Anda di halaman 1dari 31

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus adalah kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin
(Ganong 2002). Pada era kini Diabetes mellitus merupakan gangguan endokrin
yang paling banyak dijumpai. Kejadian diabetes banyak disebabkan oleh adanya
gangguan metabolisme yang menghambat aktivitas insulin. Gangguan hormonal
yang dapat berpengaruh diantaranya adalah kasus peningkatan aktivitas glukagon
dan terjadinya kerja kelenjar tiroid yang berlebihan. Kekurangan insulin
disebabkan oleh perubahan degeneratif dari sel-sel beta, penurunan efektivitas
hormon, dan tumor endokrin yang menyebabkan penurunan sekresi hormon.
Perubahan degeneratif dari sel beta pankreas sering merupakan akibat sekunder
pada peradangan bagian eksokrin.

2.1.1 Sejarah Diabetes Mellitus


Menurut Dallimutthe (2004), penyakit diabetes mellitus telah diketahui
sejak ribuan tahun sebelum masehi (SM). Pada tahun 1552 SM, di Mesir dikenal
penyakit yang ditandai dengan sering kencing dan dalam jumlah yang banyak
(yang disebut : poliurial), dan penurunan berat badan yang cepat tanpa disertai
rasa nyeri. Penulis India Sushratha pada tahun 400 SM menamakan penyakit
tersebut sebagai penyakit kencing madu (honey urine disease). Aretaeus pada
tahun 200 SM adalah orang yang pertama kali memberi nama : Diabetes, berarti
“mengalir terus”, dan Mellitus berarti “manis”. Disebut Diabetes, karena selalu
minum dan dalam jumlah banyak (Polidipsia), yang kemudian “mengalir terus”
berupa air seni (urine), disebut Mellitus karena air seni penderita ini mengandung
gula (manis). Willis adalah orang pertama pada tahun 1674 yang menuliskan
penderita dengan urin banyak dan seperti madu disebut Diabetes Mellitus. Pada
tahun 1921, Frederich Grant Banting, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran di
Toronto, Kanada mengangkat pankreas anjing kemudian mengekstrak pankreas
tersebut. Anjing yang telah diangkat pankreasnya mengalami peningkatan kadar
4

glukosa darah, kemudian setelah disuntik dengan ekstrak pankreas kadar gula
darahnya turun karena ekstrak pankreas itu mengandung hormon yang disebut
insulin. Ternyata hormon insulin inilah yang mengatur kadar glukosa dalam
darah. Sejak ditemukan hormon insulin pada tahun 1921 oleh Banting dan Best di
Kanada, maka angka kematian dan keguguran ibu-ibu diabetes yang hamil makin
berkurang. Akhirnya pada tahun 1954 Franke dan Fuchs mencoba tablet OAD
(Obat Anti Diabetes) pada manusia, yang akhirnya temuan OAD ini berkembang
pesat dengan berbagai jenis dan indikasi penggunaanya (Anonim 2008).

2.1.2 Etiologi Diabetes Mellitus


Sebagian besar kasus diabetes mellitus disebabkan oleh rusaknya sel beta
pankreas sehingga produksi insulin menjadi terhambat atau tidak sama sekali.
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka intolerensi
terhadap glukosa juga meningkat. Intolerensi glukosa pada usia lanjut berkaitan
dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, penyakit
penyerta, penggunaan obat-obatan sehingga terjadi penurunan sekresi insulin dan
resistensi insulin (Misnadiarly 2006). Diabetes mellitus merupakan penyakit yang
diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Para ahli kesehatan juga
menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin.
Faktor herediter sering pula menyebabkan timbulnya diabetes melalui
peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau
mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta, sehingga
mengarah pada penghancuran sel-sel beta. Obesitas juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya diabetes mellitus, salah satu alasan bahwa obesitas
menurunkan jumlah reseptor insulin didalam sel target insulin di seluruh tubuh,
sehingga membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam
meningkatkan efek metabolik insulin yang biasa (Guyton 1997).

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Menurut Misnadiarly (2006) Spontaneus Diabetes Melitus ada dua
macam, yaitu:
5

1. Diabetes Mellitus tipe I ( Insulin – Dependent Diabetes Mellitus )


Diabetes mellitus tipe ini atau IDDM dimana sebagian besar sel β pulau
Langerhans yang memproduksi insulin dalam pankreas mengalami kerusakan.
Akibatnya kadar insulin yang diproduksi sangat sedikit atau sama sekali tidak
diproduksi. Oleh karena itu, penderita memerlukan suntikan insulin dalam
penyembuhannya. Gejala biasanya timbul pada masa anak- anak dan mencapai
puncaknya pada usia dewasa.
2. Diabetes Mellitus Tipe II (Noninsulin – Dependent Diabates Mellitus)
Diabetes Mellitus tipe ini atau Non insulin – Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM), dimana pankreas masih relatif cukup menghasilkan insulin tetapi
insulin yang ada bekerja kurang sempurna karena adanya retensi insulin. Pada
tipe ini kebanyakan timbul pada penderita yang berusia diatas 40 tahun, dan
umumnya disertai kegemukan.
Selain dari diabetes mellitus Tipe I dan II, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) mengakui adanya tipe lain yaitu tipe diabetes gestasional yang terjadi
selama kehamilan. Diabetes mellitus gestasional (GDM) juga melibatkan suatu
kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak
cukup, menyerupai diabetes mellitus tipe II. Hal itu dapat terjadi selama
kehamilan dan kadar insulin boleh meningkat atau menghilang lenyap setelah
penyerahan. Diabetes mellitus pada kehamilan umumnya sembuh dengan
sendirinya setelah persalinan. Tetapi ada sekitar 2%–5% dari semua kehamilan
terjadi temporer dan secara penuh bisa menyebabkan permasalahan dengan
kehamilan yang dapat membahayakan fetus dan induk, termasuk macrosomia
(kelahiran dengan berat badan yang tinggi), bentuk cacat pada fetus dan penyakit
jantung sejak lahir. Selain itu kelainan dapat juga terjadi pada sistem syaraf
utama dan cacat otot. Peningkatan hormon insulin dapat mempengaruhi produksi
surfaktan pada saluran pernafasan sehingga menyebabkan gangguan pernafasan
dan terjadi hyperbilirubinemia akibat kematian sel eritrosit serta terjadi kematian
perinatal akibat lemahnya plasenta. Sehingga diperlukan pengawasan medis
secara hati-hati sepanjang kehamilan.
6

2.1.4 Gejala klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus


Gejala klinis diabetes mellitus meliputi gejala-gejala pada stadium
kompensasi dan dekompensasi pankreas, serta gejala-gejala kronik lainnya.
Gejala-gejala pada stadium kompensasi misalnya polifagi, polidipsi, poliuri dan
penurunan berat badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glikosuria akan
menyebabkan tekanan osmotik di tubuli meningkat dan menghambat reabsorbsi
air. Karena terhambatnya reabsorbsi air ini menyebabkan penderita diabetes
mellitus mengalami poliuria dan akibat adanya poliuria terus menerus akan
menyebabkan dehidrasi tingkat jaringan. Penderita diabetes mellitus tidak dapat
memecah glukosa dalam darah sehingga akan menggunakan lemak tubuhnya
untuk mengganti energi atau makanan bagi sel sehingga akan terjadi ketonemia
dan ketonuria dan tubuh terlihat kurus. Adanya badan-badan keton di dalam
darah akan menimbulkan terjadinya asidosis sehingga frekuensi nafas meningkat
dan penderita mengalami koma (Ressang 1984). Pada keadaan koma kulit
mukosa dan lidah tampak kering, bulbus mata menjadi lunak, pernafasan menjadi
lebih dalam dan lebih lambat serta napas bau aseton (Mutschler 1991). Gejala-
gejala kronik yang sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia, semutan, mata
kabur, mialgia, atralgia, kemampuan seksual berkurang dan lain-lain (Soehadi
1989).
Diabetes mellitus memiliki sejumlah komplikasi karena vaskulopati dan
neuropati atau campuran keduanya. Komplikasi diabetes mellitus dapat bersifat
akut atau kronis (Anonim 2008). Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa
darah seseorang meningkat atau menurun dengan tajam dalam waktu yang relative
singkat. Kadar glukosa darah bisa menurun jika penderita menjalani diet yang
terlalu ketat. Namun perubahan yang besar dan mendadak dapat berkibat fatal.
Dalam komplikasi akut yang terjadi seperti hipoglikemia, ketoasidosis diabetik-
koma, koma hiperosmoler non ketotik, dan koma lakto asidosis. Hipoglikemia
yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah dibawah normal. Gejala hipoglikemia
ditandai dengan munculnya rasa lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-
debar, pusing, gelisah, dan penderita bisa menjadi koma. Ketoasidosis diabetik-
koma diartikan sebagai keadaan tubuh yang sangat kekurangan insulin dan
7

bersifat mendadak akibat infeksi, lupa untuk suntik insulin, pola makan yang
terlalu bebas, atau stress. Koma hiperosmoler non ketotik diakibatkan adanya
dehidrasi berat, hipotensi, dan shock. Oleh karena itu, koma hiperosmolar non
ketotik diartikan sebagai keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak yang
menyebabkan penderita menunjukkan pernapasan yang cepat dan dalam. Koma
lakto asidosis diartikan sebagai keadaan tubuh dengan asam laktat yang tidak
dapat diubah menjadi bikarbonat. Akibat dari hal ini, kadar asam laktat dalam
darah meningkat dan seseorang bisa mengalami koma. Komplikasi kronis
diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan
serangan jantung, serangan otak yang biasanya diikuti dengan kelumpuhan dan
struk. Kerusakan pembuluh-pembuluh darah peripheral biasanya mempengaruhi
bagian tubuh bawah dan kaki, kerusakan ginjal (neuropati), kerusakan saraf
(neuropati) yang dapat menyebabkan kelumpuhan (paralisis), impotent dan
penyakit mata (retinopati), retina mata terganggu sehingga terjadi kehilangan
sebagian atau keseluruhan dari penglihatan, penderita retinopati diabetik
mengalami gejala penglihatan kabur sampai kebutaan. Menurut laporan komisi
diabetes mellitus, penderita diabetes mellitus dapat 2 kali lebih mudah terkena
trombosis serebri, 24 kali mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali rentan
terhadap kegagalan ginjal, 5 kali lebih mudah terkena ganggren, bilamana
dibandingkan dengan orang non- diabetes mellitus. Meskipun gejala-gejala
diabetes mellitus dapat diregulasi, namun komplikasi diabetes mellitus kronis
jangka panjang dapat mengurangi lama perkiraan hidup sampai sepertiga (Notkins
dalam Soehadi 1989).

2.1.5 Diagnosa Diabetes Mellitus


Diagnosis diabetes pada manusia ditegakkan berdasarkan gejalanya yaitu
3P (polidipsi, polifagi, poliuri) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan
kadar gula darah yang tinggi (tidak normal). Pengukuran kadar gula darah
dilakukan dua kali yakni, kadar gula darah puasa (setelah berpuasa selama 8 jam)
dan kadar gula darah setelah makan (2 jam setelah makan).
8

Tabel 1. Kriteria diagnostik gula darah (mg/dL) (Anonim 2007)


Non Diabetes Pra Diabetes Diabetes
Puasa <110 110-125 >126
Setelah makan <110 110-199 >200

Pemeriksaan darah lainnya yang bisa dilakukan adalah tes toleransi


glukosa. Tes ini dilakukan pada keadaan tertentu, misalnya pada kehamilan. Hal
ini untuk mendeteksi diabetes yang sering terjadi pada kehamilan. Penderita
berpuasa dan contoh darahnya diambil untuk mengukur kadar gula darah puasa.
Lalu penderita diminta meminum larutan khusus yang mengandung sejumlah
glukosa dan 2-3 jam kemudian contoh darah diambil lagi untuk diperiksa. Hasil
glukosa contoh darah dibandingkan dengan kriteria diagnostik gula darah terbaru
yang dikeluarkan oleh PERKENI tahun 2006 (Anonim 2007).
Sebelum berkembang menjadi diabetes tipe II, biasanya orang selalu
menderita pra-diabetes yang memiliki gejala tingkat gula darah lebih tinggi dari
normal tetapi tidak cukup tinggi untuk diagnosa diabetes tetapi kerusakan dalam
jangka panjang terjadi pada jantung dan sistem peredaran darah selama pra-
diabetes ini. Dengan pra-diabetes akan muncul resiko satu setengah kali lebih
besar terkena penyakit jantung. Saat menderita diabetes, maka resiko naik
menjadi 2 hingga 4 kali. Akan tetapi, pada beberapa orang yang memiliki pra-
diabetes, kemungkinan untuk menjadi diabetes dapat ditunda atau dicegah dengan
perubahan gaya hidup.

2.1.6 Pengobatan Diabetes Mellitus


Diabetes Mellitus dapat ditanggulangi dengan pemberian obat, pengaturan
diet secara maksimal untuk pengembalian kadar glukosa darah dan pemberian
preparat hormonal. Pemberian obat hanya merupakan pelengkap diet, obat
diberikan bila pengaturan diet secara meksimal tidak berhasil mengembalikan
glukosa darah. Obat yang sering digunakan dalam mengatasi penyakit diabetes
mellitus adalah :
9

1. Insulin (parenteral)
Insulin merupakan hormon yang penting bagi kehidupan. Hormon ini
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin menaikkan
pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian jaringan, menaikkan pembentukan
glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi
pembentukan lemak dan protein dari glukosa. Semua proses ini menyebabkan
kadar glukosa darah menurun akibat pengaruh insulin. Kerja insulin lainnya
adalah meningkatkan pengambilan ion kalium ke dalam sel dan menurunkan kerja
katabolik glukokortikoid dan hormon kelenjar tiroid (Mutschler 1991).
2. Obat hipoglikemik oral
Obat ini digunakan untuk mengurangi kebutuhan insulin yang diberikan
dari luar. Dalam keadaan gawat insulin harus tetap diberikan. Obat hipoglikemik
oral terbagi atas (Laurence 1992) :
a. Golongan sulfonil urea
Obat ini dapat menurunkan glukosa darah yang tinggi dengan cara
merangsang keluarnya insulin dari sel β pankreas. Oleh karena itu
golongan ini cocok untuk penderita diabetes mellitus tipe II. Obat yang
termasuk golongan ini adalah klorpropamida, tolazomida, glikosida, gliba
klamida, glikisida, dan glikodon.
b. Golongan biguanida
Obat golongan ini tidak bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin
tetapi langsung terhadap organ sasaran. Obat yang termasuk dalam
golongan ini antara lain; metformin, fenformin, dan buformin
(Ganiswarna 1995).
3. Glukagon
Glukagon adalah suatu polipeptida yang terdiri dari 29 asam amino.
Hormon ini dihasilkan oleh sel alpha pulau langerhans. Glukagon meningkatkan
glukoneogenesis, efek ini mungkin sekali disebabkan oleh menyusutnya simpanan
glikogen dalam hepar, karena dengan berkurangnya glikogen dalam hepar proses
deaminasi dan transaminasi menjadi lebih aktif. Dengan meningkatnya proses
tersebut maka pembentukan kalori juga semakin besar. Glukagon terutama
10

digunakan pada pengobatan hipoglikemia yang ditimbulkan oleh insulin. Hormon


tersebut dapat diberikan secara intravena, intramuscular, atau subkutan 1 mg, bila
dalam 20 menit setelah pemberian glukagon subkutan penderita koma
hipoglikemik tetap tidak sadar, maka glukosa intravena harus segera diberikan
karena mungkin glikogen dalam hepar telah habis atau telah terjadi kerusakan
otak yang menetap (Ganiswarna 1995).

2.2 Ginjal
2.2.1 Anatomi Ginjal
Ginjal adalah organ yang menyaring plasma dan unsur-unsur plasma dari
darah, dan kemudian secara selektif menyerap kembali air dan unsur-unsur
berguna yang kembali dari filtrat, yang akhirnya mengeluarkan kelebihan dan
produk buangan plasma (Frandson 1992).
Secara anatomis ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang yang
terletak di belakang rongga abdomen, satu disetiap sisi kolumna vertebralis sedikit
di atas garis pinggang (Sherwood 2001). Ginjal dikelilingi oleh jaringan lemak
perineal disekitarnya, berwarna coklat, dibungkus oleh kapsula yang normalnya
dapat bergerak bebas pada permukaan ginjal. Hampir semua jenis ternak
ginjalnya memiliki bentuk seperti kacang, kecuali ginjal sapi dengan lobul-
lobulnya, serta kuda dengan ginjal kanan yang menyerupai bentuk jantung
(Frandson 1992). Setiap ginjal pada orang dewasa beratnya kira-kira 150 gram
dan kira-kira seukuran kepalan tangan (Guyton 1996).
Ginjal terdiri dari dua daerah, yaitu daerah perifer yang beraspek gelap
disebut korteks dan daerah yang agak cerah disebut medula, berbentuk piramid
terbalik (Dellman 1992). Bagian korteks mengandung jutaan alat penyaring yang
disebut nefron (Anonim 2009). Batas medial dari ginjal umumnya adalah konkaf
dan mempunyai beberapa depresi, yaitu hilus renalis dimana pembuluh-pembuluh
darah dan saraf masuk, dan ureter serta pembuluh limfatik keluar. Pengembangan
asal-usul ureter disebut pelvis renal. Bagian ini menerima urin dari tubulus
penampung (Frandson 1992).
11

Gambar 1. Potongan longitudinal ginjal kanan (Lesson and Lesson 1989)

2.2.2 Histologi Ginjal


Kapsula membungkus seluruh bagian ginjal kecuali hilus renalis. Di
bawah kapsula terdapat korteks renalis yang ditandai dengan adanya korpuskulus
renalis dan tubulus kontortus (Hartono 1992). Medula renalis tampak seperti
piramida (malphigi) dengan bagian ujung mengarah ke pusat (Guyton 1997).
Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medula
serta diakhiri pada papila yang menonjol dalam ruang pelvis ginjal, yaitu
sambungan berbentuk cerobong dari ujung akhir ureter. Perbatasan pelvis sebelah
luar terbagi menjadi kantong dengan ujung membuka yang disebut kalises mayor,
yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kalises minor, yang mengumpulkan
urin dari tubulus setiap papila (Guyton 1996). Bagian medula tampak bergaris-
garis karena adanya tubulus-tubulus pengumpul yang tersusun secara radial. Di
sanping itu, di dalam medula juga terdapat loop Henle. Bagian korteks yang
terletak di antara medula dan kapsul jaringan ikat yang tipis, nampak seperti
granula karena banyaknya glomeruli. Tubulus proksimal yang mengalami
konvulusi juga terletak pada bagian korteks dalam ikatan yang erat dengan
glomeruli dan loop Henle yang jumlahnya banyak (Fradson 1992).
Pada ujung papila, arteri renalis yang merupakan cabang dari aorta masuk
ke dalam ginjal melalui hilus renalis dan kemudian bercabang menjadi arteri
interlobularis. Arteri interlobularis kemudian bercabang lagi menjadi pembuluh-
pembuluh kecil yang disebut vas arteriola (afferen). Tiap-tiap vas afferen akan
12

bercabang menjadi kapiler yang membentuk glomerulus. Melalui glomerulus


inilah terjadi filtrasi untuk membentuk urin (Guyton 1997).
Menurut Frandson (1992), nefron merupakan unit fungsional pada ginjal.
Nefron terdiri dari glomerulus, kapsul glomerulus (kapsul Bowman), tubulus
konvolusi proksimal, loop Henle dan tubulus konvolusi distal. Kapsul glomerulus
(kapsul Bowman) merupakan pengembangan ujung buntu dari tubulus, yang
mengalami evaginasi di sekitar glomerulus dan hampir keseluruhan menyelimuti.
Kompleks yang terdiri dari glomerulus serta lapis-lapis luar dan dalam kapsul
glomerular disebut korpuskel renal atau Malphigi.
Malphigi merupakan lokasi utama terjadinya filtrasi cairan dari darah,
yaitu kira-kira sebanyak 100 kali jumlah cairan yang melintasi saringan ini yang
pada akhirnya dikeluarkan sebagai urin. Tekanan darah di dalam kapiler harus
tetap tinggi agar penyaringan dapat berjalan efektif. Arteriol kapiler yang masuk
ke glomerulus dan arteriol eferen yang keluar dari glomerulus di lengkapi dengan
otot polos sehingga jumlah darah yang masuk ke dalam glomerulus serta tekanan
di dalam glomerulus dapat dikendalikan dengan konstriksi arteriol aferen maupun
arteriol eferen (Fradson 1992).
Arteriol aferen yang mencapai glomerulus diselimuti oleh sel-sel
mioepitelial yang memiliki beberapa sifat otot polos yang disebut dengan sel-sel
juxtaglomerular. Sel ini memproduksi renin yang disekresikan ke dalam darah
sebagai rangsangan pada saat volume darah menurun, saat konsentrasi Na dalam
cairan tubular distal menurun, saat serabut saraf simpatetik yang menginervasi
arteriol aferen dirangsang atau pada saat terjadi renal aschaemia (Underwood
1992).
Di samping korpuskel renalis, nefron terdiri atas tubulus konvolusi
prosimal, lopp Henle, dan tubulus konvolusi distal. Dalam keadaan apapun,
tubulus konvolusi proksimal merupakan bagian berliku-liku yang paling panjang
dari nefron. Sel-sel yang melapisi segmen bagian proksimal dari tubulus
berbentuk kolumnar atau kuboidal dan menampilkan suatu batas luminal yang
bergaris, yang disebut brush border, pada permukaan bebas dari sel-sel itu
(Frandson 1992). Loop Henle terletak antara tubulus konvolusi proksimal dan
tubulus konvolusi distal. Setiap lengkung terdiri atas cabang desenden dan
13

asenden. Loop merupakan saluran yang berbentuk huruf U yang bermula dekat
glomerulus sebagai lanjutan dari tubulus proksimal (Guyton 1996). Tubulus
konvolusi distal lebih pendek dan berkelok-kelok di bandingkan dengan dengan
tubulus proksimal. Tubulus distal ini merentang dari ujung loop Henle yang naik,
ke tubulus pengumpul (Frandson 1992).

2.2.3 Fungsi Ginjal


Ginjal sangat berperan dalam mempertahankan homeokinesis
(homeostatis), yaitu suatu keadaan yang relatif konstan dari lingkungan internal di
dalam tubuh. Hal tersebut mencakup faktor-faktor yang beragam seperti
keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit, dan konsentrasi banyak
zat di dalam plasma. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja ginjal mencakup
komposisi darah, tekanan darah arterial, hormon, dan sistem saraf otonom
(Frandson 1992).
Menurut Sherwood (2001), fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal,
yang sebagian besar ditunjukkan untuk mempertahankan kestabilan lingkunan
cairan internal adalah :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion cairan ekstrasel
(CES) termasuk Na+, Cl-, K+, HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO43-, dan H+.
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan
melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O.
4. Membantu memelihara keseimbangan asam-basa tubuh dengan
+ -
menyesuaikan pengeluaran H dan HCO3 melalui urin.
5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh,
terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O.
6. Mengekskresikan (eliminasi) produk-produk sisa dari metabolisme tubuh,
misalnya urea, asam urat dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat-zat
sisa tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak.
14

7. Mengekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat, zat penambah


pada makanan, pestisida, dan bahan-bahan eksogen non-nutrisi lainnya
yang berhasil masuk ke dalam tubuh.
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah.
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

2.2.4 Patologi Ginjal


Perubahan patologi pada ginjal antara lain nephrosis (nefrosa) yaitu
peradangan pada ginjal yang disebabkan oleh gangguan pertukaran zat. Nefrosa
dapat dibagi menjadi tubulo-nephrosis dan glomerulo-nephrosis. Tubulo-
nephrosis disebabkan oleh perubahan pada epitel tubuli karena tubuli selain
berfungsi sebagai sekresi juga berfungsi sebagai reabsorbsi (Ressang 1984).
Secara mikroskopis glomerulus merupakan jalinan buluh darah yang
memiliki pori-pori dan secara normal tidak dapat ditembus oleh protein plasma
serta sangat peka terhadap toksin, iskemia dan peradangan (Girindra 1988).
Jalinan buluh darah tersebut diselaputi oleh kapsula Bowman dan ruangan yang
terbentuk di antaranya dikenal dengan ruang Bowman yang diketahui sebagai
tempat berkumpulnya filtrat glomerulus sebelum dialirkan langsung ke tubulus
proksimal (Cunningham 1997). Dalam keadaan patologis, ruang Bowman dapat
membesar atau hilang sama sekali karena kapiler glomerulus membengkak
(Ressang 1984).
Gejala klinis yang muncul akibat disfungsi glomerulus bermacam-macam.
Jika terjadi kerusakan pada glomerulus dapat menyebabkan infiltrasi protein ke
dalam lumen tubulus yang selanjutnya dikeluarkan bersama dengan urin seperti
pada kasus proteinuria (Confer dan Panciera 1995). Kerusakan glomerulus
cenderung diikuti oleh kerusakan epitel tubulus berupa degenerasi berbutir atau
cloudy swelling, degenerasi hidropis, degenerasi lemak ataupun terbentuknya
endapan protein dalam sitoplasma yang disebut degenerasi hialin (Ressang 1984).
15

Stadium akhir dari perubahan progresif ini umumnya ditandai dengan


terbentuknya jaringan ikat pada tubulus maupun interstisial gnjal.
Secara umum, kerusakan yang mungkin timbul akibat intoksikasi zat
kimia asing adalah nefritis toksikan yang terdiri dari toksik glomerular nefritis dan
toksik tubular nefritis atau dikenal sebagai nefrosis (Nabib 1987). Pada toksik
glomerular nefritis ditemukan proliferasi sel-sel epitel dan endotel glomerulus,
edema dan penimbunan fibrin yang diikuti dengan penebalan kapiler glomerulus
dan kapsula Bowman. Stadium akhir dari penebalan tersebut adalah terbentuknya
jaringan fibrosis dan diakhiri dengan atropi glomerulus (Carlton dan McGavin
1995).
Zat-zat nefrotoksin seperti aminoglikosida (Nouwen et.al.1994) atau
cadmium (Hamada et. al.. 1996) dapat menyebabkan apoptosis pada tubulus
proksimal. Bukti ini menyimpulkan bahwa apoptosis terjadi pada ginjal dengan
spektrum luas dan mungkin sangat berarti terhadap hilangnya fungsi ginjal, baik
penyakit ginjal akut ataupun kronis (Tang et. al. 1997).
Beberapa kelainan pada ginjal cenderung menyebabkan hipertensi
sebaliknya hipertensi juga dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Lesio-lesio
tersebut terutama menurunkan kemampuan ginjal dalam mengekskresi natrium
dan air. Oleh karena itu, gangguan yang menurunkan GFR atau meningkatkan
reabsorbsi tubulus biasanya menimbulkan hipertensi (Guyton 1996). Pada gagal
ginjal kronis, penurunan GFR mengakibatkan retensi Na+ dan air yang cenderung
mengakibatkan hipertensi sebagai respon balik untuk meningkatkan ekskresi Na+
dan air (McFarlane 2000).

2.3 Vesika Urinaria


2.3.1 Anatomi Vesika Urinaria
Vesika urinaria (kandung kemih), merupakan organ muscular berongga
yang ukuran dan posisinya bervariasi tergantung pada jumlah urin yang ada di
dalamnya. Kandung kemih berkontraksi yang kosong merupakan struktur yang
berdinding tebal, berbentuk seperti buah pear yang terletak pada alas pelvis
(Frandson 1992).
16

Menurut Guyton (1996), kandung kemih adalah ruang berdinding otot


polos yang terdiri dari dua bagian besar yaitu: (1) badan (korpus), merupakan
bagian utama kandung kemih sebagai tempat urin berkumpul, dan (2) leher
(kollum), merupakan lanjutan badan yang berbentuk corong, berjalan secara
inferior dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan
uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra
posterior karena hubungannya dengan uretra.

Gambar 2. Struktur Vesika Urinaria pada pria (Lesson and Lesson 1989)

Jika kandung kemih (bladder) terisi penuh, dinding bladder menjadi tipis
dan bagian terbesar bladder itu akan terdesak kearah cranial masuk ke rongga
abdominal. Peritoneum menutupi bagian cranial dari bladder, tergantung pada
penuhnya bladder itu. Bagian kaudalnya ditutupi oleh fascia pelvis (Frandson
1992).
Setelah dibentuk oleh ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung
kemih. Konstraksi peristaltik otot polos di dalam dinding uretra juga mendorong
urin bergerak maju dari ginjal ke kandung kemih. Ureter menembus dinding
kandung kemih secara oblik, melalui dinding kandung kemih beberapa sentimeter
sebelum bermuara di rongga kandung kemih. Susunan anatomis seperti ini
mencegah aliran balik urin dari kandung kemih ke ginjal apabila terjadi
peningkatan tekanan di kandung kemih (Sherwood 2001).
17

2.3.2 Histologi Vesika Urinaria


Dinding kandung kemih terdiri dari otot polos yang dilapisi oleh epitel
jenis khusus (Sherwood 2001). Pelvis, ureter, kandung kemih, dan uretra pada
bagian dalamnya diselaputi oleh epitel transisional. Lapisan yang terletak di
bagian itu penting karena lumen tersebut sering mengalami distensi. Ketika
organ-organ itu sedang kosong, dindingnya akan tebal, sel-sel epitel pelapis itu
membentuk strata yang terdiri atas banyak lapis. Apabila organ tersebut
mengalami distensi, lumen menjadi lebih besar, dindingnya menipis, dan terjadi
suatu transisi ke stratifikasi yang lebih sedikit. Oleh karena itu disebut dengan
epitel transisional (Fradson 1992). Tebal epitel transisional bervariasi dari 3-14
lapis sel, tergantung pada spesies serta derajat pemekarannya (Dellman 1992).
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor, serat-serat ototnya meluas ke
segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam kandung
kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg (Guyton 1996).
Diantara lapisan epitel dan otot polos dari dinding organ terdapat sejumlah
jaringan ikat yang disebut lamina propria. Jaringan yang lebih banyak lagi
terdapat pada bagian superficial dari serabut-serabut melingkar dan longitudinal
otot polos. Lapis luar dari jaringan ikat tersebut disebut adventitia, ditutupi oleh
peritoneum pada aspek dan badan bladder (Frandson 1992). Nodus limfatikus
sering dijumpai pada lamina propria semua hewan piaraan. Banyak pembuluh
kapiler terdapat di dekat epitel, dan pada ruminansia cenderung membentuk
lapisan langsung di bawah membran basal. Kandung kemih memiliki lamina
muskularis yang tipis. Jaringan ikat pada submukosa kandung kemih bersifat
agak longgar dan mengandung lebih banyak serabut elastis dari pada lamina
propria (Dellman 1992).

2.3.3 Fungsi Vesika Urinaria


Vesika urinaria atau kandung kemih berfungsi untuk menampung urin yg
telah dibentuk oleh ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme. Urin
mengandung berbagai produk sisa dengan konsentrasi tinggi ditambah sejumlah
bahan dengan jumlah bervariasi yang diatur oleh ginjal, dan kelebihannya akan
dikeluarkan melalui urin. Bahan-bahan yang bermanfaat ditahan melalui proses
18

reabsorbsi sehingga tidak muncul di urin (Sherwood 2001). Urin akan


dikeluarkan dari kandung kemih secara periodik melalui ureter.

2.3.4 Patologi Vesika Urinaria


Beberapa kejadian patologis yang dapat ditemui pada vesika urinaria
menurut Ressang (1984) adalah sebagai berikut :
 Batu kandung kemih
Batu-batu di dalam kandung kemih sering terlihat pada kuda, sapi dan
sering pada domba. Batu-batu ini juga sesekali terlihat pada anjing dan
kucing. Batu ini terjadi karena adanya infeksi alat urogenital di samping
defisiensi vitamin A. Pada pusat setiap batu biasanya terlihat inti yang
terdiri dari gumpalan leukosit dan epitel yang mengelupas.
 Dilatasi vesika urinaria
Dilatasi vesika urinaria dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti adanya
batu di dalam uretra, prostate hewan yang membesar. Dilatasi vesika
urinaria ini dapat mengakibatkan rupturnya vesika urinaria sehingga
menyebabkan kematian hewan karena peritonitis.
 Cystitis vesika urinaria
Radang kandung kemih sering ditemukan terutama pada hewan kecil.
Pada kucing biasanya disebabkan karena uretra tersumbat batu kemih.
Dari luar vesika urinaria berwarna merah hingga merah kehitaman.
Selaput lendir biasanya tebal dan berwarna merah kehitaman. Di dalam
uretra sering kali ditemukan batu kemih. Cystitis bernanah atau berfibrin
biasanya disebabkan oleh bakteri.

2.4 Testis
2.4.1 Anatomi Testis
Pada setiap ekor hewan jantan terdapat sepasang testis yang berbentuk
seperti telur atau peluru (Sigit 1980). Testis tersebut berada dalam scrotum yang
berupa kantong yang terdiri atas kulit dan tunika dartos dan sebagian funiculus
spermaticus. Scrotum ini menyebabkan suhu testis berada 2,20 C lebih rendah
dari suhu badan (abdomen). Scrotum bereaksi terhadap rangsangan seksual secara
19

vaso kongesti dan kontraksi serabut otot-otot polos dari tunica dartos, sehingga
struktur dari scrotum mengencang dan menebal (Effendi 1981). Testis terletak
menggantung di daerah prepubis dan digantung oleh funiculus spermaticus yang
menggantung unsur-unsur yang terbawa oleh testis dalam perpindahannya dari
cavum abdominalis melalui canalis inguinalis ke dalam scrotum (Toelihere 1985).
Bagian luar dari testis berbentuk convex dan licin. Bagian yang berada
pada ujung proksimal disebut ekstremitas capitata yang berhadapan dengan caput
epididymis, sedangkan ekstremitas caudata berhadapan dengan cauda epididymis.
Bagian pinggir yang berhadapan dengan corpus epididymis disebut margo
epididymis dan bagian yang bebas dari testis disebut margo liber (Sigit 1980).
Testis dibungkus oleh tunica vaginalis propria yang akan membungkus
ductus epididymis dan ductus deferens. Dibagian profundal tunica ini terdapat
tunica albuginea yaitu suatu jaringan ikat padat berwarna putih yang terdiri atas
serabut fibreus dan serabut-serabut otot licin (Sigit 1980).

Gambar 3. Anatomi testis (Anonim 2008)

Testis sedikit bervariasi dari spesies ke spesies dalam hal bentuk, ukuran,
dan lokasi, tetapi struktur dasarnya adalah sama. Masing-masing testis terdiri dari
900 lilitan tubulus seminiferosa yang dikelilingi oleh kapsul berserabut atau
20

trabekula melintas masuk dari tunica albuginea untuk membentuk kerangka atau
stroma, untuk mendukung tubulus seminiferosa. Tubulus seminiferosa ini
masing-masing memiliki panjang rata-rata tebih dari 5 meter, dan merupakan
tempat pembentukan sperma (Guyton 1996). Trabekula ini bergabung
membentuk korda fibrosa, yaitu mediastinum testis. Rete testis terdiri dari
saluran-saluran yang beranastomose dalam mediastinum testis. Saluran-saluran
ini terletak di antara tubulus seminiferosa dan duktuli eferen yang berhubungan
dengan ductus epididymis dalam kepala epididymis (Fradson 1992).

2.4.2 Histologi Testis


Struktur histologis testis dibungkus oleh jaringan ikat padat fibrosa yakni
tunika albuginea dan di bawahnya terdapat lapisan jaringan ikat longgar dengan
banyak pembuluh darah yang disebut Tunika vaskulosa (Bajpai 1987). Tunika
albuginea berhubungan dengan septula testis yaitu suatu jaringan ikat yang
membagi testis menjadi lobuli testis. Septula testis ini akan menuju ke sentral
menuju mediastinum testis. Lobuli testis sendiri mengandung tubulus seminiferi
kontorti yaitu suatu saluran yang dibentuk oleh sel-sel spermatogenik dan sel-sel
Sertoli (pemberi nutrisi sel-sel spermatogenik) dan tubuli seminiferi recti yang
akan membentuk rete testis untuk menyalurkan sperma ke duktus epididymis
(Sigit 1980). Testis terdiri dari jaringan tubulus seminiferi, sel stroma, sel
interstisial, dan sel-sel Leydig (Tomaszewska et al.1991).
Secara mikroskopik tubuli seminiferi terdiri dari tunica propria dan
epitelia seminiferi. Pada tunica propria terdiri dari jaringan ikat dan sel Leydig.
Sedangkan pada epitelia seminiferi terdapat dua macam sel yaitu sel
spermatogenik dan sel Sertoli (Tomaszewska et al.1991). Sel spermatogenik
membentuk lapisan epitel berlapis dengan ketebalan 4-8 sel melapisi tubulus
seminiferi. Sel-sel berkembang secara progresif dari daerah tubulus kearah
lumen. Proliferasi mendorong sel-sel kearah lumen dan yang paling dekat dengan
lumen berubah menjadi spermatozoa dan melepaskan diri dari epitel dan terletak
bebas dalam lumen. Urutan kejadian tersebut disebut sebagai spermatogenesis.
Sedangkan sel Sertoli jumlahnya relatif sedikit dan tersusun sepanjang tubulus
pada jarak-jarak yang diatur di antara sel-sel benih. Sel-sel Sertoli merupakan sel-
21

sel tinggi seperti tiang dengan dasarnya yang terletak di atas lamina basal tubulus.
Bentuk sel tidak teratur, tidak tampak jelas dan sangat kompleks karena kepala
spermatozoa yang matang menempati cekungan-cekungan di sitoplasmanya. Inti
sel terletak pada jarak tertentu di atas dasar sel, pucat lonjong dengan sumbu
panjang tersusun secara radial. Anak inti sel ini jelas sehingga mudah
membedakannya dari unsur-unsur spermatogenik lain yang terdapat dalam
tubulus. Anak inti tampak mencolok, terdiri atas bagian sentral yang asidofil dan
bagian tepi yang sedikit lebih bersifat basofil (Tambajong dan Wonodirekso
1996).
Sel interstisial yang spesifik yakni sel leydig terletak dalam jaringan ikat
longgar yang terdapat diantara tubuli. Sel besar berbentuk polygonal ini terdapat
satu-satu atau membentuk kelompok kecil dengan sitoplasma bergranul dan
bervakuola dengan inti jelas. Sel ini mempunyai fungsi endokrin dengan
menghasilkan androgen utamanya testosteron. Pada interstisial tubuli juga
terdapat makrofag, sel mast dan kaya akan suplai kapiler. Pembuluh darah tidak
dapat menembus membran basalis tubuli sehingga pertukaran melalui difusi
(Toelihere 1979).

2.4.3 Fungsi testis


Fungsi testis menurut Hadjopranjoto (1995) adalah :
1. Fungsi endokrinologi
2. Fungsi reproduksi
Fungsi Endokrinologi
Testis mensekresi bermacam-macam steroid yang disintesis dari kolestrol.
Sekresi utama adalah testosteron, sebuah produk dari kumpulan sel leydig yang
ditemukan pada jaringan intertubular yang berbatasan dengan tubulu seminiferi.
Testosteron diklasifikasikan sebagai androgen karena menstimulasi karakteristik
kelamin sekunder pada jantan (Kretser 1982). Banyak sekali pengaruh dari
hormon testosteron terhadap bagian tubuh individu yang bersangkutan. Pengaruh-
pengaruhnya menurut Hardjopranjoto (1995) adalah sebagai berikut :
1. Mempengaruhi pertumbuhan alat kelamin jantan.
22

2. Mempengaruhi pertumbuhan alat-alat kelamin sekunder pada hewan


jantan.
3. Mempengaruhi tingkah laku seksual hewan jantan.
4. Mendorong adanya diferensiasi tenunan syaraf pada pejantan yang telah
dewasa.
5. Menstimulir bermacam-macam metabolisme di dalam tubuh hewan jantan.
6. Mendorong pertumbuhan dan sekresi kelenjar assesoris hewan jantan.
7. Memperpanjang hidup sel-sel spermatozoa di dalam saluran epididimis
8. Menambah/mempertinggi retensi nitrogen di dalam tubuh.
9. Menstimulir pertumbuhan tulang dan urat daging.
10. Mengurangi deposisi lemak di dalam tubuh.
11. Mempengaruhi pigmentasi pada bulu dan kulit.
Spermatogenesis normal dapat terjadi karena kerja Gonadotropin
Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hoemone (FSH), androgen
dan kemungkinan hormon lainnya. Fungsi endokrin dari testis dipengaruhi oleh
feed-back loop dikenal sebagai aksis hipotalamus-pituitari-gonad (Honaramooz &
Snedaker 2002).
Hipotalamus mensintesis dan mensekresi dekapeptida Gonadotropin-
relasing hormone (GnRH). Relasing hormon ini bekerja secara langsung pada sel
gonadotropik pada pituitari anterior. Stimulasi GnRH menyebabkan gonadotrop
mensintesis dan mensekresi FSH dan LH. Pada testis, LH berikatan dengan
reseptor membran sel leydig dan menstimulasi sel reseptor tersebut untuk
merubah kolesterol menjadi testosteron. Androgen yang disintesis kemudian
berdifusi ke darah dan limfe dan ditranspor oleh Androgen-binding protein (ABP)
yang diproduksi oleh sel Sertoli. Konsentrasi lokal testosteron yang tinggi pada
testis sangat esensial bagi terjadinya spermatogenesis normal. Androgen-binding
protein juga memfasilitasi transpor androgen dari testis ke epididimis, yang
diketahui bahwa hormon sangat dibutuhkan untuk pematangan sperma.
Testosteron dan FSH menstimulasi fungsional sel Sertoli termasuk mensekresi
ABP, inhibin, aktivin, estrogen, dan transferrin. Inhibin bersama testosteron
mempengaruhi regulasi feed-back pada hipofise (Cunningham 2002).
23

Fungsi Reproduksi
Semen yang diproduksi saat ejakulasi terdiri atas bagian sel yaitu
spermatozoa dan wahana tempat hidup spermatozoa, yaitu plasma semen. Pada
awal pubertas dan bukan sebelumnya, spermatozoa terbentuk di dalam testis
melalui serangkaian pembelahan mitosis dan meiosis yang sangat khusus yang
berawal dari spermatogonia epitel germinalis (Hunter 1995).
Rangkaian pembelahan dalam menghasilkan spermatozoa ini merupakan
proses spermatogenesis dan menurut Hardjopranjoto (1995) dibagi menjadi 4
tahap:
1. Tahap proliferasi
Bakat sel kelamin yang ada pada lapisan basal dari tubulus seminiferus
melepaskan diri dan membelah secara mitosis sampai dihasilkan banyak
sel spermatogonia.
2. Tahap tumbuh
Spermatogonia membagi diri secara mitosis sebanyak 4 kali sehingga
dihasilkan 16 spermatosit primer.
3. Tahap menjadi masak
Tahap pembelahan meiosis sehingga spermatosit primer berubah menjadi
spermatosit sekunder dan jumlah kromosom menjadi separuhnya.
Beberapa jam kemudian spermatosit sekunder akan berubah menjadi
spermatid.
4. Tahap transformasi
Terjadi proses metamorfosa seluler dari spermatid sehingga terbentuk sel
spermatozoa.

2.4.4 Patologi Testis


Gangguan-gangguan fungsional pada testis antara lain :
1. Gangguan sirkulasi
Gangguan sirkulasi pada testis sama seperti yang terjadi pada organ
lainnya. Gangguan yang terjadi berupa hemoragi, gangguan pembekuan
darah sampai hiperemia. Pada umumnya terjadi akibat melilitnya funikulus
spermatikus sehingga pembuluh darah terjepit. Mula-mula terjadi
24

pembendungan darah kemudian plasma keluar dari pembuluh darah dan


masuk ke jaringan interstisium dan akhirnya terjadi pendarahan maupun
infark akibat iskhemia.
2. Gangguan pertumbuhan
2.1. Aplasia
Keadaan pada hewan yang tidak dijumpai satu atau kedua testis.
2.2. Hipoplasia
Keadaan ini bersifat herediter dan dapat terjadi secara unilateral
maupun bilateral. Testis berukuran lebih kecil dari normal dan lebih
lunak. Secara mikroskopis terdapat gangguan pertumbuhan tubuli
seminiferi yang disertai dengan aspermatogenesis (tidak terbentuk
spermatozoa) (Ressang 1963).
2.3. Hermaphroditism
Keadaan ini memiliki 3 tipe yakni ambiglandular hermaphroditism,
testikular hermaphroditism dan ovarian hermaphroditism.
Ambiglandular hermaphroditism terjadi bila hewan yang sama
memiliki testis dan ovarium. Pada keadaan ini tidak ditemui adanya
spermatozoa. Sel Sertoli ditemukan tetapi terlihat hidropis dan terjadi
degenerasi lemak namun beberapa sel interstisial juga dapat ditemui.
Testikular hermaphroditism merupakan keadaan dimana organ genital
eksterna menampilkan sebagian jantan atau sebagian betina. Ovarium
hermaphroditism tidak terlalu dijelaskan pada hewan (Runnells 1965).
2.4. Atrofi
Kemungkinan terjadi akibat dari penyakit infeksius, penyakit
metabolik, gangguan endokrin dan ketuaan. Epitel tubuli berlapis
tunggal atau sama sekali tidak ada dan sel Sertoli menghilang.
Biasanya juga terjadi penebalan membran propia tubuli dan
peningkatan jaringan ikat intertubuli (Runnells 1965).
2.5. Hiperplasia dan Hipertrofi
Kasus ini lebih sering ditemukan pada hewan yang memiliki
musim kawin.
25

2.6. Metaplasia
Keadaan dimana terjadi transformasi satu jenis epitel ke jenis epitel
lain, misalnya perubahan sel-sel kolumnar menjadi sel-sel skuamosa
pada saluran respirasi (Spector WG & Spector TD 1993).
3. Gangguan metabolisme sel
Gangguan termasuk diantaranya adalah degenerasi lemak, degenerasi
hidropis, klasifikasi dan melanosis.
4. Orkhitis
Orkhitis merupakan peradangan pada testikel. Etiologi, kejadian orchitis
dapat dipicu oleh beberapa sebab seperti perlukaan secara mekanis dan agen
infeksius. Radang sendiri dapat dibagi menjadi dua yakni akut dan kronis
yang menahun. Testis yang mengalami radang akut umumnya membengkak
dan terasa sedikit padat karena sel-sel dan cairan radang. Disekitar testis
umumnya terdapat edema, fibrin dan pendarahan-pendarahan (Ressang 1963).
5. Neoplasma
Tipe tumor yang sering menyerang testikel antara lain seminoma, tumor
sel Sertoli, tumor sel leydig dan teratoma. Tumor metastatik mungkin dapat
terjadi tetapi sangat jarang ditemui (Smith 1962).
2.4.5 Intoksikasi Testis
Testis merupakan bagian penting yang mengalami kerusakan akibat zat
toksik karena mempengaruhi fertilitas dalam sistem reproduksi hewan jantan.
Beberapa agen dapat menginduksi toksisitas dan patologi pada testis dengan
menghambat sintesis protein yang merusak secara cepat pembelahan sel dan
penghentian proses spermatogenesis dapat terjadi (Graside & Harvey, diacu dalam
Atterwill & Flack 1992). Banyak zat kimia yang mengganggu spermatogenesis
dan menyebabkan atropi testis. Zat kimia ini antara lain adalah zat pewarna
makanan (misalnya Oil Yellow AB dan Oil Yellow OB), pestisida (misalnya
DBCP), logam (misalnya timbal dan kadmium) dan pelarut organik. Berbagai zat
kimia lain dapat mempengaruhi testis, misalnya hormon steroid, zat alkilator,
sikloheksilamin dan heksaklorofen (Dixon 1986, diacu dalam Lu 1995). Efek
buruk zat toksik lainnya adalah dapat membuat spermatozoa cacat, tidak aktif atau
bahkan mati. Sebagai contoh adalah metilmetan sulfonat (MMS) dan busulfan
26

menyebabkan mutasi letal. Akan tetapi MMS mempengaruhi spermatid dan


spermatozoa sementara busulfan mempengaruhi sel prespermiogenik (Lee 1983,
diacu dalam Lu 1995). Suatu toksikan dapat pula mempengaruhi fungsi
reproduksi melalui kelenjar endokrin, misalnya BBCP (dibromokloropropan)
yang dapat menyebabkan azoospermia dan oligospermia serta kadar LH dan FSH
serum yang tinggi (Miller 1987, diacu dalam Lu 1995). Menurut Foster dalam
Lamb dan Foster (1988) pengaruh toksikan terhadap testis dapat digolongkan
menurut tabel 2.

Tabel 2. Target toksikan pada sel spermatogenik


Target Sel Zat Toksik
Sel Leydig Ethanol
Ethane dimethan sulfonat
Sel Sertoli Pthalate ester
2,5-Hexanedion
Spermatogonia Busulphan
Spermatosit 2-metoksiethanol
Spermatid Ethil methan sulfonat
Methil klorida

2.5 Epididimis
Epididimis merupakan organ yang sangat penting dalam spermatogenesis.
Epididimis dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian caput (kepala), corpus
(badan), dan cauda (ekor) (Senger 1999). Spermatozoa bergerak dari tubulus
seminiferosa lewat duktulus eferens menuju kepala epididimis. Epididimis
menghubungkan vasa eferensia pada testis dengan duktus deferens (vas deferens)
(Frandson 1992).
Kepala epididimis melekat pada bagian ujung dari testis tempat pembuluh-
pembuluh darah dan saraf masuk. Badan epididimis sejajar dengan aksis
longitudinal dari testis dan ekor epididmis selanjutnya menjadi duktus deferens
yang rangkap dan kembali ke daerah kepala kemudian sampai ke korda spermatik
(Frandson 1992).
27

Secara umum epididimis mempunyai empat fungsi utama, yaitu


transportasi sperma, peningkatan konsentrasi sperma, maturasi, dan penyimpanan
sperma (Hafez dan Hafez 2000). Transportasi spermatozoa di epididimis dibantu
oleh sel-sel cilia yang aktif bergerak ke arah luar. Waktu transportasi
spermatozoa berbeda pada masing–masing spesies. Pada sapi jantan
pengangkutan spermatozoa dari tubulus seminiferi sampai ke cauda epididimis
memakan waktu 9-11 hari tergantung dari frekuensi ejakulasi (Bearden dan
Fuquay 2000). Sedangkan menurut Senger (1999) transportasi spermatozoa
selama di dalam epididimis memakan waktu 14 hari. Selain itu proses
transportasi spermatozoa ketika melewati saluran epididimis dibantu oleh gerakan
peristaltik dari dinding epididimis.
Pada bagian corpus epididimis terjadi penyerapan cairan-cairan yang
terbawa dari testis sehingga akibat penyerapan cairan tersebut jumlah spermatozoa
per mililiter menjadi meningkat. Satchel et al. (1993) melaporkan bahwa sekitar
95% proses penyerapan cairan terjadi di bagian caput, selama perjalanan pada
caput epididimis, air direabsorbsi kedalam sel-sel epitel.
Proses maturasi spermatozoa merupakan hal yang sangat penting untuk
memperoleh kualitas spermatozoa yang baik. Spermatozoa yang memasuki
epididimis akan mengalami perubahan morfologi dan biokimia untuk memperoleh
kapasitas fertilisasi maksimum. Proses maturasi spermatozoa ditandai dengan
adanya pergeseran butiran sitoplasma (cytoplasmic droplet) dari pangkal kepala
(proximal droplet) ke ujung bawah bagian tengah spermatozoa (distal droplet).
Menurut White (1993) proses berpindahnya butiran sitoplasma terjadi pada saat
ditransportasikannya spermatozoa dari caput menuju cauda epididimis. Proses
pergeseran butiran sitoplasma berhubungan dengan motilitas spermatozoa itu
sendiri (Hafez & Hafez 2000). Harayama et.al (1993) melaporkan bahwa
spermatozoa yang berasal dari caput epididimis memperlihatkan gerakan sirkuler
dan kurang aktif, spermatozoa mulai bergerak aktif setelah melewati corpus dan
spermatozoa yang berasal dari cauda memperlihatkan gerakan aktif dan
progresif. Briz et al. (1996) melaporkan bahwa posisi distal droplet tertinggi
terdapat pada bagian corpus dan cauda epididimis. Proses maturasi dan bertahan
hidup spermatozoa selama berada di dalam saluran epididimis berada di dalam
28

saluran epididimis dipengaruhi oleh hormon androgen dan cairan yang


disekresikan oleh sel epitel epididimis (Cooper 1986 dalam Moreno et al. 2000).
Spermatozoa setelah melewati proses tersebut di atas selanjutnya akan
disimpan di dalam bagian cauda epididimis menunggu hingga saat diejakulasikan.
Pada bagian ini tersimpan sekitar 70% spermatozoa sebelum diejakulasikan
(Hafez 1987). Menurut Bearden dan Fuquay (2000), konsentrasi spermatozoa
pada cauda epididimis mencapai 4 x 10 9 sel/ml. Setchell et al. (1993) melaporkan
bahwa konsentrasi protein pada cairan cauda epididimis setengah dari
konsentrasinya di plasma darah. Kandungan protein yang cukup tinggi pada
bagian cauda epididimis tersebut, menyebabkan cauda epididimis menjadi tempat
penyimpanan spermatozoa, di samping diameter lumen pada bagian epididimis
lebih luas bila dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya (Bearden dan Fuquay
2000).

2.6 Streptozotosin (STZ)


Streptozotosin (STZ) merupakan senyawa hasil sintesis Streptomycetes
achromogenes dan digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan coba, baik
diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM) atau tidak tergantung insulin
(NIDDM). Menurut Gordon (1991), tikus yang diberi Streptozotosin akan
mengalami kerusakan pada sel beta pankreas yang menyebabkan perubahan yang
nyata dalam metabolisme hepatik fase I dan fase II. Menurut Szkudelski (2001),
dosis yang digunakan pada tikus yang menginduksi IDDM secara intravena
diantara 40-60 mg/kg BB, dapat juga diberikan secara intraperitoneal dengan
dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang efektif jika diberikan dibawah 40
mg/dl. Pemberian Streptozotosin sebanyak 50 mg/kg BB secara intraperitoneal
pada tikus dapat meningkatkan kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270
mg/dl) setelah 2 minggu. Streptozotosin adalah donor nitrit oksida (NO) yang
ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel pankreas, dengan cara meningkatkan
aktivitas guanilin siklase. Streptozotosin dapat menghambat siklus Krebs dan
akibatnya konsumsi oksigen berkurang. Hal ini menyebabkan pembatasan
produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan deplesi nuleotida dalam sel
ß.
29

2.7 Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)


2.7.1 Klasifikasi
Menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), tanaman Sambiloto
(Andrographis paniculata Nees) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Devisi : Spermatophyta
Sub Devisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledon
Bangsa : Solanes
Suku : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata Nees

2.7.2 Morfologi
Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) adalah tanaman yang
memiliki tinggi 40-90 cm dan batangnya berbentuk segi enam dengan nodus yang
membesar serta mempunyai banyak cabang. Daunnya berwarna hijau tua dengan
permukaan bawah berwarna merah muda, bentuk daun ramping, agak memanjang
dengan bagian pangkal dan ujung runcing. Panjang daunnya berkisar 2-8 cm dan
lebar 1-3 cm serta tangkai daun pendek. Bunga berukuran kecil berwarna putih
keungguan yang keluar dari ujung batang atau ketiak daun. Buah berbentuk
memanjang sampai lonjong, panjang sekitar 1,5 cm dan lebar 0,5 cm, pangkal dan
ujung buah tajam, setelah masak buah akan pecah menjadi empat keping. Biji
kecil, gepeng dan berwarna coklat muda (Muhlisah 1998).
Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) memiliki daun
berbentuk lanset, tepi daun rata, penampang melintang, dengan letak saling
berhadapan. Cabang berbentuk segi empat dan tidak berbulu, daun bagian atas
cabang berbentuk seperti daun pelindung, bunga tegak dan bercabang berbentuk
tabung dan berbibir dengan bibir atas bunga berwarna putih dengan warna kuning
di bagian kepala serta bibir bunga bawah berbentuk baji berwarna ungu. Buah
Sambiloto berbentuk jorong dengan ujung yang tajam (Muhlisah 1998).
30

Gambar 4. Andrographis paniculata Nees (Mahendra, B. 2005)


Tanaman ini ditemukan di dataran rendah dan tinggi, dan di tempat
naungan. Tanaman ini sering ditemukan tumbuh liar di tempat terbuka. Daerah
penyebaran dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m dan atas permukaan
laut, tetapi sering ditemukan tumbuh di bawah ketinggian 100 m di atas
permukaan laut (Muhlisah 1998).

2.7.3 Kandungan dan Khasiat


Tanaman Sambiloto mengandung Laktone dan Flavonoid. Laktone yang
diisolasi dari daun dan percabangannya yaitu andrographolida (zat pahit), 14
deoxy- andrographolida, neo- andrographolida, 11,12-didehydro andrographolida
dan homoandrographolida. Andrographolida dan lakton yang terdapat pada
Sambiloto merupakan bahan aktif yang berfungsi sebagai obat (Deng 1978).
Kadar andrographolida berkisar antara 2,5-4,6% dari berat kering.
Andrographolida sangat mudah diabsorbsi melalui saluran cerna dan hampir
seluruhnya diabsorbsi pada pemberian oral pada tikus. Flavonoid diisolasi
terbanyak dari akar yaitu polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-o-
methylwhigtin, dan apigenin 7,4-dimethyl eter. Tanaman sambiloto mengandung
andrographida (andrographolida) yang rasanya pahit sebagai kristal putih yang
sedikit beracun dan abu yang mengandung banyak kalium. Andrographolida
ditemukan di limpa, jantung dan otak (Wijayakusumah et al.1994).
Zat andrographolida dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan
menghasilkan sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing
lainnya, serta mengaktifkan sistem limpa (Wibudi 2006).
Andrographolida yang terkandung di dalam lakton bekerja sebagai zat anti
inflamasi dengan cara menstimulasi kelenjar adrenal dalam menghasilkan hormon
31

glukokortikosteroid. Hormon glukokortikosteroid mempunyai peranan penting


dalam menghambat proses respon peradangan (inflamasi), migrasi leukosit,
deposit fibrin dan pembentukan jaringan ikat. Glukokortikosteroid menghambat
peradangan dengan cara menghambat pembentukan media peradangan seperti
prostaglandin, tromboxanes dan leukotrienes yang mempengaruhi metabolisme
asam arachidonat induk semang (Cunningham 1994).
Selain sebagai anti inflamasi, andrographolide juga bertindak sebagai
immunostimulan khususnya dalam proses fagositosis. Hal tersebut telah
dilakukan percobaan menggunakan Sambiloto secara invitro dan invivo yang
dilakukan dengan menggunakan zat aktif andrograpolida dan ekstrak sambiloto
dalam media larutan (cair) dengan menggunakan mencit (mice). Hasil penelitian
itu menyatakan bahwa andrographolida dan sambiloto, keduanya dapat
menstimulasi kekebalan terhadap antigen, baik yang spesifik maupun nonspesifik
(Mills dan Bone 2000). Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan
jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan non-spesifik
ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil, basofil, dan
makrofag yang akan memfagosit benda asing yang masuk ke tubuh. Menurut
Deng (1978) dehidroandrographolida juga berkhasiat sebagai anti radang dengan
meningkatkan sintesa dan pituitary otak yang mengirimkan sinyal ke kelenjar
adrenal untuk memproduksi kortisol yang merupakan anti radang alami.
Kandungan tanaman Sambiloto yang lain yaitu Flavonoid, Saponin dan
Tanin. Saponin mempunyai dua jenis yaitu; glikosida triterpenoida alcohol dan
glikosida struktur steroid. Saponin memiliki sifat seperti sabun yang
menghasilkan buih apabila dicampur dengan air. Sifat lain dari saponin antara lain
rasa pahit, sebagai detergen yang baik, beracun pada hewan berdarah dingin, tidak
beracun pada hewan berdarah panas, serta mempunyai sifat anti eksudatif dan
antiinflamasi (Sudiatso 2001). Menurut Cheeke (2000) saponin bersama dengan
fosfolipid dan protein mempu membentuk kompleks immunostimulating, serta
dapat berfungsi sebagai adjuvant. Saponin juga dapat mengurangi rasa sakit,
mampu membunuh kuman dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada kulit.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh suatu tanaman, yang biasa ditemui pada bagian daun, akar, kayu,
32

kulit, tepung sari, bunga dan biji. Senyawa flavonoid terutama terdapat pada akar
(Anonim 2006). Flavonoid merupakan pigmen yang tersebar luas dalam bentuk
senyawa glikogen dan aglikon yang larut dalam air. Salah satu fungsi flavonoid
dalam tanaman adalah sebagai hormon pertumbuhan dan inhibitor enzim dengan
kompleks protein. Flavonoid dapat menghambat perkembangan parasit dengan
bertindak sebagai inhibitor enzim. Mekanisme penghambatan yaitu dengan cara
menghambat produksi enzim dan sintesis asam-asam nukleat atau protein
(Rohimah 1997), melalui mekanisme tersebut pertumbuhan dan perkembangan
parasit kemungkinan dapat ditekan.
Terdapat dua jenis Tanin yaitu; tannin terhidrolisis dan tannin
terkondensasi. Tannin memiliki sifat astringent yang dapat mengurangi kontraksi
usus sehingga dapat berfungsi sebagai antidiare dan mengobati gangguan
pencernaan (Samsuhidayat & Hutapea 1991).
Secara tradisional Sambiloto telah dipergunakan untuk pengobatan akibat
gigitan ular atau serangga, demam dan disentri, rematik, tuberculosis, infeksi
pencernaan, dan lain-lain. Sambiloto juga dimanfaatkan untuk anti mikroba atau
anti bakteri, antihiperglikemik, anti sesak napas dan untuk memperbaiki fungsi
hati (Yusron et al 2005).
Menurut Mahendra (2005), Sambiloto dapat memiliki efek imunostimulan
(meningkatkan kekebalan tubuh) sehingga mengingat kandungan dan fungsi
tanaman tersebut, saat ini Sambiloto banyak diteliti untuk dikembangkan sebagai
bahan baku obat modern, diantaranya pemanfaatan obat HIV dan kanker (Yusron
et al 2005).

2.7.4 Mekanisme Kerja Zat Aktif Sambiloto


Mekanisme kerja andrographolide dalam tubuh yaitu dapat menimbulkan
efek inflamasi dengan menstimulasi Adrenocortocotropic Hormon (ACTH) pada
kelenjar hipofise anterior yang berada di otak, selanjutnya ACTH akan
merangsang korteks adrenal untuk membentuk kortisol yang memiliki efek anti
inflamasi (Anonim 2003). Zat andrographolida dari tanaman Sambiloto diketahui
dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih untuk
33

menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya, serta mengaktifkan sistem limfa
(Yang 1990).
Hasil pemeriksaan histopatologi bahwa ekstrak sambiloto dapat
melindungi beberapa organ khususnya hati dan limpa (Dzulkarnaen et al 1996).
Ekstrak etanol dari Sambiloto dapat menghambat adanya tukak lambung. Selain
itu, sambiloto juga mampu mengatasi penyempitan pembuluh darah akibat
tingginya kadar kolestrol darah atau menipulasi pembuluh darah. Penyempitan
pembuluh darah ini diduga menjadi salah satu penyebab meningkatnya tekanan
darah (Dzulkarnaen et al 1996).
Sambiloto merupakan obat yang memiliki toksisitas yang cukup aman.
Menurut Dzulkarnaen et al (1996) pemberian Sambiloto ini termasuk zat yang
hampir sama sekali tidak toksik.

Anda mungkin juga menyukai