Anda di halaman 1dari 24

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDIABETES

(METODE TOLERANSI GLUKOSA)

I. Pendahuluan
1.1. Pengertian Antidiabetes
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya
gangguan pada metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan
sekresi insulin dari sel-sel beta. Insulin, yang diahasilkan oleh kelenjar pankreas
sangat penting untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah. Kadar
glukosa darah normal pada waktu puasa antara 60-120 mg/dl, dan dua jam
sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Bila terjadi gangguan pada kerja insulin,
baik secara kualitas maupun kuantitas, keseimbangan tersebut akan terganggu,
dan kadar glukosa darah cenderung naik (hiperglikemia) (Kee dan Hayes,1996;
Tjokroprawiro, 1998).
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan
hiperglikemia dan glukosuria yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan kurangnya insulin
yang diproduksi oleh sel β pulau Langerhans kelenjar Pankreas baik absolut
maupun relatif (Herman, 1993; Adam, 2000; Sukandar, 2008).
Kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme
karbohidrat. Oleh karena itu, diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan kadar
glukosa dalam plasma darah (Herman, 1993; Adam, 2000).
Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari
rendahnya sekresi insulin, gangguan efek insulin, atau keduanya. Diabetes
mellitus bukan merupakan patogen melainkan secara etiologi adalah kerusakan
atau gangguan metabolisme. Gejala umum diabetes adalah hiperglikemia,
poliuria, polidipsia, kekurangan berat badan, pandangan mata kabur, dan
kekurangan insulin sampai pada infeksi. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan
sindrom hiperosmolar dan kekurangan insulin dan ketoasidosis. Hiperglikemia
kronik menyebabkan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan
metabolisme sel, jaringan dan organ. Komplikasi jangka panjang diabetes adalah
macroangiopathy, microangiopathy, neuropathy, katarak, diabetes kaki dan
diabetes jantung (Reinauer et al, 2002).
Diabetes militus, penyakit gula atau kencing manis adalah suatu gangguan
menahun kronis yang khususnya metabolisme karbohidrat dalm tubuh, dan juga
pada metabolisme lemak dan (Mycek, 2001).
Diabetes terdapat 4 tipe, yaitu :
1. Diabetes melitus tergantung insulin (IDDM ; tipe I) disebabkan oleh defisiensi
absolut yang biasanya terjadi sebelum usia 15 tahun dan mengakibatkan
penurunan berat badan, hiperglikomin, hetoksidosis, asteroksis, kerusakan retina
dan gagal ginjal. Karena sel batu pada langerhans rusak maka pasien
membutuhkan injeksi insulin.
2. Diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM ; tipe II) disebabkan oleh
penurunan pelepasan insulin atau kelainan respon jaringan terhadap insulin yang
menyebabkan hiperglikemia, tetapi tidak hetoksidosis.
3. Berbagai sebab spesifik yang lain yang menyebabkan kadar glukosa darah
meningkat, seperti penyakit nonpancreatic dan akibat terapi obat.
4. Disebut juga Gestational diabetes(GDM), tidak normalnya kadar glukosa
darah di masa-masa awal kehamilan dimana plasenta dan hormon-2 plasenta
menimbulkan resistensi insulin yang nyata pada trimester terakhir.

1.2. Gejala Diabetes


Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya
tidak selalu sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang
umumnya timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala
lain. Ada pula penderita diabetes melitus yang tidak menunjukkan gejala apa
pun sampai pada saat tertentu (Tjoktoprawiro, 1998).
1. Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:
a. Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak makan).
b. Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak minum).
c. Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak kencing).
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus
meningkat, bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada
keadaan ini jumlah insulin masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam darah
(Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
1. Bila keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala yang
disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu :
a. Banyak minum.
b. Banyak kencing.
c. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu).
d. Mudah lelah.
e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual jika kadar glukosa darah
melebihi 500 mg/dl, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri)
dan disebut koma diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada penderita diabetes melitus akibat kadar
glukosa darah terlalu tinggi, biasanya 600 mg/dl atau lebih. Dalam
praktik, gejala dan penurunan berat badan inilah yang paling sering menjadi
keluhan utama penderita untuk berobat ke dokter (Tjokroprawiro, 1998).
Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak menunjukkan gejala akut
(mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala setelah beberapa
bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini
dikenal dengan gejala kronik atau menahun (Katzung, 2002).
Gejala kronik yang sering timbul pada penderita diabetes adalah seperti
yang disebut dibawah ini :

a. Kesemutan.
b. Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal pada kulit
telapak kaki, sehingga kalau berjalan seperti diatas bantal atau kasur.
c. Kram.
d. Capai, pegal-pegal.
e. Mudah mengantuk.
f. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.
g. Gatal di sekitar kemaluan, terutama wanita.
h. Gigi mudah goyah dan mudah lepas.
i. Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten, dan
j. Para ibu hamil sering mengalami gangguan atau kematian janin dalam
kandungan, atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 3,5 kg
(Tjokroprawiro, 1998).

1.3. Penggolongan Diabetes


Diabetes Mellitus Tipe I atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus.
Penyebab utama Diabetes Mellitus Tipe I adalah terjadinya kekurangan hormon
insulin pada proses penyerapan makanan. Fungsi utama hormon insulin dalam
menurunkan kadar glukosa secara alami dengan cara :
a. Meningkatkan jumlah gula yang disipan didalam hati.
b. Merangsang sel-sel tubuh agar menyerap gula.
c. Mencegah hati mengeluarkan terlalu banyak gula.
Jika insulin berkurang, kadar gula didalam darah akan meningkat. Gula
dalam darah berasal dari makanan kita yang diolah secara kimiawi oleh hati.
Sebagian gula disimpan dan sebagian lagi digunakan untuk tenaga. Disinilah
fungsi hormone insulin sebagai “stabilizer” alami terhadap kadar glukosa dalam
darah. Jika terjadi gangguan sekresi (produksi) hormone insulin ataupun terjadi
gangguan pada proses penyerapan hormone insulin pada sel-sel darah maka
potensi terjadinya Diabetes Mellitus sangat besar sekali (Soegondo, 2004).
Diabetes Mellitus Tipe II atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus). Jika pada Diabetes Mellitus Tipe I penyebab utamanya adalah dari
malfungsi kelenjar pankreas, maka pada Diabetes Mellitus Tipe II, gangguan
utama justru terjadi pada volume reseptor (penerima) hormon insulin, yakni sel-
sel darah. Dalam kondisi ini produktivitas hormone insulin bekerja dengan baik,
namun tidak terdukung oleh kuantitas volume reseptor yang cukup pada sel
darah, keadaan ini dikenal dengan resistensi insulin. Dibawah ini terdapat
beberapa fakor-faktor yang memiliki peranan penting terjadinya hal tersebut :
 Obesitas.
 Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat.
 Kurang gerak badan (olahraga).
 Faktor keturunan.
Diabetes Mellitus tidak menakutkan bila diketahui lebih awal. Gejala-gejala
yang timbul sangat tidak bijaksana untuk dibiarkan, karena justru akan
menjerumuskan kedalam komplikasi yang lebih fatal. Jika berlangsung menahun
kondisi penderita Diabetes Mellitus berpel uang besar menjadi ke toasidosis
ataupun hipoglikemia (Soegondo, 2004).
Orang yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya Diabetes Mellitus
adalah : a. Usia diatas 45 tahun
Pada orang-orang yang berumur fungsi organ tubuh semakin menurun, hal
ini diakibatkan aktivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin menjadi
berkurang dan sensitifitas sel-sel jaringan menurun sehingga tidak menerima
insulin.
b. Obesitas atau kegemukan
Pada orang gemuk aktivitas jaringan lemak dan otot menurun sehingga
dapat memicu munculnya Diabetes Mellitus.
c. Pola makan
Pola yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian
masyarakat perkotaan. Pola makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh
dapat menjadi penyebab Diabetes Mellitus, misalnya makanan gorengan yang
mengandung nilai gizi yang minim.
d. Riwayat Diabetes Mellitus pada keluarga
Sekitar 15-20 % penderita NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes
Mellitus) mempunyai riwayat keluarga Diabetes Mellitus, sedangkan IDDM
(Insulin Dependen Diabetes Mellitus) sebanyak 57% berasal dari keluarga
Diabetes Mellitus.
e. Kurangnya berolahraga atau beraktivitas
Olahraga dapat dilakukan 3-5 kali seminggu, kurang berolahraga dapat
menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin dapat menurun sehingga dapat
mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh yang dapat menyebabkan
Diabetes Mellitus (Waspadji, 2002).
f. Pola makan
Pola yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian
masyarakat perkotaan. Pola makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh
dapat menjadi penyebab Diabetes Mellitus, misalnya makanan gorengan yang
mengandung nilai gizi yang minim.
g. Riwayat Diabetes Mellitus pada keluarga
Sekitar 15-20 % penderita NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes
Mellitus) mempunyai riwayat keluarga Diabetes Mellitus, sedangkan IDDM
(Insulin Dependen Diabetes Mellitus) sebanyak 57% berasal dari keluarga
Diabetes Mellitus.
h. Kurangnya berolahraga atau beraktivitas
Olahraga dapat dilakukan 3-5 kali seminggu, kurang berolahraga dapat
menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin dapat menurun sehingga dapat
mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh yang dapat menyebabkan
Diabetes Mellitus (Waspadji, 2002).

1.4. Obat Antidiabetes


Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pulau Langerhans dalam
pankreas. Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan
dalam sel β, tetapi stimulus yang paling kuat adalah peningkatan glukosa plasma
(hiperglikemia). Insulin terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan
memulai sejumlah aksi, termasuk peningkatan ambilan glukosa oleh hati, otot,
dan jaringan adipose (Katzung, 2002).
Insulin adalah polipeptida yang mengandung 51 asam amino yang tersusun
dalam dua rantai (A dan B) dan dihubungkan oleh ikatan disulfida. Suatu
prekursor, yang disebut proinsulin, dihidrolisis dalam granula penyimpan untuk
membentuk insulin dan peptida C residual. Granula menyimpan insulin sebagai
kristal yang mengandung zink dan insulin (Katzung, 2002).
Glukosa merupakan stimulus paling kuat untuk pelepasan insulin dari sel-sel
β pulau Langerhans. Terdapat sekresi basal yang kontinu dengan lonjakan pada
waktu makan. Sel-sel β memiliki kanal K+ yang diatur oleh adenosin trifosfat
(ATP) intraselular. Saat glukosa darah meningkat, lebih banyak glukosa
memasuki sel β dan metabolismenya menyebabkan peningkatan ATP
intraselular yang menutup kanalATP. Depolarisasi sel Depolarisasi sel β yang
diakibatkannya mengawali influks ion Ca 2+ melalui kanal Ca2+ yang sensitif
tegangan dan ini memicu pelepasan insulin (Katzung, 2002).
Reseptor insulin adalah glikoprotein pembentuk membran yang terdiri dari
dua subunit α dan dua subunit β yang terikat secara kovalen oleh ikatan
disulfida. Setelah insulin terikat pada subunit α, kompleks insulin-reseptor
memasuki sel, dimana insulin dihancurkan oleh enzim lisosom.
Internalisasi dari kompleks insulin-reseptor mendasari down-regulation reseptor
yang dihasilkan olh kadar insulin tinggi (misalnya pada pasien obes). Ikatan
insulin pada reseptor mengaktivasi aktivitas tirosin kinase subunit β dan
memulai suatu rantai kompleks reaksi-reaksi yang menyebabkan efek insulin
(Neal, 2006).
Perawatan diabetes mellitus diambil dari empat faktor fundamental:
pengajaran pasien tentang penyakit; latihan fisik; diet dan agen-agen
hipoglikemia. Agen-agen yang baru digunakan sebagai kontrol diabetes mellitus
adalah obat-obat dari golongan sulfonilurea, biguanida, turunan
thiazolidinedione, dan insulin (diberikan secara injeksi). Meskipun obat-obat ini
telah digunakan secara intensif karena efek yang baik dalam kontrol
hiperglikemia, agen-agen ini tidak dapat memenuhi kontrol yang baik pada
diabetes mellitus, tidak dapat menekan komplikasi akut maupun kronis (Galacia
et.al, 2002).
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi
sekresi insulin oleh sel β pankreas. Golongan ini meliputi:
a. Golongan Sulfonilurea
Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak
begitu berat, yang sel-sel β masih bekerja cukup baik. Mekanisme kerja dari
golongan sulfonilurea antara lain:
 Merangsang fungsi sel-sel β pulau Langerhans pankreas agar dapat
menghasilkan insulin.
 Mencegah (inhibisi) konversi glikogen hati kembali ke glukosa.
 Meningkatkan penggunaan glukosa darah.
Sulfonilurea dibagi dalam dua golongan/generasi yaitu:
 Generasi pertama meliputi: Tolbutamide, Acetohexamide, Tolazamide,
Chlorpropamide
 Generasi kedua meliputi: Glibenclamide, Gliclazide, Glipizide, Gliquidon,
Glibonuride.
b. Golongan Glinida
Sekretagok insulin baru, yang kerjanya melalui reseptor sulfonilurea dan
mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea. Repaglinid dan nateglinid
kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral. Repaglinid
mempunyai masa paruh yang singkat dan dapat menurunkan kadar glukosa
darah puasa. Sedangkan nateglinid mempunyai masa tinggal yang lebih singkat
dan tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa (Soegondo, 2006).
1. Sensitizer Insulin
Golongan obat ini meliputi obat hipoglikemik golongan biguanida dan
thiazolidinedione, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin
secara lebih efektif (Depkes RI, 2005).
a. Golongan Biguanida
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Mekanisme kerja golongan biguanid (metformin):
 Meningkatkan glikolisis anaerobik hati.
 Meningkatkan uptake glukosa di jaringan perifer atau mengurangi
glukoneogenesis.
 Menghambat absorpsi glukosa dari usus (Herman, 1993; Soegondo, 2006)
b. Golongan Thiazolidinedione atau Glitazon
Golongan obat ini mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan
sensitivitas insulin. Glitazon merupakan agonist peroxisomeproliferator-
activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor
PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin yaitu jaringan adiposa,
otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator
homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Glitazon dapat
merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas
insulin dan memperbaiki glikemia, seperti GLUT 1, GLUT 4, p85alphaPI-3K
dan uncoupling protein-2 (UCP) (Soegondo, 2006).

1.5. Metode Pengujian Diabetes


Jenis-jenis hewan percobaan yang digunakan meliputi mencit, tikus, kelinci,
atau anjing. Pemberian antidiabetik dilakukan secara kuratif. Pada toleransi
glukosa, hiperglikemia hanya berlangsung beberapa jam setelah pemberian
glukosa sebagai diabetagen. Uji efek antidiabetes dapat dilakukan dengan dua
metode, yakni:
1) Metode Uji Toleransi Glukosa
Prinsipnya adalah kepada kelinci yang telah dipuasakan selama lebih kurang
20-24 jam, diberikan larutan glukosa per oral setengah jam sesudah pemberian
sedian obat yang diuji. Pada awal percobaan sebelum pemberian obat, dilakukan
pengambilan cuplikan darah vena telinga dari masing-masing kelinci sejumlah
0,5 ml sebagai kadar glukosa darah awal. Pengambilan cuplikan darah vena
diulangi setelah perlakuan pada waktu-waktu tertentu (Widowati et al., 1997).9
2) Metode Uji Diabetes Aloksan
Prinsipnya adalah induksi diabetes dilakukan pada mencit yang diberi
suntikan aloksan monohidrat dengan dosis 70 mg/kg bobot badan. Penyuntikan
dilakukan secara intravena pada ekor mencit. Perkembangan hiperglikemia
diperiksa setiap hari. Pemberian obat antidiabetik secara oral dapat menurunkan
kadar glukosa darah dibandingkan terhadap mencit positif (Widowati et al.,
1997).9
Secara umum ada 3 macam metode yang berlainan untuk menentukan kadar
glukosa (Widowati et al., 1997) yaitu:
1) Metode Reduksi (Glukc-DH)
Metode ini adalah sebuah metode rutin enzimatik oleh karena spesifikasinya
yang tinggi, kepraktisan dan keluwesannya. Pengukuran dilakukan pada daerah
UV. Prinsip metode ini adalah glukosa dehidrogenase mengkatalisis oksidasi
dari glukosa. Metode Gluck-DH® dapat digunakan pada bahan sampel yang
dideproteinisasi atau yang tidak dideproteinisasi serta untuk hemolysate
(Widowati et al., 1997).
2) Metode Ezimatik (GOD-PAP)
Metode enzimatik yaitu reaksi kalorimetrik-enzimatik untuk pengukuran pada
daerah cahaya yang terlihat oleh mata. Prinsip metode ini adalah glukosa
oxidase (GOD) mengkatalisa oksidasi glukosa sehigga terbentuk Hidrogen
Peroksida (H2O2) yang dengan adanya Peroksidase (POD) bereaksi dengan 4-
amino-antypirine dan 2,4-dichlorophenol. Jumlah zat warna merah (kuinonimin)
yang terjadi sebanding dengan konsentrasi glukosa. Penentuan glukosa dengan
GOD-PAP dapat digunakan untuk bahan sampel dengan atau tanpa
deproteinisasi (Widowati et al., 1997).10
3) Metode Kondensasi Gugus Amino (O-Toluidine)
Prinsip metode ini adalah glukosa bereaksi dengan O-toluidin dalam asam
asetat panas dan menghasilkan senyawa berwarna hijau yang dapat ditentukan
secara fotometer. Penentuan glukosa dengan O-toluidin dapat digunakan untuk
bahan sampel yang dideproteinisasi maupun yang tidak di-deproteinisasi
(Widowati et al., 1997)

II. Tujuan
1. Memiliki keterampilan dalam melakukan pengujian aktivitas suatu obat
antidiabetes dengan metode toleransi glukosa oral.
2. Mengetahui hubugan antara pengaruh asupan glukosa terhadap sekresi
insulin.
3. Mengetahui pengaruh sediaan obat uji terhadap penurunan kadar glukosa
darah.

III. Alat dan Bahan Percobaaan


Tabel 3.1. Alat dan Bahan
Alat Bahan Hewan Percobaan
Alat Glukotest Air Suling Mencit Putih
Sekelamin
Alat Sentrifus Acarbose
CCA/ Spektrofotometer Bahan Pengsuspensi
Jarum dan Alat Suntik Glibenklamid
Jarum Suntik Oral Larutan Glukosa
Standar
Tabung Sentrifuga Metformin
Mikro

IV. Prosedur
Ditimbang mencit pada hari percobaan, lalu dikelompokkan dan diberi tanda
pada ekor. Setelah itu dilakukan pengabilan darah pada ekor (T -30) sebelum
diberikan obat. Sediaan obat dalam larutan pensuspensi CMC-Na/ tragakan 2%
diberikan secara per oral. Tiga puluh menit kemudian, diukur kadar glukosa darah
dari ekor.
Kemudian diberikan kepada mencit di semua kelompok yaitu sediaan
glukosa 195/20g BB, kecuali kelompok kontrol negatif. Selesai pemberian oral,
dilakukan pengambilan darah pada menit ke-30 (T30), 60 (T60), 90 (T90) setelah
diberikan glukosa. Diukur kadar glukosa darah dengan menggunakan alat
glukotest.
Dibuat kurva respon kadar glukosa darah dengan subu x adalah waktu
pengambilan darah dan y adalah kadar gula darah. Kemudian penurunan kadar
glukosa darah pada kelompok uji diketahui dengan dibandingkannya hasil dari
kelompok kontrol positif. Lalu dievaluasi semua data secara statistik
menggunakan ANOVA dan uji t.

V. Data Pengamatan
5.1. Perhitungan Dosis
1. Dosis Metformin
Dosis Metformin untuk manusia : 500 mg
Kekuatan sediaan metformin : 52 mg/ 20 mL
Konversi dosis metformin : 500 𝑚𝑔 × 0,0026 =
𝑚𝑔
1,3 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝐵𝐵
20

24 𝑔𝑟𝑎𝑚
: 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 × 1,3 𝑚𝑔 =
𝑚𝑔
1,56 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝐵𝐵
24
1,56 𝑚𝑔
Volume sediaan yang diberikan : × 20 𝑚𝐿 = 0,6 𝑚𝐿
52 𝑚𝑔

Dosis glibenklamid untuk manusia : 5 mg


Kekuatan sediaan glibenklamid : 0,52 mg/ 20 mL
Konversi dosis glibenklamid : 5 𝑚𝑔 × 0,0026 = 0,013 𝑚𝑔
24 𝑔𝑟𝑎𝑚
× 0,013 𝑚𝑔 = 0,0156 𝑚𝑔
20 𝑔𝑟𝑎𝑚
0,0156 𝑚𝑔
Volume sediaan yang diberikan : × 20 𝑚𝐿 = 0,6 𝑚𝐿
0,52 𝑚𝑔

2. Dosis Akarbosa
Dosis Akarbosa untuk manusia : 50 mg

Kekuatan dosis akarbosa : 5,2 mg/ 20 mL


Konversi dosis akarbosa : 50 𝑚𝑔 × 0,0026 = 0,13 𝑚𝑔
24 𝑔𝑟𝑎𝑚
× 0,13 𝑚𝑔 = 0,156 𝑚𝑔
20 𝑔𝑟𝑎𝑚
0,156 𝑚𝑔
Volume sediaan yang diberikan : × 20 𝑚𝐿 = 0,6 𝑚
5,2 𝑚𝑔
5.2. Tabel dan Grafik
Tabel 5.2. Konsentrasi Gula Darah dalam Mencit

Mencit Konsentrasi Gula Darah Mencit (mg/DL)


(-) 30 0 menit 30 menit 60 menit 90 menit
menit
Kelompok 1 136 119 134 95 122
Akarbosa
Kelompok 2 156 193 257 140 114
Metformin
Kelompok 3 134 183 261 135 149
Glibenklamid
Kelompok 4 91 132 136 130 137
Kontral negatif
Kelompok 5 135 122 448 446 338
Kontrol positif
Kelompok 6 116 149 278 156 119
Akarbosa
Kelompok 7 115 131 143 126 100
Metformin
Grafik 5.2. konsentrasi gula darah mencit

500

450

400
Akarbosa Kelompok 1
350
Kelompok 2 Metformin
300
Kelompok 3 Glibenklamid
250
Kelompok 4 kontrol (-)
200 Kelompok 5 Kontrol (+)
150 Kelompok 6 Akarbosa
100 Kelompok 7 Metformin

50

0
-30 0 30 60 90

VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, dilakukan uji antidiabetes pada mencit. Diabetes
merupakan salah satu penyakit degenerative, yakni penyakit yang disebabkan oleh
penurunan fungsi sel sehingga menyebabkan fungsi tubuh yang normal menjadi
menurun. Diabetes merupakan penyakit yang disebabkan hiperglikemia kronis
atau kadar gula darah yang tinggi yang disebabkan factor genetic atau factor
lingkungan. Dan Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai
suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi
insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh
sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Diabetes ini lebih dikenal dengan
nama Diabetes Mellitus (DM). DM ini dibagi menjadi dua tipe. Ada DM Tipe 1
dan DM Tipe 2. DM Tipe 1 ini disebabkan karena adanya kerusakan pada
pancreas terutama pada sel β untuk memproduksi insulin. DM 1 ini biasanya
karena factor genetic. Dan biasanya DM Tipe 1 ini diderita dengan umur dibawah
30 tahun. Selain factor genetic, bahwa faktor lingkungan seperti infeksi virus atau
faktor gizi dapat menyebabkan penghancuran sel penghasil insulin di pancreas.
Sedangkan DM Tipe 2 ini adalah yang paling banyak diderita. DM Tipe 2 ini
disebabkan karena resistensi insulin. Sel β pada pancreas masih memproduksi
insulin, namun insulin yang berada didalam aliran darah tidak dapat masuk
kedalam sel. Insulin disini diibaratkan seperti kunci pintu sel tersebut agar glukosa
dapat masuk kedalam sel. Selain resistensi sel nya, bisa juga karena insulin yang
dihasilkan oleh sel β ini kurang, sehingga gula dalam darah tidak bisa masuk
kedalam sel dan kadarnya tinggi dalam darah.
Pada praktikum uji antidiabetes ini digunakan obat Metformin, Akarbosa
dan Glibenklamid. Obat-obat tersebut merupakan obat yang dapat menurunkan
kadar gula dalam darah dengan mekanisme yang berbeda-beda. Pengujian
dilakukan dengan rute oral. Rute oral ini merupakan rute yang umum dilakukan
dan mudah untuk dilakukan. Sebelum diberikan obat uji, mencit diukur kadar gula
darah terlebih dahulu. Agar mengetahui kadar gula nya sebelum diinduksi.
Pengukuran kadar gula ini dilakukan dengan glukotest / GCU. Glukotest ini tediri
dari test strip, alat lanset, jarum lanset dan chip test gula darah. Prinsip dari
glukotest ini adalah dirancang hanya untuk penggunaan sampel darah kapiler,
bukan untuk sampel serum atau plasma. Strip katalisator spesifik untuk
pengukuran glukosa dalam darah kapile. Strip test diletakkan pada alat, ketika
darah diteteskan pada zona reaksi tes strip, katalisator glukosa akan mereduksi
glukosa dalam darah. Intensitas dari elektron yang terbentuk dalam alat strip
setara dengan konsentrasi glukosa dalam darah. Pengambilan darah dari mencit ini
diambil dari pembuluh vena dari ekor mencit. Seharusnya, pengambilan sampel
darah ini mencit dimasukkan kedalam kandang retriksi, agar mencit tidak
bergerak-gerak sehingga memudahkan untuk pengambilan darahnya. Sebelumnya
harus diusap terlebih dahulu dengan alcoholswab untuk menghindari infeksi dari
luka yang ditimbulkan dari penyuntikkan. Kemudian diberikan obat metformin
dan ditunggu selama 30 menit. Kemudian setelah 30 menit diinduksi glukosa
kepada mencit, terkcuali mencit dengan kontrol - . Kemudian setelah 30 menit
diinduksikan glukosa pada mencit. Disini, mencit diinduksi glukosa untuk
dikondisikan sama seperti pada keadaan diabetes pada manusia yaitu adanya
peningkatan kadar gula darah dan melihat efek dari obat uji yang digunakan.
Pengamatan ini dilakukan 30 menit sekali hingga menit ke 90.
Obat metformin ini memiliki fungsi sebagai obat antidiabetes dengan cara
meningkatkan glukosa diotot dan jaringan untuk dimetabolisme menjadi energi.
Menurut teori pun bahwa mekanisme kerja metformin menambah up-take
(utilisasi) glukosa diperifer dengan meningkatkan sensitifitas jaringan terhadap
insulin, menekan produksi glukosa oleh hati, menurunkan oksidasi Fatty Acid dan
meningkatkan pemakaian glukosa dalam usus melalui proses non oksidatif. Ekstra
laktat yang terbentuk akan diekstraksi oleh hati dan digunakan sebagai bahan baku
glukoneogenesis. Keadaan ini mencegah terjadinya efek penurunan kadar glukosa
yang berlebihan (Adam, JMF. 1997). Selain metformin, ada juga obat akarbosa
dan glibenklamid. Mekanisme akarbosa ini meningkatkan enzim untuk memecah
gula kompleks menjadi lebih sederhana. Menurut teori, mekanisme kerja akarbosa
menghambat kerja enzim α glukosidase yang terdapat dipermukaan membran usus
halus. Enzim α glukosidase berfungsi sebagai enzim pemecah karbohidrat menjadi
glukosa diusus halus. Dengan pemberian akarbosa ini maka pemecahan
karbohidrat menjadi glukosa di usus akan menjadi berkurang, dengan sendirinya
kadar glukosa darah akan berkurang (Adam, JMF. 1997). Dan satu lagi yaitu
glibenklamid yang berasal dari obat golongan sulfonilurea ini memiliki
mekanisme untuk meningkatkan perangsangan pengeluaran insulin di sel β dan
menurut teori pun bahwa obat golongan sulfonilurea bekerja dengan cara
menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan (stored insulin), menurunkan
ambang sekresi insulin dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat
rangsangan glukosa. Sulfonilurea terikat dengan permukaan reseptor pada
membran sel β dan menghambat ATP-Sensitive Potassium Channel sehingga
mencegah keluarnya kalium dan terjadilah depolarisasi membran sel. Depolarisasi
membuka voltage-dependent calcium channel akibatnya kalsium ekstra seluler
masuk dalam sel dan akhirnya meningkatkan Calcium Cytosolic yang merangsang
insulin. (Adam, JMF. 1997).
Hasil pengamatan dari masing-masing kelompok bahwa pada menit -30
sampai menit ke 0 saat diberikan obat antidiabetes, ada yang mengalami kenaikan
dan ada juga yang mengalami penurunan. Seharusnya saat diberikan obat
antidiabetes ini, kadar glukosa dari normal mengalami penurunan, karena dengan
mekanisme kerja obatnya untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah. Banyak
factor yang dapat memengaruhi hasil tersebut, metabolisme dari hewan percobaan
itu berbeda-beda, ketersediaan hayatinya pun berbeda-beda. Baik dari factor
internal mencitnya maupun dari factor eksternal yang memengaruhinya, salah
satunya stress yang dirasakan mencit dapat menyebabkan kadar gula nya
menigkat.
Selanjutnya, saat menit ke 0 diinduksikan glukosa sampai menit ke 30 kadar
glukosa nya meningkat. Karena adaya kelebihan glukosa pada darah sehingga
menyebabkan kadar glukosanya naik. Kemudian setelah menit ke 60 dan 90 kadar
glukosa setiap mencit mengalami penurunan. Hal ini merupakan efek dari kerja
obat antidiabetes, yang sesuai dengan teori bahwa pemecahan karbohidrat menjadi
glukosa di usus akan menjadi berkurang, dengan sendirinya kadar glukosa darah
akan berkurang (Adam, JMF. 1997), dan sesuai dengan mekanisme masing-
masing obat yang telah dijelaskan. Jika dibandingkan dengan mencit control +
yang hanya diberikan glukosa memang mengalami kenaikan kadar glukosa dan
pada mencit control – yang hanya diberikan CMC-Na bisa dikatakan stabil, tidak
ada kenaikan dan penurunan kadar glukosa yang terlalu signifikan. Berbeda
dengan mencit uji, yang memang terlihat penurunan dan kenaikan kadar setelah
diinduksi glukosa dan diberikan obat antidiabetes, sehingga dapat terlihat
perubahan dan efek dari obat tersebut.
Jika kadar gula tidak diobati dan terus mengalami peningkatan seperti pada
mencit control + bahwa akan menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia belum
tentu diabetes, namun jika sudah diatas kadar gula maksimal, maka bisa
menyebabkan diabetes. Disinggung bahwa penyakit diabetes ini sangat
berhubungan erat dengan hormone insulin. Insulin ini bekerja dimulai dengan
berikatannya insulin dengan reseptor glikoprotein yang spesifik pada permukaan
sel sasaran. Reseptor ini terdiri dari 2 subunit yaitu subunit α yang besar dengan
BM 130.000 yang meluas ekstraseluler terlibat pada pengikatan molekul insulin
dan subunit β yang lebih kecil dengan BM 90.000 yang dominan di dalam
sitoplasma mengandung suatu kinase yang akan teraktivasi pada pengikatan
insulin dengan akibat fosforilasi terhadap subunit β itu sendiri (autofosforilasi)
Reseptor insulin yang sudah terfosforilasi melakukan reaksi fosforilasi terhadap
substrat reseptor insulin ( IRS -1).IRS-1 yang terfosforilasi akan terikat dengan
domain SH2 pada sejumlah protein yang terlibat langsung dalam pengantara
berbagai efek insulin yang berbeda. Pada dua jaringan sasaran insulin yang utama
yaitu otot lurik dan jaringan adiposa, serangkaian proses fosforilasi yang berawal
dari daerah kinase teraktivasi tersebut akan merangsang protein-protein
intraseluler, termasuk Glukosa Transpoter 4 untuk berpindah ke permukaan sel.
Jika proses ini berlangsung pada saat pemberian makan, maka akan
mempermudah transport zat-zat gizi ke dalam jaringan-jaringan sasaran insulin
tersebut.
Insulin ini berpengaruh dan banyak memberikan efek. Contoh efek pada hati
yaiti membantu glikogenesis, meningkatkan sintesis trigliserida, kolesterol VLDL,
meningkatkan sintesis protein, menghambat glikogenolisis, menghambat
ketogenesis, menghambat gluconeogenesis. Efek pada otot diantaranya
membantu sintesis protein dengan meningkatkan transport asam amino
merangsang sintesis protein ribosomal, membantu sintesis glikogen. Dan efek
pada lemak membantu penyimpanan triglserida, meningkatkan transport glukosa
ke dalam sel lemak dan menghambat lipolisis intraseluler.
Peningkatan kadar glukosa menginduksi dalam glucose-mediated insulin
secretion yakni dengan pelepasan insulin yang baru saja disintesis dan
penyimpanan dalam sel β. Masuknya glukosa ke dalam sel β dideteksi oleh
glukokinase, sehingga glukosa tadi difosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat (G6P).
Proses ini membutuhkan ATP. Penutupan kanal K+ ATP-dependent
mengakibatkan depolarisasi membrane plasma dan aktivasi kanal kalsium yang
voltage-dependent yang menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium
intraseluler. Peningkatan kadar kalsium inilah yang menyebabkan sekresi insulin.
Insulin berikatan dengan subunit α ekstraseluler, yang mengakibatkan perubahan
bentuk sehingga mengakibatkan ikatan ATP pada komponen intraseluler dari
subunit β. Ikatan ATP akan memicu fosforilasi dari subunit β melalui enzim
tyrosine kinase. Fosforilasi tyrosine pada substrat intraseluler ini disebut sebagai
(IRS). IRS dapat mengikat molekul-molekul sinyal yang lain, yang dapat
mengaktivasi insulin (Wilcox, 2005). Membrane sel yang berstruktur bilayer lipid
akan menyebabkan sifat impermeable pada molekul karbohidrat. Glukosa dapat
masuk ke dalam sel melalui facilitated diffusion yang membutuhkan ATP, yakni
melalui Glukosa Transporter (GLUT). Sementara itu GLUT 4 pada sel adipose
dan sel otot membutuhkan insulin dan konsentrasi glukosa yang tinggi. GLUT-4
adalah transporter glukosa utama dan terletak terutama pada sel otot dan sel lemak.
Dengan adanya insulin atau stimulus lain, keseimbangan dari proses daur ulang
ini diubah untuk mendukung translokasi GLUT-4 dari vesikel penyimpanan
intraseluler ke arah membran plasma, dan juga ke tubulus transversa pada sel otot,.
Efek bersihnya adalah peningkatan kecepatan maksimal transpor glukosa ke
dalam sel. (Sheperd et al, 1999; Shulman, 2000). Setelah glukosa masuk kedalam
sel akan diubah menjadi glukosa 6-fosfat dan akan menghasilkan ATP. Begitulah
insulin bisa menstimulus menjadi energi.
Diabetes merupakan penyakit yang dapat mematikan. Hal ini bisa terjadi
karena terjadinya komplikasi. Komplikasi penyakit ini yang dapat mengganggu
hingga merusak fungsi tubuh sehingga bisa menyebabkan kematian. berikut
adalah penyakit-penyakit yang menjadi komplikasi dari DM:
1. Retinopati diabetic. Retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang
progresif yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran
protein-protein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini
berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi
saat berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat
penurunan penglihatan mendadak. Hal tersebut pada penderita DM bisa
menyebabkan kebutaan.
2. Neuropati diabetic. Neuropati diabetik perifer merupakan penyakit neuropati
yang paling sering terjadi. Gejala dapat berupa hilangnya sensasi distal.
Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
3. Nefropati diabetic. Ditandai dengan albuminuria. Berlanjut menjadi
proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat
glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication
product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan
mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi
peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan
inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati
dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney
disease.
4. Kadar gula darah yang tidak terkontrol cenderung menyebabkan kadar zat
berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya
aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah).
Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes.
5. Sirkulasi darah yang buruk melalui pembuluh darah besar (makro) bisa
melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki (makroangiopati). Melalui
pembuluh darah kecil (mikro) bisa melukai mata, ginjal, saraf dan kulit serta
memperlambat penyembuhan luka. Zat kompleks yang terdiri dari gula di
dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan
mengalami kebocoran. Akibat penebalan aliran darah akan berkurang,
terutama yang menuju ke kulit dan saraf. Kerusakan pada saraf menyebabkan
kulit lebih sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat merasakan
perubahan tekanan maupun suhu.Berkurangnya aliran darah ke kulit bisa
menyebabkan ulkus (borok) dan semua penyembuhan luka berjalan lambat.
Ulkus di kaki bisa sangat dalam dan mengalami infeksi serta masa
penyembuhannya lama sehingga sebagian tungkai harus diamputasi.
Disebabkan darah tidak dapat membentuk benang-benang fibrin.
6. Gangguan pada syaraf: Jika satu saraf mengalami kelainan fungsi
(mononeuropati), maka sebuah lengan atau tungkai biasa secara tiba-tiba
menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke tangan, tungkai dan kaki
mengalami kerusakan (polineuropati diabetikum), maka pada lengan dan
tungkai bisa dirasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar dan kelemahan.
7. Dapat menyebabkan gagal ginjal, ginjal akan mengeras karena ginjal terlalu
berat untuk memfilter pada bagian glomerulus, sehingga akan terjadi ginjal
mengeras dan gagal ginjal. Menyebabkan harus cuci darah.
8. DM pun dapat menyebabkan hipertensi karena hiperpolarisasi pembuluh
darah karena terlalu kental aliran darahnya, sehingga kinerja jantung akan
lebih berat dan detak jantung lebih cepat sehingga dapat menyebabkan
hipertensi.
KESIMPULAN

1. Pengujian antidiabetes ini dapat dilakukan dengan metode toleransi glukosa


yang dilakukan secara oral.
2. Asupan glukosa yang berlebih akan memengaruhi kadar gula darah dalam
tubuh, sehingga sekresi insulin harus lebih banyak. Jika kekurangan insulin
maka akan terjadi diabetes melitus tipe 2 dan jika mengalami kerusakan pada
sel β pada pancreas maka insulin tidak dapat diproduksi.
3. Obat antidiabetes Metformin, Akarbosa dan Glibenklamid berpengaruh untuk
menurunkan kadar glukosa dalam darah.
DAFTAR PUSTAKA

Adam J.M.F. (2000). Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus yang
baru. Bandung: ISBN.
Adam, J.M.F. (Ed.). (2006). Obesitas dan Sindroma Metabolik. Bandung: ISBN
979-25-5650-8.
Dirjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV . DEPKES RI : Jakarta.
Galacia, E. H., A. A. Contreras, L. A. Santamaria, R. R. Ramos, A. A. C. Miranda,
L. M. G. Vega, J. L. F. Saenz, F. J. A. Aguilar. (2002). Studies on
hypoglycemic activity of mexican medicinal plants. Proc. West.
Pharmacol. Soc. 45: 118-124
Herman F. (1993). Penggunaan obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes
melitus. Pharos Bulletin No.1.
Katzung G. Bertram. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 2. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika.
Kee, J.L. dan Hayes E. R. (1996). Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.
Alih Bahasa : Dr. Peter Anugrah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Neal, M. J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: .
Penerbit Erlangga.
Reinauer, H. P. D. Home, A. S. Kanagasabapathy, C. C. Heuck. (2002).
Laboratory Diagnosis and Monitoring of Diabetes Mellitus. World Health
Organization. Geneva.
Sheperd PR, Kahn BB. (1999). Glucose Transporter and Insulin Action. United
Kingdom: The New England Journal of Medicine. Diakses tanggal 1
Maret 2012.
Shulman GI. (2000). The Journal of Clinical Investigation Volume 106, Number 2.
Diakses tanggal 1 Maret 2012.

Soegondo,S., Semiardji, G., Adriansyah, H. (2004). Petunjuk Praktis


Penatalaksanaan Dislipidemia. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia.
Soegondo S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Farmakoterapi pada
pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Editor Aru W. Sudoyo et al.
Jilid ke-3. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tjokroprawiro, A. (1998). Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes.
Gramedia Jakarta: Pustaka Utama..
Waspadji, S. (2002). Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.
Widowati et a. l(1997). Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT
Gramedia
Pustaka Utama.
Wilcox, Gisela. (2005). Insulin and Insulin Resistance. Clin Biochem Rev, 26 (2),
19–39.

Anda mungkin juga menyukai