Anda di halaman 1dari 31

PENINGKATAN PERBAIKAN PERMUKIMAN KUMUH

MELALUI PENINGKATAN SOSIAL EKONOMI


MASYARAKAT NELAYAN
DI DESA PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN
KABUPATEN DELI SERDANG

TUGAS KULIAH
PERENCANAAN WILAYAH
Dr. Agus Purwoko, S.Hut,M.Si

OLEH:

SRI DEWI RAHAYU JAMACK


NIM. 187003069
ARDIANSYAH PUTRA LUBIS
NIM. 187003070
MUHAMMAD HIDAYAT
NIM. 1870030__

PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH PEDESAAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
PENINGKATAN PERBAIKAN PERMUKIMAN KUMUH
MELALUI PENINGKATAN SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT NELAYAN
DI DESA PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN
KABUPATEN DELI SERDANG

TUGAS KULIAH
PERENCANAAN WILAYAH
Dr. Agus Purwoko, S.Hut,M.Si

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk melengkapi tugas mata Kuliah
Perencanaan Wilayah dalam Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Pedesaan pada Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SRI DEWI RAHAYU JAMACK


NIM. 187003069
ARDIANSYAH PUTRA LUBIS
NIM. 187003070
MUHAMMAD HIDAYAT
NIM. 1870030__

PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH PEDESAAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya

sehingga penulisan tugas pembuatan makalah mata kuliah Perencaan Wilayah dapat

penulis rampungkan tepat pada waktunya.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna

dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,

penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya

makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian

apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang

sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu proses penyelesaian makalah ini. Penulis berharap semoga kehadiran

makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan menambah literatur kajian ilmu

Perencanaan Wilayah Pedesaan pada khususnya dan displin ilmu lain pada

umumnya, terutama yang berkaitan dengan kajian sosial ekonomi masyarakat.

Medan, Juli 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1. 1. Latar Belakang ........................................................................................... 1
1. 2. Batasan Masalah ......................................................................................... 1
1. 3. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1. 4. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
1. 5. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3
BAB II. PEMBAHASAN .................................................................................. 5
2. 1. Kajian Teoritis ............................................................................................ 5
2. 1. 1. Persyaratan Permukiman ........................................................................ 5
2. 1. 2. Karakteristik Permukiman Kumuh ......................................................... 6
2. 1. 3. Faktor Yang Menyebabakan terbentuknya Permukiman Kumuh .......... 7
2. 1. 4. Permasalahan yang Timbul Akibat Permukiman Kumuh ...................... 13
2. 1. 5. Pengaruh Pemukiman Kumuh Terhadap Lingkungan ........................... 14
2. 1. 6. Penataan Wilayah Pemukiman Kumuh .................................................. 15
2. 2. PEMBAHASAN ........................................................................................ 17
2. 2. 1. Sejarah Dan Keadaan Geografis Desa Percut ........................................ 17
2. 2. 2. Kondisi Ekonomi .................................................................................... 19
2. 2. 3. Kondisi Perumahan Dan Sanitasi ........................................................... 21
2. 2. 4. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia ................................................... 23
2. 2. 5. Pengembangan Kelembagaan ................................................................. 23
2. 2. 6. Pengembangan Kewirausahaan .............................................................. 24
BAB III. PENUTUP .......................................................................................... 25
3. 1. Kesimpulan ................................................................................................. 25
3. 2. Saran ........................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya


tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan
ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah
lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Imron dalam
(Mulyadi, 2005)
Secara geografis, masyarakat nelayan hidup, tumbuh dan berkembang di
kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara darat dan laut (Kusnadi, 2009).
Potensi sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia yang sangat besar dapat
dikatakan yang terbesar di dunia, sangatlah kontradiktif dengan realitas yang terjadi
saat ini dimana 98,7 % nelayan Indonesia termasuk kategori nelayan kecil dan
25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015).
Namun, kekayaan alam Indonesia tidak cukup mampu membuat
masyarakatnya luput dari ancaman kemiskinan. Kemiskinan menjadi agenda
nasional yang terus dikaji secara konsisten oleh pemerintah, menyangkut kehidupan
masyarakat miskin baik di perkotaan, pedesaan hingga ke daerah pesisir. Sebagai
masalah global, kemiskinan sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan
kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Nelayan teridentifikasi sebagai golongan miskin, dimana sedikitnya 14,58
juta jiwa atau sekitar 90% dari 16, 2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada
di bawah garis kemiskinan. Padahal negara Indonesia adalah negara bahari yang
pulau-pulaunya dikelilingi oleh lautan yang didalamnya terkandung berbagai
potensi ekonomi khususnya di bidang perikanan, namun sampai saat ini kehidupan
nelayan tetap saja masih berada dalam jurang kemiskinan. (Martadiningrat dalam
Antara, 2008)
Suatu ironi bagi negara maritim seperti Indonesia adalah masyarakat
nelayannya merupakan golongan masyarakat paling miskin di Asia bahkan dunia.
Walau data agregatif dan kuantitatif yang terpercaya tidak mudah diperoleh,

1
pengamatan visual atau langsung ke kampung- kampung nelayan dapat
memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang tentang kemiskinan nelayan
ditengah kekayaan laut yang begitu besar. Pemandangan yang sering dijumpai di
perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah
yang sangat sederhana. Kalaupun ada beberapa rumah yang menunjukkan tanda-
tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-
rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang
jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas
sangat tergantung pada individu yang bersangkutan. (Zainul, 2007)
Menurut data, jumlah nelayan di Sumatera Utara sekitar 321.000 orang yang
tersebar di 13 kabupaten dan kota, dari jumlah tersebut nelayan tradisional
mencapai 70 persen, nelayan menengah 20 persen dan nelayan skala besar 10
persen. Berarti, nelayan yang termarginalkan adalah sekitar 70 persen dari jumlah
nelayan (sekitar 224 ribu lebih) nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan
(BPS Sumut, 2009).
Kabupaten Deli Serdang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera
Utara menunjukkan jumlah penduduk miskin mulai tahun 2009 - 2010 mengalami
penurunan. Dari 94.800 jiwa (5,7%) menjadi 91.440 (5,17%). Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (2016) Kabupaten Deli Serdang memiliki luas wilayah 4.339
km2 yang terbagi dalam 33 kecamatan dan 617 desa/kelurahan, dan dihuni oleh
berbagai ragam etnik/suku, agama dan budaya, antara lain suku Universitas
Sumatera Utara 6 karo, Melayu, Tapanuli, dan Simalungun, dll. Mata pencaharian
penduduk Deli Serdang juga beragam seperti nelayan, petani/pekebun, pegawai
negri, pengusaha, buruh dan sebagainya (Badan Pusat Statistik 2016).
Salah satu desa yang berada di Kabupaten Deli Serdang yang penduduknya
mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan adalah Desa Percut yaitu dusun
XVII. Jumlah KK dusun 17 terdapat sekitar 310KK sementara jumlah rumah hanya
sekitar 270 rumah. Hal ini menandakan dalam satu rumah sebagian terdapat 2 KK

1. 2. BATASAN MASALAH
Penelitian ini merupakan penelitian di bidang Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Pedesaan untuk menganalisis tentang Peningkatan permukiman

2
kumuh melalui peningkatan sosial ekonomi masyarakat nelayan di kecamatan
Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang yang menitikberatkan antara lain:
1. Lokasi penelitian dalam penulisan makalah ini adalah pemukiman
masyarakat yang berada di Desa Percut kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang yang merupakan peumahan kumuh nelayan.
2. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah kehidupan masyarakat nelayan
perumahan kumuh.
3. Melihat kehidupan sosial ekonomi masyaraat nelayan perumahan kumuh.

1. 3. RUMUSAN MASALAH
Dengan bertolak dari uraian di atas maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah “ bagaimana cara Peningkatan permukiman kumuh melalui peningkatan
sosial ekonomi masyarakat nelayan di kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang”.

1. 4. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Dapat mengetahui Gambaran kehidupan sosial masyarakat nelayan di
perumahan Kumuh desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang.
2. Dapat mengetahui Gambaran kehidupan ekonomi masyarakat nelayan di
perumahan Kumuh desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang.
3. Dapat mengetahui Gambaran kekumuhan perumahan nelayan desa Percut
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
4. Dapat mengetahui cara peningkatan perbaikan permukiman kumuh nelayan
desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

1. 5. MANFAAT PENELITIAN
1. Sebagai bahan informasi masukan bagi pemerintah Kabupaten Deli Serdang
untuk mengetahui gambaran kehidupan miskin masyarakat Desa Percut
Kecamatan Percut Sei Tuan.

3
2. Agar dapat digunakan oleh instansi lain, yang terkait dengan pembangunan
wilayah pemukiman pesisir dalam hal penyusunan perencanaan
pembangunan.
3. Sebagai bahan perbandingan dan studi bagi peneliti-peneliti lain yang ingin
melanjutkan penelitian ini.
4. Dapat memberi kontribusi bagi masyarakat berupa ilmu pengetahuan dalam
memberikan sumbangan kajian tentang penerapan lingkungan pemukiman
sehat berwawasan lingkungan bagi masyarakat, agar masyarakat mempunyai
rasa tanggung jawab terhadap lingkungan untuk meningkatkan taraf
kesehatan masyarakat yang lebih baik.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1. KAJIAN TEORITIS
2. 1. 1. PERSYARATAN PERMUKIMAN
Suatu bentuk permukiman yang ideal di kota merupakan pertanyaan yang
menghendaki jawaban yang bersifat komprehensif, sebab perumahan dan
permukiman menyangkut kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang
terdiri dari berbagai aspek. Sebingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang
ketentuan yang baik untuk suatu permukiman yaitu harus memenuhi sebagai
berikut:
a) Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain
seperti pabrik, yang umumnya dapat memberikan dampak pada
pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya.
b) Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan
pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan lain-lain .
c) Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan
cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang
lebat sekalipun.
d) Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi
yang siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.
e) Dilengkapi dengan fasilitas air kotor/tinja yang dapat dibuat dengan
sistem individual yakni tangki septik dan lapangan rembesan, ataupun
tanki septik komunal.
f) Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara
teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman.
g) Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-
anak, lapangan atau taman, tempat beribadat, pendidikan dan kesehatan
sesuai dengan skala besarnya permukiman itu.
h) Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon (Sinulingga, 2005).

5
2. 1. 2. KARAKTERISTIK PERMUKIMAN KUMUH
Menurut UU No.1 Tahun 2011, Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan
adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang
memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan
Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan
fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan
nasional.
Menurut Silas, dkk (1991) Permukiman Kumuh dapat diartikan menjadi dua
bagian, yang pertama ialah kawasan yang proses terbentukannya karena
keterbatasan kota dalam menampung perkembangan kota sehingga timbul
kompetisi dalam menggunakan lahan perkotaan. Sedangkan kawasan permukiman
berkepadatan tinggi rnerupakan embrio permukiman kumuh. Dan yang kedua ialah
kawasan yang lokasi penyebarannya secara geografis terdesak perkembangan kota
yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh. Perkembangan kota yang kumuh
disebabkan oleh mobilitas sosial perekonomian yang stagnan.
Karakteristik Permukiman Kumuh:
1) Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata
6 m 2.
2) Permukiman ini secara fisik memberi /orang. Sedangkan fasilitas kekotaan
secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena
lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas
Iingkungantersebut tak sulit mendapatkannya.
3) Manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan
harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa.
Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga
murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi. Hampir
setiap orang tanpa syarat yang bertele-tele pada setiap saat dan tingkat
kemampuan membayar apapun, selalu dapat diterima dan berdiam di sana,
termasuk masyarakat “residu” seperti residivis dan lain-lain (Silas dkk, 1991).

6
Kriteria Umum Permukiman Kumuh:
1) Mandiri dan produktif dalam banyak aspek, namun terletak pada tempat yang
perlu dibenahi.
2) Keadaan fisik hunian minim dan perkembangannya lambat. Meskipun
terbatas, namum masih dapat ditingkatkan.
3) Para penghuni lingkungan permukiman kumuh pada umumnya bermata
pencaharian tidak tetap dalam usaha non formal dengan tingkat pendidikan
rendah.
4) Pada umumnya penghuni mengalami kemacetan mobilitas pada tingkat yang
paling bawah, meskipun tidak miskin serta tidak menunggu bantuan
pemerintah, kecuali dibuka peluang untuk mendorong mobilitas tersebut.
5) Ada kemungkinan dilayani oleh berbagai fasilitas kota dalam kesatuan
program pembangunan kota pada umumnya.
6) Kehadirannya perlu dilihat dan diperlukan sebagai bagian sistem kota yang
satu, tetapi tidak semua begitu saja dapat dianggap permanent (Anonim,
2009).

Kriteria khusus permukiman kumuh:


1) Berada di lokasi tidak legal.
2) Dengan keadaan fisik yang substandar, penghasilan penghuninya amat
rendah (miskin).
3) Tidak dapat dilayani berbagai fasilitas kota
4) Tidak diinginkan kehadirannya oleh umum, (kecuali yang berkepentingan)
5) Permukiman kumuh selalu menempati lahan dekat pasar kerja (non formal),
ada sistem angkutan yang memadai dan dapat dimanfaatkan secara umum
walau tidak selalu murah (Anonim, 2009).

2. 1. 3. FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERBENTUKNYA


PEMUKIMAN KUMUH
Pada dasarnya suatu permukiman kumuh terdiri dari beberapa aspek penting,
yaitu tanah/lahan, rumah/perumahan, komunitas, sarana dan prasarana dasar, yang
terajut dalam suatu sistem sosial, sistem ekonomi dan budaya baik dalam suatu

7
ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau ekosistem kota. oleh
karena itu permukiman kumuh harus senantiasa dipandang secara utuh dan integral
dalam dimensi yang lebih luas. Beberapa dimensi permukiman kumuh yang
menjadi penyebab tumbuhnya permukiman adalah sebagai berikut:
1) Faktor Urbanisasi Dan Migrasi Penduduk
Substansi tentang urbanisasi yaitu proses modernisasi wilayah desa menjadi
kota sebagai dampak dari tingkat keurbanan (kekotaan) dalam suatu wilayah
(region) atau negara. Konsekuensinya adalah terjadi perpindahan penduduk
(dengan aktifitas ekonominya) secara individu atau kelompok yang berasal
dari desa menuju kota atau daerah hinterland lainnya. Hal ini perlu dibedakan
dengan pengertian tingkat pertumbuhan kota (urban growth) yang diartikan
sebagai laju (rate) kenaikan penduduk kota, baik skala mandiri maupun
kebersamaan secara nasional.
Ukuran tingkat keurbanan, biasanya dalam konteks kependudukan yaitu
dengan memproporsikan antara jumlah penduduk perkotaan terhadap jumlah
penduduk nasional. Tetapi masalah urbanisasi tidak harus diinterpretasikan
dalam konteks kependudukan semata, kenyataannya harus mencakup dimensi
perkembangan dan kondisi sosial, ekonomi masyarakat, bahkan lebih jauh
mencakup pula aspek budaya dan politik. Pada intinya dalam aspek kegiatan
ekonomi, pengertian urbanisasi merupakan substansi pergeseran atau
transformasi perubahan corak sosio-ekonomi masyarakat perkotaan yang
berbasis industri dan jasa-jasa (Tommy Firman, 1996).
2) Faktor Lahan di Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan kota yang sangat pesat telah menyebabkan
berbagai persoalan serius diantaranya adalah permasalahan perumahan.
Permasalahan perumahan sering disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
penyediaan unit hunian bagi kaum mampu dan kaum tidak mampu di
perkotaan. Di samping itu sebagian kaum tidak mampu tidak menguasai
sumber daya kunci untuk menopang kehidupannya, sehingga kaum tidak
mampu ini hanya mampu tinggal di unit-unit hunian sub standar di
permukiman yang tidak layak.

8
Permasalahan perumahan di atas semakin memberatkan kaum tidak mampu
ketika kebijakan investasi pemanfaatan lahan mengikuti arus mekenisme
pasar tanpa mempertimbangkan secara serius pentingnya keberadaan hunian
yang layak bagi kaum miskin diperkotaan. Investasi pemanfaatan lahan yang
salah, semata-mata berpihak pada kaum mampu pada akhirnya mendorong
lingkungan permukiman kaum tidak mampu yang tidak layak ini terus
mengalami penurunan kualitas dan rentan masalah sosial lainnya.
3) Faktor Prasarana dan Sarana Dasar
Secara umum karakteristik permukiman kumuh diwarnai juga oleh tidak
memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar seperti halnya suplai air
bersih, jalan, drainase, jaringan sanitasi, listrik, sekolah, pusat pelayanan
kesehatan, ruang terbuka, pasar dan sebaginya. Bahkan hampir sebagian besar
rumah tangga di lingkungan permukiman kumuh ini mampunyai akses yang
sangat terbatas terhadap pelayanan sarana dan prasarana dasar tersebut.
Rendahnya kemampuan pelayanan sarana dan prasarana dasar ini pada
umumnya disebabkan kemampuan pemerintah yang sangat terbatas dalam
pengadaan serta pengelolaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman,
kemampuan dan kapasitas serta kesadaran masyarakat juga terbatas pula.
Bahkan juga disebabkan pula oleh terbatasnya peran berbagai lembaga
maupun individu atau pihak di luar pemerintah, baik secara profesional atau
sukarela dalam peningkatan permasalahan sarana dan prasarana dasar.
4) Faktor Sosial Ekonomi
Pada umumnya sebagian besar penghuni lingkungan permukiman kumuh
mempunyai tingkat pendapatan yang rendah karena terbatasnya akses
terhadap lapangan kerja yang ada. Tingkat pendapatan yang rendah ini
menyebabkan tingkat daya beli yang rendah pula atau terbatasnya
kemampuan untuk mengakses pelayanan sarana dan prasarana dasar.
Di sisi lain, pada kenyataannya penghuni lingkungan permukiman kumuh
yang sebagian besar berpenghasilan rendah itu memiliki potensi berupa
tenaga kerja kota yang memberikan konstribusi sangat signifikan terhadap
kegiatan perekonomian suatu kota. aktivitas ekonomi di sektor informal
terbukti telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

9
berlangsungnya kehidupan produksi melalui sektor informal.
Dengan demikian tingkat pendapatan penghuni lingkungan permukiman
kumuh yang rendah ini merupakan permasalahan yang serius
keberlangsungan produtivitas suatu kota. Permasalahan sosial ekonomi
merupakan salah satu pendorong meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke
kota, dari daerah pinggiran ke pusat kegiatan ekonomi sehingga
menumbuhkan lingkungan permukiman kumuh baru.
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga
menjadi faktor penyebab munculnya permukiman kumuh di daerah perkotaan
maupun di daerah pesisir. Keterbatasan penghasilan akibat dari semakin
sulintya mencari pekerjaan didaerah perkotaan membuat masyarakat yang
berada di garis kemiskinan semakin kesulitan untuk menyediakan perumahan
yang layak huni bagi mereka sendiri.
Ketika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, Masyarakat berusaha
dengan orientasi memenuhi kebutuhan hidup. Dan, ketika mereka berhadapan
dengan keterbatasan pekerjaan formal yang jelas strukturnya, mereka
menciptakan pekerjaan-pekerjaan informal yang memberi peluang untuk
melangsungkan kehidupan. Tercukupinya kebutuhan hidup adalah konsep
sederhana tentang kebahagiaan yang dimiliki oleh kaum miskin. Namun,
dalam usaha mereka tersebut, mereka berhadapan dengan roda pembangunan
ciptaan penguasa yang tidak berpihak pada mereka.
persoalan ketidak mampuan ekonomi merupakan imbas urbanisasi, lonjakan
pengangguran, serta tingginya tuntutan dan biaya hidup yang memaksa
manusia kota kreatif untuk berusaha di bidang ekonomi.
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, untuk
membangun rumah yang layak huni menambah daftar panjang permasalahan
permukiman kumuh diperkotaan dan daerah pesisir. Jika golongan miskin
dianggap tidak mampu untuk membantu dirinya sendiri dalam membangun
rumah yang layak huni maka mereka seharunya dibantu. Dalam konteks
perumahan, kecenderungan ini berarti hanya pemerintah sajalah yang mampu
membangun perumahan yang layak huni bagi masyarakat miskin. Menurut
Turner dalam Alan gilbert dkk, pemerintah sebaiknya membangun

10
perumahan swadaya. Dan itu akan terjadi manakala masyarakat miskin
tersebut memahami peranannya bahwa perumahan merupakan bagian dari
hidup mereka.
5) Faktor Sosial Budaya
Permukiman kumuh juga sering ditandai oleh tingkat pendidikan dan
keterampilan yang sangat rendah. Pada umumnya tingkat pendidikan dan
keterampilan yang rendah ini sangat erat dengan rendahnya tingkat pedapatan
penduduk sehingga mambatasi akses terhadap peningkatan kualitas sumber
daya manusia.
Di samping itu struktur sosial penghuni lingkungan permukiman sangat
majemuk dengan beragam norma-norma sosialnya masing-masing.
Keragaman ini kadang-kadang menimbulkan kesalahpahaman, saling tidak
percaya antar penghuni, yang menyebabkan rendahnya tingkat kohesivitas
komunitas. Masing-masing mengikuti struktur hubungan antar sesama dan
budaya yang beragam, yang mempengaruhi bagaimana sebuah individu,
keluarga dan tetangga dalam berinteraksi di lingkungannya. Sehingga
kadang-kadang menyulitkan upaya membentuk suatu lembaga yang berbasis
pada komunitas atau upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bersama.
Konflik sosial antara warga kota dapat dilihat dari konflik untuk mencari
pekerjaan dan semakin tingginya angka kejahatan dikota membuat kota
semakin tidak aman bagi masyarakat kota. Argumentasi disorganisasi atau
nuansa di kota yang aman hampir tidak dapat dipungkiri bahwa rasa aman
hidup dikota semakin hilang. Hal ini akibat dari perilaku yang terlepas dari
kontrol sosial terhadap nilai-nilai masyarakat. Kaum migran desa-kota
cenderung berharap mereka akan mampu memperbaiki posisi sosial ekonomi
mereka ketika melakukan migrasi kekota. Mereka dipenuhi pikiran untuk
memapankan hubungan pekerjaan dan nilai finansial yang akan
didapatkannya ketika berada dikota. Namun perlu diketahui bahwa
persaingan dikota jauh lebih besar dibandingkan dengan di desa. (darsono
Wisadirana : 2004)

11
6) Faktor Tata Ruang
Dalam konstelasi tata ruang kota, permukiman kumuh merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari konsfigurasi struktur ruang kota. oleh karena itu,
perencanaan tata ruang kota perlu didasarkan pada pemahaman bahwa
pengembangan kota harus dilakukan sesuai dengan daya dukunya termasuk
daya dukung yang relatif rendah di lingkungan permukiman kumuh.
Investasi yang salah terhadap pemanfaatan ruang kota akan menimbulkan
dampak yang merusak lingkungan serta berpotensi mendorong
tumbuhkembangnya lingkungan permukiman kumuh atau kantong-kantong
lingkungan permukiman kumuh baru, bahkan bisa jadi akan menghapus
lingkungan permukiman lama atau kampung-kampung kota yang mempunyai
nilai warisan budaya tinggi yang kebetulan pada saat itu lingkungan telah
mengalami kemerosotan atau memburuk.
7) Faktor Aksesibilitas
Secara umum, salah satu penyebab munculnya permukiman kumuh adalah
terbatasnya akses penduduk miskin kepada kapital komunitas (community
capital). Kapital komunitas ini meliputi kapital terbangun, individu dan sosial
serta lingkungan alam.
Kapital terbangun meliputi informasi, jalan, sanitasi, drainase, jaringan
listrik, ruang terbuka, perumahan, pasar, bangunan-bangunan pelayanan
publik, sekolah dan sebagianya. Kapital individu, antara lain meliputi
pendidikan, kesehatan kemampuan dan keterampilan. Kapital sosial, antara
lain meliputi koneksitas dalam suatu komunitas-cara manusia berinteraksi
dan berhubungan dengan lainnya. Dalam skala lebih luas, sekelompok
manusia membentuk organisasi, baik organisasi sukarela, bisnis melalui
perusahaan maupun pemerintah dan sebagainya, termasuk berbagai sistem
sosial yang ada, termasuk kebijakan pembangunan kota.
Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya alam, pelayanan
ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam adalah apa saja yang diambil
dari alam sebagai bagian dari bahan dasar yang dipakai untuk proses
produksi. Pelayanan ekosistem antara lain berupa kemampuan tanah untuk

12
budidaya tanaman yang bisa memberikan bahan makanan, bahan untuk
pakaian dan sebagainya.
8) Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam hal pencapaian
pekerjaan dan pendapatan. Meskipun begitu, pendidikan sangat ditentukan
oleh pendidikan itu sendiri dan pekerjaan orang tua untuk mampu
menyekolahkan anak mereka pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal
ini berarti perbedaan latar belakang budaya dan sosial ekonomi (pendidikan
dan pekerjaan) orang tua tidak hanya berpengaruh terhadap pendidikan anak.
tetapi juga untuk pencapaian pekerjaan dan pendapatan mereka. Sedangkan
faktor lain seperti : tempat tinggal, agama, status perkawinan dan status
migrasi, serta umur sangat kecil pengaruhnya terhadap pencapaian pekerjaan
dan pendapatan.
Banyak kaum migran tidak bisa bekerja dengan standar-standar yang tinggi.
Sementara persaingan untuk mencari lapangan kerja sangat tinggi dan
kesemuanya dituntut dengan tingkat propesionalisme dan tingkat pendidikan
pula yang harus dapat bersaing dengan orang lain. Dilain pihak kota-kota di
Indonesia memiliki kelebihan jumlah tenaga kerja yang belum dapat
tersalurkan baik yang memiliki pendidikan tinggi maupun mereka yang sama
sekali tidak memiliki skill dan keterampilan yang tinggi untuk bisa bertahan
pada jalur formal. Elemen lain yang juga menentukan adalah tidak adanya
lapangan kerja yang disiapkan oleh pemerintah. Dampak dari akumulasi
kejadian tersebut memunculkan angka pengangguran yang setiap tahunnya
semakin bertambah.

2. 1. 4. PERMASALAHAN YANG TIMBUL AKIBAT PERMUKIMAN


KUMUH
Masalah yang terjadi akibat adanya perrnukiman kumuh ini, khususnya
dikota-kota besar diantaranya wajah perkotaan menjadi memburuk dan kotor,
planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan
kebakaran sering melanda perrnukiman ini. Di sisi lain bahwa kehidupan

13
penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial kehidupan mereka
yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan (Susanto, 1974).
Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh
adalah:
1) Ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standar untuk
bangunan layak huni.
2) Rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman
rawan akan bahaya kebakaran.
3) Sarana jalan yang sempit dan tidak memadai.
4) Tidak tersedianya jaringan drainase.
5) Kurangnya suplai air bersih.
6) Jaringan listrik yang semrawut.
7) Fasilitas MCK yang tidak memadai

2. 1. 5. PENGARUH PEMUKIMAN KUMUH TERHADAP LINGKUNGAN


Lingkungan permukiman kumuh memberi dampak yang bersifat multi
dimensi diantaranya dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan, tatanan sosial
budaya, lingkungan fisik serta dimensi politis. Di bidang penyelenggaraan
pemerintahan, keberadaan lingkungan permukiman kumuh memberikan dampak
citra ketidakberdayaan, ketidakmampuan dan bahkan ketidakpedulian pemerintah
terhadap pengaturan pelayanan kebutuhan-kebutuhan hidup dan penghidupan
warga kota maupun pendatang dan pelayanan untuk mendukung kegiatan sosial
budaya, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Dampak terhadap tatanan sosial budaya kemasyarakatan adalah bahwa
komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh yang secara ekonomi
pada umumnya termasuk golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah,
seringkali dianggap sebagai penyebab terjadinya degradasi kedisiplinan dan
ketidaktertiban dalam berbagai tatanan sosial kemasyarakatan (Sri, 1988).
Di bidang lingkungan/hunian komunitas penghuni lingkungan permukiman
kumuh sebagian besar pekerjaan mereka adalah tergolong sebagai pekerjaan sektor
informal yang tidak memerlukan keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh
kasar/kuli bangunan, sehingga pada umumnya tingkat penghasilan mereka sangat

14
terbatas dan tidak mampu menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan
perumahan dan permukiman sehingga mendorong terjadinya degradasi kualitas
lingkungan yang pada gilirannya memunculkan terjadinya permukiman kumuh.

2. 1.6. PENATAAN WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH


Kegiatan penataan lingkungan kumuh ini menerapkan konsep dasar Tridaya
yang meliputi aspek penyiapan masyarakat melalui pemberdayaan sosial
kemasyarakatan, pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman
serta pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi lokal/masyarakat.
Dalam penerapannya, kegiatan ini menggunakan pemberdayaan masyarakat
sebagai inti gerakannya, dengan menempatkan komunitas permukiman sebagai
pelaku utama pada setiap tahapan, langkah, dan proses kegiatan, yang berarti
komunitas pemukim adalah pemilik kegiatan. Pelaku pembangunan di luar
komunitas pemukim merupakan mitra kerja sekaligus sebagai pelaku pendukung
yang berpartisipasi pada kegiatan komunitas pemukim.
Dengan demikian, strategi program ini menitikberatkan pada transformasi
kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas melalui pembelajaran langsung
(learning by doing) melalui proses fasilitasi berfungsinya manajemen komunitas.
Penerapan strategi ini memungkinkan komunitas pemukim untuk mampu membuat
rencana yang rasional, membuat keputusan, melaksanakan rencana dan keputusan
yang diambil, mengelola dan mempertanggungjawabkan hasil-hasil kegiatannya,
serta mampu mengembangkan produk yang telah dihasilkan.
Melalui penerapan strategi ini diharapkan terjadi peningkatan secara bertahap
kapasitas sumberdaya manusia dan pranata sosial komunitas pemukim, kualitas
lingkungan permukiman, dan kapasitas ekonomi/usaha komunitas. Seluruh
rangkaian kegiatan dalam pernberdayaan masyarakat dalam program penataan
lingkungan kumuh ini memiliki pola dasar yang secara umum dapat dikelompokan
menjadi tiga kelompok besar kegiatan fasilitasi, yaitu pengorganisasian dan
peningkatan kapasitas masyarakat, pelaksanaan pembangunan serta pengembangan
kelembagaan komunitas Dalam rangka menempatkan masyarakat sebagai pelaku
utama pembangunan, masyarakat yang terorganisasi memiliki peluang yang lebih
besar dibandmgkan secara individual. Selain itu kemampuan masyarakat dalam

15
mengidentifikasi kebutuhan dan potensinya, serta membuat rencana yang rasional
juga menjadi persyaratan keberhasilan kegiatan.
Oleh karenanya, fasilitasi kepada komunitas dalam pengorganisasian dan
peningkatan kapasitas masyarakat ini merupakan bagian dari konsep dasar
khususnya dalam aspek penyiapan masyarakat dan aspek pemberdayaan kegiatan
usaha ekonomi dalam satu kesatuan. Dalam mengaktualkan rencananya, komunitas
perlu melakukan pengorganisasian peluang dan sumberdaya kunci yang ada. Dalam
kaitannya dengan fasilitasi ini, pemerintah memberikan stimulan dana kepada
komunitas untuk merealisasikan rencananya terutama dalam penataan lingkungan
permukiman kumuh, tanpa menutup kemungkinan adanya bantuan tidak mengikat
dari pihak lain.
Selanjutnya fasilitasi terhadap komunitas dilakukan untuk pengelolaan hasil
pembangunan yang telah dilaksanakannya. Rangkaian fasilitasi ini merupakan
bagian dari konsep dasar Tridaya, khususnya dalam aspek pendayagunaan
prasarana dan sarana lingkungan dan aspek penyiapan masyarakat dalam satu
kesatuan.
Pengembangan lembaga komunitas merapakan fasilitasi tahap akhir. Dalam
rangkaian kegiatannya, fasilitasi ini mengarah kepada pembuatan aturan main
lembaga komunitas, formalisasi lembaga komunitas dalam rangka peningkatan
kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas maupun lembaga. komunitas,
pembentukan jaringan kerja dengan komunitas lain, pemanfaatan akses sumber
daya kunci pembangunan dalam rangka kemitraan, dan pembukaan akses terhadap
pengabil kebijakan. Rangkaian fasilitas ini merupakan bentuk utuh dari penerapan
konsep dasar Tridaya.
Secara ringkas penataan wilayah untuk pengananan masalah permukiman
kumuh tersebut adalah: 1) Menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam
penataan lingkungan permukiman kumuh. 2) Mendorong usaha produktif
masyarakat melami perkuatan jarmgan kerja dengan mitra swasta dan dunia usaha.
3) Mencari pemecahan terbaik dalam penentuan kelayakan penataan lingkungan
permukiman kumuh. 4) Melaksanakan penegakkan dan perlindungan hukum
kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh. 5) Melakukan

16
pemberdayaan kepada para pelaku untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial.
6) Menerapkan budaya bersih dan tertib di lingkungan perumahan dan permukiman.
Akhirnya, apabila upaya penataan pennukiman kumuh dapat dilaksanakan
maka hasil yang dapat diharapkan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat,
memperluas lapangan pekerjaan baru, meningkakan kualitas rumah tinggal bahkan
dapat memudahkan perolehan jasa-jasa dari penduduk yang tersedia, meningkatkan
kesehatan lingkungan, hal ini dapat berakibat meningkatnya hasrat penduduk untuk
berpartisipasi dalam pembangunan dan bahkan dapat meningkatkan nilai tanah
yang ada.

2. 2. PEMBAHASAN
2. 2. 1. Sejarah dan Keadaan Geografis Desa Percut
Desa Percut adalah nama suatu wilayah di Kecamatan Percut Sei Tuan, yang
terletak disebelah Utara Kecamatan Percut Sei Tuan yang berbatasan langsung
dengan Selat Malaka. Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia Desa Percut
berdiri sendiri dibawah seorang kejuruan, atas dasar itulah mengapa kemudian Desa
Percut sering juga disebut sebagai Kejuruan Percut, yang wilayahnya hampir
meliputi sebagain desa yang ada di kecamatan Percut Sei Tuan sekarang. Kejuruan
percut pada awalnya dipimpin oleh seorang kejuruan yang bernama Sultan Matseh.
Sultan Matseh ini kemudian menikahi salah seorang anak Sultan Deli, maka sejak
itulah kejuruan percut menjadi bagian dari wilayah kesultanan Deli, dan kantor
kepala desa percut sebagai Kantor Perwakilan Kerajaan Deli.
Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, maka kejuruan Percut berubah
menjadi satu Desa yang disebut desa Percut yang wilayahnya meliputi desa Cinta
Damai, Desa Tanjung Rejo, Desa Cinta Rakyat dan Desa Tanjung Selamat yang
dipimpin oleh seorang penghulu yang bernama Aman. Pada tahun 1968 dibawah
kepenghuluan Mursyam Batu Bara kepenghuluan Percut dimekarkan mejadi
beberapa desa yaitu : Desa Cinta Damai, Desa Tanjung Rejo, Desa Cinta Rakyat
dan Desa Tanjung Selamat seperti sekarang ini, menurut keterangan kepala Desa
Percut pemekaran ini dilatarbelakangi oleh adanya perselisihan antar suku yang
mendiami Kepenghuluan Percut.

17
Dalam versi yang lain diceritakan bahwa istilah Desa Percut itu sendiri
berasal dari kata “pak cut” yaitu panggilan kepada Gocah Pahlawan Gelar Lebai
Hitam/Tuanku 122 Universitas Sumatera Utara Sri Paduka/Laksamana Koza
Bentan Panglima Sultan Aceh Pasai. Seperti lazimnya panggilan kepada orang
Aceh adalah “cut” dan akhirnya berubah menjadi Percut. Pada tahun 1632, dalam
perjalanan dari Aceh ke Serdang mengarungi lautan, sang panglima kekurangan
bekal air tawar dan masih dalam versi cerita penduduk, sang panglima mendapat
“wangsit” agar dia berlayar ke arah tertentu dan akan bertemu dengan perairan yang
airnya tawar. Memang benar, ia sampai di perairan Percut yang alirannya menuju
selat Malaka, tapi airnya masih tawar. Bagaimana kelanjutan ceritanya sehingga
sang panglima bertemu air tawar dan tempat tersebut menjadi Desa Percut, tidak
jelas lagi diketahui. Hanya saja panglima tersebut dikabarkan kawin dengan Putri
Nang Baluan Binti Raja Lekang dari Kerajaan Hitam Sunggal, selanjutnya
mendirikan Kerajaan Deli.
Saat ini Desa Percut merupakan salah satu dari dua puluh desa yang ada di
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
Desa tersebut terdiri dari sembilan belas dusun dimana dusun 16, 17 dan 18 disebut
Dusun Bagan karena mayoritas penduduknya adalah nelayan penangkap ikan di
laut.
Desa Percut termasuk dalam kategori desa pantai dengan luas wilayah 1063
hektar. Walaupun dikategorikan desa pantai, namun tanah pertanian dan
perkebunan lebih dominan dibandingkan dengan lahan perikanan darat. Tercatat
sebagian besar atau 650 hektar adalah lahan pertanian termasuk didalamnya :
perkebunan, ladang/atau tegalan. Lahan pemukiman 200 hektar, sekolah 1,5 hektar,
hutan 200 hektar, dan lahan perkantoran seluas 05, hektar, sedangkan kolam ikan
dan tambak udang luasnya hanya mencapai 200 hektar.
Desa Percut termasuk dalam kategori desa pantai dengan luas wilayah 1063
hektar. Walaupun dikategorikan desa pantai, namun tanah pertanian dan
perkebunan lebih dominan dibandingkan dengan lahan perikanan darat. Tercatat
sebagian besar atau 650 hektar adalah lahan pertanian termasuk didalamnya :
perkebunan, ladang/atau tegalan. Lahan pemukiman 200 hektar, sekolah 1,5 hektar,

18
hutan 200 hektar, dan lahan perkantoran seluas 05, hektar, sedangkan kolam ikan
dan tambak udang luasnya hanya mencapai 200 hektar.

2. 2. 2. KONDISI EKONOMI
Menurut Ono Surono (2015) kemiskinan nelayan dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Pertama rendahnya tingkat pendidikan, pendidikan yang dimiliki oleh
nelayan pada umumnya sangat rendah. Rendahnya tingkat pendidikan ini sangat
dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang pendidikan, bagi nelayan pendidikan
bukanlah kebutuhan penting, sebab menurut mereka yang paling dibutuhkan dalam
melaut adalah keterampilan dan kerja keras, bagaimana menghasilkan tangkapan
yang melimpah dan dijual dengan harga yang tinggi. Keterampilan tersebut tidak
akan didapat dari bangku sekolahan, tetapi didapat dari proses belajar dan
pengalaman melaut dari orang tua mereka. Persepsi ini masih mengakar pada
masyarakat nelayan, tidak terkecuali pada nelayan Desa Percut, Kecamatan Percut
Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Gambaran tersebut terlukis pada informan
penelitian ini, dari 10 orang nelayan yang dijadikan informan penelitian lima orang
diantara mereka berpendidikan sekolah dasar, empat orang berpendidikan
menengah pertama dan hanya satu orang diantara mereka yang menamatkan
sekolah menengah umum.
Hal yang sama diungkapkan oleh Nina Siti Salamah Siregar (2016) bahwa
kebiasaan pola hidup yang konsumtif dan tidak berorientasi pada masa depan secara
langsung maupun tidak langsung menjadi faktor mengapa kemudian orang-orang
tua nelayan tidak memberikan motivasi yang besar pada anak-anak mereka untuk
melanjutkan pendidikan sampai pada pendidikan tinggi. Bahkan pada level tertentu
kebanyakan nelayan masih menganggap anak sebagai aset ekonomi, yang harus
bekerja 143 Universitas Sumatera Utara membantu orang tua bekerja dilaut, sebagai
faktor penambah penghasilan orang tua, dan terkesan mengabaikan pendidikan
anak-anak.
Rosman Adjuh (2001) mengatakan bahwa masyarakat nelayan menganggap
hidup ini bukan suatu beban, karena laut telah memberikan sumber penghidupan.
Mereka beranggapan bahwa laut adalah satu-satunya sumber dan penyelamat
kehidupan mereka, dan oleh karena itulah mereka sudah memberikan pengetahuan

19
dan keterampilan sejak dini pada anak-anak mereka tentang bagaimana cara melaut.
Penelitian yang dilakukan Mubyarto (2000) sebagaimana yang di kutip oleh Nina
Siti Salamah Siregar (2016) mengenai pendidikan anak nelayan di desa Bulu yang
terletak di tepi kota Jepara, Jawa Tengah menunjukan hal yang serupa, dari
penelitian tersebut Mubyarto menemukan fakta bahwa pendidikan anak-anak
nelayan berada pada level yang sangat rendah.
Banyaknya masyarakat di wilayah ini yang mengalami putus sekolah selain
disebabkan karena persoalan ekonomi, juga karena seringnya anak-anak tersebut
ikut melaut dan mendapatkan penghasilan sendiri, sehingga tidak lagi tertarik untuk
melanjutkan sekolah. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada kemampuan
mereka dalam mengakses teknologi dan informasi, tetapi juga berpengaruh pada
tingkat kemampuan mereka dalam mengakses pekerjaan lain selain pekerjaan yang
berhubungan dengan laut khususnya pada masa paceklik (musim badai). Dari
penelitian yang dilakukan Universitas Sumatera Utara pekerjaan diluar pekerjaan
yang berhubungan dengan laut yang bisa mereka akses adalah buruh bangunan atau
pekerjaan lainnya yang bersifat serabutan.
Faktor lain yang mempengaruhi kemiskinan nelayan menurut Ono Suryono
(2015) adalah lemahnya kemampuan nelayan untuk mengekplorasi sumberdaya
yang tersedia dilaut. Teknologi penangkapan merupakan hal yang sangat penting
dalam kehidupan nelayan baik dalam bentuk alat tangkap maupun alat bantu
penangkapan (perahu). Ketergantungan pada teknologi ini selain karena kondisi
sumberdaya perikanan yang bersifat mobile yang sangat mudah berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lainnya, juga untuk menangkapnya nelayan perlu sarana
bantu untuk dapat bertahan lama hidup di atas air.
Dari segi jenisnya, teknologi penangkapan dapat dibedakan dalam dua
kategori, yaitu yang bersifat tradisional dan modern. Ukuran kemoderenan suatu
alat tangkap itu bukan semata-mata diukur pada penggunaan motor untuk
menggerakkan perahu/kapal, melainkan juga diukur dengan melihat besar kecilnya
kapal/perahu yang digunakan, tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan,
serta jarak wilayah tangkap dari bibir pantai. Teknologi penangkapan yang modern
biasanya cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai di lepas pantai (off shore),
ukuran perahu/kapal besar, dan mampu bertahan diatas air 7 – 10 hari. Sebaliknya

20
yang tradisional wilayah tangkapnya hanya terbatas pada perairan pantai, perahu
yang digunakan relatif kecil, dan kemampuan bertahan diatas air hanya 6 – 10 jam.
Kegiatan nelayan desa Percut masih menggunakan alat yang tradisional.
Dengan alat tangkap yang sederhana ini maka wilayah operasi pun menjadi
terbatas, hanya di sekitar perairan pantai. Selain itu tingkat ketergantungan mereka
terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap saat meraka bisa turun melaut,
terutama pada musim ombak, yang bisa berlangsung sampai lebih dari satu bulan.
Mereka turun melaut rata- rata 12 – 16 kali dalam sebulan dengan pola berangkat
pagi hari pulang siang hari, atau berangkat malam pulang pagi hari. Akibatnya,
selain hasil tangkapan menjadi terbatas, dengan kesederhanaan alat tangkap yang
dimiliki, pada musim tertentu tidak ada hasil tangkapan yang bisa diperoleh.
Kondisi ini menyembabkan tingkat pendapatan rata – rata nelayan desa Percut
relatif kecil yakni hanya mencapai Rp.1.000.000 – Rp. 2.000.000/bulan dan
pendapatan yang diperoleh pada saat musim ikan akan habis dikonsumsi pada saat
paceklik. Meminjam istilah Deter Evis (1997) dengan pendapatan yang relatif kecil
ini maka manajemen keuangan nelayan desa Percut adalah manajemen kuangan
dari tangan - kemulut, dimana penghasilan yang didapatkan hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar yakni makan, tanpa tabungan, dan
tanpa orientasi masa depan.
Persoalan lain yang dihadapi nelayan tradisional di laut adalah persaingan
baik sesama nelayan tradisional maupun dengan nelayan modern. Sebagaimana
yang diketahui bahwa sumberdaya laut adalah merupakan sumberdaya milik umum
(common property resources). berlaku prinsip first come first own. Artinya, siapa
yang datang paling dulu maka dialah yang paling berpeluang untuk mendapatkan
hasil tangkapan yang lebih banyak di tempat itu. Akibat dari perebutan sumberdaya
itu maka nelayan dengan teknologi yang lebih rendah cenderung akan kalah dalam
persaingan.

2. 2. 3. KONDISI PERUMAHAN DAN SANITASI


Kondisi Perumahan dan Sanitasi Sesungguhnya tidak banyak perbedaan
kondisi perumahan dan pola pemukinan nelayan desa percut khususnya Dusun
XVII, rumah-rumah mereka berjejer di tepi jalan pinggir sungai yang bermuara

21
langsung kelaut. Kebanyakan rumah mereka masih berupa rumah semi permanen
berdinding kayu atau tepas, beratap seng atau rumbia, berlantai semen atau papan.
Memang juga terdapat rumah-rumah permanen yang beratap genteng dan berlantai
keramik, tetapi rumah – rumah jenis ini adalah rumah milik toke, tekong, atau agen
penjualan ikan, sehingga jumlahnya tidaklah sebanyak rumah-rumah semi
permanen yang dimiliki nelayan tradisional. Rumah-rumah tersebut saling
berdempetan antara satu rumah dengan rumah yang lainnya, dengan ukuran yang
sangat kecil yakni 7m x 4 m – 8m x 5m (untuk ditinggal 7 – 11 orang anggota
keluarga) sehingga memunculkan kesan kumuh dan semeraut. Sekalipun demikian
sebagian besar rumah-rumah tersebut sudah dimiliki sendiri oleh para nelayan baik
yang didapat dari warisan keluarga maupun membeli dari orang lain.
Menurut nelayan dekatnya perumahan mereka dengan sungai selain ditujukan
untuk mempermudah akses mereka kelaut, juga ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan mereka khususnya kebutuhan mandi, cuci, dan kakus. Ada yang menarik
pada kebiasaan warga dusun bagan, sekalipun banyak diantara mereka yang sudah
memiliki kamar mandi dan wc sendiri didalam atau didekat rumah, namun mereka
masih tetap menggunakan sungai untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK)
Ada satu hal yang menjadi kebiasaan masyarakat nelayan Bagan yang
sifatnya sudah melekat yakni menggunakan sungai sebagai tempat MCK walaupun
sudah ada sumur bor yang dibangun pemerintah atau warga setempat. Dari segi
kesehatan, fasilitas ini jelas lebih memadai, namun penduduk tidak terbiasa
menggunakan fasilitas tersebut sehingga rusak karena tidak dimanfaatkan.
Beberapa penduduk yang diwawancarai mengatakan mereka tidak puas mandi di
sumur, karena sungai adalah bahagian hidup masyarakat. Rasanya masih ada
sesuatu yang kurang kalau tidak ke sungai kekuningan menimbulkan satu
tandatanya, jangan-jangan bercak-bercak kekuningan pada kulit penduduk
merupakan ancaman makin kronisnya penyakit kulit. “Badan dan tangan saya
sering gatal”. Kata Pak Tohir sambil bertanya kepada kepala dusun dalam suatu
kesempatan ngobrol di warung dan kepala dusun menyarankan jenis obat tertentu
yang ampuh. Walaupun fasilitas sanitasi kurang baik bagi ukuran orang kota namun
kulit para anak muda dan pada para gadis tidak ada masalah. Mereka terlihat mulus
karena lebih sering memanfaatkan sumur bor untuk keperluan mandi. Tampaknya

22
penyuluhan tentang sanitasi lingkungan masih dibutuhkan sehingga masyarakat
secara umum dapat menyadari efek penggunaan sungai untuk MCK yang kurang
baik dan sekaligus mendorong penggunaan sumur bor.

2. 2. 4. Pemberdayaan Sumberdaya Manusia


Untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia maka strategi yang
harus dilakukan adalah :
a) Meningkatan kualitas SDM melalui pelatihan, penyuluhan
b) Merubah pola pikir dengan pembinaan yang intensif
c) Pengembangan Program Pemberdayaan
d) Mencipkan Iklim Yang Memungkinkan Potensi Nelayan Untuk Berkembang
e) Menciptakan rasa kepemilikan terhadap program dengan mendorong lahirnya
kontribusi anggota kelompok pada program
f) Meningkatkan kemampuan nelayan untuk memgelolah dan memanfaatkan
sumberdaya kelautan secara optimal dan berkelanjutan. melalui sosialisasi
dan pembinaan.

2. 2. 5. Pengembangan Kelembagaan
Untuk meningkatkan kapasitas Kelembagaan maka strategi yang harus
dilakukan adalah :
a) Penguatan organisasi dan kemandirian kelompok dengan penempatan
pendamping yang berkualitas
b) Penyediaan sarpras perikanan tangkap yang menunjang peningkatan akses
terhadap pasar
c) Pengembangan Program Pemberdayaan
d) Menciptakan LKM Yang Mandiri Dan Memberikan Kemudahan Akses
Kredit
e) Pengembangan Kapasitas Kelompok (SDM) Dalam Mengembangkan Ikan
Olahan. Universitas Sumatera Utara
f) Peningkatan Kapasitas sumberdaya manusia pengelolah kelembagaan
penerima bantuan pemberdayaan

23
g) Pemberian kredit dengan sistem bunga dan angsuran yang disesuaikan
dengan kempuan terlemah anggota kelompok
h) Penegasan zona tangkap dan penegakan hukum
i) Pengembangan nelayan tradisional menjadi nelayan sekala besar.
j) Meningkatkan kemampuan nelayan untuk memgelolah dan memanfaatkan
sumberdaya kelautan secara optimal dan berkelanjutan. melalui sosialisasi
dan pembinaan

2. 2.6.Pengembangan Kewirausahaan
Untuk meningkatkan kapasitas Kelembagaan maka strategi yang harus
dilakukan adalah :
a) Memperkuat usaha budidaya dan pengolahan hasil laut
b) Pengembangan bisnis perikanan yang bernilai ekonomis tinggi untuk menarik
perhatian sektor industri dan perbankan
c) Pengembangan Kapasitas Kelompok (SDM) Dalam Mengembangkan Ikan
Olahan.
d) Pemberdayaan nelayan melalui kemitraan dengan industri dan perbankan
e) Meningkatkan kemampuan nelayan untuk memgelolah dan memanfaatkan
sumberdaya kelautan secara optimal dan berkelanjutan. melalui sosialisasi
dan pembinaan

24
BAB III
PENUTUP

2. 1. KESIMPULAN
Dari hasil temuan lapangan, kondisi kehidupan sosial ekonomi melayan
tradisionil Desa Percut tergolong buruk. Kondisi tersebut dapat terlihat dri indicator
perumahan dan sanitasi yang layak untuk hidup sehat, alat tangkap yang terbatas
dan wilayah tangkap yang over fishing, pendidikan anak anak mereka sangat rendah
serta minimnya pekerjan lain ketika hasil melaut tidak memadai. Dikaitkan dengan
konsep kemiskinan, nelayan tradisionil mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan
yang layak bagi kehidupan.
Meski sudah ada program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh
kementrian maupun pemerintah daerah, namun fakta di lapangan, program-
program tersebut, kurang memahami kondisi obyektit nelayan tradisionil dalam
struktur masyarakat nelayan secara umum apalagi program yang digagasi secara
top down planning. Memang dalam implementasi progam sesuai petunjuk teknis
dipadukan dengan bottom up planning dalam upaya pemberdayaan masyarakat
nelayan,, namun dalam kenyataan lapangan aplikasi bottom up lebih mementingkan
kebutuhan program bukan kebutuhan yang dirasakan (felt need). Akibatnya
program yang diperkenalkan tidak mampu menaikkan taraf hidup nelayan
tradisionil secara berkelanjutan.

3. 2. SARAN
Keberhasilan progam pemberdaayaan tidak bisa hanya bisa diukur pada
seberapa banyak kelompok yang sudah dibangun, seberapa besar wilayah distribusi
program, dan seberapa banyak dana yang telah disalurkan pada kelompok penerima
manfaat, tetapi diukur pada sebesapa besar nilai manfaat program pada
penyelesaian akar persoalan kemiskinan masyarakat. Oleh karenanya suatu
program berberdayaan tidak hanya menyentuh salah satu aspek saja tetapi harus
komprehensif, multidemensional, dan berkelanjutan. Persoalan kemiskinan
bukanlah hanya menyangkut ketidak berdayaan secara finansial, tetapi juga

25
menyangkut aspek-aspek yang lain: kebijakan, kultur, nilai dan lain sebagainya.
Model pemberdayaan nelayan tradisionil yang lebih tepat berangkat dari
kemiskinan nelayan tradisionil dan hasil evaluasi PEMP dan PNPM KP adalah
model kebijakan protektif yakni pemberdayaan yang berbasis pada masyarakat
dengan strategi pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan kelembagaan
dan pengembangan kewirausahaan. Titik berangkat dari model pemberdayaan yang
ditawarkan dimulai dari kajian sistem sosial masyarakat nelayan dengan analisa
SWOT, posisi nelayan tradisionl akan terpetakan, sehingga Universitas Sumatera
Utara perumusan program pada tahap persiapan dan implementasi akan lebih
efektif menyentuh kebutuhan (felt need)yang dirasakan target group khususnya
dalam model yang ditawarkan dalam penelitian ini adadalah nelayan tradisionil.
Dalam persiapan dan pelaksanaan program model ini akan menempatkan
pemerintah atau agen pendamping yang ditugaskan akan hadir secara emosional
bersama kelompok sasaran dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
sehingga program dapat berkelanjutan. DAF
Saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang digunakan di pemukiman di
atas laut kelurahan Pancuran Bambu sangat tidak memenuhi syarat, bahkan
sebagian besar masyarakat tidak memiliki saluran pembuangan air limbah (SPAL).
Hampir semua limbah rumah tangga masyarakat Pemukiman di atas laut
dibuang kelaut, sehingga mencemari laut dan tidak sesuai dengan syarat rumah
sehat dan lingkungan sehat. Hal ini disebabkan karena terbatasnya lahan untuk
dijadikan septictank.

26
DAFTAR PUSTAKA
Adjuh, Rosman. (2006). Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Kemiskinan
Nelan Desa Percut Kabupaten Deli Serdang. Tesis S2. Unimed.
Badan Pusat Statistik. 2009. Sumatera Utara Dalam Angka 2009. Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Utara.
Badan Pusat Statistik. 2016. Sumatera Utara Dalam Angka 2016. Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Utara.
Basri, Yuswar Zainul.2007. Bunga Rampai Pembangunan Ekonomi Pesisi. Jakarta:
Universitas Trisakti.
Firman, Tommy. 1991. Seratus juta Penduduk Perkotaan. Harian Suara
Pembaharuan
Martadiningrat. 2008. 90 Persen Nelayan Masih di Bawah Garis Kemiskinan.
Harian Anta. Perum LKBN Antara.
Mubyarto Kusnadi, 2009. Keberdayaan Nelayan Dalam DinamikaEkonomi Pesisir.
Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta
. 2000. Strategi Pembangunan Pedesaan. Bumi Aksara. Jakarta
Sinulingga, B.D. 2005. Pembangunan Kota. Tinjauan Regional dan Lokal. Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta.
Silas, Johan. 19. Perumahan dan Permukiman (buku 1 dan 2), Jurusan Arsitektur,
FTSP – ITS Surabaya
Surono. Ono 2015. Koperasi Nelayan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap
Berbasi Ekonomi Gotong Royong. Wahana Semesta Intermedia.Jakarta.
Susanto, Sri Soewasti. 1974. Sanitasi Lingkungan di Kota-kota Besar. Prisma 5,
LP3ES. Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai