Anda di halaman 1dari 10

OPTIMALISASI BENEFIT TERAPI BISOPROLOL PADA CARDIOVASCULAR

DISEASE CONTINUUM
-Fonny Cokro, S. Farm., M. Farm-Klin., Apt.-

PENDAHULUAN

Cardiovascular disease continuum (CVDC) merupakan suatu rangkaian proses kejadian


penyakit kardiovaskular, yang dimulai dari faktor risiko yang terdiri dari: dislipidemia,
hipertensi, diabetes mellitus merokok, dan obesitas abdominal. Jika faktor risiko ini tidak
ditangani secara dini, faktor risiko ini akan berkembang menjadi aterosklerosis, penyakit
jantung koroner, infark miokardium, hipertrofi ventrikular kiri atau left ventricular
hypertrophy (LVH), dilatasi ventrikular kiri yang menyebabkan disfungsi diastolik atau
sistolik ventrikular kiri, dan pada akhirnya dapat mengakibatkan gagal jantung dan kematian
(1,2). Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa 73% kematian di
Indonesia disebabkan oleh Non-communicable disease (NCD), dengan penyumbang
kematian paling banyak adalah penyakit kardiovaskular, yaitu sebesar 35% dari total kejadian
NCD, dan diperkirakan trend kejadian penyakit kardiovaskular ini akan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga perlu perhatian yang lebih besar dalam upaya
prevensi dan penanganan yang tepat (3).
Beta bloker digunakan pada berbagai tahapan pada rangkaian proses cardiovascular
continuum, mulai dari sebagai anti-hipertensi, terapi dalam penanganan angina stabil,
penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan fibrilasi atrium. Bisoprolol merupakan beta
bloker yang umum digunakan pada berbagai tahapan cardiovascular continuum tersebut
(4,5). Pada modul ini akan dibahas mengenai fungsi dan optimalisasi bisoprolol dalam
mencegah perkembangan penyakit kardiovaskular.
BERIKUTNYA

PROSES TERJADINYA CARDIOVASCULAR DISEASE CONTINUUM

Patofisiologi dari cardiovascular disease continuum melibatkan adanya proses stres oksidatif,
disfungsi endotel, proses inflamasi, dan remodeling vaskular yang menjadi faktor-faktor
penyebab dan berkembangnya proses aterosklerosis. Stres oksidatif terjadi ketika terdapat
peningkatan ROS yang menyebabkan penurunan aktivitas NO yang selanjutnya
menyebabkan disfungsi endotel. Stress oksidatif diketahui berasal dari faktor risiko seperti
hipertensi, dyslipidemia, merokok, diabetes mellitus, dan obesitas. Selain itu, stress oksidatif
merangsang ekspresi mediator inflamasi seperti vascular cell adhesion
molecule (VCAM) dan intracellular adhesion molecule (ICAM) yang berperan dalam proses
awal aterosklerosis. Selanjutnya aterosklerosis menyebabkan terjadinya penyumbatan pada
arteri koroner yang dapat berlanjut menyebabkan iskemia jantung karena kurangnya pasokan
nutrisi dan oksigen ke jantung, yang selanjutnya dapat menyebabkan thrombosis koroner oleh
faktor koagulasi dan selanjutnya berkembang menjadi infark miokardium, selanjutnya
menyebabkan aritmia, remodeling, pembesaran ventrikel, gagal jantung, dan kematian (2).
Gambar 1. Cardivascular disease continuum (Sumber: Dzau, 2006)

SIFAT FARMAKOLOGI DAN PERAN BETA BLOKER PADA CARDIOVASCULAR


DISEASE CONTINUUM

Beta bloker memiliki mekanisme aksi dalam menghambat stimulasi terhadap efek beta-
adrenergik, sehingga menyebabkan penurunan denyut jantung, kontraktilitas jantung, dan
tekanan darah sistolik. Beta bloker juga mempunyai efek sebagai anti aritmia (4). Beta bloker
dapat memperlambat dan menghambat berbagai tahapan proses cardiovascular disease
continuum (6). Menurut pedoman terapi European Society of Cardiology and the European
Society of Hypertension (ESC/ESH) tahun 2018, hasil pengukuran denyut jantung pada
kondisi istirahat yang lebih besar dari 80 kali per menit, merupakan faktor risiko
kardiovaskular (7). Dengan demikian, penggunaan beta bloker yang berefek penurunan
denyut jantung dapat memberikan manfaat dalam menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular.
Secara umum, beta bloker diklasifikasikan menjadi beta bloker non-selektif (penghambatan
terhadap reseptor β1 dan β2) dan beta bloker selektif terhadap β1 (4). Reseptor β1 utamanya
terletak pada jantung dan memediasi aktivitas jantung. Sementara itu, reseptor β2 banyak
terdapat di jaringan bronkus (fungsi: vasodilatasi otot polos bronkus), pembuluh darah perifer
(fungsi: vasodilatasi pembuluh darah perifer), uterus (fungsi: relaksasi otot polos), dan
pankreas (fungsi: peningkatan pelepasan insulin). Dengan demikian, penggunaan beta bloker
non-selektif yang menghambat baik β1 dan β2, dapat menimbulkan efek samping, yaitu
induksi asma pada pasien dengan riwayat asma, hiperglikemia pada pasien diabetes mellitus,
dan perburukkan kondisi pada pasien dengan penyakit vaskular perifer, terkait dengan
penghambatan reseptor β2 (8,9). Oleh karena itu, penggunaan beta bloker selektif terhadap β1
lebih bermanfaat. Menurut penelitian oleh Smith dan Teitler (1999), ditemukan bahwa
bisoprolol memiliki selektivitas terhadap β1 yang tert inggi jika dibandingkan dengan
atenolol, propranolol, betaxolol, metoprolol, dan carvedilol (10).
Tabel 1. Klasifikasi dan dosis oral harian beta bloker (4,11,12)

Selain dilihat dari segi selektivitas, beta bloker juga diklasifikasikan berdasarkan aktiv itas
simpatomimetik intrinsik atau Intrinsic Sympathomimetic Activity (ISA) yang dimiliki.
Xamoterol, bucindolol, dan nebivolol tergolong dalam beta bloker dengan sifat ISA,
sementara itu, carvedilol, bisoprolol, dan metoprolol tidak mempunyai sifat ISA (13). Beta
bloker dengan sifat ISA menghasilkan stimulasi ringan terhadap reseptor beta-1 sehingga
memperlambat aksi terhadap penurunan denyut jantung (14). Penelitian menunjukkan bahwa
beta bloker dengan sifat ISA, seperti pindolol dan nebivolol memiliki performa yang buruk
dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan iskemia miokardium dan
gagal jantung (13).
Dalam hal ini, bisoprolol memiliki keunggulan dalam hal selektivitas, serta tidak berefek
ISA. Keunggula n lain dari bisoprolol, jika dilihat dari sifat farmakokinetiknya, yaitu terdapat
keseimbangan klirens antara klirens renal dan klirens hepatik sehingga relatif aman diberikan
pada pasien dengan kondisi gangguan liver atau gangguan ginjal derajat ringan – sedang (15).

PENGGUNAAN BISOPROLOL PADA HIPERTENSI

Prevalensi kejadian hipertensi pada tahun 2015 di seluruh dunia mencapai 1,13 milyar (7). Di
Indonesia, menurut data Riskesdas tahun 2018, sekitar 34,1 % dewasa mengalami hipertensi
(16). Selain itu menurut WHO, trend kejadian hipertensi di Indonesia diproyeksikan akan
terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2025 mendatang (3). Hipertensi
didefinisikan dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg (7). Kejadian hipertensi dipengaruhi oleh keluaran jantung (cardiac output) dan
resistensi perifer. Pada umumnya, hipertensi terjadi karena peningkatan resistensi perifer atau
vasokonstriksi pembuluh darah, yang utamanya melalui jalur Renin-Angiotensin-
System (RAS) (17). Pada jalur RAS, peningkatan stimulasi sistem saraf simpatik
mengaktivasi rilis renin, menyebabkan peningkatan Angiotensin II yang berefek
vasokonstriksi sehingga terjadi peningkatan tekanan darah (18). Beta bloker yang berefek
menurunkan tekanan darah, berperan dalam penanganan hipertensi, terutama pada pasien
dengan riwayat komplikasi gagal jantung, angina pektoris, atau infark miokardium (5).
Adapun indikasi pemberian beta bloker pada pasien hipertensi menurut pedoman terapi ESC
tahun 2018 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Indikasi pemberian beta bloker pada pasien hipertensi menurut pedoman
terapi ESC tahun 2018 (7)
Penelitian Sabido et al. menunjukkan bahwa pasien hipertensi yang pertama kali didiagnosa
dan menerima terapi bisoprolol secara signif ikan memperlama waktu hidup pasien 2 sampai
dengan <15 tahun (HR untuk <15 tahun: 0,34; CI95% = 0,18 – 0,67) jika dibandingkan
dengan beta bloker lainnya (acebutolol, atenolol, carteolol, carvedilol, celiprolol, esmolol,
isoprenaline, labetalol, metoprolol, nadolol, nebivolol, oxprenolol, pentutolol, pindolol,
practolol, propranolol, sotalol, dan timolol) (19)

PENGGUNAAN BISOPROLOL PADA ANGINA STABIL

Angina pektoris merupakan sensasi sesak dan nyeri pada bagian dada yang dapat menyebar
ke area lengan kiri atau kedua lengan, dan juga ke bagian rahang atau bagian punggung.
Kejadian angina dipicu oleh aktivitas atau olah raga atau stress emosional dan dapat
diperparah dengan konsumsi makanan berat. Nyeri biasanya akan mereda setelah berhenti
beraktivitas atau dengan penggunaan terapi anti-angina. Angina dikategorikan stabil ketika
episode angina bersifat stabil selama 3-6 bulan. Pembuntuan arteri koroner yang disebabkan
oleh proses aterosklerosis mengakibatkan ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dan
oksigen yang dapat dipasok ke jantung. Hal ini diketahui sebagai penyebab umum angina
(20).
Beta bloker merupakan terapi yang efektif digunakan dalam penanganan angina stabil.
Berdasarkan pedoman terapi ESC, pada angina stabil, penggunaan beta bloker diindikasikan
untuk pasien dengan kondisi tanpa komplikasi, riwayat infark miokardium, serta pasien
dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri atau left ventricle ejection fraction (LVEF) ≤
40% (20). Penelitian The Total Ischemic Burden Bisoprolol Study (TIBBS) menunjukkan
bahwa penggunaan bisoprolol 10 mg per hari (dosis tinggi) secara signifikan lebih efektif
dibandingkan dengan nifedipine 2x20 mg dalam menurunkan jumlah episode iskemik pada
pasien angina stabil kronik (penurunan jumlah episode iskemik pada kelompok bisoprolol
dari 8,1 ± 0,6 menjadi 3,2 ± 0,4 per 48 jam versus penurunan jumlah episode iskemik pada
kelompok nifedipine dari 8,3 ± 0,5 menjadi 5,9 ± 0,4 per 48 jam, p < 0,0001). Selain itu pada
kelompok bisoprolol terjadi penurunan durasi iskemik yang signifikan jika dibandingkan
dengan kelompok nifedipine (penurunan durasi iskemik pada kelompok bisoprolol dari 99,3
± 10,1 menjadi 31,9 ± 5,5 menit per 48 jam versus penurunan durasi iskemik pada kelompok
nifedipine dari 101 ± 9,1 menjadi 72,6 ± 8,1 menit per 48 jam, p <0,0001). Pada kelompok
bisoprolol terjadi penurunan aktivitas iskemik pada puncak waktu iskemik di pagi hari
sebanyak 68% pada jam 08.00 – 08:59, dan efek ini tidak terjadi pada kelompok nifedipine
(21).

PENGGUNAAN BISOPROLOL PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

Kejadian PJK merupakan penyebab terbanyak kematian di dunia dan frekuensi kejadiannya
kian mengalami peningkatan (22). Proses terjadinya PJK diawali dengan adanya
penumpukkan plak pada pembuluh darah koroner yang kemudian menyebabkan plak ateroma
pembuluh darah koroner pecah sehingga memunculkan proses agregasi platelet dan aktivasi
faktor koagulasi yang selanjutnya memperparah oklusi / penyumbatan pembuluh darah, baik
oklusi sebagian ataupun oklusi total (23). PJK terbagi menjadi tiga jenis, yaitu angina
pektoris tidak stabil (unstable angina pectoris – UAP), infark miokard tanpa elevasi segmen
ST (Non ST Segment Elevation Myocardial Infarction) – NSTEMI, dan infark miokard
dengan elevasi segmen ST (ST Segment Elevation Myocardial Infarction – STEMI).
Perbedaan ketiganya seperti yang terlihat pada Tabel 3 (24). Indikasi pemberian beta bloker
pada pasien PJK dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Perbedaan antara Angina Tidak Stabil, NSTEMI, dan STEMI (24)

Tabel 4. Indikasi pemberian beta bloker pada pasien PJK menurut pedoman terapi
ESC non-STEMI tahun 2020 dan ESC STEMI tahun 2017 (22,25)

Penelitian BISO-CAD menunjukkan bahwa penggunaan bisoprolol pada pasien di Asia


dengan PJK dan komorbid hipertensi menyebabkan penurunan denyut jantung saat
beristirahat, sehingga terjadi perbaikan prognosis pasien. Bisoprolol menurunkan denyut
jantung istirahat dari ≥65 dan ≥75 kali per menit menjadi <65 dan <75 kali per menit
(adjusted OR: 4,34; 95% CI: 1,19–15,89; P = 0,03). Diketahui bahwa pada denyut jantung
istirahat yang lebih tinggi, terjadi peningkatan risiko morbiditas PJK dibandingkan dengan
denyut jantung istirahat yang lebih rendah (26).
PENGGUNAAN BISOPROLOL PADA GAGAL JANTUNG

Prevalensi kejadian gagal jantung sekitar 1 – 2% dari populasi dewasa di negara berkembang,
dan prevalensinya meningkat sampai dengan ≥10% pada populasi lansia (> 70 tahun).
Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya gagal jantung, namun pada umumnya pasien
gagal jantung memiliki riwayat infark miokardium atau revaskularisasi. Menurut pedoman
terapi ESC terkait penanganan gagal jantung kronis di tahun 2016, beta bloker
direkomendasikan untuk diberikan pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang
tanpa gejala dan pasien dengan riwayat infark miokardium. Pemberian beta bloker pada
pasien ini bertujuan untuk mencegah progresivitas gagal jantung dan memper lama hidup.
Selain itu, beta bloker juga direkomendasikan untuk dikombinasikan dengan ACEi pada
pasien stabil dengan gagal jantung dan fraksi ejeksi ≤40% yang simptomatik, hal ini
bertujuan untuk mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas (11). Penggunaan beta bloker
pada pasien gagal jantung dapat menurunkan angka kematian >35% (27). Penggunaan beta
bloker jangka panjang pada pasien gagal jantung dapat memperbaiki parameter hemodinamik
secara signifikan dan meningkatan fraksi ejeksi ventricular kiri (5).
Penelitian The Cardiac Insufficiency Bisoprolol Study II (CIBIS-II) menunjukkan bahwa
bisoprolol yang diberikan pada kelompok pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ≤35%,
terbukti menurunkan angka kematian secara signifikan jika dibandingkan dengan plasebo
(156 (11,8%) vs. 228 (17,3%) kematian dengan hazard ratio 0,66 (CI95% = 0,54 – 0,81; P <
0,0001). Terdapat penurunan signifikan kematian mendadak pada kelompok pasien yang
diberikan bisoprolol yang signifikan jika dibandingkan dengan kelompok plasebo 48(3,6%)
vs. 83 (6,3%) kematian dengan hazard ratio 0,56 (CI95% = 0,39 – 0,80; P = 0,0011). Pada
penelitian ini, kelompok pasien dengan pemberian bisoprolol mendapatkan dosis awal
bisoprolol 1,25 mg dan dosis ditingkatkan secara perlahan hingga mencapai dos is 10 mg per
hari. Dengan demikian, bisoprolol terbukti bermanfaat dalam memperlama hidup pada pasien
gagal jantung dengan kondisi stabil (28). Penelitian oleh Schmidt et al. mengkonfirmasi
bahwa pemberian beta bloker dengan dosis tinggi menurunkan risiko kematian jika
dibandingkan dengan dosis rendah (p <0,001) (29). Pedoman terapi ESC tentang gagal
jantung tahun 2016 merekomendasikan dosis awal bisoprolol yaitu 1,25 mg per hari dan
dinaikkan bertahap hingga mencapai 10 mg per hari (11).
Penelitian oleh Lin et al. menunjukkan bahwa tidak semua beta bloker bermanfaat dapat
mengurangi angka kematian. Penelitian ini membandingkan penurunan risiko kematian dan
morbiditas pasien gagal jantung antara kelompok dengan pemberian bisoprolol, carvedilol,
dan metoprolol. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pemberian dosis tinggi bisoprolol dan
dosis tinggi carvedilol menurunkan risiko kematian dan morbiditas secara signfikan,
sementara pada kelompok metoprolol, tidak terjadi penurunan risiko kematian yang
signifikan (30).
Dari berbagai hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa bisoprolol terbukti
bermanfaat diberikan pada pasien dengan gagal jantung dan/atau penurunan fraksi ejeksi
pada kondisi stabil. Dosis pemberian bisoprolol dalam hal ini juga perlu diberikan sesuai
dengan rekomendasi yang ada untuk lebih meningkatkan manfaat terkait penurunan
morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung

HAL-HAL YANG PERLU DIKONSELINGKAN TERKAIT TERAPI BISOPROLOL

Poin – poin konseling yang dapat diinfokan kepada pasien dapat dilihat pada Tabel 5 di
bawah ini.
Tabel 5. Poin konseling terkait penggunaan bisoprolol (31,32)
REFERENSI:

1. Chrysant SG. A new paradigm in the treatment of the cardiovascular disease continuum:
focus on prevention. Hippokratia. 2011;15(1):7–11.
2. Dzau Victor J., Antman Elliott M., Black Henry R., Hayes David L., Manson JoAnn E.,
Plutzky Jorge, et al. The Cardiovascular Disease Continuum Validated: Clinical Evidence of
Improved Patient Outcomes. Circulation. 2006 Dec 19;114(25):2850–70.
3. World Health Organization. Indonesia (2016). Available from:
https://www.who.int/nmh/countries/idn_en.pdf
4. Frederix’ ’Ines, Mcintosh’ ’Michael. Cardio protective drugs: Beta-blockers [Internet].
[cited 2020 Sep 9]. Available from: https://www.escardio.org/Education/ESC-Prevention-of-
CVD-Programme/Treatment-goals/Cardio-Protective-drugs/beta-blockers,
https://www.escardio.org/Education/ESC-Prevention-of-CVD-Programme/Treatment-
goals/Cardio-Protective-drugs/beta-blockers
5. Dézsi CA, Szentes V. The Real Role of β-Blockers in Daily Cardiovascular Therapy. Am J
Cardiovasc Drugs. 2017;17(5):361–73.
6. Willenheimer R, Erdmann E. Chairmen’s Foreword: beta-blockade across the
cardiovascular continuum - when and where to use? European Heart Journal Supplements.
2009;11(Supplement A):A1–2.
7. Williams B, Mancia G, Spiering W, Agabiti Rosei E, Azizi M, Burnier M, et al. 2018
ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertensionThe Task Force for the
management of arterial hypertension of the European Society of Cardiology (ESC) and the
European Society of Hypertension (ESH). Eur Heart J. 2018 Sep 1;39(33):3021–104.
8. Farzam K, Jan A. Beta Blockers. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2020 [cited 2020 Sep 9]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532906/
9. Cardioselectivity - an overview | ScienceDirect Topics [Internet]. [cited 2020 Sep 9].
Available from: https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-
dentistry/cardioselectivity
10. Smith C, Teitler M. Beta-Blocker Selectivity at Cloned Human Beta1- and Beta2-
Adrenergic Receptors. Cardiovasc Drugs Ther. 1999 Apr 1;13(2):123–6.
11. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. 2016 ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failureThe Task Force
for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the European Society of
Cardiology (ESC)Developed with the special contribution of the Heart Failure Association
(HFA) of the ESC. Eur Heart J. 2016 Jul 14;37(27):2129–200.
12. Indonesian Society of Hypertension. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019. 2019.
13. Cruickshank JM. Are we misunderstanding beta-blockers. Int J Cardiol. 2007 Aug
9;120(1):10–27.
14. Mann SJ. Redefining beta-blocker use in hypertension: selecting the right beta-blocker
and the right patient. Journal of the American Society of Hypertension. 2017 Jan 1;11(1):54–
65.
15. Leopold G. Balanced pharmacokinetics and metabolism of bisoprolol. J Cardiovasc
Pharmacol. 1986;8 Suppl 11:S16-20.
16. Kementrian Kesehatan RI. Hasil Utama Riskesdas 2018. 2018.
17. Walker R, Whittlesea C. Clinical Pharmacy and Therapeutics. fifth. London: Churchill
Livingstone; 2012.
18. Guimaraes DA, Tanus-Santos JE. Combining drugs to optimize the therapy of
hypertension: experimental evidence derived from animal models. Hypertension Research.
2015 Jul;38(7):457–8.
19. Sabidó M, Hohenberger T, Grassi G. Pharmacological intervention in hypertension using
beta-blockers: Real-world evidence for long-term effectiveness. Pharmacol Res.
2018;130:191–7.
20. Rousan TA, Thadani U. Stable Angina Medical Therapy Management Guidelines: A
Critical Review of Guidelines from the European Society of Cardiology and National
Institute for Health and Care Excellence. Eur Cardiol. 2019 Apr;14(1):18–22.
21. von Arnim T. Medical treatment to reduce total ischemic burden: total ischemic burden
bisoprolol study (TIBBS), a multicenter trial comparing bisoprolol and nifedipine. The
TIBBS Investigators. J Am Coll Cardiol. 1995 Jan;25(1):231–8.
22. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H, et al. 2017
ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting
with ST-segment elevationThe Task Force for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2018 Jan 7;39(2):119–77.
23. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut. Ketiga. Centra Communications; 2015.
24. Alldredge BK, Corelli RL, Ernst ME, Guglielmo BJ, Jacobson PA, Kradjan WA, et al.
Koda Kimble & Young’s Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. 10th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
25. Collet J-P, Thiele H, Barbato E, Barthélémy O, Bauersachs J, Bhatt DL, et al. 2020 ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without
persistent ST-segment elevationThe Task Force for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the European
Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J [Internet]. [cited 2020 Sep 10]; Available from:
https://academic.oup.com/eurheartj/advance-article/doi/10.1093/eurheartj/ehaa575/5898842
26. Chen Y-D, Yang X-C, Pham VN, Huang S-A, Fu G-S, Chen X-P, et al. Resting heart rate
control and prognosis in coronary artery disease patients with hypertension previously treated
with bisoprolol: a sub-group analysis of the BISO-CAD study. Chin Med J (Engl). 2020 May
20;133(10):1155–65.
27. Lee H-Y, Baek SH. Optimal Use of Beta-Blockers for Congestive Heart Failure. Circ J.
2016;80(3):565–71.
28. The Cardiac Insufficiency Bisoprolol Study II (CIBIS-II): a randomised trial. The Lancet.
1999 Jan 2;353(9146):9–13.
29. Schmidt S, Hürlimann D, Starck CT, Hindricks G, Lüscher TF, Ruschitzka F, et al.
Treatment with higher dosages of heart failure medication is associated with improved
outcome following cardiac resynchronization therapy. Eur Heart J. 2014 Apr;35(16):1051–
60.
30. Lin T-Y, Chen C-Y, Huang Y-B. Evaluating the effectiveness of different beta-
adrenoceptor blockers in heart failure patients. Int J Cardiol. 2017 Mar 1;230:378–83.
31. Bisoprolol: medicine to treat high blood pressure [Internet]. nhs.uk. 2018 [cited 2020 Sep
11]. Available from: https://www.nhs.uk/medicines/bisoprolol/
32. Bazroon AA, Alrashidi NF. Bisoprolol. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2020 [cited 2020 Sep 11]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551623/

Anda mungkin juga menyukai