Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan Puja dan Puji syukur atas Kehadiratnya, yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah,
dan Inayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan penelitian ini

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Polewali, 12 Juli 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................................................... 1
A. Sejarah Makam Todzilaling dan Tomepayung ........................................................................... 2
1. Sejarah Todzilaling ..................................................................................................................... 2
B. Sejarah AGH. Muhammad Thahir (Imam Lapeo) ...................................................................... 6
C. Sejarah Sungai Mandar ............................................................................................................... 7
D. Situs Allamungan Batu ............................................................................................................... 8
BAB III PENUTUP .............................................................................................................................. 10
A. Kesimpulan ............................................................................................................................... 10
B. Saran ......................................................................................................................................... 11
Lampiran ............................................................................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah yang ditunjang oleh pengetahuan masa lampau yang objektif akan
menimbulkan empati generasi muda terhadap sejarah bangsa dengan cara “relive” dan
“rethink” terhadap tindakan – tindakan pada masa lampau. Untuk selanjutnya, empati ini
akan membangkitan keingintahuan untuk menggali lebih dalam perjalanan bangsa di
masa lampau dalam rangka untuk menemukan jawaban dari mengapa segala sesuatu
menjadi seperti apa yang terlihat pada masa kini.

Oleh karena itu, dalam rangka menggali kearifan sejarah lokal sebagai bagian dari
upaya peneguhan karakter bangsa diperlukan suatu “instrumen” untuk mencegah
amnesia histories di kalangan generasi muda dengan menapak tilas masa lalu melalui
suatu kunjugan Sejarah “MAKAM TODZILALING” di Desa Napo, Kec. Limboro,
Kabupaten Polewali Mandar.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah makam Todzilaling dan Tomepayung?
2. Bagaimana sejarah AGH. Muhammad Thahir (Imam Lapeo)?
3. Bagaimana sejarah sungai mandar?
4. Bagaimana sejarah situs Allamungan Batu?

C. Tujuan
1. Mendorong terbentuknya forum silaturahmi antara dosen dan mahasiswa yang dapat
mendorong kesadaran kebangsaan.
2. Meningkatkan pemahaman generasi muda tentang sejarah lokal sebagai bagian dari
sejarah nasional
3. Menggali faktor-faktor integratif yang berasal pemahaman sejarah lokal
4. Mendorong terbentuknya wawasan kebangsaan di kalangan generasi muda

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Makam Todzilaling dan Tomepayung


1. Sejarah Todzilaling

Situs sejarah makam todzilaling, terletak di puncak gunung Lapuang, di desa


Napo kecamatan Limboro. Objek wisata sejarah ini dikunjungi sekitar 300-an
pengunjung setiap bulannya. Pengunjung bukan hanya dari Sulbar, tetapi orang
diluar Sulbar seperti Makassar, Pare – pare, dan lainnya. Alasan para pengunjung
tersebut bermacam – macam diantaranya : bermaksud ziarah, nazar atau hajat,
wisata khusus, dan penelitian (Abdullah).
Sosok Todzilaling (I Manyambungi) bagi masyarakat Mandar adalah nama
yang begitu familiar. Namanya tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya
Arajang (Kerajaan) Balanipa.I Manyambungi diperkirakan lahir pada abad XV
Masehi di Lemo,Desa Pendulangan yang sekarang tergabung dalam kecamatan
Limboro, Polman. Ia adalah putra dari Tomakaka di Napo, Puang Digandang
dengan Weapas, Putri dari I Taurra-urra. I Taurra-Urra sendiri adalah anak dari
Tobittoeng, anak dari Topalliq,Tomakakaq di Lemo.
Adapun puang di Gandang, ayah dari I Mayambungi, merupakan salah satu dari
sekian Tomakaka yang ada setelah Tomakaka Pulllaomesa di ulusa’dang sebagai
Tomakaka’pertama yang ada di Mandar pada masa itu.Sebelum menjabat sebagai
Mara’dia pertama, I Manyambungi menjadi panglima perang kerajaan Gowa pada
masa pemerintahan Raja Gowa IX, Daeng Matenre (To Mapa’risi’Kollonna).Awal
kedatangan I Mayambungi di Gowa yaitu pada masa pemerintahan Karaeng
Batara Gowa sebagai Raja VII,dilatar belakangi oleh hubungan perdagangan

2
antara kerajaan Gowa dengan Tomakakaq Napo yang terjalin dengan baik. I
Manyambungi menginjakkan kakinya di Gowa pada usia yang masih kanak-
kanak. Alasan kedatangan I Manyambungi di Butta Gowa,diperkirakan sebagai
upaya pengaasingan dirinya atas hukuman yang dijatuhkan Tomakakaq Appeq
Banua Kayyang (Napo, Samasundu, Mosso, Todang-Todang) setelah membunuh
saudara sepupunya sendiri.Di Gowa, I Manyambungi sebagai panglima perang
Kerajaan Gowa, tersohor sampai ke Mandar setelah berhasil memimpin pasukan
Kerajaan Gowa menaklukkan Kaerajaan Lahe, dan bahkan kerajaan Pariaman
(Sumatera) yang termasuk kerajaan terkuat pada masa itu. Gong dari Lahe
(Ta’bilohe) dan keris Pattarapang dari Pariaman menjadi medali kemenangan
yang diberikan oleh Daeng Matenre pada I Mayambungi.Pada masa yang sama di
Mandar terjadi perseturuan antara Apppe Banua Kaiyyang dengan Passokkorang
(Biring Lembang,Renggeang,Manu’Manukan,Salarri). Para Tomakaka dari Appe
Banua kaiyyang sepakat mengutus Pappuangan di Mosso menjemput I
Manayambungi di Gowa. Nama besar I Manyambungi diharapkan dapat
membantu Appeq Banua Kaiyyang menaklukkan Passokorang. Akhirnya I
Manyambungi bersama keluarganya meninggalkan Gowa menuju Napo.

Masyarakat Napo termasuk Puang Digandang, meyambut kedatangan


rombongan I Manyambungi di Labuang Soreang. Inilah awal disandangnya gelar
Todzilaling (orang yang dibawa atau diangkat) pada I Mayambungi.Dengan
kembalinya I Manyambungi, Appeq Banua Kaiyyang menyatukan diri menjadi
Kerajaan besar yang diberi nama Arajang Balanipa (Kerajaan Balanipa). Mereka
sepakat mengangkat I Manyambungi sebagai Mara’dia (Raja) pertama di Arajang
Balanipa.Sebagai Mara’dia, I Manyambungi dibantu Puang Dipoyosang beserta
Puatta’ Saragiang, turnan dari Tokanaca. Raja Alu menyusun strategi untuk
menaklukkan Passokorang dibawah kepemimpinan Takala’Bassi atau
Topanggere’Tau. Puatta Saragian sendiri dibantu Puatta di Bulo,turunan dari
Toajoang. Siasat yang dilancarkan I Manyambungi dengan mengutus Puatta
Saragian bersama Puatta di Bulo menyusup ke Passokorang ternyata berhasil
membantu pasukan Balanipa yang akhirnya berhasil memukul mundur
Passokorang. Passokorang mengakui kekuasaan Balanipa melalui permintaan
perdamaian seusai terjadi perang.Kerajaan Balanipa mulai mengalami
pembenahan birokrasi setelah I Manyambungi mengutus keponakan Paung di
Poyosang meminta Adat atau Konstitusi dari kerajaan Gowa. Adat Gowa yang
ditulis dalam bentuk lontar tersebut selanjutnya menghapus adat lama di Balanipa,
satu diantaranya berupa adat Bala Tau (Pagar Batu), sebuah sistem peradilan yang
masih menggunakan hukum rimba (siapa yang kuat itulah pemenang).
Penghapusan aturan lama ini menandai berlakunya konstitusi baru yang menjadi
pedoman dan sumber inspirasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Balanipa.

I Manyambungi wafat setelah melahirkan enam putra dari istri keduanya di


Napo. Mereka adalah Todijalloq, Puang di Poyosang, Puang di Rano, Puang di
Pangale, Puang di Tammajarra, dan Puang di Gandang. Upacara pemakaman I

3
Manyambungi berlangsung cukup sakral. Mayat Todzilaling di kebumikan
bersama semua harta benda yang dimilikinya, serta empat belas orang abdi yang
dikubur hidup-hidup bersama rajanya. Masing-masing diantaranya, tujuh orang
perempuan, dan tujuh orang laki-laki. Peristiwa ini telah diabadikan dalam sebuah
tarian tradisional yang dikenal dengan tari Pattu’duq.
Sejarah Todzilaling bukan saja sebuah sejarah lokal yang cukup hanya dikenang
di wilayah Mandar saja. Kiprah I Manyambungi tidak saja di Balanipa, tetapi
juga di Gowa, bahkan hingga ke Jawa dan Sumatera. Ia telah berhasil
mendedikasikan hidupnya pada dua pemerintahan besar, yakni kerajaan Balanipa
dan kerajaan Gowa.

2. Sejarah Tomepayung

Desa Tammejarra memiliki latar historis, saat ini sudah mulai ramai
dikunjungi orang sebagai tempat wisata budaya. Dulu, di tempat inilah digelar
pertemuan Muktamar Tammejarra I dan melahirkan Assitalian Tammejarra,

4
yang dihadiri utusan kerajaan Balanipa, Banggae, Pamboang, Tappalang, dan
Mamuju.

Dengan potensi dan memiliki nilai sejarah besar di Mandar, desa


Tammejarra memang layak untuk menjadi daerah wisata budaya di Polewali
Mandar. Salah satu tempat wisata di Tammejarra adalah Makam Tomepayung
atau dikenal dengan wisata Bala Tau dan juga tempat Piagam Tammejarra.

Piagam Tammejarra

Piagam Tammejarra ini tulisan arab kemudian di lotar dengan bahasa


Indonesia, sangat bemakna dan penuh dengan nilai pesan – pesan leluhur. Tempat
piagam Tammejara ini konon setiap dilaksanakan pertemuan kerajaan selalu
dihadirkan air yang ada di sungai mandar itu dijadikan sebagai alat atau setugu air
untuk di minum bagi orang yang hadir.

5
B. Sejarah AGH. Muhammad Thahir (Imam Lapeo)

AGH. Muhammad Thahir Imam Lapeo atau lebih dikenal dengan Imam
Lapeo atau Tosalama‟ Imam Lapeo, merupakan tokoh sufi yang dikenal akan
kecerdasannya, keberaniannya dan sifatnya yang mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan, yang terbukti telah melahirkan sejumlah Ulama. AGH. Muhammad
Thahir diberi nama Imam Lapeo karena beliaulah yang mendirikan masjid di daerah
Lapeo dan sekaligus menjadi imam pertama di masjid yang didirikannya itu. Beliau
dikenal juga dengan sebutan Kannai Tambul(‘kakek dari Istanbul’) karena beliau
pernah menuntut ilmu agama hingga ke Istanbul, Turki. Sufi besar Tanah Mandar ini
dakwahnya merambah masyarakat nelayan hingga pegunungan seperti di Buttu Daala
menemani gurunya AGH. As-Syekh Habib Sayyid Alwi Jamalullail bin Sahl.
Perjalanan hidupnya sepenuhnya diabadikan untuk ilmu dan umat. Ada
74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo yang ditulis oleh cucu Imam
Lapeo sendiri Syarifuddin Muhsin, dalam buku yang memuat tentang perjalanan
hidup Imam Lapeo. Peranan dan kontribusi Imam Lapeo melalui kerja-kerja sosial-
keagamaan dan kebangsaan menjadi lahan persemaian kharisma, popularitas,
sehingga masyarakat Mandar memposisikannya sebagai primus inter pares, yang
dicirikan melalui pengakuan dan pembenaran secara sosio – kultural sebagai
Waliullah.

Kelahiran

6
Muhammad Thahir lahir pada tahun 1838 di Pambusuang. Ada perbedaan pendapat
mengenai tahun kelahiran beliau secara pasti. Ada yang berpendapat bahwa
Muhammad Thahir dilahirkan pada thun 1839 ketika raja Balanipa XLI (Ke – 41)
Tomatindo di Marica (suatu gelar yang diberikan untuk raja yang sudah meninggal)
menjalankan pemerintahannya di Mandar dan semasa dengan upaya Belanda untuk
menjejakkan kakinya di Mandar.

Wafat

Muhammad Thahir Imam Lapeo wafat pada hari selasa 27 Ramadhan 1362 H atau 17
Juni 1952 M dalam usia 114 tahun. Beliau dimakamkan di halaman Masjid Nur Al –
Taubah Lapeo yang dibangunnya, yang disebut Masigi Lapeo (Masjid Lapeo).

C. Sejarah Sungai Mandar

Sungai Mandar merupakan warisan sejarah dan budaya di tanah Mandar.


Sungai Mandar menjadi salah satu daerah aliran sungai terbesar di daerah ini.
Hulu sungai ini berada di kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene. Sungai ini
membentang hingga Kabupaten Polewali Mandar (Polman). Melintasi kecamatan
Alu, Limboro dan bermuara di Kecamatan Tinambung. Sungai mandar merupakan
yang terbesar kedua dengan luas 48.034,74 hektar.
Sungai Mandar sarat nilai historis. Salah satunya, penanaman Mandar yang
kelak menjadi identitas kedaerahan dan kesukuan memiliki benang merah dengan
sungai ini. Dari sungai Mandar juga ini kita bisa menguntai waktu, dan
membasahi daya ingat agar kembali menyuram memroi. Bahwa sungai mandar
tak sekedar mengalirkan daya Magis dari hulunya yang jauh tetapi juga tengah
mengirimkan kabar pada samudera dan terkenal juga dengan matawar anna
panawar.

7
D. Situs Allamungan Batu

Di sebuah daerah yang bernama Luyo kini kecamatan Luyo, Kabupaten


Polewali Mandar Provinsi sulawesi barat pada masa pemerintahan Tomepayung
(Raja Balanipa II) sekitar awal abad XVIII. Pitu Ulunna Salu (Tujuh Kerajaan di
Hulu/Gunung) dan Pitu Ba’bana Binanga (Tujuh Kerajaan di Pesisir Pantai)
meletakkan satu dasar perdamaian yang lebih dikenal dengan sebutan
“Allamungan Batu”.

 Berikut dibawah ini adalah kutipan naskah Allamungan Batu di Luyo,


(perjanjian Sipamandaq di Luyo)
1. Taqlemi manurunna peneneang uppasambulobulo anaq appona di Pitu
Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, nasaqbi Dewata diaya Dewata
diong, Dewata di kanang, Dewata diolo, Dewata diboeq, manjarimi
pasemandarang.
2. Tannisapaq tannitonang, maq allonang mesa mallatte samballa, siluang
sambusambu sirondong langiqlangiq, tassipande peoqdong
tassipadundu pelango, tassipelei dipanraq tassiluppei diapingang.

8
3. Sipatuppu diadaq sipalete dirapang, adaq tuho di Pitu Ulunna Salu,
Adaq mate di muane adaqna Pitu Baqbana Binanga.
4. Saputangang di Pitu Ulunna Salu, Simbolong di Pitu Baqbana Binaga
5. Pitu Ulunna Salu memata di Sawa, Pitu Baqbana Binanga memata di
Mangiwang
6. Sisaraqpai mata malotong anna mata mapute, anna sisaraq Pitu Ulunna
Salu Pitu Baqbana Binanga.
7. Moaq diang tomangipi mangidang mabattangang tommutommuane,
namappasisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga, sirumungngi
anna musesseqi, passungi anaqna anna muanusangi sau di uwai
temmembaliq

Di Allamungan Batu juga terdapat Sumpah Pitu Ulunna Salu

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setiap daerah pasti memiliki pahlawan masing-masing. Pahlawan adalah


sosok pemberani laksana superhero yang dibanggakan oleh semua orang. Begitu juga
di daerah mandar, salah satu pahlawan yang terkenal adalah I Manyambungi atau

10
Todilaling. Sejarah todilaling tidak lepas dari sejarah Mandar secara keseluruhan. I
Manyambungi adalah putera dari Tomakaka Napo, Puang Digandang. Pada masa
mudahnya I Manyambungi pernah menjabat sebagai salah seorang Panglima Perang
(Tobarani) kerajaan Gowa di zaman pemerintahan Tumaparissi Kolonna (1510-1546).
Pada waktu itu terjadi pertentangan di wilayah negerinya, lalu ia di panggil untuk
membantu menyelesaikan persoalan internal tersebut

B. Saran

Sebaiknya kita sebagai generasi muda harus mengetahui sejarah-sejarah kita


yang ada di mandar dan sebaiknya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada
berbagai situs sejarah sehingga generasi muda dapat lebih mudah untuk mempelajari
sejarahnya.

Lampiran

11
12

Anda mungkin juga menyukai