Anda di halaman 1dari 15

DISPENSING OLEH DOKTER PRAKTIK MANDIRI

Yordan Antonio Pote Leba*

2018.06.2.0028

Abstrack
Dispensing oleh dokter mandiri di Indonesia masih terjadi sampai saat ini dan suka
menjadi rahasia publik, meskipun telah tersedia apotek dan apoteker. Hal ini
dikarenakan kebiasaan yang masih terbawa sejak dulu yaitu satu paket
pemeriksaan dan pengobatan. Pelayanan obat yang merupakan tugas tenaga
kefarmasian dilakukan oleh dokter di praktiknya dengan alasan lebih praktis dan
pasien juga menginginkan hal tersebut. Sedangnya kegiatan Dispensing tersebut
bukan kewenangan dan kompetensi dokter melainkan tenga kefarmasiandan sudah
ada peraturan yang mengatur tindakan tersebut Peraturan yang ada tidak
sepenuhnya diikuti oleh tenaga kesehatan. Ketidakpatuhan tenaga kesehatan
terhadap peraturan tersebut. Tenaga Kesehatan masih banyak yang memberikan
pelayanan kesehatan diluar kewenangan profesinya salah satunya adalah memberi
pelayanan obat kepada pasien yang seharusnya merupakan kewenangan dari
tenaga kefarmasian. Dokter praktik mandiri masih ada yang melakukan
dispensing, yaitu memberikan pelayanan obat kepada pasien tanpa menggunakan
tenaga kefamasian. Kebiasaan ini terbawa sejak dahulu dimana dokter
menyediakan dan memberikan obat dilakukan sampai sekarang. Dokter
menganggap bahwa dirinya memiliki kewenangan untuk memberi obat, karena
saat pendidikan,dibekali ilmu tentang obat, menjadi alasan bagi dokter melakukan
dispensing. Dokter diberi kewenangan melakukan pelayanan obat berdasarkan
Pasal 35 ayat (1) huruf i dan j tentang Undang-Undang Praktek Kedokteran.
Berdasarkan pada ketentuan ini dapat dikatakan bahwa dokter dapat menyimpan
obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan serta meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien, bagi yang berpraktik di daerah terpencil dan tidak ada apotek.
Dokter diberikan kewenangan ini sesuai dengan pendidikan yang diperoleh dan
kompetensinya.
Kewenangan yang dimaksud disini adalah dokter dapat menyimpan obat selain
obat suntik sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien. Kewenangan ini telah
menjadi alasan dokter melakukan dispensing. Ditambah lagi, dokter praktik
mandiri yang melakukan dispensing berlindung pada Pasal 22 Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, selanjutnya
disebut Peraturan Pemerintah Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Tersedianya obat di tempat praktik dokter menjadi pertimbangan bagi pasien.
Adanya pelayanan obat di tempat praktik akan lebih praktis bagi pasien, apalagi
jika lokasi apotek dan tempat praktik cukup jauh. Dan obat yang diperoleh dari
dokter biasanya lebih murah dari harga apotek. Hal ini disebabkan karena apotek
harus memperoleh keuntungan dalam pelayanannya, karena apotek adalah bisnis.

Keyword : Dispensing, Dokter, Obat, Farmasi

Latar Belakang
Upaya peningkatan kualitas kesehatan manusia merupakan usaha yang sangat luas
dan menyeluruh. Pelayanan kesehatan dilakukan dengan tujuan mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya kesehatan di Indonesia terdiri dari
upaya promosi kesehatan melalui peningkatan pengetahuan (promotif), upaya
pencegahan (preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan
(rehabilitatif). Pelayanan obat sebagai bagian dalam upaya pelayanan kesehatan
adalah hal penting dalam upaya penyembuhan pasien. Peraturan tentang pelayanan
obat terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
(selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan) diikuti peraturan peraturan
pelaksana yang terkait dengan pelayanan obat. Menurut Undang-Undang
Kesehatan, pemberian obat dilakukan oleh tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya, seperti dokter, bidan atau perawat dengan syarat dan dalam
kondisi tertentu. Sebagaimana pada Pasal 108 Undang-Undang Kesehatan ayat (1)
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Kesehatan, yaitu:”Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.” Berdasarkan pengertian tersebut, upaya pelayanan kesehatan harus
diberikan kepada seluruh masyarakat hingga masyarakat yang memiliki ekonomi
rendah. Hal ini sesuai pada konsideran Undang-Undang Kesehatan, bagian
menimbang huruf b disebutkan bahwa: “Upaya pelayanan kesehatan merupakan
setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan.” Hak atas kesehatan bersifat
mutlak dan erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat diperlukan kesadaran, kemampuan dan upaya
peningkatan kesehatan 20 untuk hidup sehat bagi setiap orang. Karena itu, upaya
peningkatan kesehatan harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan.
Keberlangsungan pelaksanaan upaya pelayanan kesehatan tidak terlepas dari
tanggung jawab pemerintah. Sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang
Kesehatan disebutkan bahwa: “Pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab atas
penyelenggaraan upaya kesehatan.” Pasal 50 ayat (1) disebutkan bahwa:
“Pemerintah bertanggungjawab meningkatkan dan mengembangkan upaya
kesehatan.” Dari ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa pemerintah
mempunyai tugas untuk mengatur, membina dan mengawasi terselenggaranya
upaya pelayanan kesehatan. Di Indonesia telah banyak peraturan tentang profesi
kesehatan. Peraturan yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya akan disebut Undang-Undang Praktik
Kedokteran), kewenangan mengenai profesi tenaga kesehatan terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya
akan disebut Undang-Undang Tenaga Kesehatan), Undang-Undang Nomor 38
Tahun 2014 Tentang Keperawatan (selanjutnya disebut Undang-Undang
Keperawatan), Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464 Tahun 2010 Tentang
Izin Praktik Bidan. Seluruh ketentuan tersebut dibuat agar tiap tenaga profesi
kesehatan melakukan pelayanan kesehatan yang lebih 21 berkualitas, profesional
dan bertanggungjawab. Dengan demikian mutu pelayanan kesehatan yang
diterima masyarakat semakin baik. Peraturan yang ada tidak sepenuhnya diikuti
oleh tenaga kesehatan. Ketidakpatuhan tenaga kesehatan terhadap peraturan
tersebut. Tenaga Kesehatan masih banyak yang memberikan pelayanan kesehatan
diluar kewenangan profesinya salah satunya adalah memberi pelayanan obat
kepada pasien yang seharusnya merupakan kewenangan dari tenaga kefarmasian.
Dokter praktik mandiri masih ada yang melakukan dispensing, yaitu memberikan
pelayanan obat kepada pasien tanpa menggunakan tenaga kefarmasian.2
Kebiasaan ini terbawa sejak dahulu dimana dokter menyediakan dan memberikan
obat dilakukan sampai sekarang. Dokter menganggap bahwa dirinya memiliki
kewenangan untuk memberi obat, karena saat pendidikan,dibekali ilmu tentang
obat, menjadi alasan bagi dokter melakukan dispensing. Dokter diberi
kewenangan melakukan pelayanan obat berdasarkan Pasal 35 ayat (1) huruf i dan j
tentang Undang-Undang Praktek Kedokteran. Berdasarkan pada ketentuan ini
dapat dikatakan bahwa dokter dapat menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang
diizinkan serta meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang
berpraktik di daerah terpencil dan tidak ada apotek. Dokter diberikan kewenangan
ini sesuai dengan pendidikan yang diperoleh dan kompetensinya.
Kewenangan yang dimaksud disini adalah dokter dapat menyimpan obat selain
obat suntik sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien. Kewenangan ini telah
menjadi alasan dokter melakukan dispensing. Ditambah lagi, dokter praktik
mandiri yang melakukan dispensing berlindung pada Pasal 22 Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, selanjutnya
disebut Peraturan Pemerintah Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Tersedianya obat di tempat praktik dokter menjadi pertimbangan bagi pasien.
Adanya pelayanan obat di tempat praktik akan lebih praktis bagi pasien, apalagi
jika lokasi apotek dan tempat praktik cukup jauh. Dan obat yang diperoleh dari
dokter biasanya lebih murah dari harga apotek. Hal ini disebabkan karena apotek
harus memperoleh keuntungan dalam pelayanannya, karena apotek adalah bisnis.
Praktik dispensing oleh dokter terjadi juga di Waingapu Kabupaten Sumba Timur.
Dokter menyediakan dan memberikan pelayanan obat kepada pasien tanpa tenaga
kefarmasian, meskipun sudah tersedia apotek dan apoteker. Tindakan yang
dilakukan dokter kelihatannya memberi kemudahan kepada pasien yang datang ke
praktik dokter. Tetapi sebenarnya pelayanan obat di praktik dokter telah
melanggar ketentuan tentang pelayanan obat jika di Waingapu telah tersedia
apotek dan apoteker. Karena itu perlu menelaah motif para dokter yang masih
melakukan dispensing obat. Dispensing oleh dokter praktik mandiri berpotensi
mengakibatkan kerugian pasien. Keinginan dan faktor tertentu dapat
mempengaruhi dokter dalam memberikan obat kepada pasien. Penggunaan obat
yang tidak rasional dengan jumlah obat yang banyak (polifarmasi), justru
membuat pemborosan dana, kurangnya informasi efek samping atau interaksi obat
yang dikonsumsi pasien akan menimbulkan masalah terhadap proses
penyembuhan pasien.5 Kualitas obat yang tersedia di tempat praktik dokter
dispensing dapat dipertanyakan apabila dokter memperoleh obat dari sumber yang
tidak resmi. Pengadaan obat oleh dokter praktik telah diatur pada penjelasan Pasal
35 ayat (1) huruf I Undang-Undang Praktik Kedokteran Penjelasan tersebut dapat
diartikan bahwa obat yang disediakan di tempat praktik dokter dispensing harus
berasal dari apotek dengan izin 5 Lihat Lukman Hakim, 2015, Farmakokinetik
Klinik, Yogyakarta: Bursa Ilmu, hal. 242. 24 pengelola apotek. Seperti diketahui
bahwa pengadaan sediaan farmasi oleh apoteker diatur dalam Peraturan
Pemerintah Tentang Pekerjaan Kefarmasian, pada Pasal 6 ayat (3) disebutkan
bahwa: “Pengadaan sediaan farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu,
manfaat dan khasiat sediaan farmasi.” Karena itu, apoteker akan memesan obat
kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF).6 Ketentuan pengadaan obat mengacu
pada Pasal 20 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148 Tahun 2011 Tentang
Pedagang Besar Farmasi (PBF)
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diartikan bahwa pemerintah memiliki tujuan
agar obat yang terdapat dalam pelayanan kesehatan adalah obat yang bermutu dan
terjamin kualitasnya dan bermanfaat bagi pasien yang menggunakan obat. Tenaga
kefarmasian memiliki kompetensi dalam menjamin kualitas obat yang akan
diberikan kepada pasien. Informasi mengenai obat yang akan dipakai pasien
merupakan hal penting dalam proses penyembuhan. Dalam waktu yang singkat,
dokter
harus menjelaskan kepada pasien mengenai informasi obat yang akan diberikan.
Hal ini dapat mengakibatkan ada informasi obat yang tidak tersampaikan ke
pasien. Praktik dispensing akan mengakibatkan pasien kehilangan haknya untuk
mendapatkan informasi dan asuhan kefarmasian yang berperan dalam pencegahan
kesalahgunaan obat (drug misuse), penggunaan obat yang berlebih (drug overuse),
penyalahgunaan obat (drug abuse), dan efek-efek obat yang tidak diinginkan.8
Pekerjaan kefarmasian dan kedokteran telah dipisahkan sejak masa pemerintahan
Raja Fredrick II, dan ini juga terjadi di seluruh Negara. Dekritnya menyatakan
bahwa seorang tabib tidak boleh menguasai tempat penyimpanan obat atau
melakukan bentuk eksploitasi apapun terhadap penderita melalui hubungan bisnis
penjualan obat.9 Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada pasien semakin bermutu. Dasar dari pekerjaan kefarmasian
dirumuskan pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Dispensing oleh dokter yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
merupakan suatu pelanggaran secara hukum yang telah menyalahi moral atau etika
di dunia farmasi maupun kedokteran itu sendiri. Leenen dalam Titik Triwulan
Tutik menyatakan bahwa “dokter yang tidak memenuhi unsur-unsur standar
profesi kedokteran berarti melakukan suatu kesalahan profesi.” 10 Kesalahan
profesi ini telah menjadi permasalahan pada tenaga kesehatan yang berpraktik.
Pada tahun 2010, kesalahan ini telah menjadi masalah hukum. Kasus Misran yang
merupakan seorang perawat di Kuala Samboja Kalimantan Timur terkena tuduhan
telah memberikan pelayanan kesehatan dan pengobatan dengan menggunakan obat
daftar G yaitu obat keras terbatas, yang seharusnya diperoleh dari apotek melalui
resep dokter, misalnya antibiotik atau anti nyeri.11 Sanksi yang telah diberikan
kepada Misran berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan yang digantikan dengan Undang-Undang Kesehatan Tahun 2009 yaitu
Pasal 198 berupa sanksi pidana dengan denda. Misran dijatuhi hukuman penjara
oleh pengadilan Misran dipenjara selama 3 bulan, namun pada pengadilan Tinggi
Hakim memenangkan Misran. Kemudian Misran melakukan gugatan balik
terhadap Pasal 108 UndangUndang Kesehatan kepada Mahkamah Konstitusi,
karena pasal tersebut sangat membatasi secara tegas kewenangan tenaga kesehatan
lainnya ketika tidak ada tenaga kefarmasian.12 Mahkamah Konstitusi (MK) telah
membenarkan sebagian tuntutan Misran. Tuntutan Misran yang dibenarkan
terdapat pada Putusan Mahkamah Konstitusi 12/PUU-VIII/2010 Tentang Pasal
108 UndangUndang Kesehatan Keputusan MK tersebut seolah memberikan
kesempatan bagi para dokter untuk melakukan dispensing yang memiliki
pengetahuan tentang obat. Namun ketentuan ini sudah jelas membatasi bahwa
tenaga kesehatan boleh melakukan pelayanan obat jika tidak ada tenaga
kefarmasian. Dan ketentuan lain yang sudah ada dapat menjadi pebandingan dan
sekaligus alat kontrol untuk melindungi kepentingan masyarakat dari perbuatan-
perbuatan yang tidak profesional.
Keberadaan dokter dispensing di Waingapu menunjukkan bahwa putusan ini
belum dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter praktik mandiri di Waingapu.
Meskipun sekarang sudah terdapat apotek dan tenaga kefarmasian. Apakah
pelaksanaan dispensing di Waingapu mengikuti bentuk peraturan yang sudah
berlaku atau justru sebaliknya. Karena hal ini memberi pengaruh terhadap
keprofesionalan dalam menjalankan praktik. Pengawasan oleh oraganisasi profesi
dan pemerintah daerah melaui Dinas Kesehatan diperlukan untuk penegakan
hukum terhadap pelanggaran yang terjadi. Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan di atas, dengan mengambil judul
“Dispensing Oleh Dokter Praktik Mandiri”
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan
obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Anonima , 2004). Sebagai konsekuensi
perubahan orientasi tersebut, Tenaga kesehatan dituntut untuk meningkatkan
pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi
langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah
melaksanakan perubahan informasi, monitoring penggunaan obat dan mengetahui
tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik (Anonimb ,
2004). Di jaman sekarang penyimpanan ataupun pemberian obat bukan oleh
tenaga kefarmasian sudah bukan menjadi rahasia lagi tetapi penerapannya pada
kehidupan sehari-hari sering kita jumpai, padahal itu bukan merupakan
kewenanagan Dokter tersebut, ada beberapa faktor yang membuat keadaan
tersebut di anggap biasa sedangkan pada aturannya di larang, maka dari itu tenaga
kesehatan atau dokter yang melakukan dispensing harus memahami dan
menyadari kemungkinan pelanggaran yang terjadi. Oleh sebab itu, dokter dalam
menjalankan praktik harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya
hal tersebut. dokter harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya
dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional
(Anonimb , 2004). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peresepan yang salah,
informasi yang tidak lengkap tentang obat, baik yang diberikan oleh dokter
maupun 2 apoteker, serta cara penggunaan obat yang tidak benar oleh pasien dapat
menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pasien yang juga dapat
mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Kerugian yang dialami pasien mungkin
tidak akan tampak sampai efek samping yang berbahaya. Kerugian tersebut seperti
tidak tercapainya efek terapi yang diinginkan. Karena itu perlu diberikan perhatian
yang cukup besar untuk mengantisipasi dan atau mengatasi terjadinya kesalahan
peresepan (Zairina dan Ekarina, 2003). Menurut Hartayu (2003) tingginya tingkat
kesibukan dokter sehubungan dengan banyaknya pasien (rata-rata 60 pasien per
dokter) dapat menyebabkan kesalahan dalam penulisan resep obat. Menurut WHO
di Indonesia menyatakan tahun 2005 ditemukan bahwa 50 persen resep di
Puskesmas dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik. Sedangkan
survei nasional tahun 2009 menemukan bahwa antibiotik yang diresepkan ini
untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus seperti diare akut dan selesma
(flu), sebenarnya yang tidak membutuhkan antibiotik untuk pengobatannya.
Menurut indikator Indonesia Sehat 2010 yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
rasio ideal antara dokter umum dan pasien adalah 1 : 2.500. Banyak orang tak
menyadari bahwa kebutuhan tenaga medis sangat mendesak dan penting. Rasio
yang peduli masih sangat kecil, tak lebih dari 15 %. Padahal mereka yang bertugas
sebagai tenaga medis, memegang peran kunci dalam menjaga kualitas kesehatan
secara umum. Pemerintah sejauh ini hanya bisa memaksimalkan tenaga yang ada
dan berharap rumah sakit atau jasa pelayanan kesehatan lainnya secara mandiri
menyediakan tenaga medis agar rasionya ideal. (Anonim, 2003). 3 Pelayanan
farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang
menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam
Keputusan Menteri Kesehatan No.1197/MenKes/SK/X/2004 tentang Standar
pelayanan rumah sakit, disebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan pasien, penyediaan obat yang
bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi,
mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama drug oriented ke
paradigma baru patient oriented dengan filosofi pharmaceutical care (pelayanan
kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu
dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan obat dan
masalah yang berhubungan dengan kesehatan (Anonim, 2004).

Dispensing berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu to dispense, yang secara harfiah
berarti membagikan. Jadi apabila dokter dispensing obat, artinya dokter
membagikan obat kepada pasien. Namun di dalam praktiknya dokter tidak hanya
membagikan obat, juga menyimpan sejumlah obat di tempat praktik kedokteran
pribadinya.
Apabila dispensing obat kini dipermasalahkan, sebenarnya telah sangat lama
dipermasalahkan, lebih karena dipicu oleh telah diundangkannya UU no.29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UUPK) yang diberlakukan
tanggal 6 Oktober 2005, sebagian penegak hukum berpendapat, dengan
diundangkannya UUPK, maka sudah diatur segala hal yang ada hubungan dengan
praktik kedokteran, bahkan juga tentang dispensing obat secara keseluruhan,
pendapat ini jelas salah.
Masalah dispensing obat adalah masalah nasional, dari Sabang hingga ke Marauke
hampir seluruh dokter di daerah melakukannya, bahkan sebagian kecil dokter di
kota besar juga melakukan. Hal ini mencuat ke permukaan karena adanya upaya
penegakan hukum terhadap dispensing obat oleh sebagian aparat hukum di
beberapa tempat tertentu, yang menggunakan UUPK dan UU no.36 tahun 2009
tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UUK), sebagai dasar untuk melakukan
penegakan hukum.
Penanganan terhadap masalah dispensing obat harus diselesaikan secara bijaksana
dan menyeluruh, karena bukan hanya menyangkut tenaga kesehatan (dokter dan
apoteker), namun juga menyangkut masalah kebutuhan orang sakit. Yang sebagian
sangat besar menyangkut orang sakit yang kurang mampu secara ekonomi, yakni
golongan masyarakat yang untuk biaya berobat pun, seringkali berasal dari uang
pinjaman kiri dan kanan.
Pasien yang menggunakan jasa pelayanan praktik kedokteran yang berada di
daerah di mana pun juga di seluruh Indonesia, sampai saat ini sangat biasa
menerima pelayanan praktik kedokteran dengan sistem “paket”, yakni setelah
dilakukan pemeriksaan oleh dokter, akan sekaligus mendapatkan sejumlah obat-
obatan yang diperlukan oleh pasien berkaitan dengan proses pengobatan
penyakitnya.
Sistem “paket” ini, tentunya sangat memudahkan bagi pasien, karena pasien tidak
perlu pergi ke apotek untuk membeli obat, yang kadang-kadang letak apoteknya
cukup jauh dan bahkan bisa beberapa kilometer jauhnya dan selain lebih efisien
dari segi waktu, biasanya sistem “paket” itu lebih murah, karena biaya untuk
keuntungan apotek tidak perlu dibayar oleh pasien.
Dokter tidak boleh menyimpan persediaan obat dalam “jumlah banyak” di tempat
praktik, karena melalui Pasal 35 ayat (i) UUPK, dokter mempunyai wewenang
menyimpan obat dalam “jumlah & jenis yang dizinkan”; & bahkan melalui Pasal
yang sama, ayat (j), dokter mempunyai wewenang meracik & menyerahkan obat
kepada pasien di daerah terpencil yang tidak ada apotek. Artinya apabila dokter
boleh menyimpan obat, maka dokter boleh juga membagikan obat langsung
kepada pasien.

Proses pengobatan penyakit sudah sama lamanya dengan umur manusia, diawali
dengan cara yang tradisional, kemudian perkembangan ilmu kedokteran & ilmu
farmasi menyebabkan cara pengobatan dilakukan dengan cara yang modern, yakni
menggunakan metode pengobatan berdasarkan kedua Ilmu Pengetahuan modern
itu pula.
Awalnya hubungan tenaga kesehatan dengan orang sakit, tidak berdasarkan
kepada aturan-aturan hukum, lebih kepada aturan-aturan pengobatan, namun kini
dengan kemajuan jaman, hubungan antara tenaga kesehatan dengan orang sakit,
selain hubungan pengobatan, terbentuk pula hubungan hukum, yang diatur dengan
aturan-aturan hukum.
Pada waktu melakukan proses pengobatan dalam praktik pengobatan tradisional,
sang tenaga kesehatan setelah menentukan penyakit yang diderita orang sakit, lalu
tenaga kesehatan memberikan obat-obatan, bahkan pembuatan (peracikan) obat-
obatan dilakukan oleh tenaga kesehatan sendiri
Kemudian terjadi pemilahan dari pekerjaan tenaga kesehatan dan pekerjaan ahli
farmasi. Tenaga kesehatan (dokter) hanya menentukan apa penyakit yang diderita
pasien dan menentukan jenis obat yang diperlukan pasien, sedangkan pengadaan,
penyediaan dan distribusi obat-obatan dilakukan oleh apotek yang dikelola oleh
apoteker dan dibantu oleh asisten apoteker, yang telah mendapatkan pendidikan
formal di jurusan farmasi dan Sekolah Menengah Farmasi.
Bahwa pada mulanya apotek hanya didirikan di kota-kota besar, dalam arti di
daerah terpencil tidak pernah didirikan apotek, karena selain kurangnya tenaga
apoteker beserta asisten apoteker, juga untuk mendirikan apotek mengharuskan
adanya sediaan farmasi yang cukup beragam dan di samping itu tidak mungkin
sebuah apotek hanya melayani satu atau dua orang dokter saja, biasanya satu
apotek didirikan untuk melayani praktik kedokteran dari beberapa orang dokter.
Kini apotek telah banyak didirikan, bahkan sampai ke kota-kota kecamatan, yang
biasanya berbentuk apotek kecil dan ala kadarnya, namun dispensing obat oleh
dokter sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun
lamanya dan pasien sudah terlalu biasa dengan sistem “paket”.
Apabila dokter tidak boleh memberikan pelayanan praktik kedokteran dengan
sistem “paket”, hanya memberikan resep obat dan mempersilahkan pasien
membeli ke apotek, yang letaknya belum tentu dekat, maka alih-alih pasien
membeli obat ke apotek, pasien akan mencari insitusi yang lain yang pasti bukan
apotek, yang dapat memberikan pelayanan dengan sistem “paket”.
Dapat dipastikan, apabila suatu ketika masyarakat Indonesia sudah menjadi
makmur dari segi ekonomi, di mana biaya dokter dan biaya obat sudah bukan
masalah lagi, maka dokter tidak perlu dispensing obat, karena masyarakat yang
sudah makmur itu tahu cara pengobatan modern, yang memilah antara tenaga
kesehatan dan penyedia obat-obatan.

UUK melalui Pasal 108 Ayat (1) menentukan, bahwa praktik kefarmasian dalam
pengadaan, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan tertentu yang mempunyai keakhlian & kewenangan untuk itu & Ayat
(2) menentukan pengaturan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah
(PP). Kemudian ketentuan Pidana dalam UUK melalui Pasal 198, ditetapkan
tentang barangsiapa yang tanpa kewenangan dan keakhlian melakukan pekerjaan
seperti Pasal 108 Ayat (1), maka akan dikenakan sanksi pidana denda Rp.
100.000.000,-.
Kedua ketentuan ini, untuk dapat dilaksanakan membutuhkan Peraturan
Pelaksanaan, karena disyaratkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur
lebih lebih lanjut, PP tentang pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat
telah dibentuk yakni PP No. 72/98 tentang Pengaman Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan, yang memberikan hak kepada apotek untuk menyerahkan obat.
Ketentuan tentang apotek mengharuskan bahwa apotek harus dikelola oleh
seorang apoteker yang bekerja penuh waktu, jadi satu apotek satu apoteker, dan
dibantu oleh asisten apoteker sebagai pelaksana. Tidak dapat dipungkiri, bahwa
banyak apotek di kota kecil dan kecamatan yang jauh dari kota besar, yang
apotekernya tidak jelas ada di mana, hanya namanya saja yang tercantum di papan
nama apotek, sehingga apotek ada di bawah pengelolaan asisten apoteker saja.
Bahkan ada apotek yang tidak ada asisten apotekernya, sehingga yang
menyediakan dan memberikan obat, bukan lulusan Sekolah Menengah Farmasi.
Selain ketentuan itu, terdapat bermacam ketentuan lainnya tentang apotek yang
harus dipenuhi oleh pemilik apotek, apotek hanya boleh menjual obat bebas saja
secara langsung kepada konsumen, sedangkan obat yang ada dalam daftar tertentu,
hanya boleh diberikan kepada pasien atas dasar resep dari dokter.
Apotek yang melayani pembelian obat daftar tertentu (obat yang tidak dapat dijual
bebas) kepada orang sakit tanpa resep dokter, adalah perbuatan melanggar hukum
yang dapat dikenakan hukuman pidana.
Namun, banyak apotek yang tentunya tidak mungkin hanya melayani penjualan
obat bebas, agar persediaan obat yang ada di apoteknya tidak menjadi obat
kedaluarsa, maka apotek melakukan pelayanan praktik kedokteran sendiri, yakni
melayani permintaan orang sakit yang mengeluhkan penyakitnya pada asisten
apoteker (atau kepada apotekernya), mereka langsung menjual obat yang menurut
mereka “cocok” untuk menyembuhkan penyakit yang dikeluhkan oleh orang sakit
itu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan apotek akan menjual obat yang sudah
kedaluarsa kepada pasien, yang dapat saja terjadi karena ketidaktahuan pasien
tentang daluarsa obat-obatan. Belum lagi banyak diperjualbelikan obat-obatan
palsu oleh orang yang tidak bertanggungjawab, ditambah pula banyaknya beredar
obat-obatan yang tidak didaftarkan di Badan POM.
Masalah dokter dan apotek(er), adalah masalah sebab-akibat dan akibat-sebab,
yang memerlukan penyelesaian yang holistik, agar tidak ada pihak yang hanya
dirugikan atau hanya diuntungkan, sebaiknya semuanya mendapatkan keuntungan
sesuai dengan bagiannya, terutama tentunya jangan sampai kategori pasien tidak
mampu secara ekonomi yang dirugikan, di mana gajah dengan gajah bertengkar,
pelanduk mati di tengah-tengah.

Masalah dokter dan apotek(er) akan selesai kalau semua pihak mengikuti jalur
hukum, namun sekarang bagaimana caranya dilakukan pengaturan tentang
dispensing obat oleh dokter, sebab menyangkut hampir seluruh dokter di daerah?
Bisa saja, dokter dan apotek(er) keduanya patuh pada hukum, dilakukan
pembenahan, namun tidak semudah itu pembenahannya, banyak faktor yang akan
mempengaruhi pembenahan, sebagai misal masalah geografi, masalah kemiskinan,
masalah pedagang besar farmasi yang menjual obat langsung kepada dokter yang
faktur pembeliaannya dari salah satu apotek entah di mana, & masih segudang
masalah lainnya, semuanya masih memerlukan proses pembenahan yang sangat
panjang.
Penyelesaian secepatnya sangat dibutuhkan, karena apabila tidak diselesaikan
akan menyebabkan keresahan di kalangan tenaga kesehatan pada umumnya &
khsusunya para dokter. Akibatkan akan menyebabkan masyarakat terkena
dampaknya, dalam arti terjadi ketidakpastian hukum.
Sementara ini, sebelum adanya pengaturan yang mengatur tentang dispensing
obat, Kepala Dinas masing-masing daerah Kota atau Kabupaten, bersama-sama
dengan instansi terkait mengatur tentang pendelegasian wewenang dari lembaga
yang berhak mendistribusikan obat (apotek) kepada dokter.
Agar menjadi adil bagi semua pihak, maka perlu pengaturan bahwa dokter obat
akan membeli persediaan obatnya ke apotek(er). Apotek(er) tentunya memberikan
harga yang pantas, bukankah apotek hanya memesankan obat pesanan dari dokter
ke pedagang besar farmasi dan menyerahkan ke dokter, sehingga keuntungan yang
diambil cukup secara wajar saja
Masalah pengawasan tentunya sangat penting, kepatuhan dokter dan apotek(er)
terhadap hukum juga harus dilaksanakan, para pihak saling menghormati satu
dengan lainnya. Pedagang Besar farmasi pun harus memenuhi ketentuan hukum,
agar semua pihak tidak melanggar hukum lagi.
Bagi pihak yang melanggar ketentuan, patut diberi sanksi, namun sanksinya bukan
berupa sanksi penjara, karena tidak ada gunanya memenjarakan dokter, apoteker
atau pemilik pedagang besar farmasi, cukup berupa sanksi administratif, karena
yang terjadi adalah pelanggaran administratif, bukan kejahatan adminstratif, yakni
sanksi berupa teguran sampai dengan pencabutan izin praktik atau usaha.
Janganlah terjadi kriminalisasi dari dispensing obat, yang pada giliran akan
merugikan semua pihak.
Kesimpulan dan Saran

Literatur dan Pustaka

Afiyanti, Yati dan Imami, 2014, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta:


Kharisma Putra Utama Offset

Bahder Johan Nasution, 2005, Hukum Kesehatan, Pertanggungjawaban


Dokter, Jakarta: Rieneka Cipta

H. Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,

Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi


Ilmu Hukum, Bandung

Jimly, Assidiqqie,2011, Penegakan Hukum, Internet, Online, 21 Maret


2017, www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf

Lukman Hakim, 2015, Farmakokinetik Klinik, Yogyakarta: Bursa Ilmu


Lydianita Oscar, Mhamad Jauhar, 2016, Dasar-Dasar Manajemen Farmasi,
Jakarta: Prestasi Pustaka

Momon Sudarma, 2008, Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta: Salemba


Medik.

Risalah siding Miskan, Online, Internet, 15 juli 2019,


http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/risalah/risalah_
sidang_Per kara%20Nomor%2012.PUU-VIII.2010,%2016%20Juni%202010.pdf

S. Nasution, 2012, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Jakarta: Bumi


Aksara,

Suharsimi Arikunto, 1995, Prosedur Penelitian dari Teori ke Praktek,


Jakarta: Rineka Cipta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif


(Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers

Rahmaniatitia, Tinjauan Hukum Mengenai Dispensing Dokter, 15 juni


2019 http://dokumen.tips/documents/tugas-dokter-dispensing.html.

Titik Triwulan Tutik, Shinta Febriana, 2010, Perlindungan Hukum bagi


Pasien, Jakarta: Prestasi Pustaka Raya, hal. 45. 11ASP/ANW “MK tentukan Nasib
Misran, Mantri Desa yang Dipenjara Meski Bantu Warga,” Jakarta, 27 Juni 2011,
www.news.detik.com.

Tonny Sumarsono, 2015, Pengantar Studi Farmasi, Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai