Perlindungan Hukum Pada Pemasaran Properti Perumahan Dengan Sistem Pre Project Selling
Perlindungan Hukum Pada Pemasaran Properti Perumahan Dengan Sistem Pre Project Selling
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode hukum empiris. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa
studi hukum empiris adalah studi yang didasarkan pada metode, sistem, dan penalaran
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa fenomena sosial dengan
menganalisanya. Selain itu, pengamatan mendalam terhadap fakta sosial tersebut juga
dilakukan untuk menetapkan solusi bagi suatu isu yang muncul karena fenomena tersebut.
Dalam studi hukum empiris, data yang sedang dipelajari awalnya data sekunder, kemudian
diikuti oleh studi pada data primer di lapangan atau masyarakat.1
Teknik pengumpulan data penelitian adalah studi lapangan dalam bentuk wawancara dan
studi pustaka. Sedangkan teknik analisis data penelitian adalah analisis data kualitatif.
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman menegaskan bahwa hal-hal dalam analisis
kualitatif adalah, data muncul dalam bentuk kata-kata dan tidak numerik. Data-data tersebut
mungkin telah dikumpulkan melalui berbagai metode (observasi, wawancara, abstrak
dokumen, rekaman tape), dan biasanya diproses sebelum siap digunakan (melalui perekaman,
pengetikan, pengeditan, atau penerjemahan). Namun, analisis kualitatif masih menggunakan
kata-kata, yang biasanya diatur ke dalam teks yang diperluas. Analisis terdiri dari tiga
kegiatan simultan yaitu reduksi data, tampilan data, dan penarikan kesimpulan / verifikasi.
PEMBAHASAN
1
Soerjono Soekanto, 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta,
hlm. 5-6.
Pre Project Selling merupakan penjualan sebelum proyek dibangun di mana properti yang
dijual tersebut baru berupa gambar atau konsep. 2 Dalam pelaksanaannya di Indonesia
dilakukan penyesuaian sehingga ada pengembang proyek yang melaksanakan pre project
selling sebelum prasarana dan sarana dibangun, tetapi ada juga yang memasarkan setelah
sarana dan prasarana tersebut telah dibangun. 3
Sistem penjualan semacam pre project selling ini sudah dikenal lama di Eropa, salah satunya
di Perancis. Sejak tahun 1967, hukum Perancis telah berurusan dengan penjualan unit
dari suatu rencana pembangunan menggunakan tipe perjanjian yang khusus, yang dikenal
sebagai penjualan sebuah bangunan yang akan dibangun (a sale of a building to be
constructed/vente d’immeuble a`construire).4 Berdasarkan perjanjian tersebut, pembeli
akan membayar sejumlah uang awal kepada pengembang diikuti dengan pembayaran yang
berturut-turut secara berrtahap selama proses masa pembangunan, kemudian pembeli akan
menjadi pemilik bangunan secara bertahap, dan pembeli dilindungi oleh hukum apabila
bangunan tidak selesai dibangun oleh pengembang. Pengembang diperbolehkan menerima
uang dan angsuran dari pembeli sebelum bangunan selesai adalah untuk memastikan bahwa
pengembang dalam posisi dapat membiayai pembangunan gedung. Pengembang dapat
meminjam lebih mudah dari lembaga keuangan dan pengembang kemudian dapat membayar
kontraktor bangunan dengan uang yang diperolehnya dari pembeli.5
Secara yuridis formal di Indonesia pola penjualan perumahan dengan sistem Pre Project
Selling tidak dilarang meskipun belum ada ketentuan yang mengaturnya. sehingga landasan
utama sebagai penentuan hak dan kewajiban para pihak terletak pada kebebasan
berkontrak, sedangkan mekanisme penentuan hak dan kewajiban para pihak dituangkan
dalam bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).6
PPJB adalah kesepakatan dari dua pihak untuk melaksanakan prestasi masing-masing di
kemudian hari, yakni pelaksanaan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
bila bangunan telah selesai, bersertifikat, dan layak huni.7 PPJB dibuat sebagai perjanjian
pendahuluan yang bertujuan untuk mengikat para pihak sebelum dibuatnya Akta Jual Beli
(AJB) di hadapan PPAT. AJB ini merupakan suatu akta otentik yang dibuat oleh PPAT
sebagai bukti untuk peralihan hak atas tanah dan bangunan.8 AJB inilah yang nantinya akan
digunakan untuk pengajuan pendaftaran peralihan hak ke kantor pertanahan setempat atau
yang lebih dikenal dengan istilah balik nama. Dengan selesainya proses balik nama, maka
hak yang melekat pada tanah dan bangunan telah berpindah dari penjual kepada pembeli.
Menurut Pasal 42 (1) UU Perumahan dan Permukiman, “Rumah tunggal, rumah deret,
dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan
melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.” Kemudian dalam pasal 42 ayat (2) UU Perumahan dan Permukiman,
“Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
memenuhi persyaratan kepastian atas:
a. status pemilikan tanah;
b. hal yang diperjanjikan;
c. kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;
d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
e. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
2
Yohanes Sogar Simamora, Penegakan Hukum Pada Bisnis Properti Dengan Pola Pre project selling, Jurnal
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2017,Hal.1.
3
Purbandari, Kepastian Dan Perlindungan Hukum Pada Pemasaran Properti Dengan Sistem Pre project selling,
Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular, 2012, Hal. 13.
4
Cornelius Van Der Merwe, European Condominium Law, Cambrige University Press, 2 0 1 4 , hal. 98.
5
Ibid, 2013, hal. 100.
6
Yohanes Sogar Simamora, Penerapan Prinsip Caveat Vendor Sebagai Sarana Perlindungan Bagi Konsumen
Perumahan Di Indonesia , Universitas Airlangga Surabaya, 1996, hal.13.
7
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya , Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2000,
hal.78.
8
Pasal 95 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dari hasil wawancara dengan staf pemasaran salah satu pengembang yang menggunakan
konsep pre project selling, diperoleh tahapan tahapan umum sebagai berikut:
1. Pre launching; adalah suatu tahapan awal di mana peluncuran suatu Produk yang
dilaksanakan sebelum launching atau grand launching. Hal-hal yang perlu diketahui oleh
konsumen pada saat pre launcing adalah:
a. Pembagian brosur.
b. Daftar harga
c. Site plan.
d. Uang tanda jadi, dimana uang tersebut hangus apabila pembelian batal.
Pada saat pre launching tersebut pengembang hanya menampilkan contoh rumah dalam
bentuk maket disertai brosur-brosur gambar rumah dan daftar harga dari setiap unit.
2. Launching atau grand launching ini justru merupakan penjualan sebenarnya yang
dilakukan oleh pengembang yang diadakan setelah tiga sampai dengan tujuh hari pre
launching. Biasanya menghadirkan aneka hiburan yang didukung oleh artis-artis Ibu kota
ternama yang diselenggarakan di hotel yang berbintang. Pada saat launching ini para
calon konsumen yang hendak membeli rumah dengan konsep pre project selling para
calon konsumen disodorkan oleh pengembang selembar formulir baku yang disebut
dengan formulir pemesanan yang mencantumkan ketentuan-ketentuan yang harus
dipatuhi oleh calon konsumen.
Mengenai pembangunan perumahan, pengembang mengatakan bahwa rumah baru akan
dibangun setelah realisasi pembayaran dari konsumen. Realisasi pembayaran adalah dengan
melakukan pembayaran uang muka. Jadi dapat dikatakan bahwa pembangunan perumahan
ini belum mencapai 20% (dua puluh persen) dari volume konstruksi bangunan tempat tinggal
yang dipasarkan karena rumah baru akan dibangun setelah realisasi pembiayaan dari
konsumen. Dari sini dapat disimpulkan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian dari
Pasal 1320 KUHPerdata tidak terpenuhi, yang merupakan alasan yang sah, karena pasar
pengembang perumahan sebelum perumahan dibangun 20% yang merupakan ketentuan Pasal
42 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman. Dengan adanya syarat kausa yang halal sebagaimana syarat tersebut
merupakan syarat objektif tetapi tidak dipenuhi atau dilanggar, maka perjanjian yang
dimaksud tidak sah karena melanggar syarat objektif dari suatu perjanjian dan secara
otomatis berakibat batal demi hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1335 jo. 1337 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang intinya adalah bahwa suatu perjanjian tanpa
sebab atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan dan suatu sebab adalah terlarang, apabila undang-undang melarang atau
berlawanan dengan kesusilaan maupun ketertiban umum.
Selanjutnya, sebagai konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya persyaratan yang
disebutkan dalam Pasal 42 ayat (2) UU Perumahan dan Permukiman, Perjanjian Jual Beli
(PPJB) tidak berlaku dan batal demi hukum karena persyaratan ini merupakan sebab atau
tujuan utama agar Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dapat dibuat.
Hak Dan Kewajiwan Konsumen
Secara umum hak dan kewajiban dari konsumen ada sebagai berikut :
1. Hak konsumen
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi atau
menggunakan barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan.konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
2. Kewajiban konsumen
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dari/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
3. Hak pelaku usaha
a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. Mendapatkan perlindungan hukum dan tindakan konsumen yang beritikat tidak
baik.
c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
4. Kewajiban pelaku usaha
a. Beritikat baik dalam melakukan kegiatan usaha.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan .
c. pemeliharaanMemperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f. Memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
g. Memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perlindungan Konsumen
Menurut Pasal 1 angka 2 UUPK, pengertian Konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang
dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan’’. Istilah konsumen berasal
dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika atau consument/konsument (Belanda).
Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang menggunakan
barang, tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen
kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi
kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.9
Az.Nasution mengartikan konsumen adalah:
“Setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga,
dan tidak untuk memproduksi barang/jasa lain atau memperdagangkannya kembali
(konsumen akhir)”.10
Sementara pengertian Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 1 UUPK adalah “Segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada
konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
9
Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika.Jakarta, 2008, hal. 22.
10
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas lampung, Bandar
Lampung, 2007, hal. 54.
hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang
merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. 11
Menurut Az. Nasution hukum perlindungan konsumen adalah hukum konsumen yang memuat
asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang
melindungi kepentingan konsumen.12 Pengertian Pelaku Usaha menurut pasal 1 angka 3 UUPK
adalah “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi’’.
Perlindungan konsumen dalam Pasal 3 UUPK bertujuan untuk:
Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat
setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur
11
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Bandung,
2004, hal. 1.
12
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 9.
13
Edi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2010, Hal.19.
14
Wahyu Sasongko, Op Cit., hlm 40-41.
Pengadilan Negeri atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.15
15
Indra Setya Budhi , Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Perumahan Atas Konstruksi Bangunan Rumah
Ditinjau Dari Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik
Soegijapranata, Fakultas Hukum, Semarang, <www.hukum.unika.ac.id>, diakses pada 20 April 2018.
pengadilan (melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), maka gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana sebagaimana di atur dalam Undang-Undang.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada Sistem Pre Project Selling yang dilakukan oleh PT.
Menara Santosa Solo, ada banyak spekulasi yang dilakukan oleh pengembang, bahkan
mengabaikan etika dalam bisnis, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan
perlindungan hukum kepada konsumen. berdasarkan penelitian di atas Validitas Perjanjian
Jual Beli dalam Pre Project Selling penjualan unit perumahan dituangkan dalam bentuk
Nomor Urut Pesanan (NUP) oleh PT Menara Santosa Solo selaku pengembang terhadap calon
pembeli adalah tidak sah dan batal demi hukum karena perjanjian tersebut melanggar syarat
objektif dari syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
yaitu mengenai suatu kausa yang halal. Kemudian, dalam hal pengembang (developer)
sebelum membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam penjualan satuan unit
apartemen Meikarta ini juga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 42
ayat (2) Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman maka perjanjian tersebut batal
demi hukum dikarenakan persyaratan tersebut merupakan sebab atau tujuan utama agar
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dapat dibuat.
Salah satu kendala dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian serupa yang masih
sangat jarang untuk dijadikan referensi dalam memperkaya penulisan penelitian ini.
Saran
Pengembang harus memperhatikan nilai-nilai etika berbisnis, dan perlu dibentuk suatu
lembaga yang mengatur secara rinci tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan perusahaan pengembang dan individu-individu perusahaan pengembang. Misalnya;
suatu proyek properti tidak dapat dipasarkan sebelum hak kepemilikan dan penguasaan
tanahnya belum jelas secara hukum; draft perjanjian harus terbuka dan fair; tidak
menjadikan fasum atau fasos yang tidak akan dibuatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman
Edward W. Clindiff. 1998. Terjemahan, Dasar-Dasar Marketing Modern, Yogyakarta: Liberty.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
J a k a r t a : Gramedia Pustaka,Jakarta Utama.
Harianto, Edi. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Kristiyanti, Celiana Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: PT Raja Grafindo
Persada.
Purbandari. 2012. Kepastian Dan Perlindungan Hukum Pada Pemasaran Properti Dengan Sistem Pre
project selling. Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular.
Setya, Budhi Indra. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Perumahan Atas Konstruksi Bangunan Rumah
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Universitas Katolik Soegijapranata, Fakultas Hukum, Semarang, <www.hukum.unika.ac.id>,
diakses pada 20 Januari 2018.
Shofie, Yusuf . 2000. Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Jakarta: Citra
Aditya Bakti.
Simamora, Yohanes Sogar. 1996. Penerapan Prinsip Caveat Vendor Sebagai Sarana Perlindungan Bagi
Konsumen Perumahan Di Indonesia , Surabaya: Universitas Airlangga Press.
__________________. 2017. Penegakan Hukum Pada Bisnis Properti Dengan Pola Pre project selling,
Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
Van Der Merwe, Cornelius. 2014. European Condominium Law, Cambrige University Press.