Anda di halaman 1dari 116

SEBUTKAN CARA-CARA

SISTEM PENGENDALIAN BANJIR


YANG BISA DILAKUKAN

1.1 Latar Belakang


Jika dicermati, bencana alam di Indonesia tampaknya dari tahun ke
tahun memiliki kecenderungan meningkat, begitu juga bencana banjir yang
setiap tahun terjadi di seluruh penjuru tanah air. Kecenderungan
meningkatnya bencana banjir di Indonesia tidak hanya luasnya saja
melainkan kerugiannya juga ikut bertambah pula. Jika dahulu bencana banjir
hanya melanda kota-kota besar di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, akan
tetapi pada saat sekarang ini bencana tersebut telah melanda dan merambah
sampai ke pelosok tanah air.
Sebenarnya banjir memiliki banyak faktor penyebab, dan faktor –
faktor tersebut dapat disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri dan juga
dapat disebabkan oleh peristiwa alam. Banjir yang disebabkan oleh peristiwa
alam dapat dikendalikan atau ditanggulangi dengan lebih mudah daripada
banjir yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Karena pada dasarnya
manusia lebih sulit dikendalikan atau diatur dibandingkan dengan peristiwa
alam.
Kota-kota besar di Indonesia mengalami peningkatan populasi
manusia karena daya pikat yang merangsang manusia berpindah dari rural ke
urban. Lahan-lahan yang sebenarnya untuk daerah preservasi dan konservasi
untuk menjaga keseimbangan, diambil alih untuk pemukiman, pabrik-pabrik,
industri,dan lainnya. Akibatnya dapat dirasakan misalnya di Jakarta, kualitas
genangan dan banjir di beberapa wilayah saat ini terjadi hanya oleh hujan
deras satu sampai dua jam ekuivalen dengan hujan deras satu malam pada
dekade tahun70-an. Dengan kata lain tinggi dan lama genangan suatu daerah
saat ini dengan hujan deras satu hingga dua jam sama dengan tinggi genangan
dengan hujan deras semalam pada tahun 70-an. Padahal pengendalian banjir
dan penataansistem drainase terus diupayakan oleh pemerintah (Kodoatie,
2002).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
yang dimunculkan adalah :
1. Bagaimana upaya menyusun sistem pengendalian banjir di DKI Jakarta?
2. Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pembuatan sistem
pengendalian banjir sehingga sampai sekarang sistem tersebut belum
bekerja dengan baik ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang upaya penyusunan sistem pengendalian banjir di DKI
Jakarta.
2. Menjelaskan kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pembuatan
sistem pengendalian banjir.
1.4 Ruang Lingkup Sistem Pengendalian Banjir di DKI Jakarta
Aplikasi sistem disesuaikan dengan keterbatasan tenaga, waktu dan
biaya dimana tidak setiap persoalan manajemen diselesaikan dengan
pendekatan sistem. Pembatasan ruang lingkup sering sekali digunakan untuk
mendapatkan pengkajian yang efisien dan operasional (Eriyatno,
1999).Dalam pembatasan ruang lingkup maka langkah yang dapat ditempuh
untuk meminimalisasi pengaruh dan output yang tidak dikehendaki maka
diperlukan kerangka berfikir kesisteman untuk pengendalian banjir secara
berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam pembuatan makalah ini disusun
pengendalian banjir secara Sistematis sebagai suatu sistem yang terpadu.
Ruang lingkup dari makalah ini adalah sistem pengendalian banjir
yang dibuat di DKI Jakarta hanya untuk wilayah Jakarta dan inti dari
pengendalian ini adalah mengatur aliran air dari hulu sungai dan mengatur
volume air yang masuk kota Jakarta.
BAB 2. METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Teori Terjadinya Banjir


Banjir adalah air yang melimpas dari badan air seperti selokan,
saluran, drainase, sungai, situ atau danau, dan menggenangi bantaran serta
kawasan sekitarnya (Siswoko, 2002). Definisi lain menyebutkan bahwa banjir
merupakan keadaan aliran air dan atau elevasi muka air dalam sungai atau
kali atau kanal yang lebih besar atau lebih tinggi dari normal. Banjir
menimbulkan masalah dan menjadi bencana akibat banjir dapat terjadi karena
faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang dimaksud adalah hujan dan
pengaruh air pasang (rob), sedangkan faktor manusia adalah pengaruh
perilaku dan perlakuan masyarakat terhadap alam serta lingkungannya yang
antara lain mengakibatkan perubahan pada tata guna lahan. Perubahan
penggunaan lahan, dapat memberi dampak pada aliran permukaan (run-off).
Air hujan yang jatuh ke bumi, menurut Kodotie dan Sjarief (2006:
165-166), akan mengalami dua hal : meresap ke dalam tanah; atau menjadi
aliran permukaan di atas tanah. Kecepatan aliran permukaan berkisar antara
0,1 m/s – 1 m/s, tergantung pada kemiringan lahan aliran dan penutup lahan.
Kecepatan air yang meresap ke dalam tanah tergantung pada jenis tanah. Pada
lahan dari jenis tanah lempung (clay), kecepatan aliran atau resapan di dalam
tanah sangat kecil. Pada tanah jenis pasir kecepatan aliran atau resapan lebih
besar dari tanah lempung. Mekanisme terjadinya banjir dan bencana dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Banjir dan Bencana

Apabila diklasifikasikan berdasarkan asalnya, penyebab banjir dapat


dibagi menjadi 2 macam, yaitu : banjir akibat tindakan manusia dan akibat
kejadian alam. Berikut ini beberapa penyebab banjir akibat tindakan manusia.
 Perubahan tata guna lahan (land-use).
 Pembuangan sampah
 Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase
 Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat.
 Penurunan tanah dan rob
 Tidak berfungsinya sistem drainase lahan
 Bendung dan bangunan air
 Kerusakan bangunan pengendai banjir

Kemudian yang termasuk sebab – sebab alami diantaranya adalah :


 Erosi dan Sedimentasi
 Curah Hujan
 Pengaruh fisiografi/geofisik sungai
 Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai
 Pengaruh air pasang
 Penurunan tanah dan rob
 Drainase lahan

2.1 Metode Struktur dan Non-struktur Pengendalian Banjir


Upaya pengendalian banjir dapat di bedakan menjadi dua jenis yaitu :
Upaya berwujud fisik atau metode struktur (structural measures) dan upaya
non-fisik atau metode non-struktural (non-structural measures).
Metode struktur adalah kegiatan penanggulangan banjir yang antara
lain meliputi kegiatan perbaikan sungai dan pembutan tanggul banjir untuk
mengurangi resiko banjir di sungai, pembuatan saluran (floodway) untuk
mengalirkan sebagian atau seluruh air, serta pengaturan sistem pengaliran
untuk mengurangi debit puncak banjir, dengan bangunan seperti bendungan,
dan kolam retensi.
Metode non-struktural adalah metode pengendalian banjir dengan
tidak menggunakan bangunan pengendali banjir. Aktivitas penanganan tanpa
bangunan antara lain berupa pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) untuk
mengurangi limpasan air hujan, penanaman vegetasi untuk mengurangi laju
aliran permukaan di DAS, kontrol terhadap pengembangan di daerah
genangan, misalnya dengan peraturan-peraturan penggunaan lahan, sistem
peringatan dini, larangan pembuagan sampah di sungai, serta partisipasi
masyarakat.

Pengendalian Banjir

Metode Struktur Metode Non-Struktur


 Bendungan (dam)  Sistem jaringan sungai  Pengelolaan DAS
 Kolam Penampungan  Perbaikan sungai  Pengaturan tata guna
 Penangkap Sedimen  Perlindungan tanggul lahan
 Bangunan Pengurang  Sudetan (by pass)  Pengendalian erosi
Kemiringan sungai  Saluran penyalur  Pengembangan
 Tampungan banjir banjir (flootway) daerah banjir
sementara  Pengendalian sedimen  Pengaturan daerah
( Retarding basin )  Perbaikan muara banjir
 Pembuatan Polder  Penanganan daerah
 Sumur resapan banjir
 Penanganan kondisi
darurat
 Peramalan banjir
 Peringatan bahaya
banjir
 Pengendalian daerah
bantaran
 Asuransi
 Law enforcement

Gambar 2.2 Pengendalian Banjir Metode Struktur dan Metode Non-Struktur


2.2. Pengelolaan Banjir dalam Konteks Tata Ruang Wilayah Sungai
Penanganan banjir merupakan suatu pekerjaan yang kompleks yang
tidak dapat dilakukan secara terpenggal – penggal atau bagian per bagian.
Pekerjaan ini menuntut pendekatan yang integral, karena menyangkut
berbagai aspek. Aspek fisik menyangkut karateristik sungai, tata guna lahan.
Serta tingkah laku sosial ekonomi masyarakat di wilayah itu, yang
kesemuanya saling mempengaruhi dan berdampak langsung terhadap tata air.
Dari aspek tata ruang, aliran sungi merupakan bagian atau unsur dari
ruang yang perlu mendapat tempat dan perlakuan yang layak dari masyarakat
sebagaimana halnya dengan jaringan infrastruktur lainnya seperti jalan raya,
jaringan drainase, sanitsi, dan jaringan utilitas lainnya. Perlakuan yang salah
terhadap sistem tata air dapat mengakibatkan bencana seperti munculnya
banjir atau bahkan kekeringan.
Dalam konteks tata ruang wilayah sungai (yang juga bisa mencakup
kawasan perkotaan di dalamnya), pengendalian banjir dan pemanfaatan air
secara garis besar dilakukan sebagai berikut:
 Bagian Hulu
Fungsinya sebagai penahan (retention) air hujan supaya run off tidak
langsung mengalir ke sungai, tapi masuk sebagian ke dalam tanah, untuk
menjadi bagian air tanah.
 Bagian Tengah
Fungsinya sebagai penyimpanan air (storage). Air hujan atau air sungai
ditahan sementara untuk menyimpan air pada saat musim hujan, dan
dimanfaatkan pada saat musim kemarau, dan juga sebgai pengisi air
tanah.
Pemanfaatan ruang: waduk, situ, empang, balong, kolam, embung,
badan sungai, dan bantaran sungai.
 Bagian Hilir
Fungsinya sebagai genangan dan memerlukan pembuangan air
(drainage). Genangan air hujan yang ada di kawasan urban dialirkan
melalui saluran drainase ke badan sungai dan terus ke laut.
BAB 3. PEMBAHASAN

Banjir di Jakarta sudah berkurang, lebih tiga puluh persen di kawasan


Timur dan Utara kota Jakarta dengan diselesaikannya Banjir Kanal Timur,
sehingga banjir tidak akan lagi separah tahun-tahun sebelumnya. Ini
mempengaruhi kurang lebih dua juta orang dikawasan ini. Banjir yang melanda
Jakarta sekarang sudah dapat dikendalikan dan ini dapat dilihat dari penurunan
genangan air yang jauh lebih cepat daripada tahun lalu bila hujan deras turun atau
terjadi banjir kiriman dari daerah hulu Jakarta.
Kota Jakarta tidak mempunyai pilihan kecuali untuk menyesuaikan diri
dengan alam yang telah menjadi warisan ibu kota Indonesia ini. Kota ini dialiri 13
sungai dan empat puluh persen daratannya berada di bawah muka laut pasang.
Laju penduduk Jakarta pun pesat sehingga tekanan pada alam Jakarta berdampak
pada pengelolaan serta pengendalian banjir. Sinergi ini meminta semua pemangku
kepentingan baik itu Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah di sekitar DKI
Jakarta, untuk bekerja sama guna mengendalikan banjir di Jakarta. Salah satu
bentuk kerja sama ini adalah penataan kawasan hulu Jakarta.
Target Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kedepannya adalah untuk
mengurangi banjir di daerah DKI Jakarta sebanyak 40 persen di tahun 2011 dan
sebanyak 75 persen untuk tahun 2016. Ini bukan mimpi, tetapi Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta sudah membuat perhitungan. Peningkatan kapasitas daya
tampung Kanal Banjir Barat dan pengerukan akan menyebabkan air bisa lebih
cepat dialirkan ke laut. Meskipun demikian pencapaian target ini akan sangat
bergantung pada masyarakat yang membantu dengan tidak buang sampah
disaluran yang sudah dibersihkan.
Pencapaian target tahun 2011 dan 2016 ini akan dilakukan dengan
peningkatan kapasitas kanal dan sungai dengan terus mengadakan pengerukan
yang telah mulai dilakukan sejak tahun 2008. Pengerukan belum rampung dan
masih akan dilangsungkan beberapa tahun kedepan.
3.1 Analisa Masalah
Dalam empat dasawarsa terakhir ini, peningkatan jumlah penduduk Jakarta
yang berlangsung pesat telah menyebabkan kawasan resapan air berkurang drastis
karena beralih fungsi menjadi daerah pemukiman dan industri. Lahan terbuka
digantikan oleh rumah dan bangunan, dan yang tersisa pun ditutupi oleh jalan
aspal atau pelataran parkir sehingga tidak mampu menyerap air. Air hujan yang
tidak teresap berubah menjadi aliran permukaan yang mengalir ke sungai, yang
selanjutnya dialirkan ke laut sesuai kapasitas sungai-sungai yang ada dalam
menampung air tersebut.
Dalam jumlah besar, air hujan yang tidak tertampung akan menjadi banjir.
Terjadinya banjir akan tergantung pada tingginya curah hujan di hulu dan di
wilayah Jakarta sendiri, volume sampah yang membuat sungai-sungai menjadi
mampet dan dangkal, serta pasang surutnya air laut. Bila salah satu faktor yang
disebutkan ini sedang berada dalam keadaan tidak normal, terjadilah banjir dan
genangan air di beberapa kawasan yang rendah diibukota. Bila semua faktor
berada dalam keadaan tidak normal, banjir besar akan menimpa Jakarta.
Gambar 3.1 Gambar Wilayah DKI Jakarta

Gambar 3.2 Penyempitan Sungai Ciliwung akibat pemukiman ilegal

Salah satu faktor penting dalam tata kelola air di Jakarta adalah perubahan
musim dan pola curah hujan yang terjadi karena perubahan iklim. Ketika curah
hujan di Jakarta tinggi, terjadilah banjir, tetapi pada musim kering hal sebaliknya
terjadi, air menjadi langka dan tinggi permukaan air di sungai – sungai menurun
dratis. Fluktuasi curah hujan adalah bagian dari perubahan pola dan variabilitas
iklim yangmerupakan salah satu dampak perubahan iklim yang kini terjadi di
seluruhdunia termasuk di Indonesia. Dampak perubahan iklim lainnya adalah
kenaikan suhu air laut dan udara. Kenaikan suhu air laut dapat merusak terumbu
karang dan biota-biota laut lainnya. Sementara itu, kenaikan suhu udara akan
mengubah pola-pola vegetasi dan menyebabkan penyebaran serangga seperti
nyamuk yang akan mampu bertahan di wilayah-wilayah yang sebelumnya terlalu
dingin untuk perkembangbiakan mereka.
Salah satu dampak perubahan iklim global pada Kota Jakarta adalah
kenaikan paras muka air laut. Pemuaian air laut dan pelelehan gletser dan lapisan
es di kutub menyebabkan permukaan air laut naik antara 9 hingga 100 cm.
Kenaikan paras muka air laut dapat mempercepat erosi wilayah pesisir, memicu
intrusi air laut ke air tanah, dan merusak lahan rawa pesisir serta menenggelamkan
pulau-pulau kecil. Kenaikan tinggi muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter
akan berdampak parah pada Kota Jakarta yang rentan terhadap banjir dan
limpasan badai. Di Ibukota masalah ini diperparah dengan turunnya permukaan
tanah akibat pendirian bangunan bertingkat dan pengurasan air tanah secara
berlebihan. Suatu penelitian memperkirakan bahwa kenaikan paras muka air laut
setinggi 0,5 meter dan penurunan tanah yang terus berlanjut dapat menyebabkan
enam lokasi di Jakarta dengan total populasi sekitar 270.000 jiwa terendam secara
permanen, yakni di kawasan Kosambi, Penjaringan dan Cilicing dan tigalagi di
Bekasi yaitu di Muaragembong, Babelan dan Tarumajaya.

Gambar 3.3 Potongan Utara-Selatan DKI Jakarta


3.2 Pendekatan Pemecahan Masalah
Sejak tahun 2007 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyusun
rencana kerja khusus untuk menangani banjir di wilayah DKI Jakarta. Salah satu
program dari rencana kerja tersebut adalah pembangunan Banjir Kanal Timur,
yang akan mengurangi banjir di kawasan Timur dan Utara Jakarta, kira-kira
seperempat dari luas keseluruhan Kota Jakarta. Dengan adanya Banjir Kanal
Timur, kemungkinan terjadi banjir di kawasan ini akan menjadi relatif kecil.
Kegiatan lain yang juga terus dilakukan adalah pengerukan sungai-sungai dan
saluran-saluran air. Ketika banjir besar terjadi pada tahun 2007 ada 78 titik
genangan air yang menghambat kehidupan rutin warga masyarakat Jakarta.
Dengan program pengendalian banjir yang dilaksanakan sejak tahun 2007, 16 dari
genangan tersebut telah hilang dan ditargetkan pada tahun 2010, 40 genangan
lainnya juga akanhilang.
Dalam mengendalikan banjir, prinsip dasar yang digunakan oleh
Pemerintah DKI Jakarta adalah mengalirkan air sungai yang masuk ke Jakarta
melalui pinggir kota dan langsung ke laut. Tujuannya adalah agar air yang datang
dari daerah hulu di atas Jakarta tidak memasuki wilayah-wilayah tengah Kota
Jakarta, tetapi dialirkan langsung menuju laut melalui Banjir Kanal Barat dan
Cengkareng Drain di bagian Barat dan di bagianTimur melalui Banjir Kanal
Timur dan Cakung Drain.
Sementara itu, kawasan Jakarta Selatan yang permukaan tanahnya relative
tinggi dibuatkan drainase yang akan menyalurkan air secara alamiah dengan
memanfaatkan gaya gravitasi. Di daerah-daerah yang lebih rendah, di mana
genangan air tidak dapat mengalir ke mana-mana, digunakan sistem polder, yaitu
sistem yang akan mempompa keluar air yang mengenangi daerah-daerah yang
rendah dan mengeringkan daerah rendah ini dari genangan air. Sistem polder
adalah suatu cara penangangan banjir dengan bangunan fisik yang terdiri dari
sistem drainase, kolam retensi (penahan), tanggul yang mengelilingi kawasan
daerah rendah, serta pompa dan atau pintuair sebagai satu kesatuan pengelolaan
air yang tidak dapat dipisahkan. Airhujan yang jatuh dalam kawasan ini dialirkan
oleh saluran air serta waduk dan dari waduk air ini dipompa ke laut.
Air dari genangan-genangan akan ditampung dalam waduk dan tanggul
dan dipompa ke saluran-saluran pengendali, kemudian dialirkan ke Banjir Kanal
Barat atau Banjir Kanal Timur yang mengalir ke laut. Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta juga melestarikan situ-situ untuk menjadi penampungair sementara.

Gambar 3.4 Prinsip Pengendalian Banjir Pemerintah Propinsi DKI Jakarta

3.3 Pembangunan Banjir Kanal


Banjir Kanal Timur mulai dibangun lagi tahun 2003 dan selesai serta mulai
dipergunakan pada bulan Januari tahun 2010. Dalam membangun Banjir Kanal
Timur, tantangan utama yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah
pembebasan lahan. Di DKI Jakarta hampir tidak ada lahan yang tidak dimiliki
oleh penduduk. Banjir Kanal Timur memiliki panjang 22,375 km dan
membentang dari Cipinang di Jakarta Timur hingga kawasan Marunda di Jakarta
Utara. Banjir Kanal Timur yang juga disebut sebagai saluran kolektor atau
penampung ini memotong lima sungai, yakni Sungai Cipinang, Sunter Buaran,
Jati Kramat, dan Cakung, dan memiliki kedalaman antara 4 sampai 7 meter. Lebar
Banjir Kanal Timur tidak sama dari hulu ke hilirnya, di hulunya adalah 100 meter
dan dibagian muara 200 meter serta rencana untuk marina di daerah Rorotan
(Ujung Menteng) lebarnya 300 meter.
Banjir Kanal Timur sebenarnya sudah direncanakan sejak zaman
Pemerintah Kolonial Belanda tetapi tidak pernah terwujud. Tahun 1973 ada kajian
oleh konsultan Belanda yang menyarankan Banjir Kanal Timur disambung
dengan Banjir Kanal Barat, sehingga akan berbentuk seperti huruf U ( gambar
3.2 ). Sekarang Banjir Kanal Timur sudah berfungsi dan Banjir Kanal Barat
menjadi lebih efektif dalam mengendalikan aliran air dari daerah hulu. Dengan
selesainya pembangunan Banjir Kanal Timur, banjir di kawasan timur dan utara
Kota Jakarta, yang mencapai sekitar seperempat luas kota, tidak akan separah
tahun-tahun sebelumnya lagi.

Gambar 3.5 Banjir Kanal Timur yang Bermuara di Laut Jawa

Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat dibangun dengan tujuan untuk
menyalurkan aliran air hujan dan air dari hulu langsung ke laut, sehingga air tidak
menggenangi Jakarta yang 40% wilayahnya berupa dataran rendah yang memiliki
ketinggian di bawah permukaan laut. Kedua kanal tersebut dapat diibaratkan
sebagai jalan tol untuk air di Jakarta agar dapat cepat sampai ke laut tanpa harus
berhenti di tengah perjalanan dan menyebabkan genangan atau banjir. Sebelum
Banjir Kanal Timur terbangun, air dari hulu akan masuk ke berbagai saluran-
saluran air besar maupun kecil yang ada, dan bila saluran-saluran ini tidak mampu
lagi menampung volume air yang ada, banjir akan terjadi.
Selain membangun Banjir Kanal Timur, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
juga berkepentingan untuk meningkatkan kapasitas dan efektivitas Banjir Kanal
Barat, terutama dengan meningkatkan kapasitas air yang dapat ditampung. Sejak
Banjir Kanal Barat dibangun pada tahun 1920 sampai tahun 2006, kanal buatan
Pemerintah Kolonial ini belum pernah dikeruk atau dibersihkan sehingga terjadi
pendangkalan. Selama berpuluh-puluh tahun endapan lumpur yang terbawa air
dari hulu terdampar di Banjir Kanal Barat, demikian pula sampah dan endapan-
endapan akibat aktivitas manusia terbawa dari saluran-saluran lebih kecil yang
masuk ke saluran ini. Pendangkalan Banjir Kanal Barat mengurangi kapasitas air
yang dapat ditampungnya.

Gambar 3.6 Peningkatan Kapasitas Banjir Kanal Barat di bagian Hulu

Gambar 3.7 Peningkatan Kapasitas Banjir Kanal Barat di Bagian Hilir


Pada tahun 2006 pemerintah mengganti tembok di kedua sisi Banjir Kanal
Barat dengan beton, dan tingginya dinaikkan sekitar satu meter. Tembok di kedua
tepi Banjir Kanal Barat tersebut sebelumnya hanya berupa tanah dan belum
pernah dirubah semenjak dibangun pada zaman Belanda.

3.4 Program Normalisasi Sungai dan Saluran


Ketiga belas sungai yang mengalir di Jakarta menjadi unsur penting dalam
tata kelola air dan pengendalian banjir yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah melakukan normalisasi sungai adalah untuk
menciptakan kondisi sungai dengan lebar dan kedalaman tertentu sehingga sungai
tersebut mampu mengalirkan air sampai pada tingkat tertentu sehingga tidak
terjadi luapan dari sungai tersebut. Kegiatan normalisasi sungai berupa
membersihkan sungai dari endapan lumpur dan memperdalamnya agar kapasitas
sungai dalam menampung air dapat meningkat. Ini dilakukan dengan cara
mengeruk sungai tersebut di titik titik rawan kemacetan aliran air.
Upaya pemulihan lebar sungai merupakan bagian penting dari program
normalisasi sungai. Pelebaran sungai juga meningkatkan kapasitas sungai dalam
menampung dan mengalirkan air ke laut. Dengan kepadatan penduduk yang terus
meningkat karena Jakarta menjadi tumpuan untuk mendapatkan mata pencaharian,
permukiman ilegal dapat ditemukan dimana-mana. Bantaran sungai menjadi
sasaran utama bagi rumah-rumah ilegal ini, karena dekat dengan sumber air.
Semakin banyak rumah yang dibangun di bantaran sungai-sungai yang melewati
Jakarta ini, akan semakin sempit sungai tersebut, dan semakin rendah
kemampuannya untuk menampung air dan semakin tinggi kemungkinan untuk
menimbulkan banjir dan genangan air di sekitar permukiman yang letaknya dekat
sungai.

3.4.1 Normalisasi Sungai


Salah satu program normalisasi sungai yang berskala cukup besar adalah
program normalisasi Kali Angke yang dimulai tahun 2003. Sebelum normalisasi
lebar Kali Angke hanya 5 meter dan sesudah normalisasi dan dibersihkan
bantarannya, lebar sungai ini menjadi 40 meter. Penduduk Kali Angke yang telah
lama tinggal di gubuk - gubuk ilegal di bantaran Kali Angke dipindahkan ke
rumah susun di Muara Angke dan Cengkareng.

Gambar 3.8 Normalisasi Kali Angke dengan penataan pemukiman

Gambar 3.9 Pemukiman Kali Angke Setelah Diadakan Penataan

3.4.2 Pemeliharaan Sungai


Pemeliharaan sungai merupakan kegiatan rutin Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta yang dilakukan dengan mengeruk sungai-sungai yang mengalami
pendangkalan karena endapan lumpur dan sampah.

Gambar 3.10 Kali Ciliwung Istiqlal sebelum dan sesudah dibersihkan


3.4.3 Antisipasi Pasang dan Pembuatan Tanggul
Salah satu tantangan besar yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
adalah banjir yang disebabkan oleh gelombang pasang laut yang sering disebut
sebagai banjir rob. Banjir tersebut tidak saja disebabkan oleh kenaikan tinggi
permukaan air laut akibat pasang surut laut tetapi juga karena banyak lokasi di
pesisir utara Jakarta memang berupa dataran rendah dengan ketinggian di bawah
permukaan laut, sehingga bila terjadi gelombang pasang laut agak besar banjir
pun melanda pemukiman warga. Selain itu, ada tanda-tanda bahwa lokasi-lokasi
ini masih terus mengalami penurunan muka tanah yang disebabkan oleh
penyedotan air bawah tanah oleh penduduk Jakarta untuk kepentingan rumah
tangga sehari-hari dan untuk industri.
Hal ini sudah menjadi salah satu perhatian utama Gubernur DKI yang
mengatakan bahwa di kawasan bisnis dan industri tertentu, dalam 20 tahun
terakhir terjadi penurunan permukaan tanah sampai 1,5 meter. Akibatnya, kedepan
warga Jakarta terancam kekurangan air bawah tanah. Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta telah membangun tanggul Rob Muara Angke, Muara Karang, Pluit, Luar
Batang, Cilincing, Marunda dan Martadinata di bagian Pantai Utara Jakarta pada
tahun 2008 dan 2009 untuk melindungi warga dari banjir rob. Tanggul beton
maupun tanggul batu kali yang dibangun panjangnya kurang lebih 3000 meter
dengan ketinggian yang bervariasi antara 1 sampai dengan 3 meter di atas
permukaan tanah. Jika terjadi pasang naik, limpahan air laut akan tertahan tanggul
beton dan tidak membanjiri warga.

Gambar 3.11 Tanggul Muara Angke


Gambar 3.12 Tanggul Clincing sebelum dan sesudah dibangun

Gambar 3.13 Tanggul Marunda sebelum dan sesudah dibangun

Gambar 3.14 Peta Pembangunan Tanggul Rob di Clincing dan Marunda


Pantai Utara Jakarta

3.4.4 Penataan Kali dan Saluran


Selain memperbaiki dan meningkatkan kapasitas sungai dan saluran-
saluran air, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga berupaya membuat lokasi-
lokasi ini menjadi lebih nyaman bagi warga. Pinggiran sungai dan saluran yang
sebelumnya terbuat dari tanah dilapisi dengan beton untuk mengukuhkan dinding-
dinding sungai dan saluran air sehingga mampu menahan volume air yang besar.
Selain membangun trotoar yang lebarpemerintah juga dan menanami tepi sungai
dan saluran air dengan pepohonan.

Gambar 3.15 Penataan Kali Pakin

3.4.4 Pembangunan Pompa


Pembangunan Pompa disini dimaksudkan untuk mengalirkan genangan air
ke laut. Pembangunan pompa ini banyak dilakukan di Jakarta bagian utara yang
lokasinya berupa daratan rendah dengan ketinggian di bawah permukaan laut.
Selain memasang pompa-pompa yang berkekuatan besar, Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta juga membangun sistem polder di semua Wilayah DKI Jakarta yang
sering mengalami penggenangan air. Sistem polder adalah suatu cara
penangangan banjir dengan bangunan fisik yang terdiri dari sistem drainase,
kolam retensi (penahan), tanggul yang mengelilingi kawasan, serta pompa dan
atau pintu air sebagai satu kesatuan pengelolaan air yang tidak dapat
dipisahkan19. Semua elemen di atas memainkan peran penting dalam melindungi
wilayah dari banjir. Keunggulan sistem polder adalah kemampuannya
mengendalikan banjir dan genangan akibat aliran dari hulu, hujan setempat dan
naiknya air laut.
Kunci utama sistem poder adalah tanggul atau waduk. Tanggul berfungsi
untuk menahan air dari luar area, sedangkan waduk berfungsi untuk menampung
air baik dari dalam maupun luar area. Pompa-pompa air berfungsi untuk
membuang air dari dalam waduk. Setiap saat air meninggi dengan cepat pompa
akan mengalirkan air ke laut.

Gambar 3.16 Pembangunan Pompa Cideng

Gambar 3.17 Pembangunan Pompa Cideng


BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang diuraikan dalam makalah ini maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Permasalahan banjir di Jakarta adalah masalah yang komplek, yang
memiliki kendala – kendala dalam pengendaliannya mulai dari masalah Reklamasi
Perilaku
Penduduk, Tata guna lahan, dan pembangunan bangunan pengendali banjir
Pantai
Masyarakat
yang membutuhkan waktu dan dana yang besar.
2. Pengendalian banjir di Jakarta yaitu Pembangunan Banjir Kanal Barat dan
Timur, Normalisasi Sungai dan Saluran termasuk di dalamnya
Pemeliharaan sungai, Pembuatan Tanggul, Penataan kali dan Saluran, dan
pembangunan pompa di dataran rendah. Sehingga banjir yang terjadi di
Jakarta sekarang berkurang meskipun masih ada beberapa kejadian.
3. Saat ini yang diperlukan adalah kepedulian penduduknya sendiri tentang
bagaimana mereka dapat menjaga lingkungannya dengan baik dan
menjaga supaya bangunan pengendali banjir tidak rusak sehingga dapat
beroperasi dengan baik dan tidak menimbulkan banjir lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Saketi M. 2010. Mengapa Jakarta Banjir?. PT Mirah Saketi, Jakarta.


Esther B. 2007. Kajian Upaya Pengendalian Banjir di DKI Jakarta. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Presss, Bogor.
Eriyatno. 1989. Analisis Sistem Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi.
IPB. Bogor.
Suriadi, A.B. 2002. Analisis Sederhana dari Kompleksitas Masalah Banjir
Jakarta. Bakosurtanal.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kota merupakan tempat bagi banyak orang untuk melakukan berbagai aktivitas,
maka untuk menjamin kesehatan dan kenyamanan penduduknya harus ada sanitasi yang
memadai, misalnya drainase. Dengan adanya drainase tersebut genangan air hujan
dapat disalurkan sehingga banjir dapat dihindari dan tidak akan menimbulkan dampak
ganguan kesehatan pada masyarakat serta aktivitas masyarakat tidak akan terganggu.

Secara umum fungsi saluran drainase adalah untuk mengurangi kelebihan air, baik
yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu
kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Sistem ini mempunyai
peranan yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang sehat, apalagi di
daerah yang berpenduduk padat seperti di perkotaan. Kualitas manajemen suatu kota
dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada. Sistem drainase yang baik dapat
membebaskan kota dari genangan air. Genangan air menyebabkan lingkungan menjadi
kotor dan jorok, menjadi sarang nyamuk, dan sumber penyakit lainnya,

Semarang digambarkan sebagai sebuah kota yang berada di tepian air, di mana
masalah-masalah banjir terjadi karena turunnya permukaan tanah di kawasan pantai dan
adanya kenaikan permukaan air laut. Sebagai akibat dari fenomena ini, terjadi banjir
setiap hari dan genangan setinggi beberapa cm bahkan sampai desimeter merupakan
pemandangan umum di sekitar pelabuhan Semarang. Hal ini menyebabkan gangguan
serius kepada masyarakat, dan juga menyebabkan gangguan pada pengembangan
ekonomi daerah secara signifikan juga menyebakan banyak perusahaan yang hengkang
dari wilayah ini. Masalah-masalah ini sangat akut dan memerlukan perhatian serius dan
harus segera ditanggulangi. . Salah satu solusi dari masalah im adalah dengan
membuat sistem polder

1.2. Rumusan Masalah


1. Permasalahan banjir rob dan genangan air di daerah banger Kota Semarang .

2. Bagaimana cara mengatasi permasalahan banjir rob dan genangan air di daerah
banger Kota Semarang .

1.3. Batasan Masalah


Strategi mengatasi permasalahan banjir rob dan genangan air di daerah banger
Kota Semarangn dengan cara sistim Polder .

1.4. Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan penulisan makalah ini antara lain :

1. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa khususnya dalam proses perencanaan


saluran drainase.
2. Memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada mahasiswa
mengenai kondisi fisik saluran drainase khususnya sistem polder ini.
3. Memberikan pedoman dalam memecahkan kasus seperti yang akan
dibahas pada makalah yang disusun.
BAB II

METODOLOGI

2.1 Sistem Drainase

Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainase mempunyai arti


mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik
sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis
untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan,
maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi
kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk
mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi, drainase
menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah.

Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan
yang sangat penting. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari kualitas
sistem drainase yang ada. Sistem drainase yang baik dapat membebaskan kota
dari genangan air. Genangan air menyebabkan lingkungan menjadi kotor dan
jorok, menjadi sarang nyamuk, dan sumber penyakit lainnya, sehingga dapat
menurunkan kualitas lingkungan, dan kesehatan masyarakat.

Air hujan yang jatuh di suatu daerah perlu dialirkan atau dibuang agar tidak
terjadi genangan atau banjir. Caranya yaitu dengan pembuatan saluran yang dapat
menampung air hujan yang mengalir di permukaan tanah tersebut. System saluran
diatas selanjutnya dialirkan ke system yang lebih besar. System yang terkecil juga
dihubungkan dengan saluran rumah tangga dan system bangunan infrastruktur lainnya.
Sehingga apabila cukup banyak limbah cir yang berada dalam saluran tersebut perlu
diolah (treatment). Seluruh proses ini disebut drainase.

Drainase pada prinsipnya terbagi atas 2 (dua) macam yaitu :

1. Drainase untuk daerah perkotaan


2. Drainase untuk daerah pertanian
Pada perencanaan dan pengembangan system drainase kota perlu kombinasi
antara perkembangan perkotaan, daerah rural dan daerah aliran sungai (DAS). Untuk
pengembangan suatu wilayah baru di perkotaan, perancangannya harus disesuaikan
dengan system drainase alami yang sudah ada maupun yang telah dibuat.
Sesuai dengan prinsip sebagai jalur pembuangan maka pada waktu hujan, air
yang mengalir di permukaan di usahakan secepatnya dibuang agar tidak menimbulkan
genangan – genangan yang dapt mengganggu aktivitas di perkotaan dan bahkan dapat
menimbulkan kerugian sosial ekonomi terutama yang menyangkut aspek – aspek
kesehatan lingkungan pemukiman kota. Namun bagi pengembangan sumber daya air,
perlu diperhatikan pula daerah resapan yang dapat difungsikan, sehingga air hujan tidak
terbuang percuma kelaut karena merupakan sumber air yang dipakai pada musim
kemarau.

2.2 Fungsi Drainase

Fungsi dari drainase adalah :


1. Membebaskan suatu wilayah (terutama yang padat pemukiman ) dari genangan
air atau banjir.
2. Apabila air dapat mengalir dengan lancar maka drainase juga berfungsi
memperkecil resiko kesehatan lingkungan , bebas dari malaria (nyamuk) dan
penyakit lainnya.
3. Drainase juga dipakai untuk pembuangan air rumah tangga. Semua system aliran
pembuangan rumah dialirkan menuju system drainase. Dalam menentukan
dimensi system jaringan drainase, intensistas hujan dengan periode ulang
tertentu di suatu system jaringan drainase dipakai sebagai dasar analisis
perhitungan karena kuantitasnya jauh lebih besar dibandingkan aliran dari
rumah tangga atau domestik lainnya.

2.3 Sistem Jaringan Drainase


System jaringan drainase di dalam wilayah kota di bagi atas 2 bagian yaitu : drainase
major dan drainase minor. Konfigurasi system drainase secara umum dapat ilihat
gambar berikut ini :

a. Sistem Drainase Mayor (utama)


System drainase mayor adalah system saluran/badan air yang menampun
dan mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air hujan (catchment area).
System drainase mayor ini disebut juga sebagai system saluran pembuangan
utama. System ini merupakan penghubung antara drainase dan pengendalian
banjir. Debit rencananya dipakai untuk system drainase ini periode ulang lebih
antara 5 sampai 10 tahun. Sedangkan untuk pengendalian banjir di Indonesia
mengingat keterbatasan dana untu sungai – sungai besar dipakai periode ulang
antara 25 sampai 50 tahun. System mayor biasanya meliputi saluran drainase
primer dan sekunder.
b. Sistem Drainase Mikro
System drainase mikro adalah system saluran dan bangunan pelengkap
drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan
dimana sebagian besar di dalam wilayah kota. Secara keseluruhan yang
termasuk dalam system drainase mikro adalah saluran di sepanjang sisi jalan
saluran/selokan air hujan di sekitar bangunan, gorong – gorong, saluran
drainase kota dan lain sebagainya dimana debit air yang dapat ditampungnya
tidak terlalu besar.
Pada umumnya drainase mikro ini direncanakan untuk hujan dengan
masa kala ulang 2 dan 5 tahun tergantun pada tata guna tanah yang ada.
System drainase untuk lingkungan pemukiman lebih cenderung sebagai system
drainase mikro. System mikro biasanya meliputi saluran drainase tersier dan
kuarter.
Konfigurasi Sistem Drainase Perkotaan (Grigg, 1996 dengan modifikasi)
2.4 Perencanaan Sistem Drainase

Dalam setiap kegiatan perencanaan sistem drainase, selalu dilakukan


beberapa tahap atau prosedur sebagai berikut :

Mulai

Data:

Site plan
Peta topografi
Data Curah Hujan

Perencanaan Sistim Jaringan


Drainase

Analisis Hidrologi

Analisis Hidrolika

Cek

Q renc < Q sal

Selesai

TIDAK
YA
2.5 Sistem Polder

Sistem Polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan bangunan fisik, yang
meliputi sistem drainase, kolam retensi, tanggul yang mengelilingi kawasan, serta pompa
dan / pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air tak terpisahkan. Tujuan dari
pengembangan sistem Polder ini adalah untuk memberikan model pengendalian banjir
perkotaan yang terpadu. Sistem Polder tersebut diadaptasi dari Negara Belanda dan
Singapura

(Sumber : Laporan Akhir ” Pengembangan Teknologi Bangunan Air Pengendalian Banjir


Perkotaan Menuju Waterfront City”)

Latar belakang dikembangkannya sistem Polder antara lain :


 Pengembangan Kota - Kota pantai di Indonesia seperti Jakarta dan
Semarang seringkali lebih didasarkan kepada kepentingan pertumbuhan
ekonomi.
 Pengembangan kawasan-kawasan ini menimbulkan banjir yang
menunjukkan ketidak seimbangan pembangunan.
 Perlu upaya peningkatan / Pengembangan aspek Teknologi dan
Manajemen, untuk pengendalian banjir dan ROB di kota-kota pantai di
Indonesia, untuk itu Sistem Polder dikembangkan karena menggunakan
paradigma baru, yaitu :
a. Berwawasan lingkungan (environment oriented),
b. Pendekatan kewilayahan (regional based),
c. Pemberdayaan masyarakat pengguna
 Keunggulan Sistem Polder
Sistem Polder mampu mengendalikan banjir dan genangan akibat aliran dari
hulu, hujan setempat dan naiknya muka air laut (ROB).
 Kelemahan Sistem Polder
1. Bekerjanya sistem ini sangat bergantung pada pompa. Jika pompa mati,
maka kawasan akan tergenang.
2. Biaya operasi dan pemeliharaan relatif mahal.
 Penggunaan Sistem Polder
1. Mengendalikan air.
2. Obyek Wisata / Rekreasi.
3. Lahan Pertanian / Perikanan.
4. Lingkungan Industri dan Perkantoran.
 Kriteria Desain
Kelengkapan Sarana Fisik antara lain : Saluran air/ Kanal/ Tampungan
memanjang/Waduk, Tanggul dan Pompa a. Saluran air / Kanal / Tampungan
Memanjang dan Waduk Saluran air / Tampungan Memanjang dan Waduk
dibangun sebagai sarana untuk mengatur penyaluran air ketika elevasi air di titik
pembuangan lebih tinggi dari elevasi saluran di dalam kawasan.
 Tanggul
Tanggul dibuat di sekeliling kawasan guna mencegah masuknya air
kedalam kawasan, baik yang berasal dari luapan sungai, limpasan permukaan atau
akibat naiknya muka air laut. Sebaliknya dengan adanya tanggul, air yang ada di
dalam kawasan tidak dapat keluar. Tanggul dibuat dengan ukuran yang lebar,
besar, dan tinggi serta dapat difungsikan sebagai jalan. c. Pompa Air Pompa air
berfungsi mengeringkan air pada badan air, yang bekerja secara otomatis apabila
volume / elevasi air melebihi nilai perencanaan.

Sistematika Pelaksanaan Pembangunan Sistem Polder

1. Perencanaan dan Pemrograman meliputi:

a. Identifikasi Proyek

b. Pra studi kelayakan

c. Studi kelayakan
d. Perencanaan rinci.

2. Pelaksanaan Pembangunan

a. Persiapan Konstruksi

b. Pelaksanaan Konstruksi

c. Project Completion Report (PCR)

3. Operasi dan pemeliharaan

Terdapat hal – hal yang perlu ditekankan dalam operasi dan pemeliharaan yaitu :

a. Tahap operasi dan pemeliharaan adalah sangat penting, karena merupakan


salah satu sasaran utama pembangunan sistem drainase. Berhasilnya
pengoprasian dan pemeliharanya suatu hasil pembangunan sistem drainase
menjadi indikator kinerja bagi pelaksanaan pembangunan yang
berkelanjutan.
b. Sebagai dasar pengelolaan operasi dan pemeliharaan yang efektif dan
efesien diperlukan proses perencanaan dan pemrograman, pelaksanaan,
pengawasan dan pengendalian, serta evaluasi dan monotoring O & P yang
serupa dengan perencanaan,pemrograman, dan pelaksanaan pembangunan.
c. Memperhatikan tuntutanyang berkembang di masyarakat dalam era
reformasi ini maka kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan
kelembagaan sangat menentukan. Kepuasan pengguna (masyarakat) harus
menjadi salah satu prinsip dalam memberikan pelayanan.
1. Evaluasi dan monitoring
Evaluasi dan monitoring merupakan bagian yang sangat esensial dalam
manajemen sistem drainase. Evaluasi dan monitoring dilakukan pada setiap
tahap kegiatan pembangunan, mulai dari perencanaan sampai tahap operasi dan
pemeliharaan.

a. Tahap Sebelum Proyek (Evaluasi Perencanaan)


 Kelayakan Teknis
 Kelayakan Ekonomi
 Kelayakan Finansial
 Sosial Budaya
 Lingkungan
 Perundangan
 Kelembagaan
b. Tahap Saat Proyek Berjalan (Evaluasi Pelaksanaan)
 Kendali mutu (kualitas)
 Kendali Kuantitas
 Kendali Waktu
c. Tahap Setelah Proyek (Evaluasi kinerja)
 Indikator Operasi
 Indikator Pemeliharaan
 Indikator Genangan dll
BAB III

KONDISI DAERAH STUDI

3.1. Kondisi Daerah Studi


Secara geografis Semarang terletak antara 6 derajat 50’ – 7 derajat 10’ lintang
selatan dan garis 109 derajat 35’ – 110 derajat 50’ Bujur Timur, dengan batas-batas
sebelah utara dengan laut Jawa, sebelah timur dengan Kabupaten Demak, sebelah
barat dengan Kabupaten Kendal dan sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang.
Suhu udara berkisar antara 20 - 30 derajat Celsius dan suhu rata-rata 27 derajat
Celsius.

Kota Semarang yang memiliki luas 373,70 km atau 37.366.836 Ha terdiri


dari 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan. Penduduknya sangat heterogen terdiri
dari campuran beberapa etnis, Jawa, Cina, Arab dan keturunanya. Juga etnis
lain dari beberapa daerah di Indonesia yang datang di Semarang untuk
berusaha, menuntut ilmu maupun menetap selamanya di Semarang.
Mayoritas penduduk memeluk agama Islam, kemudian berikutnya adalah
Kristen, Katholik, Hindu da Budha. Mata pencaharian pendududuk beraneka
ragam, terdiri dari pedagang, pegawai pemerintah, pekerja pabrik dan petani.
Gambar 2.1 Peta Kota Semarang
3.2. Keadaan Topografi
 Data digital elevasi muka tanah dengan kisi-kisi 50 m untuk polder, diukur selama
3 tahun terakhir, dengan tanda alam yang baik (tidak ada penurunan
permukaan dari tanda alam atau patok tersebut);
 Data digital elevasi muka tanah dengan kisi-kisi 150 m di luar polder, dengan
batas-batas kawasan polder sebagai berikut:
 Sisi timur: Banjir Kanal Timur;
 Sisi utara: 300 m
 sisi barat: Jalan Empu Tantular, Jalan Merak, Kali Baru, Jalan Ki
Mangunkarso, Jalan Erlangga Timur;
 sisi selatan: Jalan Sriwijaya;
 beberapa file elektronik juga telah dikumpulkan dari Dinas PU Semarang
(DPU, 2006). Peta elevasi permukaan yang ada sekarang (model digital
elevasi muka tanah) di Semarang. Model ini ditentukan oleh titik-titik
ketinggian dan garis-garis kontur ketinggian. Di kawasan polder
percontohan, titik-titik ketinggian ini sangat padat adanya.

Peta elevasi permukaan tanah di kawasan polder percontohan dapat dilihat pada
Gambar 3.7. Pada bagian utara kawasan (sebelah Utara Jl. Citarum) sebagian di bawah
elevasi muka air laut rata-rata (MALR). Elevasi permukaan tanah berada di antara 0.8 m-
MAR dan +0.6 m+MAR. Di bagian tengah (antara Jl. Kartini dan Jl. Citarum), elevasi
permukaan tanah di atasMALR: 0.00+MAR sampai dengan +1.6m+MAR. Di sebelah
selatan (sebelah Selatan Jl.Kartini) relatif tinggi, 1.6 m sampai dengan +6.1 m+MAR.

Perlu diperhatikan bahwa ada kemungkinan data yang diperoleh sudah tidak tepat
lagi karena dua alasan, yaitu:

 penurunan permukaan tanah (ambles);


 permukiman di kawasan tersebut, yang digunakan untuk survei.
Gambar 3.7. Kondisi topografi wilayah Banger (Witteveen+Bos, 2008)
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Analisa Masalah

Banjir merupakan peristiwa yang umum di Indonesia, khususnya pada


musim hujan, mengingat hampir semua kota di Indonesia mengalami bencana
banjir. Peristiwa ini hampir setiap tahun berulang, namun permasalahan ini sampai
saat ini belum terselesaikan, bahkan cenderung makin meningkat, baik
frekuensinya, luasannya, kedalamannya, maupun durasinya.

Semarang digambarkan sebagai sebuah kota yang berada di tepian air, di mana
masalah-masalah banjir terjadi karena turunnya permukaan tanah di kawasan pantai dan
adanya kenaikan permukaan air laut. Sebagai akibat dari fenomena ini, terjadi banjir
setiap hari dan genangan setinggi beberapa cm bahkan sampai desimeter merupakan
pemandangan umum di sekitar pelabuhan Semarang. Hal ini menyebabkan gangguan
serius kepada masyarakat, dan juga menyebabkan gangguan pada pengembangan
ekonomi daerah secara signifikan juga menyebakan banyak perusahaan yang hengkang
dari wilayah ini. Masalah-masalah ini sangat akut dan memerlukan perhatian serius dan
harus segera ditanggulangi. Gambar skematik polder perkotaan dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
Gambar 2.2.Tata letak skematik polder perkotaan

Ide memilih sistem polder perkotaan percontohan di Semarang adalah sebagai hasil dari
kerja sama antara pihak pemerintah Indonesia dengan pihak Kerajaan Belanda dengan
sasaran sebagai berikut:

 pertukaran ilmu pengetahuan tingkat tinggi;


 adaptasi teknologi dan metodologi dari pihak Belanda dengan meyediakan
kegiatan stimulan;
 implementasi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu dan Model Pengendalian
Banjir dalam konteks perkotaan.

Untuk mendukung sasaran dan tujuan tersebut suatu polder percontohan dipilih
dan dalam hal ini wilayah Banger di Semarang.

4.2. Akar Permasalahan

Kota-kota di Indonesia secara umum didesain dengan sistem drainase


terbuka, di mana air hujan akan masuk ke dalamnya. Pemeliharaan sistem ini
sering kali di bawah tingkat atau standard yang diperlukan. Di samping itu,
sistem-sistem seperti ini sering tersumbat oleh sampah-sampah, seperti sampah
plastik dan sebagainya. Akibatnya, air hujan dan air selokan tidak dapat mengalir
dengan lancar. Di samping daerah penyimpanan air (retensi) tidak cukup tersedia,
dan kadang-kadang sistem pompa juga tidak digunakan pada sistem drainase.
Selanjutnya, perencanaan pada tingkat wilayah sungai hanya dikembangkan pada
cakupan dan tingkat terbatas. Penggundulan hutan di bagian hulu menyebabkan
terjadinya erosi lahandalam skala besar dan sedimentasi pada sistem aliran sungai,
baik di daerah pedesaan mau pun di daerah perkotaan. Perluasan dan
pengembangan kota-kota yang begitu cepat dan sering tidak terkendali sering ikut
memperburuk kondisi, terutama berkaitan dengan penyediaan air untuk industri
dan untuk air minum. Untuk memenuhi kebutuhan seperti itu, opsi terbaik adalah
menggunakan air dari air sungai tetapi proses pengelolaan kualitas harus
disediakan dan hal ini sangat mahal. Solusi lebih mudah adalah dengan menyedot
air tanah tetapi ini akan menyebabkan turunnya permukaan tanah (ambles) secara
serius. Untuk jangka panjang, penyedotan air tanah dan menurunnya permukaan
tanah akan menyebabkan meningkatnya intrusi air laut ke dalam sistem air tanah
dan pada akhirnya meningkatnya masalah banjir.

Untuk memecahkan masalah-masalah seperti di atas, dalam kerangka kerja


perencanaan Polder Percontohan Banger, harus diterapkan suatu pendekatan
terpadu dan menerapkan partisipasi masyarakat.

Untuk permasalahan di daerah Banger Semarang, penyebab yang sangat


mendasar adalah:
1) debit curah hujan yang ekstrim
2) Pesatnya pertumbuhan urbanisasi di Semarang
3) Banjir disebabkan oleh tingkat air yang tinggi di luar polder
4) Genangan yang disebabkan oleh hujan deras
5) Kedua jenis banjir yang diperkuat oleh penurunan tanah: Yang pertama
karena daerah pesisir semakin berada di bawah permukaan air laut
6) Perluasan area beraspal dan kelalaian pemeliharaan dan penyumbatan
dari drainase yang ada meningkatkan infrastruktur genangan tersebut.
7) Perubahan iklim akan lebih memperburuk situasi karena kenaikan permukaan
laut dan curah hujan meningkat pada musim hujan.
8) kurangnya pengalaman dan pengetahuan dalam pengelolaan dan
pengembangan zona pesisir secara terpadu
9) kurangnya dukungan dana yang diperlukan untuk pengembangan

4.3. Interaksi Tata Guna Lahan Dan Pengelolaan Tata Air Polder Banger

4.3.1. Aspek-Aspek Sumber Daya Air Polder Banger


4.3.1.1. Batas-batas Hidrologi
Perbatasan di sebelah selatan adalah Jalan Brigjen Katamso, bukan Jalan
Sompok, karena:
 daerah (antara Jalan Sompok dan Jalan Brigjen Katamso) sebagian besar
adalah daerah pembuangan air ke Banjir Kanal Timur dan bukan ke
Kali Banger;
 daerah sebelah selatan dari Jalan Brigjen Katamso adalah masuk
Kecamatan lain. Di lihat dari sudut pandang organisasi, mudah sekali
untuk tidak memasukan daerah ini ke dalam kawasan polder;
 daerah (antara Jalan Sompok dan Jalan Brigjen Katamso) adalah bagian
dari sebuah kampung (kelurahan) dan tidak termasuk seluruh kampung.
Dilihat dari sudut pandang sosial, akan lebih baik tidak meletakkan
batas wilayah di dalam sebuah kampung.

Sekalipun batas polder adalah Jalan Brigjen Katamso, masih akan ada
kebocoran yang datang dari daerah sebelah selatan melalui saluran-saluran
untuk lintasan kabel listrik/pipa yang berada di bawah jalan. Karena alasan
ini maka dibuat asumsi bahwa 75% dari kawasan sebelah selatan adalah
pembuangan air ke Kali Banger. Daerah aliran adalah 0.75*40 ha = 30 ha.
Pengumpulan data sistem drainase yang ada meliputi hal-hal berikut ini:
 Saluran primer dan sekunder (kisi-kisi 50 m):
 Dimensi-dimensi/penampang melintang saluran (luas pada tingkat
permukaan, talud, tingkat dasar);
 Arah arus/aliran;
 Saluran untuk lintasan kabel listrik/pipa:
 Dimensi-dimensi;
 Elevasi dasar;
 Panjang;
 Kondisi ( baru, di tengah, perlu diperbaiki);
 Pintu-pintu air:
 Elevasi ambang;
 Elevasi dan lebar pintu air yang mungkin;
 Kondisi (baru, di tengah, perlu diperbaiki),
 Operasi (jam-jam dibuka, jam-jam ditutup per-hari (rata-rata);
 Pompa:
 Tipe pompa dan kapasitasnya;
 Muka air di hulu (rata-rata) dan juga muka air di hilir (rata-rata);
 Kondisi (baru, di tengah, perlu diperbaiki);
 Operasi (jam-jam terpakai per hari);
 Jembatan-jembatan;
 Dimensi-dimensi tiang (jika ada);
 Tinggi lantai jembatan.

Data meteorologi :
 penelitian yang ada mengenai curah hujan;

 data curah hujan selama 100 tahun terakhir (jika mungkin) di


Semarang;

 data penguapan harian selama 25 tahun terakhir;

 data (kecepatan) angin.

Curah hujan
Tabel 3.1 menampilkan curah hujan untuk berbagai durasi dan
kemungkinan terjadinya. Angka angka ini diperoleh dari perhitungan
dengan menggunakan fungsi distribusi Gumbel (maksimum per tahun),
berdasarkan data tahun 1959-1966, 1976, 1978-2006 dari stasiun hujan
otomatik Semarang (96835). Di dalam buku pedoman Volume 3: Aspek
Teknik, prinsip dari fungsi distribusi Gumbel untuk berbagai durasi juga
dijelaskan.

Tabel 3.1. Curah hujanl (mm) (Witteveen+Bos, 2008)

MINO JAM T2 T5 T10 T25 T50

10 24 29 34 41 46

15 32 39 47 58 65

30 50 63 69 76 82

60 1 71 88 94 102 108

2 87 106 129 158 180

3 92 112 138 170 193

6 103 135 159 191 214

12 114 168 192 222 245

24 116 180 207 241 266

Analisis dengan metoda Gumbel ini juga dibandingkan dengan


hasil studi terdahulu yang dilaksanakan oleh PU, lihat Tabel 3.2. Dari
tabel ini sangat jelas kalau hasil studi terdahulu dan studi yang
dilaksanakan oleh proyek Polder Percontohan Banger memberikan hasil
yang sebanding.

Tabel 3.2. Hasil distribusi Gumbel dan studi terdahulu (mm/hari) untuk 24 jam
Witteveen+Bos, 2008)

Kemungkinan terjadinya (per tahun) Studi terdahulu Studi proyek Banger:


Gumbel

½ 120 116

1/5 175 180

1/25 225 241


Tabel 3.3 menyajikan analisis statistik untuk curah hujan di Semarang
berdasarkan data hujan tahun 1977 - 2007.

Tabel 3.3 Rata-rata, maksimum dan minimum curah hujan bulanan untuk
Semarang (1977 – 2007) (Witteveen+Bos, 2008)

Curah hujan 1977 - 2007 Maksimum Rata-rata curah Minimum curah hujan
Semarang hujan hujan bulanan bulanan
harian (mm)
(mm)
(mm)

Musim hujan Desember 253 306 106

Januari 276 399 145

Februari 252 329 82

Maret 192 241 72

Transisi April 117 197 38

Mei 141 156 26

Musim kering Juni 88 97 0

Juli 93 61 0

Agustus 77 58 0

September 130 90 0

Oktober 110 152 0

Transisi November 150 231 102

Rata-rata 2317
tahunan
Evaporasi

Tabel 3.4 menampilkan rata-rata evaporasi bulanan. Evaporasi ini


diperoleh dengan menghitung rata-rata evaporasi bulanan 1987-2006,
berdasarkan data stasiun Semarang (96835).

Tabel 3.4. Evaporasi bulanan

Bulan Evaporasi

(mm/hari)

Januari 3.60

Februari 3.75

Maret 3.98

April 4.17

Mei 4.17

Juni 4.18

Juli 4.88

Agustus 5.45

September 5.95

Oktober 5.57

November 4.52

Desember 3.82
Perubahan iklim
The Intergovernmental Panel on Climatic Change (IPCC) sudah
didirikan oleh WMO dan UNEP untuk menilai relevansi ilmiah, teknis,
dan sosial-ekonomi untuk memahami perubahan iklim, dampak-dampak
yang mungkin timbul dan opsi-opsi untuk adaptasi dan meringankan
dampaknya (mitigasi).

Temperatur
Temperatur di Indonesia akan mengalami peningkatan, meskipun
pemanasan diproyeksikan kurang dari pada rata-rata pemanasan global,
karena pengaruh letak lokasi yang dekat dengan laut. Tabel 3.5
menampilkan peramalan pemanasan global di Indonesia.

Tabel 3.5. Perubahan temperatur di Indonesia (°C, T = tahunan, H = Hujan, K = Kering)

Topik 2020 2050 2080

T H K T H K T H K

Pemanasan 1.05 1.12 1.01 2.15 2.28 2.01 3.03 3.23 2.82

Data hydrologi:
 sistem air daerah sekitar: arah arus saluran di daerah sekitar polder;
 muka air laut:
 Muka air pasang (rata-rata dan tinggi) dan muka air laut rata-
rata (MAR);
 Gelombang laut, angin (arah, frekuensi terjadinya, kekuatan
angin) dan kondisi gelombang.
Karasteristik pasang surut
Karasteristik pasang surut ditampilkan pada Tabel 3.6 (Daftar
Pasang Surut 2006, Dinas Hidro-Oseanografi) yang menampilkan muka
air maksimum dan minimum selama pasang purnama dan juga muka air
pada saat pasang perbani.

Tabel 3.6. Karakteristik pasang surut (Witteveen+Bos, 2008)

No. Kondisi pasang surut Singkatan Muka


air(m+MAR)
1. Air surut paling rendah pasang SRPA -0.50
2. purnama RRPA -0.37
3. Air surut rendah rata-rata pasang SRPI -0.10
4. purnama MALR 0.00
5. Air surut rendah paling rendah pasang APPT +0.10
6. perbani PTRR +0.38
7. Muka air laut rata-rata (Mean sea PTPA +0.50
level )
Air pasang paling tinggi
Air pasang tinggi rata-rata
Air pasang tertinggi pasang purnama

Prediksi yang diterima umum untuk kenaikan muka air laut adalah 0.20 m
dalam waktu 50 tahun, atau kenaikan 4 mm per tahun.

Kenaikan muka air laut


Disebabkan oleh pemanasan global, muka air laut akan meningkat.
The Intergovernmental Pannel on Climatic Change (IPCC)
memproyeksikan kenaikan muka air laut global sebesar 0.19 m sampai
dengan 0.58 m pada tahun 2100.

Gelombang laut
Suatu analisis gelombang laut sudah disarankan. Data untuk
tekanan muka air laut ditentukan dari NCDC. Data tersebut diukur pada
sebuah stasiun cuaca di daratan dan terdiri dari tekanan rata-rata per hari
yang diambil dengan periode waktu 6 tahun, dari 1994 sampai dengan
1999 dan ditampilkan pada Gambar 3.5. Gambar ini menunjukkan
tekanan permukaan air laut yang diukur di Semarang. Tekanan
maksimum dan minimum masing-masing adalah 1.005 mBar dan 1.0017
mBar. Selisih antara tekanan muka air laut rata-rata yang diukur adalah
12 mBar. Sebagai suatu pendekatan konservatif, selisih maksimum adalah
20 mBar. Perbedaan dalam tekanan muka air laut sama dengan perbedaan
dalam tekanan muka air laut, yaitu 0.20 m.

Gambar 3.5. Tekanan permukaan laut di stasiun cuaca Semarang (NCDC)

Kenaikan muka air akibat angin


Suatu analisis kenaikan muka air akibat angin sudah dilaksanakan.
Karena kecepatan angin yang berbeda, kenaikan muka air yang
ditimbulkan angin juga bervariasi pada setiap kemungkinan terjadinya.
Pada tahap ini, kecepatan angin dibulatkan dengan tingkat kenaikan muka
air setiap 0.05 m dan menyajikan nilai-nilai yang direkomendasikan (nilai
batas atas). Lihat Tabel 3.7.
Table 3.7. Kenaikan muka air akibat angin untuk berbagai kemungkinan
terjadinya

Kemungki Kecepatan angin Kecepatan angin


nan
terjadi (m/d) (m/d)

ARGO Kecenderungan lebih ARGOSS Kecenderunga Direkomendasika


(per
SS ekstrim n lebih n
tahun)
ekstrim

1/1 13.6 15 0.15 0.19 0.20

1/10 15.3 17 0.19 0.24 0.25

1/100 16.8 20 0.23 0.33 0.35

1/1,000 18.1 22 0.27 0.40 0.40

Kenaikan muka air akibat angin (wind set up) untuk polder
percontohan Semarang beradasarkan data ARGOSS dan gelombang
pasang berdasarkan data dari NCDC. Tabel 3.8 memperlihatkan nilai-nilai
yang direkomendasikan untuk kecepatan angin dan gelombang pasang
untuk setiap kemungkinan terjadinya. Kecepatan angin hanya akan terjadi
ketika air terperangkap, sehingga daerah tersebut akan menjadi:
 tertutup;
 relatif dangkal sehingga arus balik terbatas.

Tabel 3.8. Kenaikan muka air akibat angin berdasarkan data ARGOSS

Kemungkinan Direkomendasikan
terjadi
Kecepatan angin (m) Gelombang laut (m)
(per tahun)

1/1 0.20 0.20

1/10 0.25 0.20

1/100 0.35 0.20

1/1,000 0.40 0.20


Pada Gambar 3.6 ditarik dua opsi untuk suatu air dangkal teluk
tertutup. Dalam hal ini perhitungan kenaikan muka air akibat angin (wind
set up) digunakan garis sambung sebagai batas untuk domain tersebut;
pada garis itu air akan lebih dalam, tetapi jangkauannya lebih panjang (33
km), mengakibatkan kenaikan muka air akibat angin yang juga lebih
tinggi.

Gambar 3.6. Kemungkinan kondisi teluk yang tertutup dan panjang sumber angin

(Google Earth Pro)

4.3.1.2. Pembuangan Internal di dalam polder


Rumah tangga menghasilkan air limbah di dalam wilayah polder.
Sumber dari air limbah ini adalah berasal dari air tanah (yang disedot
pada kedalaman yang dalam) atau dari air minum, yang berasal dari luar
polder. Suatu indikasi pembuangan ini adalah sebagai berikut:
 Jumlah penduduk dalam kawasan mencapai 84.000 jiwa;
 Penggunaan air per orang: 185 l/hari;
 Jumlah penggunaan air: 15.500 m3/hari, tersebar di seluruh
areal polder;
 Air limbah dari industri menengah dan kecil: 2.600 m3/hari;
 Produksi air limbah adalah 18.000 m3/hari (= 0.2 m3/d).

4.3.1.3. Areal lahan


Tabel 3.9 menampilkan berbagai lahan di wilayah polder.
Berdasarkan atas asumsi-asumsi berikut ini, sebuah perbedaan dapat
dibuat antara areal-areal aliran yang berbeda:
 perumahan: 90% tertutup/, 10 % tidak tertutup/tidak tutup;
 air: 100 % air terbuka;
 lain-lain: 60 % tertutup, 40 % tidak tertutup.

Table 3.9. Tata guna lahan dalam ha (Witteveen+Bos, 2008)

Perumahan Air Lain lain Total

Kemijen 42 9 45 96

Rejomulyo 38 0 2 40

Mlatiharjo 46 2 7 55

Mlatibaru 35 2 3 40

Bugangan 34 2 10 46

Kebon Agung 34 0 3 37

Sarirejo 40 0 6 46

Rejosari 55 3 10 68

Karangturi 35 0 1 36

Karang Tempel 56 2 5 63

Total 415 20 92 527

Di Kemijen, sebagian besar daerah itu tidak disemen sampai saat


ini. Pada waktu yang akan datang, daerah ini akan dikembangkan menjadi
terminal peti kemas dan fasilitas-fasilitas pengangkutan lainnya. Asumsi
juga dibuat untuk daerah ini bahwa 60 % akan disemen dan 40 % tidak
akan disemen. Tabel 3.10 menampilkan luas area dengan kondisi
permukaan yang berbeda.

Tabel 3.10. Areal kedap, tidak kedap dan air terbuka dalam ha (Witteveen+Bos,
2008)

Kedap Tidak Air Total


kedap terbuka

Kemijen 64 23 9 96

Rejomulyo 35 5 0 40

Mlatiharjo 46 7 2 55

Mlatibaru 33 5 2 40

Bugangan 37 7 2 46

Kebon Agung 32 5 0 37

Sarirejo 40 6 0 46

Rejosari 56 10 3 68

Karangturi 32 4 0 36

Karang Tempel 53 8 2 63

Total project 428 79 20 527


area

4.3.2. Aspek Geo-teknik dan penurunan permukaan di kawasan


Polder Banger
Bagian sebelah utara Kota Semarang terdiri atas tanah datar
alamiah, yang melebar dari barat ke timur. Lebar di bagian barat adalah
4 km, 7 km di bagian tengah dan 12 km di bagian timur. Sedangkan
tanahnya terdiri atas endapan (deposit) tanah dan pasir (alluvial) yang
terbawa dari sungai-sungai dan anak-anak sungai.
Tanah ini terdiri atas tanah liat, pasir, endapan lumpur (silt) dan
batu kerikil (gravel). Polder Banger adalah bagian dari kawasan alluvial.
Bagian tengah pusat Kota Semarang (di sebelah selatan Polder Banger)
terdiri atas Formasi Damar. Formasi ini terdiri dari batu endapan
(sedimen), batu volkanik, batu aliran lava, batu intrusi dan juga batu
pyroclastik.

Data geo-hidrologi dan geo-teknik


 Tipe permukaan tanah dan lapisan tanah liat lebih dalam (Tabel 3.11);
 Tabel air tanah ari akifer dan air tanah phreatik (data selama 5 tahun
terakhir);
 Penyedotan air tanah saat ini di Semarang;
 Data geo-teknik yang diperlukan untuk konstruksi tanggul.
Kedalaman Nama Batas Batas Indeks Kandungan Rasio
cair plastis plastisita air alamiah rongga
(m) s
(%) (%) (%)
dari sampa
(%)
i

0 25 Tanah liat sangat 80 -120 30 – 40 40 – 90 40 – 80 1-2


lunak

Tanah liat
25 75 80 – 110 30 – 40 40 – 80 30 – 50 1 - 1.5
berlempung
sangat kaku

Lempung berpasir - - - - -
yang sangat kerast
>75

Kedalaman Nama Batas Batas Indeks Kandungan Rasio


cair plastis plastisita air alamiah rongga
(m) s
(%) (%) (%)
dari sampa
(%)
i

0 25 Tanah liat sangat 80 -120 30 – 40 40 – 90 40 – 80 1-2


lunak

Tanah liat
25 75 berlempung 80 – 110 30 – 40 40 – 80 30 – 50 1 - 1.5
sangat kaku

Lempung berpasir - - - - -
yang sangat kerast
>75

Tabel 3.11 Lapisan tanah dan jenisnya (Witteveen+Bos, 2008)

Profil tanah, stratifikasi tanah lapisan bawah dan parameter tanah dapat dilihat
pada Tabel 3.12 di bawah ini.

Tabel 3.12. Profil tanah (Witteveen+Bos, 2008)

Kedalaman (m) Uraian


Dari sampai

0 25 Tanah liat laut lembut, SPT blow counts bervariasi antara 3 – 10 blows/m.

Tanah liat setengah kaku s/d tanah liat kaku; SPT blow count kurang lebih
meningkat dengan kedalaman dari kira-kira 30 blows/ft s/d 80 blows/m
25 75
Endapan Lumpur keras berpasir /lapisan batu endapan lumpur
> 75

Geo-hidrologi Polder Banger


Hidrologi Polder Banger dapat lihat pada Gambar 3.8. Lapisan atas
terdiri atas endapan (deposit) tanah liat alluvial, pasir dan endapan
lumpur. Ketebalan lapisan ini adalah 65 m. Muka air tanah berkisar dari 2
m-permukaan di daerah sebelah utara sampai 4 m-permukaan di sebelah
selatan dari kawasan proyek.

Gambar 3.8. Geohidrologi Polder Banger (Witteveen+Bos, 2008)

Di bawah lapisan ini, terdapat dua akifer, yaitu:

 Akifer endapan Delta Garang. Ini adalah akifer bagian atas, yang terdiri atas batu
“breccia” volkanik, di kedalaman 65 m-permukaan. Ketebalannya 10 m.
Kemampuan mengalir akifer adalah 20 – 1000 m 2/hari. Akifer ini biasa naik ke
permukaan (artesian), tetapi karena penyedotan air tanah, tekanan hidraulik
tertarik lebih rendah sampai di bawah tingkat permukaan air laut dan bahkan
lebih rendah. Tekanan hidraulik turun lebih rendah dari 5 m-permukaan pada
tahun 1980 menjadi 17 s/d 25 m -permukaan.
 Akifer endapan Coast quaternary. Ini adalah akifer kedua, lebih rendah, dengan
kedalaman 85 m-permukaan. Ketebalannya 10 m dan kemampuan pengaliran
(transmissibility) adalah 100 – 500 m 2/hari. Tekanan hidraulik adalah 13 s/d 25
m+permukaan.

Penyedotan air tanah


Penyedotan air tanah dimulai pada tahun 1842 di kawasan Fort
Wilhelm I (sekarang dikenal sebagai Pelabuhan Tanjung Mas). Pada
tahun 2000 jumlah sumur dalam yang terdaftar ada 1029 unit dengan total
volume 39 juta m3/tahun (Siswanto dan Susilo, 2000). Jumlah sumur
meningkat 14% per tahun, tetapi peningkatan volume air disedot
meningkat hampir 34 %/tahun. Penyedotan air tanah oleh sumur-sumur
dalam di kawasan Semarang dapat dilihat pada Tabel 3.13.

Sedangkan, lokasi sumur-sumur dalam diperlihatkan pada Gambar


3.9. Penyedotan air tanah dapat menyebabkan naiknya permukaan air
laut (up coning) yang masuk pada kedalaman yang lebih dalam.
Penyedotan air tanah terjadi di kawasan industri, perkantoran dan
perumahan. Lapisan atas digunakan untuk air baku PDAM (persediaan
air) dan juga digunakan untuk air minum pribadi/swasta. Lapisan kedua,
lapisan yang lebih dalam, digunakan untuk penyedotan keperluan
industri-industri. Karena laju penyedotan air tanah melebihi dari laju
pengisian kembali, tekanan hidraulik dari akifer menjadi lebih rendah.
Gambar 3.9. Lokasi sumur air tanahs

Tabel 3.13. Debit pengambilan air tanah dengan sumur dalam


(Witteveen+Bos, 2008)

TAHUN JUMLAH SUMUR PENYEDOTAN AIR TANAH

M3/hari/sumur M3/hari M3/tahun

1900 16 73.1 1,170 427,050

1910 18 72.8 1,310 478,150

1920 18 77.8 1,400 511,000

1932 28 57.5 1,610 587,650

1982 127 295.0 37,460 13,672,900

1985 150 293.8 44,064 16,083,360

1990 260 236.8 61,570 22,473,050

1995 316 234.6 74,130 27,057,450

1996 659 122.3 80,594 29,416,810

1997 745 129.9 96,798 35,331,270

1998 776 127.6 98,998 36,134,270

1999 1060 103.3 109,531 39,978,815


2000 1029 104.3 107,369 39,189,685

Konservasi air tanah


Siswanto dan Susilo (2000) membagi konservasi air tanah di
Semarang berdasarkan atas kriteria sebagai berikut:
 Total volume air yang disedot;
 Maksimum penurunan air tanah (Kedalaman dan laju penurunan);
 Degradasi maksimum kualitas air tanah;
 Dampak negatif terhadap lingkungan.

Berdasarkan atas kriteria di atas, kawasan Semarang dibagi


menajdi 6 zona konservasi seperti dalam Gambar 3.10 di bawah ini.
 zone 1: zona kritis, yaitu zona yang terletak di pinggir pantai yang ditutupi
oleh endapan (deposit) alluvial dan dipisahkan oleh kontur piezometrik
dengan ketinggian 20 m-permukaan. Penurunan permukaan tanah juga
terjadi di kawasan dengan cepat. Tingkat permukaan air tanah di kawasan
ini 22 – 30 m dan kedalaman akifer berkisar 30 – 150 m. Penyedotan dari
akifer terbatas pada 100 m3/hari. Polder Percontohan Banger terletak di
zona kritis ini;

 zona 2: Zona berbahaya, yaitu zona yang berlokasi dekat kawasan pantai
tertutup oleh suspensi alluvial dan dipisahkan oleh kontur piezometrik
dengan ketinggian 10 – 20 m-permukaan. Zona ini merupakan daerah
penyangga (buffer zone) bagi zona kritis. Kedalaman akifer di kawasan ini
berkisar 30 – 90 m-permukaan dan penyedotan air tanah dari akifer
terbatas pada 60 m3/hari;

 zona 3: zona aman 1, yaitu zona yang berdekatan dengan pantai ditutupi
oleh suspensi alluvial dan lembah yang ditutupi oleh batu-batu volkanik
dari formasi Damar, dengan kontur piezometrik kurang dari 10 m-
permukaan. Penyedotan air tanah untuk industri masih diizinkan dengan
syarat penyedotan berada pada akifer dengan kedalaman 30 m dan
maksimum penyedotan 150m3/hari;

 zona 4: zona aman 2, yaitu zona yang terletak di kawasan perbukitan


terdiri atas batu-batu volkanik tua dari formasi Damar dengan suspensi
“breccia” dari gunung Ungaran. Muka air tanah berkisar antara 15 – 51 m-
permukaan. Akifer produktif memiliki kedalaman lebih dari 60 m.
Penyedotan air tanah untuk industri masih diizinkan, jika disedot dari akifer
yang memiliki kedalaman lebih dari 60 m dan dengan maksimum
penyedotan 200 m3/hari;

 zona 5: zona aman 3 (V), yaitu zona yang berlokasi di lembah gunung
Ungaran ditutupi oleh batu-batu volkanik tua dan batu-batu volkanik muda
yang dibentuk oleh gunung Ungaran dari lava Andesit dan Bassalt, breccias
dan lahar dingin. Muka air tanah berkisar 1 s/d 27 meter dari permukaan.
Kedalaman akifer adalah antara 20 – 80 m dari permukaan. Zona ini
berfungsi sebagai daerah pengisian kembali.

 zona 6: zona aman 4 (VI), yaitu zona yang terletak di pusat kota dan di
sebelah tenggara Semarang, berlokasi di kawasan berbukit, ditutupi oleh
batu-batu endapan (sedimen) tersier, batu (tanah) liat, napal, batu pasir,
batu konglomerat, breccias, dan batu kapur. Air asin ditemukan di
beberapa sumur di daerah ini.
Gambar 3.10. Zona konservasi air tanah

Penurunan permukaan tanah (ambles)


Seperti diketahui bahwa penurunan permukaan tanah terjadi di
bagian utara Kota Semarang. Beberapa penelitian sudah dilakukan pada
waktu yang lalu. Banyak penelitian juga telah dilakukan mengenai sistem
air tanah, dengan tujuan yang berbeda tetapi penyedotan air tanah yang
berlebihan telah diidentifikasi sebagai penyebab utama dari penurunan
permukaan tanah. Pengumpulan data meliputi hal-hal berikut ini:
 Riset yang ada mengenai penurunan permukaan tanah (ambles);
 Elevasi permukaan air tanah selama 50 tahun terakhir (jika ada);
 Penyedotan air tanah selama 50 tahun terakhir.

Pedoman ini menggambarkan dan membandingkan hasil beberapa


penelitian dan laporan-laporan serta prediksi penurunan permukaan tanah
pada waktu yang akan datang. Data dan peta juga telah dikumpulkan dari
sumber-sumber berikut ini:
 pengukuran batas di atas permukaan laut (“benchmark”) oleh JICA,
1997 dan pengukuran “benchmark” oleh Rencana Induk Drainase
Perkotaan Semarang (Semarang Urban Drainage Master
Plan/SUDMP), 2000;
 proyek Rencana Induk drainase perkotaan Semarang, Jilid 2, oleh PT.
Indah Karya, 2000;
 pengkajian Banjir dan sistem drainase dan efek penurunan air tanah
Kota Semarang, oleh PU, 2001;
 pengukuran elevasi bollard-B dan bollar-T pada kawasan PT. Sriboga
Ratu Raya Pelabuhan Tanjung Mas dengan TTG-449 Srondol
Semarang, oleh Politeknik Negeri Semarang, 2005;
 pemantauan Penurunan Permukaan Tanah di Semarang, Indonesia,
oleh Muh. Aris Marfai-Lorenz King, Journal of Environmental
Geology, Springer Berlin/Heildelberg.

Tingkat penurunan permukan tanah berkisar antara 5 cm/tahun di


kawasan bagian selatan sampai dengan 9 cm in kawasan bagian Utara.
Penurunan permukaan tanah tersebut sebagian besar disebabkan oleh
penyedotan air tanah.
Sebagai ringkasan, prediksi tingkat penurunan permukaan tanah di
Banger diperlihatkan pada Gambar 3.11 (Witteveen+Bos, 2008).

Gambar 3.11. Pra-kiraan penurunan permukaan tanah (ambles) di wilayah Banger

Penurunan permukaan tanah disebabkan menurunnya air tanah akan


berlangsung terus jika penyedotan di atas kapasitas pengisian kembali air tanah
terus berlangsung. Karena itu harus ada pengendalian dan pembatasan penyedotan
air tanah untuk keperluan industri atau permukiman, yang memerlukan perhatian
penuh dari pemerintah.

4.3.3. Aspek-aspek lingkungan Polder Banger


Pengumpulan data mengenai aspek-aspek lingkungan meliputi
fasilitas-fasilitas sanitasi yang ada saat ini dan sistem pengelolaan
sampah.
 sanitasi
 Lokasi dan tipe sistem sanitasi (seperti: septik tank);
 Jumlah pemakai per sistem sanitasi;
 Pemeliharaan dan umur sistem sanitasi;
 Tingkat kepuasan para pemakai.
 wabah/penyakit yang berhubungan dengan sanitasi, sumber-
sumbernya dan kualitas air (nutrisi, logam berat).
Sampah padat
Sampah padat rumah tangga dikumpulkan dalam keranjang
sampah di setiap rumah tangga. Kemudian, petugas sampah akan
mengambil sampah padat tersebut dan membawanya ke tempat
penimbunan sampah sementara (TPS). Di tempat ini, limbah padat
tersebut akan dimuat ke dalam truk-truk sampah dan dibawa ke tempat
pembuangan akhir (TPA) di Jatibarang di kabupaten Mijen. Volume
sampah padat tersebut diperkirakan mencapai 175 m3/hari. Proyek ini
menunjukkan bahwa warga menyadari masalah-masalah yang berkaitan
dengan sampah padat (berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan) dan
ingin memberikan kontribusi atau membayar iuran untuk sistem
pengelolaan sampah padat tersebut.

Intrusi air laut


Intrusi air laut yang disebabkan oleh eksploitasi akifer yang
berlebihan. Air tawar yang terkontaminasi dengan 5% air laut tidak lagi
dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum seperti air minum, pertanian
dan peternakan. Gambar 3.12 diperlihatkan kerucut di mana zona
percampuran antara air tawar dan air tanah asin, tanpa adanya peyedotan
air tanah.
Gambar 3.12. Zona percampuran air tanah asin tanpa penyedotan air tanah

Sedangkan, naiknya permukaan air tanah asin, disebabkan oleh


adanya penyedotan air tanah diperlihatkan dalam Gambar 3.13. Dalam
Gambar 3.13 tersebut diperlihatkan kerucut di mana kenaikan air asin
berada dan juga kerucut di mana terjadinya penurunan tekanan.

Gambar 3.13.Percampuran air tanah asin akibat adanya penyedotan air tanah
Ekologi

Untuk meningkatkan kualitas air dan alasan-alasan estetik (sosial), sangat


mungkin membuat suatu sungai lebih ekologis, dengan zona hijau sepanjang sungai
yang ditumbuhi oleh tanaman-tanaman (air) dan pepohonan, atau mungkin
dibuatkan sebuah taman rekreasi. Zona hijau ini juga dapat berfungsi sebagai retensi
atau dengan sistem zonasi. Selama dengar pendapat dengan warga, beberapa
warga mengisyaratkan keinginan mereka untuk memiliki sebuah daerah aliran sungai
yang lebih hijau. Namun demikian, risiko yang perlu dipertimbangkan adalah profil
ekologi sungai yang hijau tersebut mungkin akan digunakan untuk permukiman pada
waktu yang akan datang atau bahkan sebagai lokasi tempat pembuangan sampah.

Tambak ikan

Memancing dan menjual ikan bandeng merupakan sumber penting


pendapatn para nelayan. Habitat ikan bandeng adalah air yang payau. Dalam konsep
polder, air yang payau akan berubah menjadi air tawar. Akibatnya adalah, populasi
ikan bandeng akan menyusut atau bahkan akan menyebakan species ikan ini akan
punah. Karena itu, dalam desain konseptual, akan dilakukan penilaian antara:

 Mengubah menjadi memancing dan menjual ikan air tawar; atau


 Memasukan air laut ke dalam kolam-kolam ikan.

Untuk mencegah agar ganggang tidak tumbuh terlalu banyak, sistem


pengelolaan air tambak harus memiliki kemampuan membersihkan, dan ini harus
dilaksanakan secara cermat.

4.3.4. Aspek Desain Sistem Drainase dan Pengelolaan Tata Air Polder Banger
4.3.4.1. Prinsip-prinsip pengembangan polder
Dua mekanisme dalam desain polder yang relevan untuk menanggulangi banjir,
yaitu:
 muka air pasang di luar polder;
 muka air tinggi di dalam kawasan polder disebabkan hujan lebat.

a. Muka air pasang di luar polder


Secara historis, definisi keamanan perlindungan banjir ditentukan
oleh muka air tertinggi yang diketahui. Pertahanan/perlindungan banjir
didesain pada suatu elevasi ditambah dengan batas marginal tertentu.
Tingkat keamanan polder berkaitan dengan terlampauhinya frekuensi
muka air pasang yang telah ditentukan. Tingkat keamanan yang
diinginkan berkaitan dengan nilai ekonomi polder (perumahan,
masyarakat/warga, lingkungan dan lain-lain) dan risiko yang diterima
dikaitkan dengan kehidupan manusia. Ini relevan untuk dearah dataran
rendah di Belanda yang elevasinya dapat mencapai 7m-MAR.
Di Belanda, di mana konsep polder telah diterapkan berabad-abad
lamanya, perlindungan banjir dari polder-polder harus dapat menahan
kondisi-kondisi hidraulik ekstrim yang mungkin terjadi rata-rata sekali
per 10.000 tahun di bagian perkotaan Belanda dan 4.000 tahun di daerah
pedesaan. Standard ini merupakan hasil dari analisis komprehensif biaya-
manfaat (benefit-cost) dan keamanan. Gambar 8.2 memperlihatkan desain
muka air untuk tingkat keamanan yang berbeda. Desain muka air Polder
Banger T10.000 diperkirakan berdasarkan muka air dengan periode
ulang satu tahun sampai dengan perioda ulang 1.000 tahun. Polder
Banger sebagian besar akan melindungi fungsi-fungsi permukiman dan
komersial. Banjir akan menyebabkan kerusakan terhadap fungsi-fungsi
ini dan pengaruhnya secara progresif akan semakin buruk di mana
permukaan lahan polder akan turun lebih rendah dari elevasi muka air
laut. Setelah periode 15 tahun, polder akan sangat rendah sehingga akan
ada risiko terhadap kehidupan atau nyawa manusia. Dalam Gambar 8.2
dapat dilihat tingkat keamanan memiliki dampak kecil pada desain muka
air; perbedaan antara ketinggian puncak (crest height) adalah 1:1.000 atau
1:10.000 hanya berbeda kurang dari satu desimeter. Satu desimeter di sini
tidak signifikan dikaitkan dengan ketinggian tambahan yang perlu
dimasukkan untuk mengimbangi turunnya permukaan tanah. Karena itu,
dipilih desain kemungkinan dengan perioda ulang 10.000 tahun terhadap
tanggul-tanggul pengaman.

Gambar 8.2.Tingkat keamanan

b. Muka air tinggi di dalam polder


Dalam wilayah tanggul pelindung polder, potensi kerusakan akibat
banjir yang disebabkan oleh curah hujan terbatas pada kerusakan akibat
curah hujan dalam kawasan polder. Secara umum, hal ini tidak
berhubungan secara langsung dengan bahaya terhadap keselamatan
nyawa manusia, dan karena itu tingkat keamanan lebih rendah
diperbolehkan. Di Belanda, genanga dearah perkotaan, yang disebabkan
curah hujan ekstrim, dapat terjadi sekali dalam waktu 100 tahun.
Sedangkan, untuk Polder Banger desain kemungkinan terjadi genangan
sekali dalam waktu 25 tahun diusulkan pada Tahap 1. Walaupun periode
100 tahun akan direkomendasikan dilihat dari sudut pandang teknik,
tetapi dengan curah hujan ekstrim yang diberikan akan mengakibatkan
kebutuhan kolam retensi yang sangat besar, dan ini dianggap tidak
ekonomis atau secara sosial layak.
3 tipe polder dapat direkomendasikan untuk kawasan Banger, yaitu:
 polder secara gravitasi (Lihat Gambar 8.3.):
 sistem saluran gendong (Lihat Gambar 8.7.):
 sistem terpisah (Lihat Gambar 8. 8.)
Karena alasan kapasitas pembuangan dan kualitas air, disarankan
kedalaman air minimum adalah 50 cm. Sedangkan, ditinjau dari sudut
pandang lingkungan, kedalaman air seperti ini juga akan mencegah
kemungkinan untuk nyamuk-nyamuk bertelur.

4.3.4.2. Polder secara Gravitasi


Pada tipe “Polder gravitasi”, air di kawasan Banger akan mengalir
ke Utara secara gravitasi menuju ke titik paling rendah di dalam polder.
Dari titik paling rendah, air dibuang dengan menggunakan pompa. Sketsa
polder tipe ini dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Dari sketsa tersebut dapat dilihat air mengalir secara gravitasi dari
elevasi 1.5 m+MAR ke elevasi 0.7 m-MAR. Dari titik paling rendah ini,
air dibuang ke laut. Proses ini diperlihatkan pada Gambar 8.4. Karena
muka air (0.7 m-MAR) pada bagian polder paling rendah di mana lebih
rendah dari surut (0.4 m-MAR), maka air tidak dapat dibuang secara
gravitasi; tetapi air harus dibuang dengan menggunakan pompa.

Keperluan Konstruksi Sistem Polder


System polder ini dengan mudah dapat disesuaikan dengan system
drainase yang ada dan juga termasuk ke dalam kategori system gravitasi.
System ini memerlukan bangunan utama sebagai berikut :
 2 buah bendung dengan lebar puncak 5 m
 1 buah stasiun pompa (kapasitas kurang lebih 6 m3/d, dengan sebuah
pompa cadangan)
Gambar system gravitasi
pada polder banger

Gambar Polder Sistem Gravitasi

\
Sistem gravitasi

Kebutuhan Energi

Karena semua air ditampung kedalam titik paling rendah di polder,


kelebihan air dari bagian polder harus dibuang dengan pompa. Dengan
perbedaan tekanan hidraulik yang relative tinggi. Pembuangan air
pertahun mencapai 15,8 juta m3 ( curah hujan dikurang penguapan dan
air limbah ). Rata - rata tinggi hidraulik adalah 3,25 m pada tahun 10
pertama dan 14,15 m dari thaun ke-10 sampai dengan tahun ke-20.
Dengan tingkat efisiensi pompa 50%. Rata - rata konsumsi adalah
280.000 kWh pertahun pada 10 tahun pertama, dan 360,000 kWh
pertahun antara tahun ke-10 dan tahun ke-20.

Operasi dan pemeliharaan

Sistem Polder Banger memerlukan tingkat operasi dan


pemeliharaan yang relatif rendah. Sistem utama hanya memiliki 2 buah
bendung dan satu buah stasiun pompa.
Table 8.1. Konsumsi energi sistem gravitasi

Pembuangan Satuan
Curah hujan 2,330 Mm/tahun

Penguapan air terbuka dan tidak tertutup (kedap) 1,200 Mm/tahun

Penguapan tertutup (kedap) 270 Mm/tahun

Areal tertutup (kedap) 396 Ha

Areal tidak tertutup (kedap) dan air terbuka 164 Ha

Rata-rata penguapan (distribusi tertutup / tidak tertutup) 542 Mm/tahun

Infiltrasi -365 Mm/tahun

neto curah hujan dan infiltrasi 1,423 Mm/tahun

Air limbah 18,140 m3/hari

Air limbah 1,182 Mm/tahun

Areal sistem polder 560 Ha

Volume buangan (areal*(netto curah hujan + air limbah) 1.46E+07 m3/tahun

Kapasitas pompa 6 m3/detik

Jumlah jam terpakai (kapasitas penuh) 675.37 jam

Tinggi tekanan hidraulik

Desain muka air bagian udik (a)) 1.1 M+MALR

Bagian hilir (b) -2.0 M+MALR

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10 tahun pertama (c ) 0.45 m

Tinggi tekanan hidraulik ekstra yang dibutuhkan (d) 0.5 M

Rata-rata tinggi tekanan hidraulik 0-10 tahun (a-b+c+d) 4.05 m

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10-20 tahun (d) 1.35 m

Rata-rata tinggi tekanan hidraulik 10-20 tahuns (a-b+d) 4.95 m

Efisiensi 0.6 [-]

Tenaga ((g*tinggi hidraulik*Q)/Efisiensi)

Tenaga/power 10 tahun pertama 3.97E+02 kW


Tenaga/power 10-20 tahun 4.86E+02 kW

Konsumsi tenaga (Tenaga*jumlah jam terpakai)

Konsumsi tenaga 10 tahun pertama 2.68E+05 kWh

Konsumsi tenaga 20 tahun 3.28E+05 kWh

Harga/ kWh (USD) 0.07 USD/kWh

Biaya energi

Konsumsi energi 10 tahun pertama 18,783 USD/tahun

Konsumsi energi 10-20 tahun 22,957 USD/tahun

4.3.4.3. Sistem Polder Dengan Saluran Gendong


Saluran gendong adalah saluran penampungan air dari polder dan
areal-areal tampungan air yang berdekatan. Muka air di dalam saluran
gendong dapat lebih tinggi dari muka air pada bagian polder. Di Belanda,
sistem polder-saluran gendong ini dikembangkan untuk dapat membuang
air dari saluran gendong ke laut secara gravitasi melalui sebuah pintu
ayun pasang surut. Namun demikian, air harus dibuang dengan pompa
dari polder ke saluran gendong, tetapi dengan tinggi tekanan hidraulik
yang lebih rendah. Gambar 8.5 dan Gambar 8.6 menampilkan konsep
sebuah sistem polder-saluran gendong. Dalam konteks Polder Banger,
Kali Banger dapat berfungsi sebagai sebuah saluran gendong. Gambar
8.7 memperlihatkan bahwa di bagian Selatan, air mengalir secara
gravitasi menuju Kali Banger dan mengalir menuju arah Utara. Pada
bagian tengah dan utara polder, Kali Banger berfungsi sebagai saluran
gendong. Elevasi saluran gendong (Kali Banger) lebih tinggi dari muka
air daerah sekitar. Karena itu, air dibuang dengan pompa dari daerah-
daerah yang berdekatan ke Kali Banger. Air kemudian dibuang ke laut
atau ke Banjir canal Timur dengan melalui pintu ayun atau pintu klep.
Gambar 8.6 memperlihatkan saluran gendong pada Polder Banger.
Perhitungan konsumsi energi sistem polder saluran gendong dapat dilihat
pada Tabel 8.2.

Table 8.2. Konsumsi energi sistem saluran gendong

Pembuangan Satuan

Curah hujanr 2,330 mm/tahun

Penguapan air terbuka dan tidak tertutup 1,200 mm/tahun

Penguapan tertutup 270 mm/tahun

Areal tertutup 396 ha

Areal tidak tertutup dan air terbuka 164 ha

Rata-rata penguapan (distribusi tertutup/tidak tertutup) 542 mm/tahun

Perembesan/ infiltrasi -365 mm/tahun

neto curah hujan dan perembesan 1,423 mm/tahun

Air limbah 18,140 m3/hari

Air limbah 1,182 mm/tahun

Areal polder seksi 1 (section 1 370 ha

Volume buangan (areal*(netto curah hujan + air limbah) 9.64E+06 m3/tahun

Kapasitas pompa 4 m3/detik

Jumlah jam terpakai (kapasitas penuh) 669.34 jam

Tekanan hidraulik polder seksi 1

Desain muka air aliran permukaan (hulu) (a) 0.2 m+MALR

Aliran bawah (hilir) (b) 2.0 m-MALR

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10 tahan pertama (c ) 0.45 M

Tekanan hidraulik ekstra yang dibutuhkan (d) 0.5 M

Rata-rata tekanan hidraulik 0-10 tahun (a-b+c+d) 3.15 M

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10-20 tahun (d) 1.35 M

Rata-rata tekanan hidraulik 10-20 tahun (a-b+d) 4.05 m

Efisiensi 0.6 [-]

Konsumsi tenaga (Tenaga*jumlah jam terpakai) polder seksi 1

Konsumsi tenaga 10 tahun pertama 1.38E+05 kWh


Konsumsi tenaga 10-20 tahun 1.77E+05 kWh

Areal polder seksi 2 100 ha

Volume buangan (areal*(curah hujan neto+ air limbah)) 3.E+06 m3/tahun

Kapasitas pompa 1 m3/detik

Jumlah jam terpakai (kapasitas penuh) 723.61 jam

Tekanan hidraulik polder seksi 2

Desain tingkat air aliran permukaan (hulu) (a) 0.2 m+MALR

Aliran bawah (hilir) (b) 0.5 m-MALR

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10 tahun pertama (c ) 0.5 m

Tekanan hidraulik ekstra yang dibutuhkan (d) 0.25 m

Rata-rata tekanan hidraulik 0-10 tahun (a-b+c) 1.45 m

Rata-rata penurunan permukaan tanah average 10-20 tahun (d) 0.75 m

Rata-rata tekanan hidraulik 10-20 tahun (a-b+d) 1.95 m

Efisiensi 0.6 [-]

Konsumsi tenaga (Tenaga*jumlah jam terpakai) polder seksi 2

Konsumsi tenaga 10 tahun pertama 1.72E+04 kWh

Konsumsi tenaga 10-20 tahun 2.31E+04 kWh

Total konsumsi tenaga (polder seksi 1 dan 2)

Konsumsi tenaga 10 tahun pertama 1.55E+05 kWh

Konsumsi tenaga 10-20 tahun 2.00E+05 kWh

Harga kWh (USD) 0.07 USD/kWh

Total biaya energi

Konsumsi energi 10 tahun pertama 10,853 USD/tahun

Konsumsi energi 10-20 tahun 14,025 USD/tahun


Sistem Polder Saluran Gendong

Keperluan konstruksi

Sistem saluran gendong membutuhkan perubahan dalam sistem


drainase yang sudah ada saat ini. Sistem ini membutuhkan bangunan air
sebagai berikut:
 Tanggul tanggul di sepanjang Kali Banger untuk menahan muka air
yang lebih tinggi saat ini dan juga pada waktu yang akan datang
dengan panjang tanggul sekitar 7.000 m;
 Empat buah stasiun pompa (total kapasitas kurang lebih 5 m3/d). Pada
setiap segmen polder masing-masing di sisi Kali Banger dibutuhkan
satu buah stasiun pompa;
 Saluran yang sejajar sepanjang Kali Banger untuk menampung air
hujan dan membuangnya ke salah satu stasiun pompa. Panjang
saluran yang dibutuhkan adalah kira-kira 7.000 m;
 Satu buah bendung dengan lebar puncak 5 m;
 Satu buah pintu ayun/klep.

pumping station

weir
Water table:

MAR-2.00 m
tidal gate

flow direction

Water table:

MAR-0.50 m belt canal Kali Banger

Water table:
dike Kali Banger
MAR+0.50 m

Gambar 8.7. Polder saluran gendong di polder Banger

Keperluan energi

Kali Banger dapat mengalirkan atau membuang air secara


gravitasi. Namun demikian, polder segmen 1 dan 2 harus membuang air
dengan pompa ke Kali Banger. Luas wilayah polder segmen 1 dan 2
adalah 370 ha (67%). Rata-rata tinggi tekan hidraulik polder segmen 1
adalah 3.15 m pada 10 tahun pertama dan 4.05 m dari tahun ke-10 sampai
dengan tahun ke-20. Sedangkan, rata-rata tinggi tekan hidraulik polder
segmen 2 adalah 1.45 m pada 10 tahun pertama dan 1.95 m dari tahun ke-
10 sampai dengan tahun ke-20. Rata-rata konsumsi tenaga kedua segmen
polder adalah 160.000 kWh per tahun pada 10 tahun pertama dan 200.000
kWh antara tahun ke-10 dan tahun ke-20. Biaya energi masing-masing
segmen polder adalah USD 11.000 per tahun dan USD 14.000 per tahun.
Perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8.4.

Operasi dan pemeliharaan (O&P)

Sistem polder ini memerlukan tingkat operasi dan pemeliharaan


yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem gravitasi. Sistem utama
memiliki 1 buah bendung, 4 buah stasiun pompa, 1 buah pintu ayun/klep
dan tanggul-tanggul tambahan. Khususnya pintu ayun/klep, adalah
sebuah struktur yang relatif mudah rusak. Struktur ini terletak di dekat
tanggul dan karena itu memerlukan pemeriksaan dan pemeliharaan secara
rutin.

4.3.4.4. Polder Sistem Saluran Terpisah


Pada sistem polder saluran terpisah ini 3 segment polder individual
mengalirkan dan membuang air ke Banjir Kanal Timur secara terpisah.
Gambar 8.8 memperlihatkan konsep sistem polder saluran terpisah ini.
Sistem ini dimaksudkan untuk menggunakan ketinggian energi potensial
dari polder segmen II dan III yang terletak pada posisi yang lebih tinggi.
Dengan memisahkan segmen polder, ketinggian energi dari segmen
segmen polder dapat dimanfaatkan sehingga saluran gendong tidak
dibutuhkan pada Polder Banger.
Sayangnya muka air pada Banjir Kanal Timur juga naik pada arah
sebelah selatan. Kemiringan sungai bervariasi antara muka air laut tata
rata (MALR) pada polder segmen I dan 3.00m+MALR pada polder
segmen III. Muka air di dalam dan di luar untuk ketiga segmen polder
adalah sebagai berikut:
 Polder segmen I: muka air di dalam 2.00 m-MALR, muka air di luar
(Banjir Kanal Timur) antara 0.50m-MALR dan 0.50 m+MALR:
pengaliran buangan dengan sistem gravitasi tidak dimungkinkan;
 Polder segmen II: muka air di dalam 0.50 m-MALR, muka air di luar
Banjir Kanal Timur adalah 2.00 m+MALR: pengaliran dengan sistem
gravitasi tidak dimungkinkan;
 Polder segmen III: muka air di dalam 0.50 m+MALR, muka air di
luar (Banjir Kanal Timur) adalah 2.50 m+MALR sampai dengan 3.00
m+MALR: pengaliran dengan sistem gravitasi tidak dimungkinkan.
Ini berarti bahwa semua tiga segmen polder memerlukan stasiun
pompa untuk membuang air, oleh karena itu pengurangan biaya energi
sangat terbatas. Lebih dari itu, semua segmen polder memerlukan kolam
retensi untuk menampung air sementara. Sedangkan pada polder segmen
II dan III tidak banyak lahan yang tersedia untuk keperluan tersebut.
dam

flow direction

Polder section I:
pumping station
Water table MAR-
2.00 m

Polder section
II:
Water table
MAR-0.50 m
Polder section
III: Water table
MAR+0.50 m

Gambar 8.8.Sistem saluran terpisah polder Banger

Keperluan Konstruksi

Sistem kanal terpisah ini memerlukan suatu perubahan dari sistem


drainase yang ada saat ini. Sistem ini memerlukan bangunan air utama
sebagai berikut:
 3 buah stasiun pompa (dengan kapasitas kurang lebih 6 m3/d + pompa
cadangan). Pada setiap segmen dibutuhkan satu buah stasiun pompa;
 2 saluran antara Kali Banger dan Banjir Kanal Timur, panjang total
1.000 m
 2 buah bendung pada sistem tata air.
Biaya konstruksi kurang lebih USD 4.2 juta, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
Kebutuhan energi

Tiga segmen polder tersebut di atas harus mengalirkan dan


membuang air dengan pompa. Tinggi tekanan hidraulik dari polder
segmen 1, 2 dan 3 masing-masing adalah 4.05, 3.25 dan 2.75 m. Dari
tahun ke-10 sampai dengan tahun ke-20 tinggi tekanan hidraulik masing-
masing menjadi 4.95, 3.75 dan 3.25 m. Dengan efisiensi pompa sebesar
60%, rata-rata konsumsi tenaga dari kedua segmen adalah 250.000 kWh
per tahun pada 10 tahun pertama dan 300.000 kWh per tahun antara tahun
ke-10 dan tahun ke-20. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 8.3, biaya
energi masing-masing mencapai USD 17.000 dan USD 21.000 per tahun.

Tabel 8.3 Konsumsi energi sistem terpisah

Pembuangan satuan

Curah hujan 2.330 mm/tahun

Penguapan air terbuka dan tidak tertutup 1.200 mm/tahun

Penguapan tertutup 270 mm/tahun

Areal tertutup (kedap) 396 Ha

Areal tidak tertutup (tidak kedap) dan air terbuka 164 Ha

Rata-rata penguapan (distribusi tertutup/tidak tertutup) 542 mm/tahun

Infiltrasi -365 mm/tahun

neto curah hujan dan infiltrasi 1.423 mm/tahun

Air limbah 18.140 m3/hari

Air limbah 1.182 mm/tahun

Areal polder segmen I 370 ha

Volume buangan (area*(curah hujan neto+air limbah) 9.64E+06 m3/tahun

Kapasitas pompa 4 m3/d

Jumlah jam terpakai (kapasitas penuh) 669.34 jam


Tinggi tekanan hidraulik polder segmen I

Desain muka air pada aliran permukaan bagian hulu (a) 1.1 m+MALR

Bagian hilir (b) 2 m-MALR

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10 tahun pertama 0.45 m

Tinggi tekanan hidraulik yang dibutuhkan (d) 0.5 m

Rata-rata tinggi tekanan hidraulik 0-10 tahun (a+b+c+d) 4.05 m

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10-20 tahun (d) 1.35 m

Rata-rata tinggi tekanan hidraulik 10-20 tahun 4.95 m

Efisiensi 0.6 [-]

Konsumsi tenaga (Tenaga*jumlah jam terpakai) polder segmen I

Konsumsi tenaga 10 tahun pertama 1.77E+05 kWh

Konsumsi tenaga 10-20 tahun 2.17E+05 kWh

Areal polder segmen II 100 ha

Volume buangan (Areal*(curah hujan neto+air limbah) 3.E+06 m3/tahun

Kapasitas pompa 1 m3/d

Jumlah jam terpakai 723.61 jam

Tinggi tekanan hidraulik polder segmen II

Desain muka air pada aliran permukaan (upstream) (a) 2 m+MALR

Muka air hilir (b) 0.5 m-MALR

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10 tahun pertama (c) 0.5 m

Tinggi tekanan hidraulik yang dibutuhkan (d) 0.25 m

Rata-rata tinggi tekanan hidraulik 0-10 tahun (a+b+c) 3.25 m

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10-20 tahun (d) 0.75 m

Rata-rata tinggi tekanan hidraulik 10-20 tahun (a+b+c) 3.75 m


Efisiensi 0.6 [-]

Konsumsi tenaga (Tenaga*jumlah jam terpakai) polder segmen II

Konsumsi tenaga 10 tahun pertama 3.85E+04 kWh

Konsumsi tenaga 10-20 tahun 4.44E+04 kWh

Areal polder segmen III 100 ha

Volume buangan (areal*curah hujan neto+ air limbah) 3.E+06 m3/tahun

Kapasitas pompa 1 m3/d

Jumlah jam terpakai (kapasitas penuh) 723.61 jam

Tekanan hidraulik polder segmen III

Desain muka air bagian hulu (a) 2.5 mMALR

Bagian hilir (b) 0.5 mMALR

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10 tahun pertama (c) 0.5 m

Tekanan hidraulik ekstra yang dibutuhkan (d) 0.25 m

Rata-rata tekanan hydraulik 0-10 tahun (a+b+c) 2.75 m

Rata-rata penurunan permukaan tanah 10-20 tahun 0.75 m

Rata tekanan hidraulik 10-20 tahun (a+b+d) 3.25 m

Efisiensi 0.6 [-]

Konsumsi tenaga (Tenaga*jumlah jam terpakai) polder segmen III

Konsumsi tenaga 10 tahun pertama 2.93E+04 kWh

Konsumsi tenaga 10-20 tahun 3.46E+04 kWh

Total konsumsi tenaga (polder segmen I, II, III)

Konsumsi tenaga 10 tahun pertama 2.45E+05 kWh

Konsumsi tenaga 10 – 20 tahun 2.96E+05 kWh

Harga kWh (USD) 0.07 USD/kWh

Total biaya energi

Konsumsi energi 10 tahun pertama 17.151 USD/tahun


Konsumsi energi 10-20 tahun 20.696 USD/tahun

Operasi dan pemeliharaan (O&P)

Sistem polder ini memerlukan tingkat operasi dan pemeliharaan


lebih tinggi dibandingkan dengan sistem polder gravitasi. Sistem utama
memiliki 3 buah stasiun pompa dan 2 buah saluran antara Kali Banger
dan Banjir Kanal Timur.

Elevasi permukaan polder

Berdasarkan elevasi permukaan (Gambar 2.4) dan kedalaman


drainase 1 m, secara garis besarnya elevasi permukaan polder untuk
Polder Banger ditentukan. Gambar 8.12 menampilkan elevasi polder pada
segmen-segmen polder; elevasi permukaan dan areal dari segmen-segmen
polder. Jalan-jalan dan bangunan-bangunan memerlukan muka air tanah
1.25 sampai dengan 1.50 m-permukaan tanah pada musim hujan. Untuk
meningkatkan kapasitas retensi muka air ditentukan 2.00 m-permukaan
tanah. Kemudian, penentuan muka air dibuat berdasarkan kapasitas
retensi dengan pengendalian muka air tanah.

Perlu diperhatikan bahwa elevasi polder paling rendah secara


hidraulik merupakan lokasi ideal untuk retensi, karena kawasan itu
memiliki permukaan yang rendah. Dalam hal itu, elevasi polder akan
memiliki elevasi permukaan yang sama seperti segmen polder yang ada
didekatnya. Lihat Tabel 8.9.

Tabel 8.9. Muka air pada segmen-segmen

SEGMEN POLDER MUKA AIR LUAS PERSENTASE


(M+MALR) (HA) %
I -2.0 370 70

II -0.5 100 19

III +0.5 60 11

4.3.4.5. Pintu ayun/klep


Kemungkinan penggunaan pintu ayun/klep untuk membuang air ke
luar dari polder. Untuk dapat menganalisis kemungkinan pemakaian pintu
air ini, parameter parameter berikut perlu dipertimbangkan:
 tinggi muka air (pasang surut) di laut;
 muka air yang diinginkan di dalam polder, bergantung pada:
 elevasi muka tanah;
 tipe sistem tata air.

Gambar 8.8 berikut ini menampilkan konsep pintu ayun/klep yang dimaksud.

Gambar 8.8. Pintu air membuka selama air surut dan menutup pada saat air
pasang

Muka air Banjir Kanal Timur

Pada situasi sekarang, muka air di bagian utara Banjir Kanal Timur
ditentukan oleh muka air laut dalam keadaan kondisi normal. Elevasi
permukaan air di bagian perbatasan selatan Polder Banger (Jl. Brigjen
Katamso) adalah 2.5 sampai dengan 3.0 m+MALR. Dalam kondisi-
kondisi ekstrim (T25) kemiringan sungai bervariasi dari 1.9 m+MALR di
perbatasan sebelah utara (Jl. Arteri), sampai dengan 5.5 m+MALR di
perbatasan sebelah selatan polder.
Elevasi muka air di dalam polder

Muka air di dalam polder adalah sebagai berikut:

 Polder segmen I : 2.0m-MALR;


 Polder segmen II: 0.5 m-MALR;
 Polder segmen III: 0.5 m+MALR.

Muka air akan mengikuti tingkat penurunan permukaan tanah: 9 cm/tahun


pada polder segmen I dan 5 cm/tahun pada polder segmen II dan III.

Kemungkinan menggunakan pintu ayun/klep pada polder sistem gravitasi

Sebuah pintu ayun/klep hanya akan berfungsi jika muka air di


sebelah udik lebih tinggi dari muka air di sebelah hilir. Bagi pintu
ayun/klep ini berarti bahwa elevasi muka air di bagian udik paling tidak
harus lebih tinggi dari muka air surut, untuk membuang air yang
tersimpan di dalam sistem pada saat air pasang di mana pintu tertutup. Di
kawasan Banger, elevasi muka air polder adalah 2.0 m-MALR, 1.5 m
lebih rendah dari rata-rata air surut, lihat Gambar 8.9. Ini berarti bahwa
sebuah pintu ayun/klep tidak akan mungkin dapat mengalirkan dan
membuang air. Karena itu dibutuhkan sebuah pompa untuk menjaga agar
muka air di polder tetap 2.0 m-MALR. Pembuangan dengan gravitasi
hanya mungkin dilakukan ketika muka air naik lebih dari 1.5 m selama
air surut, yang akan terjadi rata-rata hanya kurang dari sekali per 5 tahun.
Muka air juga akan turun sebesar 9 cm/tahun, mengikuti tingkat
penurunan permukaan tanah (ambles). Ini berarti bahwa setelah 6 tahun,
pengaliran dan pembuangan dengan sistem gravitasi tidak mungkin
berfungsi lagi dalam keadaan apa pun juga. Dapat disimpulkan bahwa
sebuah pintu ayun/klep sulit atau bahkan tidak akan digunakan, atau
mungkin hanya digunakan satu kali selama 2 tahun atau lebih.
Ringkasnya, penggunaan sebuah pintu ayun/klep adalah tidak layak untuk
dipertimbangkan.
Pintu pasang surut(tutup)

Pasang tinggi (+0.5 m+MAR)


Elevasi permukaan
Mean Sea Level

2.0 m-MAR 1.5 m Surut rendah (0.5 m-MAR)

Kali Banger Laut

Gambar 8.9. Pintu ayun/klep pada sistem polder gravitasi

Kemungkinan menggunakan pintu ayun/klep pada Sistem Saluran Gendong

Karena elevasi permukaan air di Kali Banger (diatur) lebih tinggi


dari tingkat muka air ketika surut, air dapat dibuang ke laut melalui pintu
ayun/klep. Gambar 8.10 memperlihatkan pembuangan air dari Kali
Banger (sebagai suatu saluran gendong) melewati pintu ayun/klep. Harus
diperhatikan bahwa stasiun pompa diperlukan guna mencapai elevasi
muka air lebih tinggi pada saluran gendong. Dengan menggunakan sistem
ini hanya sebagian saja biaya yang dapat dikurangi.

Kemungkinan menggunakan pintu ayun/klep pada sistem polder terpisah

Elevasi permukaan yang lebih tinggi di kawasan sebelah selatan


akan cocok untuk sistem polder gravitasi. Masalahnya dalam hal ini muka
air di Kali Banger lebih tinggi. Tabel 8.8 memperlihatkan elevasi polder
di Kali Banger dan elevasi permukaan air di luar Banjir Kanal Timur.
Dapat disimpulkan bahwa pengaliran dan pembuangan dengan sistem
gravitasi tidak mungkin dilakukan.
Table 8.8. Muka air di dalam dan di luar polder
SEGMEN ELEVASI POLDER MUKA AIR BANJIR KESIMPULAN
POLDER KANAL TIMUR
(M+MALR)
(M+MALR)

I -2.0 -0.5 to +0.5 Pembuangan dengan gravitasi


tidak mungkin

II -0.5 + 2.0 Pembuangan dengan gravitasi


tidak mungkin

III +0.5 + 2.5 Pembuangan dengan gravitasi


tidak mungkin

Dengan kata lain, dari Tabel 8.8 dapat disimpulkan hal sebagai berikut:

 pintu ayun/klep tidak mungkin diterapkan pada sistem polder gravitasi;


 pintu ayun/klep mungkin bisa diterapkan pada sistem saluran gendong
untuk membuang air dari saluran gendong ke laut. Diperlukan stasiun-
stasiun pompa guna mencapai elevasi permukaan air lebih tinggi di
dalam saluran gendong;
 pintu ayun/klep tidak mungkin diterapkan pada sistem polder terpisah,
karena muka air pada Banjir Kanal Timur sudah terlalu tinggi.
0.5

0.4

Pembuangan 10 jam
0.3

0.2

0.1
water level (m MSL)

0
0 12 24 36 48

-0.1

-0.2

-0.3

-0.4

-0.5
Time (hours)

sea level water level Banger Polder

Gambar 8.10. Debit aliran dari Kali Bangerdengan pintu ayun/klep

4.3.4.6. Bendung di Kali Banger

Current situation
Gambar 8.11.Bendung di Kali Banger

Salah satu komponen penting dalam Polder Banger adalah masalah


bendung. Bendung ini akan membendung sungai (Gambar 8.11).
Bendung ini akan melindungi polder Banger dari banjir, karena laut tidak
dapat mengalir ke arah polder lagi. Pada sisi lain, bendung juga menutup
aliran dari polder Banger. Untuk itu, stasiun pompa dan pengendalian
kualitas air diperlukan. Bendung akan terletak di bawah jembatan di jalan
Arteri dan akan merupakan bagian dari tanggul utara.

4.3.4.7. Kolam Retensi

Kapasitas kolam retensi yang diperlukan bergantung pada kapasitas


buangan polder dan tingkat keamanan yang diperlukan. Berikut ini,
beberapa opsi kolam retensi akan dibahas.
Melalui simulasi model hidrodinamik, kapasitas retensi yang tepat
dan diperlukan akan dihitung untuk areal polder. Di samping itu, luas
retensi dari saluran retensi aliran bawah mungkin menurun, disebabkan
adanya retensi pada bagian-bagian aliran permukaan. Sebenarnya, pada
situasi ideal retensi tersebar mengikuti tata ruang tetapi dengan kondisi
kawasan perkotaan yang ada saat ini hal ini tidak dimungkinkan. Tabel
8.10 menggambarkan aliran limpasan dan koefisien masing-masing
daerah tersebut.

Tabel 8.10. Luas areal dan koefisien limpasan

luas Koefisien limpasan

(ha) periode pendek

(-)

Tertutup 393 0.9

Tidak tertutup 144 0.3

Air terbuka 20 1.0

Total 557
Pertimbangan-pertimbagan lain adalah sebagai berikut:

 Kapasitas pembuangan: 6 m3/d; tingkat keamanan desain dengan


kemungkinan kejadian (bencana): 100 tahunan;
 Ruang bebas (freeboard) tersier dan saluran-saluran kwarter: 30 cm;
 Ruang bebas (freeboard) Kali Banger dan tambak tambak ikan: 100
cm.

Opsi-opsi retensi di daerah Banger :

 Retensi pada tambak tambak ikan:


 Muka air sama dengan Kali Banger (hubungan langsung);
 Muka air lebih renda untuk meningkatkan kapasitas retensi
(pembuangan dengan pompa);
 Retensi-retensi pada lapangan-lapangan bermain/derah-daerah hijau;
 Genangan yang terkontrol.

Opsi-opsi retensi dapat digabungkan (lihat juga Volume 3: Aspek


Teknik, pada prinsip zonasi yang berdasarkan elevasi lahan). Pada bagian
berikutnya kapasitas retensi akan diterjemahkan menjadi kawasan retensi.
Kapasitas retensi tambahan yang diperlukan untuk sebuah desain priode
ulang rata rata 25 tahunan dapat diterapkan.

Retensi pada tambak ikan

Retensi yang diperlukan diwujudkan dengan memanfaatkan


tambak tambak ikan. Tambak ikan tersebut dapat digunakan pada kondisi
normal. Tambak ikan dapat dibuat sebagai hubungan terbuka dengan Kali
Banger seperti diperlihatkan pada Gambar 8.14. Kapasitas retensi
menjadi terbatas pada ruang bebas (freeboard) pada tambak tambak ikan
dan Kali Banger, karena adanya hubungan yang terbuka ini. Karena
permukaan terbuka adalah 1m (sama dengan Kali Banger). Luas yang
dibutuhkan untuk tambak ikan adalah 41 ha. Daerah retensi ini dapat
berlokasi di Kemijen, berdekatan dengan tambak tambak ikan yang ada
saat ini. Gambar 8.15 secara garis besarnya memperlihatkan areal retensi
yang dibutuhkan.

Muka air lebih rendah pada tambak ikan

Untuk meningkatkan kapasitas retensi tambak tambak ikan, muka


air dapat diturunkan pada tambak tambak ikan. Muka air lebih rendah
pada tambak tambak ikan memerlukan pembuangan secara kontinyu
dengan pompa dari kolam ikan ke dalam Kali Banger seperti dapat dilahat
pada Gambar 8.16. Jika muka air kolam ikan 1 m lebih rendah dari muka
air Kali Banger, ruang bebas (freeboard) meningkat dari 1-2m. Areal yang
dibutuhkan untuk kolam ikan menurun dari 41 ha menjadi 21.5 ha. Muka
air yang relatif rendah ini mempengaruhi elevasi muka air tanah dan
dapat menyebabkan perembesan air di daerah sekitarnya.

Gambar 8.14. Retensi di tambak ikan, hubungan terbuka


Gambar 8.15. Areal retensi

Gambar 8.16. Retensi di tambak ikan, muka air yang lebih rendah

Retensi pada tempat-tempat bermain/daerah-daerah hijau

Air ditampung sementara di lapangan-lapangan bermain atau di


daerah-daerah hijau lainnya. Genangan dapat terjadi dengan suatu
frekuensi kejadian yang rendah (rata rata sekali per 2 atau 10 tahun).
Selama kejadian-kejadian curah hujan ekstrim, air akan ditampung
sementara di tempat-tempat bermain tersebut. Ketika muka air di Kali
Banger dapat diturunkan, air akan dapat mengalir kembali secara
gravitasi melalui sebuah pinti air ke Kali Banger seperti diperlihatkan
pada Gambar 8.17. Karena ruang bebas (freeboard) adalah 1m (sama
dengan ruang bebas Kali Banger), luas yang diperlukan dari tempat
bermain adalah 41 ha. Karena elevasi permukaan tempat bermain tersebut
sama dengan muka air maka perembesan air dapat terjadi, terutama
selama musim penghujan. Perembesan tersebut dapat menyebabkan
tempat bermain becek jadinya.

Gambar 8.17. Retensi di areal bermain atau areal hijan

4.3.4.8. Genangan terkendali

Suatu tiingkat keamanan dengan priode ulang 15 tahunan


memerlukan luas retensi yang luas. Karena itu tingkat keamanan dapat
dibuat berbeda untuk tipe-tipe tata guna lahan yang berbeda. Sebagai
contoh, gengangan jalan tidak menyebabkan kerusakan dan jika priode
genangan terbatas, ganguan tergadap kehidupanpun akan terbatas.
Tambahan pula, di beberapa daerah genangan menyebabkan lebih sedikit
kerusakan dibandingkan dengan di daerah-daerah lain. Daerah yang
memiliki risiko lebih rendah ini dapat digunakan untuk genangan
terkendali dengan suatu frekuensi atau perioda ulang kemungkinan terjadi
yang rendah (5 atau 10 tahunan).

Genangan pada jalan terkendali

Jalan-jalan juga dapat dipergunakan sebagai areal retensi


sementara. Genangan terkendali ini terjadi dengan frekuensi rendah (2
atau 5 tahun). Ini hanya mungkin di bawah kondisi elevasi jalan lebih
rendah dari elevasi bangunan-bangunan dan lama genangan terbatas
beberapa jam saja. Gambar 8.18 memperlihatkan konsep genangan jalan
terkendali ini. Pada umumnya elevasi jalan adalah 10-20 em lebih rendah
dari elevasi bangunan-bangunan. Jika ketinggian genangan yang
diperbolehkan adalah 10 cm dan lamanya 3 jam, maka 65.000 m3 air
dapat ditampung di jalan-jalan dan ini memerlukan areal seluas 65 ha.

Gambar 8.18.Pengendalian genangan pada jalan jalan


Pengendalian genangan di areal lainnya

Dibeberapa daerah, genangan air menyebabkan sedikit kerugian


dibandingkan dengan daerah lain. Daerah-daerah ini, dengan risiko lebih
rendah, dapat digunakan untuk genangan terkendali dengan frekuensi
kejadian yang rendah (misalnya 10 tahunan). Jika genangan yang
diperbolehkan adalah 20 cm maka areal retensi yang diperlukan adalah 63
ha. Di samping areal retensi ini (dimaksudkan untuk menampung antara
T10 dan T25), retensi tambahan yang diperlukan untuk menampung air
sampai dengan T10 dan penampungan tambahan adalah sebesar 286.000
m3.

4.3.4.9. Stasiun pompa

Wilayah Polder Percontohan memilki kemiringan alami dari tinggi ke


rendah, dari arah Selatan (pegunungan) menuju ke utara (laut). Lokasi
stasiun pompa sebaiknya dipilih di sebelah Utara polder. Untuk
memperkecil biaya konstruksi, stasiun pompa harus berlokasi sedekat
mungkin dengan badan air atau sungai yang sesuai. Polder yang tidak
langsung berbatasan dengan laut, sehingga Kali Banger (di luar polder)
atau Banjir Kanal Timur bisa berfungsi sebagai badan sungai penerima
air. Kapasitas pembuangan Kali Banger diperkirakan sangat terbatas,
sehingga dinding-dinding lengkung kolam ikan menyumbat alirannya.
Karena itu, Banjir Kanal Timur dapat menjadi pilihan yang lebih baik.
Hal ini akan menentukan lokasi stasiun pompa sebaiknya di sudut Timur
Laut.
Dengan membangun stasiun-stasiun pompa tidak bearti
mengurangi masalah-masalah yang berhubungan dengan banjir selama
tanggul-tangul belum di bangun dan bearti kawasan Banger belum
terlindungi. Dengan membangun stasiun pompa segera, harapan
masyarakat akan meningkat, terutama di kalangan para warga bahwa
banjir akan segera berkurang. Karena itu penting untuk menindak lanjuti
dengan membangun tanggul-tanggul. Bagi para pemangku kepentingan
stasiun pompa ini sangat menarik dan jangan hanya menjadi angan angan.
Lokasi yang diusulkan untuk stasiun pompa diperlihatkan pada Gambar
8.19. Untuk menentukan tekanan hidraulik dari stasiun pompa, tingkat
penyedotan dan kemampuan mengeluarkan atau mengalirkan air harus
diketahui.

Gambar 8.19. Usulan lokasi stasiun pompa

Kapasitas pompa yang dibutuhkan

Kapasitas pompa yang dibutuhkan adalah 6 m3/d. Kapasitas ini


diperlukan selama kondisi-kondisi cuaca hujan badai yang kemungkinan
terjadi rata rata sekali setahun. Dengan kapasitas pompa seperti ini, suatu
kejadian rata rata sekali setahun curah hujan (ekstrim) dapat dialirkan dan
dibuang dalam waktu 24 jam.

Pada kondisi-kondisi cuaca kering, tingkat pembuangan adalah


43.100 m3/hari atau 0,50 m3/d. Kapasitas ini ditentukan oleh:
 produksi air limbah domestik sebanyak 15.500 m3/hari;
 industri skala kecil-menengah sebanyak 2.600 m3/hari;
 kapasitas pembilasan (flushing) sebanyak 25.000 m3/hari (berdasarkan
atas waktu tinggal 10 hari, dengan kedalaman air 1,0 m dan luas areal
25 ha).

Kapasitas rata-rata musim hujan

Sistem dapat membuang air sebesar 74.100 m 3/hari atau 0,9 m3/d. Kapasitas ini
berdasarkan:

 produksi limbah air domestik sebanyak 15.500 m3/hari;


 industri skala kecil-menengah sebanyak 2.600 m3/hari;
 rata-rata curah hujan 10 mm pada musim hujan, sebanyak 25.000
m3/hari;

4.3.4.10. Penyediaan energi

Sebuah stasiun/gardu listrik perlu dibangun dekat stasiun pompa.


Untuk menjamin penyediaan arus listrik secara terus-menerus dan handal
jika terjadi suatu ganguan listrik, instalasi listrik termasuk penyediaan
daya darurat dengan mengunakan generator diesel hendaknya
dipertimbangkan. Baik gardu pengubah daya atau penyediaan listrik
darurat (generator) harus ditempatkan pada tempat yang aman dan kering
sehingga pompa tetap dapat beroperasi secara normal pada kondisi
apapun.
4.3.4.11. Kondisi lingkungan sekitar polder

Kawasan perumahan yang diproyeksikan akan berada di sekeliling


stasiun pompa dengan jarak kurang lebih 40 m. Karena itu tingkat
kebisingan dari stasiun pompa tidak boleh lebih tinggi dari 50 dB (A).

4.3.4.12. Masa berfungsi atau umur teknis

Desain masa berfungsi untuk stasiun pompa adalah 50 tahun. Masa


berfungsi teknis dari pompa (seperti mur, baut, dan lain-lain) adalah 20
tahun. Karena tingkat penurunan permukaan tanah tinggi, maka setelah
20 tahun pompa-pompa dengan spesifikasi berbeda harus dipilih untuk
mengganti pompa-pompa lama, berdasarkan atas tingkat penurunan
permukaan tanah (ambles) pada saat itu.
4.3.5. Aspek konstruksi sistem pengelolaan tata air dan perlindungan
banjir polder Banger

Kemungkinan perluasan ke depan

Pada bagian ini akan dibahas lebih jauh mengenai perluasan


wilayah polder pada waktu yang akan datang. Pada waktu yang akan
datang, mungkin dapat dilakukan perluasan-perluasan, karena dari sudut
pandang perlindungan banjir dan pengelolaan air, tanggul-tanggul Polder
Banger belum pada lokasi yang sangat tepat. Namun demikian, untuk
suatu percontohan, batas-batas Polder Banger sudah dipilih dengan baik
karena membatasi panjang tanggul dan wilayah polder.

Pertama-tama, konsep tanggul keliling dibahas. Pada bagian kedua


dan ketiga, dua jenis perluasan yang mungkin dilakukan akan juga
dibahas.

Konsep tanggul keliling (Ring Dike)

Di Belanda, tanggul-tanggul keliling sepanjang sungai dan laut,


dimaksudkan untuk melindungi tanah semaksimal mungkin. Wilayah
yang dilindungi oleh tanggul keliling dapat terdiri dari beberapa buah
polder. Gambar 9.1 memperlihatkan prinsip tanggul keliling.
Gambare 9.1. Prinsip tanggul keliling

Dengan mengikuti prinsip ini, tanggul keliling di sekitar wilayah


proyek akan berada sepanjang Banjir Kanal Timur, laut, Kali Baru dan
Kali Semarang, seperti diperlihatkan pada Gambar 9.2.
Gambar 9.2.Tanggul keliling di wilayah proyek

Di samping itu, Dengan mengikuti prinsip tanggul keliling di


sekitar wilayah proyek (lihat Gambar 9.3), pelabuhan Semarang juga
akan terlindungi. Hal ini penting karena pelabuhan tersebut memiliki nilai
ekonomi yang tinggi dan vital bagi perekonomian Semarang. Di daerah
pelabuhan, Rencana Induk untuk reklamasi bisa digabungkan dalam
batas-batas (tanggul) polder. Seperti diperlihatkan pada Gambar 9.2,
batas-batas tanggul keliling adalah sebagai berikut:
 sebelah utara : Laut Jawa;
 sebelah selatan : Jl. Brigjen Katamso;
 sebelah barat : Kali Baru dan Kali Semarang; dan
 sebelah timur : Tanggul Banjir Kanal Timur.
4.4. Aspek Kebijakan dan Sosial-ekonomi Polder Percontohan Banger

Data mengenai sosial dan ekonomi meliputi data sebagai berikut:

 Data sosio-demografik (antara lain, pendapatan, profesi, situasi perumahan,


alat transportasi, kebiasaan sosial, perilaku dan lain-lain);
 Per daerah/kabupaten/rukun warga: daftar pemangku kepentingan yang
relevan, pemimpin lokal, wakil masyarakat setempat, dan lain-lain);
 Ikatan sosial di dalam kawasan polder dan keinginan untuk membayar iuran;
 Masalah-masalah sosial yang ada berkaitan dengan banjir;
 Warga:
 Penghasilan rata-rata per kepala keluarga per komunitas;
 Nilai aset;
 Kemampuan membayar iuran per komunitas.
 Industri-industri:
 Manfaat;
 Jumlah karyawan
 Nilai aset dan kemampuan membayar iuran.
 Usaha kecil:
 Keuntungan;
 Jumlah karyawan;
 Nilai asset dan kemampuan membayar iuran.
 Air: pentingnya air untuk meningkatkan pendapatan (seperti: tambak ikan,
kebun-kebun sayuran, dan lain-lain).

4.5. Penyelesaian Permasalahan


 Pengelolahan dan Pengaturan Polder
Badan Polder harus mengetahui pentingnya pengelolaan dan
pengaturan korporasi yang baik. Hal ini karena dengan melaksanakan
sistem ”good governance” akan meningkat pelayanan dan memastikan
pengembangan berkelanjutan polder. “Good governace” juga akan
meningkatkan kepercayaan diri di antara para pemangku kepentingan.
Badan Polder harus selalu mendukung dan setia kepada prinsip-prinsip
korporasi yang baik dan terpercaya serta secara ketat mematuhi hukum
dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan operasi dan pemeliharaan
polder. Di samping itu, Badan Polder harus menciptakan dan memelihara
kesadaran perlunya praktik baik dan terpercaya dalam etika berbisnis
berkaitan dengan pengelolaan dan staf Badan Polder pada semua tingkat.

 Komunikasi dengan pemangku kepentingan dalam Polder Percontohan


Banger
Masyarakat yang ada di kawasan Banger telah diperkenalkan
kepada sistem polder melalui program-program dan/atau proyek-proyek
terdahulu. Namun demikian, beberapa pihak belum mendengar hal itu
sama sekali; yang lain sudah pernah mendengar dan mengetahui bahwa
sistem polder dapat membantu dalam pengendalian banjir. Masyarakat
lainnya bahkan telah mengetahui semuanya tentang sistem tata air polder.
Sebagai contoh, sebuah kolam retensi di dekat stasiun kereta api di Kota
Semarang disebut “Polder Tawang”. Sebutan nama ini sangat mungkin
diperoleh dari nama Belanda. Sekalipun semua masyarakat mengetahui
tentang kolam ini dan selalu merujuk kepada kolam tersebut ketika
mereka membicarakan tentang polder. Sayang sekali nama kolam itu
sendiri menimbulkan suatu kesalah pahaman dan salah interpretasi
tentang konsep polder itu sendiri. Bagi banyak orang polder berarti
sebuah kolam dan seharusnya adalah suatu kawasan yang rendah dan
terlindungi dari banjir dengan adanya sistem tanggul, saluran dan sistem
pembuang serta kolam-kolom retensi. Namun demikian, masyarakat ada
yang menyebutkan tanggul dan kapsitas pembuang yang besar seperti
pompa dan pintu air sebagai solusi teknik terhadap masalah-masalah
banjir.
Jelas perlu diciptakan kesadaran lebih tinggi mengenai topik ini,
terutama untuk meyakinkan semua lapisan masyarakat untuk memahami
dan mengetahui perubahan-perubahan yang akan terjadi jika tinggal di
dalam kawasan polder. Di samping itu, masyarakat akan tahu manfaat-
manfaat suatu polder dalam konteks banjir dan mengetahui pentingnya
kontribusi atau iuran berkaitan dengan operasi dan pemeliharaan yang
diperlukan untuk menjaga supaya sistem polder tersebut berfungsi
dengan baik.

 Partisipasi pemangku kepentingan dalam Polder Percontohan Banger


Penduduk Kecamatan Semarang Timur dan Kelurahan Tanjung
Mas, yang masing-masing berjumlah 84.000 dan 6.000 jiwa merupakan
pemangku kepentingan utama untuk merealisasikan, mengoperasikan dan
memelihara Polder Percontohan Banger. Para pemimpin setempat,
perwalian lokal, pemimpin masyarakat dan para pemimpin dan angggota
Sistem sub Utara dan Selatan dari Badan Polder Sementara (BPS) akan
memainkan peran utama sebagai aktor yang memiliki dampak positif atau
negatif terhadap pelaksanaan proyek polder percontohan di kawasan
Banger.

Di kawasan Banger, jelas bahwa warga dan komunitas


harus mengatasi masalah banjir, terutama di sebelah bagian utara
(Kelurahn Kemijen dan Rejomulyo). Periode air pasang merupakan
gangguan sehari-hari terhadap penduduk yang tinggal di bagian utara
Banger. Ketinggian genangan air naik hingga batas lutut, merupakan
fenomena umum dalam kehidupan masyarakat. Karena itu lantai rumah
mereka sering harus dibangun lebih tinggi, jika mereka mampu secara
finansial. Mampu tidak mampu, akhirnya mereka harus mengatasi intrusi
air semampu yang dapat mereka lakukan.

Bagi masyarakat, kelihatannya banjir, dianggap bukan suatu


masalah lagi. Mereka melihat hal itu sebagai bagian dari kehidupan. Pada
hal dengan adanya perubahan teknis dan kelembagaan dalam pengelolaan
air dan juga pada orang secara individual dan perilaku masyarakat,
mereka dapat hidup tanpa harus mengalami gangguan banjir setiap
harinya. Di pihak lain, banjir-banjir besar yang lebih ekstrim, yang tidak
terjadi setiap hari, akan menyebabkan lebih banyak kerusakan dan
dianggap sebagai masalah aktual oleh warga. Pada masa yang akan
datang, Sistem sub Utara akan sangat aktif mencoba memberikan
kontribusi mengurangi kerusakan serius yang disebabkan banjir ekstrim
tersebut. Di kawasan sebelah selatan, masalah yang disebabkan banjir
tidak begitu besar karena daerah itu terletak di ketinggian sedikit lebih
tinggi dan pengaruh air pasang. Secara umum, penduduk di kawasan
selatan ini memiliki taraf hidup yang lebih tinggi dan hampir semua lantai
rumah penduduk dibangun di atas fondasi yang lebih tinggi.

 Dengar pendapat dengan warga


Pada saat dengar pendapat dengan warga, para warga diminta
menuliskan masalah-masalah utama di lingkungan RW/RW mereka.
Hampir semua penduduk menyadari bahwa banjir disebabkan oleh air
laut pasang atau hujan deras. Mereka juga menyadari bahwa pintu-pintu
air yang ada di saluran sekunder dan tersier tidak berfungsi dengan baik
karena muka air di Kali Banger adalah tinggi. Di samping itu, mereka
juga mengungkapkan bahwa penyebab lain adalah pendangkalan kali
karena besarnya kuantitas sedimen atau lumpur yang masuk ke sungai
dan saluran. Di samping itu, sistem pintu air tidak berfungsi karena
banyak sampah di saluran saluran dan di selokan-selokan yang ada.
Sedangkan, masalah lain yang disebut warga adalah pembangunan
rumah-rumah semi permanen dan rumah-rumah yang terbuat dari bambu
atau kayu secara liar di dekat atau di sepanjang pinggir Kali Banger.
Gambar 5.1 memperlihatkan sebuah pertemuan dengar pendapat dengan
penduduk, yang dilaksanakan selama tahap pelaksanaan proyek.
Gambar 5.1. Dengar pendapat umum

 Kesadaran dan perilaku terhadap sampah


Pada umumnya, masyarakat memiliki tingkat kesadaran tertentu
mengenai banjir dan pengumpulan sampah. Namun demikian,
kelihatannya masyarakat tidak begitu terganggu oleh masalah ini
sepanjang hal itu tidak mempengaruhi secara langsung kehidupan
mereka, seperti situasi di dalam rumah mereka sendiri. Sampah-sampah
yang berserakan di sekitar rumah mereka, atau bahkan ada sampah di
selokal-selokan kecil, di sekitar WC umum atau di gang-gang,
kelihatannya tidak menjadikan masalah bagi warga.

Pada beberapa waktu yang lalu, sudah pernah ada usaha untuk
membentuk suatu sistem pengelolaan sampah. Sampah dikumpulkan dari
setiap rumah tangga dan kemudian dibawa oleh warga ke lokasi
pembuangan sampah sementara. Warga membayar sejumlah iuran untuk
pengumpulan sampah di rumah-rumah mereka (sebesar Rp. 2000.- atau
€0.20 per rumah tangga/bulan). Sayangnya Pemerintah setempat tidak
mengangkut sampah-sampah yang sudah dikumpulkan di tempat
pembuangan sampah sementara tersebut dan karena itu proyek tersebut
akhirnya gagal. Namun demikian, proyek seperti itu menunjukkan bahwa
sebagian dari warga menyadari pentingnya suatu sistem pengumpulan
sampah yang baik. Di samping itu, masyarakat juga memiliki keinginan
menyesuaikan prilaku mereka sebagaimana mestinya serta ingin
menyumbangkan sebagian dari pendapatan mereka untuk mendukung
program-program masyarakat dan pengumpulan sampah yang dikelola
oleh Pemerintah setempat.

Dari dengar pendapat dengan warga, mereka mengungkapkan


bahwa sampah dan endapan/sedimen di kanal-kanal dan selokan juga
menyebabkan dan bahkan memperburuk pengaruh dari banjir. Mereka
juga menunjukkan (dengan menanyakan apa yang mereka dapat lakukan
sendiri untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh banjir) bahwa
mereka dapat membersihkan kanal-kanal dan selokan-selokan guna
meningkatkan sistem pengelolaan tata air. Sebagai contoh, sampah-
sampah, yang menumpuk di dekat stasiun pompa, juga harus dibuang
(lihat Gambar 5.2).

Gambar 5.2. Tumpukan sampah di sekitar stasiun pompa

 Sanitasi dan kondisi kesehatan masyarakat


Di bagian utara kawasan Banger, sebagian besar warga
berpendapatan rendah. Mereka menggunakan toilet-toilet umum dan
peturasan peturasan tanpa septik tank atau di atas Kali Banger. Pada
waktu yang akan datang, membuat dan menggunakan peturasan lansung
ke sungai seperti itu harus dihindari (lihat Gambar 5.3). Selama banjir,
sering terjadi septik tank tidak dapat lagi berfungsi dengan baik dan
bahkan meluap kepenuhan karena pemeliharaannya buruk atau tidak ada
pemeliharaan sama sekali. Di bagian selatan, terutama di Kelurahan
Kemijen, penduduk sering menderita penyakit kulit disebabkan oleh
banjir dan buruknya kondisi kualitas air. Salah satu sebab buruknya
kulitas air tersebut adalah disebabkan oleh sampah dan pembuangan
limbah air dari rumah tangga dan peturasan peturasan langsung ke badan
Kali Banger. Diare merupakan penyakit umum yang sering diderita
masyarakat di daerah ini. Namun, sedikit sekali informasi statistik
mengenai jumlah warga yang menderita penyakit kulit atau diare atau
penyakit yang berhubungan dengan kualitas air. Hal ini karena penduduk
biasanya tidak melaporkan kasus-kasus penyakit seperti itu ke Puskesmas
setempat. Sebagian besar penduduk telah hidup, tumbuh dan terbiasa
dengan masalah-masalah kesehatan masyarakat seperti itu. Mereka juga
telah belajar mencoba hidup dengan masalah seperti itu secara apa
adanya.

Gambar 5.3. Peturasan di atas Kali Banger


Warga yang tinggal di bagian selatan kawasan Banger tergolong
berpendapatan menengah sampai tinggi. Hampir semua rumah tangga
memiliki septik tank, sekalipun kurang jelas berapa sering peturasan
peturasan tersebut dipelihara dan kualitas limbah air apa yang mereka
buang langsung ke Kali Banger. Sebagian besar warga memiliki rumah
dengan kualitas memadai, yang dibangun pada ketinggian lebih tinggi,
sehingga kebanjiran hanya merupakan masalah saat curah hujan ekstrim
tinggi. Mereka hanya merasa kurang nyaman selama muka air tinggi,
tetapi hal itu tidak menimbulkan masalah langsung terhadap kesehatan
dan sanitasi yang diperburuk oleh kebanjiran.
BAB V
KESIMPULAN

Permasalahan yang terdapat di daerah banger Kota Semarang adalah banjir


rob dan genangan air karena letak geografis daerah ini yang berada di tepian air atau
daerah pesisir. Suatu sistem drainase yang cocok dengan daerah ini adalah sistem
polder karena sistem ini berfungsi untuk mengalihkan, mengalirkan air yang
tergenang. Sistem polder percontohan di banger adalah suatu sistem terpadu dari
unsur-unsur, terdiri dari Ring Dike Tertutup (Tanggul), stasiun pompa atau pintu air,
retensi baskom, dll. Polder tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa ada komponen -
komponen pelengkap tersebut. Dengan adanya sistem polder di daerah banger
perkotaan tersebut dapat mengurangi dampak genangan dan banjir di perkotaan.

Desain elemen memerlukan pendekatan terpadu dari sistem polder


keseluruhan pertama,seperti menentukan tingkat keamanan dan kapasitas pompa
yang optimal dan retensi kapasitas. Selain masalah teknis, sistem polder
membutuhkan terpadu Pendekatan kelembagaan juga, karena para pemangku
kepentingan institusi dan swasta banyak terlibat. Dengan pendekatan terpadu,
sistem polder suara dapat dirancang, melindungi penduduk dari rob dan Banjir, dan
secara signifikan mengurangi (tahunan) kerusakan.

Untuk memprakarsai pengelolaan polder banger, sebuah organisasi


sementara yang disebut BPS sudah dibentuk, yang terdiri dari warga - warga
setempat. BPS melakukan pertemuan secara teratur dengan pemerintah kota
semarang, BAPPEDA dan dengar pendapat umum dengan pihak terkait dan
pemangku kepentingan dalam wilayah pengembangan polder banger.

Tujuan dari organisasi ini dan pemerintahan kota adalah untuk


mengoperasikan dan memelihara seluruh prasaran polder banger, sehingga fungsi
sistem pengelolaan tata air dapat di operasikan dan dipelihara secara tepat.

Anda mungkin juga menyukai