Anda di halaman 1dari 138

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

FIQIH
MAWARIS
Ahmad Sarwat, Lc

1
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Judul Buku
Fiqih Mawaris

Penulis
Ahmad Sarwat

Penerbit
DU CENTER

Cetakan
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat

3
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Istilah

Agar tidak terjadi selip paham dalam


membicarakan hal-hal yang terkait dengan istilah
warisan yang ditranslate ke dalam bahasa Indonesia,
mari kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI).
Misalnya kata mewarisi dan mewariskan, orang
sering keliru membedakan keduanya. Menurut KBBI,
kata 'mewarisi' adalah memperoleh warisan.
Misalnya kalimat berikut : Amir mewarisi sebidang
tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir
memperoleh tanah yang ditinggalkan oleh pak Ali.
Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah
memberikan harta warisan atau meninggalkan
sesuatu harta kepada orang lain. Misalnya kalimat
berikut : Pak Ali mewariskan sebidang tanah kepada
anaknya. Maksudnya, pak Ali memberikan harta
warisan kepada anaknya.
Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan,
yaitu orang yang memberi harta warisan. Contoh
dalam kalimat, pak Ali adalah pewaris dari anak-
anaknya. Maksudnya, pak Ali memberi harta warisan
kepada anak-anaknya.
Lawan kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu
orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka).
Contoh dalam kalimat, Amir adalah ahli waris dari
ayahnya. Maksudnya, Amir menerima harta warisan
dari ayahnya.

me·wa·risi v 1 memperoleh warisan dr:


krn anak satu-satunya, dialah yg akan
~ seluruh harta kekayaan orang
tuanya; 2 ki memperoleh sesuatu yg
ditinggalkan oleh orang tuanya dsb: ia

5
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

tidak saja memperoleh harta kekayaan, tetapi ia


juga ~ utang-utang yg ditinggalkan almarhum;
me·wa·ris·kan v 1 memberikan harta warisan
kpd; meninggalkan sesuatu kpd: gurunya ~ ilmu
silat kepadanya; 2 menjadikan orang lain menjadi
waris;
wa·ris·an n sesuatu yg diwariskan, spt harta,
nama baik; harta
ahli waris orang yang berhak menerima warisan
(harta pusaka)

6
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Daftar Isi

Urgensi dan Pensyariatan 17


1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris 17
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut 18
1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW 19
1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran 19
1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga 20
1.5. Ancaman Akhirat 21
2. Pensyariatan 22
2.1. Dalil Quran 22
2.2. Dalil Sunnah 26
2.3. Dalil Ijma' 27
Pengertian Waris 29
1. Definisi 29
1.1. Bahasa 29
1.2. Pengertian syariah 30
2. Waris, Hibah dan Wasiat 30
2.1. Waktu 31
2.2. Penerima 31
2.3. Nilai 32
2.4. Hukum 32
3. Istilah-istilah dalam ilmu waris 33
3.1. Tarikah 33
3.2. Fardh 33
3.3. Ashhabul Furudh. 33
3.4. Ashabah 34
3.5. Sahm 35
3.6. Nasab 35
3.7. Al-Far'u 35
3.8. Al-Ashl 36
Alokasi Harta 37
1. Menetapkan Kepemilikan Harta 37

7
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

2. Pengurusan Jenazah 40
3. Hutang 41
4. Washiyat 43
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan 45
1. Rukun Waris 45
1.1. Al-Muwarits 45
1.2. Al-Warits 45
1.3. Harta Warisan 46
2. Syarat Waris 46
2.1. Meninggalnya Muwarrits 46
2.2. Hidupnya Ahli Waris 49
2.3. Ahli Waris Diketahui 50
3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris 50
3.1. Kerabat hakiki 50
3.2. Pernikahan 51
3.3. Al-Wala 51
Gugurnya Warisan 53
1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan 53
1.1. Pembunuhan 53
1.2. Perbedaan Agama 54
1.3. Budak 56
2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub 57
Penghalang Warisan (Al-Hujub) 59
1. Definisi 59
2. Macam-macam al-Hujub 60
3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub
Hirman 61
4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub
Hirman 62
Ashabul Furudh & Ashabah 63
1. Ashhabul Furudh 63
2. Ashabah 64

8
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah 65


2.3. Macam-macam 'Ashabah 67
3.1. 'Ashabah bin nafs 67
3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs 68
Para Ahli Waris 71
1. Anak Laki-laki (‫)ابن‬ 74
1.1. Bagian 74
1.2. Menghijab 77
1.3. Dihijab oleh : 77
2. Anak Perempuan (‫)بنت‬ 77
2.1. Bagian 78
2.2. Menghijab 79
2.3. Dihijab Oleh : 79
3. Istri (‫)زوجة‬ 80
3.1. Bagian 80
3.2. Menghijab 81
3.3. Dihijab oleh 81
4. Suami 81
4.1. Bagian 82
4.2. Menghijab 82
4.3. Dihijab oleh 82
5. Ayah 83
5.1. Bagian 83
5.2. Menghijab 85
5.3. Dihijab oleh 86
6. Ibu 86
6.1. Bagian 86
6.2. Menghijab 88
6.3. Dihijab oleh 88
7. Kakek (‫)أب أب‬ 89
7.1. Bagian 89
7.2. Menghijab 91
7.3. Dihijab oleh 91
8. Nenek (‫)أم أب‬ 92

9
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

8.1. Bagian 92
8.2. Menghijab 92
8.3. Dihijab oleh 92
9. Saudara seayah-ibu (‫)أخ شقيق‬ 92
9.1. Bagian 92
9.2. Menghijab 93
9.3. Dihijab Oleh : 93
10. Saudari seayah-ibu 94
10.1. Bagian 94
11. Saudara seayah (‫)أخ لب‬ 95
11.1. Bagian 95
11.2. Menghijab 96
11.3. Dihijab Oleh : 96
12. Saudari seayah (‫)أخت لب‬ 97
10.1. Bagian 97
13. Keponakan : anak saudara seayah-ibu 98
14. Keponakan : anak saudara seayah 98
15. Paman : saudara ayah seayah-ibu 98
16. Paman : saudara ayah seayah 98
17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu 99
18. Sepupu : anak laki paman seayah 99
19. Cucu Laki-laki (‫)ابن ابن‬ 99
19.1. Bagian 99
19.2. Menghijab 100
19.3. Dihijab oleh : 101
20. Cucu Perempuan 101
21. Nenek Dari Ibu 101
22. Saudara/i Seibu 101
Cara Membagi Warisan 103
1. Langkah Pertama 103
1.1. Hutang 103
1.2. Wasiat 103
1.3. Biaya Pengurusan Jenazah 104

10
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

2. Langkah Kedua 104


2.1. Memilah 104
2.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab
105
3. Langkah Ketiga 107
Aul dan radd 117
1. Aul 117
2. Radd 117

11
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Pengantar

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha


Agung. Shalawat serta salam tercurah
kepada baginda Nabi Muhammad SAW, juga
kepada para shahabat, pengikut dan orang-
orang yang berada di jalannya hingga akhir
zaman.
Syariat Islam menetapkan aturan waris
dengan bentuk yang sangat teratur dan adil.
Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan
harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal.
Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah
meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari
seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa
membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara
detail hukum-hukum yang berkaitan dengan

13
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

hak kewarisan tanpa mengabaikan hak


seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan
nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai
anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman,
cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara
seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris, sedangkan ketetapan
tentang kewarisan yang diambil dari hadits
Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam
hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat
Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara
detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan
salah satu bentuk kepemilikan yang legal
dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping
bahwa harta merupakan tonggak penegak
kehidupan baik bagi individu maupun
kelompok masyarakat.
Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah
sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang
sedemikian luas. Para ulama pendahulu kita
telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid
kitab yang menjadi pusaka dan pustaka
khazanah peradaban Islam. Sebuah
kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh
agama manapun yang pernah muncul di
muka bumi.

14
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah


tidak dapat menikmati warisan itu, salah
satunya karena kendala bahasa. Padahal tak
satu pun ayat Al-Quran yang turun dari
langit kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil
pun huruf keluar dari lidah nabi kita SAW,
kecuali dalam bahasa Arab.
Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam
bahasa Indonesia ini menjadi upaya
seadanya untuk mendekatkan umat ini
dengan warisan agamanya. Tentu saja buku
ini juga diupayakan agar masih dilengkapi
dengan teks berbahasa Arab, agar masih
tersisa mana yang merupakan nash asli dari
agama ini.
Buku ini merupakan buku kedelapan dari
rangkaian silsilah pembahasan fiqih. Selain
buku ini juga ada buku lain terkait dengan
masalah fiqih seperti fiqih thaharah, shalat,
puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah,
nikah, waris, hudud dan bab lainnya.
Sedikit berbeda dengan umumnya kitab
fiqih, manhaj yang kami gunakan adalah
manhaj muqaranah dan wasathiyah. Kami
tidak memberikan satu pendapat saja, tapi
berupaya memberikan beberapa pendapat
bila memang ada khilaf di antara para ulama
tentang hukum-hukum tertentu, dengan
usaha untuk menampilkan juga hujjah
masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami
serahkan kepada para pembaca.

15
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Semoga buku ini bisa memberikan


manfaat berlipat karena bukan sekedar
dimengerti isinya, tetapi yang lebih penting
dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya
ikhlas karena Allah SWT.

Al-Faqir ilallah

Ahmad Sarwat, Lc

16
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Pertama
Urgensi dan Pensyariatan

1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris

Untuk apa kita mempelajari hukum waris?


Bukankah sudah ada kiyai dan para ulama
yang bisa menangani urusan waris?
Bukankah biasanya membagi waris menjadi
tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama
(KUA)?
Barangkali pertanyaan seperti itu muncul
di benak kita ketika pertama kali melihat
buku ini.

17
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Pertanyaan seperti itu mungkin ada


benarnya. Sebab biasanya urusan pembagian
waris memang menjadi urusan para kiyai
dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak
KUA. Jadi buat apa kita yang tidak punya
urusan ini pakai sok belajar ilmu waris?
Pada bab pertama ini kita akan
mempelajari kenapa kita yang awam ini
perlu dan harus belajar ilmu waris. Ada
beberapa sebab dan alasan yang
melatarbelakangi hal itu. Antara lain :
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut
Sebagaimana kita sadari meski bangsa
Indonesia ini mayoritas muslim, namun kita
tahu bahwa agama kita diperangi lewat
berbagai macam bentuk penggerogotan dari
dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita
dengan berbagai produk hukum yang bukan
hukum Islam, seperti hukum barat dan
hukum adat, lewat berbagai kurikulum
pendidikan yang kita dapat dari sistem
pendidikan nasional, atau dari adat istiadat
turun temurun.
Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis
generasi muslim yang rajin shalat 5 waktu,
fasih membaca Al-Quran, aktif mengaji
kesana-kemari, gemar menghidupkan
amaliyah sunnah, tetapi sama sekali tidak
paham alias merasa asing dengan hukum
waris Islam.

18
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Keterasingan mereka atas hukum waris


Islam ini merupakan kehancuran umat Islam
yang sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW
sejak 14 abad yang lalu.
Rasulullah SAW secara khusus telah
memberikan perintah untuk mempelajari
ilmu waris, sebab ilmu waris itu setengah
dari semua cabang ilmu. Lagi pula
Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu
warisan itu termasuk yang pertama kali akan
diangkat dari muka bumi.

        ‫ج‬


ِ ‫َعِن الَْعَر‬
  
   
     
 
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu
Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu
dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang
pertama kali akan dicabut dari umatku".
(HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-
Hakim)
1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW
       
    

19
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

   


   
   
   
     
  –  
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu
bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan
ajarkanlah kepada orang-orang. Dan
pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan
kepada orang-orang. Karena Aku hanya
manusia yang akan meninggal. Dan ilmu
waris akan dicabut lalu fitnah menyebar,
sampai-sampai ada dua orang yang
berseteru dalam masalah warisan namun
tidak menemukan orang yang bisa
menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan
Al-Hakim)1
1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran
Selain Rasulullah SAW memerintahkan
kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin Al-
Khattab radhiyallahuanhu juga secara
khusus memerintahkan umat Islam
mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau
menyebutkan kita harus mempelajari ilmu

1
Al-Mustadrak ala Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman
328

20
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-


Kariem.

:    ‫اب‬ِ ‫الّط‬


َ ِ‫َعْن ُعَمَر ْبن‬
   
. 
Dari Umar bin Al-Khattab
radhiyallahuanhu beliau berkata,
"Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana
kalian mempelajari Al-Quran". 2
Perintah ini mengandung pesan bahwa
belajar ilmu waris ini sangat penting bagi
umat Islam. Karena disejajarkan dengan
belajar Al-Quran.
1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga
Seringkali di antara penyebab perpecahan
keluarga adalah masalah harta waris. Dari
banyak kasus yang terjadi, umumnya
berhulu dari kurang pahamnya para anggota
keluarga atas aturan dan ketentuan dalam
hukum waris Islam.
Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh
generasi Islam ternyata punya dampak yang
sangat besar. Salah satunya adalah
munculnya perpecahan keluarga. Lantaran
ketika orang tua wafat, anak-anak yang tidak
mengenal ilmu waris itu saling berebut harta

21
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

disebabkan karena parameter yang mereka


gunakan saling berbeda.
Sebagian anak ada yang ingin menerapkan
hukum waris versi adat. Yang lainnya mau
versi barat. Sebagiannya mau pakai hukum
Islam.
Seandainya orang tua mereka telah
mengjaari dan mendidik mereka sejak kecil
dengan ilmu waris Islam, niscaya
perpecahan keluarga tidak akan terjadi.
Sebab selayaknya anak-anak muslim yang
tumbuh dengan pendidikan Islam, mereka
pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama
yang mengajarkan bagaimana cara membagi
waris sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Dari berbagai kasus perpecahan keluarga
tentang masalah waris, umumnya yang
menjadi penyebab utama adalah awamnya
para anggota keluarga dari ilmu hukum
waris Islam.
Jalan keluar untuk menghindari
perpecahan keluarga yang barangkali bukan
terjadi hari ini adalah mempersiapkan anak-
anak kita, terutama generasi muda, dengan
bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak
awal merea sudah punya pedoman buat
bekal ketika dewasa nanti.
1.5. Ancaman Akhirat
Selain dua alasan di atas, memang Allah
SWT telah mewajibkan umat Islam untuk

22
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

membagi warisan sesuai dengan petunjuk


dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara
sengaja melanggar dan tidak mengindahkan
ketentuan Allah ini, maka Dia akan
memasukkannya ke dalam api neraka.
Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan
bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi
selamanya di dalam neraka. Bahkan masih
ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang
menghinakan.
Ketentuan seperti ini telah Allah
cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
ِ ِ ِ ِ ‫َوَمممن يَمْعم م‬
ُ‫ص ال مل مهَ َوَرُسمموُلَهُ َويَمتََمَعم مّد ُحم مُدوَدهُ يمُمْدخْلهُ نَمماررا َخالم مردا فيَِهمما َولمَ مه‬
‫ب مِه ب‬
‫ي‬ ‫َعَذا ب‬
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya
siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' :
13-14)
Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan
bahwa membagi warisan adalah bagian dari
hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila
dilanggar akan melahirkan dosa besar.
Bahkan di akhirat nanti akan diancam
dengan siksa api neraka. Tidak seperti
pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak
membagi warisan sebagaimana yang telah

23
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

ditetapkan Allah SWT tidak akan dikeluarkan


lagi dari dalamnya, karena mereka telah
dipastikan akan kekal selamanya di dalam
neraka sambil terus menerus disiksa dengan
siksaan yang menghinakan.
Sungguh berat ancaman yang Allah SWT
telah tetapkan buat mereka yang tidak
menjalankan hukum warisan sebagaimana
yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini
menjadi peringatan buat mereka yang masih
saja mengabaikan perintah Allah sebagai
ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa
kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik.

2. Pensyariatan

Ketentuan dan kewajiban membagi waris


dalam syariah Islam ditetapkan berdasarkan
kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta
ijma' para ulama.
2.1. Dalil Quran
Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang
secara detail menyebutkan tentang
pembagian waris menurut hukum Islam.
Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat,
yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada
di dalam surat Al-Anfal ayat terakhir, yaitu
ayat 75.
a. Ayat waris untuk anak

24
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

‫يم م فَمِإنِ ُكم مّن نَِسمماء‬


ِ ْ ‫لنثَميَِم‬
ُ‫ظا‬ ‫ُيوُِصم ميُِكم اللم مهُ ِفم م أَْولَِدُكم مْم لِلم مّذَكِر ِمثمْ مل َح م ظ‬
ُ ُ
ِ
‫ف‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫ت َواحَدرة فَملََها النظ‬ ْ َ‫ي فَملَُهّن ثمُلَُثا َما تَمَرَك َوِإنِ َكان‬ ِ ْ ‫فَموَُق اثْمنَتََم‬
ْ
Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)
b. Ayat waris untuk orang tua

‫س ِممّما تَ مَرَك ِإنِ َكمماَنِ لَمهُ َولَمبد فَمِإنِ ّلْم‬ ‫ِد‬ ِِ


ُ ‫َوَلبَ مَوُيْه لُك مظل َواح مد ظمْنمُهَممما المس مُد‬
‫س‬ ِ ِ ِ ُ ُ‫يُكن لّهُ ولَبد ووِرثَهُ َأبموُاهُ فَلُظمِه الثممل‬
ُ ‫ث فَإنِ َكاَنِ لَهُ إْخَوُةب فَلُظممه المسمُد‬ ََ ََ َ َ
ِ ِ ‫د‬ ِ ِ
‫ِمممن بَمْعم مد َوصم ميِّة ُيوُصمميِ بَمما أَْو َديمْ مدن آبَممآَُؤُكْم َوَأبنمماُؤُكْم لَ تمَ مْدُروَنِ أَيممُهم مْم‬
‫ضةر ظمَن اللِه إِّنِ اللهَ َكاَنِ َعلِيِما َحِكيِرما‬ َ ‫ب لَُكْم نَمْفعار فَِري‬ ُ ‫أَقَْمَر‬
Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian

25
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat


yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. An-Nisa' : 11)
c. Ayat waris buat suami dan istri

‫ف َما تَمَرَك أَْزَواُجُكْم ِإنِ ّلْ يَُكن ّلُّن َولَبد فَِإنِ َكاَنِ َلُّن َولَبد‬ ِ
ُ ‫ص‬ ْ ‫َولَُكْم ن‬.
‫ي َِبا أَْو َديْمدن َوَلمُّن المربمُُع ِمّما‬ ِ ‫ِ ِد‬ ِ ِ
َ ‫فَملَُكُم المربُُع ّما تَمَرْكمَن ممن بَمْعمد َوصميِّة ُيوُصم‬
‫تَمَرْكتَُْم ِإنِ ّلْ يَُكن لُّكْم َولَمبد فَمِإنِ َكمماَنِ لَُكمْم َولَمبد فَملَُهمّن الثمُممُن ِمّما تَمَرْكتَُمم‬
‫صوَُنِ َِبا أَْو َديْدن‬ ‫ِ ِد‬
ُ ُ‫ظمن بَمْعد َوصيِّة ُتو‬
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau

26
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

(dan) sesudah dibayar utang-utangmu.


(QS. An-Nisa' : 12)
d. Ayat waris Kalalah
Kalalah adalah seorang wafat tanpa
meninggalkan ayah dan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki atau
perempuan.

‫ت فَلُِك مظل َواِح مدد‬‫ث َكلَلَمةر َأو اْم مَرأَةب َولَمهُ أَبخ أَْو أُْخ م ب‬ُ ‫َوِإنِ َكمماَنِ َرُج مبل يمُموَُر‬
‫ث ِمممن‬ ِ ‫ك فَمهمم ُشمرَكاء ِفم الثمملُم‬ ِ ِ ِ ‫ظمْنمُهممما المسمُد‬
َ ْ ُ َ ‫س فَمإنِ َكممانمَُوُاْ أَْكثَمَر مممن َذلم‬ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ‫د‬ ِ ِ
‫ضممآَر َوصميِّةر ظممَن اللمه َواللمهُ َعليِمبم‬ َ ‫صممىَ بمَمآَ أَْو َديْمدن َغْيِ مَر ُم‬َ ُ‫بَمْعمد َوصميِّة ُيو‬
‫َحلِيِبم‬
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi
mudarat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah, dan

27
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Allah Maha Mengetahui lagi Maha


Penyantun (QS. An-Nisa' : 12)
e. Ayat waris Kalalah
Kalalah lainnya adalah seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
saudara perempuan.

ُ‫س لَمهُ َولَمبد َولَمه‬ َ َ‫ك قَُِل اللهُ يمُْفتَِيُِكْم ِف الَْكلَلَِة إِِنِ اْمُربؤ َهل‬
َ ‫ك لَْيِم‬ َ َ‫يَْستََمْفُتَوُن‬
ِ
‫ف َما تَمَرَك‬ ُ ‫ص‬ْ ‫ت فَملََها ن‬ ‫أُْخ ب‬
Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-
Nisa' : 176)

‫ب اللمِه إِّنِ اللمهَ بُِكمظل َشمْيِدء‬


ِ ‫ض ِفم كِتَمَما‬ ُ ‫َوأُْولُوُاْ الَْرَحاِم بَمْع‬
‫ضُهْم أَْوَلم بِبَِمْعم د‬
‫َعلِيِبم‬
Orang-orang yang mempunyai hubungan
itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang kerabat) di
dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-
Anfal : 75)
2.2. Dalil Sunnah

28
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang


menunjukkan pensyariatan hukum waris
buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-
hadits berikut ini :
         
        ‫َعِن ابِْن َعّبِادس‬
           
.     
    
Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa
Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang
berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. " (HR
Bukhari)
            
           
           
    
   
Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu
berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Seorang muslim tidak
mendapat warisan dari orang kafir dan
orang kafir tidak mendapat warisan dari
seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-
Nasai)3
            
           
   
  
 
Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu
berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Dua orang yang berbeda
3
Nailul Authar jilid 6 halaman 55

29
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad


 Daud dan
Abu  Ibnu Majah) 
            
           
       
  
  
Dari Ubadah bin As-Shamith
radhiyallahuanhu berkata bahwa
Rasulullah SAW menetapkan buat dua
orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.
  dan Ibnu Majah)
(HR. Ahmad Abu Daud
        
         
              
      
      
Dari  Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu
berkata bahwa Rasulullah SAW
menetapkan bagi anak tunggal
perempuan setengah bagian, dan buat
anak perempuan dari anak laki
seperenam bagian sebagai
penyempurnaan dari 2/3. Dan yang
tersisa buat saudara perempuan .(HR.
Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)4
2.3. Dalil Ijma'
Para shahabat, tabiin dan para ulama yang
mewarisi nabi telah berijma' tentang
pensyariatan hukum waris ini.

4
Nailul Authar jilid 6 halaman 58

30
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kedua
Pengertian Waris

1. Definisi

1.1. Bahasa
Al-miirats (‫ )الميراث‬dalam bahasa Arab
adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (
ً‫ث إميرثثاً روممييرراثثا‬
‫ث يرمر ث‬
‫ )رومر ر‬waritsa-yaritsu-irtsan-
miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah
'berpindahnya sesuatu dari seseorang
kepada orang lain', atau dari suatu kaum
kepada kaum lain.

31
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah


terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, tetapi mencakup harta benda
dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
banyak menegaskan hal ini, demikian pula
sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah
berfirman:

َ ‫َوَوِر‬
‫ث ُسلَْيَِماُنِ َداُووَد‬
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..."
(an-Naml: 16)
ِ
َ ‫َوُكّنا َْنُن الَْوُاِرث‬
‫ي‬
"... Dan Kami adalah yang mewarisinya."
(al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi
saw.:

َ‫العُلََماءُ َْورَثَةُ الَنْبَِِيِاء‬


'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
1.2. Pengertian syariah
Sedangkan makna al-miirats menurut
istilah yang dikenal para ulama ialah :
berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik legal secara syar'i.

32
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

2. Waris, Hibah dan Wasiat

Ada tiga istilah yang berbeda namun


memiliki kesamaan dalam beberapa halnya,
yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya
memiliki kemiripan sehingga kita seringkali
kesulitan saat membedakannya.
Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita
buatkan tabel seperti berikut ini.
WARIS HIBAH WASIAT

Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat

Penerim ahli waris & bukan ahli waris


Ahli waris bukan ahli waris
a
Nilai Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3

Hukum wajib Sunnah Sunnah

2.1. Waktu
Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-
bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak
ditentukan berapa besar masing-masing
bagian, kecuali setelah pemiliknya
(muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata
lain, pembagian waris dilakukan setelah
pemilik harta itu meninggal dunia. Maka
yang membagi waris pastilah bukan yang
memiliki harta itu.

33
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Sedangkan hibah dan washiyat, justru


penetapannya dilakukan saat pemiliknya
masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu
langsung diserahkan saat itu juga, tidak
menunggu sampai pemiliknya meninggal
dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh
pemilik harta pada saat masih hidup namun
perpindahan kepemilikannya baru terjadi
saat dia meninggal dunia.
2.2. Penerima
Yang berhak menerima waris hanyalah
orang-orang yang terdapat di dalam daftar
ahli waris dan tidak terkena hijab hirman.
Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan washiyat justru diharamkan
bila diberikan kepada ahli waris. Penerima
washiyat harus seorang yang bukan
termasuk penerima harta waris. Karena ahli
waris sudah menerima harta lewat jalur
pembagian waris, maka haram baginya
menerima lewat jalur washiat.
Sedangkan pemberian harta lewat hibah,
boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli
waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada
siapa saja.
2.3. Nilai
Dari segi nilai, harta yang dibagi waris
sudah ada ketentuan besarannya, yaitu
sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu
faraidh.

34
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan


besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8
hingga 2/3. Ada juga para ahli waris dengan
status menerima ashabah, yaitu menerima
warisan berupa sisa harta dari yang telah
diambil oleh para ashabul furudh. Dan ada
juga yang menerima lewat jalur furudh dan
ashabah sekaligus.
Sedangkan besaran nilai harta yang boleh
diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai
total harta peninggalan. Walau pun itu
merupakan pesan atau wasiat dari almarhum
sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan
dari Allah SWT untuk membela kepentingan
ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3
harta merupakan hal yang diharamkan.
Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih
dari 1/3, maka kelebihannya itu harus
dibatalkan.
2.4. Hukum
Pembagian waris itu hukumnya wajib
dilakuan sepeninggal muwarrits, karena
merupakan salah satu kewajiban atas harta.
Sedangkan memberikan washiyat
hukumnya hanya sunnah. Demikian juga
memberikan harta hibah hukumnya sunnah.

3. Istilah-istilah dalam ilmu waris


Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah
yang khas, dimana istilah itu seringkali tidak

35
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

sama dengan istilah yang umum. Berikut ini


kami uraikan beberapa istilah yang akan
seringkali muncul dalam mata kuliah ini.
3.1. Tarikah
Tarikah, (‫ )تركة‬kadang dibaca tirkah, adalah
segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi,
pada prinsipnya segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan.
Termasuk di dalamnya bersangkutan
dengan utang piutang, baik utang piutang itu
berkaitan dengan pokok hartanya (seperti
harta yang berstatus gadai), atau utang
piutang yang berkaitan dengan kewajiban
pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya
pembayaran kredit atau mahar yang belum
diberikan kepada istrinya).
3.2. Fardh
Fardh (‫ )فرض‬adalah bagian harta yang
didapat oleh seorang ahli waris yang telah
ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-
Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu adalah
bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6,
1/8 dan 2/3. Harta yang dibagi waris itu
adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan
fardh.
Misalnya seorang istri yang ditinggal mati
suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8
bagian dari harta suaminya, apabila

36
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

suaminya punya keturunan. Atau mendapat


1/4 bagian bila suaminya tidak punya
keturunan.
3.3. Ashhabul Furudh.
Ashabul furudh (‫ )أصحاًب الفروض‬sesuai dengan
namanya, berarti adalah orang-orangnya,
yaitu orang-orang yang mendapat waris
secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang
punya bagian yang pasti dari warisan yang
diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah
suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah
ditetapkan oleh nash, tapi tergantung
keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri
yang ditinggal mati suaminya sudah
dipastikan besar harta yang akan
diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya
suaminya punya anak, maka istri mendapat
1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak
punya anak, istri menapat 1/4 dari harta
suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal
mati istrinya, sudah dipastikan besar harta
yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4,
tergantung keberadaan anak dari istri.
Seandainya istri punya anak, maka suami
mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri
tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari
harta istri.

37
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Tapi intinya, ashabul furudh adalah para


ahli waris yang sudah punya bagian pecahan
tertentu dari harta muwarristnya.
3.4. Ashabah
Istilah ashabaha (‫ )عصبة‬berposisi sebagai
lawan fardh, yaitu bagian harta yang
diterima oleh ahli waris, yang besarnya
belum diketahui secara pasti. Karena harta
itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil
sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi
ashhabul-furudh.
Besarnya bisa nol persen hingga seratus
persen. Tergantung seberapa banyak harta
yang diambil oleh ahli waris ashhabul
furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka
bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau
jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya
menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal
adalah ahli waris ashabah dari ayahnya yang
meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris
dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta
suaminya. Sedangkan anak tersebut
mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa
dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 –
1/8 = 7/8.
3.5. Sahm
Sahm (‫ )سهم‬adalah istilah untuk menyebut
bagian harta yang diberikan kepada setiap

38
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

ahli waris yang berasal dari asal masalah.


Atau disebut juga jumlah kepala mereka.
Misalnya,
3.6. Nasab
Nasab (‫ )نسب‬adalah hubungan seseorang
secara darah, baik hubungan ke atasnya
seperti ayah kandung, kakek kandung dan
seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut
abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke
arah bawah (keturunannya) seperti dengan
anak kandungnya, atau anak dari anaknya
(cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut
bunuwwah.
3.7. Al-Far'u
Istilah (‫ )الفرع‬bila kita temukan di dalam
ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki
atau anak perempuan dari almarhum yang
akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak
dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun
perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists
maksudnya adalah anak laki-laki dan anak
perempuan, atau ahli waris anak-anak
tersebut ke bawahnya.
3.8. Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl (
‫ )الصل‬adalah ayah kandung dan ibu kandung,
juga termasuk ayah kandung atau ibu
kandung dari ayah kandung (kakek). Dan
kakek atau nenek yang merupakan ayah dan

39
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-


shahih.

40
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Ketiga
Alokasi Harta

Bila ada seorang muslim meninggal dunia


dan meninggalkan sejumlah harta, tidak
semua harta peninggalannya langsung
dibagi sebagai warisan. Ada sejumlah pos
pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih
dahulu. Tentu saja bila pos-pos pengeluaran
itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya
dibagi menurut hukum waris.

1. Menetapkan Kepemilikan Harta

Meski pun bagian ini nyaris tidak kita


temukan di kitab-kitab fiqih klasik, namun

41
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

pada kenyataannya, terutama di negeri kita,


justru bagian ini paling rumit dari semua
urusan pembagian warisan. Pertama yang
harus dilakukan adalah memilah dan
memilih mana yang merupakan harta
almarhum dan mana yang harta milik orang
lain, tetapi tercampur di dalam harta
almarhum.
Mengapa demikian?
Karena ketentuan dalam hukum waris
Islam, harta yang dibagi waris itu harus
harta yang 100% dimiliki oleh almarhum
yang meninggal dunia. Padahal kenyataan
yang sering terjadi harta yang ada itu masih
menjadi milik bersama, baik antara suami
istri atau pun dengan pihak lain.
Ada beberapa contoh kasus yang sering
terjadi dimana di dalam harta seseorang
masih tercampur hak milik orang lain,
diantaranya :
a. Usaha Bersama Suami Istri
Sepasang suami istri sejak menikah telah
membangun usaha bersama, katakanlah
membuka toko. Keduanya mengeluarkan
harta benda dan tenaga untuk memajukan
usaha keluarga itu secara bersama-sama.
Bisa dikatakan harta yang mereka miliki itu
menjadi harta berdua. Ketika keduanya
masih hidup, barangkali tidak timbul
persoalan, lantran kedua suami istri.

42
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Tapi akan muncul masalah saat istri


meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin
lagi. Tentu di dalam harta berupa usaha toko
itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami
tentu tidak bisa menguasai begitu saja
peninggalan itu.
Boleh jadi akan muncul masalah dengan
anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa
ibu mereka punya hak atas harta yang kini
menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.
Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang
tentang status kepemilikan usaha keluarga
itu. Berapakah besar yang menjadi milik
suami dan berapa yang menjadi bagian istri,
seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.
Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang
saham, maka berapa besar saham istri harus
ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri
berstatus sebagai pegawai, gajinya harus
ditetapkan secara jelas juga.
Maka hanya harta yang sudah benar-benar
100% milik istri saja yang dibagi waris,
sedangkan yang milik suami tentu tidak
dibagi waris, karena dia masih hidup.
b. Suami Memberi Hadiah Kepada Istri
Sebuah keluarga pecah gara-gara istri
almarhum dan anak-anaknya diteror oleh
adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya,
menurut adik-adik almarhum, mereka berhak
mendapat harta warisan berupa kolam

43
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

pemancingan dari peninggalan harta kakak


mereka, lantaran sang kakak tidak punya
anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum
tidak punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh
kepada ashabah yang tidak lain adalah adik-
adik almarhum.
Tapi menurut istri almarhum yang kini
sudah menjanda, kolam pancing ikan yang
diributkan itu pada dasarnya bukan asset
harta milik suaminya yang sudah almarhum.
Karena semasa hidupnya, almarhum telah
menghadiahkan kolam pancing itu kepada
dirinya sebagai hadiah ulang tahun.
Hal itu terbukti dari surat tanah yang
memang atas nama istri. Maka harta itu
tidak bisa dibagi waris, karena statusnya
bukan milik almarhum.
Maka seberapa benar pernyataan dari
masing-masing pihak, harus ditelusuri
terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan
saksi-saksi atau pun dengan surat-surat
bukti kepemilikan. Barulah setelah semua
jelas, bagi waris bisa dilakukan.
c. Pinjam atau Beli
Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang
kepada kakaknya untuk naik haji. Dan
sebagai jaminannya, sepetak sawah
digadaikan kepada sang kakak.
Sayangnya sampai sekian puluh tahun
kemudian, uang pinjaman ini tidak

44
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

dikembalikan. Otomatis sawah sebagai


jaminan pun juga masih di tangan sang
kakak.
Ketika kedua kakak beradik ini sudah
meninggal, anak dan cucu mereka
bermaksud membagi harta warisan. Muncul
masalah tentang status sawah, karena para
ahli waris meributkan statusnya. Anak
keturunan sang adik mengatakan bahwa
sawah itu milik orang tua mereka, karena
orang tua mereka tidak pernah menjual
sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya
menjadikannya sebagai jaminan hutang.
Sedangkan anak keturunan sang kakak
mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi
hak orangtua mereka, lantaran utang belum
pernah dikembalikan.
Anak keturunan si adik akhirnya bersedia
mengembalikan hutang orangtua mereka,
tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena
dulu pinjam uangnya hanya senilai itu saja.
Karuan saja keluarga sang kakak meradang,
karena apa artinya uang segitu di zaman
sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang
segitu senilai dengan biaya pergi haji ke
tanah suci. Mereka meminta setidaknya
uang itu dikembalikan seharga biaya ONH
sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus di
tengah masyarakat, yang intinya menuntut

45
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

penyelesaian terlebih dahulu dalam hal


status kepemilikan harta almarhum.

2. Pengurusan Jenazah

Semua keperluan dan pembiayaan


pemakaman pewaris hendaknya
menggunakan harta miliknya, dengan
catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-
keperluan pemakaman tersebut menyangkut
segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak
wafatnya hingga pemakamannya. Di
antaranya, biaya memandikan, pembelian
kain kafan, biaya pemakaman, dan
sebagainya hingga mayit sampai di tempat
peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam
hal ini ialah bahwa segala keperluan
tersebut akan berbeda-beda tergantung
perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis
kelaminnya.

3. Hutang

Hendaklah utang piutang yang masih


ditanggung pewaris ditunaikan terlebih
dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan
pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada
ahli warisnya sebelum utang piutangnya
ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

46
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada


utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang
yang bersangkutan dengan sesama manusia.
Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan
Allah SWT, seperti belum membayar zakat,
atau belum menunaikan nadzar, atau belum
memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan
ulama ada sedikit perbedaan pandangan.
Al-Hanafiyah
Kalangan ulama mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah
diwajibkan untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib
bagi ahli warisnya untuk menunaikannya
sebelum harta warisan (harta peninggalan)
pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya.
Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-
hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan
kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah
meninggal dunia. Padahal, menurut mereka,
pengamalan suatu ibadah harus disertai
dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak
mungkin dapat dilakukan oleh orang yang
sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun
kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur
bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap
akan dikenakan sanksi kelak pada hari
kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban
ketika masih hidup. Hal ini tentu saja

47
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat


mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit
tidak berwasiat kepada ahli waris untuk
membayarnya. Namun, bila sang mayit
berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya.
Jumhur Ulama
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa
ahli waris wajib untuk menunaikan utang
pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal
tersebut sama saja seperti utang kepada
sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal
ini merupakan amalan yang tidak
memerlukan niat karena bukan termasuk
ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang
menyangkut harta peninggalan pewaris.
Karena itu wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan
ataupun tidak.
Asy-syafi'iyah
Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i
hal tersebut wajib ditunaikan sebelum
memenuhi hak yang berkaitan dengan hak
sesama hamba.
Al-Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak
yang berhubungan dengan Allah wajib
ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti
mereka diwajibkan menunaikan utang
piutang pewaris yang berkaitan dengan hak

48
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih


mengutamakan agar mendahulukan utang
yang berkaitan dengan sesama hamba
daripada utang kepada Allah.
Al-Hanabilah
Ulama mazhab Hambali menyamakan
antara utang kepada sesama hamba dengan
utang kepada Allah. Keduanya wajib
ditunaikan secara bersamaan sebelum
seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan
kepada setiap ahli waris.

4. Washiyat

Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris


selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari
seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika
memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi
orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada
protes dari salah satu atau bahkan seluruh
ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat
pewaris dilakukan setelah sebagian harta
tersebut diambil untuk membiayai keperluan
pemakamannya, termasuk diambil untuk
membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi
sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib
ditunaikan kecuali dengan kesepakatan
semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan
sabda Rasulullah saw. ketika menjawab
pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada

49
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

waktu itu Sa'ad sakit dan berniat


menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya
ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "...
Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya bila engkau meninggalkan
para ahli warismu dalam keadaan kaya itu
lebih baik daripada meninggalkan mereka
dalam kemiskinan hingga meminta-minta
kepada orang."
Setelah itu barulah seluruh harta
peninggalan pewaris dibagikan kepada para
ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-
Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan
warisan kepada :
 ashhabul furudh (ahli waris yang telah
ditentukan jumlah bagiannya, misalnya
ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
 kemudian kepada para 'ashabah (kerabat
mayit yang berhak menerima sisa harta
waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh
menerima bagian).

Pada ayat waris, wasiat memang lebih


dahulu disebutkan daripada soal utang
piutang. Padahal secara syar'i, persoalan
utang piutang hendaklah terlebih dahulu
diselesaikan, baru kemudian melaksanakan
wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya
penyebutan wasiat tentu mengandung
hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga
dan benar-benar melaksanakannya. Sebab

50
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

wasiat tidak ada yang menuntut hingga


kadang-kadang seseorang enggan
menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda
dengan utang piutang. Itulah sebabnya
wasiat lebih didahulukan penyebutannya
dalam susunan ayat tersebut.

51
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Keempat
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan

1. Rukun Waris

Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta,


maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila
salah satu dari tiga rukun ini tidak
terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-
waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya :
1.1. Al-Muwarits
Al-Muwarrits (‫ )الثمروررث‬sering diterjemahkan
sebagai pewaris, yaitu orang yang

53
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

memberikan harta warisan. Dalam ilmu


waris, al-muwarrits adalah orang yang
meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi
kepada para ahli waris.
Harta yang dibagi waris haruslah milik
seseorang, bukan milik instansi atau negara.
Sebab instansi atau negara bukanlah
termasuk pewaris.
1.2. Al-Warits
Al-Warits (‫ )الروامرث‬sering diterjemahkan
sebagai ahli waris, yaitu mereka yang
berhak untuk menerima harta peninggalan,
karena adanya ikatan kekerabatan (nasab)
atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
1.3. Harta Warisan
Harta warits (‫ )الرميوثروث‬adalah benda atau
hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik
berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Sedangkan harta yang bukan milik pewaris,
tentu saja tidak boleh diwariskan.
Misalnya, harta bersama milik suami istri.
Bila suami meninggal, maka harta itu harus
dibagi dua terlebih dahulu untuk
memisahkan mana yang milik suami dan
mana yang milik istri. Barulah harta yang
milik suami itu dibagi waris. Sedangkan
harta yang milik istri, tidak dibagi waris
karena bukan termasuk harta warisan.

54
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

2. Syarat Waris
Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang
harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan.
Bilamana salah satu dari syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi
pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:
2.1. Meninggalnya Muwarrits
Ada dua macam meninggal yang dikenal
oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal
secara hakiki dan meninggal secara hukum.
a. Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli
medis menyatakan bahwa seseorang sudah
tidak lagi bernyawa, dimana unsur
kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
b. Meninggal secara hukum
Meninggal secara hukum adalah
seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah
meninggal dunia, meski jasadnya tidak
ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di dalam
medan perang, atau hilang saat bencana
alam, lalu secara hukum formal dinyatakan
kecil kemungkinannya masih hidup dan
kemudian ditetapkan bahwa yang
bersangkutan telah telah meninggal dunia.
Bagi Waris Sebelum Meninggal

55
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah


masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris
sebelum muwarritsnya meninggal dunia.
Malah, justru si muwarrits itulah yang
membagi-bagi.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak
terjadi ahli waris mendapat harta warisan,
manakala seorang muwarrits belum lagi
meninggal dunia.
Seorang tidak mungkin membagi-bagi
warisan dari harta yang dimilikinya sendiri
kepada anak-anaknya, pada saat dia masih
hidup segar bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan
adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-
muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih
dahulu. Jadi memang tidak mungkin
seseorang membagi-bagikan sendiri harta
warisan miliknya kepada keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya, maka
sebenarnya yang terjadi adalah hibah
(pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu
sendiri memang tidak ada aturan mainnya.
Dan siapapun pada hakikatnya boleh
menghibahkan harta miliknya kepada siapa
saja dengan nilai berapa saja.
Tapi konsekuensinya, harta yang sudah
dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan.
Bila seseorang telah menghibahkan harta
kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia

56
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu


sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya.
Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan
dengan surat resmi, si anak berhak
melalukan perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan
sebidang tanah berikut rumah kepada
anaknya, maka si anak berhak untuk
mengubah surat kepemilikan tanah dan
rumah itu begitu dia menerimanya. Dan
konsekuensi lainnya, berhubung si anak
telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan
rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya
kepada pihak lain. Meski si ayah masih
hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin
memiliki sebidang tanah dan rumah itu
selama hidupnya, tapi berpikir untuk
memberikannya dengan jumlah yang
dikehendakinya kepada anaknya setelah
kematiannya, maka hal itu namanya
washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris
seperti anak tidak boleh menerima washiat
berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab
Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada
washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu
dilakukan juga, hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya dua
kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika
ayah masih hidup dan namanya hibah. Atau

57
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

diberikan setelah dia meninggal dan


namanya warisan. Dan ketika dibagi secara
warisan, aturan pembagiannya telah baku
sesuai dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah.
Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini
sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak
membagi-bagi sendiri harta warisan untuk
para ahli warisnya. Semua harus diserahkan
kepada hukum warisan, setelah dia
meninggal dunia.
2.2. Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara
hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang
yang akan menerima warisan haruslah masih
hidup secara hakiki ketika pewaris
meninggal dunia.
Seorang anak yang telah meninggal lebih
dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan
warisan. Meski anak itu telah punya istri dan
anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan
warisan dari mertua atau kakek mereka.
Sebab suami atau ayah mereka meninggal
lebih dulu dari kakek.
Jalan keluar dari masalah ini ada tiga
kemungkinan. Pertama, dengan washiyah
wajibah, yaitu si kakek berwashiyat
semenjak masih hidup agar cucu dan
menantunya diberikan bagian harta. Bukan

58
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

dengan jalan warisan melainkan dengan cara


washiat.
Kedua, bisa juga dengan cara
kesepakatan di antara para ahli waris untuk
mengumpulkan harta dan diberikan kepada
saudara ipar atau kemenakan mereka.
Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek
sejak masih hidup telah menghibahkan
sebagian hartanya kepada cucunya atau
menantunya, sebab dikhawatirkan nanti
pada saat membagi warisan, cucu dan
menantunya akan tidak mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih dari
golongan yang berhak saling mewarisi
meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam
keadaan yang berlainan tetapi tidak
diketahui mana yang lebih dahulu
meninggal-- maka di antara mereka tidak
dapat saling mewarisi harta yang mereka
miliki ketika masih hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha
digambarkan seperti orang yang sama-sama
meninggal dalam suatu kecelakaan
kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam.
Para fuqaha menyatakan, mereka adalah
golongan orang yang tidak dapat saling
mewarisi.
2.3. Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti,
termasuk jumlah bagian masing-masing,

59
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

misalnya suami, istri, kerabat, dan


sebagainya, sehingga pembagi mengetahui
dengan pasti jumlah bagian yang harus
diberikan kepada masing-masing ahli waris.
Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-
dekatnya kekerabatan akan membedakan
jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya
mengatakan bahwa seseorang adalah
saudara sang pewaris. Akan tetapi harus
dinyatakan apakah ia sebagai saudara
kandung, saudara seayah, atau saudara
seibu. Mereka masing-masing mempunyai
hukum bagian, ada yang berhak menerima
warisan karena sebagai ahlul furudh, ada
yang karena 'ashabah, ada yang terhalang
hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub),
serta ada yang tidak terhalang.

3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan


seseorang mendapatkan hak waris:
3.1. Kerabat hakiki
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab,
seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan
seterusnya.
Seorang anak yang tidak pernah tinggal
dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak
atas warisan dari ayahnya bila sang ayah
meninggal dunia.

60
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Demikian juga dengan kasus dimana


seorang kakek yang telah punya anak yang
semuanya sudah berkeluarga semua, lalu
menjelang ajal, si kakek menikah lagi
dengan seorang wanita dan mendapatkan
anak, maka anak tersebut berhak mendapat
warisan sama besar dengan anak-anak si
kakek lainnya.
3.2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal
(syar'i) antara seorang laki-laki dan
perempuan, sekalipun belum atau tidak
terjadi hubungan intim (bersanggama) antar
keduanya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram,
yang berhak mewarisi disini hanyalah suami
atau istri saja, sedangkan mertua, menantu,
ipar dan hubungan lain akibat adanya
pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya
pewarisan, meski mertua dan menantu
tinggal serumah. Maka seorang menantu
tidak mendapat warisan apa-apa bila
mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang
meninggal dunia tidak memberikan wairsan
kepada adik iparnya, meski mereka tinggap
serumah. Adapun pernikahan yang batil atau
rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk
mendapatkan hak waris. Misalnya
pernikahan tanpa wali dan saksi, maka

61
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

pernikahan itu batil dan tidak bisa saling


mewarisi antara suami dan istri.
3.3. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum.
Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-
ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah
kenikmatan pembebasan budak yang
dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini
orang yang membebaskannya mendapat
kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan)
yang dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti
telah mengembalikan kebebasan dan jati diri
seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah
SWT menganugerahkan kepadanya hak
mewarisi terhadap budak yang dibebaskan,
bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang
hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab)
ataupun karena adanya tali pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini, seiring
dengan sudah tidak berlaku lagi sistem
perbudakan di tengah peradaban manusia,
sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi
terjadi.

62
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kelima
Gugurnya Warisan

Bersama dengan kajian tentang siapa saja


yang berhak mendapat warisan, ada juga
hal-hal yang membuat seseorang yang
seharusnya mendapat warisan, namun
karena satu dan lain hal, haknya menjadi
gugur. Sehingga orang tersebut tidak jadi
menerima warisan.

1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan

Hal-hal yang bisa menggugur hak waris


seseorang ada tiga:

63
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

1.1. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh
pewaris (misalnya seorang anak membunuh
ayahnya), maka gugurlah haknya untuk
mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak
tidak lagi berhak mendapatkan warisan
akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak
mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut
lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di
kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan
sebagai kaidah:

‫من تعجل بشيِء عوُقَب برمانه‬


Siapa yang menyegerakan agar
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya,
maka dia tidak mendapatkan bagiannya.
Ada perbedaan di kalangan fuqaha
tentang penentuan jenis pembunuhan.
 Mazhab Hanafi menentukan bahwa
pembunuhan yang dapat menggugurkan
hak waris adalah semua jenis
pembunuhan yang wajib membayar
kafarat.
 Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya
pembunuhan yang disengaja atau yang
direncanakan yang dapat menggugurkan
hak waris.

64
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

 Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa


pembunuhan dengan segala cara dan
macamnya tetap menjadi penggugur hak
waris, sekalipun hanya memberikan
kesaksian palsu dalam pelaksanaan
hukuman rajam, atau bahkan hanya
membenarkan kesaksian para saksi lain
dalam pelaksanaan qishash atau hukuman
mati pada umumnya.
 Mazhab Hambali berpendapat bahwa
pembunuhan yang dinyatakan sebagai
penggugur hak waris adalah setiap jenis
pembunuhan yang mengharuskan
pelakunya diqishash, membayar diyat,
atau membayar kafarat. Selain itu tidak
tergolong sebagai penggugur hak waris.

1.2. Perbedaan Agama


Seorang muslim tidak dapat mewarisi
ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa
pun agamanya. Maka seorang anak tunggal
dan menjadi satu-satunya ahli waris dari
ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri
bila dia tidak beragama Islam.
Dan siapapun yang seharusnya termasuk
ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak
beragama Islam, tidak berhak mendapatkan
harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal
ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam
sabdanya:

65
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

" ‫ث الْسلُِم الَكافَِر َولَ الَكافُِر الْسلَِم‬


ُ ‫لر يِر‬
ُ ُ َ
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi
orang kafir, dan tidak pula orang kafir
mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian,
termasuk keempat imam mujtahid, yaitu
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-
syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang mengaku
bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal
r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim
boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak
boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan
mereka adalah bahwa Al-islam ya'lu
walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang
mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan
satu hal lagi sebagai penggugur hak
mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah
keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang
murtad. Dalam hal ini ulama membuat
kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam
kategori perbedaan agama, karenanya orang
murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi
perbedaan pandangan mengenai kerabat
orang yang murtad, apakah dapat
mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya,
bolehkah seorang muslim mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad?

66
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan


Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang
muslim tidak berhak mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad. Sebab,
menurut mereka, orang yang murtad berarti
telah keluar dari ajaran Islam sehingga
secara otomatis orang tersebut telah menjadi
kafir. Karena itu, seperti ditegaskan
Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa
antara muslim dan kafir tidaklah dapat
saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi,
seorang muslim dapat saja mewarisi harta
kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan
ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan:
"Seluruh harta peninggalan orang murtad
diwariskan kepada kerabatnya yang
muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu
Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya.
Nampaknya pendapat ulama mazhab
Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding
yang lainnya, karena harta warisan yang
tidak memiliki ahli waris itu harus
diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada
masa sekarang tidak kita temui baitulmal
yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf
nasional ataupun internasional.
1.3. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak
tidak mempunyai hak untuk mewarisi

67
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

sekalipun dari saudaranya. Sebab segala


sesuatu yang dimiliki budak, secara
langsung menjadi milik tuannya. Baik budak
itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar
(budak yang telah dinyatakan merdeka jika
tuannya meninggal), atau mukatab (budak
yang telah menjalankan perjanjian
pembebasan dengan tuannya, dengan
persyaratan yang disepakati kedua belah
pihak).
Alhasil, semua jenis budak merupakan
penggugur hak untuk mewarisi dan hak
untuk diwarisi disebabkan mereka tidak
mempunyai hak milik.

2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub

Ada perbedaan yang sangat halus antara


pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang
terkadang membingungkan sebagian orang
yang sedang mempelajari faraid. Karena itu,
ada baiknya juga dijelaskan perbedaan
makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah
satu sebab dari ketiga hal yang dapat
menggugurkan hak warisnya, seperti
membunuh atau berbeda agama, di kalangan
fuqaha dikenal dengan istilah mahrum.
Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak
waris seorang ahli waris disebabkan adanya
ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya
atau lebih kuat kedudukannya.

68
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan


dengan adanya ayah, atau saudara seayah
dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi
hal demikian, maka kakek tidak
mendapatkan bagian warisannya
dikarenakan adanya ahli waris yang lebih
dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu
ayah.
Begitu juga halnya dengan saudara
seayah, ia tidak memperoleh bagian
disebabkan adanya saudara kandung
pewaris. Maka kakek dan saudara seayah
dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran
tersebut, saya sertakan contoh kasus dari
keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan
meninggalkan seorang istri, saudara
kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita
misalkan sebagai pembunuh. Maka
pembagiannya sebagai berikut: istri
mendapat bagian seperempat harta yang
ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki
anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per
empat harta yang ada, menjadi hak saudara
kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan
bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang
mahrum. Kalau saja anak itu tidak
membunuh pewaris, maka bagian istri

69
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

seperdelapan, sedangkan saudara kandung


tidak mendapatkan bagian disebabkan
sebagai ahli waris yang mahjub dengan
adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang
ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak
sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan ayah, ibu, serta saudara
kandung. Maka saudara kandung tidak
mendapatkan warisan dikarenakan ter-
mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih
dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu
ayah pewaris.

70
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Keenam
Penghalang Warisan (Al-Hujub)

1. Definisi

Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna


'penghalang'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT
berfirman:

ِ‫َكلّا إِنمُّهْم َعن ّرظبِْم يَمْوَُمئِدذ لَّمْحُجوُُبوَُن‬


Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka
pada hari itu benar-benar terhalang dari
(melihat) Tuhan mereka" (QS. Al-
Muthaffifin : 15)

71
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum


kuffar yang benar-benar akan terhalang,
tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari
kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita
kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau
penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi
orang untuk memasuki tempat tertentu
tanpa izin guna menemui para penguasa
atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata
hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul
(objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib
menurut istilah ialah orang yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan
warisan, dan al-mahjub berarti orang yang
terhalang mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut
kalangan ulama faraid adalah menggugurkan
hak ahli waris untuk menerima waris, baik
secara keseluruhannya atau sebagian saja
disebabkan adanya orang yang lebih berhak
untuk menerimanya.

2. Macam-macam al-Hujub

Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil


washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-
syakhshi (karena orang lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang
terkena hujub tersebut terhalang dari

72
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

mendapatkan hak waris secara keseluruhan,


misalnya orang yang membunuh pewarisnya
atau murtad. Hak waris mereka menjadi
gugur atau terhalang.
Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi
yaitu gugurnya hak waris seseorang
dikarenakan adanya orang lain yang lebih
berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-
syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan
hujub nuQShan. Hujub hirman yaitu
penghalang yang menggugurkan seluruh hak
waris seseorang.
Misalnya, terhalangnya hak waris seorang
kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak
waris cucu karena adanya anak,
terhalangnya hak waris saudara seayah
karena adanya saudara kandung,
terhalangnya hak waris seorang nenek
karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak)
yaitu penghalangan terhadap hak waris
seseorang untuk mendapatkan bagian yang
terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap
hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan
sepertiga menjadi seperenam disebabkan
pewaris mempunyai keturunan (anak).
Demikian juga seperti penghalangan
bagian seorang suami yang seharusnya
mendapatkan setengah menjadi seperempat,
sang istri dari seperempat menjadi

73
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

seperdelapan karena pewaris mempunyai


anak, dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini,
dalam dunia faraid apabila kata al-hujub
disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka
yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini
merupakan hal mutlak dan tidak akan
dipakai dalam pengertian hujub nuQShan.

3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub


Hirman

Ada sederetan ahli waris yang tidak


mungkin terkena hujub hirman. Mereka
terdiri dan enam orang yang akan tetap
mendapatkan hak waris. Keenam orang
tersebut adalah :
1. Anak kandung laki-laki
2. Anak kandung perempuan
3. Ayah
4. Ibu
5. Suami
6. Istri

Bila orang yang mati meninggalkan salah


satu atau bahkan keenamnya, maka mereka
ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak
ada penghalang antara mereka dengan
almarhum yang wafat.

74
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub


Hirman

Ada 16 orang yang dapat terkena hujub


hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari
laki-laki dan lima dari wanita. Mereka ini
mungkin mendapat warisan tapi mungkin
juga terhalang sehingga tidak mendapatkan
warisan.

75
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kedelapan
Ashabul Furudh & Ashabah

1. Ashhabul Furudh

Ashabul furudh adalah para ahli waris


yang nilai haknya telah ditetapkan secara
langsung dan mendapatkan harta waris
terlebih dahulu, sebelum para ashabah.
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-
Qur'an ada enam macam, yaitu :
 setengah (1/2)
 seperempat (1/4)
 seperdelapan (1/8)
 dua per tiga (2/3)

77
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

 sepertiga (1/3)
 seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya secara
rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk
ashhabul furudh dengan bagian yang berhak
ia terima.

2. Ashabah

Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti


kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut
demikian, dikarenakan mereka --yakni
kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi.
Dalam kalimat bahasa Arab banyak
digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan
bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di
dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali
digunakan, di antaranya dalam firman Allah
berikut:

ِ‫لاِسُروَن‬
َّ ‫صبَِةب إِّنا إِرذا‬
ِ
ُ ْ‫َقَالُوُاْ لَئْن أََكلَهُ الظذئ‬
ْ ُ‫ب َوَْنُن ع‬
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar
dimakan serigala, sedang kami golongan
(yang kuat), sesungguhnya kami kalau
demikian adalah orang-orang yang
merugi.'" (QS. Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat
diistilahkan dengan 'ashabah hal ini
disebabkan mereka melindungi dan
menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari
segi bahasa.

78
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Sedangkan pengertian 'ashabah menurut


istilah para fuqaha ialah : ahli waris yang
tidak disebutkan banyaknya bagiannya
dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-
laki keturunan anak laki-laki, saudara
kandung laki-laki dan saudara laki-laki
seayah, dan paman (saudara kandung ayah).
Kekerabatan mereka sangat kuat
dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur
di kalangan ulama faraid ialah orang yang
menguasai harta waris karena ia menjadi
ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga
menerima seluruh sisa harta warisan setelah
ashhabul furudh menerima dan mengambil
bagian masing-masing.
2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para
'ashabah berhak mendapatkan waris kita
dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :

‫س ِممّما تَ مَرَك ِإنِ َكمماَنِ لَمهُ َولَمبد فَمِإنِ ّلْم‬ ‫ِد‬ ِِ


ُ ‫َوَلبَ مَوُيْه لُك مظل َواح مد ظمْنمُهَممما المس مُد‬
ُ ُ‫يَُكن لّهُ َولَبد َوَوِرثَهُ َأبَمَوُاهُ فَلُظمِه الثممل‬
‫ث‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang

79
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

meninggal tidak mempunyai anak dan ia


diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa':
11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian
kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-
masing mendapatkan seperenam (1/6)
apabila pewaris mempunyai keturunan.
Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak,
maka seluruh harta peninggalannya menjadi
milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan
bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak,
maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3).
Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan
berapa bagian ayah.
Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa
setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya
(2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian,
penerimaan ayah disebabkan ia sebagai
'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah :

َ‫ف َمما تَم َرَك َوُهمَوُ يَِرثمَُهمآ‬ ِ َ َ‫إِِنِ اْمُربؤ َهل‬


ُ ‫صم‬ ‫س لَمهُ َولَمبد َولَمهُ أُْخم ب‬
ْ ‫ت فَملََهما ن‬ َ ِ‫ك لَْي‬
‫ِإنِ ّلْ يَُكن َّلا َولَبد‬
Jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua

80
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

dari harta yang ditinggalkannya, dan


saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak. (QS. An-Nisa':
176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian
saudara kandung. Namun, yang disebutkan
justru saudara kandung akan menguasai
(mendapatkan bagian) seluruh harta
peninggalan yang ada bila ternyata pewaris
tidak mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa
yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh
harta peninggalan menjadi haknya. Inilah
makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah
apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
         
        ‫َعِن ابِْن َعّبِادس‬
           
.     
    
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan)
kepada yang berhak, dan apa yang tersisa
menjadi hak laki-laki yang paling utama. "
(HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah
Rasulullah saw. agar memberikan hak waris
kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa,
hendaklah diberikan kepada orang laki-laki
yang paling utama dari 'ashabah.

81
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Ada satu keistimewaan dalam hadits ini


menyangkut kata yang digunakan Rasulullah
dengan menyebut "dzakar" setelah kata
"rajul", sedangkan kata "rajul" jelas
menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
salah paham, jangan sampai menafsirkan
kata ini hanya untuk orang dewasa dan
cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan
menguasai seluruh harta warisan yang ada
jika dia sendirian. Inilah rahasia makna
sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan
kata "dzakar".
2.3. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah
nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah
sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah
yang kedua ini
Catatan
Dalam dunia faraid,
apabila lafazh 'ashabah
disebutkan tanpa diikuti
kata lainnya (tanpa
dibarengi bil ghair atau
ma'al ghair), maka yang
disebabkan memerdekakan budak. Oleh
sebab itu, seorang tuan (pemilik budak)
dapat menjadi ahli waris bekas budak yang
dimerdekakannya apabila budak tersebut
tidak mempunyai keturunan.

82
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi


tiga yaitu:
 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak
tercampur unsur wanita),
 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah
karena yang lain)
 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah
bersama-sama dengan yang lain).
3.1. 'Ashabah bin nafs

'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang


nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri
kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:

1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki


keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit,
dan seterusnya.

2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan


seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-
laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari
kakak, dan seterusnya.

3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara


kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah,
anak laki-laki keturunan saudara kandung
laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara
laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini
hanya terbatas pada saudara kandung laki-
laki dan yang seayah, termasuk keturunan
mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun

83
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk


'ashabah disebabkan mereka termasuk
ashhabul furudh.

4. Arah paman, mencakup paman (saudara


laki-laki ayah) kandung maupun yang
seayah, termasuk keturunan mereka, dan
seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut


kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah
anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada
arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada
arah saudara.
3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi
nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat
kekuatan hak warisnya sesuai urutannya.
Bila salah satunya secara tunggal (sendirian)
menjadi ahli waris seorang yang meninggal
dunia, maka ia berhak mengambil seluruh
warisan yang ada. Namun bila ternyata
pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul
furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat
sisa harta setelah dibagikan kepada
ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan
kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada
sisanya, maka para 'ashabah pun tidak
mendapat bagian. Sebagai misal, seorang
istri wafat dan meninggalkan suami, saudara
kandung perempuan, saudara laki-laki
seayah.

84
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Sang suami mendapat bagian setengah


(1/2), saudara perempuan mendapat bagian
setengah (1/2). Saudara seayah tidak
mendapat bagian disebabkan ashhabul
furudh telah menghabiskannya.

85
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Ketujuh
Para Ahli Waris

Salah satu kendala terbesar dalam


mengerti dan menghafal siapa saja ahli waris
adalah tidak adanya diagram atau struktur
keluarga (family chart).
Apalagi ditambah dengan penyebutan
yang relatif antara satu ahli waris dengan
yang lainnya. Seorang ahli waris bisa saja
dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya.
Tapi dalam waktu yang sama, dia adalah
'anak' dari seseorang. Bahkan dia juga
seorang 'kakek', atau 'paman', 'saudara',

87
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan


begitulah seterusnya.
Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam
memahami duduk masalah. Maka dengan
bantuan diagram struktur keluarga ini, kita
akan dimudahkan.
Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan
dalam bahasa Indonesia sering tidak baku.
Katakanlah sebagai contoh, akh li ab wa li
um (‫)أخ شقيق‬, sering kita terjemahkan menjadi
saudara kandung. Sebagian orang
memahami istilah saudara kandung adalah
saudara yang sama-sama satu kandungan
ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda.
Dan itu adalah saudara seibu (‫)أخ لم‬.
Untuk itu diagram ini selain berbahasa
Indonesia, juga dilengkapi juga dengan
istilah dalam bahasa Arab aslinya.
Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor
ahli waris, yang sepenuhnya merupakan
ijtihad penulis sendiri. Sekedar untuk
memastikan identitas seorang ahli waris,
agar tidak tertukar-tukar penyebutannya
dengan ahli waris yang lain. Kira-kira seperti
id number kalau dalam sistem database.
Selain itu, diagram ini juga dilengkapi
dengan daftar orang-orang yang terhijab
oleh seorang ahli waris. Sehingga dengan
mudah kita bisa memastikan siapa saja dari

88
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

mereka yang terhijab, cukup dengan sekali


melihat bagan.
Terakhir, diagram ini juga dilengkapi
dengan bagian-bagian yang mungkin akan
bisa diterima oleh seorang ahli waris.

89
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

90
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

1. Anak Laki-laki (‫)ابن‬


Kita urutkan pada nomor satu dalam
daftar struktur keluarga adalah anak laki-
laki. Mengingat kedudukan anak laki-laki
sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris
yang lain. Untuk seterusnya agar
memudahkan, kita tinggal menggunakan
nomor urut satu sebagai id buat anak laki-
laki.
1.1. Bagian
 Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali
bagian anak perempuan.
Seorang anak laki-laki mendapat warisan
dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang
sebelumnya diambil oleh ahli waris lain.
Karena mendapat sisa, maka besarannya
tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa
yang ada.
Terkadang sisanya besar, terkadang
sisanya kecil. Bahkan bisa saja sisanya sama
dengan seluruh harta, misalnya karena
almarhum tidak punya ahli waris lain selain
anak laki-laki. Tetapi seorang anak laki-laki
tidak mungkin tidak kebagian harta waris.
Akan lebih tergambar kalau kita masukkan
ke dalam contoh-contoh yang nyata.
Contoh Pertama :
Seseorang meninggal dunia dengan nilai
total warisan sebesar 10 milyar, tanpa

91
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

memiliki istri atau anak perempuan. Ahli


warisnya hanyalah seorang anak laki-laki
tunggal satu-satunya.
Penyelesaiannya adalah anak laki-laki satu-satunya itu
mewarisi seluruh harta ayahnya, sebesar 10 milyar.
Karena anak laki-laki memang mendapat semua sisa
harta, yang dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris
dari ashabul furudh yang masih hidup.
Ahli Waris Bagian Nilai
Anak laki-laki 1/1 10
milyar

Contoh Kedua :
Seorang meninggal dunia dengan harta
sebesar 7 milyar, tanpa memiliki istri atau
anak perempuan. Ahli warisnya 7 orang anak
laki-laki semua.
Penyelesaian sederhana saja, harta itu
dibagi rata kepada lima orang. Jadi masing-
masing mendapat 1 milyar.
Ahli Waris Bagian Nilai
Anak laki-laki 1 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 2 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 3 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 4 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 5 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 6 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 7 1/7 1 milyar

92
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Contoh Ketiga :
Seorang laki-laki wafat
dengan harta 8 milyar,
meninggalkan ahli waris
seorang istri dan seorang
anak laki-laki.
Istri adalah ashabul furudh yang jatahnya
sudah ditetapkan, yaitu 1/8 atau 1 milyar.
Sisanya adalah 7/8 bagian atau 7 milyar,
menjadi hak oleh anak laki-laki adalah 7/8.
Hak anak laki-laki adalah sisa harta yang
telah diambil terlebih dahulu oleh istri
almarhum.
Kalau kita jabarkan dalam bentuk tabel, hasilnya
sebagai berikut :
Ahli Waris Bagian Nilai
Istri 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 7/8 7 milyar
(ashabah)

Contoh Keempat :
Harta almarhum sebesar 8 milyar, pada
saat wafat beliau memiliki seorang istri dan
7 orang anak laki-laki. Bagaimana
penyelesaiannya?
Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang anak
laki-laki adalah ashabah, mereka berhak atas
sisanya. Dan sisanya yang 7/8 bagian itu

93
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

dibagi rata kepada 7 orang anak laki-laki. 7/8


dibagi 7 adalah 1/8.
Kita perhatikan bahwa masing-masing ahli
waris sama-sama mendapat 1/8 dari 8 milyar,
jadi masing-masing mendapat 1 milyar.
Ahli Waris Bagia Nilai
n
Istri 1/8 1/8 1 milyar
Anak laki- 1/8 1 milyar
laki 1
Anak laki- 1/8 1 milyar
laki 2
Anak laki- 1/8 1 milyar
laki 3
Anak laki- 1/8 1 milyar
7/8
laki 4
Anak laki- 1/8 1 milyar
laki 5
Anak laki- 1/8 1 milyar
laki 6
Anak laki- 1/8 1 milyar
laki 7

1.2. Menghijab
Ahli Waris id

94
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

 saudara seayah-ibu 9
 saudari seayah-ibu 10
 saudara seayah 11
 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara 13
seayah-ibu 14
 keponakan : anak saudara 15
seayah 16
 paman : saudara ayah 17
seayah-ibu 18
 paman : saudara ayah 19
seayah 20
 sepupu : anak laki paman 22
seayah-ibu
 sepupu : anak laki paman
seayah
 cucu : anak laki dari anak
laki
 cucu : anak wanita dari
anak laki
 saudara & saudari seibu
1.3. Dihijab oleh :
Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa anak laki-laki tidak
dihijab oleh siapa pun. Karena posisinya
yang langsung berhubungan dengan
muwarrits.
***

95
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

2. Anak Perempuan (‫)بنت‬


Anak perempuan yang dimaksud adalah
anak perempuan dari muwarrits yang telah
meninggal dunia. Kita letakkan pada nomor
urut dua, karena posisinya yang sangat
dekat dengan muwarrits, serta bersisian
dengan anak lak-laki yang berada pada
nomor urut satu.
2.1. Bagian
 1/2 = menjadi satu-satunya anak
almarhum
 2/3 = dua orang atau lebih dan almarhum
tak ada anak laki
 ashabah = almarhum punya anak lak-laki
dengan ketentuan bagiannya 1/2 dari
bagian anak laki-laki
Anak perempuan bisa punya tiga
kemungkinan dalam menerima waris dari
orang tuanya.
Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh
dari semua harta warisan. Syaratnya, dia
menjadi anak tunggal dari muwarritsnya.
Artinya, dia tidak punya saudara satu pun
baik saudara laki-laki atau pun saudara
perempuan.

‫ف‬ ِ َ‫وِإنِ َكان‬


ُ ‫ص‬
ْ ‫ت َواحَدرة فَملََها النظ‬
ْ َ

96
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Dan apabila ia (anak perempuan) hanya


seorang, maka ia mendapat separuh harta
warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11)

Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta.


Syaratnya, dia tidak sendirian. Dia punya
saudara perempuan sehingga minimal
mereka berdua. Dan mereka semua akan
mendapat jatah total (bukan masing-masing)
2/3 bagian, selama semuanya perempuan
dan tidak ada saudara laki-laki satu pun.
ِ ْ ‫فَِإنِ ُكّن نِساء فَموَُق اثْمنَتََم‬
‫ي فَملَُهّن ثمُلَُثا َما تَمَرَك‬ ْ َ
Dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua per
tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS.
An-Nisa': 11)
Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki,
dia bersama anak laki-laki akan mendapat
ashabah atau sisa. Harta sisa itu dibagi rata
dengan semua saudara atau saudarinya
dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari
jatah yang diterima saudara laki-lakinya.
ِ ْ ‫لنثَميَِم‬
‫ي‬ ‫ُيوُِصيُِكم اللهُ ِف أَْولَِدُكْم ِللّذَكِر ِمثْل َح ظ‬
ُ‫ظا‬ ُ ُ
Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bahagian dua orang anak
perempuan. (QS. An-Nisa : 11)

97
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

2.2. Menghijab
 cucu : anak wanita dari anak laki 20
 saudara & saudari seibu 22
Ada 2 orang
yang dihijab
oleh anak
perempuan.
Pertama,
saudara atau
saudari seibu
tidak seayah.
Kedua, cucu
perempu-an
almarhum, dengan syarat jumlah anak
perempuan itu dua orang atau lebih dan
tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan
cucu perempuan sebagai ashabah
bersamanya.
2.3. Dihijab Oleh :
Seorang anak perempuan tidak pernah
dihijab oleh siapa pun, karena tidak ada
penghalang antara dirinya dengan
muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya
sendiri.
***

3. Istri (‫)زوجة‬

Seorang wanita yang ditinggal mati oleh


suaminya, maka dia menjadi ahli waris,

98
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

berhak menerima sebagian harta yang


sebelumnya milik suaminya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama
antara suami istri, tidak dibagi waris begitu
saja, namun dipisahkan terlebih dahulu.
Yang menjadi bagian istri, tentu tidak dibagi
waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi
bagian suami.
3.1. Bagian
Seorang istri punya dua kemungkinan
dalam menerima bagian, yaitu 1/4 atau 1/8
sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11
surat A-Nisa'.
Pertama, bila suami yang meninggal itu
tidak punya fara' waris5, maka hak istri
adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan
almarhum suaminya.

‫َوَلُّن المربُُع ِ ّما تَمَرْكتَُْم ِإنِ ّلْ يَُكن لُّكْم َولَبد‬


"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang
kamu tinggalkan bila kamu tidak
mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau suami punya fara' waris,
artinya dia punya keturunan yang
mendapatkan warisan, maka bagian istri

5
Diantara fara' waris antara lain : anak laki-laki, anak
perempuan, juga anak laki-laki atau anak perempuan dari anak laki-
laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan dari anak
perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan
termasuk fara' waris, karena cucu dari anak perempuan tidak
termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.

99
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan


suami.

‫صوَُنِ َِبا أَْو‬ ‫ِ ِد‬ ِ


ُ ُ‫فَِإنِ َكاَنِ لَُكْم َولَبد فَملَُهّن الثمُمُن ّما تَمَرْكُتَم ظمن بَمْعد َوصيِّة ُتو‬
‫َديْدن‬
"... Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..."
(QS. An-Nisa': 12)
3.2. Menghijab
Kedudukan seorang istri tidak menghijab
siapa pun dari ahli waris suami.
Keberadaannya hanya sekedar mengurangi
harta saja, tetapi tidak membuat seseorang
menjadi kehilangan haknya.
3.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri
dan suami, maka tidak ada seorang pun yang
bisa menjadi penghalang antara mereka.
Dengan demikian, istri tidak dihijab oleh
siapa pun.
***

4. Suami

Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh


istrinya, maka dia menjadi ahli waris, berhak

100
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

menerima sebagian harta yang sebelumnya


milik istrinya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama
antara suami istri, tidak dibagi waris begitu
saja, namun dipisahkan terlebih dahulu.
Yang menjadi bagian suami, tentu tidak
dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang
menjadi bagian istri.
4.1. Bagian
Seorang suami punya dua kemungkinan
bagian, yaitu 1/2 atau 1/4 sebagaimana
disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila istri yang meninggal itu
tidak punya fara' waris, maka hak suami 1/2
bagian dari harta peninggalan almarhumah
istrinya.

‫ف َما تَمَرَك أَْزَواُجُكْم ِإنِ ّلْ يَُكن ّلُّن َولَبد‬ ِ


ُ ‫ص‬
ْ ‫َولَُكْم ن‬
"... dan bagi kalian (para suami)
mendapat separuh dari harta yang
ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka
(para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS.
An-Nisa': 12)
Kedua, kalau istri punya fara' waris,
artinya dia punya keturunan yang
mendapatkan warisan, maka bagian suami
adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan
istri.

‫فَِإنِ َكاَنِ َلُّن َولَبد فَملَُكُم المربُُع ِ ّما تَمَرْكَن‬

101
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak,


maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya (QS. An-Nisa':
12)
4.2. Menghijab
Kedudukan seorang suami tidak
menghijab siapa pun dari ahli waris istri.
Keberadaannya hanya sekedar mengurangi
harta saja, tetapi tidak membuat seseorang
menjadi kehilangan haknya.
4.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri
dan suami, maka tidak ada seorang pun yang
bisa menjadi penghalang antara mereka.
Dengan demikian, suami tidak dihijab oleh
siapa pun.
***

5. Ayah

Seorang ayah yang ditinggal mati oleh


anaknya, baik anak itu laki-laki atau
perempuan, termasuk orang yang berhak
mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya
adalah ayah masih hidup saat sang anak
meninggal dunia. Kalau ayah sudah
meninggal dunia terlebih dahulu, tidak
menjadi ahli waris.
5.1. Bagian

102
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Seorang ayah punya tiga macam


kemungkinan dalam menerima hak warisnya.

 1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki


 1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris
wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
 Ashabah = almarhum tidak punya fara'
waris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari


harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,
almarhum anaknya itu punya fara' waris laki-
laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-
laki dari anak laki-laki.

‫س ِ ّما تَمَرَك ِإنِ َكاَنِ لَهُ َولَبد‬ ‫ِد‬ ِِ


ُ ‫َوَلبَمَوُيْه لُكظل َواحد ظمْنمُهَما المسُد‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah
lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu
terjadi manakala almarhum yaitu anaknya
yang meninggal itu punya fara' waris
perempuan6 dan tidak punya fara' waris laki-
laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah,
karena dalam hal ini ayah menjadi ahli waris

6
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki
dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

103
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat


kedudukannya kepada almarhum
dibandingkan dengan ahli waris lainnya.
Rasulullah SAW bersabda :
         
        ‫َعِن ابِْن َعّبِادس‬
           
.     
    
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan)
kepada yang berhak, dan apa yang tersisa
menjadi hak laki-laki yang paling utama. "
(HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat
meninggalkan anak perempuan dan seorang
ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian,
sedangkan ayah mendapatkan 1/6
sebagaimana disebut dalam dalil berikut :

‫س ِ ّما تَمَرَك ِإنِ َكاَنِ لَهُ َولَبد‬ ‫ِد‬ ِِ


ُ ‫َوَلبَمَوُيْه لُكظل َواحد ظمْنمُهَما المسُد‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Harta yang telah diambil ayah dan anak
perempuan itu tentu masih bersisa. Siapakah
yang berhak atas harta ini?
Jawabnya adalah ayah.
Mengapa?
Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli
waris yang merupakan ashabah juga. Meski
pun pada dasarnya ada lagi ahli waris lain

104
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

yang juga berhak menjadi ashabah, namun


ayah telah menghijab mereka dan
mengambil hak asabah itu untuk dirinya,
dengan dasar dalil di atas.
Ketiga, ayah mendapat seluruh harta
dengan cara ashabah, setelah ashabul
furudh mengambil bagiannya. Syaratnya,
almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-
laki atau pun perempuan.

ُ ُ‫فَِإنِ ّلْ يَُكن لّهُ َولَبد َوَوِرثَهُ َأبَمَوُاهُ فَلُظمِه الثممل‬


‫ث‬
Bila dia tidak punya anak, maka ayah
ibunya mewarisi hartanya dimana bagian
ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Di ayat ini tidak tertera kalimat yang
secara langsung menyebutkan bahwa ayah
mendapat sisanya. Hanya disebutkan bahwa
ayah dan ibu itu menerima warisan dari anak
mereka bersama-sama. Dan yang menjadi
bagian buat ibu adalah 1/3. Logikanya, kalau
bagian itu ibu sudah disebutkan maka bagian
ayah pasti diketahui, yaitu sisanya.
Contohnya, seseorang wafat
meninggalkan hanya seorang istri dan
seorang ayah. Maka istri adalah ahli waris
dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah
1/4 bagian, karena almarhum tidak punya
fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi
hak ayah sebagai ashabah bi nafsihi.
5.2. Menghijab

105
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Ayah termasuk orang yang cukup banyak


menghijab ahli waris yang lain, selain anak
laki-laki. Ada 12 ahli waris yang dihijab dan
tidak mendapatkan harta warisan, karena
keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
 kakek : ayahnya ayah 7
 Nenek : ibunya ayah 8
 saudara seayah-ibu 9
 saudari seayah-ibu 10
 saudara seayah 11
 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara 13
seayah-ibu 14
 keponakan : anak saudara 15
seayah 16
 paman : saudara ayah seayah- 17
ibu 18
 paman : saudara ayah seayah
 sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
 sepupu : anak laki paman seayah
5.3. Dihijab oleh
Seorang ayah tidak terhijab oleh siapa
pun dari para ahli waris yang lain. Karena
hubungan ayah dengan anaknya yang
menjadi muwarrits adalah hubungan
langsung.
***

106
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

6. Ibu
Ibu adalah orang yang juga dekat dengan
anaknya yang meninggal dunia. Bila saat
meninggalnya, ibu masih ada, sudah
dipastikan ibu mendapat warisan.
6.1. Bagian
Seorang ibu punya tiga macam
kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
 1/6 = almarhum punya fara' waris
 1/3 = almarhum tidak punya fara' waris
 1/3 dari sisa = bila almarhum punya fara'
waris (hanya dalam kasus umariyatain)

Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta


almarhum anaknya yang wafat, bila anaknya
itu punya fara' waris.

‫س ِ ّما تَمَرَك ِإنِ َكاَنِ لَهُ َولَبد‬ ‫ِد‬ ِِ


ُ ‫َوَلبَمَوُيْه لُكظل َواحد ظمْنمُهَما المسُد‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari
harta peninggalan almarhum anaknya, bila
anaknya tidak punya fara' waris.

ُ ُ‫فَِإنِ ّلْ يَُكن لّهُ َولَبد َوَوِرثَهُ َأبَمَوُاهُ فَلُظمِه الثممل‬


‫ث‬

107
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Bila dia tidak punya anak, maka ayah


ibunya mewarisi hartanya dimana bagian
ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa
harta yang sudah diambil oleh para ashabul
furudh, namun haknya yang 1/3 tidak
berlaku.
Pembagian ini hanya terjadi bila
seseorang wafat dengan meninggalkan
hanya 3 orang ahli waris, yaitu suami/istri,
ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di zaman
khalifah Umar bin al-Khattab dan dikenal
dengan istilah kasus Umariyatain.7

Istilah kasus Umariyatain adalah dua kasus yang


7

ditetapkan oleh Umar bin al-Khattab


radhiyallahuanhu. Kasus pertama melibatkan 3 orang
ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus kedua
melibatkan 3 orang juga yaitu istri, ayah dan ibu.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam
menafsirkan firman Allah pada kata : ‫وورثه أبواه‬.
Menurut Khalifah Umar dan kebanyakan para
shahabat nabi serta didukung oleh jumhur ulama,
kata itu punya makna bahwa ayah dan ibu menerima
warisan dari sisa warisan yang diambil oleh suami
atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak menerima
waris secara fardh (1/3) dari asal harta.
Sebaliknya, menurut Ibnu Abbas
radhiyallahuanhu, ibu mendapat 1/3 dari asal harta
sebagaimana disebutkan dalam ayat ini. Sisanya,
menjadi hak ayah. Dalam pandangan Khalifah Umar,
kalau demikian, tidak ada arti kata tersebut.
Maka dalam kasus ini, suami yang ditinggal mati
istrinya tanpa fara' waris mendapat 1/2 harta.
Sisanya, yaitu 1/2 menjadi hak ayah dan ibu berdua
secara ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat 1/3

108
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

6.2. Menghijab
Seorang ibu menghijab 2 orang ahli waris
lainnya, yaitu nenek dari pihak ibu dan
nenek dari pihak ayah. Atau dengan kata
lain, dia menghijab ibunya sendiri (21) dan
ibu dari suaminya (8).
6.3. Dihijab oleh
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh
anaknya, maka posisinya tidak akan terhijab
oleh siapa pun. Karena mereka punya
hubungan langsung tanpa diselingi oleh
orang lain.

***

7. Kakek (‫)أب أب‬

Yang dimaksud dengan kakek disini


adalah ayahnya ayah. Seorang kakek yang
ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu
laki-laki atau perempuan, termasuk orang
yang berhak mendapatkan warisan.
Syaratnya adalah ayah anak itu sudah
meninggal dunia saat si cucu meninggal
dunia. Kalau ayah anak itu masih hidup,

dari jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya


yaitu 2/3.
Kasus Perama
Ahli WarisBagianIstri1/41/4Ibu3/41/4Ayah2/4Kasus
Kedua
Ahli WarisBagianSuami1/23/6Ibu1/21/6Ayah2/6

109
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

maka kakek (ayahnya ayah) terhijab,


sehingga kita tidak bicara tentang warisan
buat kakek.
Semua hitungan untuk warisan buat
kakek, selalu dalam kondisi bahwa ayah
almarhum sudah meninggal terlebih dahulu.
7.1. Bagian
Seorang kakek punya tiga macam
kemungkinan dalam menerima hak warisnya.

 1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki


 1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris
wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
 Ashabah = almarhum tidak punya fara'
waris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari


harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,
almarhum cucunyanya itu punya fara' waris
laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu
laki-laki dari anak laki-laki.

‫س ِ ّما تَمَرَك ِإنِ َكاَنِ لَهُ َولَبد‬ ‫ِد‬ ِِ


ُ ‫َوَلبَمَوُيْه لُكظل َواحد ظمْنمُهَما المسُد‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah
lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu
terjadi manakala almarhum yaitu cucunya
yang meninggal itu punya fara' waris

110
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

perempuan8 dan tidak punya fara' waris laki-


laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek,
karena dalam hal ini kakek sebagai gantinya
ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih
utama atau lebih dekat kedudukannya
kepada almarhum dibandingkan dengan ahli
waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda :
         
        ‫َعِن ابِْن َعّبِادس‬
           
.     
    
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan)
kepada yang berhak, dan apa yang tersisa
menjadi hak laki-laki yang paling utama. "
(HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat
meninggalkan anak perempuan dan seorang
kakek, yaitu ayahnya ayah. Anak perempuan
mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayahnya
ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut
dalam dalil berikut :

‫س ِ ّما تَمَرَك ِإنِ َكاَنِ لَهُ َولَبد‬ ‫ِد‬ ِِ


ُ ‫َوَلبَمَوُيْه لُكظل َواحد ظمْنمُهَما المسُد‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

8
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki
dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

111
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah


mendapat seluruh harta dengan cara
ashabah, setelah ashabul furudh mengambil
bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya
fara' waris, baik laki-laki atau pun
perempuan.

ُ ُ‫فَِإنِ ّلْ يَُكن لّهُ َولَبد َوَوِرثَهُ َأبَمَوُاهُ فَلُظمِه الثممل‬


‫ث‬
Bila dia tidak punya anak, maka ayah
ibunya mewarisi hartanya dimana bagian
ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Contohnya, seseorang wafat
meninggalkan hanya seorang istri dan
seorang kakek (ayahnya ayah). Maka istri
adalah ahli waris dari kalangan ashabul
furud, jatahnya adalah 1/4 bagian, karena
almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya
yang 3/4 bagian menjadi hak kakek sebagai
ganti dari ayah yang sudah meninggal
terlebih dahulu.
7.2. Menghijab
Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang
yang cukup banyak menghijab ahli waris
yang lain, selain anak laki-laki. Ada 10 ahli
waris yang dihijab dan tidak mendapatkan
harta warisan, karena keberadaan ayah dari
almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
 saudara seayah-ibu 9
 saudari seayah-ibu 10
 saudara seayah 11

112
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara 13
seayah-ibu 14
 keponakan : anak saudara 15
seayah 16
 paman : saudara ayah seayah- 17
ibu 18
 paman : saudara ayah seayah 22
 sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
 sepupu : anak laki paman seayah
 saudara/i yang hanya seibu
(rajih)
7.3. Dihijab oleh
Seorang kakek tidak terhijab oleh siapa
pun dari para ahli waris yang lain, kecuali
oleh ayah, yang dalam hal ini tidak lain
adalah anaknya sendiri.
***

8. Nenek (‫)أم أب‬

Yang dimaksud dengan nenek disini


adalah ibu dari ayahnya almarhum.
8.1. Bagian
Dalam hal ini nenek hanya punya satu
kemungkinan dalam mendapat bagian
warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum
tidak punya ibu dan ayah.
8.2. Menghijab

113
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Nenek tidak menghijab siapa pun


8.3. Dihijab oleh
Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah.
 ayah 5
 ibu 6
***

9. Saudara seayah-ibu ( ‫)أخ شقيق‬

Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak)


atau bisa saja lebih muda (adik). Yang
penting, hubungan antara dirinya dengan
almarhum adalah bahwa mereka punya ayah
dan ibu yang sama. Kita menghindari
penggunaan istilah saudara sekandung,
karena konotasinya bisa keliru. Lebih
pastinya kita gunakan istilah saudara seayah
dan seibu.
9.1. Bagian
Saudara seayah seibu mendapat waris
dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu
sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan
terlebih dahulu kepada ahli waris secara
fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak
terhijab oleh orang-orang yang
menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak
meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek.
Saat itulah saudara seayah seibu baru
mendapat jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan
ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki

114
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

seayah seibu. Maka pembagiannya


warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan
saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4
bagian.
Apabila saudara laki-laki juga punya
saudara perempuan yang sama-sama seayah
dan seibu, maka bagian yang diterimanya
harus 2 kali lipat lebih besar.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan
istri, saudara laki-laki dan saudara wanita.
Maka pembagian warisannya adalah istri
mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi
dua dengan saudarinya, saudara
mendapatkan 2/4 dan saudarinya mendapat
1/4.
9.2. Menghijab
 saudara seayah 11
 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara 13
seayah-ibu 14
 keponakan : anak saudara 15
seayah 16
 paman : saudara ayah seayah- 17
ibu 18
 paman : saudara ayah seayah
 sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
 sepupu : anak laki paman seayah
9.3. Dihijab Oleh :
 Anak laki-laki 1
 Ayah 5

115
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

 Ayahnya ayah (kakek) 7


 Cucu laki-laki 19
***

10. Saudari seayah-ibu

Saudari seayah dan seibu juga termasuk


yang mendapat warisan, asalkan posisinya
tidak terhijab.
10.1. Bagian
 1/2 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-
7) tidak punya saudara laki-
laki seayah seibu (9) tidak punya
saudari seayah seibu (10)
 2/3 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-
7) tidak punya saudara laki-
laki seayah seibu (9) punya saudari
seayah seibu (10)
 Ashabah = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-
7) punya saudara laki-laki
seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum


bisa mendapatkan warisan dengan tiga
kemungkinan.

116
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari


seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan
tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya
seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka saudarinya itu mendapat 1/2 dari
semua harta warisan almarhum.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari
seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan
tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2
orang saudari perempuan seayah seibu.
Maka kedua saudaranya itu total mendapat
2/3 dari semua harta warisan almarhum
saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi
2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara
ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan
tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek.
Yang dia punya seorang saudara laki-laki
seayah seibu. Maka mereka berdua
mendapat warisan secara ashabah, dengan
perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu
mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat
1/3 bagian.
***

117
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

11. Saudara seayah (‫)أخ لب‬


Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak)
atau bisa saja lebih muda (adik). Yang
penting, hubungan saudara ini dengan
almarhum bahwa mereka punya ayah yang
sama tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam
bahasa lebih sederhana, hubungan antara
almarhum dengan dirinya adalah saudara
tiri.
11.1. Bagian
Saudara seayah mendapat waris dari
almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa
harta waris yang sebelumnya dibagikan
terlebih dahulu kepada ahli waris secara
fardh.
Dengan syarat, kedudukannya tidak
terhijab oleh orang-orang yang
menghijabnya. Artinya, almarhum tidak
meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek,
termasuk almarhum tidak punya saudara/i
yang seayah dan seibu. Saat itulah saudara
seayah baru kebagian jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan
ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki
seayah. Maka pembagiannya warisannya
adalah istri mendapat 1/4 dan saudara
seayah mendapat sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki seayah itu juga
punya saudara perempuan yang juga seayah,
maka bagian yang diterimanya harus 2 kali

118
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

lipat lebih besar dari saudari perempuannya


itu.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan
istri, saudara laki-laki dan saudara wanita
seayah. Maka pembagian warisannya adalah
istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu
dibagi dua dengan saudarinya, saudara laki-
laki mendapatkan 2/4 dan saudari
perempuannya mendapat 1/4.
11.2. Menghijab
 keponakan : anak saudara 13
seayah-ibu 14
 keponakan : anak saudara 15
seayah 16
 paman : saudara ayah seayah- 17
ibu 18
 paman : saudara ayah seayah
 sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
 sepupu : anak laki paman seayah
11.3. Dihijab Oleh :
 Anak laki-laki 1
 Ayah 5
 Ayahnya ayah (kakek) 7
 Saudara laki-laki seayah seibu 9
 Saudara perempuan seayah 10
seibu * 19
 Cucu laki-laki
***

119
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

12. Saudari seayah (‫)أخت لب‬


Yang dimaksud dengan saudari
perempuan seayah bahwa dirinya punya
ayah yang sama dengan almarhum, tapi ibu
mereka berbeda. Dengan mudah juga bisa
kita sebut saudari perempuan tiri. Saudari
tiri juga termasuk yang mendapat warisan,
asalkan posisinya tidak terhijab.
10.1. Bagian
 1/2 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-
7) tidak punya saudara laki-
laki seayah seibu (9) tidak punya
saudari seayah seibu (10)
 2/3 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-
7) tidak punya saudara laki-
laki seayah seibu (9) punya saudari
seayah seibu (10)
 Ashabah = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-
7) punya saudara laki-laki
seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum


bisa mendapatkan warisan dengan tiga
kemungkinan.

120
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari


seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan
tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek,
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya
seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka dia mendapat 1/2 dari semua harta
warisan almarhum saudaranya.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari
seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan
tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek,
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2
orang saudari perempuan seayah seibu.
Maka kedua saudaranya itu total mendapat
2/3 dari semua harta warisan almarhum
saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi
2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara
ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan
tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek.
Yang dia punya seorang saudara laki-laki
seayah seibu. Maka mereka berdua
mendapat warisan secara ashabah, dengan
perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu
mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat
1/3 bagian.

121
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

13. Keponakan : anak saudara seayah-


ibu

14. Keponakan : anak saudara seayah

15. Paman : saudara ayah seayah-ibu

16. Paman : saudara ayah seayah

17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu

18. Sepupu : anak laki paman seayah

19. Cucu Laki-laki (‫)ابن ابن‬

Cucu yang dimaksud adalah anak laki-laki dari anak


laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan tidak
termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti
manakala almarhum tidak punya anak laki-laki saat
meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum punya anak
laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya
sebagai paman, maka cucu tidak mendapatkan hak waris,
karena terhijab olehnya.
19.1. Bagian

122
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bagian yang menjadi hak seorang cucu mirip yang


diterima seorang anak laki-laki. Karena kedudukannya
memang sebagai pengganti anak laki-laki.
 Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain
yang telah mengambil bagian masing-
masing, dengan ketentuan cucu laki-laki
mendapat 2 kali bagian cucu perempuan.
Seorang cucu laki-laki mendapat warisan
dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang
sebelumnya diambil oleh ahli waris lain.
Karena mendapat sisa, maka besarannya
tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa
yang ada.
Contoh yang sederhana adalah seorang
laki-laki wafat meninggalkan ahli waris :
cucu laki-laki dan anak perempuan. Maka
hak cucu laki-laki adalah sisa harta yang
telah diambil terlebih dahulu oleh anak
perempuan. Anak perempuan tunggal adalah
ashabul furudh yang jatahnya sudah
ditetapkan.
Dalam hal ini anak perempuan mendapat
1/2. Berarti sisanya adalah 1/2 bagian. Maka
bagian yang didapat oleh cucu laki-laki
adalah 7/8.
Apabila almarhum juga meninggalkan
cucu perempuan, maka dia juga mendapat
sisa sebagaimana halnya cucu laki-laki, yaitu
jumlah sisa itu dibagi rata di antara para
cucu, dengan ketentuan bahwa cucu
perempuan hanya mendapat setengah dari

123
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

apa yang didapat cucu laki-laki. Atau dengan


kata lain, yang diterima cucu laki-laki 2 kali
lipat lebih besar dari anak perempuan.
Maka pembagiannya sebagai berikut :
Ahli Waris Bagian
Anak Perempuan 1/2 3/6
Cucu Laki-laki 2/6
Sisa = 1/2
Cucu Perempuan 1/6

19.2. Menghijab
Ahli Waris id
 saudara seayah-ibu 9
 saudari seayah-ibu 10
 saudara seayah 11
 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara 13
seayah-ibu 14
 keponakan : anak saudara 15
seayah 16
 paman : saudara ayah 17
seayah-ibu 18
 paman : saudara ayah 22
seayah
 sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
 sepupu : anak laki paman
seayah
 saudara & saudari seibu
19.3. Dihijab oleh :

124
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Satu-satunya pihak yang dapat menghijab


cucu laki-laki adalah anak laki-laki (1).
Dalam kenyataannya, bisa saja cucu laki-laki
merupakan anak dari anak laki-laki, tapi bisa
juga bukan anak tetapi keponakan. Tapi
intinya, selama almarhum masih punya anak
laki-laki, cucu laki-laki akan terhijab.
***

20. Cucu Perempuan

21. Nenek Dari Ibu

22. Saudara/i Seibu

125
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kesebelas
Cara Membagi Warisan

1. Langkah Pertama

Langkah paling awal adalah mengeluarkan


terlebih dahulu segala hal yang tekait dari
harta almarhum yang meninggal.
Diantaranya :
1.1. Hutang
Semua hutang almarhum/almarhumah
harus dikeluarkan terlebih dahulu dari harta
yang dimilikinya. Kecuali bila orang yang
memberi hutang itu menyatakan kerelaannya
atas hutang-hutang itu.

127
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

1.2. Wasiat
Bila almarhum/almarhumah pernah
berwasiat atas harta yang dimilikinya, maka
sebelum warisan dibagikan, wasiat itu harus
dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan syarat
jumlahnya tidak boleh melebihi dari 1/3 dari
total hartanya. Bila telah melebihi, maka
hukumnya tidak boleh karena yang 2/3 itu
adalah milik ahli waris.
1.3. Biaya Pengurusan Jenazah
Semua biaya untuk pengurusan jenazah,
bahkan mulai dari biaya rumah sakit bila
ada, hingga biaya memandikan, mengkafani,
menguburkan dan lainnya, bisa diambilkan
dari harta almarhum/almarhumah.
Dari langkah ini akan segera bisa didapat
nilai nominal harta almarhum/almarhumah.
Tentu harta itu bukan hanya uang, tetapi
bisa berbentuk rumah, tanah, kendaraan
atau apapun.
Namun untuk memudahkan penghitungan,
biasanya dilakukan penaksiran atas semua
asset beliau dalam besaran nominal. Meski
benda-benda itu tidak harus langsung dijual
kepada pihak lain.

2. Langkah Kedua

Langkah kedua adalah mengumpulkan


semua daftar ahli waris dan memilahnya.
Pengumpulan daftar ahli waris ini untuk

128
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

memisahkan siapa saja yang berhak atas


warisan dan siapa saja yang tidak mendapat
hak. Paling tidak ada dua pemilahan.
2.1. Memilah
Pada langkah ini tugas kita berikutnya
adalah memilah antara ahli waris yang
sesungguhnya dengan yang bukan ahli
waris. Boleh jadi dalam persangkaan orang,
ada individu yang dianggap sebagai keluarga
dan seolah dia mendapat warisan, tetapi
ternyata secara daftar awal pun sudah bukan
termasuk ahli waris.
Misalnya, anak tiri, ayah diri, mantan istri,
mantan suami, anak angkat, ayah atau ibu
angkat dan lainnya, mereka semua
sesungguhnya tidak pernah terdaftar
sebagai ahli waris.
Anak tiri meski sudah diperlakukan
sebagai anak sendiri, tapi secara hukum
syariah tidak pernah mendapatkan harta
lewat warisan. Namun bila lewat jalan lain
masih dimungkginkan. Misalnya lewat hibah
dari almarhum sebelum wafat, atau lewat
wasiat. Demikian juga istri yang sudah
dicerai suami dan telah habis masa
iddahnya, bila sang suami wafat, maka
mantan istri itu sudah bukan lagi ahli waris.
Contoh :
Seseorang wafat meninggalkan seorang
mantan istri yang telah diceraikan sebulan

129
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

yang lalu, seorang istri yang masih sah dan


seorang istri yang telah diceraikannya
secara 2 tahun lalu. Siapakah diantara
mereka yang dapat warisan ?
Jawaban :
Yang mendapat warisan adalah istri yang
telah diceraikan sebulan yang lalu dan istri
yang masih sah. Sedangkan istri yang telah
diceraikan 2 tahun sebelumnya, tidak
mendapat warisan. Karena hubungannya
dengan mantan istri itu sudah bukan istri
lagi. Sedangkan yang baru diceraikan 1
bulan yang lalu mendapatkan warisan,
lantaran masa iddahnya belum berakhir.
Sebagaimana diketahui bahwa masa iddah
seorang wanita yang diceraikan suaminya
adalah 3 kali masa suci dari haidh.
2.2. Menghilangkan ahli waris
yang terhijab
Meski seseorang termasuk daftar ahli
waris, namun belum tentu dalam sebuah
pembagian warisan dia pasti mendapat
warisan. Sebab bisa jadi hubungannya
dengan almarhum/almarhumah terhijab.
Sehingga dia tidak boleh menerima warisan
akibat adanya hijab.
Prinsipnya, bila hubungan seorang ahli
waris dengan almarhum masih melewati ahli
waris lainnya, maka bila ahli waris yang
yang ada diantara keduanya masih ada,

130
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

maka ahli waris yang berada pada lapis


keduanya tidak akan mendapat warisan.
Kenyataannya, hanya ada 6 orang yang
tidak mungkin terhalangi, bahkan untuk
memudahkan mengingatnya, kita susun saja
menjadi anak, orang tua dan pasangan.
Dengan rincian yaitu :
 anak baik laki atau perempuan
 orang tua yaitu ayah dan ibu
 pasangan yaitu suami atau istri
Selain keenam orang di atas, mungkin
terhalang dan mungkin tidak.
Contoh 1 : Seorang wafat dengan
meninggalkan ayah kandung dan paman
yang merupakan saudara ayah. Hubungan
almarhum dengan pamannya diselingi
dengan adanya ayah, maka paman tidak
mendapat warisan bila ayah masih ada.
Namun bila ayah tidak ada,
paman mendapatkan warisan. Posisi paman
dalam hal ini sama dengan posisi kakek,
seandainya ayah tidak ada sedangkan kakek
masih ada, maka kakek mendapatkan
warisan dari cucunya.
Contoh 2 : Saudara kandung laki-laki
akan terhalang oleh adanya ayah dan
keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya).
Contoh 3 : Saudara laki-laki seayah akan
terhalang dengan adanya saudara kandung

131
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

laki-laki, juga terhalang oleh saudara


kandung perempuan yang menjadi 'ashabah
ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya
ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu,
cicit, dan seterusnya).
Contoh 4 : Saudara laki-laki dan
perempuan yang seibu akan terhalangi oleh
pokok (ayah, kakek, dan seterusnya) dan
juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak
perempuan.
Hasil atas langkah kedua ini adalah daftar
orang-orang yang pasti mendapat warisan,
baik sebagai ashabul furudh ataupun sebagai
ashahabah.
Contoh
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah,
ibu, paman, kakek, bibi, saudara laki-
laki, saudara perempuan dan anak laki-laki.
Siapa diantara mereka yang mendapat
warisan dan siapakah yang terhijab?
Jawab :
Pada awalnya semua memang termasuk
ahli waris, namun ada beberapa mereka
yang termahjub karena keberadaan ahli
waris lainnya. Yang memahjub anak laki-laki
yang menghijab paman, keponakan, saudara
laki-laki dan saudara perempuan. Kakek
terhijab oleh adanya ayah. Sehingga yang

132
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

menerima warisan hanyalah anak laki-laki,


ayah, ibu saja.

3. Langkah Ketiga

Langkah ketiga adalah menentukan pokok


masalah. Persoalan pokok masalah ini di
kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah
at-ta'shil, yang berarti usaha untuk
mengetahui pokok masalah.
Untuk apa kita mengetahui pokok
masalah? Apa gunanya? Apa tujuannya?
Sebenarnya urusan ini hanya sekedar
untuk menemukan nilai yang didapat oleh
para ahli waris. Hal itu disebabkan Al-Quran
dan As-sunnah menyebutkan bilangan
pecahan untuk menetapkan bagian yang
didapat oleh para ahli waris. Bilangan
pecahan itu adalah setengah (1/2), sepertiga
(1/3), seperempat (1/4), seperenam (1/6),
seperdelapan (1/8) dan duapertiga (2/3).
Seandainya dalil-dalil itu menggunakan
besaran prosentase, mungkin kita tidak
perlu bicara tentang ashlul-masalah ini.
Misalnya dalam kasus seorang laki-laki
wafaat meninggalkan seorang seorang istri
dan ayah. Isstri mendapat bagian 1/8 dan
ayah 1/6, maka agak sulit buat kita untuk
menghitung langsung 1/8 + 1/6.
Tapi kalau angka 1/8 dan 1/6 itu
disebutkan dengan besaran prosentase,

133
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

maka lebih mudah untuk menjumlahkannya.


1/8 sebenarnya sama dengan 12,5 % dan 1/6
sama dengan 16,66 %. Jadi jumlah keduanya
adalah 12,5% + 16,66 % = 29,16 %.
Sedangkan menjumlahkan 1/8 dengan 1/6,
perlu sedikit teknik untuk mendapatkan
hasilnya. Dengan metode hitungan sederana
sebenarnya mudah saja bagi kita untuk
menjumlahkan beberapa bilangan pecahan,
dimana "penyebutnya " tidak sama. Dalam
bilangan pecahan kita mengenal dua istilah,
yaitu pembilang dan penyebut. Dimana
kedua bilangan itu ditulis dengan dipisahkan
menggunakan garis miring. Pembilang
adalah angka sebelum garis miring dan
penyebut dalam bilangan setelah garis
miring.
Contoh, bilangan setengah itu ditulis [1/2],
maka bilangan 1 adalah pembilang dan
bilangan 2 adalah penyebut. Demikian juga
dengan [2/3], maka bilangan 2 adalah
pembilang dan bilangan 3 adalah penyebut.
Secara sederhana, kita bisa menjumlahkan
bilangan pecahan dengan cara
menjumlahkan pembilangnya saja tanpa
menjumlahkan penyebutnya, asalkan
penyebutnya sama. Misalnya 1/2 + 1/2 = 2/2.
Atau 2/4 + 1/4 + 1/4 = 4/4.
Namun akan sedikit bermasalah ketika
kita harus menjumlahkan beberapa bilangan

134
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

pecahan yang berbeda penyebutnya.


Misalnya, 1/8 + 1/6. Berapakah jumlahnya ?.
Untuk menjumlahkannya, kita terpaksa
harus menyamakan dulu penyebutnya.
Caranya dengan mengganti masing-masing
penyebut dengan sebuah bilangan terkecil
yang habis dibagi oleh masing-masing
penyebut. Kalau kita pilih bilangan 16,
memang 16 itu bisa habis dibagi 8, tapi tidak
bisa dibagi 6, jadi angka 16 tidak cocok.
Demikian juga bila kita pilih bilangan 12,
memang 12 itu bisa habis dibagi 6, tapi tidak
bisa dibagi 8. Pilihannya adalah 24, sebab 24
itu bisa habis dibagi 8 dan 6. Jadi kita sama
dulu penyebut masing-masing menjadi angka
12. Lalu pembilangnya kita sesuaikan agar
nilainya tetap sama.
Caranya dengan mengalikan pembilang
dengan hasil bagi penyebut yang telah
disamakan dengan penyebut asalnya. Lalu
masing-masing pembilang yang telah
disesuaikan dijumlahkan, sedangkan
penyebutnya tidak perlu dijumlahkan.
 Maka bilangan 1/8 itu kita ubah
penyebutnya menjadi 24. Lalu kita
membagi 24 dengan 8, hasilnya adalah 3.
Lalu kita kalikan 3 dengan pembilangnya
yaitu 1. Hasilnya adalah 3. Maka 1/8 sama
dengan 3/24.
 Bilangan 1/6 itu kita ubah penyebutnya
menjadi 24 juga. Lalu kita membagi 24

135
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

dengan 6, hasilnya adalah 4. Lalu kita


kalikan 4 dengan pembilangnya yaitu 1.
Hasilnya adalah 4. Maka 1/6 sama dengan
4/24.
Jadi hasil akhir penjumlahan itu adalah
3/24 + 4/24 = 7/24. Kalau kita perhatikan,
sebenarnya 7/24 ini sama besarnya dengan
29,16 %.

Metode Yang Digunakan Dalam Kitab


Klasik

Tapi yang berkembang di masa lalu bukan


dengan prosentase, juga bukan dengan
penyamaan pembilang dan penyebut,
melainkan dengan metode pencarian ashlul-
masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui
adalah bagaimana dapat memperoleh angka
pembagian hak setiap ahli waris tanpa
melalui pemecahan yang rumit. Karena itu,
para ulama ilmu faraid tidak mau menerima
kecuali angka-angka yang jelas dan benar
(maksudnya tanpa menyertakan angka-angka
pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah,
terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa
ahli warisnya. Artinya, kita harus
mengetahui apakah ahli waris yang ada
semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau
semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau
gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul
furudh.

136
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Apabila seluruh ahli waris yang ada


semuanya dari 'ashabah, maka pokok
masalahnya dihitung per kepala --jika
semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan lima
orang anak laki-laki, maka pokok
masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat
meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-
laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri
dari anak laki-laki dan perempuan, maka
satu anak laki-laki kita hitung dua kepala
(hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal
ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian
anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung
dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya
meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki
dan tiga perempuan. Maka pokok
masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain,
bila mayit meninggalkan lima anak
perempuan dan tiga anak laki-laki, maka
pokok masalahnya sebelas, dan demikian
seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang
ada semuanya dari ashhabul furudh yang
sama, berarti itulah pokok masalahnya.
Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang suami dan saudara
kandung perempuan. Maka pokok

137
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian


suami setengah (1/2) dan bagian saudara
kandung perempuan juga setengah (1/2).
Secara umum dapat dikatakan bahwa bila
ahli waris semuanya sama --misalnya
masing-masing berhak mendapat seperenam
(1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam
(6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3),
maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila
semuanya seperempat (1/4) atau
seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya
dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang
ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak
bagian --yakni tidak dari satu jenis, misalnya
ada yang berhak setengah, seperenam, dan
sebagainya-- kita harus mengalikan dan
mencampur antara beberapa kedudukan,
yakni antara :
 angka-angka yang mutamatsilah (sama)
 angka-angka yang mutadaakhilah (saling
berpadu)
 angka-angka yang mutabaayinah (saling
berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah
kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh
para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat
mudah sekaligus mempermudah kita untuk
memahami pokok masalah ketika ahli waris
terdiri dari berbagai sahib fardh yang
mempunyai bagian berbeda-beda.

138
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Para ulama faraid membagi kaidah


tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2),
seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga
(1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya
terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni
1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari
angka yang paling besar. Misalnya, bila
dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari
sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat
(1/4), maka pokok masalahnya dari empat
(4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli
warisnya terdiri dari para sahib fardh
setengah (1/2), seperempat (1/4), dan
seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat
dengan seperdelapan-- maka pokok
masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila
dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri
dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan
seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3)
dengan seperenam (1/6), maka pokok
masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga
merupakan bagian dari angka enam. Maka
dalam hal ini hendaklah diambil angka
penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli
warisnya bercampur antara sahib fardh

139
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan


kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6)
diperlukan kaidah yang lain untuk
mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang
dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh
setengah (1/2) --yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan
salah satu dari kelompok kedua, atau
semuanya, maka pokok masalahnya dari
enam (6).
2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh
seperempat (1/4) yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan
seluruh kelompok kedua atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua
belas (12).
3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib
fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan
seluruh kelompok kedua, atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua
puluh empat (24).

Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut,


mari kita buat beberapa contoh.

Contoh : Kasus Pertama

Misalnya, seseorang wafat dan


meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu,

140
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

ibu, dan paman kandung. Maka


pembagiannya sebagai berikut:
 suami mendapat setengah (1/2)
 saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
 ibu sepertiga (1/3)
sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan
mendapat sisa yang ada setelah ashhabul
furudh menerima bagian masing-masing.
Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak
menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada
campuran antara kelompok pertama (yakni
1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam
(1/6), yang merupakan kelompok kedua.
Berdasarkan kaidah yang ada, pokok
masalah pada contoh tersebut adalah enam
(6).

Lihat diagram:

Pokok masalah dari enam (6)


Suami setengah (1/2) 3/6 3
Saudara laki-laki seibu seperenam 1/6 1
(1/6)
Ibu sepertiga (1/3) 2/6 2
Paman kandung, sebagai 'ashabah 0

Dalam contoh ini, kebetulan harta habis


dibagi untuk semua ashhabul furudh tanpa
sisa, dengan demikian maka paman tidak
mendapat apa-apa alias nol, lantaran
statusnya hanya sebagai ahli waris ashabah.

141
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Namun dalam seandainya salah satu dari


ashhabul furudh di atas tidak ada, misalnya
tidak ada saudara laki-laki yang jatahnya
(1/6), maka sisa itu menjadi milik paman
sebagai ashabah.

Contoh : Kasus Kedua

Seseorang wafat dan meninggalkan istri,


ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara laki-laki kandung. Maka
pembagiannya seperti berikut:
 bagian istri seperempat (1/4)
 ibu seperenam (1/6)
 dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
 dan saudara kandung laki-laki sebagai
'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran
antara bagian seperempat (1/4) --yang
termasuk kelompok pertama-- dengan
seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka
berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari
dua belas (12). Angka tersebut merupakan
hasil perkalian antara empat (yang
merupakan bagian istri) dengan tiga
(sebagai bagian kedua saudara laki-laki
seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4)) 3/12 3
Ibu seperenam (1/6) 2/12 2
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga 4/12 4
(1/3)

142
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Saudara kandung laki-laki sebagai 3/12 3


'ashabah (sisanya)

Dalam contoh kasus kali ini, saudara


kandung laki-laki sebagai ashabah
beruntung, karena masih ada sisa dari para
ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan
sisanya yang masih lumayan besar, yaitu
3/12 dari total harta atau 1/4 bagian atau
25% dari seluruh harta yang dibagi waris.

Contoh : Kasus Ketiga

Seseorang kakek wafat dan meninggalkan


istri, anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara
kandung laki-laki. Maka pembagiannya
sebagai berikut:
 istri mendapat seperdelapan (1/8)
 anak perempuan setengah (1/2)
 cucu perempuan keturunan anak laki-laki
mendapat seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3)
 bagian ibu seperenam (1/6)
 Sedangkan saudara kandung laki-laki
sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat
sisa harta waris bila ternyata masih
tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran
antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok
pertama dengan seperenam (1/6) sebagai
kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah

143
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

yang ada, pokok masalah pada contoh ini


dari dua pulah empat (24). Berikut ini
tabelnya:
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8) 3/24 3
Bagian anak perempuan setengah (1/2) 12/2 12
4
Cucu perempuan dari anak laki-laki 4/24 4
seperenam (1/6)
Bagian ibu seperenam (1/6) 4/24 4
Saudara kandung laki-laki, sebagai 1/24 1
'ashabah (sisa)

Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan


sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil
perkalian antara setengah dari enam (yakni
3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau
setengah dari delapan (yakni empat) kali
enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini
disebabkan setengah dari dua angka
tersebut (yakni enam dan delapan) ada
selisih, karenanya kita ambil setengah dari
salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan
dengan angka yang lain dengan sempurna.
Begitulah seterusnya.

144
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Penutup

145

Anda mungkin juga menyukai