Anda di halaman 1dari 62

TUGAS KELOMPOK

TRAPS AND BIASES IN DECISION MAKING

Mata Kuliah: Pengambilan Keputusan

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd.

Disusun Oleh:

Kelompok 5

Ahmad Yakub 9910818014


Anisa Rara Tyaningsih 9910818016
Dwi Rahmayanti 9910818004
Dewi Yuliyanti 9910818010
Hera Nuraini 9910818015

PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa


melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang fungsi manajemen pendidikan tepat pada waktunya, guna
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengambilan Keputusan semester 110
tahun 2019.
Makalah ini dapat memberikan wawasan tentang Traps and Biases in
Decision Making.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyelesaian makalah ini, yaitu:
1. Dosen mata kuliah Pengambilan Keputusan, Prof. Dr. Unifah Rosyidi,
M.Pd.
2. Teman-teman yang telah memberikan bantuan moril maupun materil
3. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan, oleh karena
itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta
memberikan manfaat.

Jakarta, Juli 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................2
D. Manfaat.........................................................................................................3
BAB II LANDASAN TEORI..................................................................................4
A. Pengertian Pengambilan Keputusan..............................................................4
B. Proses Pengambilan Keputusan....................................................................6
C. Perangkap Psikologis Dalam Pengambilan Keputusan................................7
D. Rasionalisme dan Etika dalam Pengambilan Keputusan............................10
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................16
A. The Anchoring Trap....................................................................................16
B. The Status-Quo Trap...................................................................................18
C. The Sunk-Cost Trap....................................................................................21
D. The Confirming-Evidence Trap..................................................................23
E. The Framing Trap........................................................................................25
F. Estimating and Forecasting Trap.................................................................28
G. Proposisi Etika Perilaku.............................................................................33
H. Melawan Bias..............................................................................................44
I. Respon Terhadap Behaviorisme..................................................................47
BAB IV PENUTUP...............................................................................................55
A. Simpulan.....................................................................................................55
B. Saran............................................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................57

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membuat keputusan adalah pekerjaan paling penting dari eksekutif


mana pun. Itu juga yang paling sulit dan paling berisiko. Keputusan yang
buruk dapat merusak bisnis dan karier, kadang-kadang tidak dapat diperbaiki.
Jadi dari mana datangnya keputusan buruk? Dalam banyak kasus, mereka
dapat ditelusuri kembali ke cara keputusan dibuat — alternatif tidak
didefinisikan dengan jelas, informasi yang benar tidak dikumpulkan, biaya
dan manfaat tidak ditimbang secara akurat. Tetapi kadang-kadang kesalahan
tidak terletak pada proses pengambilan keputusan melainkan pada pikiran
pembuat keputusan. Cara otak manusia bekerja dapat menyabotase keputusan
kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah lepas dari kegiatan
ekonomi. Kegiatan ekonomi tersebut meliputi produksi, distribusi dan
konsumsi. Terlebih lagi konsumsi, tidak semua orang melakukan kegiatan
produksi dan distribusi, tetapi semua orang merupakan konsumen. Dalam
mengkonsumsi suatu produk, baik itu barang maupun jasa setiap orang
memiliki kebutuhan dan pertimbangan masing-masing. Ketika seseorang
mempertimbangkan produk yang akan dikonsumsinya, maka secara tidak
langsung ia akan dihadapkan pada pengambilan keputusan atau disebut
dengan decision making.
Pengambilan keputusan ini sangat berkaitan erat dengan perilaku para
konsumen itu sendiri. Perilaku konsumen berusaha memahami bagaimana
konsumen mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan
menghabiskan produk. Setiap konsumen melakukan berbagai macam
keputusan tentang pencarian, pembelian, penggunaan beragam produk, dan
merek pada setiap periode tertentu. Berbagai macam keputusan mengenai
aktivitas kehidupan sering kaliharus dilakukan oleh setiap konsumen pada

1
setiap harinya. Konsumen melakukan keputusan setiap hari atau setiap
periode tanpa menyadari bahwa mereka telah mengambil keputusan.
Pembuatan keputusan diperlukan pada semua tahap kegiatan organisasi
dan manajemen. Misalnya, dalam tahap perencanaan diperlukan banyak
kegiatan pembuatan keputusan sepanjang proses perencanaan tersebut.
Keputusan-keputusan yang dibuat dalam proses perencanaan ditujukan
kepada pemilihan alternatif program dan prioritasnya. Dalam pembuatan
keputusan tersebut mencakup kegiatan identifikasi masalah, perumusan
masalah, dan pemilihan alternatif keputusan berdasarkan perhitungan dan
berbagai dampak yang mungkin timbul. Begitu juga dalam tahap
implementasi atau operasional dalam suatu organisasi, para manajer harus
membuat banyak keputusan rutin dalam rangka mengendalikan usaha sesuai
dengan rencana dan kondisi yang berlaku. Sedangkan dalam tahap
pengawasan yang mencakup pemantauan, pemeriksaan, dan penilaian
terhadap hasil pelaksanaan dilakukan untuk mengevalusai pelaksanaan dari
pembuatan keputusan yang telah dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah


dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana proses dari the anchoring trap?
2. Bagaimana proses dari the status quo trap?
3. Bagaimana proses dari the sunk cost trap?
4. Bagaimana proses dari the confirming evidence trap?
5. Bagaimana proses dari the framing trap?
6. Bagaimana proses dari estimating dan forecasting trap?
7. Bagaimana proposisi etika perilaku?
8. Bagaimana dalam melawan bias?
9. Bagaimana respon terhadap behaviorisme?

2
C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang ada diatas maka tujuan dari


penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami proses the anchoring trap.
2. Memahami proses the status quo trap.
3. Memahami proses the sunk cost trap.
4. Memahami proses the confirming evidence trap.
5. Memahami proses the framing trap.
6. Mengetahui proses estimating dan forecasting trap.
7. Mengetahui proposisi etika perilaku.

8. Mengetahui cara melawan bias.


9. Mengetahui respon terhadap behaviorisme.

D. Manfaat

Dari hasil makalah ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang


berkepentingan seperti:
1. Penulis
Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta
pengalaman yang mendalam mengenai Traps and Biases in Decision
Making.
2. Pihak sekolah
Hasil penulisan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi
maupun tambahan informasi untuk bahan pertimbangan pengambilan
keputusan, sehingga tindakan yang diambil dapat lebih tepat.
3. UNJ
Untuk menambah koleksi perpustakaan Universitas Negeri Jakarta serta
sebagai bahan referensi bagi penulis lainnya, sehingga dapat menambah
wawasan berpikir.
4. Mahasiswa

3
Dapat menjadi tambahan wawasan dan pengetahuan tentang Traps and
Biases in Decision Making bagi mahasiswa Pascasarjana, khususnya
Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pengambilan Keputusan

Dalam hubungannya dengan aktivitas kerja sama kelompok atau


organisasi dimana ada pimpinan dan bawahan, maka aktivitas pengambilan
keputusan merupakan tugas utama dari pimpinan. Dalam hal ini ada yang
berpendapat, bahwa pengambilan keputusan adalah inti dari kepemimpinan
dan inti dari pengambilan keputusan adalah hubungan manusia atau
sebaliknya disebut pengambilan keputusan adalah inti dari hubungan
manusia. Harold Koontz (1989) mengatakan, management is decision
making. Apa pun yang menjadi pendapat orang baik yang mengatakan inti
dari manajemen adalah pengambilan keputusan, inti dari kepemimpinan
adalah pengambilan keputusan, inti dari hubungan manusia adalah
pengambilan keputusan, maka hal yang tidak dapat dipungkiri ialah, bahwa
pengambilan keputusan merupakan satu dimensi kegiatan dan lingkup studi
Ilmu Administrasi. Ini berarti, bahwa dalam setiap kerja sama organisasi
selalu berlangsung atau dilakukan aktivitas pengambilan keputusan (decision
making).
Kegiatan pengambilan keputusan dilakukan oleh orang dalam setiap
tingkatan organisasi (level of organization), yaitu puncak (top), menengah
(middle) dan bawah (lower) atau supervisor. Pengambilan keputusan antara
lain dimaksudkan untuk merumuskan kebijaksanaan umum (general policy)
atau kebijaksanaan operasional atau teknis (technical policy) sebelum atau

4
pada saat dan setelah kegiatan berlangsung, baik oleh sebab terjadinya
penyimpangan-penyimpangan (deviasi) atau tanpa ada penyimpangan-
penyimpangan pencapaian tujuan. Di dalam melaksanakan fungsi
manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf,
penggerakan dan pengawasan setiap pimpinan harus menentukan sikap
melalui proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain, dalam setiap
kegiatan dari masing-masing fungsi manajemen selalu berlangsung proses
pengambilan keputusan. Oleh karena itu tugas pimpinan dalam rangka
pelaksanaan fungsi manajemen (execution of management functions) ialah
melakukan analisis masalah dan mengambil keputusan.
Kegiatan pengambilan keputusan berlangsung tidak lain karena
dihadapkan pada suatu problem tentang bagaimana mencapai tujuan yang
diinginkan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, masalah (tidak berarti
karena terjadi penyimpangan dalam pencapaian tujuan atau sasaran tidak
tercapai sebagaimana direncanakan) bias terjadi pada waktu merencanakan
suatu kegiatan atau pada saat kegiatan sedang berlangsung. Dan untuk situasi
yang terakhir ini maka, masalah atau persoalan atau problema ialah suatu
deviasi atau penyimpangan dari standard atau dari apa yang dianggap normal.
Dengan kata lain, problema adalah suatu penyimpangan atau deviasi secara
tidak diduga sebelimnya dari apa yan dikehendaki, diperhitungkan,
direncanakan atau diperintahkan (Prajudi Atmosudirjo, 1980).
Untuk mengatasi suatu masalah atau deviasi maka perlu diambil
keputusan yang tepat untuk dilaksanakan hingga tujuan bias tercapai. Apabila
berhubungan dengan sumber-sumber, sarana dan prasarana misalnya, maka
keputusan (decision) diambil dalam rangka pengerahan dan penggunaan
sumber-sumber, sarana dan prasaranauntuk mencapai hasil tertentu. Mencari
jalan keluar dari suatu masalah, biasanya dapat dirumuskan dan diidentifikasi
berbagai kemungkinan alternative-alternatif. Dan keputusan itu sendiri
merupakan salah satu dari alternative yang sudah diidentifikasi, sehingga
dalam analisis masalah perlu dijabarkan syarat-syarat yang sebaiknya
dipenuhi oleh alternative yang nantinya akan dipilih menjadi keputusan.

5
Pengambilan keputusan sangat penting dalam manajemen dan
merupakan tugas utama dari seorang pemimpin (manajer). Pengambilan
keputusan (decision making) diproses oleh pengambilan keputusan (decision
maker) yang hasilnya keputusan (decision).
Definisi-definisi pengambilan keputusan menurut beberapa ahli:
- R. Terry: Pengambilan keputusan dapat didefenisikan sebagai “pemilihan
alternatif kelakuan tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada”.
- Harold Koontz dan Cyril O’Donnel: Pengambilan keputusan adalah
pemilihan diantara alternatif-alternatif mengenai sesuatu cara bertindak—
adalah inti dari perencanaan. Suatu rencana dapat dikatakan tidak ada, jika
tidak ada keputusan suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau
reputasi yang telah dibuat.
- Theo Haiman: Inti dari semua perencanaan adalah pengambilan keputusan,
suatu pemilihan cara bertindak. Dalam hubungan ini kita melihat
keputusan sebagai suatu cara bertindak yang dipilih oleh manajer sebagai
suatu yang paling efektif, berarti penempatan untuk mencapai sasaran dan
pemecahan masalah.
- Drs. H. Malayu S.P Hasibuan: Pengambilan keputusan adalah suatu proses
penentuan keputusan yang terbaik dari sejumlah alternative untuk
melakukan aktifitas-aktifitas pada masa yang akan datang.
- Chester I. Barnard: Keputusan adalah perilaku organisasi, berintisari
perilaku perorangan dan dalam gambaran proses keputusan ini secara
relative dan dapat dikatakan bahwa pengertian tingkah laku organisasi
lebih penting dari pada kepentingan perorangan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengambilan
keputusan adalah proses pemilihan alternatif solusi untuk masalah. Secara
umum pengambilan keputusan adalah upaya untuk menyelesaikan masalah
dengan memilih alternatif solusi yang ada.

6
B. Proses Pengambilan Keputusan

Keputusan adalah jawaban atau respons terhadap masalah yang


dihadapi, meskipun keputusan tersebut tidak selalu merupakan pemecahan
atau jalan keluar (solution) dari suatu masalah. Secara umum, langkah-
langkah dalam proses pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
1. Proses identifikasi atau perumusan persoalan keputusan. Identifikasi
masalah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Penggunaan seven tools
dalam manajemen biasanya dapat membantu proses identifikasi ini.
2. Penetapan parameter dan variabel yang merupakan bagian dari sebuah
persoalan keputusan. Biasanya pemecahan masalah yang menggunakan
model matematika sangat memerlukan adanya variabel yang terukur.
3. Penetapan alternatif-alternatif pemecahan persoalan. Alternatif pemecahan
masalah didapatkan dari analisis pemecahaan masalah.
4. Penetapan kriteria pemilihan alternatif untuk mendapatkan alternatif yang
terbaik. Biasanya kriteria pemilihan ini didasarkan pada pay off atau hasil
dari keputusan.
5. Pelaksanaan keputusan dan evaluasi hasilnya. Tahap ini disebut tahap
implementasi, dimana alternatif solusi yang terpilih akan diterapkan dalam
jangka waktu tertentu dan setelah itu akan dievaluasi hasilnya berdasarkan
peningkatan atau penurunan pay off atau hasil.
Dari poin-poin diatas dapat kita ketahui bahwa dalam proses
pengambilan keputusan hendaknya di awali dengan jenis keputusan yang
akan diambil, setelah kita mengetahui jenisnya barulah kita tentukan langkah
pengambilan keputusan yang meliputi proses identifikasi, penetapan
parameter, alternatif, kriteria serta mengevaluasi hasilnya atau disebut tahap
implementasi. Sehingga pada akhirnya terciptalah sebuah keputusan yang adil
dan menguntungkan kedua belah pihak.

7
C. Perangkap Psikologis Dalam Pengambilan Keputusan

Untuk eksekutif, yang keberhasilannya bergantung pada banyak


keputusan sehari-hari yang mereka buat atau setujui, perangkap psikologis
sangat berbahaya. Mereka dapat merusak segalanya mulai dari
pengembangan produk baru hingga strategi akuisisi dan divestasi hingga
perencanaan suksesi. Sementara tidak ada yang bisa menghilangkan
pikirannya dari cacat yang sudah berurat berakar ini, siapa pun dapat
mengikuti petunjuk pilot penerbangan dan belajar memahami perangkap dan
menggantinya.
Pada tahun 1998, John Hammond, Ralph Keeney, dan Howard Raiffa
meneliti mengenai delapan perangkap psikologis yang dapat mempengaruhi
cara manusia dalam membuat keputusan:
1. The Anchoring Trap
Ketika mempertimbangkan keputusan, pikiran kita secara tidak sadar
memberikan bobot yang tidak proporsional untuk informasi yang pertama
kali diterima. Kesan awal, perkiraan atau data awal membuat suatu
‘jangkar’/ anchor di dalam benak. Dalam bisnis, ‘jangkar’ yang umum
terjadi adalah peristiwa masa lalu atau tren. Harapan kita mengandalkan
tren/peristiwa masa lalu tersebut agar dapat lebih akurat meramalkan masa
depan namun yang terjadi adalah kecenderungan untuk memberikan terlalu
banyak pembobotan untuk peristiwa masa lalu dan tidak cukup
pembobotan untuk faktor-faktor lain yang berpengaruh di masa depan.
Terutama di pasar dengan perubahan yang cepat, jangkar historis dapat
menyebabkan perkiraan yang buruk dan pilihan sesat.
2. The Status-Quo Trap
Kita secara bias mempengaruhi pilihan yang kita buat. Misalnya, kita
masing-masing cenderung untuk melanggengkan status quo (status saat
ini); itu merupakan bagian inheren dari pemikiran kita. Jauh di dalam jiwa,
kita sedang melindungi diri dan menghindari risiko.
3. The Sunk-Cost Trap

8
Bias lainnya adalah kecenderungan kita untuk membuat pilihan
dalam cara-cara yang membenarkan keputusan yang terakhir kali dibuat,
bahkan ketika yang terakhir tidak lagi tampak valid. Cara untuk dapat
mengurangi dampak dari jebakan ini adalah salah satunya dengan mencari
dan mendengarkan dengan cermat pandangan orang-orang yang tidak
terlibat dalam keputusan sebelumnya. Selain itu, jangan menumbuhkan
budaya takut kegagalan yang mengarahkan karyawan pada meneruskan
dan menutupi kesalahan-kesalahan yang sudah dibuat sebelumnya.
4. The Confirming-Evidence Trap
Pemimpin kadang-kadang mencari informasi yang mendukung
naluri mereka yang ada atau sudut pandang dan menghindari informasi
yang bertentangan dengan naluri mereka. Perangkap ini mempengaruhi
bagaimana kita untuk mengumpulkan bukti, serta bagaimana kita
menafsirkannya. Akibatnya, kita memberikan perhatian terlalu besar pada
informasi yang mendukung naluri kita tersebut dibanding informasi yang
bertentangan dengan naluri tersebut.
5. The Framing Trap
Kahneman dan Tversky (1979) pertama kali menjelaskan pengaruh
framing effect terhadap pengambilan keputusan melalui teori prospek.
Menurut Kahneman dan Tversky (1979), Fagley, Coleman, serta Simon
(2010), teori prospek menyatakan bahwa framing yang diadopsi pembuat
keputusan dapat mempengaruhi keputusannya. Robbins dan Judge (2011:
80) menyatakan bahwa framing effect adalah suatu cara mengelola makna
dengan menggunakan bahasa. Framing effect melibatkan pemilihan dan
penekanan satu atau lebih aspek suatu subjek dengan mengabaikan yang
lain.
I Wayan Suartana (2010: 35) menjelaskan bahwa framing effect
adalah efek pada penilaian yang dibuat pengambilan keputusan karena
cara penyampaian informasi. Informasi yang sama jika disampaikan
dengan cara yang berbeda akan menimbulkan penilaian yang berbeda.
Berdasarkan berbagai definisi para ahli mengenai framing effect, dapat

9
disimpulkan bahwa framing effect terjadi karena penyajian yang berbeda
terhadap cara, format atau penekanan hal-hal tertentu sebuah informasi
yang menyebabkan perbedaan efek penilaian oleh pengambil keputusan.
Williams (2001: 208) mengklasifikasikan framing effect (efek
pengerangkaan) ke dalam dua jenis, yaitu:
1) Kerangka positif adalah pemaparan suatu masalah dalam kaitannya
dengan keuntungan yang akanmempengaruhi pembuat keputusan
menjadi mengurangi risiko. Jika seseorang berhadapan dengan prospek
keuntungan, maka sebagian besar pembuat keputusan tidak ingin
melepas keuntungan tersebut dengan cenderung mengurangi risiko (risk
averse).
2) Kerangka negatif adalah pemaparan suatu masalah dalam kaitannya
dengan kerugian yang akan mempengaruhi pembuat keputusan menjadi
pencari risiko. Dengan tidak ada lagi yang tersisa selain informasi
tentang kerugian, maka sebagian besar pengambil keputusan menjadi
pencari risiko (risk seeking).
Pernyataan Williams (2001) merujuk pada hasil penemuan Kahneman dan
Tversky (1981) yang menyatakan bahwa masalah yang dibingkai dalam
sebuah cara yang memberikan penekanan terhadap positive gains melalui
informasi yang mengandung potensi penghematan akan menghantarkan
pembuat keputusan ke dalam sebuah tendensi pengambilan keputusan
yang konservatif (bisa disebut juga risk averse/penghindar risiko).
Sebaliknya, masalah yang dibingkai dalam sebuah cara yang memberikan
penekanan terhadap negative outcome melalui informasi yang
mengandung potensi kerugian akan mengarahkan manajer untuk membuat
keputusan yang berisiko (disebut juga risk seeking/pencari risiko).
6. Estimating and Forecasting Traps
Suatu jebakan ketika kita membuat perkiraan atau peramalan.
Terdapat tiga jebakan yang tidak tertentu yang berpengaruh pada cara kita
membuat keputusan yaitu the overconfidence trap, the prudence trap dan
the recallability trap.

10
D. Rasionalisme dan Etika dalam Pengambilan Keputusan

1. Proposisi Etika Perilaku


Bidang ilmu perilaku ekonomi, yang ditunjang oleh ilmu
psikologi dan ilmu syaraf, telah ada selama hampir empat dekade. Ilmu
ini pada dasarnya memiliki tantangan untuk mengetahui bagaimana
etika perilaku manusia dipahami dengan lukisan gambaran yang lebih
jelas tentang bagaimana pria dan wanita berpikir dan bertindak
berdasarkan informasi. Namun penerapan hasil temuannya di
masyarakat dan sebagian besar masalah etika merupakan fenomena
sepuluh tahun terakhir (Oliver,2015; Thaler,2017; lihat juga
Lewis,2017); di antara banyak karya-karya ilmiah dan populer tengara
yang mungkin dikutip di sini adalah Ariely (2008), Kahneman (2011),
Shafir (2012), Dan Thaler dan Sunstein (2009).
a. Rasionalisme Terbatas dan Etika Terbatas
Rasionalitas terbatas, istilah yang diciptakan oleh Herbert Simon,
menjelaskan “model perilaku [di mana] rasionalitas manusia sangat
terbatas, sangat dibatasi oleh situasi dan oleh kemampuan komputasi
manusia” (1983, P. 34).
b. Sistem Berpikir 1 dan 2 yang parallel
Penilaian yang dibuat di bawah tekanan mungkin mengandalkan
Sistem 1 ketika Sistem 2 dibenarkan, karena keterkaitan sirkuit
emosinal otak ke komponen kognitif otak lebih kuat dari keterkaitan
sirkuit kognitif ke sistem emosional. Sama seperti Harvard David
Ropeik mengamati bahwa, “arsitektur otak memastikan bahwa kita
merasakan terlebih dahulu dan kemudian berpikir” (2012, P. 12).
c. Penilaian Bermotif (Motivated Reasoning)
Penalaran bermotif, seperti banyak prinsip-prinsip perilaku,
beroperasi pada tingkat bawah sadar. Klaim yang tulus dapat
membuat yang satu tidak dipengaruhi oleh prasangka, meskipun

11
“berisi pendapatnya” adalah melayani diri sendiri- suatu proses yang
difasilitasi oleh pembingkaian keputusan.
d. Efek pembingkaian pengambilan keputusan
Bagaimana isu-isu dilemparkan mempengaruhi bagaimana orang
bereaksi terhadap mereka (Kearne & Chugh, 2009). Banyak
keputusan kerja, misalnya, memiliki kedua bisnis dan dimensi etika,
dan para pengambil keputusan dapat memberikan keutamaan kepada
satu atau yang lain. Jika situasi dipandang sebagai masalah bisnis, itu
bisa menyebabkan “menghilangkan etika,” dan memungkinkan
emosional, impulsif “kehendak” diri untuk menjadi dominan-
terutama karena orang cenderung untuk menerima bingkai yang
disediakan.

e. Bias dan Kesalahan Pengambilan Keputusan


Dalam mempertimbangkan distorsi kognitif tambahan, jalan pintas
mental dan anggapan tidak sadar, penting untuk mengenali bahwa otak
menafsirkan semua pengalaman berdasarkan modelnya di dunia.
Orang-orang memiliki keyakinan tertentu karena mereka sesuai
dengan perasaan yang mereka buat tentang lingkungannya. Seperti
yang telah dilihat, proses ini bisa tidak akurat — dan meyakinkan —
sebagian karena persaingan emosi yang tidak diakui dan intuisi yang
saling bertentangan. Kecenderungan bawah sadar, yang diuraikan di
bawah ini, terwujud dalam keadaan yang berbeda, muncul dalam
banyak samaran, berinteraksi dengan cara yang merusak untuk
merusak penilaian, dan tidak mudah rentan terhadap perdebatan dan
negosiasi yang beralasan.
1) Bias status quo terjadi ketika seseorang dihadapkan dengan pilihan,
dan opsi standar yang beroperasi (memutuskan untuk tidak
memutuskan) untuk hidup pada saat itu. Hal ini terjadi: (a) dengan
menempuh jalan yang paling resistan (“upaya penghindaran”), (b)

12
dengan menilai apa yang dimiliki seseorang (“preferensi
sekarang”) karena dia memilikinya (“efek abadi” atau “penolakan
keengganan”), dan (c) dengan tetap mengikuti orang tersebut dapat
berharap untuk memanfaatkan "biaya hangus" (Schmidt, 2016).
2) Pemalsuan preferensi terjadi ketika seseorang menekan apa yang
mereka pikirkan untuk setuju dengan apa yang orang lain pikirkan
— "kebenaran pribadi, tetapi kebohongan publik" (Kuran, 1997).
3) Bias kepercayaan berlebihan mengasumsikan pemahaman ketika
pemahaman tidak ada. Kecenderungan yang terdokumentasi
dengan baik ini menunjukkan individu percaya bahwa mereka tahu
lebih banyak daripada yang sebenarnya mereka ketahui. Faktanya,
orang yang paling tidak mahir sering menaksir kemampuannya
secara berlebihan, karena keserakahan menghasilkan kepercayaan
diri. Musuh pengetahuan terbesar bukanlah kebodohan, tetapi ilusi
pengetahuan (Sloman & Fernbach, 2017).
4) Ketika dihadapkan dengan dilema, orang mungkin memperkirakan
bahwa mereka akan membuat pilihan yang terhormat, tetapi ketika
benar-benar dihadapkan dengan dilema, mereka tidak. Terlalu
melebih-lebihkan kapasitas moral mereka, mereka masih
menganggap diri mereka etis ("bias etisitas") (Bazerman&
Tenbensel, 2011).
5) Kartu penilaian keseimbangan moral," di mana individu
menyimpan buku besar mental yang membandingkan tipe orang
yang mereka percayai dengan perilaku mereka yang sebenarnya
(Prentice, 2015, p. 45).

2. Melawan Bias
Dalam mengakui lebih banyak informasi saja tidak cukup untuk
menyelesaikan masalah, ilmu perilaku mencari cara untuk membantu
membuat pilihan yang lebih baik. Dengan menggunakan kegiatan dan
dorongan yang diinformasikan secara perilaku, organisasi dan karyawan

13
mereka dapat mengubah "lingkungan pilihan", untuk mengesampingkan
hal yang tidak terlihat dan memperbaiki keputusan, dengan:
a. Mempraktikkan narasi untuk merencanakan ke depan, dan menulis,
bagaimana menanggapi masalah.
b. Menetapkan janji yang mengikat sendiri di muka untuk tindakan
tertentu dengan prosedur implementasi untuk mengatasi kekuatan
kehendak terbatas (klub tabungan liburan bank, rencana pembelian /
penjualan harga saham yang telah ditentukan, arahan medis canggih).
c. Menggunakan daftar periksa, cek fakta, dan pengingat moral
("priming" per Gawande,2011), surat banding moral dengan tagihan
pajak (Bott, Cappelen, Sorensen, & Tungodden, 2017).
d. Membentuk tim yang beragam untuk mencapai pemahaman yang
lebih penuh .
e. Menerapkan program pelatihan yang menunjukkan seberapa rentan
karyawan terhadap jalan pintas mental dan bagaimana taktik
sederhana, seperti yang ada di sini, dapat mengurangi pengaruh
mereka.
f. Terlibat dalam refleksi kritis untuk melegitimasi dan mendorong
keragu-raguan.
g. Menciptakan waktu "mendinginkan" (kecemasan dan kelelahan —
penipisan kognitif — gangguan keputusan yang bijaksana).
h. Waspada terhadap rasionalisasi.
i. Mempertimbangkan apakah opsi yang tertunda akan muncul kembali.
j. Mengintrospeksi pujian yang diberikan kepada kita.
Ada banyak kendala dalam perilaku; individu dan organisasi tidak boleh
membiarkan diri mereka menjadi salah satu dari mereka. Memang, ada
bukti bahwa bias sosial juga dapat dikurangi ketika tidur melalui
penguatan subliminal dan pelatihan otak (Varazzani, 2017).

3. Respon Terhadap Behaviorisme

14
Intervensi dapat menjadi sangat manjur ketika: (a) ada alasan bagus
untuk percaya bahwa akan ada manfaat dari perubahan, (b) warga negara
setuju bahwa reformasi memang diinginkan, dan (c) inovasi hampir tanpa
usaha dan biaya. gratis (Thaler, 2017, hlm. 341). Bahkan dorongan yang
memiliki dampak kecil masih berharga, karena tidak mahal untuk
diterapkan. Ketika inovasi mudah, menarik, sosial, dan tepat waktu
(EAST), orang dapat termotivasi untuk membuat pilihan yang konsisten
dengan preferensi nilai mereka sendiri. Dengan tidak membahayakan,
penekanannya adalah membantu orang membantu diri mereka sendiri.
Dorongan cerdas, pada kenyataannya, bisa lebih berhasil dalam
mendorong keputusan yang baik daripada teknik konvensional seperti
dengar pendapat publik, subsidi, pengumuman layanan publik, dan insentif
pajak (Benartzi et al., 2017).
Sehubungan dengan literatur berkala, analisis tiga jurnal umum —
Tinjauan Administrasi Publik (PAR), Jurnal Administrasi Publik dan Teori,
dan Administrasi Publik — oleh Grimmelikhuijsen, Jilke, Olsen, dan
Tummers (2017) menemukan beberapa penetrasi behavioralisme ke dalam
profesi. Mereka menyimpulkan, bagaimanapun, bahwa studi mereka
hanyalah awal dari dialog antara kota dan gaun. Para penulis
merekomendasikan bahwa penelitian meluas ke topik tambahan (Contoh.,
E-government), tetapi etika tidak disebutkan sebagai salah satunya.
Penelitian administrasi publik dapat mengambil manfaat dari aplikasi
konsep perilaku yang semakin canggih, karena saat ini digunakan untuk:

 Memeriksa bias kognisi dalam fungsi manajemen sumber daya manusia


seperti penilaian kinerja (Belle, Cantarelli, & Belardinelli, 2017);
 Hadir undang-undang model subjek-masalah di bidang-bidang seperti
vaksinasi (Buttenheim, 2017);
 Mengatasi masalah yang lebih kompleks (melampaui perilaku
mendorong warga negara untuk secara sistematis memasukkan
pengetahuan perilaku dalam desain keseluruhan layanan, produktivitas
tenaga kerja, dan pengambilan keputusan organisasi); dan

15
 Mengintegrasikan ilmu perilaku dengan saudara bidang untuk mencapai
reformasi holistik (menggantikan batas-batas disiplin untuk fokus pada
desain yang berpusat pada pengguna, ilmu data dan analisis, dan
teknologi digital) dalam pencarian untuk teori etika perilaku yang lebih
bersatu.

16
BAB III
PEMBAHASAN

A. The Anchoring Trap

Bagaimana Anda akan menjawab dua pertanyaan ini?


Apakah populasi Turki lebih dari 35 juta?
Berapa perkiraan terbaik Anda untuk populasi Turki?
Jika Anda seperti kebanyakan orang, angka 35 juta yang dikutip dalam
pertanyaan pertama (angka yang kami pilih secara sewenang-wenang)
memengaruhi jawaban Anda untuk pertanyaan kedua. Selama bertahun-tahun,
kami telah mengajukan pertanyaan itu kepada banyak kelompok orang.
Dalam setengah kasus, kami menggunakan 35 juta dalam pertanyaan
pertama; di separuh lainnya, kami menggunakan 100 juta. Tanpa gagal,
jawaban untuk pertanyaan kedua bertambah jutaan ketika angka yang lebih
besar digunakan dalam pertanyaan pertama. Tes sederhana ini
menggambarkan fenomena mental yang umum dan sering merusak yang
dikenal sebagai anchoring (penahan). Ketika mempertimbangkan suatu
keputusan, pikiran memberikan bobot yang tidak proporsional pada informasi
pertama yang diterimanya. Kesan awal, perkiraan, atau data jangkar
pemikiran dan penilaian selanjutnya.
Anchor mengambil banyak samaran. Mereka bisa sederhana dan
tampak tidak mengancam seperti komentar yang ditawarkan oleh seorang
kolega atau statistik yang muncul di koran pagi. Mereka dapat sama
berbahaya seperti stereotip tentang warna kulit seseorang, aksen, atau
pakaian. Dalam bisnis, salah satu jenis anchor yang paling umum adalah
peristiwa atau tren di masa lalu. Seorang marketer yang berusaha
memproyeksikan penjualan suatu produk untuk tahun mendatang sering
dimulai dengan melihat volume penjualan selama beberapa tahun terakhir.
Angka-angka lama menjadi anchor, yang kemudian diprediksi berdasarkan
faktor-faktor lain. Pendekatan ini, meskipun mungkin mengarah pada

17
perkiraan yang cukup akurat, cenderung memberikan beban terlalu banyak
untuk peristiwa masa lalu dan tidak cukup beban untuk faktor lain. Dalam
situasi yang ditandai dengan perubahan cepat di pasar, historical anchor
dapat menyebabkan perkiraan yang buruk dan, pada gilirannya, pilihan yang
salah arah.
Sebab anchor bisa menetapkan ketentuan di mana keputusan akan
dibuat, mereka sering digunakan sebagai taktik tawar-menawar oleh
negosiator yang cerdas. Pertimbangan pengalaman sebuah perusahaan
konsultan besar yang sedang mencari kantor baru di San Francisco. Bekerja
dengan perantara real-estate komersial, mitra perusahaan mengidentifikasi
sebuah bangunan yang memenuhi semua kriteria mereka, dan mereka
mengadakan pertemuan dengan pemilik bangunan. Pemilik membuka
pertemuan dengan menjabarkan ketentuan-ketentuan kontrak yang diusulkan:
sewa sepuluh tahun; harga bulanan awal $ 2,50 per kaki persegi; kenaikan
harga tahunan pada tingkat inflasi yang berlaku; semua perbaikan interior
menjadi tanggung jawab penyewa; opsi bagi penyewa untuk memperpanjang
sewa selama sepuluh tahun tambahan dengan ketentuan yang sama. Meskipun
harganya berada pada tingkat tertinggi dari tingkat pasar saat ini, para
konsultan membuat penawaran balik yang relatif sederhana. Mereka
mengusulkan harga awal di tengah-tengah harga pasar dan meminta pemilik
untuk berbagi dalam biaya renovasi, tetapi mereka menerima semua
persyaratan lainnya. Para konsultan bisa saja jauh lebih agresif dan kreatif
dalam kontra-proposal mereka — mengurangi harga awal ke harga terendah
di pasar, menyesuaikan suku bunga dua kali setahun, membatasi kenaikan,
menentukan berbagai istilah untuk memperpanjang masa sewa, dan
sebagainya— tetapi pemikiran mereka dipandu oleh usulan awal pemilik.
Para konsultan telah jatuh ke dalam anchor, dan sebagai hasilnya, mereka
akhirnya membayar lebih banyak untuk ruang kantor daripada yang
seharusnya.
Efek anchor dalam pengambilan keputusan telah didokumentasikan
dalam ribuan percobaan. Anchor memengaruhi keputusan tidak hanya

18
manajer, tetapi juga akuntan dan insinyur, pegawai bank dan pengacara,
konsultan, dan analis saham. Tidak ada yang bisa menghindari pengaruh
mereka; mereka terlalu luas. Tetapi manajer yang menyadari bahaya anchor
dapat mengurangi dampaknya dengan menggunakan teknik berikut:
 Selalu melihat masalah dari perspektif yang berbeda. Coba gunakan starting
point dan pendekatan alternatif guna untuk bertahan dengan garis pemikiran
pertama yang terjadi pada Anda.
 Pikirkan masalah Anda sendiri sebelum berkonsultasi dengan orang lain
untuk menghindari pengaruh oleh ide-ide mereka.
 Berpikiran terbuka. Mencari informasi dan pendapat dari berbagai orang
untuk memperluas kerangka referensi Anda dan mendorong pikiran Anda ke
arah yang baru.
 Berhati-hatilah untuk menghindari anchor penasihat, konsultan, dan orang
lain dari siapa Anda meminta informasi dan nasihat. Beri tahu mereka
sesedikit mungkin tentang ide, perkiraan, dan keputusan tentatif Anda sendiri.
Jika Anda mengungkapkan terlalu banyak, prasangka Anda sendiri mungkin
akan kembali kepada Anda.
 Berhati-hatilah terhadap anchor dalam negosiasi. Pikirkan posisi Anda
sebelum negosiasi dimulai untuk menghindari anchor oleh usulan awal pihak
lain. Pada saat yang sama, cari peluang untuk menggunakan anchor untuk
keuntungan diri sendiri — jika Anda penjual, misalnya, menyarankan harga
tinggi, tetapi dapat dipertahankan, harga sebagai pembukaan.

B. The Status-Quo Trap

Kita semua suka percaya bahwa kita membuat keputusan secara


rasional dan objektif. Tetapi kenyataannya adalah, kita semua membawa bias,
dan bias itu memengaruhi pilihan yang kita buat. Pembuat keputusan
menampilkan, misalnya, bias kuat terhadap alternatif yang mengabadikan
status quo. Dalam skala luas, kita dapat melihat kecenderungan ini setiap kali
produk baru yang radikal diperkenalkan. Mobil pertama, yang disebut "kereta

19
tanpa kuda," tampak sangat mirip dengan kereta yang mereka ganti. "Surat
kabar elektronik" pertama yang muncul di World Wide Web tampak sangat
mirip dengan yang sebelumnya.
Pada tingkat yang lebih familiar, Anda mungkin telah menyerah pada
bias ini dalam keputusan keuangan pribadi. Orang kadang-kadang, misalnya,
membagi saham yang tidak akan pernah mereka beli sendiri. Meskipun akan
menjadi keterus-terangan dan murah untuk menjual saham-saham itu dan
memasukkan uang ke dalam investasi yang berbeda, sejumlah orang yang
mengejutkan tidak menjual. Mereka merasa nyaman dengan status quo, dan
mereka menghindari tindakan yang akan membuat kesal. "Mungkin aku akan
memikirkannya nanti," kata mereka. Tapi "nanti" biasanya tidak pernah.
Sumber perangkap status-quo terletak jauh di dalam jiwa kita, dalam
keinginan kita untuk melindungi ego dari kerusakan. Melepaskan diri dari
status quo berarti mengambil tindakan, dan ketika kita mengambil tindakan,
kita harus bertanggungjawab, dengan demikian membuka diri kita untuk
dikritik dan menyesal. Tidak mengherankan, kita secara alami mencari alasan
untuk tidak melakukan apa pun. Berpegang teguh pada status quo, dalam
banyak kasus, menunjukkan jalan yang lebih aman karena menempatkan kita
pada risiko psikologis yang lebih kecil.
Banyak percobaan telah menunjukkan daya tarik magnetik dari status
quo. Dalam satu kelompok, orang secara acak diberi satu dari dua hadiah
dengan nilai yang kira-kira sama — setengah menerima cangkir, setengah
lainnya cokelat Swiss. Mereka kemudian diberi tahu bahwa mereka dapat
dengan mudah menukar hadiah yang mereka terima dengan hadiah lainnya.
Meskipun Anda mungkin berharap bahwa sekitar setengahnya ingin
melakukan pertukaran, hanya satu dari sepuluh yang benar-benar
melakukannya. Status quo mengerahkan kekuatannya meskipun telah
ditetapkan secara sewenang-wenang hanya beberapa menit sebelumnya.
Eksperimen lain menunjukkan bahwa semakin banyak pilihan yang
diberikan, semakin menarik status quo. Lebih banyak orang, misalnya,
memilih status quo ketika ada dua alternatif daripada satu: A dan B bukan

20
hanya A. Mengapa? Memilih antara A dan B membutuhkan upaya tambahan;
memilih status quo menghindari upaya itu.
Dalam bisnis, di mana sins of commission (melakukan sesuatu)
cenderung dihukum jauh lebih berat daripada sins of omission (tidak
melakukan apa-apa), status quo memiliki daya tarik yang sangat kuat. Banyak
merger, misalnya, founder karena perusahaan yang mengakuisisi menghindari
pengambilan tindakan cepat untuk memaksakan struktur manajemen baru,
lebih tepat pada perusahaan yang diakuisisi. "Let’s not rock the boat right
now" alasan khasnya. "Mari kita tunggu sampai situasinya stabil." Tetapi
seiring berjalannya waktu, struktur yang ada menjadi lebih mengakar, dan
mengubahnya menjadi lebih sulit, tidak mudah. Karena gagal memanfaatkan
kesempatan ketika perubahan diharapkan, manajemen menemukan dirinya
terjebak dengan status quo.
Pertama-tama, ingatlah bahwa dalam setiap keputusan yang diberikan,
mempertahankan status quo mungkin memang merupakan pilihan terbaik,
tetapi Anda tidak ingin memilihnya hanya karena kenyamanan. Setelah Anda
menyadari jebakan (traps) status-quo, Anda dapat menggunakan teknik ini
untuk mengurangi tarikannya:
 Selalu ingatkan diri Anda tentang tujuan dan periksa bagaimana mereka akan
dilayani oleh status quo. Anda mungkin menemukan bahwa elemen-elemen
dari situasi saat ini bertindak sebagai penghalang untuk tujuan Anda.
 Jangan pernah menganggap status quo sebagai satu-satunya alternatif Anda.
Identifikasi opsi lain dan gunakan sebagai penyeimbang, hati-hati
mengevaluasi semua kelebihan dan kekurangannya.
 Tanyakan kepada diri sendiri apakah akan memilih alternatif status-quo jika,
faktanya, itu bukan status quo.
 Hindari membesar-besarkan upaya atau biaya yang terlibat dalam peralihan
dari status quo.
 Ingat bahwa keinginan status quo akan berubah seiring waktu. Ketika
membandingkan alternatif, selalu evaluasi dalam hal masa depan maupun saat
ini.

21
 Jika Anda memiliki beberapa alternatif yang lebih unggul daripada status quo,
jangan default ke status quo hanya karena kesulitan memilih alternatif terbaik.
Paksa diri sendiri untuk memilih.

C. The Sunk-Cost Trap

Hal lain dari bias yang sangat sulit adalah membuat pilihan dengan cara
membenarkan pilihan masa lalu, bahkan ketika pilihan masa lalu tidak lagi
berlaku. Sebagian besar dari kita telah jatuh ke dalam perangkap ini. Kita
mungkin menolak, misalnya, untuk menjual saham atau reksa dana dengan
kerugian, melepaskan investasi lain yang lebih menarik. Atau kita mungkin
telah mengerahkan upaya yang sangat besar untuk meningkatkan kinerja
karyawan yang kita tahu tidak seharusnya kita pekerjakan sejak awal.
Keputusan masa lalu kita menjadi apa yang oleh para ekonom disebut sunk
costs — investasi lama yaitu waktu atau uang yang sekarang tidak dapat
dikembalikan. Kita tahu, secara rasional, bahwa sunk costs tidak relevan
dengan keputusan saat ini, tetapi bagaimanapun mereka mengambil alih
pikiran kita, menggiring kita pada keputusan yang tidak pantas.
Mengapa orang tidak dapat membebaskan diri dari keputusan masa
lalu? Seringkali, itu karena mereka tidak mau, secara sadar atau tidak,
mengakui kesalahan. Mengakui keputusan yang buruk dalam kehidupan
pribadi seseorang mungkin murni masalah pribadi, hanya melibatkan harga
diri seseorang, tetapi dalam bisnis, keputusan yang buruk seringkali
merupakan masalah yang sangat umum, mengundang komentar kritis dari
rekan atau atasan. Jika memecat karyawan berkinerja buruk yang digaji, Anda
membuat pengakuan publik atas penilaian buruk. Tampaknya secara
psikologis lebih aman untuk membiarkannya tetap tinggal, meskipun pilihan
itu hanya menambah kesalahan.
Bias sunk-costs muncul dengan keteraturan yang mengganggu di
perbankan, dimana bisa memiliki konsekuensi yang sangat mengerikan.
Ketika bisnis peminjam mengalami masalah, pemberi pinjaman akan sering

22
memajukan dana tambahan dengan harapan memberikan ruang bernapas
kepada bisnis untuk mengembalikan keadaan. Jika bisnis memiliki peluang
bagus untuk kembali, itu adalah investasi yang bijak. Kalau tidak, itu hanya
membuang uang.
Salah satu dari kami membantu bank besar AS pulih setelah membuat
banyak pinjaman buruk untuk bisnis asing. Kami menemukan bahwa para
banker yang bertanggung jawab atas masalah pinjaman jauh lebih besar
kemungkinannya untuk memajukan dana tambahan — berulang kali, dalam
banyak kasus — daripada para banker yang mengambil alih rekening setelah
pinjaman awal dibuat. Seringnya, strategi banker asli — dan pinjaman —
berakhir dengan kegagalan. Karena telah terperangkap oleh eskalasi
komitmen, mereka telah berusaha, secara sadar atau tidak sadar, untuk
melindungi keputusan mereka sebelumnya yang cacat. Mereka telah menjadi
korban bias sunk-costs. Bank akhirnya menyelesaikan masalah dengan
melembagakan kebijakan yang mengharuskan pinjaman segera dipindahkan
ke banker lain segera setelah masalah muncul. Banker baru bisa fresh, tidak
memihak pada manfaat menawarkan lebih banyak dana.
Kadang-kadang budaya perusahaan memperkuat perangkap sunk-costs.
Jika hukuman untuk membuat keputusan mengarah pada hasil yang tidak
menguntungkan terlalu parah, manajer akan termotivasi untuk membiarkan
proyek yang gagal berlarut-larut tanpa henti — dengan harapan sia-sia bahwa
mereka entah bagaimana akan dapat mengubahnya menjadi kesuksesan.
Eksekutif harus menyadari bahwa, dalam dunia yang tidak pasti di mana
peristiwa yang tidak terduga terjadi bersama, keputusan yang baik kadang-
kadang dapat mengarah pada hasil yang buruk. Dengan mengakui bahwa
beberapa ide bagus akan berakhir dengan kegagalan, eksekutif akan
mendorong orang untuk mengurangi kerugian mereka daripada
membiarkannya meningkat.
Untuk semua keputusan dengan masa lalu, Anda perlu melakukan
upaya sadar untuk menyingkirkan sunk-costs - baik psikologis atau ekonomi -
yang akan membuat Anda berpikir tentang pilihan yang ada. Coba teknik ini:

23
 Cari dan dengarkan baik-baik pandangan orang-orang yang tidak terlibat
dengan keputusan sebelumnya dan tidak mungkin berkomitmen pada mereka.
 Periksalah mengapa mengakui kesalahan sebelumnya membuat Anda sedih.
Jika masalahnya terletak pada harga diri Anda, atasi saja. Ingatkan diri Anda
bahwa pilihan cerdas sekalipun dapat memiliki konsekuensi buruk, bukan
karena kesalahan pembuat keputusan awal, dan bahkan manajer yang terbaik
dan paling berpengalaman pun tidak kebal terhadap kesalahan penilaian.
Ingat kata-kata bijak Warren Buffet: "Ketika Anda menemukan diri Anda
dalam lubang, hal terbaik yang dapat Anda lakukan adalah berhenti
menggali."
 Waspada pengaruh bias sunk-costs dalam keputusan dan rekomendasi yang
dibuat oleh bawahan Anda. Tetapkan kembali tanggung jawab bila perlu.
 Jangan menumbuhkan budaya takut gagal yang membuat karyawan
memperpanjang kesalahan mereka. Dalam memberi penghargaan kepada
orang, lihat kualitas pengambilan keputusan mereka (dengan
mempertimbangkan apa yang diketahui pada saat keputusan mereka dibuat),
bukan hanya kualitas hasil.

D. The Confirming-Evidence Trap

Bayangkan bahwa Anda adalah presiden dari pabrik AS yang sukses,


sedang mempertimbangkan apakah akan membatalkan ekspansi pabrik yang
direncanakan. Sementara itu, Anda khawatir bahwa perusahaan Anda tidak
bisa mempertahankan laju pertumbuhan ekspor yang cepat. Anda khawatir
jika nilai dolar AS akan menguat dalam beberapa bulan mendatang, membuat
barang Anda lebih mahal bagi konsumen luar negeri dan mengurangi
permintaan. Tetapi sebelum Anda membatasi ekspansi pabrik, Anda
memutuskan untuk memanggil seorang kenalan, kepala eksekutif perusahaan
serupa yang baru-baru ini melakukan mothballed pada pabrik baru, untuk
memeriksa alasannya. Dia menghadirkan kasus kuat bahwa mata uang

24
lainnya akan melemah secara signifikan terhadap dolar. Apa yang kamu
kerjakan?
Anda sebaiknya tidak membiarkan percakapan itu menjadi penentu,
karena Anda mungkin hanya menjadi korban bias confirming-evidence. Bias
ini mengarahkan kita untuk mencari informasi yang mendukung insting atau
sudut pandang kita saat ini sambil menghindari informasi yang kontradiktif.
Lagi pula, apa yang Anda harapkan dari perkenalan Anda, selain argumen
kuat yang mendukung keputusannya sendiri? Bias confirming-evidence tidak
hanya memengaruhi dimana kita mengumpulkan bukti, tetapi juga bagaimana
kita menginterpretasikan bukti yang diterima, yaitu mengarahkan kita untuk
memberi terlalu banyak beban untuk mendukung informasi dan terlalu sedikit
informasi yang saling bertentangan.
Dalam satu studi psikologis tentang fenomena ini, dua kelompok —
satu menentang dan satu mendukung hukuman mati — masing-masing
membaca dua laporan penelitian yang dilakukan tentang efektivitas hukuman
mati sebagai pencegah kejahatan. Satu laporan menyimpulkan bahwa
hukuman mati efektif; yang lain menyimpulkan bukan demikian. Meskipun
terekspose dengan informasi ilmiah yang mendukung argumen yang
berlawanan, para anggota kedua kelompok menjadi lebih yakin akan validitas
posisi mereka sendiri setelah membaca kedua laporan. Mereka secara
otomatis menerima informasi pendukung dan menolak informasi yang
bertentangan.
Ada dua kekuatan psikologis mendasar yang bekerja di sini. Yang
pertama adalah kecenderungan kita untuk secara tidak sadar memutuskan apa
yang ingin kita lakukan sebelum kita mengetahui mengapa kita ingin
melakukannya. Yang kedua adalah kecenderungan kita untuk lebih terlibat
dengan hal-hal yang kita sukai daripada hal-hal yang tidak kita sukai —
kecenderungan yang terdokumentasi dengan baik bahkan pada bayi. Jadi,
tentu saja, kita tertarik pada informasi yang mendukung kecenderungan
bawah sadar kita.

25
Anda tidak seharusnya membuat pilihan yang secara tidak sadar. Hanya
saja Anda ingin memastikan itu adalah pilihan cerdas. Anda harus
mengujinya. Caranya:
 Selalu periksa apakah Anda memeriksa semua bukti dengan ketelitian
yang sama. Hindari kecenderungan untuk menerima bukti yang
dikonfirmasi tanpa pertanyaan.
 Cari seseorang yang Anda hormati untuk berperan sebagai devil’s
advocate, untuk membantah keputusan yang Anda pikirkan. Lebih baik
lagi, bangun sendiri kontra-argumennya. Apa alasan terkuat untuk
melakukan sesuatu yang lain? Alasan terkuat kedua? Ketiga?
Pertimbangkan posisi dengan pikiran terbuka.
 Jujurlah dengan diri sendiri tentang motivasi Anda. Apakah benar-benar
mengumpulkan informasi untuk membantu membuat pilihan yang cerdas,
atau hanya mencari bukti yang menegaskan apa yang menurut Anda ingin
dilakukan?
 Dalam mencari saran orang lain, jangan ajukan pertanyaan utama yang
mengundang confirming-evidence. Dan jika menemukan bahwa seorang
penasihat sepertinya selalu mendukung sudut pandang Anda, temukan
seorang penasihat baru. Jangan mengelilingi diri Anda dengan yes-man.

E. The Framing Trap

Langkah pertama dalam mengambil keputusan adalah membuat


kerangka pertanyaan. Itu juga salah satu langkah paling berbahaya. Cara
masalah dibingkai dapat sangat mempengaruhi pilihan yang Anda buat.
Dalam kasus yang melibatkan asuransi mobil, misalnya, framing membuat
perbedaan $200 juta. Untuk mengurangi biaya asuransi, dua negara tetangga,
New Jersey dan Pennsylvania, membuat perubahan serupa dalam undang-
undang mereka. Setiap negara bagian memberikan opsi baru kepada
pengemudi: dengan menerima hak terbatas untuk menuntut, mereka dapat
menurunkan premi mereka. Tetapi kedua negara membuat framing pilihan

26
dengan cara yang sangat berbeda: di New Jersey, Anda secara otomatis
mendapat hak terbatas untuk menuntut kecuali Anda menentukan sebaliknya;
di Pennsylvania, Anda mendapat hak penuh untuk menuntut kecuali Anda
menentukan sebaliknya. Frame yang berbeda menetapkan status quo yang
berbeda, dan, tidak mengherankan, sebagian besar konsumen menetapkan ke
status quo. Akibatnya, di New Jersey sekitar 80% pengemudi memilih hak
terbatas untuk menuntut, tetapi di Pennsylvania hanya 25% yang memilihnya.
Karena cara itu membentuk pilihan, Pennsylvania gagal mendapatkan sekitar
$200 juta dalam asuransi yang diharapkan dan penghematan litigasi.
Framing trap dapat mengambil banyak bentuk, dan seperti yang
ditunjukkan oleh contoh asuransi, seringkali terkait erat dengan psychological
trap lainnya. Frame dapat menetapkan status quo atau memperkenalkan
anchor. Ini bisa dihighlight sunk-costs atau menuntun Anda ke arah
confirming-evidence. Peneliti keputusan telah mendokumentasikan dua jenis
frame yang mendistorsi pengambilan keputusan dengan frekuensi tertentu:
1. Frames as Gains Versus Losses (Frame sebagai Keuntungan vs.
Kerugian)
Dalam sebuah penelitian dicontohkan setelah eksperimen klasik
oleh peneliti keputusan Daniel Kahneman dan Amos Tversky, salah satu
dari kami mengajukan masalah berikut kepada sekelompok profesional
asuransi:
Anda adalah adjuster properti laut yang ditugasi meminimalkan kerugian
kargo pada tiga tongkang berasuransi yang tenggelam kemarin di lepas
pantai Alaska. Setiap tongkang menyimpan barang senilai $200.000, yang
akan hilang jika tidak diselamatkan dalam waktu 72 jam. Pemilik
perusahaan penyelamat laut lokal memberi Anda dua opsi, yang keduanya
akan sama biayanya:
Rencana A: Rencana ini akan menghemat muatan salah satu dari tiga
tongkang, senilai $200.000.

27
Rencana B: Rencana ini memiliki kemungkinan sepertiga untuk
menghemat kargo di ketiga tongkang, bernilai $600.000, tetapi memiliki
probabilitas dua pertiga untuk tidak menghemat apa pun.
Rencana mana yang akan Anda pilih?
Jika Anda seperti 71% responden dalam penelitian ini, Anda memilih
"yang kurang berisiko" yaitu Rencana A, yang tentunya akan menghemat
satu tongkang. Namun, kelompok lain dalam penelitian ini diminta
memilih antara alternatif C dan D:
Rencana C: Rencana ini akan mengakibatkan hilangnya dua dari tiga
kargo, senilai $400.000.
Rencana D: Rencana ini memiliki kemungkinan dua pertiga menghasilkan
hilangnya ketiga kargo dan keseluruhan $600.000 tetapi memiliki
kemungkinan sepertiga kehilangan kargo.
Menghadapi pilihan ini, 80% dari responden lebih suka Rencana D.
Pasangan-pasangan alternatif itu, tentu saja, sama persis — Rencana
A sama dengan Rencana C, dan Rencana B sama dengan Rencana D —
semuanya dibingkai dengan cara yang berbeda. Respon yang sangat
berbeda mengungkapkan bahwa orang-orang enggan mengambil risiko
ketika masalah diajukan dalam hal keuntungan (tongkang disimpan) tetapi
mencari risiko ketika masalah diajukan dalam hal menghindari kerugian
(tongkang hilang). Selain itu, mereka cenderung memilih frame seperti
yang disampaikan kepada mereka daripada menyatakan kembali masalah
dengan cara mereka sendiri.
2. Framing with Different Reference Points (Pembingkaian dengan
Referensi Berbeda Poin).
Masalah yang sama juga dapat menimbulkan tanggapan yang sangat
berbeda ketika frame menggunakans titik referensi yang berbeda.
Katakanlah Anda memiliki $2.000 di rekening giro Anda dan Anda ditanya
pertanyaan berikut:
Apakah Anda menerima peluang lima puluh lima puluh kehilangan
$300 atau memenangkan $ 500?

28
Apakah Anda akan menerima kesempatan itu? Bagaimana jika Anda
ditanya pertanyaan ini:
Apakah Anda lebih suka menyimpan saldo rekening giro Anda
sebesar $2.000 atau menerima peluang 50:50 untuk memiliki $1.700
atau $2.500 di akun Anda?
Sekali lagi, kedua pertanyaan itu menimbulkan masalah yang sama.
Sementara jawaban Anda untuk kedua pertanyaan itu seharusnya, secara
rasional, sama, penelitian telah menunjukkan bahwa banyak orang akan
menolak peluang fifty-fifty dalam pertanyaan pertama tetapi menerima
pertanyaan yang kedua. Hasil reaksi mereka berbeda dari titik referensi
berbeda yang disajikan dalam dua frame. Frame pertama, dengan titik
referensi nol, menekankan keuntungan dan kerugian tambahan, dan
pemikiran kehilangan memicu respons konservatif dalam pikiran banyak
orang. Frame kedua, dengan titik referensi $2.000, menempatkan segala
sesuatu ke dalam perspektif dengan menekankan dampak finansial nyata
dari keputusan tersebut.

Masalah dengan frame yang buruk dapat merusak keputusan yang


paling baik sekalipun. Tetapi efek negatif dari framing dapat dibatasi dengan
melakukan tindakan pencegahan berikut:
 Jangan otomatis menerima frame awal, apakah itu dirumuskan oleh Anda
atau oleh orang lain. Selalu berusaha reframe masalah dengan berbagai
cara. Cari distorsi yang disebabkan oleh frame.
 Cobalah mengajukan masalah dengan cara netral, berlebihan yang
menggabungkan keuntungan dan kerugian atau merangkul poin referensi
yang berbeda. Sebagai contoh: Apakah Anda menerima peluang 50:50
$300, menghasilkan saldo bank $1.700, atau memenangkan $500,
menghasilkan saldo bank $ 2.500?
 Berpikir keras selama proses pengambilan keputusan Anda tentang
framing masalah. Pada titik-titik di seluruh proses, terutama menjelang

29
akhir, tanyakan pada diri Anda bagaimana pemikiran Anda dapat berubah
jika framing berubah.
 Ketika orang lain merekomendasikan keputusan, periksa cara mereka
framing masalah. Tantang mereka dengan frame yang berbeda.

F. Estimating and Forecasting Trap

Sebagian besar dari kita mahir membuat perkiraan tentang waktu, jarak,
berat, dan volume. Itu karena kami terus-menerus membuat penilaian tentang
variabel-variabel ini dan mendapatkan umpan balik cepat tentang keakuratan
penilaian tersebut. Melalui latihan setiap hari, pikiran kita dikalibrasi dengan
halus.
Namun, membuat perkiraan atau ramalan tentang peristiwa yang tidak
pasti adalah masalah yang berbeda. Sementara manajer terus membuat
estimasi dan perkiraan seperti itu, mereka jarang mendapatkan umpan balik
yang jelas tentang akurasi mereka. Jika Anda menilai, misalnya, bahwa
kemungkinan harga minyak turun menjadi kurang dari $ 15 per barel maka
satu tahun adalah sekitar 40% dan harganya memang jatuh ke tingkat itu,
Anda tidak dapat memastikan apakah Anda benar atau salah tentang
probabilitas yang Anda perkirakan. Satu-satunya cara untuk mengukur
keakuratan Anda adalah dengan melacak sebanyak mungkin, banyaknya
penilaian serupa untuk melihat apakah, setelah fakta, peristiwa yang Anda
pikir memiliki 40% kemungkinan terjadi sebenarnya terjadi 40% dari waktu.
Itu akan membutuhkan banyak data, dengan hati-hati dilacak selama periode
waktu yang lama. Peramal cuaca dan bandar taruhan memiliki peluang dan
insentif untuk mempertahankan catatan seperti itu, tetapi sisanya tidak.
Akibatnya, pikiran kita tidak pernah dikalibrasi untuk membuat perkiraan
dalam menghadapi ketidakpastian.
Semua trap yang telah kita diskusikan sejauh ini bisa memengaruhi cara
kita mengambil keputusan saat berhadapan dengan ketidakpastian. Tetapi ada
serangkaian perangkap lain yang dapat memiliki efek yang sangat
menyimpang dalam situasi yang tidak pasti karena mereka mengaburkan

30
kemampuan kita untuk menilai probabilitas. Mari kita lihat tiga jebakan
ketidakpastian yang paling umum ini:
1. The Overconfidence Trap (perangkap terlalu percaya diri).
Meskipun sebagian besar dari kita tidak pandai membuat perkiraan
atau perkiraan, kita sebenarnya cenderung terlalu percaya diri tentang
keakuratan kita. Itu dapat menyebabkan kesalahan dalam penilaian dan,
pada gilirannya, keputusan yang buruk. Dalam satu rangkaian tes, orang
diminta untuk memperkirakan nilai penutupan minggu depan untuk Dow
Jones Industrial Average. Untuk menjelaskan ketidakpastian, mereka
kemudian diminta untuk memperkirakan kisaran di mana nilai penutupan
kemungkinan akan jatuh. Dalam memilih nomor atas kisaran, mereka
diminta untuk memilih perkiraan tinggi yang mereka pikir hanya memiliki
peluang 1% terlampaui oleh nilai penutupan. Demikian pula, untuk ujung
bawah, mereka disuruh memilih perkiraan rendah yang menurut mereka
hanya ada peluang 1% dari nilai penutupan yang turun di bawahnya. Jika
mereka pandai menilai akurasi perkiraan mereka, Anda akan
mengharapkan para peserta salah hanya sekitar 2% dari waktu. Tetapi
ratusan tes telah menunjukkan bahwa rata-rata Dow Jones jatuh di luar
kisaran perkiraan 20% hingga 30% dari waktu. Terlalu percaya diri tentang
keakuratan prediksi mereka, kebanyakan orang menetapkan rentang yang
terlalu sempit.
Berpikir tentang implikasi untuk keputusan bisnis, di mana inisiatif
dan investasi besar sering bergantung pada kisaran perkiraan. Jika manajer
meremehkan high end atau melebih-lebihkan low end dari variabel
penting, mereka mungkin kehilangan peluang untuk menarik atau
membuat diri mereka menghadapi risiko yang jauh lebih besar dari yang
mereka sadari. Banyak uang yang dihamburkan untuk proyek
pengembangan produk yang bernasib buruk karena manajer tidak secara
akurat menjelaskan kemungkinan kegagalan pasar.
2. The Prudence Trap (Perangkap Prudence).

31
Trap lain untuk peramal mengambil bentuk kewaspadaan, atau
kehati-hatian. Ketika dihadapkan dengan keputusan berisiko tinggi, kita
cenderung untuk menyesuaikan perkiraan atau perkiraan kami "hanya
untuk berada di sisi yang aman”. Bertahun-tahun lalu, misalnya, salah satu
dari Tiga Besar pembuat mobil AS memutuskan berapa banyak mobil
model baru yang akan diproduksi untuk mengantisipasi musim penjualan
tersibuknya. Departemen perencanaan pasar, yang bertanggung jawab atas
keputusan tersebut, meminta departemen lain untuk memasok perkiraan
variabel kunci seperti penjualan yang diantisipasi, inventaris dealer,
tindakan pesaing, dan biaya. Mengetahui tujuan dari perkiraan tersebut,
masing-masing departemen melenceng perkiraannya untuk mendukung
membangun lebih banyak mobil - "hanya untuk aman." Tetapi para
perencana marketing mengambil angka pada nilai nominal dan kemudian
membuat penyesuaian "hanya untuk aman" mereka sendiri. Tidak
mengherankan, jumlah mobil yang diproduksi jauh melebihi permintaan,
dan perusahaan membutuhkan waktu enam bulan untuk menjual
kelebihannya, pada akhirnya memilih harga promosi.
Para pembuat kebijakan telah melakukan pengkodean yang terlalu
berhati-hati dalam prosedur pengambilan keputusan formal. Contoh
ekstrem adalah metodologi "analisis kasus terburuk," yang pernah populer
dalam desain sistem senjata dan masih digunakan dalam pengaturan teknik
dan pengaturan tertentu. Dengan menggunakan pendekatan ini, para
insinyur merancang senjata untuk beroperasi di bawah kombinasi keadaan
terburuk yang mungkin terjadi, meskipun kemungkinan keadaan itu benar-
benar terjadi sangat kecil. Analisis kasus terburuk menambahkan biaya
besar tanpa manfaat praktis (pada kenyataannya, itu sering menjadi
bumerang dengan menyentuh perlombaan senjata), membuktikan bahwa
terlalu banyak kehati-hatian terkadang bisa sama berbahayanya dengan
terlalu sedikit.
3. The Recallability Trap (Perangkap Recallability).

32
Bahkan jika kita tidak terlalu percaya diri atau terlalu bijaksana, kita
masih bisa terjebak dalam membuat estimasi atau perkiraan. Karena kita
sering mendasarkan prediksi kita tentang peristiwa masa depan pada
ingatan kita tentang peristiwa masa lalu, kita dapat terlalu dipengaruhi oleh
peristiwa dramatis — peristiwa yang meninggalkan kesan kuat pada
ingatan kita. Kita semua, misalnya, membesar-besarkan kemungkinan
kejadian yang jarang terjadi tetapi bencana seperti kecelakaan pesawat,
mereka mendapat perhatian yang tidak proporsional di media. Peristiwa
dramatis atau traumatis dalam hidup Anda sendiri juga dapat mengubah
cara berpikir Anda. Anda akan menetapkan probabilitas yang lebih tinggi
untuk kecelakaan lalu lintas jika Anda telah melewati satu dalam
perjalanan ke tempat kerja, dan Anda akan menetapkan kesempatan yang
lebih tinggi untuk suatu hari meninggal karena kanker sendiri jika seorang
teman dekat meninggal karena penyakit tersebut.
Faktanya, segala sesuatu yang mendistorsi kemampuan Anda untuk
mengingat peristiwa secara seimbang akan mendistorsi penilaian
probabilitas Anda. Dalam satu percobaan, daftar pria dan wanita terkenal
dibacakan ke berbagai kelompok orang. Tanpa diketahui subyek, setiap
daftar memiliki jumlah pria dan wanita yang sama, tetapi pada beberapa
daftar pria lebih terkenal daripada wanita sementara pada yang lain wanita
lebih terkenal. Setelah itu, para peserta diminta untuk memperkirakan
persentase pria dan wanita di setiap daftar. Mereka yang telah mendengar
daftar dengan pria-pria yang lebih terkenal berpikir ada lebih banyak pria
dalam daftar, sementara mereka yang telah mendengar daftar dengan
wanita-wanita yang lebih terkenal berpikir ada lebih banyak wanita.
Pengacara perusahaan sering terjebak dalam perangkap recallability
ketika membela gugatan pertanggungjawaban. Keputusan mereka tentang
apakah akan menyelesaikan suatu tuntutan atau membawanya ke
pengadilan biasanya bergantung pada penilaian mereka tentang
kemungkinan hasil dari persidangan. Karena media cenderung secara
agresif mempublikasikan penghargaan kerusakan besar-besaran

33
(sementara mengabaikan hasil-hasil persidangan lainnya yang jauh lebih
umum), pengacara dapat melebih-lebihkan kemungkinan penghargaan
besar bagi penggugat. Akibatnya, mereka menawarkan penyelesaian yang
lebih besar daripada yang sebenarnya dijamin.
Cara terbaik untuk menghindari estimating and forecasting traps
adalah dengan mengambil pendekatan yang sangat disiplin untuk membuat
perkiraan dan menilai probabilitas. Untuk masing-masing dari tiga
perangkap, beberapa tindakan pencegahan tambahan dapat diambil:
 Untuk mengurangi efek terlalu percaya diri dalam membuat estimasi,
selalu mulai dengan mempertimbangkan hal ekstrem, batas rendah dan
tinggi dari kisaran nilai yang mungkin. Ini akan membantu Anda
menghindari anchor oleh perkiraan awal. Kemudian, tantang estimasi
Anda secara ekstrem. Coba bayangkan keadaan di mana angka aktual akan
jatuh di bawah rendah atau di atas tinggi, dan sesuaikan rentang Anda.
Tantang perkiraan bawahan dan penasihat Anda dengan cara yang sama.
Mereka juga rentan terhadap kepercayaan berlebihan.
 Untuk menghindari perangkap kehati-hatian (prudence trap), selalu
nyatakan estimasi Anda dengan jujur dan jelaskan kepada siapa pun yang
akan menggunakannya bahwa estimasi belum disesuaikan. Tekankan
perlunya input jujur kepada siapa saja yang akan memberi Anda estimasi.
Perkiraan pengujian pada rentang yang masuk akal untuk menilai
dampaknya. Lihatlah perkiraan yang lebih sensitive.
 Untuk meminimalkan distorsi yang disebabkan oleh variasi dalam daya
ingat, periksa dengan cermat semua asumsi Anda untuk memastikan
mereka tidak terlalu dipengaruhi oleh memori Anda. Dapatkan statistik
aktual bila memungkinkan. Usahakan tidak dipandu oleh impresi.

G. Proposisi Etika Perilaku

Bidang ilmu perilaku ekonomi, yang ditunjang oleh ilmu psikologi dan
ilmu syaraf, telah ada selama hampir empat dekade. Ilmu ini pada dasarnya

34
memiliki tantangan untuk mengetahui bagaimana etika perilaku manusia
dipahami dengan lukisan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana pria
dan wanita berpikir dan bertindak berdasarkan informasi. Namun penerapan
hasil temuannya di masyarakat dan sebagian besar masalah etika merupakan
fenomena sepuluh tahun terakhir (Oliver,2015; Thaler,2017; lihat juga
Lewis,2017); di antara banyak karya-karya ilmiah dan populer tengara yang
mungkin dikutip di sini adalah Ariely (2008), Kahneman (2011), Shafir
(2012), Dan Thaler dan Sunstein (2009).
Laboratorium terkontrol dan lapangan percobaan dalam ilmu kognitif,
psikologi sosial, dan neuroimaging, telah berulang kali menunjukkan
bagaimana pembuat kebijakan, masyarakat, dan siswa bisa salah tentang
motivasi mereka, pembenaran atas keyakinan mereka, dan akurasi ingatan
mereka. Pilihan yang mereka buat mungkin tidak sadar, karena otak diatur
pada pilot otomatis: sebagian besar rangsangan yang diterimanya diproses
secara naluriah, seperti sebagian kecil dari informasi yang membuatnya
menjadi kesadaran. Hal ini membuat otak efisien (tidak semuanya perlu
diperhatikan sekaligus), tetapi efeknya adalah bahwa penilaian dibuat
berdasarkan informasi yang ada tidak dalam kesadaran penuh (Bennett,2014).
Peneliti telah mengembangkan seperangkat prinsip pelengkap yang
membantu menjelaskan pengambilan keputusan. Wawasan yang dihasilkan
menjadi kesalahan sistematis yang ditemukan di bias yang tersembunyi,
kebiasaan otak, dan (behavioral trap) menyoroti ilmu yang mendasari di balik
tindakan tidak terpuji. Tindakan mungkin tidak disengaja dan berdasarkan
pada pengetahuan yang tidak memadai, melibatkan aplikasi moral yang tidak
tepat, prinsip, dan / atau hanya kehilangan dimensi etika dari masalah. Sama
seperti orang yang tertipu oleh ilusi visual, mereka tertipu oleh ilusi tentang
bagaimana mereka membuat pilihan. Masalahnya adalah bahwa kebanyakan
orang tidak rasional (Ariely,2008; Mercier & Gorman,2017); mereka keliru,
manusia normal.
Klaim ilmu perilaku yang tumpang tindih diperiksa di bawah ini. Lebih
mengutamakan penjelasan deskriptif daripada normatif, proposisi

35
menunjukkan bagaimana heuristik kognitif, kecenderungan psikologis,
tekanan sosial dan organisasi, dan faktor-faktor situasional yang tampaknya
tidak relevan dapat menjelaskan ketidakjujuran orang jujur. Fenomena di
mana-mana memiliki konsekuensi serius, karena mereka mendistorsi
pengetahuan, pembicaraan publik yang tidak utuh, dan solusi
menyembunyikan masalah. Pertanyaannya mungkin tidak begitu banyak
apakah pembuat keputusan adalah moral, melainkan dalam keadaan apa dan
kepentingan apa. Hal ini tidak hanya masalah mengetahui apa yang benar,
tetapi juga tentang berpikir tentang makna dan relevansi kejujuran dalam
situasi tertentu (Kaptien,2013). Masalah etika sering tertanam dalam
keputusan yang muncul kurang bermoral. Karena keterbatasan ruang, daftar
konsep-konsep yang sebanding yang mengikuti hanya ilustrasi dari beberapa
yang lebih menarik (lihat Samson,2016a serta Bowman & Barat, 2018 untuk
pembahasan yang lebih lengkap dan kutipan tambahan).

1. Rasionalitas / Etika terbatas (Bounded Rationality/Bounded Ethicality)


Rasionalitas terbatas, istilah yang diciptakan oleh Herbert Simon,
menjelaskan “model perilaku [di mana] rasionalitas manusia sangat
terbatas, sangat dibatasi oleh situasi dan oleh kemampuan komputasi
manusia” (1983, P. 34). Individu sering tidak memiliki informasi yang
lengkap dan akurat, dan, bahkan jika mereka melakukannya, mereka
memiliki kapasitas kurang sempurna untuk pengolahan informasi untuk
mencapai pilihan yang optimal.
Sub-optimasi dapat mengabaikan fakta-fakta yang signifikan,
menghilangkan pemangku kepentingan, atau memberikan perhatian cukup
untuk konsekuensi jangka panjang. Pembuat keputusan rasionalitas juga
dapat dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, asumsi yang salah,
kecenderungan bawah sadar, respon bawaan terhadap etika, dan kegagalan
dalam mendefinisikan masalah (Bazerman & Chugh,2006). Orang bisa
buta terhadap yang jelas dan buta terhadap ketidakbutaan mereka

36
(Bazerman & Tenbensel,2011; Kahneman,2011). Hasil etika terbatas pada
pria dan wanita membuat keputusan yang dipertanyakan. Tekanan dan
tuntutan dalam menghadapi Manajer, misalnya, dapat menyebabkan
mereka bergantung pada kebiasaan, bukan musyawarah (Chugh,2004),
yang mengarah ke prinsip terkait: pemikiran yang cepat dan lambat.
2. Sistem 1 / Sistem 2 Berpikir (System 1/System 2 Thinking)
Sistem 1 adalah cara yang cepat, intuitif untuk memproses informasi
dan menghasilkan reaksi naluriah yang dapat menjadi panduan yang
berguna untuk banyak keputusan. Memang, Hoomans (2015) melaporkan
bahwa orang dewasa membuat 35.000 pilihan sadar dan non-sadar yang
luar biasa setiap hari. Dalam kebanyakan situasi, tidak cukupnya waktu
untuk pendekatan lain. Sistem 1 adalah, proses standar usaha pengambilan
tanpa-pikir untuk mencapai penilaian rutin dengan cara cepat, viseral, dan
mudah. Umumnya, sistem cepat efisien dan cukup baik-yang langsung,
jawaban yang jelas terasa benar-tetapi juga rentan terhadap prasangka dan
kesalahan. Sistem 2 adalah strategi bijaksana lambat- yang
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari sebuah isu. Penilaian
yang dibuat di bawah tekanan mungkin mengandalkan Sistem 1 ketika
Sistem 2 dibenarkan, karena keterkaitan sirkuit emosinal otak ke
komponen kognitif otak lebih kuat dari keterkaitan sirkuit kognitif ke
sistem emosional. Sama seperti Harvard David Ropeik mengamati bahwa,
“arsitektur otak memastikan bahwa kita merasakan terlebih dahulu dan
kemudian berpikir” (2012, P. 12).
Haidt (2001) menemukan bahwa intuisi seperti firasat adalah sumber
utama dari penilaian moral, sama seperti argumen rasional yang umum
digunakan post hoc untuk membenarkan ketentuan. Meendiskusikan
posisi-posisi moral tersebut, tidak seperti “memisahkan perbedaan”
masalah ekonomi, sering tak terbayangkan. Selain itu, mendeteksi
kesalahan tidak selalu mengarah untuk mengubah: kemampuan penalaran
sistem yang lambat ini, pada kenyataannya, mungkin dipanggil untuk
menghasilkan rasionalisasi untuk keputusan yang sudah dibuat. Pandangan

37
awal juga diperkuat oleh “bias konfirmasi,” sama seperti orang-orang yang
fokus pada data memperkuat pendapat mereka yang sudah ada Ilmuwan
politik Thorson (2016) menunjukkan bahwa belief echoes” bertahan
bahkan ketika informasi yang salah telah dikoreksi. Individu memiliki
kecenderungan untuk berharap dan melihat apa yang mereka ingin
harapkan dan lihat, sehingga pemeriksa fakta dengan fakta-fakta yang
tidak diinginkan dianggap sebagai prasangka- sebagai prasangka seperti
fakta yang mereka periksa. Bias konfirmasi merupakan salah satu
kesalahan paling teguh yang otak buat; keprihatinannya kurang tentang
kebenaran obyektif dan lebih lanjut tentang menghindari disonansi
kognitif. Keyakinan yang meragukan, pajak memotong proporsional
peningkatkan pendapatan, kesehatan “panel kematian,” meluas kepada
pemilih curang, Presiden Obama adalah Muslim dan / atau bukan warga
negara, kolaborasi Irak-Al-Qaeda September 11, dan pencegahan
pemanasan global- contoh bagaimana pemikiran Sistem 1 berinteraksi
dengan “penalaran termotivasi,” sebuah dugaan terkait.

3. Penalaran Bermotif (Motivated Reasoning)


Fakta berarti sedikit jika seseorang terbiasa pada suatu kepercayaan
yang berbeda dari apa fakta-fakta yang ada. Penalaran bermotif
menunjukkan bahwa individu secara psikologis diarahkan untuk
mempertahankan evaluasi yang ada, independen dari fakta-fakta
(Redlawsk, Civettini, & Emmerson,2010). Pendapat ini didasarkan pada
kepercayaan. Orang-orang merasa apa yang mereka pikirkan, sebagai
“emosi memberikan nilai kepada hal-hal dan alasan hanya dapat membuat
pilihan atas valuasi” (Brooks,2011, P. 21). Saat mereka mendapatkan lebih
banyak informasi, seperti sudut pandang-meskipun mereka mengucapkan
hal yang tidak masuk akal-membuat mereka lebih mungkin salah,
sehingga semacam kebodohan tak terkalahkan.

38
Ini fenomena “idiot pintar” yang menjelaskan mengapa koreksi
informasi palsu memiliki “efek balik”: ketika disajikan dengan fakta yang
didokumentasikan, beberapa orang menjadi kurang mungkin untuk
mempercayai mereka (Mooney, 2012; Sloman & Fernbach,2017). Jadi,
jika sesuatu atau seseorang tidak disukai oleh “penganut sejati,” informasi
yang bertentangan dapat memperlambat ke titik dimana objek tidak suka
akan membenci sebanyak atau lebih dari sebelumnya. Orang cerdas
memiliki kemampuan yang lebih besar untuk merasionalisasi. Ketika
kepercayaan bertemu bukti, bukti tidak punya kesempatan.
Penggunaan mekanisme pertahanan ini secara psikologis lebih
mudah daripada mengubah keyakinan dan mengakui kesalahan. Begitu
ada sesuatu yang diterima sebagai kebenaran, sulit untuk menggantikan
kepercayaan. Jika kepercayaan hilang di lembaga-lembaga masyarakat
dan para ahli, maka itu yang mungkin menjelaskan mengapa banyak
orang Amerika tidak terpengaruh oleh fakta-fakta. Penolakan ini
melemahkan gagasan realitas objektif. Pengingkaran logis dari eksistensi
nyata, misalnya, menempatkan baik anak-anak yang tidak divaksinasi dan
masyarakat dalam resiko. Penalaran bermotif, seperti banyak prinsip-
prinsip perilaku, beroperasi pada tingkat bawah sadar. Klaim yang tulus
dapat membuat yang satu tidak dipengaruhi oleh prasangka, meskipun
“berisi pendapatnya” adalah melayani diri sendiri- suatu proses yang
difasilitasi oleh pembingkaian keputusan.
4. Efek Pembingkaian (Framing Effects)
Bagaimana isu-isu dilemparkan mempengaruhi bagaimana orang
bereaksi terhadap mereka (Kearne & Chugh, 2009). Banyak keputusan
kerja, misalnya, memiliki kedua bisnis dan dimensi etika, dan para
pengambil keputusan dapat memberikan keutamaan kepada satu atau yang
lain. Jika situasi dipandang sebagai masalah bisnis, itu bisa menyebabkan
“menghilangkan etika,” dan memungkinkan emosional, impulsif
“kehendak” diri untuk menjadi dominan- terutama karena orang
cenderung untuk menerima bingkai yang disediakan. Perilaku yang tidak

39
tepat dapat terjadi secara naluriah, tanpa musyawarah, karena
kekhawatiran moral disisihkan dalam mengejar tujuan-tujuan lain seperti
efisiensi. Tenbrunsel dan Messick (2004, P. 114) menggunakan istilah
“pembersihan etika” untuk menggambarkan bagaimana individu “secara
tidak sadar mengubah keputusan etis menjadi orang yang bersih secara
etika.”
Selanjutnya, “kehendak” pilihan yang dibuat di masa sekarang,
sementara “keharusan” pilihan berlangsung sebelum dan setelah
keputusan. Ironisnya, ini “teori kehendak-keharusan” pemisahan dua diri
sendiri- pemikiran cepat dan lambat yang parallel dapat memungkinkan
orang untuk percaya bahwa mereka lebih berbudi luhur daripada yang
sebenarnya terjadi. Ada juga kecenderungan untuk memilih dan kemudian
terlibat dalam pemudaran, penalaran kebohongan moral untuk
membenarkan tekad. Karena manusia pada umumnya menghargai
moralitas, mereka termotivasi untuk melupakan rincian tindakan yang
tidak adil mereka dalam semacam “amnesia atau mengabaikan etika.”
Sebaliknya, ketika situasi ditafsirkan terutama dalam hal etika, yang
bijaksana, deliberatif “keharusan” muncul sendiri, dan memudar dan
pembersihan tidak akan terjadi. Menyadari baik sisi bisnis dan sisi etika
penilaian sangat penting, maka, jika orang berusaha untuk melakukan hal
yang benar dan melakukan hal yang benar. Singkatnya, bagaimana sebuah
masalah dibingkai mempengaruhi kerentangan efek yang sudah dijelakan
dan juga akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
5. Bias dan Kesalahan Pengambilan Keputusan (Bias and Decision-
Making Errors)
Dalam mempertimbangkan distorsi kognitif tambahan, jalan pintas
mental dan anggapan tidak sadar, penting untuk mengenali bahwa otak
menafsirkan semua pengalaman berdasarkan modelnya di dunia. Orang-
orang memiliki keyakinan tertentu karena mereka sesuai dengan perasaan
yang mereka buat tentang lingkungannya. Seperti yang telah dilihat, proses
ini bisa tidak akurat — dan meyakinkan — sebagian karena persaingan

40
emosi yang tidak diakui dan intuisi yang saling bertentangan.
Kecenderungan bawah sadar, yang diuraikan di bawah ini, terwujud dalam
keadaan yang berbeda, muncul dalam banyak samaran, berinteraksi
dengan cara yang merusak untuk merusak penilaian, dan tidak mudah
rentan terhadap perdebatan dan negosiasi yang beralasan.
Pertama, "bias status quo" terjadi ketika seseorang dihadapkan
dengan pilihan, dan opsi standar yang beroperasi (memutuskan untuk tidak
memutuskan) untuk hidup pada saat itu. Hal ini terjadi: (a) dengan
menempuh jalan yang paling resistan (“upaya penghindaran”), (b) dengan
menilai apa yang dimiliki seseorang (“preferensi sekarang”) karena dia
memilikinya (“efek abadi” atau “penolakan keengganan”), dan (c) dengan
tetap mengikuti orang tersebut dapat berharap untuk memanfaatkan "biaya
hangus" (Schmidt, 2016). Ini akan menjadi kesalahan serius untuk
meremehkan kesulitan dalam mengubah kebiasaan seumur hidup: 600.000
pasien yang memiliki bypass jantung setiap tahun diberitahu gaya hidup
mereka (diet, olahraga, merokok) harus berubah karena operasi adalah
perbaikan sementara. Ubah atau mati? Jawabannya bukanlah pertanyaan
tentang kesadaran atau pengetahuan. Alih-alih, reaksinya adalah "efek
tuli:" lebih dari 90% pasien memilih kematian, karena kesenangan
langsung mengesampingkan kelangsungan hidup jangka panjang (Rainer
& Geiger, 2011; lihat juga Cotteleer & Murphy, 2015) . Diterapkan pada
manajemen perubahan organisasi, kemungkinan yang kalah akan berjuang
jauh lebih keras terhadap reformasi daripada pemenang potensial karena
keengganan yang hilang.
Kata tambahan tentang preferensi saat ini vis-à-vis pemanasan global
mungkin bisa membantu: orang lebih peduli pada hadiah nyata daripada
masa depan yang jauh. Ruang mental terbatas, dan otak menekankan
masalah langsung. Para pemilih dapat mengindikasikan bahwa mereka
peduli terhadap perubahan iklim, tetapi itu bukan prioritas tinggi.
Kebijakan yang berhubungan dengan perubahan iklim yang memiliki
manfaat jangka pendek yang jelas lebih cenderung menghasilkan

41
dukungan daripada yang berfokus pada jangka panjang (Victor,
Obradovich, & Amaya, 2017).
Kecenderungan kedua, "pemalsuan preferensi," terjadi ketika
seseorang menekan apa yang mereka pikirkan untuk setuju dengan apa
yang orang lain pikirkan — "kebenaran pribadi, tetapi kebohongan publik"
(Kuran, 1997). Fenomena ini dapat menopang stabilitas sosial; namun
ketika norma-norma terkikis, kejadian-kejadian yang membingungkan
terjadi, seperti dukungan mengejutkan yang tampaknya tersebar luas
tentang kesetaraan pernikahan, kecaman mendadak (dan dukungan) dari
bendera dan monumen pertempuran Konfederasi, penghitungan lama
tentang pelecehan seksual, dan antusiasme tak terduga untuk nativisme
dalam beberapa tahun terakhir.
Ketiga, "bias kepercayaan berlebihan" mengasumsikan
pemahaman ketika pemahaman tidak ada. Kecenderungan yang
terdokumentasi dengan baik ini menunjukkan individu percaya bahwa
mereka tahu lebih banyak daripada yang sebenarnya mereka ketahui.
Faktanya, orang yang paling tidak mahir sering menaksir kemampuannya
secara berlebihan, karena keserakahan menghasilkan kepercayaan diri.
Musuh pengetahuan terbesar bukanlah kebodohan, tetapi ilusi pengetahuan
(Sloman & Fernbach, 2017). Melebih-lebihkan bakat seseorang, misalnya,
penilaian para pengemudi awan yang terkenal: kebanyakan menilai diri
mereka lebih baik daripada rata-rata ("efek Wobegon Danau"). Sebagian
besar penduduk percaya bahwa tidak dapat melakukan banyak tugas
dengan cukup baik untuk mengemudi dengan aman, namun banyak
pengemudi yang mengaku melakukan SMS biasa (Hogan Assessment
Systems, 2017). Bukan hanya karena mereka tidak tahu apa yang tidak
mereka ketahui, tetapi mereka tidak memasukkan faktor keterbatasan
mereka ke dalam keputusan mereka: mereka cukup yakin tentang
ketidakpastian. Masalahnya adalah bahwa orang yang tidak kompeten
tidak dapat memahami bahwa mereka tidak kompeten — sebuah fenomena
berbahaya dalam pengambilan keputusan manajemen.

42
Keempat, ketika dihadapkan dengan dilema, orang mungkin
memperkirakan bahwa mereka akan membuat pilihan yang terhormat,
tetapi ketika benar-benar dihadapkan dengan dilema, mereka tidak. Terlalu
melebih-lebihkan kapasitas moral mereka, mereka masih menganggap diri
mereka etis ("bias etisitas") (Bazerman& Tenbensel, 2011). Mereka tidak
hanya salah, tetapi yakin bahwa mereka benar. Faktanya, manusia
mengingat kembali perilaku tidak etis mereka dengan kejelasan yang
kurang jelas - meningkatkan kemungkinan keputusan serupa di masa
depan. Mereka yang mengesampingkan masalah moral dalam mengejar
tujuan lain bisa sangat kreatif dalam rasionalisasi perilaku, dan mereka
bahkan mungkin tidak menyadari bahwa proses ini sedang terjadi.
Para profesional, misalnya, cenderung percaya pada pekerjaan
mereka dan memandang diri mereka sebagai orang yang berintegritas
dalam mengendalikan hidup mereka. Namun, terlalu percaya diri pada
kemampuan sendiri (dan kesombongan yang dapat menyertainya)
memengaruhi keputusan. Akhirnya "norma baru," penyesuaian dari apa
yang didefinisikan sebagai tepat, muncul. Distorsi kognitif ini membantu
membenarkan dan melupakan perilaku yang dipertanyakan, dan
mendamaikannya dengan citra diri sebagai orang yang benar. Eisenberger
dan Lieberman (2009) mengemukakan bahwa kecerdasan tinggi sering
berhubungan dengan kesadaran diri yang rendah: jaringan saraf yang
terlibat dalam pemecahan masalah kognitif berada di bagian lateral otak,
sedangkan daerah tengah mendukung kesadaran diri. Orang-orang ini
mungkin memiliki pandangan yang salah, tetapi mereka jarang ragu (lihat
Jones-Lee & Aven, 2017, untuk data tentang hal ini).
Kelima, fenomena serupa adalah "kartu penilaian keseimbangan
moral," di mana individu menyimpan buku besar mental yang
membandingkan tipe orang yang mereka percayai dengan perilaku mereka
yang sebenarnya (Prentice, 2015, p. 45). Jika mereka melakukan sesuatu
yang berharga, akun itu kemudian surplus, memberi mereka kebebasan
untuk melakukan sesuatu yang meragukan. Jika mereka membuat

43
penilaian yang buruk, mereka dapat mengompensasi dengan melakukan
sesuatu yang positif untuk menyeimbangkan catatan. "Lisensi moral"
semacam ini memungkinkan pelaku moral untuk melakukan hal-hal buruk,
sambil menganggap diri mereka baik.
Di antara banyak kecenderungan lainnya (lihat Samson, 2016b, hlm.
82–114), "idealisme naif" adalah keyakinan bahwa pandangan seseorang
mencerminkan kenyataan dan bahwa pandangan itu dimiliki bersama oleh
pihak-pihak netral. "Efek ketersediaan" mendasarkan keputusan hanya
pada informasi yang segera tersedia. "Bias tindakan" adalah tekanan yang
dirasakan untuk melakukan sesuatu, apa saja untuk mengurangi
kecemasan. Efek "buah terlarang" adalah godaan untuk bereaksi terhadap
aturan dan peraturan dengan melanggar mereka ("bias reaktansi"). Karena
itu, karena ingin mempertahankan kendali, karyawan memberontak agar
tidak dipercaya dan diberi tahu apa yang harus dilakukan. Sebuah
organisasi yang berfokus pada kontrol dan sanksi dapat menghasilkan
kepatuhan yang lebih rendah terhadap prosedur daripada organisasi yang
mendorong integritas dan tanggung jawab pribadi (Bowles, 2017).
Seperti yang telah dilihat, disposisi kognitif ini (dan yang lain tidak
dibahas di sini karena kendala halaman) dapat bergabung dengan cara
yang kuat (seperti yang ditunjukkan oleh Samson (2016a, hal. 11)), bidang
penyelidikan ilmiah tidak kebal terhadap bias (misalnya, publikasi Bias
atau pelaporan penelitian selektif). Mereka juga dapat mencapai
puncaknya dengan cara membatasi diri; tidak ada yang tahu kurang dari
individu yang mengetahui semuanya. Setelah seseorang mulai merasa
bahwa mereka telah menguasai bias mereka, mereka mungkin mengalami
"bias blind:" melihat kekurangan pada orang lain tetapi tidak pada diri
mereka sendiri (Bradberry & Greaves, 2012), karena mereka menganggap
orang lain lebih tidak masuk akal daripada diri mereka sendiri.
Konsekuensi dari semua bias yang keras kepala ini — serta etisitas
yang terikat, pemikiran Sistem 1, penalaran yang termotivasi, dan
pembingkaian pengambilan keputusan — dapat berupa perilaku tidak etis,

44
yang dapat terjadi secara perlahan, bertahap, dan tidak disadari, alih-alih
dalam perubahan yang tiba-tiba. Ariely (2008) menemukan bahwa
individu memiliki kecenderungan untuk menipu sedikit ("faktor fudge
pribadi") tanpa ketidaknyamanan mengubah citra diri mereka yang jujur.
Erosi etika ini mungkin dimulai sebagai pelanggaran sepele, dengan
keseriusan orang yang berbuat salah tumbuh seiring berjalannya waktu,
membuat orang yang bersalah mengubah definisi standar yang tepat. Teori
rayuan moral (Moore, Telock, Tanlu, & Bazerman, 2006) mengemukakan
bahwa pembuat keputusan dapat dikompromikan dari waktu ke waktu,
suatu pengembangan yang difasilitasi oleh kebiasaan yang tidak disadari,
motif yang tertanam, dan pola pemikiran yang mendalam.
Singkatnya, konsep ilmu perilaku, baik jelas dan halus, belum tentu
baru, tetapi mereka penting dan menarik. Apa yang baru adalah bukti yang
semakin kuat bahwa perilaku etis kurang di bawah kendali sadar daripada
yang diyakini umumnya. Ilmu keputusan telah menunjukkan bahwa iman
pada kekuatan akal murni tidak beralasan; orang rentan terhadap
kepercayaan bawah sadar, reaksi emosional, dan jalan pintas mental yang
membantu menjelaskan penyimpangan dari norma rasional. Perilaku yang
dipertanyakan belum tentu merupakan fungsi dari karakter yang buruk,
tetapi konsekuensi dari warisan kognitif Homo sapiens bersama.
Ide-ide yang terbentuk sebelumnya, untuk meringkas, dapat
mengalahkan penilaian yang lebih baik dan niat baik; otak mengandalkan
keyakinan pribadi atas fakta yang sulit. Kegemaran yang relatif tidak
diakui ini seringkali begitu kuat sehingga tidak sesuai dengan logika,
alasan, motif pribadi, dan etika. Intuisi cenderung melibatkan kepastian
tentang ketidakpastian, dan biasanya diikuti oleh ketidakmampuan untuk
menerima tekad seseorang sebagai salah (Hogan Assessment Systems,
2017). Seperti alegori gua Plato, manusia terikat oleh gambar-gambar yang
diterima melalui indera. Pria dan wanita, karenanya, memiliki pandangan
yang menyimpang dari kenyataan, karena tidak mungkin secara manusiawi
untuk mengamati kenyataan secara objektif (Kaptien, 2013). "Keputusan

45
tidak didasarkan pada keadaan objektif dunia," menurut Rogerson,
Gottlieb, Handelsman, Knapp, dan Younggren (2011, p. 116), "melainkan
pada pengalaman subjektif kami dengan itu." Namun sementara mungkin
tidak ada cara pasti untuk memperhitungkan bias, mereka dapat
diidentifikasi dan teknik dapat digunakan untuk membatasi dampaknya.

H. Melawan Bias (Countering Biases)

Dalam mengakui lebih banyak informasi saja tidak cukup untuk


menyelesaikan masalah, ilmu perilaku mencari cara untuk membantu
membuat pilihan yang lebih baik. Lagi pula, seperti yang disiratkan oleh
epigram di atas, orang memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku
dengan berpikir tentang berpikir. Pada kenyataannya, kecenderungan
psikologis yang sama yang mendorong perilaku irasional dapat digunakan
untuk mendorong pilihan yang lebih baik; lebih baik bekerja dengan sifat
manusia daripada melawannya. Apa yang dianggap oleh filsuf klasik dan
ekonom neo-klasik sebagai faktor situasional yang tidak relevan, seorang
behavioris mungkin melihat sebagai alat yang berguna. Tetapi jangan pernah
meremehkan kemampuan pikiran untuk menyabotase niat baik. Dengan
menggunakan kegiatan dan dorongan yang diinformasikan secara perilaku,
organisasi dan karyawan mereka dapat mengubah "lingkungan pilihan", untuk
mengesampingkan hal yang tidak terlihat dan memperbaiki keputusan,
dengan:
a. Mempraktikkan narasi untuk merencanakan ke depan, dan menulis,
bagaimana menanggapi masalah (latihan bermain peran; mis., Gentile,
2010) untuk mempersempit kesenjangan niat-tindakan.
b. Menetapkan janji yang mengikat sendiri di muka untuk tindakan tertentu
dengan prosedur implementasi untuk mengatasi kekuatan kehendak
terbatas (klub tabungan liburan bank, rencana pembelian / penjualan
harga saham yang telah ditentukan, arahan medis canggih).

46
c. Menggunakan daftar periksa, cek fakta, dan pengingat moral ("priming"
per Gawande,2011) untuk mendorong kesadaran dan menumbuhkan
kepatuhan dengan praktik terbaik dengan memaparkan karyawan pada
rangsangan etika, seperti menempatkan kode perilaku, cermin atau
kamera pengintai di tempat-tempat strategis, atau melampirkan
perbandingan warga negara, surat banding moral dengan tagihan pajak
(Bott, Cappelen, Sorensen, & Tungodden, 2017).
d. Membentuk tim yang beragam untuk mencapai pemahaman yang lebih
penuh (dengan memanfaatkan agregasi pengetahuan dan pengurangan
kesalahan) untuk melawan “pemikiran kelompok.”
e. Menerapkan program pelatihan yang menunjukkan seberapa rentan
karyawan terhadap jalan pintas mental dan bagaimana taktik sederhana,
seperti yang ada di sini, dapat mengurangi pengaruh mereka.
f. Terlibat dalam refleksi kritis untuk melegitimasi dan mendorong keragu-
raguan (misalnya, untuk menantang asumsi dan norma yang berlaku,
untuk mengembangkan alternatif, untuk menggunakan pemecahan
masalah dialektik, untuk berdialog antara Sistem 1 dan 2, untuk bermain
"advokat setan," untuk merujuk pada pendapat seseorang pada orang
ketiga untuk mendapatkan jarak psikologis dari masalah, untuk
mengadakan "pra-mortem" dengan membayangkan rencana gagal dan
berusaha untuk memahami mengapa).
g. Menciptakan waktu "mendinginkan" (kecemasan dan kelelahan —
penipisan kognitif — gangguan keputusan yang bijaksana) untuk
memonitor emosi, mendorong refleksi diri, dan berkonsultasi dengan
pihak yang tidak berkepentingan.
h. Waspada terhadap rasionalisasi ("itu sah," "saya tidak punya pilihan,"
"semua orang melakukannya").
i. Mempertimbangkan apakah opsi yang tertunda muncul kembali.
j. Mengintrospeksi pujian yang diberikan kepada kita.
Ada banyak kendala dalam perilaku; individu dan organisasi tidak boleh
membiarkan diri mereka menjadi salah satu dari mereka. Memang, ada bukti

47
bahwa bias sosial juga dapat dikurangi ketika tidur melalui penguatan
subliminal dan pelatihan otak (Varazzani, 2017).
Perangkat di atas dapat mendorong pembuat keputusan untuk
mempertimbangkan dilema dengan mengembangkan metode yang
meningkatkan kemampuan untuk membuat keputusan suara. Perlu juga
diingat bahwa heuristik dapat menjadi efisien; sesuai, penggunaan tindakan
kognitif yang menghasilkan keputusan yang tampaknya tidak rasional
sebenarnya bisa sangat masuk akal dalam keadaan tertentu. Dalam setiap
kasus, pendekatan perilaku menawarkan wawasan untuk memahami perilaku,
kontra faktual untuk mengurangi kesalahan, dan strategi manajemen berbasis
bukti.
Singkatnya, sama sekali tidak cukup untuk menganggap bahwa pria dan
wanita itu baik, dan bahwa masalah etika yang mereka hadapi akan mengurus
diri mereka sendiri. Ilmu perilaku tidak dapat memberi tahu individu apa
yang harus mereka lakukan. Namun, seperti yang ditinjau oleh ulasan
komponen ini, ini dapat membantu menjelaskan bagaimana dan mengapa
orang bertindak, sesuatu yang sangat bernilai bagi para praktisi dan
akademisi. Sebagai Varazzani (2017) melaporkan, misalnya, "ilmu saraf dapat
meminjamkan wawasan ketika bias akan terwujud dan bagaimana merancang
intervensi yang efektif untuk menangkalnya." Ketika dipahami mengapa
kesalahan dibuat, langkah-langkah dapat diambil untuk meminimalkannya
dengan menggunakan kebijakan berdasarkan informasi perilaku. Ringkasan
ini juga dapat membantu karena perhatian terhadap etika perilaku dalam
literatur administrasi publik akademik, sebagai lawan dari praktik profesional,
telah sangat terbatas seperti yang dibahas di bawah ini.
I. Respon Terhadap Behaviorisme

1. Di Lapangan

Ilmu perilaku telah menunjukkan bahwa pembuat keputusan secara


rutin melanggar asumsi model agen rasional, menantang hampir setiap bidang
dalam studi perilaku manusia. Sebagaimana dicatat, penerapannya untuk

48
masalah-masalah sosial, bagaimanapun, cukup baru. Praktisi, "praktik-a-
demics," dan konsultan telah menerapkan praktik perilaku di semua tingkat
pemerintahan di seluruh dunia dengan merancang proses baru untuk
meningkatkan layanan publik (Contoh., OECD, 2017; Tim Ilmu Sosial dan
Perilaku, 2016; Bank Dunia, 2016).

Lebih dari dua lusin negara memiliki tim ilmu keputusan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas program dalam perlindungan
konsumen, pendidikan, energi, dan lingkungan. Mengakui bahwa pemerintah
mau tidak mau menetapkan permintaan ("dorongan"), secara sadar atau tidak
sadar, penelitian perilaku juga telah digunakan pada masalah-masalah seperti
keakuratan identifikasi saksi mata, meningkatkan kehadiran di sekolah,
merangsang partisipasi pemilih, dan menilai barang-barang lingkungan (Fox
& Sitkin, 2015) . Di antara contoh-contoh perubahan yang dikenal dengan
sedikit atau tanpa biaya adalah: (a) tabungan pensiun dan program donasi
organ (jika standarnya ditetapkan untuk "memilih" daripada "memilih
keluar," terjadi peningkatan partisipasi secara dramatis), (b ) kepatuhan pajak
(mengalihkan kotak tanda tangan pada formulir dari bawah ke atas
melakukan filer kejujuran pribadi sejak awal, sehingga meningkatkan
pelaporan yang akurat), dan (c) konsumsi air (konservasi diperkuat ketika
“bukti sosial” —perusahaan pesan pembanding dilampirkan dengan tagihan
yang menunjukkan berapa banyak air yang dihemat orang lain).

Ketika para peneliti Amerika mulai mengambil posisi dalam komite


penasihat pemerintah, organisasi penelitian, firma konsultasi, dan unit ilmu
perilaku perusahaan, prinsip-prinsip perilaku telah diimplementasikan di
berbagai bidang seperti informasi pengungkapan keuangan yang dapat dibaca
untuk konsumen (Undang-Undang Pertanggungjawaban Kartu Kredit 2009
dan Undang-Undang Pengungkapan Informasi), pendaftaran wajib dalam
rencana asuransi kesehatan (Undang-Undang Perawatan Terjangkau 2010),
dan penyederhanaan pilihan yang tersedia di bawah Medicare Bagian D.
Selain itu, lebih dari 25 proyek hemat biaya di kota-kota Amerika Serikat,

49
menggunakan uji coba kontrol acak, telah mempromosikan pendaftaran
warga negara dalam layanan, kota manajemen tenaga kerja, dan kepatuhan
dengan pemberitahuan hukum (Behavioral Insights Team, 2016). O'Leary dan
Murphy (2017) menyusun inisiatif yang berhasil yang menggabungkan
konsep ilmu perilaku untuk meningkatkan hasil dalam perilaku
kewarganegaraan yang baik (voting, carpools, recycling), kepatuhan program
(asuransi pengangguran, izin, lisensi), dan partisipasi program manfaat
(kunjungan pranatal, kelas pelatihan kerja). Sebagai contoh, What Works
Cities (https://whatworkscities.bloomberg.org/about) adalah inisiatif nasional
untuk membantu 100 kota menengah dalam penggunaan data mereka untuk
meningkatkan layanan, pengambilan keputusan, dan pemberdayaan warga
(contoh., aplikasi ketenagakerjaan, pelanggaran kode, penagihan utang).

Intervensi dapat menjadi sangat manjur ketika: (a) ada alasan bagus
untuk percaya bahwa akan ada manfaat dari perubahan, (b) warga negara
setuju bahwa reformasi memang diinginkan, dan (c) inovasi hampir tanpa
usaha dan biaya. gratis (Thaler, 2017, hlm. 341). Bahkan dorongan yang
memiliki dampak kecil masih berharga, karena tidak mahal untuk diterapkan.
Ketika inovasi mudah, menarik, sosial, dan tepat waktu (EAST), orang dapat
termotivasi untuk membuat pilihan yang konsisten dengan preferensi nilai
mereka sendiri. Dengan tidak membahayakan, penekanannya adalah
membantu orang membantu diri mereka sendiri. Dorongan cerdas, pada
kenyataannya, bisa lebih berhasil dalam mendorong keputusan yang baik
daripada teknik konvensional seperti dengar pendapat publik, subsidi,
pengumuman layanan publik, dan insentif pajak (Benartzi et al., 2017).

Meskipun ilmu perilaku menawarkan ide-ide yang bermanfaat,


beberapa komentator menyarankan bahwa mereka menumbuhkan
kepercayaan bahwa perubahan kecil, "" bermain-main di pinggiran, "dapat
menjadi pengganti reformasi besar. Dorongan semacam ini tidak mengubah
layanan yang disediakan (mis., Membuatnya lebih mudah untuk mendaftar di
perguruan tinggi tidak memengaruhi konten kursus). Memang, ekonom

50
Loewenstein dan Urel (2010) menunjukkan bahwa teknik perilaku sentuhan-
lembut dapat digunakan sebagai kebijakan politik, yang memungkinkan para
pejabat untuk menghindari kebijakan yang kontroversial, tetapi lebih
produktif. Skeptis juga menunjukkan bahwa sebagian besar keberhasilan tetap
kecil, dan curiga bahwa mereka terkikis dengan berlalunya waktu.

Sebagai gambaran, program hemat energi yang mengandalkan inovasi


perilaku mungkin tidak efektif dalam jangka panjang dalam mempromosikan
perubahan skala besar dalam kebiasaan pribadi (Sussman, Gifford, &
Abrahamse, 2016). Oliver (2015) percaya bahwa dorongan dijual berlebihan
oleh para peneliti dan dibeli berlebihan oleh pejabat pemerintah. Komite
parlemen Inggris, misalnya, menekankan betapa sulitnya menetapkan
efektivitas intervensi dan mengapa intervensi terpilih dilakukan sementara
yang lain tidak (Lodge & Wegrich, 2016). Namun, The Economist mengklaim
bahwa “keraguan telah hilang. Bahkan jika hasil spesifik ternyata keliru,
pendekatan eksperimental, iteratif, berbasis data untuk pembuatan kebijakan
mendapatkan dasar… di seluruh pemerintahan ”(Barreto, 2017; juga lihat
Sunstein, 2015a).

Selanjutnya, para kritikus telah menyatakan keprihatinan tentang


kemungkinan penyalahgunaan. Tim Ilmu Sosial dan Ilmu Perilaku Gedung
Putih (2016), misalnya, mendokumentasikan keberhasilan dalam
meningkatkan kehidupan warga negara dan menghemat uang selama tahun-
tahun Obama dengan menggunakan kebijakan berbasis bukti. Ada
kekhawatiran, bagaimanapun, bahwa administrasi saat ini, yang tampaknya
tidak menghargai etika sama halnya, dapat menggunakan keterampilan yang
dikembangkan oleh Tim yang sekarang tidak berfungsi dengan cara yang
kurang baik hati, lebih jahat, (Chater, Grune-Yanoff, & Weber, 2017;
Jachimowicz, 2017). Akerlof dan Shiller (2015), faktanya, menawarkan
banyak kasus manipulasi dan penipuan yang sugestif di sektor swasta. Untuk
membantu menjaga dari penyalahgunaan, dorongan harus transparan,
berdasarkan data empiris, menjaga kebebasan memilih dan otonomi pribadi,

51
memberikan pilihan yang luas, mudah untuk memilih keluar dari, tidak
membahayakan, dan pada akhirnya meningkatkan pemerintahan sendiri untuk
kepentingan publik ( Sunstein, 2016; 2017a).

2. Di Akademi

Terlepas dari catatan luas dalam praktik, ilmu perilaku telah memiliki
dampak yang anehnya sederhana di akademi administrasi publik. Volume
"keadaan disiplin" terbaru, misalnya, mendokumentasikan apa yang
"dikatakan oleh para sarjana terkemuka tentang isu-isu paling penting di
lapangan" (Raadschelders & Stillman, 2017, sampul belakang); 20 babnya
mengecualikan behavioralisme, tetapi memasukkan satu bab tentang etika (ini
mengabaikan etika perilaku). Hal yang sama berlaku untuk buku lain yang
bagus seperti itu (Guy & Rubin, 2015), Perkembangan Publik Administrasi:
Dari Yayasan untuk Masa Depan. Selain itu, sejauh buku teks mendefinisikan
domain yang tepat dan fokus disiplin, paradigma, dan elemen-elemen
penting, tinjauan terhadap enam teks inti yang digunakan dalam kursus etika
administrasi publik juga sugestif. Satu mencakup liputan berkelanjutan, dan
lima tidak mencakup etika perilaku. Antologi pendamping 16-seleksi
terkemuka (Frederickson & Ghere, 2013) berisi kontribusi tunggal pada topik
tersebut.

Terakhir, daftar pustaka lengkap dari sekitar 240 buku ilmu perilaku
tidak menunjukkan referensi untuk judul administrasi publik ilmiah (Samson,
2016b, hal. 133-141). Tentu saja, ini tidak berarti bahwa tidak ada literatur
sepanjang buku yang relevan dengan administrasi publik. Untuk
menunjukkan, profesor bisnis Eropa, Kaptein (2013) merangkum dan
mengklasifikasikan temuan etika perilaku psikologi sosial. Pekerjaan profesor
sekolah hukum, Sunstein (2015a) termasuk memahami nilai pilihan. Ekonom,
seperti Thaler (2017), berpendapat bahwa semua ekonomi akan menjadi
perilaku. Psikolog, seperti Banaji dan Greenwald (2013), memeriksa kognisi
implisit dan bias tersembunyi.

52
Sehubungan dengan literatur berkala, analisis tiga jurnal umum —
Tinjauan Administrasi Publik (PAR), Jurnal Administrasi Publik dan Teori,
dan Administrasi Publik — oleh Grimmelikhuijsen, Jilke, Olsen, dan
Tummers (2017) menemukan beberapa penetrasi behavioralisme ke dalam
profesi. Mereka menyimpulkan, bagaimanapun, bahwa studi mereka hanyalah
awal dari dialog antara kota dan gaun. Para penulis merekomendasikan bahwa
penelitian meluas ke topik tambahan (Contoh., E-government), tetapi etika
tidak disebutkan sebagai salah satunya.

Meta-analisis konten lain (Belle & Cantarelli, 2017), yang


memfokuskan pada PAR dan integritas publik, mengutip pernyataan James
Perry yang menyatakan bahwa etika adalah "inti dari apa yang kita anggap
sebagai bidang profesional." disiplin ilmu sosial, kurangnya beasiswa yang
relevan, dan menggemakan pandangan Adams and Balfour (2010) bahwa
studi etika pelayanan publik telah terpinggirkan. Pandangan sepintas,
misalnya, pada isu-isu terbaru dari Tinjauan Administrasi Publik
mengidentifikasi hanya dua studi etika perilaku khusus kebijakan (Vlaeu,
King, Dolan, & Darzum 2016; West & Bowman, 2016), yang menegaskan
kesimpulan Belle dan Cantarelli. Selain itu, daftar yang luas, jurnal
interdisipliner ilmiah dengan konten ilmu perilaku tidak menunjukkan jurnal
administrasi publik di antara mereka (Samson, 2016b, hlm. 142-154). Perlu
dicatat, bahwa pada akhir 2017 PAR mengeluarkan dan meminta surat-surat
untuk simposium tentang pendekatan perilaku terhadap birokrasi dan beban
administrasi.

Indikator publikasi seperti itu hampir tidak definitif, dan kemungkinan


mengecilkan tingkat minat pada bagian dari profesor. Meski demikian,
ringkasan dari sila perilaku dan teknik debaising lebih awal mungkin
merupakan ulasan untuk beberapa orang, tetapi bagi banyak orang lain
pengantar. Dalam kasus apa pun, Fox dan Sitkin (2015) berpendapat bahwa
jenis analisis yang dibutuhkan belum tentu dihargai oleh jurnal akademik
umum dan khusus. Jika demikian, Ilmu dan Kebijakan Perilaku triwulanan,

53
diluncurkan di 2015, dilengkapi dengan Kebijakan Publik Perilaku dan Jurnal
Ekonomi Perilaku untuk Kebijakan serta majalah Behavioral Scientist online,
semua didirikan pada tahun 2017, mengatasi masalah ini, karena outlet ini
telah memasukkan studi dengan implikasi etis.

Harus jelas bahwa literatur administrasi publik yang masih ada


menyarankan kesempatan untuk memajukan manajemen dan beasiswa
kebijakan dalam etika perilaku. Agenda penelitian, seperti yang ditunjukkan
oleh Kenneth Prewitt dari Columbia University, dapat mencakup mengapa
pembuat kebijakan memilih untuk menggunakan ilmu perilaku (Prewitt,
2015). Untuk memfasilitasi eksplorasi ini, peneliti lain percaya bahwa
pedoman mungkin dibuat oleh Kongres tentang kapan dan bagaimana
menggunakan disiplin dalam pengembangan kebijakan (Jachimowicz, 2017).
Uji coba lapangan, data arsip, serta eksperimen alam (mis., Kebijakan negara
pembanding) dan laboratorium dapat menjadi bagian dari desain penelitian.
Eden (2017), pada kenyataannya, mengembangkan panduan terperinci untuk
percobaan lapangan untuk memfasilitasi penelitian tersebut. Meskipun telah
ada kelangkaan percobaan laboratorium administrasi publik, peningkatan
penggunaan internet oleh warga dan pemerintah menyiratkan bahwa ada
potensi yang cukup besar untuk mengatasi hambatan pada pendekatan
eksperimental (Margetts, 2011).

Selanjutnya, Hollingworth dan Barker (2017) mendorong para peneliti


untuk lebih peka terhadap bagaimana keadaan membentuk perilaku (berpikir
lebih dalam tentang bagaimana dan kapan harus menyenggol, dan konteks
apa yang bekerja dengan baik dengan intervensi mana). Gigerenzer (2016)
juga mendesak para sarjana untuk menolak asumsi satu ukuran untuk semua,
dan untuk mencari tahu kondisi di mana heuristik tertentu berkinerja baik
tanpa menggunakan intervensi de-biasing. Penelitian administrasi publik
dapat mengambil manfaat dari aplikasi konsep perilaku yang semakin
canggih, karena saat ini digunakan untuk:

54
 memeriksa bias kognisi dalam fungsi manajemen sumber daya manusia
seperti penilaian kinerja (Belle, Cantarelli, & Belardinelli, 2017);
 hadir undang-undang model subjek-masalah di bidang-bidang seperti
vaksinasi (Buttenheim, 2017);
 mengatasi masalah yang lebih kompleks (melampaui perilaku mendorong
warga negara untuk secara sistematis memasukkan pengetahuan perilaku
dalam desain keseluruhan layanan, produktivitas tenaga kerja, dan
pengambilan keputusan organisasi); dan
 mengintegrasikan ilmu perilaku dengan saudara bidang untuk mencapai
reformasi holistik (menggantikan batas-batas disiplin untuk fokus pada desain
yang berpusat pada pengguna, ilmu data dan analisis, dan teknologi digital)
dalam pencarian untuk teori etika perilaku yang lebih bersatu.
Terinspirasi oleh model perilaku manusia, praktik, dan teori perilaku baru
yang cenderung memperluas dampaknya terhadap masyarakat. Memang,
penelitian lintas budaya (mis., Bekerja pada analitik "Barat" vs. "Gaya
berpikir holistik" Timur ") diperlukan untuk menetapkan tingkat universalitas
yang terkait dengan teori perilaku (juga merujuk pada Sunstein, 2017b).
Akhirnya, basis data terpusat yang membuat katalog semua inisiatif ilmu
perilaku akan memungkinkan para peneliti untuk menilai keberhasilan dan
kegagalan intervensi (Weber, 2017).

Untuk meringkas, ada batasan kognitif untuk apa yang bisa dipelajari
tentang sistem yang rumit, dan batas politik untuk kemampuan memanfaatkan
apa yang bisa dipelajari. Namun, harus jelas bahwa ada banyak ruang untuk
penyelidikan di bidang yang menakjubkan ini. Meskipun demikian, perilaku
teori-teori sains hanya dapat menyarankan yang mana untuk dicoba, karena
tergantung pada administrator dan pembuat kebijakan untuk menilai mana
yang berfungsi (Barreto, 2017). Sementara para pejabat mungkin setuju
bahwa bukti harus memainkan peran yang lebih besar dalam pengambilan
keputusan, “Mereka yang di atas tidak tertarik pada bukti.

Mereka ingin segala sesuatunya dilakukan dengan cara apa pun terlepas
dari hasilnya ”(Callen, Kahn, Khwajh, Liapat, & Meyers, 2017). Pembuatan

55
kebijakan digerakkan oleh preferensi saat ini, bias konfirmasi, keengganan
terhadap risiko dan perlindungan wilayah — kondisi yang tidak memadai
untuk keputusan berdasarkan fakta (Lodge & Wegrich, 2016, hlm. 259).
Meskipun demikian, untuk saat ini, ada potensi yang cukup besar, karena
hanya satu dolar dari setiap seratus dolar pengeluaran pemerintah didukung
dengan data berbasis bukti (Behavioral Insights Team, 2016). Meskipun
intervensi berhasil, pemerintah "baru mulai menggaruk permukaan" aplikasi
ilmu perilaku (O'Leary & Murphy, 2017, hal. 3); ada banyak kemungkinan
untuk memperbaiki kebijakan, dan inovasi ini sering mendapatkan hasil yang
lebih baik dan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit. Faktanya,
reformasi semacam itu menikmati dukungan super-mayoritas di seluruh lini
partisan, karena pemilih Partai Republik dan Demokrat mendukung inisiatif
perilaku yang dapat membantu mereka memenuhi tujuan mereka sendiri
(Sunstein, 2015b).

56
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan

Behavioralisme menunjukkan bahwa orang, ketika tidak berpengalaman


dalam suatu topik, cenderung menggantikan emosi dengan pemikiran
rasional. Dengan mendiagnosis distorsi kognitif, mereka dapat mulai
memperbaikinya. Perhatian penuh tidaklah sulit, tetapi pembuat keputusan
perlu mengingatnya, karena asumsi rasionalitas yang tidak dipertanyakan
tidak hanya sangat berpengaruh, tetapi juga destruktif. Untuk menghindari
hiperrasionalitas, wawasan ilmu keputusan dapat diterapkan di tingkat mikro,
meso, dan makro ke berbagai subbidang dalam administrasi publik. Untuk
mengambil hanya satu contoh dari manajemen sumber daya manusia,
individu, organisasi, dan masyarakat secara keseluruhan dengan tulus, jika
salah, percaya bahwa bayaran untuk kinerja berhasil digunakan dalam bisnis.
Dengan demikian, teknik ini, bagian sinyal dari Manajemen Publik Baru,
harus ditiru di pemerintahan. Namun berdasarkan bukti empiris yang luas dan
upaya masa lalu untuk menggunakannya, upah kinerja menghasilkan hasil
yang tidak disengaja, beracun di sektor swasta dan terutama sektor publik,
sebagian karena upaya yang tidak tepat untuk menggantikan ekstrinsik untuk
motivasi intrinsik (Bowman, 2010; Fry, 2017).

B. Saran

Pada akhirnya, itu adalah pilihan, sebagai refleksi dari nilai-nilai, yang
menunjukkan kepada orang-orang apa mereka sebenarnya sebagai makhluk
etis. Realitas dibuat oleh apa yang dilakukan, bukan oleh apa yang
dibicarakan. Dengan menciptakan makna melalui keputusan mereka, manusia
hanya terpenuhi ketika mereka membuat komitmen moral yang dalam. Ketika
individu tahu mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan, mereka
melakukannya dengan lebih efektif. Pendekatan perilaku adalah kerangka
kerja untuk merefleksikan keyakinan dan praktik etika. Aplikasi dapat

57
menciptakan hasil positif yang tidak proporsional yang beresonansi dengan
keinginan bawaan untuk berbuat baik. Mengingat pentingnya kecenderungan
perilaku dan cara yang tidak disadari, dan intervensi untuk mengatasinya,
para perintis di akademi administrasi publik ditantang untuk mengatasi
hambatan untuk meneliti dan menyelidiki bidang yang menjanjikan dan
menarik ini.

58
DAFTAR PUSTAKA

Bowman, J. S. (2018). “Thinking about Thinking: Beyond Decision-Making


Rationalism and the Emergence of Behavioral Rthics”. Routledge American
Society for Public Administration. Vol. 20, p.89-105

Hammond, J. S., Keeney, R. L, dan Raiffa, H. (1998). “The Hodden Traps in


Decision Making”. Hardvard Business Review.

I Wayan Suartana. (2005). Akuntansi Keperilakuan: Teori dan Implementasi.


Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Kahneman, D. dan A. Tversky. (1981). “The Framing of Decision and The


Psychology of Choice.” Science. Vol. 211, No. 4481, Pp. 453-458.

Kahneman, D. dan A. Tversky. (1979). “Prospect Theory: An Analysis of Decision


Under Risk.” Econometrica. Vol. 47, No. 2, Pp. 263-291.

Robbins, Stephen P. dan A. Timothy Judge. (2011). Organizational Behavior.


Boston: Pearson.

Williams, Chuck. (2001). Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.

59

Anda mungkin juga menyukai