Anda di halaman 1dari 35

KEARIFAN LOKAL PINISI SEBAGAI

BUDAYA MARITIM NUSANTARA DALAM


UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER
GENERASI MUDA YANG ISLAMI

Diajukan untuk Mengikuti Lomba

Penulisan Karya Ilmiah Remaja Pendidikan Agama Islam Siswa SMA/SMK

yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementrian Agama RI

Tahun 2016

Oleh :

AHMAD KURNIAWAN

SMA NEGERI 12 BULUKUMBA

KABUPATEN BULUKUMBA

DIREKTORAT PENDIDIKAN AGAM ISLAM


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM
KEMENTRIAN AGAMA ISLAM

TAHUN 2016
ii
iii
ABSTRAK

Ahmad Kurniawan 2016. Kearifan Lokal Pinisi Sebagai Budaya Maritim Nusantara Dalam
Upaya Pembentukan Karakter Generasi Muda Yang Islami..

Pinisi adalah warisan budaya yang telah menjadi kebanggaan nasional yang telah
sukses melakukan pelayaran yang bersejarah. Pinisi nusantara berhasil tampil di Expo 1986 di
Vancouver Canada, yang membuktikan bahwa ketangguhan Pinisi tidak dapat diragukan lagi
dalam mengarungi samudera yang luas. Penduduk luar negeri pun terkagum-kagum dan ikut
mengakui kehebatan karya anak bangsa dari kecamatan Bonto Bahari kabupaten Bulukumba
Sulawesi Selatan. Kesuksesan tersebut membuat nama Indonesia melambung tinggi dimata
dunia di bidang atau di sektor maritim.
Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam proses pembuatan perahu pinisi yang dapat membentukan karakter generasi
muda yang islami dan Untuk mengetahui Implementasi nilai-nilai budaya yang terkandung
dalam proses pembuatan perahu pinisi terhadap pembentukan karakter generasi muda yang
islami.
Pembuatan perahu Pinisi merupakan budaya kearifan lokal yang diwariskan oleh
nenek moyang pembuatnya dan dilestarikan keberadaannya agar tetap terjaga. Pinisi dibuat
dari serpihan-serpihan papan dengan peralatan yang sederhana atau tradisional seperti kapak,
gergaji, cangkul, palu kayu, pahat, gergaji besar, bor, ketang, pisau, singkolo, parang, catok,
dan palu kayu besar dengan ditambah ritual-ritual tertentu. Keberadaannya pun banyak
mengandung makna simbol dan filosofi . beberapa waktu belakangan, karya ini telah menjadi
karya yang spektakuler dengan ciri khas tertentu yaitu dua tinag dan tujuh layar, namun
perahu jenis ini sudah kurang dijumpai.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) yang
bersifat deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara,
dokumentasi dan studi literatur.
Nilai-nilai budaya yang dapat membentuk karakter generasi muda yang islami dalam
pembuatan perahu pinisi yaitu: religious, kerja sama, gotong royong, disiplin, tekun, saling
menghargai, kesabaran, ketelitian, kepemimpinan, adil, dan kecerdasaan.
Cara pengimplementasian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan lokal
pinisi yang dapat membentuk karakter generasi muda yang islami ialah dengan cara
mengintegrasikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan lokal pinisi kedalam
pendidikan karakter Sekolah Menengah Atas.

Kata kunci : Kearifan lokal, Pinisi, Budaya Maritim dan Pendidikan Karakter.

iv
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Sebagai refleksi rasa kehambaan yang tulus dari lubuk hati yang terdalam seorang
insan manusia yang kecil, terucap ungkapan puja dan puji ke hadirat sang kreator Allah Swt,
yang telah memberikan kelebihan akal kepada manusia seunggal karunia terbesar di samping
karunia lainnya yang tak mampu ternilai dan terdeteksi keseluruhannya oleh mesin teknologi
secanggih apapun juga. Kemudian shalawat dan salam senantiasa penulis sanjungkan
kepangkuan seorang pemuda yang telah membawa manusia dari alam kegelapan ke alam
yang kaya dengan ilmu pengetahuan, sebagai pelita dan penerang di tengah kegelapan,
Dialah Nabi besar Muhammad Saw.
Untuk ucapan penulis selanjutnya secara jujur harus saya katakan bahwa kata yang ada
terlalu miskin bahkan tak cukup untuk menggambarkan perasaan saya sesungguhnya terhadap
orang-orang yang telah begitu banyak memberikan bantuan dan pengorbanan baik secara
moril maupun materil hingga dengan izin-Nya proposal ini bisa terwujudkan.
Dengan senantiasa mengharapkan rahmat dan ridho Allah Swt. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Kepala Sekolah SMAN 12 Bulukumba, Drs. Syamsurijal, M. Si. yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis
ilmiah ini tepat pada waktunya.
2. Bapak pembimbing Sufri Asmin, S.Si., S.Pd., M.Si. telah meluangkan waktunya tanpa
mengenal lelah dalam memberikan bimbingan dan bantuan dalam penyusunan karya ini.
3. Bapak dan Ibu guru SMAN 12 Bulukumba yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan selama proses pembelajaran.
4. Kedua Orang Tua tercinta, penulis ucapkan terima kasih yang tak henti-hentinya atas doa
dan dukungannya selama ini.
Penulis sadari untuk semua pengorbanan yang diberikan tak mungkin bisa terbalas
hanya dengan selembar kata pengantar ini.
Akhir kata yang bisa penulis lakukan hanyalah memohon doa, semoga jerih payah
yang diberikan kepada penulis mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dihadapan Sang
Pencipta, Allah Swt.
Amin ya Rabbul Alamin.
Bulukumba, 02 November 2016

Penyusun
v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR ORISINALITAS KARYA ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
ABSTRAK iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penelitian 2
D. Manfaat Penelitian 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 4
A. Budaya 4
B. Budaya Maritim 4
C. Perahu Pinisi 5
D. Pendidikan Karakter 6
E. Generasi Muda 8
BAB III. METODE PENULISAN 10
A. Waktu dan Lokasi Penelitian 10
B. Rancangan Penelitian 10
C. Jenis Penelitian 10
D. Teknik Penentuan Informan dan Responden 10
E. Instrumen Penelitian 11
F. Teknik Pengumpulan Data 12
G. Teknik Analisis Data 12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13

A. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam proses pembuatan perahu pinisi yang 14
dapat membentukan karakter generasi muda yang islami

vi
B. cara pengimplementasian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan
lokal pinisi yang dapat membentuk karakter generasi muda yang islami 21

BAB V. PENUTUP 24
A. Kesimpulan 24
B. Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 26
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 27

vii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Foto kegiatan.............................................................................. 25
2. Daftar Riwayat Hidup ……………………………………….. 26

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga
luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di
hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati urutan
kedua setelah Kanada. Sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia,
Indonesia sepantasnya memiliki strategi maritim yang baik. Kekuatan inilah yang merupakan
potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia.
Sebagai Negara kepulauan, Indonesia merupakan Negara yang memiliki potensi bahari
yang sangat melimpah. Sudah sejak dahulu pelayaran dan perdagangan berkembang dengan
menggunakan berbagai macam alat transportasi tradisional, salah satu alat transportasi yang
digunakan adalah perahu Pinisi. Pinisi merupakan kapal layar tradisional yang dibuat oleh
komunitas orang konjo-bugis Makassar dari Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba
Sulawesi Selatan.
Pinisi adalah warisan budaya yang telah menjadi kebanggaan nasional yang telah
sukses malakukan pelayaran yang bersejarah. Pinisi nusantara berhasil tampil di Expo 1986 di
Vancouver Canada, hal ini membuktikan ketangguhan Pinisi tidak dapat diragukan lagi dalam
mengarungi samudera yang luas. Penduduk luar negeri pun terkagum-kagum dan ikut
mengakui kehebatan karya anak bangsa dari kecamatan Bonto Bahari kabupaten Bulukumba
provinsi Sulawesi Selatan. Kesuksesan tersebut membuat nama Indonesia melambung tinggi
di mata dunia di bidang maritim.
Perahu Pinisi yang merupakan perahu kayu besar terakhir yang diproduksi di seluruh
dunia. Perahu Pinisi merupakan evolusi dari bentuk perahu kayu di Sulawesi Selatan sebelum
akhirnya menjadi bentuk yang demikian pada akhir abad ke-19. Pinisi dikenal sebagai salah
satu jenis perahu yang paling popular dengan tinggi perahu yang berkisar antara 35-50 m dan
panjang 40-60 m.
Perahu pinisi sudah sejak dulu menjadi aset pendapatan masyarakat Bonto Bahari.
Pengetahuan dan keterampilan pembuatan Pinisi tidak memiliki bahan tertulis, sehingga hal
tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu kearifan lokal yang dimiliki panrita lopi. Keahlian
masyarakat dalam membuat perahu pinisi diwariskan secara turun temurun dari generasi ke
generasi. Perahu ini memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yang umumnya
digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau.

1
Namun yang miris pada generasi sekarang ketika anak-anak dari sekolah, mereka tidak
lagi tertarik untuk membantu orang tua mereka membuat perahu pinisi. Akan tetapi mereka
lebih memilih menghabiskan waktunya dengan bermain bersama teman-teman mereka
ataupun menghabiskan waktunya dengan menonton, main game ataupun HP. Bahkan banyak
anak-anak remaja yang enggan untuk melestarikan perahu pinisi.
Padahal dalam proses pembuatan perahu pinisi terdapat banyak nilai-nilai budaya yang
dapat membentuk karakter generasi muda , mulai dari penebangan pohon sampai peluncuran
perahu semuanya memiliki ritual-ritual tertentu yang mengandung makna-makna simbolik.
Dan jika niai-nilai budaya tersebut diimplementasikan dalam diri generasi muda dapat
dijadikan sebagai pedoman untuk menjadi generasi muda yang berkarakter islami.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian
dengan judul “Kearifan Lokal Pinisi Sebagai Budaya Maritim Nusantara Dalam Upaya
Pembentukan Karakter Generasi Muda Yang Islami.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang akan diteliti, maka penulis menarik rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa saja nilai-nilai budaya yang terkandung dalam proses pembuatan perahu pinisi yang
dapat membentukan karakter generasi muda yang islami?
2. Bagaimana cara pengimplementasian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan
lokal pinisi yang dapat membentuk karakter generasi muda yang islami?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui nilai-nilai budaya yang terkandung dalam proses pembuatan perahu
pinisi yang dapat membentukan karakter generasi muda yang islami
2. Untuk mengetahui Implementasi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam proses
pembuatan perahu pinisi terhadap pembentukan karakter generasi muda yang islami

D. Manfaat Penelitian
Yang diharapkan dari seluruh rangkaian kegiatan penelitian serta hasil penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis

2
Manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa seluruh tahapan penelitian serta
hasil penelitian yang diperoleh dapat memperluas wawasan dan sekaligus
memperoleh pengetahuan empiric mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam
proses pembuatan perahu pinisi yang dapat membentuk karakter bangsa yang islami.
2. Manfaat Akademis
Manfaat akademis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian dapat
dijadikan rujukan bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan terkususnya pada
pengetahuan mengenai kebudayaan sebagai salah satu peninggalan sejarah yang
perlu diketahui dan dilestarikan. Secara ilmiah hasil penelitian ini bermanfaat
memberikan masukan kepada pemerintah dan memperkaya khasanah pengembangan
ilmu pengetahuan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga
dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local
knowledge” atau kecerdasan setempat “local genious”.
Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran
yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan
antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal berbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap
sangat universal.
Menurut Rahyono.(2009) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki
oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya,
kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum
tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada
masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang
keberadaan masyarakat tersebut.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakan pada level lokal di bidang
kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat
pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya
lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan system
kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut
dalam jangka waktu yang lama.

B. Budaya Maritim
Kata maritim diartikan, “connecting to sea or near the sea”. K a t a maritime ini
sendiri secara etimologis sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu maritimus atau Mare
yang artinya adalah laut. Disini dapat kita katakan bahwa sebuah susunan kata yang
didalamnya terdapat kata maritim itu berhubungan dengan laut.

4
Atas hubungannya dengan laut, kata maritim akan merujuk pada suatu
aktivitas yang dilakukan di laut, seperti pelayaran yang tujuannya entah untuk berdagang atau
mencari ikan. Melalui masing-masing arti kata dari kata penyusun “budaya maritim”,kita bisa
mendapatkan makna sebenarnya dari “budaya maritim” ini. Budaya merupakan keseluruhan
gagasan manusia yang mampu menghasilkan berbagai tindakan dan hasil karya. Bila kata
“maritim” menjadi penanda atas sebuah tempat yang letaknya dekat dengan laut atau lebih
sering kita kenal dengan pesisir. Seperti yang sudah dibahas bahwa budaya merupakan milik
kolektif karena budaya menjadi sebuah nilai yang disepakati dan dijalani secara bersama-
sama oleh sekelompok orang.
Di Indonesia sangat kaya dengan alam bawah laut dan ditambah lagi dengan
banyaknya pulau yang membentang dari sabang sampai merauke.oleh karena itu Indonesia
dikatakan negara maritim.Indonesia memiliki luas wilayah 58 km2 dan panjang garis pantai
95,181 km, sudah sepantasnya Indonesia memiliki strategi maritim yang baik. Jika dipetakan
di belahan bumi lain, luas wilayah Nusantara sama dengan jarak antara Irak dengan
Inggris(Timur-Barat) atau Jerman hingga Aljazair (Utara-Selatan). (Rusana, 2014).

C. Perahu Pinisi
Pinisi adalah warisan budaya yang telah menjadi kebanggaan nasionalisme. Pinisi
adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku
Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari desa Bira kecamatan Bonto Bahari Kabupaten
Bulukumba. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua
tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di
belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau.
Kapal yang istimewa ini dibuat oleh tangan-tangan ahli tanpa menggunakan bantuan
peralatan modern.Seluruh bagian kapalnya terbuat dari kayu dan dirangkai tanpa
menggunakan paku.Meskipun demikian, Kapal Pinisi telah membuktikan keistimewaannya
dengan menaklukkan samudera-samudera dan menjelajah negara-negara di dunia.Walaupun
terbuat dari kayu, kapal ini mampu bertahan dari terjangan ombak dan badai di lautan
lepas.Kapal Pinisi adalah satu-satunya kapal kayu besar dari sejarah lampau yang masih
diproduksi sampai sekarang.
Selain itu pada saat suksesnya pinisi nusantara yang bersejarah berhasil tampil di Expo
1986 di Vancoucer Canada, yang membuktikan bahwa ketangguhan pinisi tidak dapat
diragukan lagi dalam mengarungi samudra yang luas. Bahkan penduduk luar negeri pun
terkagum-kagum dan ikut mengakui kehebatan karya anak bangsa dari kecamatan Bonto
Bahari Kabupaten Bulukumba, provinsi Sulawesi Selatan ini.
5
Walaupun karya ini karya anak pedesaan namun keahlian membuat pinisi merupakan
budaya kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang pembuatanya dan dilestarikan
keberadaannya agar tetap terjaga. Pinisi dibuat dari serpihan-serpihan papan dengan peralatan
yang sederhana atau tradisional seperti kapak, gergaji, bingkung(cangkul), palu kayu, pahat,
gergaji besar, bor, ketam, bassi (pisau), singkolo, parang, klaim (Catok), dan saku‟(palu kayu
besar) dengan ditambah ritual-ritual tertentu. Keberadaannya pun banyak mengandung
makna, simbol dan filosofi. Beberapa waktu belakangan, karya ini telah menjadi karya yang
spektakuler dengan ciri khas tertentu yaitu dua tiang dan tujuh layar, namun perahu jenis ini
sudah kurang dijumpai.
Menurut Usman Pelly (1975) dalam bukunya Ara dengan perahu bugisnya
mengatakan bahwa pinisi adalah model layar yang tujuh helai yang berbeda dengan model
perahu Bugis lainnya. Ketujuh layar merupakan ciri utma perahu tersebut, tiga layar di depan
berbentuk segitiga terpasang antara anjong dengan tiang depan. Ketiga layar yang paling
depan disebut coccoro pantara, di tengah disebut coccoro tangnga, dan yang ketiga disebut
tarengke.
Pada dua tiang utama terdapat dua layar besar berbentuk trapesium, layar tengah yang
melekat pada tiang depan disebut sombala bakka dan di belakang disebut sombala riboko,
sedangkan dua buah layar yang berbentuk segitiga berda dipuncak kedua tiang disebut
tampasere.
Selanjutnya tujuh layar tersebut merupakan simbol tujuh ayat yang terdapat dalam
surah Al-Fatihah serta tujuh lapis langit, dan dua buahtiang layar disimbolkan sebagai dua
kalimat syahadat , tiga potong lunas (kalabiseang) dan dua buah linggi (sotting) merupkan
simbol lima rukun islam dan shalat lima waktu.

D. Pendidikan Karakter
Karakter berasal dari bahasa Yunan charassein yang berarti to engrave (melukis ,
menggambar) yang dapat diartikan sebagai tanda atau ciri khusus yang melahirkan pola
perilaku bersifat individual. Pendidikan karakter memiliki pengertian berbagai usaha yang
dilakukan oleh personil sekolah, bahkan dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan
anggota masyarakat untuk membantu anak-anak dan remaja agar memiliki sifat peduli,
berpendirian dan bertanggung jawab (Williams & Schnaps, 1999). Ketika seorang telah
melewati tahap anak-anak, mereka akan memiliki karakter yang dibentuk dari lingkungan
sekitarnya. Banyak anak-anak ketika masih sekolah dasar memiliki sikap yang baik, akan
tetapi ketika mulai beranjak remaja mereka cenderung memiliki karakter yang berbeda. Hal
ini tentu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan yang mendorong mereka merubah
6
karakter demi pengakuan dari orang-orang disekitarnya.
Pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action) (Wahyuni,2013). Menurut
Suyanto (2009) pendidikan karakter merupakan cara berfikir dan berperilaku yang menjadi
ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa maupun negara. Pendidikan karakter dapat menjadi solusi untuk
menghasilkan generasi muda yang memiliki pengetahuan dan sikap yang baik.
Pengembangan karakter moral memiliki beberapa aspek penting seperti pemecahan masalah,
pembuatan keputusan, dan penyelesaian konflik. Pendidikan karakter bukan hanya diajarkan
secara teori akan tetapi, siswa perlu diberikan kesempatan untuk mengalami sifat-sifat
tersebut secara nyata.
Berdasarkan pendapat Lickona (1993), pendidikan Karakter memiliki 7 alasan
perlunya disampaikan kepada siswa sebagai berikut. (1) Merupakan cara terbaik untuk
menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya; (2)
Merupakan cara untuk meningkatkan prestasi akademik; (3) Sebagian siswa tidak dapat
membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain; (4) Mempersiapkan siswa untuk
menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam; (5)
Berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan masalah moral sosial seperti ketidak
sopanan, ketidak jujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual dan etos belajar yang
rendah; (6) Merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja; dan
(7) Mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari peradaban.
Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik
didalam masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-
norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adatistiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Ada 18
butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu, religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab. (Liyuwanadefi, 2013).

7
E. Generasi Muda
Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami
perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga
pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik saat ini maupun masa datang.
Sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan generasi sebelumnya.
Secara internasional, WHO menyebut sebagai” young people” dengan batas usia 10-24
tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut ”adolescenea” atau remaja. Definisi yang kedua,
pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis
namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. (Mulyana. 2011)
Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Sedangkan menurut
draft RUU Kepemudaan, Pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 hingga 35 tahun.
Menilik dari sisi usia maka pemuda merupakan masa perkembangan secara biologis dan
psikologis. Oleh karenanya pemuda selalu memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi
masyarakat secara umum. Dalam makna yang positif aspirasi yang berbeda ini disebut
dengan semangat pembaharu.
Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan sebutan generasi
muda dan kaum muda. Seringkali terminologi pemuda, generasi muda, atau kaum muda
memiliki definisi beragam. Definisi tentang pemuda di atas lebih pada definisi teknis
berdasarkan kategori usia sedangkan definisi lainnya lebih fleksibel. Dimana pemuda/
generasi muda/ kaum muda adalah mereka yang memiliki semangat pembaharu dan
progresif.
Mulyana (2011) mengemukakan bahwa pemuda lebih dilihat pada jiwa yang dimiliki
oleh seseorang. Jika orang tersebut memiliki jika yang suka memberontak, penuh inisiatif,
kreatif, antikemapanan, serta ada tujuan lebih membangun kepribadian, maka orang tersebut
dapat dikatakan sebagai pemuda. Acuan yang kedua inilah yang pada masa lalu digunakan,
sehingga pada saat itu terlihat bahwa organisasi pemuda itu lebih banyak dikendalikan oleh
orang-orang yang secara usia sudah tidak muda lagi, tetapi mereka mempunyai jiwa pemuda.
Oleh sebab itu kelemahan dari pemikiran yang kedua itu organisasi kepemudaan yang
seharusnya digunakan sebagai wadah untuk berkreasi dan mematangkan para pemuda
dijadikan kendaraan politik, ekonomi, dan sosial untuk kepentingan perorangan dan
kelompok.
Lebih lanjut Mulyana (2011) mengemukakan bahwa selain didasarkan pada usia
pemuda juga dapat dilihat dari sifat/jiwa yang mengiringinya. Jika didasarkan pada sifat
maka pemuda mempunyai ciri-ciri :

8
1) Selalu ingin memberontak terhadap kemapanan. Hal ini lebih disebabkan karena pada usia
ini seorang pemuda sedang mencari identitas diri. Keinginan untuk diakui dan ingin
mendapatkan perhatian mendorong pemuda untuk berbuat sesuatu yang ”tidak biasa-biasa
saja dan sama dengan yang lain”. Ditinjau dari sisi positif perilaku ini akan memunculkan
kreatifitas, akan tetapi disisi lain akan muncul penentangan dari pihak lain khususnya pihak
orang dewasa yang sudah mapan.
2) Bekerja keras dan pantang menyerah. Sifat kedua ini berhubungan erat dengan sifat
pertama. Kerja keras dan pantang menyerah inilah yang mendorong pemuda berlaku
revolusioner. Perilaku revolusioner inilah yang memunculkan anggapan bahwa pemuda itu
tidak berpikir panjang sehingga akan berpotensi untuk menimbulkan konflik baik itu dengan
sesama pemuda maupun dengan orang tua.
3) Selalu optimis. Sifat ini sangat menunjang sifat kerja keras dan pantang menyerah. Sifat
optimis ini akan mendorong pemuda selalu bersemangat berusaha untuk mencapai cita-
citanya. Berdasarkan dua tinjauan tersebut, mendefinisikan pemuda itu tidaklah mudah. Hal
ini disebabkan karena tidak hanya dari sisi usia bahwa seorang individu dikatakan muda, akan
tetapi juga harus ditunjang oleh sifat/jiwa yang berbeda dengan golongan usia lainnya.
Seseorang yang berusia muda belum tentu dapat dikatakan pemuda jika sifat/jiwanya tidak
mencerminkan seorang pemuda. Demikian juga sebaliknya seseorang yang sudah tidak masuk
kategori muda secara usia belum tentu tidak mempunyai sifat/jiwa seperti pemuda pada
umumnya. Untuk lebih mudahnya definsi pemuda haruslah didasarkan pada usia yaitu usia
antara 13 sampai 35 tahun dan harus mempunyai sifat/jiwa pemberontak, pekerja keras,
pantang menyerah, serta selalu optimis.

9
BAB III
METODE PENULISAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-September 2016 di Desa Ara
Kabupaten Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan.

B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan
(field research), penelitian yang bersifat kualitatif.
Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data kualitatif. Data
kualitatif mencakup informasi-informasi atau uraian yang relevan seperti data tentang
nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pembuatan Pinisi dan data penunjang lainnya
yang didapat langsung dari para sumber informal atau sumber lain.

C. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan segala sesuatu yang mencakup pendekatan
yang digunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan deskriptif
kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang berupa pengamatan langsung
(observasi), wawancara, studi literatur, dan dokumentasi . Dengan pendekatan ini
diharapkan akan dapat membantu dalam mendapatkan variable-variabel penelitian secara
mendalam.

D. Teknik Penentuan Informan dan Responden


Dalam suatu penelitian masyarakat, ada dua macam perbedaan yang memiliki
arti penting dalam menyeleksi individu untuk dijadikan objek wawancara.
Dalam penelitian ini, teknik penentuan informan dan responden dilakukan secara
purposive (purposive), yaitu penentuan informan dan responden dilakukan dengan
pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini, penulis akan
menentukan sendiri dengan pertimbangan bahwa para informan tersebut memiliki
kemampuan yang baik dalam memberikan informasi/data terkait dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam pembuatan perahu pinisi yang dapat membentuk karakter generasi
muda yang islami . Sementara itu, para responden adalah orang-orang yang diwawancarai
untuk mendapatkan persepsi atau pandangan tentang cara melestarikan pembuatan pinisi.

10
Adapun latar belakang informan sebagai berikut :
Informan yang pertama ialah Muhammad Arief Saenong bekerja sebagai
sastrawan dan penulis buku tentang pinisi yang beralamat di Jalan Dato Tiro No. 8
Bulukumba Sulawesi Selatan. Pak arif, sapaan akrab beliau lahir di tengah komunitas
panrita lopi pada tanggal 14 juni 1942. Sampai saat ini beliau masih aktif menulis buku
tentang perahu pinisi.
Informan yang kedua ialah Muhammad Djafar berusia 85 tahun. Beliau adalah
seorang yang dijuluki “panrita lopi”, tokoh adat yang ahli membuat perahu yang
beralamat di Keluraha Tanah Beru Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba
Provinsi Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah satu saksi hidup dari pelayaran perahu
pinisi mengarungi samudra Hindia menuju Vancouver Canada. Beliau memperoleh
penghargaan langsung dari presiden Republik Indonesia pada tahun 2015 yaitu Pelestari
Teknologi Pembuatan Perahu Tradisional Sulawesi Selatan dan diundang secara khusus
ke istana negara untuk menerima penghargaan tersebut.
Informan yang Ketiga ialah Drs. Muhannis. Beliau adalah sorang budayawan
yang telah mendapatkan “Penghargaan Education Awards 2013”. Beliau beralamat di
Desa Ara Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan.
Informan yang keempat ialah Agmaludin. Seorang staf pada Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Bulukumba. Beliau memberikan informasi tentang perahu
pinisi dan cara pengimplementasian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan
lokal pinisi.
Informal yang kelima ialah H. Baso. Beliau adalah seorang mantan punggawa
perahu pinisi. Beliau adalah orang yang membuat perahu pinisi yang digunakan untuk
berlayar ke vancouver canada bersama pak Muhammad Djafar.

E. Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan berupa pedoman wawancara, yang didukung oleh
perekam suara, alat tulis, buku catatan dan kamera. Pedoman wawancra yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara yang tidak terstruktur secara ketat,
dalam artian bahwa penulis dapat menetapkan sendiri atau mengatur pertanyaan-
pertanyaan yang akan diajukan kepada para informan atau responden dengan
mempertimbangkan situasi yang terjadi pada saat wawancara berlangsung.

11
F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini terbagi dalam dua jenis
data :
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh penulis secara langsung dari lokasi
penelitian (Field Research) yang merupakan acuan utama dalam penulisan karya tulis
ini. Adapun data primer tersebut terbagi dalam dua jenis berdasarkan cara
diperolehnya data tersebut antara lain:
1. Observasi
Pada penelitian ini penulis mengumpulkan data melalui observasi partisipan yaitu
peneliti berfungsi sebagai partisipan, ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan
kelompok yang diteliti, baik kehadirannya diketahui atau tidak. Data
tersebut dilengkapi dengan dokumentasi pelaksanaan wawancara yang berupa
dokumentasi visual yaitu gambar atau foto-foto yang relevan dengan penelitian.
Observasi dilakukan langsung ketempat pembuatan perahu pinisi.
2. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Pengumpulan data juga dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap ahli
sejarah pinisi, penulis buku pinisi, serta beberapa panrita lopi.
3. Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mengumpulkan data dengan menggunakan dokumen-
dokumen yang telah ada baik dokumen yang berupa literature maupun dokumen
gambar.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh penulis melalui penelitian
kepustakaan (Library Research),yaitu pengumpulan data yang diperoleh
dari berbagai data yang berhubungan dengan penelitian berupa buku-buku, data
dari perpustakaan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah
penelitian.

G. Teknik Analisis Data


Teknik analasis data yang digunakan adalah metode deskriktif analisis. Metode
dekskriptif analisis adalah upaya untuk menafsirkan data-data yang sudah di teliti agar
diperoleh pemahaman dan pengertian yang sesuai dengan tema penelitian. Akan tetapi,
sebelum data-data kualitatif tersebut di analisis, terlebih dahulu dalam mekanismenya

12
data yang didapatkan diorganisir, kemudian dikelompokkan dengaan menggunakan
penalaran induktif dan deduktif.

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Nilai-nilai budaya yang dapat membentuk karakter generasi muda yang islami
dalam proses pembuatan perahu pinisi
Sebagai suatu karya budaya, pembuatan perahu pinisi tidak lepas dari tradisi dan nilai-
nilai budaya yang dianut sejak dahulu dan sampai kini masih tetap dijunjung tinggi. Demikian
pula keahlian membuat perahu pinisi sebagai suatu kepandaian tradisional, sampai kini masih
sarat akan nilai dan tradisi yang bersumber dari akar budaya pembuatnya. Seperti para panrita
lopi sebelum mereka menganut agama islam, mereka menganut kepercayaan animisme yang
menempatkan kesetiaan yang tinggi pada leluhur. Kepercayaan mereka kepada kekuatan roh
dan alam gaib, sampai sekarang masih berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari,
walaupun kini mereka telah menganut agama islam. Hal ini tampak jelas dalam kegiatan ritual
mereka dalam pertukangan perahu sebagai profesi mereka.
Muhammad Arief Saenong, seorang penulis buku yang berjudul Pinisi dalam
wawancara bersama beliau mengatakan bahwa “Pinisi sebuah karya yang menumental lahir
dari tangan-tangan yang dibesarkan oleh budaya. Pinisi bukan hanya sebuah alat transportasi
akan tetapi didalam proses pembuatannya mengandung nilai-nilai budaya yang dapat
membangun karakter bangsa yang dapat diterapkan dalam kehidupan”.
Pelly Usman (1975) dalam tulisannya Ara dengan Perahu Bugisnya mengatakan
bahwa Pinisi adalah model layar yang tujuh helai yang berbeda dengan model layar perahu
Bugis lainnya. Ketujuh layar yang merupakan cirri utama tersebut, tiga layar di depan
berbentuk segitiga terpasang antara anjong dengan tiang depan. Ketiga layar tersebut yang
paling depan disebut cocoro pantara, di tengah disebut cocoro tangnga, dan yang ketiga
disebut tarengke. Pada dua tiang utama terdapat dua layar besar berbentuk trapezium, layar
tengah yang melekat pada tiang depan disebut sambala bakka dan yang dibelakang disebut
sambala riboko, sedangkan dua buah layar yang berbentuk segitiga berada di puncak kedua
tiang disebut tampasere.
Selanjutnya tujuh layar tersebut merupakan simbol tujuh ayat yang terdapat dalam
surah Al-Fatihah serta tujuh lapis langit, dua buah tiang layar disimbolkan sebagai dua
kalimat syahadat, tiga potong lunas (kalabiseang) dan dua buah linggi (sotting) merupakan
symbol lima rukun islam dan shalat lima waktu. Selain disimbolkan pula bahwa perahu
adalah “manusia” dalam wujud perahu. Berdasarkan kepercayaan tersebut maka eksistensi
perahu dapat dipersamakan dengan manusia, oleh karena itu perahu dapat diidentikkan
dengan manusia sebab memiliki peran yang sama, yaitu sama-sama dilahirkan untuk
14
melakukan misi pelayaran. Manusia dilahirkan untuk misi pelayaran mengarungi samudera
kehidupan, sedangkan perahu lahir untuk melakukan misi pelayaran mengarungi lautan dan
samudera.
Unsur materi (jasad) manusia berasal dari tanah yang diproses di dalam rahim ibu
sampai lahir. Hal ini dijelaskan dalam Al-quran surah As-Shad ayat 71 yang artinya:
“Sesungguhnya aku ciptakan manusia dari tanah”. Adapun roh manusia ditiupkan sang Maha
Pencipta melalui Jibril. Pada perahu, unsur materinya juga berasal dari tanah, yaitu kayu yang
tumbuh dari tanah, kemudian diolah dan diproses di Bantilang sampai akhirnya menjadi
sebuah perahu. Selanjutnya panrita lopi percaya bahwa “roh” perahu bersumber dari mantra
yang ditiupkan pada dua upacara ritual pembuatan perahu, yaitu annatara dan ammossi. Oleh
karena itu perahu dapat diidentikkan dengan manusia sebab memiliki peran yang sama, yaitu
sama-sama dilahirkan untuk melakukan misi pelayaran. Manusia dilahirkan untuk misi
pelayaran mengarungi samudera kehidupan, sedangkan lahir untuk melakukan misi pelayaran
mengarungi lautan dan samudera.
Berdasarkan keyakinan tersebut, maka dalam pembuatan perahu harus disertai dengan
nilai-nilai tradisi yang bersumber dari akar budaya pembuatnya. Tradisi tersebut, baik berupa
aturan dan tata cara yang bersifat wujud (yang berkaitan dengan unsur teknik) maupun hal-hal
yang mengandung nilai magis yang diwujudkan dalam berbagai upacara ritual dalam
pembuatan perahu pinisi.
Dalam proses pembuatan kapal pinisi, mengandung nilai-nilai kearifan lokal atau
nilai-nilai budaya yang dapat membentuk karakter generasi muda yang islami. Nilai-nilai itu,
antara lain Religious, kerja sama, gotong royong, disiplin, tekun, saling menghargai,
kesabaran, ketelitian, kepemimpinan, adil, dan kecerdasaan.
1. Religious
Nilai regilius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan upacara agar
“penunggunya” tidak marah dan pindah ketempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak
diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin dalam do‟a ketika perahu akan diluncurkan
ke laut “Bismillahir Rahmanir Rahim, Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya,
kayunnako mukmamulhakim, laku sarang Nabi Haidir” yang artinya “Dengan nama Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena
hujan, kayu dari kekayuan dari Mukmanul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk
menjagamu”.
Jika nilai religious ini ditanamkan dalam diri generasi muda dapat menjadi suatu hal
yang dapat membentengi diri, karena nilai religious ini berkenaan dengan agama yang dapat
dijadikan pedoman hidup dimana nilai tersebut meliputi keimanan, ibadah, dan akhlak. Sikap
15
dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan agama lain.
Alah SWT berfirman :

              

83. Patutkah sesudah (mengakui dan menerima perjanjian) itu, mereka mencari lain dari
agama Allah? padahal kepadaNyalah tunduk taat sekalian makhluk Yang ada di langit dan di
bumi, sama ada Dengan sukarela ataupun terpaksa, dan kepadanya lah mereka
dikembalikan.
2. Kerja sama
Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan antara punggawa (kepala tukan atau
tukang ahli), para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi serta tenaga-tenaga
yang lainnya. Masing-masing mempunyai tugas tersendiri. Tanpa kerjasama yang baik, pinisi
tidak dapat terwujud dengan baik. Bahkan, bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah
terwujud.
Terjalinnya kerjasama antar generasi muda membuat segala pekerjan yang ingin
diselesaikan akan lebih mudah terselesaikan, kerjasama ini juga menghindarkan terjadinya
segala kejadia-kejadian negatif seperti perkelahian,tawuran dan sebagainya
Islam juga mengajarkan umatnya untuk saling kerja sama atau tolong-menolong dalam
kebaikan, seperti dalam firman allah dalam QS Al Maidah ayat 2

﴾٢ :‫ ﴿المائدة‬                

Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS.2 Al Maidah : 2)
3. Gotong royong
Yaitu bagaimana orang yang terlibat dalam pembuatan perahu mencerminkan karakter
gotong royong, karena para pembuat perahu bersama-sama bekerja agar dalam proses
pembuatan perahu pinisi dapat berjalan dengan lancar dan pinisi dapat diselesaikan tepat
waktu.
Selaras dengan kerja gotong royong ini, dengan yang dicontohkan dalam kitab suci Al
Qur‟an terdapat sebuah Surat AN NAML (Semut).
Allah s.w.t menyebut binatang Semut ini agar manusia mengambil pelajaran dan
hikmah dari kehidupan semut itu. Semut adalah binatang yang hidup berkelompok di dalam
tanah, membuat liang dan ruang bertingkat-tingakat sebagai rumah dan gudang tempat
16
menyimpan makanan. Kerapian dan kedisiplinan yang terdapat dalam kerajaan semut ini.
Secara tidak langsung Allah mengingatkan agar manusia berusaha mencukupkan kebutuhan
sehari-hari, mementingkan kemaslahatan bersama, tidak sombong, mampu berorganisasi dan
bekerjasama dengan baik dan tindakan terpuji lainnya.
4. Disiplin
Karakter yang tercermin dari para sawi ketika mereka bekerja yaitu datang tepat
waktu, karena para sawi biasanya bekerja mulai jam 6 pagi sampai menjelang magrib. Mereka
sangat menghargai waktu karena para sawi berhenti bekerja pada saat mereka istirahat, makan
dan melaksanakan ibadah (shalat). Selain dari itu mereka pergunakan waktunya untuk
bekerja.
Islam juga memerintahkan umatnya untuk selalu konsisten terhadap peraturan Allah
yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Huud ayat 112 :

             

Artinya: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Huud : 112)
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa, disiplin bukan hanya tepat waktu saja, tetapi
juga patuh pada peraturan-peraturan yang ada. Melaksanakan yang diperintahkan dan
meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Di samping itu juga melakukan perbuatan tersebut
secara teratur dan terus menerus walaupun hanya sedikit. Karena selain bermanfaat bagi kita
sendiri juga perbuatan yang dikerjakan secara kontinyu dicintai Allah walaupun hanya sedikit.
5. Tekun
Karakter ini tercermin pada saat pembuat perahu dengan rajin, keras hati, dan
bersungguh-sungguh dalam membuat perahu agar perahu yang dihasilkan memiliki kualitas
yang baik dan perahu yang dihasilkan sesuai dengan harapan. Jika karakter ini diterapkan
dapat menjadikan seseorang menjadi rajin dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan
sesuatu.
Islam juga mengajarkan umatnya untuk tidak berputus asa dan tekun dalam
mengerjakan sesuatu, seperti dalam Q.S. Yusuf ayat 87 yang berbunyi:

                   

 

17
Artinya: “……..dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Q.S. Yusuf
: 87).
6. Saling menghargai
Pemilik perahu menghargai amanah dari panrita lopi apabila tidak adanya sifat salaing
menghargai diantara mereka misalnya Tragedi tenggelammnya perahu pinisi Ammana Gappa
merupakan sebuah contoh yang patut disimak. Ketika perahu yang dibuat dengan konstrusksi
khusus itu dinakodai oleh M. Yunus (70 tahun-Alm.) dari Bira; betapa ganasnya terjangan
ombak Samudra Hindia, namun berhasil menembus dan selamat sampai di Madagaskar. Akan
tetapi dinakodai oleh pemilikya sendiri Michael Carr yang hanya menggunakan
otak/pengatahuan saja, terlebih lagi saaat beliau “memukul/meninju perahu” terjadilah suatu
pertentangan (seperti yang disebutkan diatas) yang paling mendasar dalam tradisi pelayaran.
Akibat dari “keangkuhanya” tersebut, berarti keharmonisan yang diatas sudah hilang.
Menurut keyakinan Punggawa maupun pelaut Bugis-Makassar, mala petaka sudah siap
menjemputnya dan ini telah dialami oleh pinisi Ammana Gappa. Michael Carr sebagai
penerima amanah lewat perahunya tidak mampu menjaga keharmonisan dengan panrita lopi
sebagai pemberi amanah dan saksinya ialah perahu tenggelam ditelan ganasnya ombak
(Mimbar karya, Minggu III Desemrber 1991).
Allah juga memerintahkan umatnya untuk saling menghargai, seperti dalam Q.S. Al
Hujarat ayat 11:

                    

                  

  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu
lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
(Q.S. Al-hujurat : 11).
7. Kesabaran

18
Disini Pemilik perahu harus sabar terhadap Punggawa apabila Pemilik perahu yang
marah dan mengumpat kepada punggawa merupakan pamali tertinggi (pantangan yang paling
mendasar dalam proses pembuatan perahu) yang tidak dapat diobati. Dalam hal ini tidak tidak
terdapat lagi keharmonisan anatara pemilik perahu (penerima amanah) dengan punggawa (ibu
perahu) dan tentu saja sebagi “ibu dari perahu” tidak akan rela “anaknya” dipergunakan oleh
orang lain yang pernah melukai hatinya. Ada tiga kemungkinnan yang buruk yang terjadi
apabila kejadian tersebut diatas benar-benar terjadi yaitu perahu tidak dapat didorong, cacat
sampai dilaut atau hanya sekali berlayar lalu tenggelam.
Didalam surat Ali „Imran ayat 200 juga diperintahkan untuk bersabar dan bertakwa
yaitu:

          

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
beruntung.” (Q.S. Ali „Imran : 200).
8. Ketelitian
Ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kapak atau
gergaji harus tepat pada arah urat kayu). Ketika karakter ini diterapkan manusia dapat bersifat
hati-hati, penuh perhitungan dalam berfikir dan bertindak, serta tidak tergesa-gesa dan tidak
ceroboh dalam melaksanakan pekerjaan. Sikap ketelitian sangat dibutuhkan dalam mencapai
hasil yang maksimal. Islam juga mengajarkan kepada setiap muslim untuk bersikap teliti
dalam setiap pekerjaan.
Allah tidak menyukai makhluknya yang bekerja dengan tergesa-gesa karena bisa
menimbulkan kesalahan dan kegagalan dalam mencapai suatu tujuan. Allah SWT berfirman
dalam Q.S. Al-Anbiya‟ ayat 37 yang berbunyi:

         

Artinya: “Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. kelak akan aku perIihatkan
kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya
dengan segera.” (Q.S. Al Anbiya‟ : 37).
9. Kepemimpinan
Bagaimana seorang punggawa mampu memimpin para sawi agar dalam proses
pembuatan perahu dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
oleh sang pemilik perahu saat perahu telah siap untuk berlayar.

19
Allah juga telah menjadikan seorang pemimpin yang dapat mengajak kejalan yang
benar, seperti dalam surat Al Anbiyaa‟ ayat 73:

              

 

Artinya: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan
kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka
selalu menyembah.” (Q.S. Al-anbiyaa‟ : 73).
10. Adil
Seorang punggawa harus mampu berlaku adil terhadap sawi misalnya dalam
pemberian upah kerena upah yang diberikan kepada sawi sesuai dengan tingkatan
kemampuan yang mereka miliki dan apabila Sawi merasa tidak diberi upah yang cukup oleh
punggawa maka mereka boleh protes terhadap punggawa terhadap upah yang diberikan.
Didalam al-qur‟an juga diperintahkan untuk berperilaku adil, dalam surat An Nahl
ayat 90:

               

  

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(Q.S. An Nahl : 90).
11. Kecerdasan
Ini tercermin pada seorang punggawa karena yang menjadi punggawa harus cerdas
dan mengetahui semua yang dikerjakan terhadap proses dalam pembuatan perahu selain dari
itu punggawa harus memiliki kemampuan lebih yaitu menguasi mantra-mantra dalam ritual.
Allah juga memerintahkan umatnya utnuk mempergunakan akal sebaik-baiknya yang
terdapat dalam Q.S. Al Maa-idah ayat 58 yang berbunyi:

             

20
Artinya: “dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka
menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-
benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (Q.S. Al Maaidah : 58).

B. Cara pengimplementasian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan lokal


pinisi yang dapat membentuk karakter generasi muda yang islami.
Menyebut pinisi, ingatan orang pasti mengarah kepada sebentuk karya cipta anak
manusia Ara yang konon adalah nama sebuah kawasan tempat lahir dan berkumpulnya
Panrita lopi yang keahliannya terkenal seantero dunia. Kampungnya menyembul di antara
bukit kapur yang gersang dan pantai landai di salah satu sudut Bulukumba yang keberadaan
karyanya sudah sangat mengkhawatirkan eksistensinya di muka bumi ini. Paling tidak bagi
pemerhati-pemerhati kebudayaan yang menghargai dan mengetahui akan keadiluhungan
karya cipta itu. Pinisi dengan segala identitasnya, begitu gagahnya berlayar diantara deretan
perahu-perahu bangsa lain yang telah bersama-sama mengarungi samudra entah telah berapa
tahun lamanya dan berapa tahun lagi sebelum punah. Tapi bagi sebagian orang, termasuk
petinggi-petinggi bangsa ini, sepertinya menganggap bahwa kepunahannya bukanlah sesuatu
yang perlu ditangisi, walau tentu tidak ada kemauan untuk memberangusnya diantara deretan
karya cipta bangsa ini yang telah mulai dilupakan dan dipinggirkan.
Muhammad Arief Saenong, seorang budayawan dan penulis buku tentang pinisi
mengatakan bahwa pinisi bukan hanya sekedar pudar pesonanya akan tetapi pinisi menuju
kepunahan padahal ini adalah suatu karya anak bangsa yang sangat fenomenal. Mengapa hal
tersebut terjadi? Karena sekarang ini tidak ada pribumi atau masyarakat Indonesia yang mau
memiliki perahu pinisi, hanya orang-orang luar negeri yang mau memilikinya. Masyarakat
dan pihak-pihak terkait seakan-akan tidak peduli dengan eksistensi dari perahu pinisi. Bahkan
masyarakat pribumi terkesan tidak bangga memiliki perahu pinisi sebagai warisan budaya
yang didalamnya terkandung banyak nilai-nilai karakter yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan lokal pinisi seharusnya
diintegrasikan kedalam pendidikan karakter Sekolah Menengah Atas. Hal ini didasari pada
kearifan lokal pinisi memiliki nilai yang dicanangkan dapat membentuk karakter generasi
muda yang islami.
Kearifan lokal pinisi sangat penting untuk dikenalkan kepada siswa sekolah menengah
atas. Hal ini didukung dengan masuknya materi kearifan lokal dalam kurikulum 2013 yang
dikeluarkan menteri pendidikan. Beberapa mata pelajaran telah disisipkan materi kearifan
lokal seperti sejarah, biologi, geografi dan muatan lokal. Berdasarkan hal tersebut
21
menunjukkan bahwa kearifan lokal pinisi dirasa cukup layak untuk dijadikan materi
pembelajaran karena selain memiliki nilai pengetahuan tetapi juga memiliki nilai-nilai yang
dapat membentuk karakter generasi muda yang islami.
Sistem pendidikan nasional sudah mengatur tentang pendidikan karakter. Melalui
Undang-undang no. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu pendidikan nasional
juga bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut sudah semestinya jika pendidikan karakter
diterapkan kepada siswa Sekolah Menengah Atas.
Siswa Sekolah Menengah Atas rata-rata berusia 15-18 tahun atau masuk kategori
remaja. Pada usia remaja, kecenderungan siswa untuk menjadi individu yang ingin diakui
lingkungan menjadi sangat besar. Hal ini berpengaruh pada perubahan karakter yang cukup
besar. Biasanya remaja cenderung lebih mendengarkan saran dari teman-temannya
dibandingkan dengan orang tua. Sehingga banyak remaja yang ingin mencoba-coba segala
sesuatu yang menurut mereka dapat diakui oleh lingkungannya. Kebiasaan yang biasanya
dilakukan adalah merokok, pacaran, membolos dan masih banyak yang lainnya.
Berdasarkan fakta-fakta yang sudah sering ditemui di lapangan menunjukkan pendidikan
karakter sangat dibutuhkan untuk mengendalikan perilaku remaja.
Kurikulum nasional melalui K13 sudah mencanangkan pendidikan karakter masuk
kedalam setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Akan tetapi, tuntutan mendapat nilai
kognitif yang tinggi menyebabkan penerapan pendidikan karakter kurang maksimal
disekolah. Menurut Muhtadi (2013) menyatakan bahwa ada 3 asumsi penyebab gagalnya
pendidikan karakter sebagai berikut: (1) Adanya anggapan bahwa persoalan pendidikan
karakter/ budi pekerti adalah persoalan klasik yang penanganannya adalah menjadi tanggung
jawab guru agama dan PKn; (2) Rendahnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam
mengembangkan dan mengintegrasikan aspek-aspek pendidikan karakter/budi pekerti ke
dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan; dan (3) Proses pembelajaran yang berorientasi
pada akhlak dan moralitas serta agama cenderung bersifat transfer of Knowledge dan kurang
diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-
hari.
Proses integrasi nilai-nilai kearifan lokal pinisi dalam pendidikan karakter yang islami
Sekolah Menengah Atas di dapat dilakukan untuk semua bidang studi. Dalam
22
mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal pinisi terhadap pendidikan karakter Sekolah
Menengah Atas tentunya guru harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa
SMA. Kearifan lokal pinisi yang diajarkan harus disesuaikan dengan materi/mata pelajaran
yang disampaikan dan metode yang digunakan dalam pembelajaran.
Sebagai generasi muda seharusnya lebih aktif dalam melestarikan kebudayaan
khususnya perahu pinisi dengan cara lebih giat mempelajari tentang nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam pembuatan perahu pinisi dan mensosialisasikan kepada generasi muda yang
lain.

23
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam proses pembuatan perahu pinisi yang
dapat membentuk karakter peserta didik yang islami ialah Religious, kerja sama,
gotong royong, disiplin, tekun, saling menghargai, kesabaran, ketelitian,
kepemimpinan, adil, dan kecerdasaan.
2. Cara pengimplementasian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan lokal
pinisi yang dapat membentuk karakter generasi muda yang islami ialah dengan
cara mengintegrasikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan lokal
pinisi kedalam pendidikan karakter Sekolah Menengah Atas.
B. Saran
Adapun saran dari hasil penelitian kami adalah sebagai berikut:
1. Agar nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pembuatan Pinisi tetap dipelihara
dan dijaga oleh masyarakat sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak
akan pernah pudar.
2. Agar pengimplementasian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan lokal
pinisi yang dapat membentuk karakter generasi muda diaplikasikan oleh setiap
sekolah.
3. Diharapkan kepada peniliti selanjutnya agar melakukan penelitian lebih lanjut
dengan lebih baik.

24
DAFTAR PUSTAKA

Arief Saenong, Muhammad. 2013. Pinisi Paduan Teknologi dan Budaya. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.

Asnan, Gusti. Budaya Maritim Nusantara dan Gerakan Kembali ke Laut. Padang: Jurusan
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.

Eka Prasetya. 2014. Ini Pidato Lengkap Jokowi di Atas Kapal Pinisi.www.merdeka.com

Gobyah. 2003. Pengenalan Kearifan Lokal Indonesia. Rineka Cipta: Jakarta.


http://www.e-jurnal.com/2013/10/pengertian-kebudayaan.html diakses pada tanggal
02 November-2016

Lickona, T.1996. Eleven principles of effective character education. Journal of Moral


Education, 25 (1), 93-100. (online) (http://www.character.org/uploads/PDFs/
ElevenPrinciples_new2010.pdf.) diakses pada tanggal 02 November 2016

Liyuwanadefi, shintia. 2013. Makalah: Pendidikan Karakter.

Muhannis. 2011. Karruq ri Bantilang Pinisi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Muhtadi, A. 2013. Implementasi pendidikan karakter dalam kurikulum sekolah.


(online)(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Implementasi%20Pendidikan%2
0karakter%20dalam%20kurikulum%20di%20sekolah.pdf.) diakses pada tangga 02
November 2016

Mulyana. 2011. Hakekat Pemberdayaan pemuda.

Pelly, Usman. 1975. Ara dengan Perahu Bugisnya. Ujung Pandang: Pusat Latihan Ilmu –ilmu
Sosial Unhas.

Ruzana. 2014. Aspek Sosial Budaya Maritim. Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Suyanto.2009. Urgensi pendidikan karakter.(online)


(http://www.mendikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html)diakses tanggal
tanggal 02 November 2016

Wahyuni, S. 2013. Keberagaman Dan Makna Nilai Kearifan Lokal Sebagai Sumber Inspirasi
Pembelajaran Seni Budaya Yang Berkarakter. Ikip PGRI Madiun

Williams, M., & Schnaps, E.1999 . Character Education: The foundation for teacher
education. Washington DC: Character Education Partnership. (online)
(https://searchworks.stanford.edu/view/4495248) diakses tanggal 02 November 2016

25
LAMPIRAN

Wawancara dengan seorang ahli pinisi sekaligus seorang panrita lopi.

26
SCAN KARTU PELAJAR

BIODATA PESERTA

Nama Lengkap : Ahmad Kurniawan


Tempat, Tanggal lahir : Bulukumba, 05 Maret 200
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor HP : 085-299-614-042
Email : kurniawana842@gmail.com

27

Anda mungkin juga menyukai