertas menunjukkan adanya pengaruh androgen. Selain itu,
adanya peningkatan kejadian yang dilaporkan pada pasien postpartum
yang berhubungan dengan penggunaan pil kontrasepsi oral dan pada
periode premenstrual (sekitar 50% pasien). Terapi antiandrogen juga
memperlihatkan keuntungan terapetik pada beberapa studi.
61
Namun, tidak ada bukti biokimia dari hiperandrogenisme dapat
ditemukan pada 66 wanita dengan hidradenitis suppurativa. Selain itu,
tidak seperti kelenjar sebacea, kelenjar apokrin tidak dipengaruhi oleh
androgen. Karenanya, pengaruh androgen terhadap kejadian hidradenitis
suppurativa masih belum jelas.
- Obesitas
Obesitas bukan merupakan faktor kausa terjadinya hidradenitis
suppurativa namun sering dianggap sebagai faktor yang memperberat
melalui peningkatan gaya gesek, oklusi, hidrasi keratinosit, dan maserasi.
Obesitas juga memperberat penyakit ini dengan meningkatkan androgen.
Penurunan berat badan dianjurkan bagi pasien dengan berat badan
berlebih dan dapat membantu mengontrol penyakit.
- Infeksi bateri
Peranan infeksi bakteri pada terjadinya hidradenitis suppurativa masih
belum jelas. Diyakini bahwa peran patogenesisnya sama dengan peranan
bakteri pada terjadinya jerawat. Obat antibakteri biasa digunakan sebagai
terapi. Keterlibatan bakteri terjadi secara sekunder. Kultur biasanya
menunjukkan hasil yang negatif, namun sejumah bakteri dapat ditemukan
dari lesi. Staphylococcus aureus dan coagulase-negative-staphylococcus
adalah yang peling sering diisolasi. Namun, bakteri lain termasuk
Streptococcus, basil gram negaif, dan anaerob, juga dapat ditemukan.
- Merokok
Perokok paling sering ditemukan pada penderita hidradenitis suppurativa
dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Satu studi kohort menunjukkan
bahwa 70% dari 43 pasien dengan hidradenitis suppurativa perineal
adalah perokok. Diperkirakan bahwa merokok dapat mempengaruhi
kemotaxis sel polymorphonuclear. Penghentian merokok dapat
memperbaiki manifestasi klinis penyakit ini.
62
B. PATOGENESIS
Regio axilla dan inguinoperineal adalah regio yang paling sering
terkena HS, regio lain yang juga biasa terkena HS adalah areola mammae,
regio submamary, periumbilicalis, scalp, fasialis, meatus ekternal auditori,
leher dan punggung.7
Kelenjar apokrin tersusun atas kelenjar keringat yang memanjang dari
dermis ke jaringan subkutan. Masing-masing kelenjar terdiri atas komponen
sekretori yang dalam dan melingkar yang mengalir melalui duktus eksketorius
yang lurus dan panjang, biasanya menuju folikel rambut. Sekresi dari kelenjar
ini berbau.7
Walaupun penyebab yang jelas dari HS masih belum diketahui dengan
jelas, telah disepakati secara umum bahwa semua berawal dari oklusi apokrin
atau duktus folikuler oleh sumbatan keratin, yang menyebabkan dilatasi
duktus dan stasis komponen glandular. Bakteri memasuki sistem apokrin
melalui folikel rambut dan terperangkap di bawah sumbatan keratin yang
kemudian bermultiplikasi dengan cepat dalam lingkungan yang mengandung
banyak nutrisi dari keringat apokrin. Kelenjar dapat ruptur, sehingga
menyebabkan penyebaran infeksi ke kelenjar dan area sekitarnya. Infeksi
Strptococcus, Staphylococcus, dan organisme lain menyebabkan inflamasi
lokal yang lebih luas, destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses
penyembuhan yang kronis menimbulkan fibrosis luas dan sikatrik hipertrofi
pada kulit di atasnya.7 (gambar 1)
63
Gambar 1. Patogenesis Hidradenitis suppurativa7
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis hidradenitis suppurativa yang paling sering adalah
lesi nodular, nyeri, lunak, dan tegas di ketiak. Keluhan yang sering dikatakan
oleh penderita adalah gatal dan nyeri. Mula-mula gatal, lalu timbul nodus
merah dan nyeri. Dapat lebih dari satu kelenjar sehingga tampak berbenjol-
benjol dan saling bertumpuk tidak teratur. Kemudian terjadi pelunakan yang
tidak serentak, disebut abses multipel. Jika abses pecah keluar sekret tanpa
mata. Karena perlunakan tidak serentak dan kelenjar yang bertumpuk-tumpuk,
sekret yang keluar sedikit-sedikit menimbulkan sinus dan fistel.4
Hidradenitis suppurativa biasanya diawali dengan nodul dalam (ukuran
0,5-2 cm) (gambar 2). Pustul juga dapat terlihat. (gambar 3). Nodul ini dapat
sembuh secara lambat atau justru berkembang dan bergabung dengan nodul
disekitarnya serta dapat terinfeksi sehingga menghasilkan abses inflamasi
nyeri yang besar. Abses ini bulat tanpa nekrosis sentral dan dapat sembuh atau
fuptur spontan, menghasilkan discharge purulen (gambar 4).5,7
64
Gambar 2. Bisul besar pada area genitalia wanita yang menderita hidradenitis
suppurativa5
Gambar 3. Pustul dan papul inflamasi yang terdapat pada area yang terkena
hidradenitis suppurativa pada pasien laki-laki5
65
Gambar 4. Abses yang ruptur mengeluarkan material purulen pada individu yang
menderita hidradenitis suppurativa5
66
Gambar 5. Sikatriks dengan fibrosis5 Gambar 6. Double ended comedone5
Gambar 7. Pembentukan sinus pada daerah vulva seorang wanita yang menderita
hidradenitis suppurativa5
67
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk hidradenitis
suppurativa. Kultur dari eksudat yang diambil dapat menumbuhkan berbagai
bakteri saprofit dan patogen seperti staphylococcus dan streptococcus. Pada
pemeriksaan laboratorium pasien dengan lesi HS akut dapat memperlihatkan
peningkatan laju endap darah atau C-reactive protein. Bila pasien tampak
toksik atau demam, pemeriksaan darah lengkap, kultur darah, kultur eksudat,
dan kimia rutin perlu dilakukan.4,5
E. DIAGNOSIS BANDING
Adanya papul, nodul, atau abses nyeri pada lipat paha dan axilla dapat
didiagnosis banding sebagai: furunkel, karbunkel, limfadenitis, cat-scratch
disease, limfogranuloma venerum, scrofuloderma. Adanya sinus dan fistula
dapat didiagnosis banding dengan colitis ulserativa dan enteritis regional.4,8
F. DIAGNOSIS
Diagnosis HS secara primer dibuat berdasarkan karakteristik klinis dan
telah memenuhi kriteria yang diadopsi oleh 2nd International Conference on
Hidradenitis suppurativa. Kriteria hidradenitis supurativa tersebut antara lain:6
1. Lesi tipikal seperti nodul dalam yang nyeri: “blind boils” pada lesi awal;
abses, sinus, bridged scars,dan double-ended pseudo-comedones pada lesi
sekunder.
2. Topografi tipikal seperti axillae, paha dan regio perianal, bokong, lipatan
infra dan inter mamary
3. Kronik dan rekuren
Keparahan penyakit dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkat untuk
masing-masing area berdasarkan klasifikasi Hurley, suatu sistem sederhana
namun statis dan tidak sesuai untuk penilaian keparahan secara global.
Sementara itu, Sartorius score dan versi modifikasinya mempertimbangkan
sejauh mana penyakit, jumlah, dan tingkat keparahan lesi secara individual.
68
Klasifikasi Hurley:9
Tingkat Karakteristik
A
B
69
Gambar 9. (A) dan (B) Tingkat II klasifikasi Hurley
A B C
Gambar 10. (A), (B), dan (C). Tingkat III klasifikasi Hurley
G. PENATALAKSANAAN
Hidradenitis suppurativa bukanlah penyakit infeksi yang simpel, dan
antibiotik sistemik hanyalah merupakan bagian dari program
70
penatalaksanaannya. Kombinasi dari pengobatan glukokortikoid intralesi,
pembedahan, antibiotik oral, dan isotretinoin perlu digunakan.8
Tujuan penatalaksanaan pasien adalah untuk mencegah perkembangan
lesi primer juga resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit sekunder seperti
sikatriks atau pembentukan sinus. Lesi yang timbul paling awal sering kali
sembuh dengan cepat dengan pemberian terpai steroid intralesi, dan sebaiknya
dicoba untuk memulai kombinasi dengan cleocin topikal atau tetracycline atau
minocycline oral.2,5
Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat digunakan
triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamcinolone (3-
5 mg/mL) intralesi yang diikuti insisi dan drainase cairan abses. Antibiotik
oral yang dapat digunakan adalah erythromycin (250-500 mg qid), tetracycline
(250-500 mg qid), atau minocycline (100 mg 2 kali sehari) hingga lesi
sembuh, atau kombinasi klindamisin 2 x 300 mg bid dengan rifampin (300 mg
2 kali perhari) selama beberapa minggu. Prednison dapat diberikan bila nyeri
dan inflamasi sangat berat dosisnya 70 mg perhari selama 2-3 hari, diturunkan
(tappered) selama 14 hari. Pemberian isotretinoin oral tidak bermanfaat pada
penyakit yang kronis namun bermanfaat pada awal penyakit untuk mencegah
sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan eksisi lesi.8
Pencucian teratur tiap hari dengan sabun antibakteri dan pemberian
clindamycin topikal penting untuk pencegahan. Mengurangi gesekan dengan
menggunakan pakaian longgar dan penurunan berat badan bila diperlukan, dan
mencegah timbulnya keringat berlebih dengan menggunakan aluminium
klorida topikal. 2,5
Pada kondisi adanya draining sinus, kultur dari pus mungkin akan
menunjukkan S. Aureus atau organisme gram negatif. Pemilihan antibiotik
harus didasarkan pada sensitivitas kultur organisme. Isotretinoin efektif pada
beberapa kasus. Pada suatu studi diberikan isoretinoin dengan dosis 0,56
mg/kg selama 4 sampai 6 bulan. 2,5
Pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang terlibat adalah
modalitas pengobatan. Rekurensi postoperatif dapat terjadi. Pembedahan yang
71
dilakukan dapat berupa insisi dan drainase abses akut, eksisi nodul fibrotik
atau sinus. Pada penyakit yang luas dan kronis, dibutuhkan eksisi komplit
pada axilla atau area yang terlibat. Eksisi mungkin mendalam hingga lapisan
fascia sehingga dibutuhkan skin grafting untuk penutupannya. Beberapa
peneliti menyarankan penggunaan laser CO2 untuk ablasi jaringan. Penutupan
primer, grafting, atau flaps telah digunakan secara luas, namun mungin
berhubungan dengan hasil yang tidak begitu baik.5,8
Radioterapi. Beberapa peneliti melaporkan kesuksesan radioterapi
dalam pengobatan HS. Lebih sering diberikan pada populasi pasien muda.
Efek samping jangka panjang perlu diperhatikan. 5
H. PROGNOSIS
Keparahan penyakit ini sangat bervariasi. Banyak pasien hanya
mengalami gejala ringan yang rekuren, dapat sembuh sendiri, sehingga tidak
berobat. Penyakit ini biasanya mengalami remisi spontan pada usia > 35
tahun. Pada beberapa individu, gejalanya dapat menjadi progresif, dengan
morbiditas nyata terkait pada penyakit kronis, pembentukan sinus, dan
sikatriks yang menimbulkan keterbatasan gerak.8
I. KOMPLIKASI
Komplikasi sistemik yang dapat terjadi antara lain disebabkan oleh
infeksi lokal yang dapat menimbulkan septikemia. Anemia atau leukositosis
dapat terjadi namun tidak signifikan. Komplikasi lokal dapat berupa sikatriks
yang membatasi mobilitas. Inflamasi genitofemoral dapat mengakibatkan
striktur anus, uretra, atau rektum. Fistula uretra juga dapat terjadi. Selain itu,
dapat juga terjadi kecacatan persisten pada penis dan skrotum, atau limfedema
vulva yang menyebabkan kerusakan fungsi yang signifikan. Limfedema ini
diduga terjadi karena fibrosis dan obstruksi saluran limfe. Squamous cell
carcinoma (SCC) dapat terjadi pada area yang mengalami inflamasi dan
sikatriks kronis. SCC dilaporkan terjadi pada 3,2% pasien dengan perianal HS
72
yang terjadi selama 20-30 tahun. SCC sering terjadi pada pria di regio
anogenital.4,5,8
PARONIKIA
Paronikia adalah suatu reaksi peradangan mengenai lipatan kulit dan
jaringan di sekitar kuku. Biasanya disebabkan oleh trauma karena maserasi pada
tangan yang sering terkena air. Paronikia akut paling sering diakibatkan oleh
infeksi bakteri, umumnya Staphylococcus aureus atau Pseudomonas
aeruginosa, sedangkan, paronikia kronis disebabkan oleh jamur Candida
albicans.1
Paronikia ditandai dengan jaringan kuku menjadi lunak dan membengkak
serta dapat mengeluarkan pus (nanah), kuku bertambah tebal dan berubah warna.
Bila infeksi telah kronis, maka terdapat celah horizontal pada dasar kuku
biasanya menyerang 1-3 jari. Penyakit ini selain diderita pada orang-orang yang
tangannya lama terendam air, juga berkembang pada penderita diabetes dan
kekurangan gizi.1,2
Kasus paronikia lebih banyak terjadi pada wanita, pekerjaan bar, tukang
cuci dan kadang-kadang penyakit ini muncul pada anak-anak, khususnya yang
gemar menghisap jari tangannya. Setiap jari tangan dapat terkena, tetapi yang
lebih sering adalah jari manis dan jari kelingking.1,2
I. ETIOLOGI
Gejala pertama karena adanya pemisahan lempeng kuku dari
eponikium, biasanya disebabkan oleh trauma karena maserasi pada tangan
yang sering kena air. Celah yang lembab itu kemudian terkontaminasi oleh
coccus pyogenic atau jamur. Jamur yang tersering adalah Candida
albicans, sedang bakteri adalah Staphylococcus atau Pseudomonas
aeruginosa.3
II. PATOGENESIS
Faktor predisposisi utama yang dapat diidentifikasi adalah
pemisahan dari eponikium terhadap lempeng kuku. Pemisahan ini
73
biasanya disebabkan oleh trauma sebagai dampak dari kelembaban
maserasi pada lipatan-lipatan kulit terhadap keseringan tangan dalam
keadaan basah. Alur yang lembab pada kuku dan lipatan kuku menjadi
daerah serbuan oleh coccus pyogenic dan ragi. Bakteri kausatif biasanya
berupa Staphylococcus Aureus, Streptococcus pyogenes, Pseudomonas sp.,
Proteus sp., atau bakteri anaerob lainnya. Dapat juga disebabkan oleh
Candida Albicans.5
Sebagaimana yang diketahui, faktor risiko yang paling banyak pada
paronikia akut adalah trauma ringan pada kutikula atau lipatan kuku
seperti pada saat cuci piring, onycopagia (menggigit kuku), memotong
kuku, keadaan kuku yang mengalami pertumbuhan kedalam, dan proses
manicure. Dengan adanya trauma dapat menyebabkan inokulasi bakteri
sehingga terjadi infeksi.6
Hal ini sesuai dengan laporan kasus Riesbeck Christian yang
menunjukkan bahwa paronikia disebabkan oleh bakteri Prevotellabivia
yang merupakan bakteri anaerob gram negatif, dimana infeksi oleh bakteri
ini dihubungkan dengan infeksi pada saluran genital wanita dan khususnya
pada infeksi oral. Sedangkan pada kronik disebabkan oleh bakteri patogen
dan jamur yaitu Candida albicans. Paronikia akut sering terjadi pada
pekerja laundry, pekerja rumah tangga, cleaning service dan perenang.
Beberapa kasus menunjukkan adanya kolonisasi Candida albicans atau
bakteri lainnya pada lesi. Paronikia kronik juga merupakan suatu
komplikasi dari paronikia akut pada pasien yang tidak mendapatkan
pengobtan yang adekuat.7
Proses patologis inflamasi di daerah kuku terutama mempengaruhi
matriks, dasar kuku, hyponychium, dan lipatan kuku. Perubahan lempeng
kuku terjadi setelah inflamasi di daerah kuku tersebut. Karena anatomi
yang unik dari kuku, ada sejumlah pola reaksi yang memungkinkan untuk
terjadinya proses inflamasi. Pola-pola reaksi mungkin memiliki fitur yang
berbeda dari yang terlihat di kulit, karena kuku menghasilkan produk
berupa lempeng kuku. Beberapa proses inflamasi dari matriks kuku dapat
74
menyebabkan kerusakan irreversible. Di sisi lain, proses yang
mempengaruhi dasar kuku dan hyponychium yang tidak mempengaruhi
pembentukan plat, dapat mempengaruhi bentuk atau kelengketan pada
kuku. Bantalan kuku yang mengalami cedera sehingga terjadi metaplastik,
yaitu dengan beralih dari keratinisasi onycholemmal (tanpa butiran
keratohyalin) untuk keratinisasi epidermoid. Kemudian menjadi
hiperplastik, hiperkeratosis, parakeratosis, hipergranulosis, spongiosis, dan
pembentukan krusta eksudat. Proses ini mengarah pada berubahnya bentuk
dan pola lempeng kuku yang umum untuk beberapa penyakit yang
mempengaruhi dasar kuku, seperti psoriasis, onikomikosis dan paronikia.8
75
duri pada pinggir lekukan atau terkadang berasal dari infeksi sekunder
subungual sampai perdarahan.10
Infeksi dimulai pada bagian pinggir area paronikia dengan
kemerahan disekitarnya, bengkak dan nyeri. Pada fase ini, pengobatan
dilakukan: kompres basah (contohnya dengan menggunakan larutan
aluminium asetat Burrow) dan pengobatan antiobiotik sistemik yang
tepat juga diberikan. Karena pemberian antibiotik secara terus menerus
dapat menyembunyikan proses patologis yang semakin berkembang
sehingga dapat menyebabkan kerusakan struktur kuku, jika paronikia
akut tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas berupa respon yang
baik selama 2 hari, maka tindakan operasi harus dilakukan dengan
menggunakan anastesi lokal. Reaksi purulen dapat memakan waktu
beberapa hari utnuk melokalisir dan selama waktu tersebut nyeri yang
berdenyut sering menjadi gejala utama. Kumpulan pus dapat dengan
mudah terlihat pada kuku atau pada lipatan paronikial. Terkadang pus
dapat tumbuh pada bagian lekukan periungual. Dengan tidak
terlihatnya pus, kumpulan tersebut akan meningkatkan tekanan dan
lesinya di insisi pada daerah dengan nyeri yang hebat, tidak dilakukan
pada daerah dengan pembengkakan yang besar. 10
10
Gambar 2 - Paronikia akut kausa bakteri.
76
10
Gambar 3 - Paronikia akut kausa bakteri, tamapak pus disepanjang lipatan kuku lateral.
Gambar 4 - Lipatan kuku proksimal memerah dan edema disertai pus pada paronikia akut. 11
· Paronikia kronik
Paronikia kronik adalah penyakit inflamasi pada bagian proksimal
lipatan kuku, khususnya pada tangan yang terus menerus terpapar
dengan lingkungan yang lembab atau basah dan diikuti dengan trauma
minimal sehingga menyebabkan kerusakan pada lapisan kutikula.
Ketika kutikula rusak atau terkikis, pelindung epidermal pada lipatan
kuku proksimal melemah dan lipatan kuku kemudian akan lebih
mudah terpapar pada bahaya atau resiko lingkungan. Iritan dan alergen
akan dengan mudah penetrasi kebagian proksimal lipatan kuku dan
77
menimbulkan dermatitis kontak yang akan menuju pada inflamasi
kronik. Jenis dari reaksi hipersensitivitas cepat (tipe I) pada bahan-
bahan makanan dapat terjadi. Terkadang dapat didahului oleh reaksi
iritan.10
Paronikia kronik sangat umum terjadi, utamanya pada pasien
wanita dengan usia 30-60 tahun. Faktor utama dari penyakit ini adalah
karena sering terkena air dan kerusakan kutikula. Agen kausatif yang
sering ditemukan adalah candida albicans. Pasien dengan gejala yang
menetap lebih dari 6 minggu perlu dicurigai sebagai paronikia kronik.
Kuku cenderung kering, bengkak dan kemerahan tidak begitu nyata
pada paronikia kronik. Kuku tampak menebal dan berwarna pucat dan
bisa terpisah sehingga tampak ada ruang diantara kuku dengan nail
bed. 9
10
Gambar 5 - Paronikia kronik akibat paparan air terus menerus.
78
Gambar 7 - Perubahan warna pada lempeng kuku akibat Pseudomonas pyocyanea.2
79
Gambar 8 - Pewarnaan gram pada bakteri Staphylococcus Aureus.
· Biopsi Kuku
Ketika anamnesis dan pemeriksaan fisis saja tidak menghasilkan
diagnosis yang pasti, maka biopsi kuku harus dipertimbangkan untuk
dilakukan. Lokasi untuk dilakukan biopsi kuku tergantung pada bagian
mana dari struktur kuku yang terlihat patologis. Proses patologis pada
lempeng kuku paling sering terjadi di matrix kuku atau terdapat ruang lesi
pada lipatan kuku (Nail fold).13
Pemeriksaan mikrobiologi dapat juga membantu dalam
menegakkan diagnose pada penyakit ini. Kultur dari sampel yang diambil
dari tempat infeksi dapat membantu mengidentifikasi jenis bakteri yang
menyebabkan infeksi pada pasien tersebut dimana pada kasus paronikia
biasanya ditemukan bakteri Staphylococcus aureus.3,5
80
V. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Untuk
menentukan penyebabnya, dilakukan pembiakan pus di laboratorium. Pada
pasien dengan infeksi berat atau abses, dilakukan pengambilan spesimen
untuk mengidentifikasi bakteri patogen penyebab infeksi.6
VI. PENATALAKSANAAN
Paronikia akut
Pada kondisi ini dapat digambarkan sebagai kondisi lipatan kuku
yang menebal dan juga nyeri. Penatalaksanaan dari paronikia akut adalah
tergantung pada derajat peradangan yang terjadi, jika tidak terjadi abses,
cukup kompres dengan menggunakan air panas kemudian olesi dengan
Burrow’s solution (aluminium asetat). Acetaminophen atau obat anti
inflamasi non-steroid harus dipertimbangkan untuk digunakan bila
keadaan sudah menunjukkan gejala yang nyata. Pada kasus yang ringan
cukup diberikan antibiotik topikal, contohnya salep mupirocin (bactroban)
2-4 kali sehari selama 5-10 hari, salep gentamicin 3-4 kali sehari selama 5-
10 hari, bacitracin/neomycin/polymicin B (Neosporin) 3 kali sehari selama
5-10 hari, atau dapat juga dikombinasikan dengan kortikosteroid seperti
betamethason 0,05% 2 kali sehari selama 1-2 minggu merupakan
pengobatan yang aman dan efektif untuk paronikia akut. Untuk lesi yang
parah, pemberian antibiotik oral yang digunakan setelah dikompres pada
lesi. Pasien yang memiliki kebiasaan menghisap jari atau menggigit kuku
harus ditangani dengan antibiotik oral spectrum seperti amoxicillin 500 mg
3x1 selama 7 hari atau clavulanate 125 mg 2x1 selama 7 hari, clindamysin
150-450 mg 3-4x1 selama 7 hari, karena tidak menutup kemungkinan
bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri lainnya resisten terhadap
penicillin dan ampicillin.6
Paronikia kronik
Paronikia kronik dapat ditangani dengan perlindungan yang ekstra
pada bagian lesi. pengobatan anti jamur topikal yang berspektrum luas bisa
81
digunakan untuk mengatasi kondisi ini dan mencegah rekurensi. Aplikasi
dari emollient lotion yang diolesi pada daerah kutikel di tangan yang
terhadi peradangan, biasanya sangat berguna. Suatu percobaan pada orang
dewasa umur 45 tahun dengan paronikia kronik yang dialaminya,
melakukan pengobatan dengan kelompok antifungal sistemik seperti
Itraconazole (Sporanox) 200 mg 2x1 selama 7 hari atau terbinafen
(Lamisin) atau krim topikal steroid seperti metylprednisolon dalam 3
minggu, setelah 9 minggu dampak dari pengobatan topikal steroid baru
mulai terlihat. Kortikosteroid sistemik dapat digunakan pada paronikia
yang sudah terjadi inflamasi pada beberapa kuku jari.6
Pengobatan steroid pada paronikia kronik yang disebabkan oleh
jamur (Candida) sangat tidak efektif, sedangkan dengan topikal steroid
menjadi pilihan utama pada infeksi paronikia akut mengingat risiko dan
harga yang murah dibandingkan dengan pengobatan antifungal sistemik,
atau pengobatan kombinasi topikal steroid dengan kelompok antijamur
dapat juga digunakan pada pasien dengan paronikia kronis yang sederhana
walaupun belum ada data yang akurat tentang ini. Penggunaan
kortikosteroid dapat juga digunakan pada kasus-kasus intralesi. Apabila
tindakan terapi yang diberikan tidak responsif, maka alternatid terakhir
dapat dilakukan dengan pembedahan.4,7
AKNE VULGARIS
82
head ), komedo terbuka ( black head ), papula, pustul, nodus, dan kista ( Brunner
& Suddarth, 2001 )
A. Etiologi
Penyebab yang pasti dari akne vulgaris ini belum diketahui dengan jelas
tetapi banyak factor yang berpengaruh yaitu ;
1. Sebun merupakan factor utama penyebab timbulnya akne .Akne yang
keras selalu disertai pengeluaran sebore yang banyak .
2. Bakteri, Mikroba yang terlibat pada terbentuknya akne adalah
Corynebacterium acnes,staphylococcus epidermis,
3. Herediter, Berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar palit ( kelenjar
sebasea) Bila orang tua mempunyai parut bekas acne kemungkinan besar
anaknya akan menderita acne.
4. Hormon, Hormon androgen memegang peranan yang penting karena
kelenjar palit sangat sensitive terhadap hormon ini .Hormon androgen
berasal dari kelenjar adrenalin yang menyebabkan kelenjar palit bertambah
besar dan produksi sebum meningkat.
5. Iklim, Akne bertambah hebat pada musim dingin sebaliknya
kebanyakanmembaik pada musim panas.
6. Psikis, Pada beberapa penderita ,stress dan gangguan emosi dapat
menyebabkan eksaserbasi acne.
7. Kosmetika, Pemakaian bahan kosmetika tertentu ,secara terus menerus
dapat menyebabkan acne ringan.
83
minyak dan terjadi penyumbatan pada duktus pilosebaseus yang
menyalurkan sebum.
c) Komedo
Terdiri atas 2 jenis:
Komedo yang terbuka (blookhead) terlihat seperti pori-pori yang
membesar dan menghitam (yang berwarna hitam tersebut adalah
penyumbatan pori-pori yang berubah warna karena akumulasi lipid,
bakteri serta debris epitel ).
Komedo yang tertutup (whitehead) :adanya penumpukan sebum
dibawah kulit sehingga terlihat seperti tonjolan putih kecil.
Agne dibagi menjadi beberapa derajat :
· Derajat I: memiliki komedo , papula atau pustula yang kurang
dari 10 buah pada salah satu sisi wajah.
· Derajat II: 10 hingga 20 buah komedo, papula atau pustula.
· Derajat III:25 hingga 50
· Derajat IV:lebih dari 50
C. Patofisiologi
Selama usia kanak –kanak, kelenjar sebasea berukuran kecil dan pada
hakekatnya tidak berfungsi, kelenjar ini berada dibawah kendali endokrin,
khususnya hormon - hormon androgen. Dalam usia pubertas, hormon androgen
menstimulasi kelenjar sebasea dan menyebabkan kelenjar tersebut membesar serta
mensekresikan suatu minyak alami ,yaitu sebum yang merembas naik hingga
puncak folikel rambut dan mengalir keluar pada permukaan kulit.
Pada remaja yang berjerawat, stimulasi androgen akan meningkatkan daya
responsive kelenjar sebasea sehingga akne terjadi ketika duktus pilosebaseus
tersumbat oleh tumpukan sebum. Bahan bertumpuk ini akan membentuk komedo.
D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari akne fulgaris ditandai dengan empat tipe dasar lesi :
Komedo terbuka dan tertutup, papula, pustule dan lesi nodulo kistik. Tempat
84
predileksi akne vulgaris yaitu pada muka, bahu, dada bagian atas, punggung
bagian atas, leher, dan lengan atas, kadang terkena erupsi kulit polimorfi. akne
vulgaris dapat disertai gatal dan nyeri.
Komedo merupakan gejala patognomonik bagi akne berupa papul miliar
yang ditengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam
mengandung unsur melanin sehingga disebut komedo hitam, sedang bila berwarna
putih karena letaknya lebih dalam sehingga tidak mengadung unsur melanin
disebut sebagai komedo putih atau komedo tertutup.
E. Pengobatan
85
Tindakan bedah kulit kadang diperlukan terutama untuk memperbaiki
jaringan parut akibat akne vulgaris yang berat. Tindakan ini dilakukan
setelah akne vulgarisnya sembuh.
Bedah skapel dilakukan untuk meratakan sisi jaringan parut yang
menonjol
Bedah listrik dilakukan pada komedo tertutup untuk mempermudah
pengeluaran sebum
Bedah kimia dengan asan triklor asetat untuk meratakan jaringan parut
yang berbenjol.
Dermabrasi untuk meratakan jaringan parit yang hipo dan hipertrofi
pasca akne yang lias.
F. Pencegahan
86
· Hindari polusi debu.
· Hindari pemencetan.
Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan suatu penyakit yang ditandai
dengan bengkak kemerahan pada kulit yang tampak seperti terbakar (scald), makanya ia
dinamakan staphylococcal scalded skin syndrome.1 SSSS disebabkan oleh pelepasan dua
eksotoksin (toksin epidermolitik A dan B) yang berasal dari strain toksigenik bakteri
Staphylococcus aureus. Desmosom adalah merupakan sebagian dari sel kulit yang
bertanggungjawab sebagai perekat kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada
molekil di antara desmosom dikenali sebagai Desmoglein 1 dan kemudiannya memisah
sehingga kulit menjadi tidak utuh. 2
SSSS juga dikenali sebagai Penyakit Ritter’s atau Penyakit Lyell’s apabila ia muncul
pada bayi atau anak-anak.1,2
Epidemiologi
SSSS lebih sering muncul pada anak-anak dibawah 5 tahun, biasanya pada neonatus.
Antibody pelindung terhadap eksotoksin staphylococcal biasanya didapat ketika usia
anak-anak yang menjadikan SSSS lebih jarang terjadi pada remaja dan dewasa.
Kurangnya imunitas spesifik terhadap toksin dan system renal clearance yang immature
(toksin biasanya dikeluarkan dari tubuh lewat ginjal) menjadikan neonatus sebagai yang
palin berisiko.
Individu dengan immunokompromi dan individu dengan gagal ginjal, tanpa mengira
umur, bisa juga berisiko menndapat SSSS.
Patofisiologi
SSSS bermula dari infeksi staphylococcus yang memproduksi 2 eksotoksin (toksin
epidermolitik A dan B). kedua-dua toksin ini menyebabkan pemisahan intraepidermal ke
lapisan granular oleh desmoglein 1 yang merupakan protein desmosomal yang memediasi
pelekatan sel-sel keratinosit dalan lapisan granular sehingga akhirnya menyebabkan kulit
menjadi tidak utuh.
Pembawa dewasa yang asimtomatik memaparkan bakteri kausatif ini di tempat penjagaan
anak. Pembawa S aureus lewat nasal yang asimtomatik muncul 20-40% pada orang sehat,
yang mana organisma tersebut terisolasi di tangan, perineum dan axilla dalam proporsi
kecil dari seluruh populasi.
Gambaran Klinik
SSSS biasanya dimulai dengan demam, gelisah dan kemerahan meluas pada kulit. Dalm
wakti 24-48 jam terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan. Benjilan-benjolan ini mudah
pecah, dan meninggalkan kesan yang tampak seperti terbakar.
Karakteristik lesi termasuklah:
• Bulla-bulla besar di axilla, skrotum dan lubang-lubang tubuh seperti hidung dan telinga.
• Bintik-bintik kemerahan menyebar ke bagian tubuh yang lain seperti lengan, kaki dan
87
trunkus. Pada neonatus, lesi sering pada area popok atau sekeliling tali pusat.
• Lapisan atas kulit mulai mengelupas, meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah
dan nyeri.
Simptom-simtom lain adal seperti nyeri di area sekitar tempat infeksi, kelemahan dan
dehidrasi.
Pengobatan
Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap, antibiotik intravena umumnya
diperlukan untuk mengeradikasi infeksi staphylococcal. Antibiotik yang biasa digunakan
adalah flucloxacillin. Berdasarkan respon terapi, antibiotik oral bisa diganti setelah
beberapa hari. Terapi suportif lain adalah :
• Paracetamol bila perlu untuk demem dan nyeri
• Mempertahankan intake cairan dan elektrolit
• Penjagaan kulit
HERPES
A. DEFINISI UMUM
Herpes merupakan infeksi kulit kelamin yang disebabkan oleh virus yang
ditularkan melalui hubungan seks. Terkadang ditemukan juga pada mulut penderita
karena yang bersangkutan melakukan oral seks dengan penderita herpes.
1. Herpes Simpleks
2. Herpes Genitalis
3. Herpes Zoster
B. MACAM-MACAM HERPES
1. HERPES SIMPLEKS
a. Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh
adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
88
eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat
berlangsung baik primer maupun rekurens.
b. Etiologi
c. Patofisiologi
89
virus menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan
menyebabkan limfadenopati.
d. Manifestasi Klinis
Infeksi primer herpes simpleks pada penderita usia muda yang baru
pertama kali terinfeksi virus ini dapat menyebabkan reaksi lokal dan
sistemik yang hebat. Manifestasinya dapat berupa herpes labialis.
Dalam waktu 24 jam saja, penderita sudah mengalami panas tinggi (39-
40 oC ), disusul o leh pembesaran kelenjar limfe submentalis,
pembengkakan bibir, dan lekositosis di atas 12.000/mm3, yang 75-
80%nya berupa sel polimorfonuklear. Terakhir, bentuk ini diikuti rasa
sakit pada tenggorokan. Insidens tertinggi terjadi pada usia antara 1-5
tahun. Waktu inkubasinya 3-10 hari. Kelainan akan sembuh spontan
setelah 2-6 minggu.
2. herpes gingivostomatiti s
90
Bentuk herpes ini terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 3
tahun, dimulai dengan herpes gingivostomatitis berat. Jenis ini dapat
mengenai paru-paru dan menimbulkan viremia masif, yang berakibat
gastroenteritis disfungsi ginjal dan kelenjar adrenal, serta ensefalitis.
Kematian banyak terjadi pada stadium viremia yang berat.
e. Penatalaksanaan Medis
91
area pada wanita yang positif HSV. Vaksin untuk mencegah infeksi HSV-2
sekarang sedang diteliti.
f. Pencegahan
2. HERPES GENITALIS
a. Definisi
b. Etiologi
Penyebabnya adalah virus herpes simpleks. Ada 2 jenis virus herpes simpleks
yaitu HSV-1 dan HSV-2. HSV-2 biasanya ditularkan melalui hubungan seksual,
sedangkan HSV-1 biasanya menginfeksi mulut. Kedua jenis virus herpes
simpleks tersebut bisa menginfeksi kelamin, kulit di sekeliling rektum atau
tangan (terutama bantalan kuku) dan bisa ditularkan kebagian tubuh lainnya
(misalnya permukaan mata). Luka herpes bisanya tidak terinfeksi oleh
bakteri, tetapi beberapa penderita juga memiliki organisme lainnya pada luka
tersebut yang ditularkan secara seksual (misalnya sifilis atau cangkroid).
92
c. Patofisiologi
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala
awal biasanya berupa gatal, kesemutann dan sakit. Lalu akan muncul bercak
kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang
terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang
melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan
membentuk keropeng. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam berkemih
dan ketika berjalan akan timbul nyeri.
Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan
parut.
Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk
kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka
bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan hubungan
seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di sekitar anus
atau di dalam rektum.
93
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari infeksi HSV tergantung pada tempat infeksi, dan
status imunitas host. Infeksi primer dengan HSV berkembang pada orang
yang belum punya kekebalan sebelumnya terhadap HSV-1 atau HSV-2, yang
biasanya menjadi lebih berat, dengan gejala dan tanda sistemik dan sering
menyebabkan komplikasi.
1. infeksi oro-fasial
2. infeksi genital
3. infeksi kulit lainnya
4. infeksi okular
5. kelainan neurologist
6. penurunan imunitas
7. herpes. neonatal
e. Penatalaksanaan
Sampai sekarang belum ada obat yang memuaskan untuk terapi herpes
genitalis, namun pengobatan secara umum perlu diperhatikan, seperti:
a) menjaga kebersihan lokal, b) menghindari trauma atau faktor pencetus.
Penggunaan idoxuridine mengobati lesi herpes simpleks secara lokal sebesar
5% sampai 40% dalam dimethyl sulphoxide sangat bermanfaat. Namun,
pengobatan ini memiliki beberapa efek samping, di antaranya pasien akan
mengalami rasa nyeri hebat, maserasi kulit dapat juga terjadi. Meskipun tidak
ada obat herpes genital, penyediaan layanan kesehatan anda akan
meresepkan obat anti viral untuk menangani gejala dan membantu mencegah
terjadinya outbreaks. Hal ini akan mengurangi resiko menularnya herpes pada
partner seksual. Obat-obatan untuk menangani herpes genital adalah:
a) Asiklovir (Zovirus)
Pada infeksi HVS genitalis primer, asiklovir intravena (5 mg/kg BB/8 jam
selama 5 hari), asiklovir oral 200 mg (5 kali/hari saelama 10-14 hari) dan
94
asiklovir topikal (5% dalam salf propilen glikol) dsapat mengurangi lamanya
gejala dan ekskresi virus serta mempercepat penyembuhan.
b) Famsiklovir
c) Valasiklovir (Valtres)
adalah suatu ester dari asiklovir yang secara cepat dan hampir lengkap
berubah menjadi asiklovir oleh enzim hepar dan meningkatkan bioavaibilitas
asiklovir sampai 54%. Oleh karena itu dosis oral 1000 mg valasiklovir
menghasilkan kadar obat dalam darah yang sama dengan asiklovir intravena.
Valasiklovir 1000 mg telah dibandingkan asiklovir 200 mg 5 kali sehari selama
10 hari untuk terapi herpes genitalis episode awal.
f. Pencegahan
3. HERPES ZOSTER
a. Definisi
Herpes zoster disebut juga shingles. Di kalangan awam populer atau lebih
dikenal dengan sebutan “dampa” atau “cacar air”. Herpes zoster merupakan
infeksi virus yang akut pada bagian dermatoma (terutama dada dan leher) dan
saraf. Disebabkan oleh virus varicella zoster (virus yang juga menyebabkan
penyakit varicella atau cacar/chickenpox.
b. Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella zoster . virus varicella zoster
terdiri dari kapsid berbentuk ikosahedral dengan diameter 100 nm. Kapsid
95
tersusun atas 162 sub unit protein–virion yang lengkap dengan diameternya
150–200 nm, dan hanya virion yang terselubung yang bersifat infeksius.
Infeksiositas virus ini dengan cepat dihancurkan oleh bahan organic, deterjen,
enzim proteolitik, panas dan suasana Ph yang tinggi. Masa inkubasinya 14–21
hari.
c. Patofisiologi
Pada episode infeksi primer, virus dari luar masuk ke tubuh hospes
(penerima virus). Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan DNA
hospes, mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan
kelainan pada kulit. Virua akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke
ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten. Infeksi hasil
reaktivasi virus varicella yang menetap di ganglion sensori setelah infeksi
chickenpox pada masa anak – anak. Sekitar 20% orang yang menderita cacar
akan menderita shingles selama hidupnya dan biasanya hanya terjadi sekali.
Ketika reaktivasi virus berjalan dari ganglion ke kulit area dermatom.
d. Manifestasi Klinis
a. Pengobatan
1) Pengobatan topical
· Pada stadium vesicular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok kalamin
untuk mencegah vesikel pecah
· Bila vesikel pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan larutan
antiseptik atau kompres dingin dengan larutan burrow 3x sehari selama
20 menit
· Apabila lesi berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep
antibiotik (basitrasin / polysporin ) untuk mencegah infeksi sekunder
selama 3x sehari.
2) Pengobatan sistemik
96
atau parenteral. Pemberian lebih efektif pada hari pertama dan kedua pasca
kemunculan vesikel. Namun hanya memiliki efek yang kecil terhadap
postherpetic neuralgia. Antiviral lain yang dianjurkan adalah vidarabine (Ara–A,
Vira–A) dapat diberikan lewat infus intravena atau salep mata. Kortikosteroid
dapat digunakan untuk menurunkan respon inflamasi dan efektif namun
penggunaannya masih kontroversi karena dapat menurunkan penyembuhan
dan menekan respon immune. Analgesik non narkotik dan narkotik diresepkan
untuk manajemen nyeri dan antihistamin diberikan untuk menyembuhkan
priritus.
1) Bila nyeri masih terasa meskipun sudah diberikan acyclovir pada fase akut, maka
dapat diberikan anti depresan trisiklik ( misalnya: amitriptilin 10–75 mg/hari)
2) Tindak lanjut ketat bagi penanganan nyeri dan dukungan emosional merupakan
bagian terpenting perawatan
3) Intervensi bedah atau rujukan ke klinik nyeri diperlukan pada neuralgi berat
yang tidak teratasi.
e. Pencegahan
Untuk mencegah herper zoster, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
pemberian vaksinasi. Vaksin berfungsi untuk meningkatkan respon spesifik
limfosit sitotoksik terhadap virus tersebut pada pasien seropositif usia lanjut.
Vaksin herpes zoster dapat berupa virus herpes zoster yang telah dilemahkan
atau komponen selular virus tersebut yang berperan sebagai antigen.
Penggunaan virus yang telah dilemahkan telah terbukti dapat mencegah atau
mengurangi risiko terkena penyakit tersebut pada pasien yang rentan, yaitu
orang lanjut usia dan penderita imunokompeten, serta imunosupresi.
97