Anda di halaman 1dari 152

BAB 1

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam masa pembangunan Indonesia sejak tahun 1970-an hingga kini. khususnya
dalam penyediaan prasarana bangunan air untuk irigasi, telah ribuan bangunan bendung
dibangun. Salah satu jenis bendung yang dibangun ialah bendung tetap dari bahan pasangan
batu. Bendung itu dirancang dan dibangun oleh tenaga teknik Indonesia. Juga oleh tenaga
ahli teknik asing yang datang ke Indonesia membawa konsep baru. Rancangan itu baik oleh
tenaga teknik Indonesia maupun oleh tenaga teknik asing memberikan suatu perkembangan
tipe, bentuk dan letak bendung. Ribuan bendung yang telah dibangun itu beroperasi dan
berfungsi dengan baik. Namun sebagian diantara ribuan bendung baru itu mengalami
masalah yang disebabkan oleh berbagai hal. Misalnya masalah-masalah gangguan
penyadapan aliran, gangguan angkutan sedimen dan sampah, masalah penggerusan setempat
di hilir bendung sampai dengan masalah hancurnya bangunan dan sebagainya.
Merancang bendung baru dan menangani bendung bermasalah hasil pembangunan ini
dan penanganan terhadap bendung-bendung tua baik yang dibangun sebelum tahun 1970-an
maupun bendung-bendung tua warisan Pemerintahan Belanda telah memberikan masukan
dan pengalaman bagi ahli-ahli teknik Indonesia.
Penulisan buku ini dilatarbelakangi pengalaman penulis dalam merancang bendung
dengan konsep baru dan mendesain serta menangani bendung bermasalah tersebut.
Pengalaman tersebut disajikan dalam buku ini yang diharapkan dapat memberikan
konstribusi dalam pekerjaan desain dan menjadi bahan panduan bagi perencana.

2. Maksud dan Tujuan


Maksud dari penulisan buku ini yaitu untuk menyebarluaskan pengalaman hasil
penelitian dan pengembangan serta pengetahuan teknik hidraulik bendung tetap untuk irigasi
teknis.
Di samping itu, untuk memenuhi permintaan dan penyediaan referensi buku-buku
bendung khususnya dan bangunan air umumnva. Seperti diketahui buku semacam ini
penerbitannya sangat kurang pada hal sangat diperlukan oleh para ahli teknik hidraulik clan para
mahasiswa jurusan sipil dan jurusan sumber daya air pada berbagai fakultas teknik.
Berkenaan dengan itu maka penulisan buku ini ditujukan untuk pembaca yang secara
spesifik berkecimpung dalam perencanaan teknis bendung tetap clan mereka yang terlibat
dalam sektor pengairan. Selain itu ditujukan pula untuk mahasiswa-mahasiswa yang
mempelajari ilmu irigasi dan bangunan pengambil airnya yang dalam hal ini bendung tetap
untuk kepentingan irigasi.

3. Maksud Pembangunan Bangunan Bendung


Dengan maksud memenuhi kebutuhan air bagi pertanian maka diperlukan berbagai
prasarana penyedia dan pengambil airnya antara lain bangunan bendung. Bendung adalah
suatu bangunan yang dibangun melintang sungai untuk meninggikan taraf muka air sungai
dan atau membendung aliran sungai sehingga aliran sungai bisa disadap dan dialirkan secara
gravitasi ke daerah yang membutuhkannya. Tipe bendung dapat dibedakan dengan bendung
tetap dari bahan pasangan batu beton, bendung gerak dengan pintu sorong atau pintu radial,
dan bendung kembang kempis dan sebagainya.
Jika penyediaan air irigasi dilakukan dengan tepat clan benar maka akan dapat pula
meningkatkan produksi padi sehingga kebutuhan akan beras dapat pula dipenuhi.

4. Cakupan Tulisan
Buku ini pertama-tama menguraikan tentang apa, clan bagaimana irigasi di Indonesia
serta sistem irigasinya. Selanjutnya uraian secara umum tentang sistem irigasi di Jepang. Hal
ini perlu ditinjau mengingat Jepang telah berhasil mengembangkan sistem irigasi one way
system irrigation dan land consolidation sehingga Jepang berhasil menjadi negara penghasil
berada yang melebihi kebutuhannya.
Setelah itu penulisan buku menyajikan tentang desain hidraulik bendung tetap dengan material pasangan
batu untuk kepentingan irigasi teknis yang dikelompokkan dalam delapan bagian yaitu :
Bagian I : Pemilihan Lokasi Bendung
Bagian II : Bendung Pelimpah
Bagian III : BanRunan Intake
Bagian IV : Bangunan Pembilas
Bagian V : Bangunan Penahan Batu (Boulder Screen)
Bagian VI : Bangunan Peredam Energi
Bagian VII : Rip-rap
Bagian VIII : Stabilitas Bendung
Pada Bab 4, buku dilengkapi pula dengan contoh perhitungan mendesain bendung
tetap.
Khusus penyajian stabilitas bendung yang diuraikan hanya tentang langkah
perhitungan dan cara menghitungnya saja, tidak diuraikan secara mendetail. Perhitungan
lebih mendetail tentang stabilitas bendung biasanya dilakukan pada analisa yang berkaitan
dengan perhitungan struktur bendung perlengkapan bendung lainnya.
Bangunan kantong sedimen sebagai salah satu kelengkapan bendung belum
dimasukkan dalam buku ini dan akan ditulis dalam buku lain. Demikian pula halnya
dengan bendung gerak, bendung kembang kempis, bendung kombinasi tetap dan gerak juga
belum disajikan dalam buku ini.
Sebagai tambahan bahwa bahan tulisan tentang sistem irigasi di Jepang dipelajari
dari studi pustaka di National Research Institute of Agricultural Engineering Tsukuba
Jepang dan studi lapangan di berbagai kawasan daerah tengah dan utara Jepang yang
dilakukan penulis utama selama melakukan training di sana.
Perlu disebutkan pula bahwa publikasi buku bangunan sadap untuk irigasi desa telah
pula diterbitkan oleh Puslitbang Sumber Daya Air dan meluncurkan pada peringatan hari
air sedunia di Jakarta Maret 2002. Tulisannya disiapkan oleh penulis utama buku ini.
Dalam buku itu antara lain ditulis pula secara tidak mendalam tentang bendung tetap.

5. Penjelasan Istilah
Ada beberapa istilah dalam tulisan ini yang perlu diberi penjelasan atau batasan
pengertiannya supaya tidak terjadi pemberian interpretasi yang ke luar konteks dari yang
dimaksudkan. Istilah yang dijelaskan pada bagian ini hanya yang menyangkut yang
penting-penting saja, dan istilah lain ditulis dalam setiap bagian bab. Sebagian istilah
tersebut dikutip dari Standar Tata Cara Perencanaan Teknik Bendung SKSNI, T-02-1990 F
yang diterbitkan oleh Pep. PU, 1990. Penjelasan istilah tersebut yakni:
Desain hidraulik adalah tahapan kegiatan analisis terhadap hasil pra desain
hidraulik dengan atau tanpa bantuan uji model hidraulik untuk menentukan bentuk dan
ukuran yang tepat ditinjau dari segi hidraulik.
Desain struktur yaitu tahapan kegiatan untuk melengkapi hasil desain hidraulik agar
didapat desain bangunan yang memenuhi persyaratan kekuatan Jun kestabilan serta dapat
dilaksanakan.
Uji model hidraulik yakni suatu penyelidikan/pengujian hidraulik berupa uji model
fisik di laboratorium pengaliran terhadap pra desain.
Bangunan bendung adalah bangunan air yang dibangun melintang sungai atau
sudetan sungai untuk meninggikan taraf muka air sehingga air at dapat disadap dan
dialirkan secara gravitasi ke daerah yang membutuhkannya
Bendung tetap adalah ambang yang dibangun melintang sungai untuk
pembendungan sungai yang terdiri dari ambang tetap, dimana muka air banjir di bagian
udiknya tidak dapat diatur elevasinya. Bahannya dapat terbuat dari pasangan batu,
beton atau pasangan batu dan beton. Dibangun umumnya sungai ruas hulu dan ruas
tengah.
Bendung tetap pasangan batu yaitu bangunan bendung tetap yang bahan
utamanya terbuat dari pasangan batu.
Irigasi (PP 77/2001) yaitu usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang
pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi air bawah tanah, irigasi
pompa dan irigasi tambak.
Irigasi secara umum adalah penyaluran air secara teknis melalui saluran
-saluran pembawa ke daerah pertanian dan setelah air tersebut diambil manfaatnya air
tersebut disalurkan ke saluran pembuang selanjutnya dibuang kembali ke sungai.
lrigasi teknis yakni jaringan air yang mendapatkan pasokan air terpisah dengan
jaringan air pembuang dan pemberian airnya dapat diukur, diatur dan terkontrol pada
beberapa titik tertentu. Semua bangunannya bersifat permanent Luas daerah irigasinya
di atas 500 hektar.
Sungai (UU I1/74 tentang Pengairan) adalah tempat-tempat dan wadah-wadah
serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muat dengan dibatasi kanan
kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan.
Sungai dapat disebut dengan sungai utama, anak sungai dan cabang sungai. sungai
menurut tempatnya dapat dibedakan menjadi sungai ruas hulu sungai ruas tengah dan
sungai ruas hilir.
BAB 2

TINJAUAN SISTEM IRIGASI


1. Sejarah Irigasi dan Bendung
Di Indonesia sawah sudah ada sejak sebelum jaman Hindu pada jaman Hindu telah
dilakukan usaha-usaha pembangunan prasarana secara sederhana. Hal ini dapat dibuktikan
dengan peninggalan sejarahnya yaitu usaha pembagian air irigasi yang dapat disaksikan
di berbagai tempat misalnya irigasi subak di Bali, irigasi-irigasi kecil di Jawa dan sistem
pendistribusian air dengan istilah minta air sebatu di Minangkabau. Pembangunan irigasi
pada waktu itu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebutuhan. Prasarana irigasi
dibangun dengan cara sederhana, yaitu dengan menumpukkan batu atau cerucuk-cerucuk
yang diisi batu sebagai bahan bendung. Seiring dengan perkembangan jaman, irigasi
irigasi Indonesia berkembang terus hingga memasuki periode jaman penjajahan Belanda
Bangunan air dibangun mulai dari yang sederhana sampai dengan yang cukup besar.
Dalam masa ini irigasi tercatat dibangun sekitar tahun 1852. Yaitu pembangunan bendung
Glapan di Kali Tuntang, Jawa Tengah. Selain bendung ini di Jawa Tengah dibangun pula
bendung yang lain seperti bendung Sedadi, bendung Nambo 1910, bendung-bendung Kali
Wadas, Sungapan, Cisadap dan lain-lain. Dan di Jawa Timur untuk daerah irigasi Pekalen
dibangun pula bendung Pekalen, 1856 bendung Umbul 1909, bendung Sampean 1883 dan
bendung Jati dan sebagainya. Di daerah Jawa Barat dibangun pula bendung-bendung Cisuru,
di Sungai Cisokan Cianjrvr, 1886. Cipager di Cirebon 1909, Jamblang. 1912. Rentang, 1910,
Cigasong dan Pamarayan, 1911. Cipeles, 1920, Walahar dan Pasar Baru, 1925 dan
sebagainya. Di Sumatera Barat yaitu bendung Kuranji, 1920, di Lampung bendung
Argoguruh, 1930 dan di Sulawesi Selatan bendung Sadang.
Pembangunan prasarana irigasi di Jawa sekitar tahun 1852 di latar belakangi oleh
berbagai sebab, diantaranya untuk perluasan tanaman tebu dan untuk usaha penyediaan
pangan dalam rangka mengatasi bahaya keresahan akibat kelaparan di daerah Demak sekitar
tahun 1849. Dalam buku Irigasi di Indonesia, Wirawan menulis tentang Pengembangan
dan pemanfaatan lahan Sawah Irigasi. Disebutkannya bahwa sampai dengan tahun 1885
pembangunan Irigasi hanya seluas 210.000 hektar. Luas sawah ini meningkat sampai dengan
tahun 1940 yaitu menjadi 1.280.000 hektar. Pada jaman Jepang sampai dengan periode 1968
perkembangan irigasi di Indonesia kurang berarti.
Semenjak dicanangkan PELITA pertama hingga kini perkembangan Luas lahan
irigasi bertambah dengan pesat. Begitu pula pembangunan bendung sebagai
prasarana irigasi telah ribuan jumlahnya baik yang dibangun baru maupun hasil
rehabilitas total maupun rehabilitasi sebagian. Di buku yan g sama E. Pasandaran
menginformasikan bahwa areal irigasi meningkat dari waktu ke waktu, antara masa
1969 – 1987. Tidak kurang luas total lahan irigasi teknis, semi teknis dan sederhana
sampai dengan tahun 1987 seluas 5.500.000 hektar. Peningkatan luas lahan irigasi yang
tajam terjadi pada masa 1984 – 1987. Demikian pula halnya dengan pembangunan
bendung sebagai prasarana irigasi. Pembangunan bendung pada periode 1940 - 1969
tidak banyak tercatat. Diantaranya bendung Barugbug 1959. bendung Curug, bendung
Cikarang dan bendung Bekasi pada proyek irigasi Jatiluhur.
Selain itu disinggung tentang sejarah irigasi di Jepang yang akan dibahas lebih
detil pada bagian lain. Irigasi tanaman padi di Jepang sudah dimulai sejak 2000 tahun
yang lalu. Luas lahan tanaman padi di Jepang sesungguhnya tidaklah terlalu luas.
Berdasarkan survei tahun 1975 luas lahan untuk pertanian padi sekitar 3.021.000 hektar.
Modernisasi pertanian di Jepang dimulai sesudah tahun 1868 yang menghasilkan
panenan padi sekitar 2,3 ton per hektar. Ditambahkan bahwa di Jepang padi yang
disimpan dan yang diukur hasil panennya ialah beras pecah kulit ( brown rice). Sesudah
peran- dunia kedua Jepang melakukan proyek peningkatan lahan. Akibatnya pada tahun
1962 hasil panenan padi meningkat menjadi 13.010.000 ton. Dan puncak panenan padi
terjadi tahun 1967 yaitu 14.450.000 ton. Sehingga hasil panenan tersebut waktu itu
melebihi kebutuhan (over production)

2. Pengertian dan Maksud Irigasi


Irigasi berasal dari istilah irrigatie dalam bahasa Belanda atau irrigation dalam
bahasa Inggris Irigasi dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk
mendatangkan air dari sumbernya guna keperluan pertanian, mengalirkan dan
membagikan air secara teratur dan setelah digunakan dapat pula dibuang kembali.
Istilah pengairan yang sering pula didengar dapat diartikan sebagai usaha pemanfaatan
air pada umumnya, berarti irigasi termasuk di dalamnya
Maksud irigasi yaitu untuk mencukupi kebutuhan air di musim hujan bagi
keperluan pertanian seperti membasahi tanah, merabuk, mengatur suhu tanah
menghindarkan gangguan hama dalam tanah dan sebagainya. Tanaman yang diberi air
irigasi umumnya dapat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu padi, tebu, palawija
seperti jagung kacang-kacangan bawang cube dan sebagainya.
Air irigasi diberikan kepada tanaman dilakukan dengan berbagai cara yang
tergantung kepada berbagai faktor. Cara pemberian air itu antara lain;
Pemberian air kepada muka tanah tetapi dari bidang yang letaknya lebih tinggi dan
dari bawah muka tanah. Untuk tanaman padi di Indonesia umumnya digunakan
pemberian air kepada muka tanah dengan cara menggenang (floodin g method). Cara ini
akan memberikan keuntungan yaitu tidak terlalu banyak memakan biaya dan dapat
mencegah hama yang bersarang di dalam tanah dan di akar tanaman . Tetap i bila tanah
terendam terlalu lama akan menjadi kurang sehingga sewaktu-waktu perlu
dikeringkan.

3. Sistem Irigasi di Indonesia


Sistem irigasi di Indonesia yang umumnya bergantung kepada cara pengambilan
air sungai dan dimaksudkan untuk mengairi persawahan dapat dibedakan menjadi irigasi
pedesaan dan irigasi Pemerintah. Pembedaan itu berdasarkan pengelolaannya. Sistem
irigasi desa bersifat komunal dan tidak menerima bantuan dari Pemerintah Pusat.
Pembangunan dan pengelolaan seluruh jaringan irigasi dilakukan sepenuhnya oleh
masyarakat. Sedangkan sistem irigasi yang tergantung pada bantuan pemerintah dibagi
ke dalam tiga kategori: irigasi teknis semi teknis dan sederhana.
Irigasi teknis yaitu jaringan air yang mendapatkan pasokan air terpisah dengan
jaringan pembuang dan pemberian airnya dapat diukur, diatur dan terkontrol pada
beberapa titik tertentu. Semua bangunannya bersifat permanen. L uas daerah irigasinya
di atas 500 hektar. Beberapa contohnya ialah sistem irigas i irigasi Jatiluhur, Rentang,
Pemali Comal, Sampean dan sebagainya.
Irigasi semi teknis yaitu pengaliran air ke sawah dapat diatur, tetapi banyaknya
aliran tidak dapat diukur. Pembagian air tidak dapat dilakukan dengan seksama.
Memiliki sedikit bangunan permanen. Dan hanya satu alat pengukur aliran yang
biasanya ditempatkan pada bangunan bendung. Sistem pemberian air dan sistem
pembuangan air tidak mesti sama sekali terpisah.
Irigasi sederhana yaitu yang biasanya menerima bantuan pemerintah untuk
pembangunan dan atau penyempurnaan. Tetapi dikelola dan dioperasikan oleh aparat
desa. Mempunyai bangunan semi permanen, dan tidak mempunyai alat pengukur dan
pengontrolan aliran, sehingga aliran tidak dapat diatur dan diukur tercatat di Ditgasi I,
Ditjen Air jumlah irigasi sederhana tahun 1978 juta hektar, irigasi semi teknis 1, 14
juta hektar dan irigasi teknis 2,10 juta hektar. sedangkan irigasi desa tercatat seluas
1,04 juta hektar.
Pr oyek I r igas i Sederhana; yang dikenal tahun 1980-an pengertiannya jauh
berbeda dengan sistem irigasi sederhana di atas. Proyek Irigasi Sederhana pelanggaran
dengan tujuan untuk menaikkan produksi beras nasional dengan melaksanakan
sejumlah besar proyek-proyek kecil dan murah dengan syarat teknis yang minimum.
Proyek ini luas daerah irigasinya tidak lebih dari 2000 hektar. Desain teknis cara,
pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaannya dilakukan dengan cara s ederhana
pula.
Tetapi secara teknis dapat dipertanggungjawabkan Memberikan hasil dengan
cepat dan dengan biaya pelaksanaan serendah mungkin. Biaya pelaksanaan waktu itu
(1980) terbatas sebesar Rp. 250.000,- per hektar daerah irigasi yang akan diairi.

3.1 Peta Jaringan Irigasi


3.1.1 Peta petak
Jaringan irigasi biasanya dibuat berdasarkan peta topografi yang dituangkan
ke peta ikhtisar berskala 1 : 25000. selanjutnya dari peta iktisar tersebut desain
dilanjutkan dalam peta ikhtisar detil berskala 1 : 5000 atau 1 : 2000. Peta ikhtisar
detil tersebut dikenal di lingkungan perencana dengan istilah peta petak. Pada peta
petak tergambar petak tersier, petak sekunder dan petak primer.
Petal tersier adalah suatu unit atau petak tanah/sawah terkecil berukuran
antara 50 - 100 hektar. Mempunyai batas-batas yang jelas seperti jalan, kampung,
saluran pembuang lembah dan sebagainya, serta berbatasan langsung dengan saluran
sekunder, atau saluran primer. Petak tersier dilayani oleh :
 Saluran irigasi sebagai saluran pemberi (ditch) yaitu saluran tersier dun atau
saluran kuarter;
 Saluran pembuang sebagai saluran pembuang aliran air yang telah dipakai.
 Bangunan pembagi air (box tersier) dan bangunan lainnya seperti bangunkan
silang dan seterusnya
 tidak tersedia jalan petani (farm road) dan atau jalan inspeksi.
Cara pemberian air ; umumnya untuk tanaman padi pada petak tersier yaitu
dengan cara petak ke petak (plot to plot system). Langkah cara pemberian airnya
seperti ditunjukkan pada Gbr. 2.1, yakni:
 Saluran pemberi yaitu saluran tersier dan saluran kuarter
 Air diberikan kepada petak sawah yang paling atas atau yang paling dekat
dengan saluran pemberi secara gravitasi.
 Setelah petak sawah yang paling atas penuh kaki air dialirkan ke petak sawah
yang lebih bawah.
 Selanjutnya air diberikan ke petak yang terbawah.
 Air yang diberikan dari saluran itu dipakai berulang-ulang dari petak ke
petak.
 Akhirnya a i r dialirkan ke saluran pembuang buatan atau alamiah.
Petak sekunder adalah gabungan dari petak tersier dengan luas yang bergantung
kepada keadaan lahan. Juga mempunyai batas yang jelas misalnya saluran pembuang dan
sebagainya. Saluran sekunder pada petak sekunder umumnya di desain di punggung medan
sehingga dapat mengairi kedua sisi saluran.
Tetapi bisa pula di desain sebagai saluran garis tinggi yang hanya dapat mengairi
lereng medan yang lebih rendah dari saluran. Saluran sekunder yang terletak di
punggung medan pada gambar 2.2 ditunjukkan oleh saluran dari titik A1 – B1 – dan A2
– C serta D1 – D2 – D3.
Sedangkan saluran garis tinggi ditunjukkan oleh saluran yang mengalir
d a r i titik A – Al – A2. Sungai-sungai di Gbr 2.2 bila dijadikan batas petak
maka akan didapat tiga susunan petak sekunder petak sekunder biasanya
menerima air dari bangunan bagi yang terletak di saluran primer atau sekunder.

Gbr.: 2.1. Salah satu cara pemberian air

Petak primer adalah gabungan dari beberapa petak sekunder, seperti ditunjukkan
pada Gbr. 2.2. Dilayani oleh saluran primer disalah satu sisi atau kedua sisi sumber sungai. Bila
melayani kedua sisi sumber air sungai maka dua petak primer. Keseluruhan penyusunan
bidang tanah dalam bentuk petak tersier, sekunder dan primer ini disebut suatu daerah irigasi
yang penyebutannya dipendek dengan istilah D.1. Pada Gbr. 2.2 hanya terdapat, satu petak
primer atau satu daerah irigasi disebelah kiri sisi sungai yang tergabung dari petak-
petak sekunder yang mengambil air dari bangunan bagi A1, dan A2 serta D1 .
Bangunan bendung di sungan, A, berfungsi untuk mengambil dan mebelokkan air sungai
ke saluran primer.
3.1.2 Saluran irigasi
Saluran irigasi di daerah irigasi teknis dibedakan menjadi saluran irigasi pembawa
dan saluran pembuang. Saluran irigasi pembawa ditinjau dari letaknya dapat dibedakan
menjadi saluran garis tinggi dan saluran garis punggung. Saluran garis tinggi yaitu saluran
yang ditempatkan sejurusan dengan garis tinggi/kontur. Dan saluran garis punggung yaitu
saluran yang ditempatkan di punggung medan. Ditinjau dari jenis dan fungsi saluran irigasi
pembawa dapat dibedakan menjadi saluran primer, sekunder, tersier clan kuarter.
Berdasarkan Standar Perencanaan Irigasi bagian Jaringan Irigasi KP-01. saluran irigasi
tersebut dapat didefinisikan seperti berikut:
Saluran primer yaitu saluran yang membawa air dari jaringan utama ke saluran
sekunder dan ke petak-petak tersier yang diairi. Saluran primcr biasa pula disebut saluran
induk. Saluran ini berakhir pada bangunan bagi yang terakhir.
Saluran sekunder yaitu saluran yang membawa air dari saluran primer ke petak-
petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas ujung saluran ini yaitu
bangunan sadap terakhir.
Saluran muka tersier yaitu saluran yang membawa air dari bangunan sadap tersier
ke petak tersier yang terletak di seberang petak tersier lainnya. Saluran tersier yaitu saluran
yang membawa air dari bangunan sadap tersier di jaringan utama ke dalam petak tersier
lalu ke saluran kuarter. Saluran ini berakhir pada boks kuarter yang terakhir.
Saluran kuarter yaitu saluran yang membawa air dari boks bagi kuarter melalui
bangunan sadap tersier ke sawah-sawah.
Saluran irigasi diilustrasikan pada Gbr. 2.3, yaitu saluran induk Mejagong, irigasi
bendung Mejagong, daerah irigasi Pemali - Comal, Randudongkal, Jawa Tengah. Bila
diperhatikan gambar tersebut diketahui berapa hal yaitu :
 Saluran sekunder Jongke dimasukan ke Kali Waluh udik bendung Kejene untuk
penambah debit ke K. Rambut bagi kepentingan daerah irigasi bcndung Cipero.
 Saluran sekunder Paseh dimasukan ke K. Waluh hilir bendung Kejene sebagai penambah
sumber air bendung Sungapan.
 Dibuat saluran Mejagong - Banjaranyar, sehingga bendung Banjaranyar tidak
difungsikan lagi.

Gbr. 2.3. Contoh saluran irigasi di daerah irigasi Bendung Mejagong


Jawa Tengah
3.2 Saluran irigasi tanpa pasangan
Saluran irigasi tanpa pasangan yang dibicarakan yaitu saluran tanah dengan
bentuk penampang trapesium. Dalam mendesain saluran ini harus di Pertimbangkan
bahwa pengendapan dan penggerusan di setiap potongan melintang harus berimbang
sepanjang tahun. Untuk itu maka parameter yang harus ditentukan yaitu perbandingan
kedalaman air, h, dengan lebar dasar b, (h : b) dan kemiringan memanjang saluran,
i. Sehubungan dengan ini ukuran saluran irigasi dapat ditentukan berdasarkan pedoman
yang dikeluarkan oleh Ditgasi - Ditjen Air dalam buku; Dasar-dasar - untuk Membuat
Perencanaan Irigasi oleh R. Sarah Reksokusomo, 1975. Pedoman tersebut dapat
diperhatikan pula pada tabel standar perencanaan Irigasi bagian saluran KP-03.

Tabel 1. Pedoman Penentuan Ukuran Saluran lrigasi*)


Table 1
Debit, Perbandingan Kecepatan aliran. Kemiringan
Keterangan
Q = m3/det b:h v = m/det talud
0.000-0.050 m31det - Min. 0.25 m/det 1:1 1. Desain untuk
0.050-0.150 m31det 1 0.25 - 0.30 m/det 1:1 Tanah lempung biasa.
0.150-0.300 m31det 1 0.30 - 0.35 m/det 1:1 2. Lebar saluran mini-
0.300-0.400 m31det 1.50 0.35 - 0.40 m/det 1:1 mum 0,30 m.
0.400-0.500 m31det 1.50 0.40 - 0.45 m/det 1:1 3. K. Bernilai :
0.500-0.750 m31det 2 0.45 - 0.50 mldet 1:1 - 50 bila Q > 10
0.750-1.50 m3/det 2 0.50 - 0.55 m/det 1:1 m3/det
1.50 -3 m3/det 2.50 0.55 - 0.60 m/det 1:1 - 47,5 bila Q = 5-10
3 -4.50 m3/det 3 0.60 - 0.65 m/det 1:1 m3/det
4.50 -6 m3/det 3.50 0.65 - 0.70 m/det 1:1 - 45 bila Q > 5
6 -7.50 m3/det 4 - 0.70 m/det 1:1 m3/det
7.50 -9 m3/det 4.50 - 0.70 mfdet 1:1 - 42,5 untuk sal.
9 -11 m3/det 5 - 0.70 m/det 1:1 muka
11 -15 m3/det 6 - 0.70 m/det 1:1 - 40 untuk sal.
15 -25 m3/det 8 - 0.70 mldet 1:2 tersier
25 -40 m3/det 10 - 0.75 m/det 1:2 - 60 untuk sal
40 -80 m3/det 12 - 0.80 m/det 1:2 pasangan
*) Sumber : R. Sarah Reksokusumo, 1975, Dasar-Dasar untuk Membuat Perencanaan Teknis
Jariungan Irigasi, Badan Penerbit PU.

Dalam mendesain saluran irigasi tersebut dapat dilakukan dengan tata cara
seperti berikut:
 Tentukan lebar dasar saluran, b, lebih besar dari pada dalam air, h, atau b > h. Bila
diambil dalam air, h, lebih besar dari Iebar saluran (h > b) maka akan terjadi proses
pendangkalan saluran yang lebih cepat.
 Tentukan besarnya kecepatan aliran, v, seimbang yaitu antara, v pengendapan dan v
penggerusan.
 Tetapkan kemiringan talud.
 Hitung kerniringan air saluran, i, dengan cara Strickler; ambil nilai kekasaran, k,
yang bergantung kepada besarnya debit saluran dan jenis tanah saluran.

3.3 Saluran pembuang


Saluran pembuang yaitu saluran yang digunakan sebagai pembuang kelebihan air
yang sudah tidak digunakan dari petak-petak sawah ke jaringan saluran pembuang. .
setelah air dipakai untuk penggarapan sawah, pertukbuhan padi dan sisa penguapan
serta sisas penggenangan maka selanjutnya air itu dibuang. Saluran pembuang pada
daerah irigasi teknis dibedakan menjadi saluran pembuang kuarter, tersier, dan saluran
pembuang uatama. Saluran pembuang utama umumnya berapa sungai seperti
ditunjukkan pada Gbr. 2.2 yaitu sungai-sungai a, b, c, d.
Pembuangan air kelebihan ini sama pentingnya dengan pemberian air irigasi.
Saluran pembuang bisa terbuat dari saluran pembuang buatan dan bisa pula
menggunakan saluran pembuang alamiah seperti sungai-sungai kecil dan sebagainya.
Saluran pembuang alamiah seperti sungai-sungai kecil dan sebagainya. Saluran
pembuang buatan direncanakan bersama-sama dengan saluran irigasi untuk desain
irigasi yang baru. Pada daerah irigasi desain sebelum tahun 1969 adakalanya saluran
pembuang dijadikan pula sebagai saluran irigasi (lihat Gbr. 2.4.a) dan sebagai saluran
suplesi (lihat Gbr. 2.4.b), sehingga berfungsi ganda yaitu sebagai saluran pembuang dan
saluran irigasi. Pada saluran irigasi Tarum Barat yang mengalir dari bendung Curug, ke
Jakarta, dalam pengalirannya menyilang dengan Sungai Cikarang dan Sungai Bekasi.
Air saluran itu dimasukan ke sungai-sungai tersebut, yang selanjutnya disadap lagi
dengan menggunakan bendung. Karena itu sungai-sungai itu dewasa ini mengandung
konsentrasi sedimen yang sangat tinggi maka menimbulkan masalah penanggulangan
volume endapan yang mengendap di kantong sedimen bendung Bekasi. Kini air dari
bendung Bekasi/saluran Induk Tarum Barat itu digunakan sebagian besar untuk pasokan
air baku air bersih kota Jakarta.
Saluran pembuang untuk membuang air kelebihan ini sangat penting artinya hagi
tanaman. Untuk tanaman padi bermanfaat yaitu :
 Sebagai pcncegahan jumlah pertumhuhan anak padi yang berlebihan di masa padi
tumbuh dan sangat produktif - beranak antara umur padi 35 - 40 hari sesudah tanam :
 Disaat padi berbuah masak, sekitar dua minggu sebelum panen.
Selain itu saluran pembuang karena dapat mengeringkan sawah, membuang
kelebihan air hujan dan membuang kelebihan air irigasi maka penting pula artinya yaitu
untuk :
 Membuat kelembaman tanah yang sesuai dengan keperluan tanaman.
 Memperbaiki temperatur dalam tanah.
 Membuang garam-garam yang berbahaya buat tanaman terutama di daerah irigasi
pasang surut atau di daerah pernbuatan irigasi baru.
Bagi tanaman palawija saluran pembuang bermanfaat yaitu untuk :
 Mempercepat pengerjaan tanah, sehingga memperpanjang pula masa bertanam.
 Memperbaiki pergantian udara dalam tanah.
 Mernperbaiki kehidupan bakteri dalam tanah.

Gbr. 2.4.a. Ilustrasi pengunaan air buangan untuk air irigasi

Dengan segala kelebihan dan kekurang sistem irigasi yang ada, telah menjadikan
Indonesia berhasil dalam swasembada beras sekitar tahun 1987. berkaiatan dengan itu
dalam pembuatan konsep desain daerah irigasi baru di masa mendatang kelemahannya yang
ada diharapkan menjadi bahan masukan dan pertimbangan desain. Beberapa hal yang dapat
dijadikan bahan masukan :
 Sitem pemberian air, dari petak sawah menyebabkan pengolahan sawah tidak dapat
dilakukan secara serentak, karena menunggu giliran datangnya air.
 Petak sawah yang paling jauh dari sumber air saluran irigasi mendapat air paling akhir
sehingga akan terdapat perbedaan waktu penanaman dengan interval waktu antara 10
hari dan 15 hari di dalam petak itu.
 Pengeringan sawah secara serentak bilamana diperlukan tidak dapat dilakukan dengan
cepat karcna tata letak sawah, tata letak saluran irigasi dan saluran pembuang tidak
memungkinkan.
 Petani tidak dapat rnemilih tanaman yang dikehendakinya karena sistem saluran
pembuang belum rnemungkinkannya.
 Jalan petani (farm road) di petak tersier tidak tersedia, sehingga petani mengalami
kesulitan dalam rnengangkut hasil produksi panenan padinya. juga tidak dapat
mempercepat perhubungan dan komunikasi.
 Ukuran petak sawah relatif kecil sehingga menyulitkan pekerjaan pengolahan sawah
secara mekanisasi, dimasa mendatang tenaga manusia untuk pengolahan sawah semakin
langka.

Gbr. 2.4.b. Contoh saluran irigasi, suplesi dan saluran pembuang

4. Kebutuhan Air Irigasi


4.1 Tanaman Padi
Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan makanan pokok bangsa
Indonesia. Ditanam dua kali setahun di daearha lahan beririgasi. Tanaman lainnya selain
padi yang memerlukan irigasi yaitu jagung, kedelai, kacang-kacangan, cabe, tembakau dan
Sebagainya. Hasil produksi padi tergantung dari berbagai faktor antara lain :
 Banyaknya tanaman per hektar (jarak tanaman)
 Banyaknya anakan per tanaman
 Banyaknya butir padi per malai
 Berat rata-rata dari butir padi.
Berkaitan dengan bercocok tanam padi dikenal istilah Sapta Usaha Tani yaitu :
 Pengolahan tanah yang baik
 Penggunaan bibit unggul bersertifikat
 Pengendalian hama
 Pemupukan yang sesuai dan berimbang
 Penyediaan irigasi
 Panen dan
 Pasca panen.
Tanaman padi dalam pertumbuhannya sangat memerlukan air. Karena itu perlu
ditunjang oleh sistem irigasi untuk mencukupi kekurangan air alam, termasuk sistem
pembuangan yang baik.
Kebutuhan air untuk tanaman padi sangat bergantung antara lain dari masa
pertumbuhan. Beberapa angka kebutuhan air, yang bersumber dari catatan Modul Penataran
E & P, proyek irigasi jawa tengah seperti ditunjukkan pada Tabcl 2.

Tabel 2. Kebutuhan Air Untuk Tanaman *)

Lama waktu
Jenis tanaman & pertumbuhan pertumbuhan Kebutuhan air (mm/hari)
(bulan)
Padi :
1. Pengolahan tanah + persemaian 1 – 1,5 10 – 14
2. Pertumbuhan I (Vegetatif) 1–2 4–6
3. Pertumbuhan II (Vegetatif) 1 – 1,5 6–8
4. Pemasakan 1 5–7

Tebu :
1. Pengolahan tanah + peresemaian 1–2 6–9
2. Tebu muda 4–6 3–6
3. Tebu tua  10 4–7

Palawija
1. Palawija banyak air 3 2–6
2. Palawija sedikit air 3 2–6
*) Sumber : Proyek Irigasi Jawa Tengah, Modul Penataran
Kedalaman air di sawah; sangat penting artinya antara lain untuk mengurangi
pertumbuhan rumput dan meniadakan pertumbuhan rumput yaitu:
 Kedalaman air 2,50 cm dapat mengurangi pertumbuhan rumput
 Kedalaman air 5,0 - 7,5 cm dapat rneniadakan pertumbuhan rumput.
Pengeringan sawah sementara waktu akan sangat bermanfaat untuk rnengatur
keseimbangan antara udara dan air dan pengeringan selama 4 - 5 hari menjelang berbunga
setelah masa pertunasan terakhir akan memperbaiki perudaraan tanah untuk meningkatkan
produksi padi.

4.2 Penggunaan Air Secara Bergiliran


Penggunaan air secara bergiliran dalam satu sistem jaringan tersier adalah penggunaan air
melalui masing-masing saluran secara bergantian dari sumber air yang sama, selama periode
tertentu dan dilakukan bila keadaan debit saluran tersier yang tersedia menurun sampai kurang
dari 70 % dari debit rencana saluran.
Alasan dilakukannya penggunaan air secara bergiliran ini yaitu:
 Debit air yang tersedia tidak selalu mencukupi kebutuhan air
 Pada waktu debit yang tersedia sangat kecil dibandingkan dengan debit yang dibutuhkan,
penggunaan air secara bersama dan terus menerus untuk seluruh areal tidak mencukupi
kebutuhan yang dapat berakibat tanaman menderita kekurangan air.
 Penggunaan air secara bergiliran dapat mengatasi penderitaan tanaman terhadap kurang
memadainya persediaan air tersebut.
Periode putaran atau selang waktu giliran sangat tergantung dari kcadaan tanah
sawah yang lebih kurang diatur seperti berikut :
 2 - 3 hari di tanah sawah yang sangat berpasir (ringan) atau berlumpur dan padinya
berumur kurang dari satu bulan.
 4 - 5 hari di tanah sawah yang berpasir sedang dan padinya berumur lebih dari satu
bulan.
 4 - 5 hari di tanah sawah yang bertipe berat dan padinya berumur di bawah dari satu
bulan.
 5 - 7 hari di tanah sawah yang bertipe berat dan padinya sudah berumur lebih dari satu
bulan.
Tata cara penggunaan air secara bergiliran disesuaikan dengan tingkat kelengkapan
saluran pada jaringan tersier dan dilakukan menurut giliran antar sub tersier dan giliran
antar kuarter. Pelaksanaannya dilakukan oleh petugas P3A dengan cara menutup dan
membuka saluran kuarternya selama waktu tertentu. Contoh pengaturan dapat diperhatikan
pada skema berikut, yang dikutip dari Modul Penataran E, P; D.P.U Pengairan Jawa
Tengah.
Gbr. 2.5. Contoh pengaturan penggiliran air

5. Tinjauan Sistem Irigasi di Jepang

5.1 Pertanian Padi


Penduduk Jepang makanan pokoknya ialah beras, sama halnya dengan bangsa Asia
Tenggara lainnya. Dewasa ini Jepang membutuhkan beras perkapita 80 kilogram per tahun.
Lahan pertanian padi di Jepang sesungguhnya tidaklah luas untuk menghasilkan padi. Luas lahan
pertanian keseluruhannya hanya 5.340.000 hektar dan lahan pertanian padi seluas 2.9 10.000
hektar atau sekitar 54 % dari luas lahan pertanian. Sejarah irigasi untuk tanaman padi di Jepang
sudah mulai sejak 2000 tahun yang lalu. Tetapi hasil panenan padinya sedikit, masih di bawah
satu ton per hektar. Modernisasi pertanian di Jepang dimulai sesudah tahun 1868 yang
menghasilkan panenan padi sekitar 2,3 ton per hektar atau dua kali lipat dari abad sebelumnya.
Sesudah perang dunia kedua Jepang melakukan proyek peningkatan lahan (land improvcment
projects) seperti pengembangan penggunaan tanah pertanian dan peningkatan fasilitas irigasi dan
drainase. Pekerjaan ini meningkatkan produksi padi menjadi 13.010.000 ton pada tahun 1962.
dan puncak panen padi terjadi tahun 1967 yaitu sebesar 14.450.000 ton. Sejak itu produksi
meningkat terus dari tahun ke tahun, sehingga pada tahun 1978 terjadi kelebihan produksi (over
production). Hal ini merisaukan pemerintah sehingga membuat kebijaksanaan untuk
menurunkan produksi padi dengan jalan memberikan subsidi kepada petani yang bercocok tanam
selain padi. Perlu disebutkan bahwa Jepang hanya sekali setahun bertanam padi, berbeda dengan
Indonesia yang dalam setahun dapat bertanam tiga kali yaitu padi, padi dan palawija.
Keberhasilan petani Jepang menjadikan negaranya tertinggi dibandingkan dengan negara Asia
lainnya dalam hal produksi padi. Ini menurut catatan data FAO tahun 1974 - 1976. Sedangkan
Indonesia berada di urutan ke tujuh setelah Korea, Taiwan, China dan Malaysia.
Upaya Jepang untuk meningkatkan produksi padinya tidak terlepas pula dari pekerjaan
konsolidasi lahan (land concilidation). Pada tahun 1989 hampir 50 % daerah pesawahan sudah
mengalami konsolidasi. Sebelum proyek konsolidasi lahan ini dilakukan petak-petak sawah di
Jepang sangat kecil dan tidak teratur petakannya. Luas petak sawah lebih kecil dari 20 x 50
meter.
Konsolidasi lahan pertanian padi dengan membuat petak sawah menjadi lebih besar, 100
x 300 meter, berawal dari daerah Kami-Yusuhara, Ishikawa Perfecture pada tahun 1888, lebih
dari 100 tahun yang lalu. Dengan memperhatikan Gbr. 2.6, yaitu Progres Konsolidasi Lahan di
Kami-Yusuhara, diketahui perkembangan perbaikan petak-petak sawah tersebut. Tampak, secara
bertahap setiap 50 tahun luas dan bentuk petak-petak sawah yang kecil dan tak beraturan
diperluas dan ditata. Dan terakhir dari sederetan gambar itu dimaklumi pula bahwa Jepang masih
menginginkan memperluas petak sawahnya. Bentuk terakhir ini hanya mimpi karena tidak dapat
lagi direalisasikan karena berbagai sebab antara lain sebagian dari lahan tersebut telah berubah
fungsi menjadi daerah pemukiman dan daerah industri.
Salah satu kawasan pertanian diilustrasikan pada Gbr. 2.7. Tampak pctak-petak sawah
yang teratur dan rapih, enak dipandang. Jalan petani membatasi antara petak-petak dan jalan raya
tak luput dari rancangan sebagai prasarana perhubungan dan mempermudah transportasi alat-alat
dan mesin-mcsin pertanian. Pemukiman penduduk ditempatkan menyebar diseluruh daerah
prrtanian. tidak mengelompok. Dapat diamati pula jaringan jalan petani dan jalan raya, serta
petak-petak sawah yang aiatur sedemikian rupa sehingga mcngcrjukan sawahnya dari awal
sampai panen dapat menggunakan serba tenga mesin. Scperti diketahui Jepang telah menjadi
negara industri belakangan. Akibatnya tenaga manusia menjadi sangat mahal. Jadi dengan sistem
mekanisasi pertanian akan mcngurangi tenaga manusia. Fasilitas jalan petani menunjang pula
untuk penggunaan mesin-mesin pertanian itu. Sistem irigasi yang teratur, pengunaan mesin-
mesin pertanian, personal penunjang lainnya yang sempurna dan bangsa Jepang yang disiplin
serta pekerjaan keras membawa Jepang ke tingkat keberhasilan produksi pada yang tinggi.
Before 1888 1888 - 1912 1912 - 1972 1972 - Present Dream in 1988

G b r. 2 . 6 . P ro g re s k o n s o l i d a s i l a h a n s a w a h d i K a m i - Yu s u h a r a

Gbr.2.7. Ilustrasi kawasan pertanian padi

5.2.Standar tata ietaK petak.-petak. sawah


Keadaan lahan pertanian padi di daerah yang telah mengalami konsolidasi
ditunjukkan pada Gbr. 2.8. Tata letak, bentuk, ukuran petak sawah saluran irigasi
(ditch) sebagai saluran pemberi, saluran pembuang, jalan petani, jalan raya telah
distandardisasi sedemikian rupa. Beberapa hal tentang itu dapat diuraikan seperti
berikut :
a) Ukuran petak sawah yaitu :
 100 meter x 300 meter atau seluas 30.000 meter persegi.
 Sebelum ukuran tersebut yaitu 20 meter x 50 meter.
b) Saluran irigasi dan cara pemberian air :
 ditempatkan pada bagian sisi yang pendek dari petak sawah
 paralel dengan saluran pembuang
 saluran masuk (inlet) satu buah untuk satu petak
 pemberian air dengan sistem satu kali pakai (one way use)
 pengaliran air diberikan dari inlet ke satu petak sawah dan selanjutnya ke saluran
pembuang
c) Saluran pembuang :
 ditempatkan diantara dua saluran pemberi
 puralel dengan saluran irigasi
d) Jalan petani dan jalan raya :
 lcbar 5.00 meterd
 ditempatkan berdekatan dengan saluran irigasi
 dibuat jaringan menyilang antara jalan raya dan jalan petani dcngan interval
tertentu.
e) Prasaran lain: antara lain yaitu bangunan silang. gorong-gorong, dan jembatan.
f) Penampang saluran irigasi/pemberi dan pembuang berbentuk trapesium

Gbr. 2.8. Standarisasi petak sawah


Digambarkan pula bagaimana keadaan lahan pertanian di Jepang sebelum dan
sesudah konsolidasi lahan. Hal ini dapat diperhatikan pada Gbr. 2.9. Petak sawah dan
prasarana lain yang teratur dan rapi di daerah yang sudah mengalami konsolidasi. bertolak
belakang dengan keadaan sebelumnya.

Gbr. 2.9. Keadaan lahan pertanian padi di daerah pedataran


Jepang yang sudah, mengalami konsilidasi dan sebelum konsolidasi
5.3 Perkembangan Pertanian
Modernisasi pertanian padi di Jepang telah dimulai sejak lama. Pada Gbr. 2.10
(atas) digambarkan sejarah perkembangan hasil tanaman padi, dan Gbr.2.10 (bawah)
sejarah luas tanaman padi, hasilnya dan daerah yang mengalami konsolidasi lahan. Tampak
bahwa hasil padi meningkat sejak 1940 dan konsolidasi lahan dimulai sejak tahun 1900.
Dan pengurangan lahan sawah terjadi sejak tahun 1970-an. Pengurangan luas lahan
pertanian antara lain diakibatkan oleh alih fungsi lahan ke sektor non pertanian, terutama
industri dan pemukiman.

Gbr. 2.10. Proses Pertanian Jepang

5.4 Manfaat Konsolidasi Lahan


Susunan irigasi ala Jepang ini telah menjadikan Jepang berhasil dalam
meningkatkan padinya sehingga pada waktu tertentu melebihi kebutuhan. Selain itu daerah
pertanian yang telah mengalami konsolidasi lahan memperoleh manfaat pula antara lain
yaitu :
 Petani dapat mengontrol pemberian air, penggenangan sawah dan pengeringan
sawahnya; hal ini dimungkinkan karena setiap petak sawah independen dalam
pemasukan air, pengeluaran air dan pengeringannya.
 Setiap petak sawah dapat diairi secara serentak- dikeringkan secara teratur dan dapat
diairi kembali dalam waktu yang singkat.
 Petani dapat mengolah sawahnya langsung tanpa menunggu gilirarn pemberian air
karena pemberian air sistem satu kali pakai.
 Tanaman selain padi dapat pula dipiIih karena sistem pembuangan aliran air yang
memadai dan cukup baik; tanaman selain padi ini atas permintaan pemerintah dan
petani memperoleh subsidi (bila menanam selain padi) karena keadaan yang sudah
kelebihan produksi (over production).
 Pengeringan sawah selama lebih kurang seminggu di awal Agustus yang disebut dengan
Nakaboshi dapat dengan mudah dilakukan; pengeringan sawah ini dimaksudkan antara
lain untuk membatasi pertumbuhan anak padi dan untuk memungkinkan sinar matahari
masuk ke dalam tanah sehingga hama dan bibit penyakit dapat dicegah.
 Mekanisasi pengolahan sawah mulai dari penggarapan sampai dengan panen dapat
dilakukan karena disediakannya prasarana perhubungan (farm road); industrialisasi
Jepang telah menyedot tenaga manusia ke sektor tersebut, sehingga untuk pengelolaan
sawah kekurangan tenaga manusia dan untuk itu diperlukan tenaga mesin.
 Dengan mekanisasi pengelolaan sawah diperoleh penghematan tenaga dan waktu;
sebelum konsolidasi lahan dan mekanisasi pengolahan untuk satu hektar lahan
diperlukan 3000 jam tenaga manusia. Setelah konsolidasi lahan dengan mekanisasi
pertanian untuk satu hektarnya hanya diperlukan 1530 jam dengan tenaga mesin.
Daftar Pustaka

Effendi Pasandaran. 1991. Irigasi di Indonesia, Strategi dan Pengembangan, I.P3ES.

Erman Mawardi. Drs. Dipl. AIT. 1992. Kemajuan Jepang di Bidang Pangan, Tinjauan
terhadap Sistem Irigasi dan Drainase, Laporan teknis. Tidak diterbitkan.

Hardi Prijono. September 1991. Irrigation Management in Indonesia. DGWRD,


Ministry of Public Works, lndonesia. 4th Seminar on the Development of
Appropriate Technology, The Japanese Institute of Irrigation and Drainage, Tokyo,
Japan.

Hisao Negishi. No. 16 Juli 1986. Consolidation of Farmaland Condition in


Paddyfields, Journal of Irrigation Engineering and Rural Planning, The Jupanese
Sociaty of Irrigation Drainage and Reclemation Engineering.

Japanese Society Of lrrigation Drainage and Reclamation Engineering. 1989. Irrigation


and Drainage in Japan.

Junichi Kitamura. No. 1 January 1982. Water Utilization for Agricultural in


Indonesia, Journal of Irrigation Engineering and Rural Planning. The Japanese
Society of Irrigation, Drainage and Reclamation Engineering.

Kaname Ezaki. 1989. Irrigation and Drainage System in Paddyfield Regions,


The Japanese Society of Drainage and Reclamation Engineering.

Proyek Irigasi Jawa Tengah. Ditjen. Pengairan. Modul Penataran E & P untuk DPU
Propinzi Jawa Tengah (Pengairan). Transparan untuk Training.

R. Sarah Reksokusumo. 1975. Dasar-dasar untuk Membuat Perencanaan Teknis


Jaringan Irigasi, Jilid III, Bangunan-Bangunan, Badan Penerbit P.U.

R. Ganda Koesumah. 1969. Irigasi, Penerbit Sumur Bandung.

Soetedjo Prof. Ir. 1969. Pengairan. Jilid 1 dan 2 Diktat kuliah.

Takashi Tauchi. Present and Future Deveploment of Irrigation and Drainage. Advanced
Cultivation, Irrigation and Drainage Technologi in Japang.

Toshisuke Maruyawa. No. 16 Juli 1989. Paddyfield Irrigation, Journal of Irrigation


Engineering and Drainage Technology in Japang.
BAB 3

BENDUNG TETAP UNTUK IRIGASI


I. PEMILIHAN LOKASI BENDUNG
1. Umum
Pemilihan lokasi bendung yang dibicarakan yaitu untuk bendung tetap permanen
bagi kepentingan irigasi. Dalam pemilihan hendaknya dipilih lokasi yang paling
menguntungkan dari beberapa segi. Misalnya dilihat dari segi perencanaan, pengamanan
bendung, pelaksanaan, pengoperasian, dampak pembangunan dan sebagainya. Selain itu
dipertimbangkan pula atas beberapa alternatif lokasi. Dari beberapa pengalaman dalam
memilih lokasi bendung, tidak semua persyaratan yang dibutuhkan terpenuhi. Sehingga
lokasi bendung ditetapkan berdasarkan persyaratan yang dominan. Pemilihan lokasi
bendung agar dipertimbangkan pula terhadap pengaruh timbal balik antara morfologi
sungai dan bangunan lain yang ada dan yang akan dibangun.

2. Pemilihan Lokasi Bendung


Lokasi bendung dipilih
atas pertimbangan beberapa
aspek yaitu :
1) Keadaan topografi dari
rencana daerah irigasi (Gbr.
3.1.1) yang akan diairi :
 Dalam rencana daerah
irigasi dapat terairi,
sehingga harus dilihat
elevasi sawah tertinggi
yang akan diairi,
 bila elevasi sawah ter- Gbr. 3.1.1
tinggi yang akan diairi Keadaan topografi bendung Sumpur
tclah diketahui maka
elevasi mercu bendung
dapat ditetapkan.
 Dari kedua hal di atas, lokasi bendung dilihat dari segi topografi dapat diseleksi,
 Disamping itu ketinggian mercu bendung dari dasar sungai dapat pula direncanakan.
2) Kondisi topografi dari lokasi bendung; harus mempertimbangkan beberapa aspek
yaitu :
 Ketinggian bendung tidak terlalu tinggi bila bendung dibangun di palung sungai,
maka sebaiknya ketinggian bendung dari dasar sungai tidak lebih dari tujuh meter,
sehingga tidak menyulitkan pelaksanaannya.
 Trace saluran induk terletak di ternpat yang baik; misalnya penggaliannya tidak
menyulitkan pelaksanaan dalam dan tanggul tidak terlalu tinggi - untuk tidak
menyulitkan pelaksanaan, penggalian saluran induk dibatasi sarnpai dengan
kedalaman delapan meter, bila masalah ini dijumpai maka sebaliknya lokasi bendung
dipindah ke tempat lain; catatan untuk kedalaman saluran induk yang diijinkan
sampai tanah dasar -cukup baik dan saluran tidak terlalu panjang.
 Penempatan lokasi intake yang tepat dilihat dari segi hidraulik dan angkutan
sedimen; sehingga aliran ke intake tidak mengalami gangguan dan angkutan sedimen
yang akan rnasuk ke intake juga dapat dihindari; untuk menjamin aliran lancar masuk
ke intake, salah satu syaratnya, intake harus terletak di tikungan dalam aliran atau di
bagian sungai yang lurus clan harus dihindari penempatan intake di tikungan dalam
aliran.
3) Kondisi hidraulik dan morfologi sungai di lokasi bendung; termasuk angkutan
sendimennya adalah faktor yang harus dipertimbangkan pula dalam pemilihan lokasi
bendung yang meliputi :
 Pola aliran sungai; kecepatan, dan arahnya pada waktu debit banjir, sedan dan kecil,
 Kedalaman dan lebar muka air pada waktu debit banjir, sedang dan kecil,
 Tinggi muka air pada debit banjir rencana,
 Potensi dan distribusi angkutan sedimen.
Bila persyaratan di atas tidak terpenuhi maka dipertimbangkan pembangunan bendung
di lokasi lain misalnya di sudetan sungai atau dengan jalan membangun pengendalian
sungai.
4) Kondisi tanah fundasi; bendung harus ditempatkan di lokasi dimana tanah fundasinya
cukup baik sehingga bangunan akan stabil. Faktor lain yang harus dipertimbangkan
pula yaitu potensi kegempaan, potensi gerusan karena arus dan sebagainya; secara
teknik bendung dapat ditempatkan di lokasi sungai dengan tanah fundasi yang kurang
baik, tetapi bangunan akan membutuhkan, pcralatan yang lengkap dan pelaksanaan
yang tidak mudah.
5) Biaya pelaksanaan ; beberapa alternatif lokasi harus dipertimbangkan ; yang
selanjutnya biaya pelaksanaan dapat ditentukan dan cara pelaksanaanya, peralatan dan
tenaga. Biasanya biaya pelaksanaan ditentukan berdasarkan pertimbangan terakhir.
Dari beberapa alternatif lokasi ditinjau pula dari segi biaya yang paling murah dan
pelaksanaan yang tidak terlalu sulit.
6) Faktor-faktor lain ; yang harus dipertimbangkan dalam memilih lokasi bendung yaitu
penggunaan lahan di sekitar bendung, kemungkinan pengembangan daerah di sekitar
bendung, perubahan morfologi sumgai, daerah genangan yang tidak terlalil luas dan
ketinggian tanggul banjir.

3. Penempatan bendung di sudetan sungai


penempatan
bendung yang dulu dikenal Tanggul penutup
hanya di palung sungai,
kiri telah berkembang
untuk ditempatkan di
sudetan sungai (Gbr. 3.1.2).
Berpuluh - puluh bendung
ditempatkan di sudetan
sungai sejak tahun 1970-
an, sehingga diperoleh
pengalaman dan diketahui
untung ruginya. Sudetan
sungai yaitu saluran yang
dibuat untuk memindahkan
aliran sungai dari palung
Gbr. 3.1.2. Bendung di Sudetan
aslinya. Dapat dibuat di
daerah yang tidak pernah
tersentuh aliran air atau
pada sudetan sungai.
Keuntungan bendung ditempatkan di sudetan sungai yaitu :
 Memudahkan pelaksanaan bendung tanpa gangguan aliran sungai, dan tidak perlu
terburu-buru karena gangguan musim,
 Arah aliran menuju bendung dan ke hilirnya akan lebih baik
 Untuk mendapatkan tanah fundasi yang lebih baik,
 Penempatan lokasi intake, kantong sedimen dan saluran akan lebih baik.
Namun akan dijumpai pula kesulitannya yaitu :
 Harus dibuat tanggul penutup sungai, yang kadang kala cukup tinggi dan berat,
 Diperlukan pula bangunan pengelak khusus dalam pelaksanaan pembuatan tanggul
penutup tersebut,
 adakalanya perlu penyeberangan saluran induk di atas palung sungai asli.
Penempatan bendung langsung di palling sungai sebaliknya dari hal di atas ; yaitu
pelaksanaan pekerjaan akan terganggu oleh musim banjir, perlu pekerjaan pengeringan
yang berat, dan perlu perlengkapan bendung untuk memeratakan Aliran menuju bendung
seperti pengarah arus dan sebagainya. Tetapi tidak diperlukan tanggul penutup sungai. dan
saluran induk akan berada di tanah asli. tidak di atas tanggul penutup sungai.
Tata tetak yang tepat ; untuk sudetan bergantung kepada berbagai faktor seperti
keadaan geotek, topografi dan sebagainya. Dalam pengaturan alur sudetan dan tata letaknya
beberapa hal harus dipertimbangkan pula yaitu :
 Perubahan morfologi sungai diusahakan sesedikit mungkin,
 Penurunan dasar sungai/sudetan dihilir bendung akan terjadi sehingga penentuan
kedalaman koperan banguna/bendung harus dipertimbangkan terhadap hal ini.

4. Contoh Penempatan Bendung di Sudetan Sungai


1) Bendung Indrapura di Batang Indrapura, Sumatera Barat (Gbr: 3.1.3) ) Bendung
ditempatkan di sudetan sungai sebelah kanan palung sungai. Untuk mengalihkan aliran
sungai dari palungnya ke sudetan diperlukan tanggul penutup yang cukup panjang di
bagian kiri bendung. Tanggul banjir ditempatkan di bagian kanan bendung. Bangunan
pengarah arus ditempatkan di bagian kiri bendung menerus dari tembok pangkal kiri ke

Gbr. 3.1.3. Bendung Indrapura di sudetan sungai Indrapura


Arah udik, gunanya untuk menghindarkan aliran deras sepanjang tubuh tanggul penutup
penutup. Saluran induk kiri terletak antara sungai dan sudetan di bantaran sungai kiri,
sehingga tidak memerlukan bangunan silang. Tanggul penutup yang cukup panjang,
tanggul banjir, galian sudetan, dan tembok pengarah arus yang agak berat merupakan hal
yang serius. Tetapi atas berbagai pertimbangan, lokasi di sudetan ini yang dipilih.
Arab aliran utama dari udik menuju bendung pada saat debit banjir desain cukup merata,
karena bendung terletak di sudetan di hilir tikungan sungai. Hal ini memberikan
pengaruh positif terhadap intake yakni menghilangkan gangguan penyadapan aliran. Dan
terhadap bangunan peredam energi yaitu tidak menimbulkan penggerusan setempat yang
dalam.
2) Bendung Mentawa di Sungai Mentawa, Sulawesi Tengah (Gbr. 3.1.4)
Pilihan lokasi bendung sebagai alternatif adalah di sudetan sungai di bagian kanan alur
sungai. Diperlukan tanggul penutup sungai yang cukup panjang dan tinggi di bagian kiri.
Dan pengarah arus di kedua sisi bendung. Juga diperlukan bangunan silang untuk
menyeberangkan saluran induk kiri. Atau saluran induk berada di atas tubuh tanggul
penutup, yang dikhawatirkan menimbulkan kebocoran dan dapat membahayakan
stabilitas tanggul penutup. Arah sudetan terhadap sumbu sungai cukup baik sehingga
arah aliran utama menuju bendung dapat diusahakan menjadi merata dan fron tal.
Pelaksanaan bendung akan lebih mudah dan lebih tenang karena berada di tempat kering
dan tidak terganggu oleh aliran banjir.

Gbr. 3.1.4. Bendung Mentawa di Sudetan Sungai Mentawa


II. BENDUNG PELIMPAH
1. Pengertian
Menurut Standar Tata Cara Perencanaan Umum Bendung, yang diartikan dengan
bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang sungai
atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk
mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke
tempat yang membutuhkannya. Sedangkan bangunan air adalah setiap pekerjaan sipil
yang dibangun di badan sungai untuk berbagai keperluan.
Bendung tetap adalah bendung yang terdiri dari ambang tetap, sehingga muka air
banjir tidak dapat diatur elevasinya. Dibangun umumnya di sungai -sungai ruas hulu dan
tengah.
Bendung berfungsi antara lain untuk meninggikan taraf muka air, agar air sungai
dapat disadap sesuai dengan kebutuhan dan untuk mengendalikan aliran, angkutan sedimen
dan geometri sungai sehingga air dapat dimanfaatkan secara aman, efektif, efisien dan
optimal.
Bendung sebagai pengatur tinggi muka air sungai dapat dibedakan menjadi bendung
pelimpah clan bendung gerak. Dalam buku ini yang dibicarakan adalah bendung pelimpah
yang terbuat dari pasangan batu. Bendung pelimpah yang dibangun melintang di sungai,
akan memberikan tinggi air minimum kepada bangunan intake untuk keperluan irigasi.
Merupakan penghalang selama terjadi banjir dan dapat menyebabkan genangan di udik
bendung.

Gbr. 3.2.1. Bendung Langla di S. Cilangla D.I Padawaras


Tasikmalaya, Jawa Barat
Bendung pelimpah terdiri dari antara lain tubuh bendung dan mercu bendung.
Tubuh bendlung merupakan ambang tetap yang berfungsi untuk meninggikan taraf tnuka
air sungai. Mercu bendung berfungsi untuk mengatur tinggi air minimum, melewatkan
debit banjir, dan untuk membatasi tinggi genangan yang akan terjadi di udik bendung.
Nama bendung ; untuk penyebutan suatu bendung, yang biasanya diberi nama
sama dengan nama Sungai atau sama dengan nama kampung atau desa disekitar bendung
tersebut. Misalnya bendung yang terletak di sungai Cilangla, Karena nama sungai di
tempat bendung itu sungai Cilangla maka bendung diberi nama bendung Langla (Gbr.
3.2.1). Atau Bendung Danawarih di Sungai Gung ; diberi nama sama dengan kampung di
sekitar bendung tersebut yaitu kampung Danawarih.

2. Klasifikasi Bendung
Bendung berdasarkan fungsinya dapat diklasikasikan menjadi :
 Bendung penyadap ;
digun-
akan sebagai penyadap
aliran sungai untuk
berbagai keperluan seperti
untuk irigasi, air baku dan
sebaginya (Gbr. 3.2.2),
 Bendung pembagi banjir;
dibangun di percabangan
untuk mengatur maka
sungai, sehingga terjadi
pemisahan antara debit
banjir dan debit rendah Gbr. 3.2.2
sesuai dengan kapasitasnya.
 Bendung penahan pasang ;
dibangun dibagian sungai
yang dipengaruhi pasang
surut air laut antara lain
untuk mencegah masuknya
air asin (Gbr. 3.2.3).
Berdasarkan tipe strukturnya
bendung dapat dibedakan atas :
 bendung tetap
 bendung gerak
 bendung kombinasi
 bendung kembang kempis
 bendung bottom intake
Gbr. 3.2.3
Ditinjau dari segi
sifatnya bendung dapat pula
dibedakan :
 bendung permanen seperti
bendung pasangan batu,
beton, dan kombinasi beton
dan pasangan batu,
 bendung semi permanent
seperti bendung bronjong,
cerucuk kayu dan Gbr. 3.2.4
sebagainya (Gbr. 3.2.4),
 Bendung darurat; yang
dibuat oleh masyarakat
pedesaan seperti bendung
tumpukan batu dan
sebagainya.

3. Tata Letak Bendung dan Perlengkapannya


Bendung tetap yang terbuat dari pasangan batu untuk keperluan irigasi terdiri atas
berbagai komponen yang mempunyai fungsi masing-masing. Komponen utama bendung
itu yakni : (lihat skema komponen bendung tetap)
 tubuh bendung itu yakni; antara lain terdiri dari ambana tetap dan mercu bendung
dengan bangunan peredam energinya.
 bangunan intake; antara lain terdiri dari lantai/lambang dasar, pintu, dinding banjir,
pilar penempatan pintu, saringan sampah, jembatan pelayan, rumah pintu, saringan
batu dan perlengkapannya lainnya.
 bangunan pembilas; dengan undersluice atau tanpa undersluice, pilar penempatan
pintu, pintu bilas, jembatan pelayan, rumah pintu, saringan dan perlengkapan lainnya.
 bangunan perlengkapan lain yang harus ada pada bendung antara lain yitu tembok
pangkal, sayap bendung, lantai udik dan dinding tirai, pengarah arus tanggul banjir
dan tanggul penutup atau tanpa tanggul, penangkap arlimcn atau tanpa penangkap
sedimen, tangga, penduga muka air, dan sebagainya.
Pengaturan penempatan bagian-bagian bendung tersebut, sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi fungsinya. Dewasa ini tata letak bendung tetap dari pasangan
batu umumnya telah tertata dengan baik dan dapat dijadikan sebagai standar. Penataan ini
diperoleh dari berbagai pengalaman dalam mendesain bendung terutama sejak tahun
1970-an. Yang paling penting dalam menempatkan bagian-bagian bendug ini yaitu
bangunan intake dan pembilas selalu terletak berdampingan dan menjadi satu kesatuan.
Bangunan tubuh bendung ditempatkan tegak lurus aliran sungai dan pilar pembilas
(Gbr. 3.2.5).
Gbr. 3.2.5. Tata letak bendung tetap

Selanjutnya, pengaturan tata letak bendung dan perlengkapannya diuraikan seperti


berikut: (lihat Gbr. 3.2.8.d)
Tubuh bendung; diletakkan kurang lebih tegak lurus arah aliran sungai saat banjir
besar dan sedang. Maksudnya agar arah aliran utama menuju bendung dan yang keluar dari
bendung terbagi merata. Sehingga tidak menimbulkan pusaran-pusaran aliran di udik
bangunan pembilas dan intake. Pusaran aliran ini dapat menimbulkan gangguan
penyadapan aliran ke intake dan pembilasan sedimen. Bila aliran utama yang keluar dari
bendung ke hilir tidak merata, maka akan dapat menimbulkan penggerusan setempat di hilir
bendung lebih dalam di satu bagian dari bagian lainnya.
Intake; selalu merupakan satu kesatuan dengan bangunan pembilas dan tembok
pangkal di udiknya. Biasanya diletakkan dengan sudut pengambilan arah tegak lurus (90°)
atau menyudut (45° - 60°) terhadap sumbu bangunan bilas. Diupayakan berada di tikungan
luar aliran sungai, sehingga dapat mengurangi sedimen yang akan masuk ke intake.
Ditinjau dari segi hidrauilik penempatan intake yang tegak lurus terhadap sumbu bangunan
pembilas lebih baik dibandingkan dengan intake yang arah sumbunya menyudut.
Bangunan pembilas; selalu terletak berdampingan dan satu kesatuan dengan intake,
di sisi bentang sungai dan bagian luar tembok pangkal bcndung. Dan bersama-sama dengan
intake, dan tembok pangkal udik : bendung yang diletakkan sedemikian rupa dapat
mernbentuk suatu tikungan luar aliran (heli coidal flow). Aliran ini akan melemparkan
angkutan sendimen ke arah luar intakel bangunan pembilas menuju tubuh bendung,
sehingga akan mengurangi jumlah angkutan sedimen dasar masuk ke intake.
Tembok pangkal; diletakkan di kedua pangkal tubuh bendung yang umumnya
dibuat dengan bentuk tegak; adakalanya lurus atau membuka ke arah hilir. Dan berfungsi
sebagai penahan tanah, pencegah rembesan samping pangkal jembatan, pengarah aliran dari
udik dan sebagai batas bruto bendung.
Tata letak bendung gaya lama ; pengaturan tata letak bendung gaya Lama
contohnya pada bendung tua, bendung Glapan di Kali Tuntang, Jawa Tengah. Dirancang
oleh ahli teknik Belanda dan dibangun sekitar tahun 1853 (Gbr. 3.2.6).
Pengaturan tata letak bendung yang tidak lajim, yang dijumpai pada bendung ini
yaitu :
1) sumbu bendung ditempatkan tidak tegak lurus arah aliran sungai,
2) bangunan intake, tidak dibagian sisi bendung tapi jauh di udik bendung yang tidak
rnerupakan satu kesatuan dengan bendung,
3) Pintu intake diletakkan di voorkanaal,
4) Bendung tanpa bangunan pembilas.
Sekalipun bendung ini tata letaknya tidak ditempatkan seperti apa yang kita jumpai
sekarang ini dan telah berumur lebih dari 100 tahun, namun bisa dan berfungsi dengan baik
dan dengan berbagai masalahnya.
Masalah utama pada Bendung Glapan yang dibicarakan tahun 1975 antara lain yaitu
terjadinya kesulitan penyadapan air ke intake, akibat adanya timbunan endapan sedimen di
voorkanaal. Masalah lain yaitu masuknya angkutan muatan sedimen ke intake dan saluran
induk dengan jumlah yang relatif besar.
Mcngatasi masalah itu dilakukan dengan cara ; meniadakan voorkanaal di udik
pintu-pintu intake, sehingga tidak terjadi endapan sedimen di daerah ini tikungan luar
aliran sungai mulai dari udik intake dan di mulut intake sampai menuju bendung,
sehingga angkutan muatan sedimen dasar yang akan masuk ke intake dapat
dikurangi. Gambar desain penanggulangan ini dikerjakan oleh DPMA (1975) berdasarkan
hasil (uji model fisik di laboratorium luar Ciparay. Pada gambar tampak bagian voorkanaal
telah dipotong. Bentuk tebing sungai kanan dari udik menuju intake dan kehilirnya telah
streamline. Tebing sungai kanan diberi perkuatan dari psangan beton dan kakinya diberi
perlindungan dari bronjong dan tidang pancang besi baja.
Gbr. 3.2.6. Tata Letak Bendung Glapan, K. Tuntang, Jawa Tengah

4. Bentuk Bendung Pelimpah

Bendung untuk melim-


pahkan aliran sungai tubuh
bendungnya harus kuat dan stabil.
Untuk itu bentuk tubuh bendung
bagian udiknya dapat dibuat
tegak atau miring, sedangkan
bagian hilirnya dengan
kemiringan. Arah penempatan
pelimpah bendung umumnya
tegak lurus tcrhadap aliran
sungai. Selain bentuk lurus
pelimpah bendung dapat pula
berbentuk lengkung, gergaji,
bentuk U, < , dan sebagainya
Gbr. 3.2.7.a
seperti uraian berikut.
Pelimpah lurus (Gbr.
3.2.7.a) umumnya banyak
digunakan dan dikembangkan
untuk bendung tetap. Dibangun
melintang di palung sungai dan
tegak lurus antara tembok
pangkal dan pilar pembilas
bendung. Mengarah tegak lurus
terhadap aliran utama sungai.
Aliran sungai yang keluar dari
bendung kehilir akan merata dan
tidak terkonsentrasi pada satu
bagian, sehingga penggerusan se-
Gbr. 3.2.7.b
mpat di hilir bendung tidak
Bentuk pelimpah bendung lengkung
terpusat pada suatu tempat.

Pelimpah lengkung (Gbr.3.2.7.b clan 3.2.7.c); adalah alternatif lain dari bentuk
lurus. Bentuk ini tidak banyak dijumpai dan dibangun sebelum tahun 1970-an. Dijumpai
antara lain pada bendung-bendung Cisokan, Cianjur, Cibongos, Bogor, Cumulu,
Tasikmalaya. Lengkungan pelimpah berbentuk cembun mengarah ke udik. Jarak
lengkungan biasanya sekitar 1/10 s.d 1/20 dari lebar bentang.
Bentuk ini akan melimpahkan aliran sungai lebih besar dibandingkan dengan
bentuk lurus karena bentangnya lebih panjang. Umumnya dibangun di daerah dasar
sungai dari jenis batuan keras sehingga penggerusan seternpat hilir bendung tidak perlu
dikhawatirkan.

Gbr. 3.2.7.c
Gambar bentuk pelimpah bendung
Pelimpah bentuk lain
dibuat dengan maksud-maksud
tertentu. Pelimpah bentuk U ini
dijumpai antara lain pada
bendung yang terletak di tengah
kota Tasikmalaya. Antara lain
dimaksudkan agar dapat me-
limpahkan aliran sungai dari
sisi yang lain, karena di udik
bendung terdapat percabangan Gbr. 3.2.8.a
sungai (Gbr. 3.2.8.a).
Pelimpah bentuk <
dijumpai pada bendung Karang
Talun di K. Progo, Yogyakarta.
Semula di tempat ini hanya
terdapat free intake. Kernudian
d i b a n g u n b e n d u n g
(Gbr.3.2.8.b). Untuk penyesuian
letak mulut intake, arah aliran
utarna sungai dan penempatan
bendung maka ditata Gbr. 3.2.8.b
penempatannya sedemikian.
Ambang pelimpah yang pendek
di bagian kiri tadinya dirancang
untuk penempatan pembilas.
Tetapi berdasarkan hasil
penyelidikan di laboratorium
DPMA clan diskusi den-an
konsultan kemudian desain asli
diubah menjadi bentuk
sekarang, dimana bendung
tanpa pembilas tetapi
mempunyai kantong scdimen
yang cukup efektif. Gbr. 3.2.8.d
Pelimpah bentuk
gergaji (Gbr. 3.2.8.c dan
3.2.8.d), bentuk pelimpah lain
yang dikembangkan yaitu
bentuk pelimpah gergaji atau pelimpah bergigi. Telah dibangun antara lain pada
bendung-bendung Ciwadas, Karawang dan Tami di Papua.
Gbr. 3.2.8.d. Denah pelimpah bentuk gergaji
Kapasitas pelimpahan akan menjadi jauh lebih besar dan dapat dikembangkan di
daerah pedataran untuk mengurangi daerah genangan banjir di bagian udik bendung.

Komponen Bendung Tetap


Komponen Bendung tetap terdiri atas lima bagian utama seperti diilustrasikan
pada skema berikut dan perhalikan pula Gbr. 3.2.8.e.
Gbr. 3.2.8.e Komponen bendung tetap dilustrasikan pada gambar
5. Mercu Bendung
5.1 Definisi dan fungsi
Mercu bendung yaitu bagian teratas tubuh bendung dimana aliran dari udik dapat
melimpah ke hilir. Fungsinya sebagai penentu tinggi muka air mini mum di sungai bagian
udik bendung ; sebagai pengempang sungai dan sebagai pelimpah aliran sungai. Letak
mercu bendung bersama-sama tubuh bendung diusahakan tegak lurus arah aliran sungai
agar aliran yang menuju bendung terbagi merata.
5.2 Bentuk mercu bendung
Bentuk mercu bendung
tetap (Gbr. 3.2.9), yaitu:
 mercu bulat dengan satu jari-
jari pernbulatan,
 mcrcu bulat dengan dua jari-
jari pembulatan,
 mercu tipe Ogee, SAF dan
 mercu ambang lebar.
Bentuk mercu bendung
yang lazim digunakan di Indo-
Indonesia yaitu bentuk mercu
bulat. Hal ini dikarenakan :
 bentuknya sederhana
sehingga mudah dalam
pclaksanaannya,
 mcmpunyai bentuk mercu
yang besar, sehingga lebih
terhadap benturan batu
gelundung, bongkah &
sebagainya.
 tahan terhadap goresan atau
Bentuk mercu Ogee
abrasi. karena mercu
bendungan diperkuat oleh
pasangan batu candi atau
beton.
 pengaruh kavitasi hampir tidak ada atau tidak begitu besar asalkan radius mercu
bendung memenuhi syarat minimun yaitu 0,7 h < R < h.
Bendung bermercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan koefisien bendung ambang lebar. Karena itu bendung bermabng
lebar hampir tidak digunakan lagi pemakaiannya. Koefesien
pengaliran dari mercu tersebut dapat dipelajari pada Standar Perencanaan lrigasi; KP 02.
Khusus untuk bendung bermercu bulat, DPMA telah melakukan pula studi untuk
mempelajari koefisien pengalirannya. Penyelidikan dilakukan di laboratorium hidrolika
secara dua dimensi, yang telah memasukkan pengaruh endapan sedimen di udikbendung.
Hasil penyelidikan ini dimuat dalam laporan DPMA No. P. 716.

Gbr. 3.2.9. Bentuk-bentuk mercu bendung

5.3 Tinggi mercu bendung


Tinggi mercu bendung, p, yaitu ketinggian antara elevasi lantai udik/ dasar sungai
di udik bendung dan elevasi mercu. Dalam penentuan ketinggian mercu bendung ini, belum
ada rumus atau ketentuan yang pasti. Hanya berdasarkan pengalaman dengan pertimbangan
stabilitas bendung.
Dalam menentukan tinggi mercu bendung maka harus dipertimbangkan terhadap:
 kebutuhan penyadapan untuk memperoleh debit dan tinggi tekan,
 kebutuhan tinggi energi untuk pembilasan,
 tinggi muka air genangan yang akan terjadi,
 kesempurnaan aliran pada bendung,
 kebutuhan pengendalian angkutan sedimen yang terjadi di bendung.
Tinggi mercu bendung, p, dianjurkan tidak lebih dari 4,00 meter dan minimum 0,5
H. Jika, p, lebih tinggi dart 4,00 meter yang biasa terjadi untuk bendung-bendung dengan
lokasi di sudetan maka elevasi dasar lantai udik dapat diletakkan lebih tinggi dari dasar
sungai. Pengaturan ini dapat dilihat pada Gbr. 3.2.10.
Dalam perhitungan tinggi muka air di atas mercu bendung yang menggunakan
rumus Bundschu clan Verwoerd, maka harga-harga, tinggi mercu, p, dan jari-jari mercu, R,
harus ditetapkan terlebih dulu. Karena hal itu akan saling terkait. Perhatikan rumus berikut:
h 4 1
m = 1,49 – 0,018 ( 5 - )² k= m² . h3 ( h  p )²
r 27
Dimana : k = tinggi Kecepatan aliran
h = tinggi muka air di udik bendung
m = koefisien pengaliran bendung
p = tinggi mercu bendung ke dasar sungai
R = jari-jari pembulatan mercu bendung.

Gbr. 3.2.10. Pengaturan tinggi mercu bendung, p, dari lantai udik

5.4 Panjang mercu bendung


Panjang mercu bendung (Gbr. 3.2.11) atau disebut pula lebar bentang bendung, yaitu
jarak antara dua tembok pangkal bendung (abutment), termasuk lebar bangunan pembilas
dan pilar-pilarnya. Ini disebut panjang mercu bruto.
Dalam penentuan panjang mercu bendung, maka harus diperhitungkan terhadap :
 kemampuan mclewatkan debit desain dengan tinggi jagaan yang cukup;
 batasan tinggi muka air genangan maksimurn yang diijinkan pada debit desain,
Berkaitan dengan itu panjang mercu dapat diperkirakan :
 sama lebar dengan lebar rata - rata sungai stabil atau pada debit penuh alur (bank full
discharge),
 umumnya diambil sebesar 1,2 kali lebar sungai rata-rata, pada ruas sungai yang telah
stabil.
Pengambilan panjang mercu bendung tidak boleh terlalu pendek dan tidak pula
terlalu lebar. Bila desain panjang mercu bendung terlalu pendek, akan memberikan tinggi
muka air di atas mercu lebih tinggi. Akibatnya tanggul banjir di udik akan bertambah
tinggi pula. Demikian pula genangan banjir akan bertambah luas. Sebaliknya bila terlalu
lebar dapat mengakibatkan profil sungai bertambah lebar pula sehingga akan terjadi
pengendapan sedimen di udik bendung yang dapat menimbulkan gangguan penyadapan
aliran ke intake.

Panjang mercu bendung efektif;


Panjang mercu bendung efektif, Be, yaitu panjang mercu bendung bruto, Bb,
dikurangi dengan lebar pilar dan pintu pembilas. Artinya panjang mercu bendung yang
efektif melewatkan debit banjir desain. Panjang mercu bendung efektif lebih pendek
daripada panjang mercu bendung bruto.
Dalam penentuan panjang mercu bendung efektif harus diketahui bagaimana pintu-
pintu pembilas bendung dioperasikan. Sudah merupakan salah satu ketentuan dalam
pengoperasian pintu-pintu pembilas dan intake waktu banjir harus ditutup. Sehingga tidak
ada aliran yang lewat bawah pintu pembilas. Dan aliran yang melimpah melalui pintu
bilas atas lidak semulus dibandingkan dengan aliran yang melimpah melalui mercu
bendung. Karena itu kapasitas melewati atas pintu pembilas biasanya hanya diambil
sebesar 80% dari panjang rencana, untuk mengkompensasi perbedaan koefisien debit
dibandingkan dengan mercu bendung.
Bendung yang dibangun di jaman pemerintahan Belanda umumnya bagian di atas
pintu bilas ditutup oleh dinding banjir, karena itu tidak ada aliran yang melewati atas
pintu. Sehingga tidak dapat dihitung untuk melimpahkan aliran. Kini hampir tidak ada
desain bagian atas pintu bilas yang tertutup.
Bila bagian atas pintu pembilas terbuka tanpa dinding banjir maka akan
memperbesar kapasitas pelimpah bendung karena air dapat mengalir melalui atas pintu,
yang tertutup selama banjir. Selain itu pembuangan sampah-sampah yang mengapung di
udik dapat dilakukan dengan mudah, terlebih bila pintu bilas terdiri atas pintu bilas atas
dan pintu bilas bawah. Tetapi kelemahannya benda-benda padat yang hanyut dapat
merusakkan bagian-bagian pintu. Dan angkutan sedimen akan lebih banyak berada di
udik pintu bilas yang terangkut oleh aliran banjir.
Pilar-pilar pembilas bendung, t, dan bila adu pilar-pilar jembatan yang
ditempatkan di atas mercu bendung yang menghalangi pengaliran harus diperhitungkan
terhadap pelimpahan aliran.
Panjang mercu bendung efektif dapat dihitung dengan cara yaitu :
 Be = Bb - 20% b - t
 Be = Bb - 2 (n kp + ka) H
Dimana :
Be = panjang mercu efektif dalam meter
Bb = panjang mercu bruto dalam meter
Eb = jumlah lebar pembilas
t = jumlah pilar-pilar pembilas
n = jumlah pilar pembilas dan pilar jembatan
kp = koefisien kontraksi pilar
ka = koefisien kontraksi pangkal bendung
H = tinggi energi, yaitu h + k; h = tinggi air; k = v²/2g

Harga koefisien kontraksi pilar; dapat dipelajari dari Standar Perencanaan lrigasi,
KP-02.

Gbr. 3.2.11. Panjang mercu bendung

5.5 Penentuan Elevasi Mercu Bendung


1) Pertimbangan dan kriteria penentuan etevasi mercu
Elevasi mercu bendung ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan :
1) Elcvasi sawah tertinggi yang akan diairi,
2) Keadaan tinggi air di sawah,
3) Kchilangan tekanan mulai dari intake sampai dengan saluran tersier ditambah
kehilangan tekanan akibat exploitasi,
4) Tekanan yang diperlukan agar dapat membilas sedimen di undersluice dan kantong
sedimcn,
5) Pengaruh elevasi mercu bendung terhadap panjang bendung untuk mengalirkan
debit banjir rencana,
6) Untuk mendapatkan sifat aliran sempurna.
Kriteria lain yang harus dipenuhi dalam penentuan elevasi mercu bendung antara
lain yaitu :
 Harus terpenuhi pencapaian pengaliran air ke seluruh wilayah pengaliran,
 Perkiraan respon morfologi sungai di bagian udik dan hilir terhadap bendung pada
elevasi tersebut,
 Kestabilan bangunan secara keseluruhan, biaya pembangunan, dengan tidak
menutup kemungkinan pemilihan lokasi lain.
2) Langkah penentuan elevasi mercu bendung
Dalam penentuan elevasi mercu bendung dapat dilakukan langkah kegiatan sebagai
berikut :
1) Ditetapkan elevasi sawah tertinggi yang akan diairi; tinggi muka air di sawah dan di
saluran irigasi hingga mendapatkan tinggi muka air di bangunan bagi pertama.
2) Dihitung kebutuhan tinggi tekan untuk mengalirkan air dari intake ke bangunan ukur
dan ke bangunan bagi pertama ke saluran sekunder, tersier dan sawah dengan
memperhatikan kehilangan tekanan akibat gesekan sepanjang saluran.
3) Dihitung kehilangan tinggi tekan pada bangunan ukur dengan memperhitungkan tipe
alat ukur yang dipakai.
4) Dihitung kehilangan tinggi tekan di intake dengan memperhitungkan kehilangan
tekanan akibat saringan sampah dan pintu-pintu.
5) Bila bendung dilengkapi dengan kantong sedimen maka; dihitung tinggi elevasi
muka air di awal intake berdasarkan keadaan aliran untuk pembilasan sedimen di
kantong sedimen.
6) Dipilih elevasi muka air di udik intake yang lebih menentukan antara hasil
perhitungan untuk keperluan jaringan irigasi dan hasil perhitungan untuk keperluan
pembilasan sedimen.
7) Ditentukan kehilangan tinggi tekan akibat saringan sampah dan atau saringan batu
yang dipasang di udik intake.
8) Ditambahkan tinggi mercu sekurangnya sebesar 0,10 meter, untuk mengatasi
penurunan muka air di udik mercu akibat gelombang yang timbul oleh tiupan angin
dan kebocoran di pintu.
9) Dievaluasi hasil perhitungan di atas, sehingga pada debit desain tetap te rjadi aliran
sempurna.

3) Contoh perkiraan penentuan elevasi mercu bendung


Sebagai contoh penentuan elevasi mercu bendung dilakukan seperti Tabel 3 berikut.
Dan perhatikan pula Gbr. 3.2.12. Hasilnya hanya perkiraan bukan sebagai patokan.
Tabel 3. Perkiraan Penentuan Elevasi Mercu Bendung
No. Uraian Ketinggian (m)
1 Sawah yang akan dialir X
2 Tinggi air di sawah 0,10
3 Kehilangan tekanan ;
- Dari sal. Tersier ke sawah 0,10
- Dari sal. Sekunder dan tersier 0,10
- Dari sal. Induk ke sekunder 0,10
- Akibat kemiringan saluran 0,15
- Akibat bangunan ukur 0,40
- Dariu intake ke sal. 0,20
Indk/kantong sedimen 0,25
- Bangunan lain antara lain
kantong sedimen
4 Exploitasi 0,10
Elevasi mercu bendung X + 1,50 m
Gbr. 3.2.12 Sketsa penentuan elevasi mercu bendung

5.6 Peninggian Mercu Bendung


Pada bendung tua antara lain bendung Jati di Madiun, bendung Cisokan di Cianjur
dan bendung baru yaitu bendung Gumbasa di Palu, bendung Banjarcahyana di Jawa
Tengah, dijumpai masalah mercu bendung yang kurang tinggi. Hal ini menimbulkan
dampak yang kurang baik yaitu:
 pcnyadapan air terganggu terutama musim kemarau sehingga daerah irigasi yang diairi
menjadi berkurang,
 tinggi energi yang dibutuhkan kurang, sehingga pembilasan sedimen oleh undersluice
dan di kantong sedimen tidak memadai.
Untuk menanggulangi masalah pada bendung-bendung itu DPMA menyarankan
peninggian mercu bendung yang berdasarkan hasil uji model fisik. Bendung Jati
ditinggikan mercunya 0,80 meter, bendung Cisokan 1,00 meter dan telah dilaksanakan di
prototipe. Khusus untuk peninggian mercu bendung Gumbasa setinggi 0,60 meter tidak
dapat dilaksanakan karena terbentur masalah kenaikan muka air yang dikhawatirkan
mengganggu fungsi dan keamanan yang berada tidak jauh di udik bendung.
Peninggian mercu bendung Cisokong memberikan pengaruh yang sangat baik
terhadap pembiasaan sedimen yang berada di udik undersluice dan yang berada di
undersluice. Sebelumnya sedimen yang masuk kesaluran, jumlahnya sangat tinggi. Dengan
peninggian mercu bendung dan penyempurnaan bangunan pembilas dan undersluice,
diketahui jumlah sedimen yang masuk ke saluran.
sangat jauh berkurang.
Gambar 3.2.13 menunjukkan
cara peninggian mercu
bendung. Bidang miring hilir
tubuh bendung diteruskan ke
arah udik sampai dengan
evaluasi mercu yang
dikehendaki. Sambungan
antara bidang yang lama dan
harus diperkuat dengan anker Gbr. 3.2.13. Cara peninggian mercu bendung
sehingga menjadi satu
kesatuan.

5.7. Tinggi Muka Air di atas Mercu Bendung (Gbr.


3:2.14)
Tinggi muka air di atas mercu dapat dihitung dengan persamaan tinggi energi
- debit, untuk ambang bulat dan pengontrol segi empat yaitu:
Dimana :
3
Qd = Cd 2/3 2 gbH 2
3
Qd = debit desain, m3/det
Cd = koefisien debit = C d = C 0 . C 1 . C 2
g = percepatan gravitasi
b = panjang mercu efektif, m
H = tinggi energi di atas mercu, m

Dalam penentuan harga koefisien debit, C d , pada Standar Perencanaan Irigasi


KP. 02.

Gbr. 3.2.14. Tinggi muka air di atas mercu bendung


III. BANGUNAN INTAKE
1. Definisi dan fungsi
Bangunan intake adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi
sebagai penyadap aliran sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen serta
menghindarkan sedimen dasar syungai dan sampah masuk ke intake. Terletak di
bagian sisi bendung, di tembok pangkal dan merupakan satu kesatuan dengan
bangunan pembilas
2. Tata letak
Tata letak intake di atur
sedemikian rupa sehingga
memenuhi fungsinya dan
biasanya di atur sebagai berikut :
 sedekat mungkin dengan
bangunan pembilas (Gbr.
3.3.1),
 merupakan satu kesatuan
dengan pembilas,
Gbr. 3.3.1. Tata letak intake bendung Langla, di
 tidak menyulitkan Tasikmalaya, Jawa Barat
penyadapan aliran,
 tidak menimbulkan
pengendapan sedimen dan
turbulensi aliran udik di
intake.
Bila hal di atas tidak memungkinkan karena misalnya kebutuhan untuk
penempatan jembatan, letak tembok pangkal, dan sebagainya maka tata letak intake dapat
menyimpang dari itu. Untuk itu pengaturan tata letak intake sebaiknya di pelajari dengan
uji model hidraulik.
Pertimbangan yang utama dalam merencanakan tata letak intake adalah
kebutuhan penyadapan debit dan mengelakkan sedimen agar tidak masuk ke intake.
Selain itu harus dipikirkan pula kemungkinan pengembangan, kehilangan tinggi tekan dan
sebagainya.
Berkaitan dengan pengurusan angkutan sedimen ke saluran terutama fraksi pasir
atau yang lebih besar dari itu maka bangunan intake adalah pertama-tama untuk
pengendaliannya. Dalam kaitan ini mulut intake diatur sedemikian rupa sehingga terletak
tidak terlalu dekat dan tidak pula terlalu jauh dan pintu pembilas. Kalau terlalu denkat
dengan pintu pembilas maka pengaliran aliran ke intake akan terganggu oleh tembok
baya-baya. Dan bila terlalu jauh, bangunan undersluice akan semakin panjang.
Pengaturan intake dan bangunan pembilas yang dilengkapi dengan pembilas lurus
dapat diperhatikan pada Gbr. 3.3.2. Dalam pengaturan tata letak intake perlu diperhatikan
pula pengaturan letak dan panjang tembok pangkal dan tembok saya udik ini untuk
menghindarkan turbulensi aliran sebanyak mungkin dan untuk mengupayakan agar aliran
menjadi mulus menuju intake.
Pada gambar, diketahui pula bahwa pintu intake diletakkan tepat di hilir
lengkungan tembok pangjkal. Pintu diletakkan tidak dilengkungkan dan tidak pula terlalu
jauh sehingga akan menguntungkan dari segi hiodraulik dan struktur.

Gbr. 3.2.2. Tata letak pada intake pada bendung tetap


Lantai di udik pintu intake
diletakkan sama tinggi dengan
bagian atas plat undersluice,
karena ketinggian yang terbatas.

3. Macam intake
Intake biasa (Gbr.
3.3.3.a); yang umumnya
direncanakan yaitu intake
dengan pintu berlubang satu
atau lebih dan dilengkapi Gbr. 3.3.3.a
dengan pintu dinding banjir, dan
pcrlengkapan lainnya.
Lebar satu pintu tidak
lebih dari 2,50 m dan
diiletakkan di bagian udik.
Pengaliran melalui bawah pintu.
Besarnya dcbit diatur melalui
tinggi bukaan pintu.
Intake gorong-gorong;
tanpa pintu di bagian udik.
Pintu-pintu diletakkan di bagian
hilir gorong-gorong. Lubang in-
takc lebih dari satu dengan lebar
masing-masing lubang kurang Gbr. 3.3.3.b
dari 2,50 m. Dilihat dari arah
sungai/bendung mulut intake
tidak kelihatan karena
tenggelam. Pengoperasian pintu
intake diletakkan secara
mekanis, bila tidak akan sangat
berat. Bentuk intake ini (Gbr.
3.3.3. b) dijumpai di bendung
Karang Talun Yogyakarta.
Intake frontal (Gbr.
3.3.3 c); pada bendung
Mejagong di jateng. Intake
diletakkan di tembok pangkal,
jauh dari bangunan
pembilas/bandung. Arah aliran Gbr. 3.3.3.c
sungai dari udik
Frontal terhadap mulut intake sehingga tidak menyulitkan penyadapan aliran. Tetapi
angkutan sedimen relatif banyak masuk ke intake, yang ditanggulangi
dengan bangunan sand ejector dan kantong sedimen. Bentuk ini diperoleh
berdasarkan hasil uji model oleh DPMA (ir. Moch. Memed, dkk).
Dua intake di satu sisi bendung ; dimana pintu intake untuk sisi yang lain
diletakkan di pilar pembilas bendung. Pengaliran ke sisi yang lain itu melalui
gorong-gorong di dalam tubuh bendung. Jumlah gorong-gorong dapat dua buah.
Gorong-gorong yang umum dipakai yaitu yang berbentuk bulat.

Gbr. 3.3.3.d. Ukuran bentuk, dan tata letak intake pada bendung
Selain itu, bentuk, ukuran,
arah dan tata letak intake pada
bendung dapat diperhatikan pada
Gambar 3.3.3.d. intake ini terdapat
pada bendung-bendung di daerah
Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat
bagian selatan. Ukuran tercantum
di gambar diperoleh berdasarkan
pengukuran di lapangan.
4. Arah intake,
komponen dan letak
bangunan
1) Arah intake ter - hadap sumbu
sungai dapat diatur seperti
berikut (periksa Gbr. 3.3.4).
 tegak lurus membentuk
Sudut kira-kira 90°
terhadap sumbu sungai, Gbr. 3.3.4. Arah intake menyudut dan
 menyudut membentuk sudut
antara. 45°- CO° terhadap
sumbu sungai,
 keadaan tertentu yang
ditetapkan berdasarkan
hasil uji model hidraulik di
laboratorium.
Arah intake yang tegak lurus
Gbr. 3.3.5. Komponen intake
dibandingkan dengan arah
yang menyudut ditinjau dari
segi hidraulik lebih
menguntungkan arah yang
tegak lurus terhadap sumbu
sungai.
Komponen utama bangunan
intake terdiri dari (Gbr. 3.3.5).
 ambang/lantai dinding
bangunan tembok sayap,
 pintu dan perlengkapannya Gbr. 3.3.5. Letak intake dan pembilas
serta dinidng penahan
banjir,
 pilar penempatan pintu bila
pintu lebih dari satu buah,
 jembatan pelayan,
 rumah pintu,
 saringan sampah
 sponeng dan sponeng
cadangan, dan lain-lain.
2) Letak intake; harus ditata
sedemikian rupa sehingga berada
di tikungan luar aliran yang
membentuk aliran helicoidal.
Sehingga pada keadaan sungai
Ketinggian lantai intake
banjir, angkutan sedimen dasar
yang mendekat ke intake akan Gbr. 3.3.7. Lantai intake dengan undersluice
terlempar ke tikungan dalam
menjauhi intake. ini dapat
membentuk daerah bebas endapan
di udik intake dan rnenghilangkan
gangguan penyadapan aliran.
Tikungan luar aliran dapat
dibentuk dengan pencmpatan
tembok pangkal bendung, pilar-
pilar pembilas, tembok sayap
bendung dan sebagainya
sedemikian, sehingga menjadi
deflector (Gbr. 3.3.6). Gbr. 3.3.8. Lantai intake tanpa undersluice

5. Sentuk dan ukuran hidraulik


1) Lantai intake
Lantai intake dirancang datar/tanpa kemiringan. Di hilir pintu lantai dapat berbentuk
kemiringan dan dengan bentuk terjunan sekitar 0,5 m. Lantai intake bila di awal
kantong sedimen bisa berbentuk datar dan dengan kemiringan tertentu. Ketinggian
lantai intake, bila intake ditempatkan pada bangunan pembilas dengan undersluice
seperti Gbr. 3.3.7 yaitu :
 sama tinggi den-an plat lantai undersluice,
 sampai dengan 0,50 m di atas plat undersluice,
 tergantung kepada keadaan.
Bila intake ditempatkan pada bangunan pembiulas tanpa undersluice (Gbr. 3.3.8)
maka ketinggiannya di atas lantai udik bendung yaitu :
 0,50 m, jika sungai
mengangkut lanau,
 1,00 m, jika sungai
mengangkut pasir & kerikil,
 1,50 m, jika sungai
mengangkat kerangkal &
bongkah,
 tergantung keadaan.
Pada keadaan ini, makin tinggi lantai dari dasar sungai; akan semakin baik.
Sehingga pencegahan angkutan sedimen dasar masuk ke intake juga makin baik.
Tetapi bila lantai intake terlalu tinggi maka debit air yang tersadap menjadi sedikit.
Untuk mengatasi ini perlu mernbuat intake arah rnelebar. Agar penyadapan air dapat
dipenuhi dan pencegahan sedimen masuk ke intake dapat dihindari, maka perlu
perbandingan tertentu antara
lebar dengan tinggi bukan.
Contoh lantai intake (Gbr. 3.3.9)
terletak 0,25 m di atas plat
undersluice.
2) Lebar dan tinggi
Dimensi lubang penyadap aliran
harus ditentukan berdasarkan
kebutuhan air maksimum, baik
untuk pemasokan kebutuhan air
maupun untuk pembilasan
sendimen di kantong sedimen
(Gbr. 3.3.10).
Lebar lubang intake dapat
dihitung dengan berbagai rumus
pengaliran, diantaranya : Gbr. 3.3.10. Dimensi lubang intake
½
Qi = c x b x h atau
Qi =  x b x a 2gz
Dimana :
Qi = debit intake, m 3 /det
c dan  = koefisien pengaliran,
a = tinggi bukaan lubang, m
g = percepatan gravitasi
z = kehilangan tinggi energi, m
contoh perhitungan :
diketahui debit intake = 7,7 m 3 /det, Tinggi air, h = 1,20 m. Perbedaan ketinggian
muka air udik dan hilir, z = 0,40 m. hitung dimensi lubang:
Q = c.b.h 1/2 ; c = 1,7
7,7 = 1,7 x b x 1,2 1/2
b = 7,7/1,7 x 1,2 1/2 = 4 m²
lebar lubang intake dibuat dua buah dengan lebar masing-masing 2 m².
catatan ; dalam pengambilan harga  atau c yang kurang tepat dapat menyebabkan
penampang basah intake menjadi kurang memadai, sehingga debit intake yang
dibutuhkan tidak tercapai. Harga  yang diambil sebesar antara 0,80 – 0,90 dan hrga
c sebesar 1,7 perlu penelitian lebih lanjut agar tidak terjadi kesulitan penyadapan
aliran. Kapasitas intake hendaknya dirancang lebih besar dari kebutuhan. Misalnya
lebih besar dari 120% kebutuhan pengambilan air. Ini dimaksudkan agar lebih
fleksibel dan dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi kemudian hari.
Lebar lubang intake ; bila menggunakan pintu sorong yang dioperasikan secara
manual, maka besarnya diambil lebih kecil dari 2,50 m untuk satu pintu. Bila
diinginkan lebarnya lebih besar dari 2,50 m maka harus dibuat beberapa pintu
dengan pilar untuk penempatan pintu.
Tinggi pintu ; atau h
berbanding dengan lebar pintu
b, dapat diambil dengan
perbandingan seperti berikut :
b : h = 1 : 1 atau
b : h = 1,5 : 1 atau
b:h=2:1

6. Pilar intake dan


dinding banjir
1) Pilar untuk penempatan pintu :
bila lebar intake lebih dari satu
meter maka diperlukan pilar
Gbr. 3.3.11. penempatan pintu intake
untuk penempatan pintu. Dalam
hal intake tegak lurus terhadap
sumbu sungai maka penempatan pilar tersebut diatur sedemikian yaitu :
 Bagian awalnya diletakkan agak mundur, sebesar, R; ini agar diperoleh aliran
yang masuk lebih mulus,
 Bagian awal pilar, bulat dan tegak atau dengan kemiringan,
 Bagian hilirnya dapat dibuat atau dengan kemiringan,
 Ketebalan pilar sekitar 0,70 – 1,0 m.
Adakalanya arah intake menyudut dan bukannya lebih dari satu bukaan maka
pengaturan letak bagian awal pilar intake dan pintu-pintunya yaitu seperti
berjenjang.
Bentuk ini dapat
mengurangi pusaran-
pusaran aliran yang
akan terjadi di udik
pintu dan mengurangi
endapan sampah yang
mengapung serta
memudahkan
pembersihan sampah
yang mengapung di
udik pintu, serta aliran
yang masuk ke intake
akan jauh lebih mulus
(Gbr. 3.3.11)
2) Dinding banjir dan
sponeng ; dinding
banjir diperlukan pada
bangunan intake.
Diletakkan di hilir
pintu intake.
Fungsinya untuk
mencegah aliran banjir, Gbr. 3.3.12. Dinding banjir dan sponeng pintu
masuk ke intake
Mengurangi kecepatan aliran yang menuju intake dalam kaitannya sebagai
pengendalian pergerakan angkutan muatan sedimen ke intake. Bahannya dibuat dari
beton bertulang dengan ketebalan yang tergantung dari tingginya. Umumnya dengan
ketebalan seperti 0,25 meter. Bagian atasnya disatukan dengan jembatan plat
pelayanan yang bentuknya dapat diperhatikan pada Gbr. 3.312 (atas).
Sponeng pada pilar; diperlukan untuk penempatan pintu dimana ukuran sponeng
lebih besar dari balok kayu. Sponeng cadangan diperlukan pula dalam rangka
pemeliharaan (Gbr. 3.3.12 bawah).
Gbr. 3.3.13. Desain pintu kayu
Contoh desain pintu intake
dari bahan kayu dapat
diperhatikan pada Gbr.
3.3.13.
7 Dua intake
di satu
sisi
bendung
1) Maksud
Pada beberapa kasus,
intake dirancangan
disatu sisi bendung
untuk dua daerah
irigasi yang terletak di
kedua sisi bendung.
Seharusnya untuk
kedua daerah irigasi
yang terletak di kedua
sisi bendung tersebut
dibangun dua pula
intakenya. Tetapi., bila
salah satu daerah
irigasi tersebut debit
pengambilannya Gbr. 3.3.14. Dua intake di satu sisi
kurang dari satu m 3 /det
maka intake dapat
dibuat di satu tempat
atau sisi saja. Ini akan
menghemat biaya
pembuatan bangunan
Pembilas, karena hanya dibuat satu buah bangunan pembilas yang berdekatan
dengan intake tersebut (Gbr. 3.3.14).
2) Desain
Desain dua bangunan intake yang ditempatkan di satu sisi bendung di atur
sedemikian, yaitu:
 pintu intake ditempatkan di pilar pembilas (Gbr. 3.3.15),
 gorong-gorong untuk menyeberangkan aliran ditempatkan di dalam tubuh
bendung.
 Kecepatan aliran di dalam gorong-gorong diambil sekitar 2,50 m/det sehingga
dapat menghanyutkan sediemn yang masuk kedalam gorong-gorong, tetapi tidak
pula terlalu tinggi untuk menghindari bahaya pengikisan,
 Hendaknya dirancang pula fasilitas pembilasan sendimen tepat di pengeluaran
gorong-gorong di awal saluran induk.
 Karena dibutuhkan untuk penempatan pintu intake, maka tebal pilar pembilas, t 
2m.
t minimum = 1,0 m; t untuk pasangan batu 1,0 m – 2,0 m.
Gbr. 3.3.15. Penempatan pintu intake di satu sisi

3) Contoh penempatan dua intake di satu sisi


Bendung yang menggunakan sistem penempatan dua intake di satu sisi bendung
dijumpai antara lain pada bendung Nambo di Sungai Comal, Jateng (Gbr. 3.3. 17)
bendung Suliti di Batang Suliti, Sumatera Barat (Gbr. 3.3.18 atas) dan bendung
Canden di Kali Opak, Yogyakarta (Gbr. 3.3.18 bawah).
a) take bendung Nambo
Bendung nambo dibangun di S. Cornal Jawa Tengah sekitar tahun 1934. karena
hancur total sekitar tahun 1978 maka bendung ini dibangun kembali sekitar tahun
1980. Daerah irigasi berada di kedua sisi bendung dengan luas di bagian kiri 653
hektar dan kanan 335 hektar. Untuk melayani kedua daerah irigasi ini dibangun
intake kiri dan kanan menjadi satu kesatuan dengan bangunan pembilas di bagian
kiri sisi bendung.
Intake kiri: arahnya terhadap sumbu sungai tegak lurus membentuk sudut kira-
kira 90º C. lebarnya 1,50 meter. Dilengkapi dengan satu pintu sorong kayu.
Gbr. 3.3.16. Dua intake di satu sisi pada bendung Nambo

Ulir pintu diletakkan di dalam sgh dapat mencegah kerusakan akibat tekanan
aliran dan sampah. Pintu dioperasikan secara manual. Menurut keterangan
petugas, pengoperasian pintu tidak berat dan cukup mudah di putar naik turun. Di
atas pintu mencegah masuknya aliran banjir.
Intake kanan ; pintu pengambilannya diletakkan pada pilar pembilas, air untuk
saluran irigasi dialirkan melalui gorong-gorong yang diletakkan di dalam tubuh
bendung. Ini memungkinkan karena debit saluran irigasi kana relatif kecil yaitu
sekitar 500 1/det. Manfaat rancangan bentuk ini yaitu biaya bangunan akan
menjadi lebih murah, karena tidak memerlukan bangunan pembilas yang
melengkapi intake. Juga pengoperasian pintu-pintu akan lebih muda karena
tempatnya menjadi satu kesatuan dengan bantuan intake kiri dan pembilas.
Kekhawatiran sistem ini yaitu aliran di dalam gotong royong terganggu akibat
penyumbatan oleh sedimen. Tetapi kekhawatiran ini tidak perlu, karena selam ini
tidak terjadi gangguang pengaliran akibat endapan sedimen di dalam gorong-
gorong tersebut. Menurut keterangan petugas tidak ada endapan sedimen di
dalam gorong-gorong. Hal ini diketahui dari pemeriksaan petugas yang masukke
dalam gorong-gorong tersebut.
Gbr. 3.3.17. Gorong-gorong di dalam tubuh bendung

Sekali setahun disaat pengeringan. Upaya menghindarkan terjadinya


pengendapan di dalam gorong-gorong dapat dilakukan dengan merencanakan
Kecepatan aliran sekitar 2,50 m/det. Kecepatan aliran sebesar ini sudah dapat
menghanyutkan pasir dan kerikil halus seandainya masuk ke dalam
gorong.gorong. selain itu bentuk bangunan pembilas dengan undersluice di udik
pintu intake dan pengoperasian pembilasan sendimen dapat pula mencegah
masuknya angkutan sendimen dasr ke dalam gorong-gorong.
Trash rack; dipasang di mulut bangunan intake dan pembilas. Terbuat dari pipa
besi bulat berjarak 20 cm, dan dipasang seperti bentuk pagar. Fungsinya untuk
mencegah benda padat seperti sampah jerami, dan sampah lainnya masuk ke
intake. Sampah-sampah yang menyangkut ke trash rack dibersihkan secara
manual oleh petugas bendung.
Bangunan ukur; untuk mengukur besarnya debit ke saluran dipakai alat ukur
tipe Parshal Flume. Diletakkan agak jauh dihilir pintu intake. Besarnya aliran
diketahui dengan membaca tinggi muka air di pelskal. Untuk mengatur besarnya
aliran petugas harus bolak-balik mengatur besar bukaan pintu intake dan
membaca tinggi muka air di pelskal. Di bagian udik alat ukur disaluran,
dilengkapi dengan sandejector dan pintu pembilas. Sehingga sendimen yang
terperangkap tidak dapat dibilas seluruhnya. Pengoperasian pembilasan dibagian
ini dilakukan sekali seminggu.
b) Intake Bendung Suliti
Bendung Suliti dibangun di Batang Suliti, Muara Labuh Sumatera Barat.
Bendung ini melayani daerah irigasi disisi kiri dan kanan bendung. Intake untuk
melayani daerah irigasi bagian kiri diletakkan dibagian kanan bendung.
Karena debit intake tidak dapat dilayani oleh satu gorong-gorong maka harus
dibuat dua buah seperti tampak pada Gbr. 3.3.18 atas dan tengah.

Gbr. 3.3.18. Bentuk gorong-gorong di dalam tubuh bendung untuk


pengaliran aliran ke sisi lain pada bendung Suliti Sumatera Barat. Gorang-
gorong bentuk bulat sebanyak dua buah (atas). Dan intake di satu sisi pada
bendung Cenden Yogyakarta (bawah). Pintu intake ke sisi kanan pada
bendung tersebut ditempatkan pada pilar pembilas.
IV. BANGUNAN PEMBILAS
1. Definisi dan Fungsi
Bangunan pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang terletak
di dekat dan mcnjadi satu kesatuan dengan intake. Berfungsi untuk menghindarkan
angkutan muatan sedimen dasar dan mengurangi angkutan muatan sedimen layang masuk
ke intake.
Bangunan pembilas dirancang pada bendung yang dibangun di sungai dengan
volume angkutan muatan sedimen dasar relatif besar, yang dikhawatirkan mengganggu
pengaliran ke intake. Tinggi tekan yang cukup diperlukan untuk efektivitas pembilasan
sehingga penentuan elevasi mercu bendung perlu mempertimbangkan hal ini. Selain itu
perlu pula diusahakan pengaliran dengan sifat aliran sempurna melalui atas pintu bilas.
Riga harus mempertimbangkan tidak akan mengakibatkan penggerusan setempat di hilir
bangunan yang akan membahayakan bangunan.

2. Sistem Kerja Pembilas dengan Undersluice


Sistem kerja pernbilas dengan undersluice bila dioperasikan yaitu:
 aliran sungai dari udik menuju bangunan akan terbagi dua lapis oleh plat undersluice,
 aliran sungai lapisan atas yang relatif tidak mengandung sedimen dasar mengalir ke
intake,
 aliran sungai di lapisan bawah bersama-sama dengan sedimen dasar mengalir dan
masuk ke lubang undersluice, yang akhirnya terbuang ke hilir bendung melalui pintu
bilas.
 pembilasan dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu sehingga menda patkan
kedung daerah bebas endapan di udik dan mulut intake/undersluice.

3. Macam Bangunan dan Tata Letak


1) Macam bangunan
Bangunan pembilas dapat dibedakan menjadi :
 tipe konvensional tanpa undersluice,
 tipe undersluice dan shunt undersluice.
Bangunan pembilas konvensional terdiri dari satu dan dua lubang pintu.
Umumnya dibangun pada bendung-bendung kecil dengan bentang berkisar 20,0 meter dan
banyak terdapat pada bendLing tua warisan Belandu di Indonesia.
Bangunan pembilas dengan undersluice banyak dijumpai pada bendung yang
dibangun sesudah tahun 1970-an, untuk bendung irigasi teknis. Ditempatkan pada
bentang dibagian sisi yang arahnya tegak lurus sumbu bendung.
Bangunan pembilas shunt undersluice digunakan pada bendung di sungai ruas
hulu, untuk menghindarkan benturan batu dan benda pada lainnya terhadap bangunan. .
2) Tata letak
Tata letak bangunan
pembilas undersluice diatur
seperti berikut :
 merupakan kesatuan dengan
bangunan intake,
 pintu pembilas diletakkan
segaris dengan sumbu
bendung,
 bangunan diletakkan di sisi
luar tubuh benduing dekat
tembok pangkal, arahnya
tegak lurus sumbu bendung,
mulut undersluice mengarah
ke udik bukan ke arah
samping,
Tata letak bangunan
pembilas shunt undersluice
diatur seperti berikut:
 satu kesatuan bangunan
intake, ditempatkan di
bagian luar tubuh bendung
dan atau di luar tembok
pangkal bendung,
 mulut undersluice mengurah
ke samping bukan ke arah
udik,
 pilar pembilas berfungsi
sebagai tembok pangkal.
4. Komponen dan
Bentuk Bangunan
1) Komponen
Komponen bangunan
pembilas undersluice lurus
terdiri dari (Gbr. 3.4.1); Gbr. 3.4.1. Bangunan pembilas
 Undersluice dan
perlengkapannya,
 Pintu pembilas dan
perlengkapannya,
 Pilar-pilar penempatan
pintu.
 Tembok baya-baya/guide wall.
 Jembatan pelayan,
 Rumah pintu,
 Sponeng pintu dan sponeng cadangan,
 Tembok pangkal,
 Tangga dan lain-lain,
Bangunan undersluice terdiri dari bagian-bagiannya yaitu :
 Lubang/terowongan,
 Plat undersluice,

Gbr. 3.4.2. Bentuk pembilas dengan mulut undersluice miring dan lurus
 Lantai dengan lapisan tahan aus,
 tembok penyangga bila lubang lebih dari satu buah,
 mulut undersluice,
 pintu bilas atas dan bawah,
 saringan batu dan sebagainya.
Catatan; untuk pintu bilas umumnya dipilih jenis pintu sorong dari kayu rangka baja
atau plat besi rangka baja.
Pada bendung-bendung dengan lebar bentang sekitar 20 meter, dijumpai bangunan
pembilas tanpa undersluice, hanya terdiri :
 pintu bilas dan perlengkapannya,
 pilar pembilas,
 tembok baya-baya dan sebagainya.
Lantai pembilas; yang harus tahan terhadap kikisan aliran deras harus dilapisi
dengan lapisan tahan aus yang dapat dibuat dari ;
 lapisan batu candi,
 lapisan beton berkualitas tinggi.
2) Bentuk undersluice
Bangunan pembilas dengan undersluice terdiri dari undersluice lurus dan shunt
undersluice. Dilihat dari bentuk mulut undersluice lurus dapat, dibagi menjadi (Gbr. 3.4.2):
 undersluice satu atau dua lubang dengan mulut sejajar sumbu bendung,
 undersluice satu lubang atau lebih dengan mulut menyudut terhadap sumbu bendung,
 undersluice dua lubang atau lebih dengan mulut menyudut terhadap sumbu bendung.
5. Tata Cara Desain
Dalam mendesain bangunan undersluice harus mempertimbangkan lokasi
bangunan intake dan merupakan satu kesatuan dengan intake. Urutan kegiatan dalam
mendesain undersluice lurus yaitu :
 tentukan lebar undersluice dengan memperhatikan lebar pintu bilas (tan Irhur intake,
 tentukan arah dan letak mulut undersluice,
 temukan panjang undersluice dengan memperhatikan bahwa mulut undersluice harus
tcrletak di udik intake; panjang undersluice biasanya berkisar antara 5 – 20 m,
 tentukan letak elevasi plat bagian atas undersluice dengan memperhatikan elevasi
ambang/lantai intake,
 tentukan ketebalan plat undersluice; biasanya berkisar antara 0,20 m – 0,35m,
 tentukan tinggi lubang dan elevasi lantai undersluice; biasanya setinggi 1,50 m.
Gambar bersumber dan dikutip dari seksi Hidrolika Umum, DPMA

Gbr. 3.4.3. Bentuk mulut undersluice miring pada bendung Singomerto, Jawa
Tengah (atas) dan bendung Parigi Sulawesi Tengah (bawah)
Gbr. 3.4.4. Bangunan pembilas dengan tiga lubang dengan dibanding banjir
kombinasi pada bendung Cisokon, Cianjur – Jawa Barat (atas) dan
pembilas tanpa undersluice (bawah)
6. Dimensi Bangunan Undersluice
6.1 Pembilas undersluice lurus
1) Bentuk mulut
 mulut undersluice
diletakkan di udik mulut
intake dengan arah tegak
lurus aliran menuju
intake atau menyudut
45° terhadap tembok
pangka1, (Gbr.3.4.5)
 lebar mulut undersluice
harus lebih besar
daripada 1,2 kali lebar
intake,
 elevasi bagian atas plat
undersluice diletakkan
sama tinggi atau lebih
rendah dari pada elevasi
Gbr. 3.4.5. Tembok penyangga undersluice
ambang/lantai intake,
 lubang dapat terdiri atas dua bagian atau lebih,
 bila lebar mulut bagian udik jauh lebih lebar dari bagian hilir dapat dipersempit
dengan tembok penyangga.
2) Lebar bangunan
 lebar pembilas total diambil l/6 - 1/10 dari lebar bentang bendung, untuk
sungai-sungai yang lebarnya kurang dari 100 meter.
 lebar satu lubang maksimum 2,50 m untuk kemudahan operasi pintu, dan
jumlah lubang tidak lebih dari tiga buah.
3) Tinggi dan panjang undersluice
 tinggi lubang undersluice diambil 1,50 meter; usahakan lebih tinggi dari 1,00 m
tetapi tidak lebih tinggi dari 2,00 meter; agar mcmcnuhi ketinggian tersebut lantai
undersluice bisa dibuat lebih tinggi atau lebih rendah daripada lantai bendung,
 panjangnya ditentukan bahwa mulut undersluice harus terletak di bagian udik
intake,
 bentuk lantai undersluice rata tanpa kemiringan.
4) Elevasi lantai lubang
Elevasi lantai undersluice direncanakan (Gbr. 3.4.6)
 sama tinggi dengan lantai udik bendung,
 lebih rendah dari lantai udik bendung,
 lebih tinggi dari lantai udik bendung.

Gbr. 3.4.6. Macam penempatan lantai lubang undersluice

Ini untuk memperoleh ketinggian lubang undersluice yang berkisar antara 1,0 m – 1,5
meter.
6.2 Pintu pembilas
Macam pintu ; dapat dibuat satu pintu atau dua pintu yakni pintu atas dan
pintu bawah.
Fungsi pintu; pintu bawah
untuk pembilasan sedimen yang
terdapat di dalam, di udik dan di
sekitar mulut uvdersluice. Pintu alas,
untuk menghanyutkan bcnda-benda
padat yang terapung di udik pintu.
Pengoperasian pintu bawah dengan
cara mengangkat pintu, dan pintu
atas dioperasikan dengan cara
menurunkannya.
Jenis pintu; umumnya pintu
sorong. Dan hampir tidak dijumpai
pintu jenis radial.
Bahan pintu; dibuat dari
balok-balok kayu dengan kerangka
baja. Atau dari pelat baja yang
diperkuat dari gelagar baja. Pelat
perunggu dipasang pada pintu untuk
mengurangi vesekan antara pintu dan
sponengnya (Gbr. 3.4.7).
Dinding banjir; untuk dengan
undersluice lurus biasanya tidak
dilengkapi dengan dinding banjir,
terutama pada bendung-bendung
yang dibangun sesudah tahun 1970-
an.
pintu bilas tanpa dinding
banjir dapat memperbesar kapasitas
pelimpahan debit banjir.
Desain; dalam mendesain
pintu, faktor-faktor berikut harus
dipertimbangkan;
 berbagai beban yang bekerja
pada pintu,
 alat pcngangkat - tenaga Gbr. 3.4.7. Pintu bilas besi dan kayu

manusia atau dengan mesin,


 sistem kedap air, dan
 bahan bangunan.
Ukuran;
 untuk satu lubang/ruang pintu sorong yang dioperasikan dengan tenaga manusia,
lebar maksimum 2,50 m. Sedangkan ukuran untuk satu balok kayu pintu harus
dihitung; biasanya berukuran 0,20 x 0,25 m,
 untuk pintu yang dioperasikan dengan mesin dapat dibuat lebih lebar dari 2,50
meter tetapi tidak lebih dari 5,0 meter,
 ketinggian mercu pintu pembilas
ditentukan sama tinggi dengan
elevasi mercu bendung atau 0,10
meter lebih tinggi dari elevasi
mercu bendung; yang terakhir
ini umurnnya yang digunakan
dan ketentuan ini untuk
pembilas tanpa dinding banjir.

6.3 Pilar pembilas


Fungsi; pilar pembilas adalah
untuk penempatan pintu-pintu,
undersluice dan perlengkapan
lainnya.
Bahan; untuk pilar pcmbilas
umumnya terbuat dari tembok
pasangan batu; beton bertulang
sebagai bahan pilar, jarang dibuat.
Yang dibicarakan disini yaitu pilar
dari pasangan batu (Gbr.3.4.8).
Bentuk; bagian udik bulat
dengan jari-jari pembulatan setengah
lebar pilar. Bagian hilir runcing
Gbr. 3.4.8. Pilar pembilas
dengan jari-jari peruncingan dua kali
Lebar pilar. Bentuk bagian udik tegak dan berawal dari bagian muka kepala bendung.
Sedangkan bagian hilir dengan kemiringan yang dapat diambil dengan perbandingan I : n.
Ukuran; lebar pilar sisi bagian luar dapat diambil sampai 2,00 meter dan sisi bagian
dalam antara 1,00 m dan 1,50 m. panjang pilar tergantung dari panjang tubuh bendung,
panjang jembatan pelayan dan sebagainya.
Gbr. 3.4.9. Contoh bentuk pilar pembilas

Bentuk pilar pembilas bagian hilir (Gbr. 3.4.10a); stang pintu pembilas
atas dan bawah (Gbr. 3.4.10b); stang pintu masuk ke dalam tembok,
sponeng pintu dan sponeng cadangan bentuk T (Gbr. 3.4.10.c); pintu
bilas dari bahan besi (Gbr. 3.4.10 d).
Penempatan; pilar pembilas
pada undersluice lurus ditempatkan di
bentang sungai, antara tubuh bendung
dan tembok pangkal bendung.
6.4 Sponeng dan stang pintu
1) Sponeng
Fungsi sponeng; pada pintu
sorong kayu yaitu untuk menahan
tekanan air pada pintu. Direncanakan
sedemikian rupa sehingga masing-
masing balok kayu mampu menahan
beban dan menerusannya ke sponeng.
Ukuran; sponeng pintu harus
dapat berukuran 0,25 x 0,27 m atau
0,25 x 0,30 m. Dilengkapi dengan
sponeng cadangan bentuk huruf T
pada bangunan bilas dengan under-
sluice. Selanjutnya contoh bentuk
sponneng dapat diperimtikan pada
Gbr. 3.4.11.
2) Stang pintu
Fungsi; stang pengangkat pintu
yaitu untuk mengangkat dan
Gbr. 3.4.11. Contoh sponeng pintu
menurunkan pintu. Terbuat dari besi
baja bulat dengan diamter tertentu.
Penempatan; stang pintu ditempatkan di dalam sponeng di luar bukaan bersih.
Keuntungannya; stang pintu tersebut terlindung dari bahay kerusakan.

Gbr. 3.4.12. Contoh sponeng pintu dan stang pintu di dalam tembok
akibat tekanan benda-benda terapung dan tekanan air. Stang pintu yang ditempatkan tidak
di dalam sponeng, banyak yang rusak sehinag a harus diganti.
Jumlah stang; sebaiknya stang pintu dua buah yang diletakkan di bagian dalam
di kedua sisi, tidak satu buah di tengah. Bila satu buah pengangkatan dan penurunan pintu
tidak efektif dan akan cepat mengalami kerusakan.
Plat tembaga/kuningan bukan dari besi pada pintu dan tempat berputarnya stang
akan meringankan pengoperasian pintu. Pintu lebih mudah diturun dan dinaikkan.
6.5 Tembok baya-baya
Fungsi; tembok bayabaya
atau guidewall adalah untuk
mencegah angkutan sedimen dasar
meloncat dari udik bendung ke atas
plat undersluice. Dan sebagai
perletakan plat undersluice serta
sebagai deflector aliran dari udik.
Penempatan; tembok baya-
baya ditempatkan menerus ke arah
udik dari pilar pembilas bagian
luar/sisi bendung.
Bentuk; mengecil ke arah
udik atau sama besar dari hilir ke
udik. Lebar di bagian pangkal sama
lebar dengan tembok pilar. Sedangkan
di bagian udiknya dapat dibuat
setengah dari lebar pilar atau sama
lebar dengan pilar (Gbr. 3.4.13 atas).
Ukuran; tinggi mercu tembok baya-baya diambil Gbr. 3.4.13.
antaraTembok
0,50 baya-baya
m dan 1,00 m di atas
mercu bendung. Panjangnya ke arah udik ditentukan berdasarkan lebar mulut undersluice,
serta tidak menghalangi pengaliran ke intake.
Catatan; tinggi tembok baya-baya pada bangunan pembilas tanpa undersluice, yang
mempunyai satu ruangan, dapat diambil sama tinggi atau lebih tinggi satu meter di atas
mercu bendung (Gbr.3.4.13 bawah).
6.6 Pengoperasian pintu
1) Kriteria pengoperasian
 tinggi keccpatun, aliran dilubang undersluice harus terbatas sehingga tidak
merusak lantai undersluice,
 pintu bilas harus ditutup
selama sungai banjir untuk
menghindarkan penghisapan
sampah-sampah dan
penyedotan benda-benda
padat lainnya yang dapat
menyumbat lubang
Gbr. 3.4.14. Rongga di bawah plat
undersluice,
 tinggi bukaan pintu bilas harus diatur sedemikian sehingga tidak menimbulkan
pusaran isap atau menimbulkan bahaya kavitasi.
2) Masalah rongga di bawah plat
Rongga udara di bawah plat undersluice dapat terjadi bila (Gbr. 3.4.14):
 pintu bilas dibuka penuh,
 muka air hilir terlalu rendah,
 tidak terjadi pelimpahan dart mercu pintu bilas.
Mengatasi hal di atas dapat dilakukan dengan cara:
 pintu bilas tidak dibuka penuh,
 ujung plat bagian udik undersluice dibuat bulat,
 pengoperasian pintu diatur sehingga tidak terjadi pusaran isap.
6.7 Dinding banjir
Ditinjau dari keberadaan dinding banjir pada pembilas bendung maka dapat
dibedakan menjadi:
 tanpa dinding banjir (Gbr. 3.4.10 a),
 dengan dinding banjir,
 kombinasi kedua macam di atas (Gbr. 3.4.4 atas).
Manfaat pintu bilas tanpa dinding banjir yaitu:
 memperbesar kapasitas debit pelimpahan banjir; pintu bilas lazimnya ditutup selagi
banjir, sehingga aliran dapat melimpah lewat atas pintu,
 sampah yang terapung di udik pintu bilas dapat dibuang secara hidraulik dengan
mudah, apalagi pembilas yang menggunakan pintu atas dan pintu t.av:rh. Caua
pembuangan sampah yaitu dengan menurunkan pintu atas.
Kelemahan pintu bilas tanpa dinding banjir yaitu:
 dalam mcrusuk pintu dan stangnya waktu banjir, oleh tekanan banjir dan sampah,
 juga menimbulkan masalah penumpukan sedimen di udik pintu bangunan pembilas
bangunan pembilas umumnya tidak dilengkapi dengan dinidng banjir kecuali untuk
bangunan intake dan bangunan shunt undersluice, maksudnya agar aliran banjir dan
benda padat serta sampah tidak masuk ke intake.
Dinding banjir dibuat menerus ke arah atas dari pintu intake, dan dapat disatukan dengan
jembatan pelayanan: Bahannya dari beton bertulang dengan ketebalan sekitar 20 cm.
7. Pembilas Shunt Undersluice
1) Pengertian
Shunt undersluice adalah bangunan undersluice yang penempatannya di luar bentang
sungai dan atau di luar pangkal bendung, di bagian samping melengkung ke dalam dan
terlindung di belakang tembok pangkal.
2) Maksud dan manfaatnya
Bangunun pembilas tipe shunt undersluice dipilih pada bendung-bendung yang
dibangun di sungai ruas hulu. Dimaksudkan agar pilar dan bangunan undersluice terhindar
dari bahaya benturan batu gelundung dari kayu yang hanyut sewaktu banjir. Manfaat
tambahan tipe ini yaitu kapasitas pelimpahan bendung tidak dikurangi oleh adanya pilar
pembilas, atau seluruh bentang bendung tidak terganggu melimpahkan debit banjir sungai.
3) Cara kerja dan kelemahan
 air yang mengalir sebelum masuk ke intake terbagi dua yaitu bagian atas dan bagian
bawah,
 lapisan air bagian bawah masuk ke dalam lubang pembilas,
 lapisan air bagian atas mengalir masuk ke intake,
 dengan terbagi duanya lapisan air, maka angkutan sedimen dasar yang bergerak pada
lapisan bawah terbuang oleh aliran bagian bawah ke dalam lubang pembilas.
Kelemahan;
Kurang diperolehnya efek penggerusan di mulut shunt undersluice yang diakibatkan
oleh aliran helicoidal seperti yang biasa terjadi pada bangunan undersluice.
4) Bentuk dan ukuran

 tinggi lubang; usahakan setinggi 1.50 m dan tidak lebih tinggi dari 2.00 m dan
minimum setinggi 1,00 m.
 lebar lubang sekirar 2,00 m,
 mulut undersluice mengarah ke arah bendung bukan ke arah udik.
 bentuk, melengkung ke arah luar bendung
 tembok pangkal di bagian udik, dirancang sedemikian rupa sehingga letaknya
segaris dengan bagian luar pilar pembilas.
 Seyogianya dilengkapi dengan bangunan boulder screen yang ditempatkan dihilir
pintu bilas.
5 ) Penerapan bangunan shunt undersluice
Bangunan shunt undersluice telah banyak diterapkan pada bendung yang dibangun di
suugai torensial. Antara lain pada bendung Kiararambay, bendung Jamblang, Jawa Barat,
bendung Nambo di Jawa Tengah, bendung Karaloe di Sulawesi Selatan dan sebagainya.
(1) Bangunan shunt undersluice Kiararambay
Bangunan pembilas pada bendung Kiararambay ialah bangunan pembilas tipe shunt
undersluice (Gbr.3.4. l5). Terletak di bagian kiri tubuh bendung sebanyak satu lubang.
Mulut undersluice mengarah ke arah udik sungai. Pcmbilas ini menjadi salah satu
kelengkapan pokok bendung dan merupakan satu kesatuan dengan intake.
Kotmponen bangunan pembilas terdiri atas pilar pembilas untuk penempatan pintu,
pintu pembilas, undersluice, sponeng pintu, boulder screen, rumah pintu dan
sebagainya.
Fungsi bangunan pembilas ini yaitu untuk menccgah angkutan muatan sedimen dasar
dan mengendalikan angkutan muatan sedimen layang masuk ke intake. Manfaat
penerapan tipe shunt undersluice pada bendung ini yaitu:
 untuk menghindarkan terjadinya banturan batu gelundung terhadap struktur, pilar
dan pintu pembilas,
 seluruh bentang bendung tidak terganggu untuk melimpahkan debit banjir.
Bentuk bangunan shunt undersluice terlindung di belakang pangkal bendung. Tembok
pangkal udik dirancang sedemikian rupa sehingga letaknya, segaris dengan bagian luar
pilar pembilas. Ukuran lubang pembilas 2,0 meter, lebar pilar pembilas 2,0 meter.
Tinggi lubang undersluice 1,0 meter.
Boulder screen yaitu bangunan penahan batu dan penahan benda padat lainnya yang
dipasang di udik shunt undersluice; dengan maksud agar sedimen dan benda padat
lainnya serta sampah tidak masuk ke intake. Komponennya antara lain batang-batang
pipa besi bulat vertikal yang diisi dengan beton. Dan fundasi dan batanng pengikat
horizontal untuk memperkuat batan-batang vertikal. Batang pengikat horizontal ini
berfungsi pula sebagai jalan pembersih.
Pen emp atan boulder screen menyudut yang dimulai dari bagian udik pilar
pembilas ke tembok pangkal kiri. Tata letak bangunan ini bersama-sama dengan
tembok pangkal udik dan pilar pembilas dapat membentuk tikungan luar aliran
(helocoidal flow). Sehingga aliran dari udik bendung membelok ke tangah sungai dan
melemparkan angkutan sendimen menjauhi dari bangunan.
Ukuran bersih antara pipa vertiokal 0,20 meter. Diamter batag-batang pipa 0,15 m.
batang pengikat horizontal lebarnya 0,50 meter. Batang pengikat horizontal lebarnya
0,50 meter. Batang horizontal diletakkan setinggi 1,0 meter di atas mercu bendung atau
setara dengan muka air banjir sedang. Bentuk batang-batang vertikal dipasang
Gbr. 3.4.15. Shunt under sluice bendung Kiararambay
Gambar bersumber dan dikutip dari seksi Hidrolika Umum, DPMA
seperti bentuk pagar. Tidak dipasang batang melintang lainnya di bagian tengah.
(2) Bangunan shunt undersluice Nambo
Bendung Nambo dilengkapi dengan pembilas tipe shunt undersluice, yang ditempatkan di
sisi tubuh bendung bagian kiri. Tata letaknya merupakan satu kesatuan dengan intake.
Arahnya searah dengan sumbu sungai. Dan dirancang sedemikian sehingga seluruh
bentang bendung tidak terganggu melimpahkan debit sungai.
Fungsinya untuk mencegah angkutan sedimen dasar dan mengendalikan angkutan muatan
sedimen layang masuk ke intake. Sedimen yang terkumpul dan berada di udik dan di lantai
pembilas dapat dibilas dengan jalan membuka pintu pembilas bagian bawah.
Shunt undersluice; dengan tinggi lubang 1,50 m panjang plat undersluice 13,50 meter.
Mulut undersluice menghadap ke arah samping mercu bendung bukan ke arah udik seperti
biasanya. Pilar pembilas bagian luar pada Gbr. 3.4.16 di tubuh bendung dengan arah lurus,
sedangkan bagian dalamnya melengkung.
Tembok pangkal di udik mulut undersluice letak dan arahnya segaris dengan pembilas.
Maksudnya agar pilar pembilas terhindar dari benturan batu gelundung yang hanyut
sewaktu banjir.
Pintu pembilas berukuran lebar 2,50 m dan terdiri dari pintu bilas bawah dan pintu bilas
atas. Pintu bilas bawah untuk melayani undersluice. Menerus ke bagian atas pintu bilas
terdapat bangunan penahan banjir yang disebut dengan banjir scherm dan berfungsi
sebagai penghalang pengaliran banjir. Pintu bilas dari jenis pintu sorong terbuat dari
balok-balok kayu. Stang pintu bilas terletak di dalam sponeng tembok, agar tidak mudah
rusak karena benturan benda-benda padat dan tekanan aliran banjir.
Lantai pembilas; bagian atasnya dilapisi dengan lapisan tahan aus dari pasangan batu
candi, yaitu pasangan batu keras alamiah yang dibuat dengan bentuk blok-blok segi empat
atau persegi dan dipasang berselang-seling. Dewasa ini di bagian kiri lantai pembilas di
hilir pintu terjadi lubang memanjang selebar ± 30 cm. Hal ini antara lain disebabkan oleh
daya

Gbr. 3.4.16. Shunt undersluice bendung Nambo


Gbr. 3.4.17. Bentuk tampak memanjang shunt undersluice bendung Nambo
gerus aliran deras sewaktu pembilasan dan mutu pemasangan yang kurang baik. Dalam
waktu dekat kerusakan ini akan diperbaiki.
Pilar pembilas; bentuk bagian luar di sisi bendung, tegak dan arahnya tegak lurus
terhadap sumbu bendung; bagian dalam melengkung. Bagian udik berbentuk bulat
setengah lingkaran dan hilirnya dengan pembulatan bagian sudut-sudutnya.
Tembok pangkal bendung bentuk tegak, trash rack, bagian luar tembok pilar
pembilas/pangkal bendung kiri, dan tembok pangkal peredam energi kiri, arahnya tegak
lurus terhadap sumbu bendung dan searah dengan arah aliran sungai.

8. Pengoperasian Pintu Pembilas


Berdasarkan pengamatan lapangan terhadap berbagai bendung yang mempunyai
fasilitas bangunan pembilas undersluice diketahui beberapa hal tentang efektivitas pembilasan
yaitu yang berkaitan dengan cara membuka pintu-pintu pembilas, pengangkatan pintu dan
penyumbatan lubang undersluice dan sebagainya.
Pembukaan pintu; umumnya dilakukan seperti berikut:
 pembilasan sistem terus menerus, tidak pernah dilakukan,
 pintu bilas dibuka secara berkala pada waktu-waktu tertentu,
 pintu bilas dibuka dengan tinggi bukaan tertentu bila selesai banjir atau banjir sungai mulai
turun,
 besarnya tinggi bukaan pintu tergantung kepada besarnya debit sungai dan keadaan tinggi
muka air sungai,

Gbr. 3.4.18. Contoh papan pengoperasian pintu bendung


 pintu bilas ditutup selama banjir sungai berlangsung,
 pintu bilas juga ditutup penuh saat pengaliran ke intake dan saat air kecil dan banjir,
 pada bendung Nambo, Jawa Tengah dilakukan pembilasan berkala; yaitu setiap hari
Senin sejak pagi hingga siang seminggu sekali di musim hujan; lama pembilasan dari
pukul 8.00 pagi hingga siang hari dan pembilasan sewaktu-waktu setiap selesai banjir.
Pengangkatan dan penutupan pintu; yang dilakukan oleh tenaga manusia akan
lebih mudah dan ringan bila ulir tempat perputaran stang pintu terbuat dari bahan
tembaga. Sebaliknya pengangkatan pintu sangat berat antara lain karena tempat
perputaran stang tersebut terbuat dari bahan besi baja. Pada bendung Nambo pintu hanya
dioperasikan oleh seorang petugas dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat.
Efektivitas pembilasan; akan sangat tinggi bila terdapat head yang cukup, debit
sungai yang memadai dan tinggi bukaan pintu bilas yang sesuai. Daerah bebas endapan di
mulut undersluice selalu terjadi. Keadaan ini dapat dijumpai di banyak bendung antara
lain pada bendung-bendung Cisokan, Kiararambay - Jawa Barat, Nambo - Jawa Tengah
dan lain-lain.
9. Contoh Perhitungan Ukuran Pintu Kayu dan Stang
Pintu
1) Ukuran tebal pintu

Ukuran pintu bilas direncanakan seperti gambar di bawah.

Lebar pintu = 2,00 m (L)


Lebar teoritis = 2,16 m (L 1)
Tinggi pintu = 2,20 m
Tinggi satu blok diambil 20 cm
Muka iar banjir + 310,75
Gaya tekanan air dihitung dengan rumus :
P1 = 1/w h
Gaya tekanan lumpur dihitung dengan rumus :
1  sin 
P2 = ½ 1/s h² ( )
1  sin 
Dimana ;
1 /s = berat jenis lumpur
h = tinggi lumpur = 1,00 m

 = sudut geser lumpur = 30º


V. BANGUNAN PENAHAN BATU (BOULDER SCREEN)
1. Definisi dan Fungsi
Bangunan penahan batu adalah suatu bangunan yang ditempatkan di udik bangunan
pembilas bendung. Terdiri dari barisan tiang-tiang dan berfungsi sebagai alat untuk
mencegah batu-batu dengan diameter tertentu yang akan masuk ke intake dan untuk
menyimpankan batu-batu dengan diameter tertentu yang menuju bangunan bilas/intake ke
arah bendung. Serta untuk menghindarkan kayu, sampah dan benda padat lainnya tidak
masuk ke undersluice/intake. Bangunan penahan batu merupakan salah satu dari
kelengkapan bangunan bendung. Bangunan penahan batu ini dapat pula berfunsi sebagai
penahan sampah.
2. Persyaratan
Dalam mendesain bangunan penahan batu, harus diperhatikan debit yan g masuk ke
intake tidak berkurang dari jumlah yang, dibutuhkan karena adanya kemungkinan
terjadinya endapan batu diantara batang-batang cerucuk. Di sarnping itu diusahakan agar
bangunan penahan batu ini berfungsi pula sebagai deflector pcngelak batu.
3. Penempatan
Bangunan penahan batu ditempatkan di udik intake/undersluice dengan arah yang didesain
sedemikian sehingga tercipta tikungan luar aliran dan menjadi deflector untuk
melemparkan angkutan scdimen dasar menjauh dari intake dan dapat pula menyaring batu-
batu dengan diameter tertentu yang akan masuk ke intake.
4. Komponen
Bangunan penahan batu terdiri atas:
 barisan cerucuk pipa bulat dipasang vertikal,
 balok beton sebagai pengikat horizontal,
 fundasi bangunan.
5. Tipe Bangunan
Tipe penahan batu dibuat dengan bentuk pagar yang terdiri dari batang tegak dan
bagian atasnya diikat dengan balok pengikat. Batang pengikat di bagian tengah tidak
dianjurkan.
6. Bentuk dan Ukuran
1) Pipa untuk cerucuk
tipe pipa dipilih yang dibulat. Tipe batang yang bentuk persegi tidak dianjurkan. Pipa
besi untuk cerucuk vertikal dapat diambil dengan ukuran diameter 15 cm. Cerucuk pipa
bulat dibuat dari batang-batang pipa besi bulat yang diisi dengan beton tumbuk.
Cerucuk pipa-pipa bulat tersebut dipasang berbaris secara vertikal.
2) Balok beton pengikat
Balok beton pengikat dipasang secara horizontal di bagian ujung atas cerucuk vertikal.
Balok beton pengikat ini berfungsi sebagai batang pengikat untuk memperkokoh
batang-batang vertikal. Disamping itu berfungai pula sebagai jalan pembersih untuk
membersihkan sampah yang menyangkut di pipa-pipa cerucuk vertikat. Balok pengikat
dibuat dengan bentuk persegi. Ukuran lebar beton balok pengikat dapat diambil
berkisar antara 50 dan 70 cm dan tingginya berkisar antara 20 dan 40 cm.
3) Elevasi balok pengikat
Elevasi balok pengikat dapat diletakkan pada ketinggian antara satu dan dua meter di
atas mercu bendung.
4) Jarak antara tiang
Jarak bersih antara batang satu dan yang lainnya diambil sesuai dengan diameter butir
batu yang akan ditahan atau dapat diambil antara 15 cm dan 20 cm.
5) Fundasi tiang
Fundasi bangunan disesuaikan kedalamannya dengan kedalaman elevasi dasar sungai
dan lantai undersluice.
6) Catatan
Batang persegi dari besi baja untuk tiang dapat mcnimbulkan masalah tersangkutnya
sampah/jerami di batang-batang tersebut yang cukup sulit pembersihannya. Bila batang
bentuk bulat pembersihannya lebih mudah dan kontraksinya juga kecil.
7. Penerapan Bangunan Penahan Batu
Salah satu penerapan bangunan penahan batu yaitu pada Bendung Cisokan di
Sungai Cisokan - Cianjur Jawa Barat. Bendung Cisokan adalah bendung tua yang dibangun
tahun 1886. Pada tahun 1989 bendung direhabilitasi yaitu dengan peninggian mercu
bendung, perbaikan intake, pembangunan pembilas tambahan tipe undersluice, dan
bangunan penahanan (Gbr. 3.5.1 & 3.5.2)
Masalah utama yang dijumpai di bendung ini adalah masalah angkutan sedimen
yang cukup besar ke intake. Untuk mencegah angkutan sedimen dasar masuk ke intake
telah didesain rehabilitasi bendung termasuk pcrlengkapan bendung antara lain bangunan
pengelak sedimen tipe undersluice lurus dengan bentuk tertentu sehingga :
 Dapat menciptakan aliran helicoidal tepat di udik undersluice sehingga pengendapan
sedimen dasar di daerah ini dapat dihindari,
 Dapat membentuk daerah bebas endapan tepat di udik undersluice dan menciptakan
“skiming wall” ke intake,
Gbr. 3.5.1. Contoh bentuk dan ukuran serta letak bangunan penahan batu, pada

Dapat menyedot sedimen dasar khususnya pasir dan kerikil oleh unersluice. Untuk
mengatasi angkutan sedimen dasar masuk ke intake dalam jumlah yang besar, maka
direncakan undersluice dengan tipe dan ukuran antara lain seperti berikut :
 Undersluice terdiri dari tiga bagian lubang,
 Di bagian udik undersluice dibuat sill (ambang) rendah yang tingginya setengah
meter, mercunya bulat dan bagian hilirnya miring,
Gbr. 3.5.2. Bangunan penahan pada bendung Cisakon, Jawa Barat

Gbr. 3.5.3. Bangunan penahan batu dan sampah pada bendung Cigasong, Jawa Barat
 di atas ambang tersebut dipasang penahan batu dengan jarak bersih antara dua tiang
sebesar 30 crn,
 di bagian udik dari undersluice pada tembok pangkal kanan dibuat tembok pengarah
arus dengan bentuk khusus.
Asalnya bangunan pembilas tanpa undersluice dan pintu pembilas hanya dua buah.
Berdasarkan hasil uji model hidraulik di laboratorium hidrolika untuk penyempurnaan desain
maka disarankan bentuk dan ukuran undersluice seperti Gbr. 3.5.1 yang dilengkapi dengan
bangunan penahan batu, pembilas tambahan satu buah, bentuk tembok pangkal udik intake
melengkung dan sebagainya.
Selain contoh di atas bangunan penahan batu telah diterapkan pula antara lain pada
bendung Cigasong (Gbr. 3.5.3) Jawa Barat dan bendung Lanjiladang, Jawa Tengah (3.5.4
atas) serta bendung Seluma Bengkulu (3.5.4 bawah).

Gbr. 3.5.4. Bangunan penahan batu dan sampah pada bendung Lanjiladang
Jawa Tengah (atas) dan di bendung Seluma, Bengkulu (bawah)
VI. BANGUNAN PEREDAM ENERGI
1. Definisi dan Fungsi
Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir tubuh
bendung yang terdiri dari berbagai tipe, bentuk dan di kanan kirinya dibatasi oleh tembok
pangkal bendung dilanjutkan dengan tembok sayap hilir dengan bentuk tertentu.
Fungsi bangunan yaitu untuk meredam energi air akibat pembendungan, agar air
di hilir bendung tidak menimbulkan penggerusan setempat yang membahayakan struktur.
Dalam mendesainnya harus diperhitungkan terhadap energi potensial, kinetik dan
terhadap kemungkinan terjadinya proses perubahan morfologi sungai, antara lain proses
degradasi dasar sungai di hilir bendung. Selain itu juga harus diperhitungkan terhadap debit
desain, tinggi terjunan, penggerusan setempat, degradasi dasar sungai, benturan dan abrasi
sedimen serta benda padat lainnya.
2. Tipe Bangunan Peredam Energi Bendung
Bangunan peredam energi bendung terdiri atas berbagai macam tipe antara lain
yaitu:
 lantai hilir mendatar, tanpa atau dengan ambang akhir dan dengan atau tanpa balok
lantai,
 cekung masif dan cekung bergigi,
 berganda dan bertangga,
 kolam loncat air,
 kolam bantalan air dan lain-lain.
Disamping itu bangunan peredam energi dikenal pula dengan istilah lain yaitu tipe:
 Vlughter  Schooklitch
 USBR  MDO, MDS dan MDL
 SAF  Dan lain-lain.

3. Faktor Pemilihan Tipe


Dalam memilih tipe bangunan peredam energi sangat bergantung kepada bcrbagai
faktor antara lain:
 tinggi pembendungan,
 keadaan geoteknik tanah dasar misalnya jenis batuan, lapisan, kekrasan, tekan, diameter
butir dan sebagainya,
 jenis angkutan sedimen yang terbawa aliran Sungai.
 kemungkinan degradasi dasar sungai yang akan terjadi di hilir bendung,
 keadaan aliran yang terjadi di bangunan peredam energi seperti aliran tidak
sempurna/tenggelam, loncatan aliran yang lebih rendah atau lebih tinggi dan sama
dengan kedalaman muka air hilir (tail water).
Dalam semua tahap kemungkinan keadaan aliran yang terjadi di bangunan peredam
energi maka keadaan yang paling tidak menguntungkan yaitu keadaan; kedalaman air hilir
kurang dari kedalaman konjugasi, dalam hal ini loncatan akan bergerak ke hilir. Dan ini
akan menyebabkan penggerusan setempat yang akan terjadi lebih luas dan besar. Yang
dimaksud dengan penggerusan setempat yaitu kedung gerusan dasar sungai yang terjadi
setempat disekitar struktur akibat peningkatan turbulensi aliran karena terganggunya aliran
oleh struktur.
4. Prinsip Pemecahan Energi
Prinsip pemecahan energi air pada bangunan peredam energi adalah dengan cara
menimbulkan gesekan air dengan lantai dan dinding struktur, gesekan air dengan air,
mcmbentuk pusaran air berbalik vertikal arah ke atas dan ke bawah serta pusaran arah
horizontal dan menciptakan benturan aliran ke struktur serta membuat loncatan air di dalam
ruang olakan.
5. Desain Hidraulik Peredam Energi
5.1 Peredam energi lantai hilir datar dengan ambang akhir
1) Umum
Bangunan peredam energi tipe ini dikenal dengan istilah tipe Vlughter, tipe MDO dan
MDS. Tipe yang disebut belakangan dikembangkan dari hasil percobaan pengaliran
oleh Ir. Moch. Memed, Dipl. HE, dkk. di laboratorium hidrolika, DPMA, semenjak
tabun 1970-an. Tipe ini dipilih untuk peredam energi bendung yang berlokasi di
sungai-sungai dengan angkutan sedimen dominan fraksi kerikil dan pasir. Berdasarkan
berpuluh-puluh desain bendung dengan peredam energi tipe Vlughter, setelah diperiksa
dengan uji model fisik ternyata ukurannya tidak pernah cocok dan harus dimodifikasi.
Salah satu tipe penggantinya yaitu tipe MDO dan MDS. Tipe Vlughter harus
dimodifikasi menjadi tipe MDO karena antara lain parameter elevasi dasar sungai dan
tinggi air di hilir peredam energi dalam rumus Vlughter belum dimasukkan.
2) Definisi dan fungsi
Bangunan peredam energi bendung tipe lantai hilir datar dengan ambang akhir adalah
bagian di hilir bendung yang merupakan kolam olak terdiri atas lantai hilir mendatar,
tanpa lengkungan pada transisi antara bidang hilir tubuh bendung dan lantai horizontal.
Dan di bagian ujung lantai dilengkapi dengan ambang akhir berkotak-kotak. Dibatasi
oleh tembok pangkal bentuk tegak di bagian kiri kanannya. Fungsinya untuk meredam
energi air agar tidak menimbulkan penggerusan setempat yang membahayakan
bangunan bagin hilir. Pada tipe ini pemecahan energi air ditimbulkan terutama oleh
gesekan air dengan air, lantai dan dinding bangunan. Aliran yang keluar ke sungai dari
bangunan diratakan oleh ambang akhir yang berkotak-kotak.
3) Bentuk hidraulik
Bentuk hidraulik bangunan yaitu:
 mercu bendung bertipe bulat;
 tubuh bendung bagian hilir
tegak sampai dengan
kemiringan 1:1;
 tanpa lengkungan di pertemuan
kaki bendung dan lantai;
 lantai hilir berbentuk datar Gbr. 3.6.5.1. Peredam energi tipe MDO di
tanpa kemiringan; bendung Blawong Yogyakarta
 berambanb akhir bentuk kotak-kotak di bagian akhir lantai hilir;
 harus dilengkapi dengan tembok sayap hilir bentuk miring dan ujungnya
dimasukkan ke dalam tebing;
 terdiri atas 2 bentuk yaitu
lantai datar tanpa olakan
(MDO) dan dengan olakan
(MDS);
 untuk menambah keamanan
tepat di hilir ambang akhir dan
di kaki tetnbok sayap dipasang
rip-rap dari batu berdiameter
antara 0,30 m - 0,40 m.
4) Persyaratan
Persyaratan yang berkaitan
dengan batasan pemakaian yakni:
 tinggi air di atas mercu
bendung maksimum 4 meter.
 tinggi bendung dari dasar
sungai bagian hilir di bawah
10 m,
 tinggi bendung dan dasar
sungai bagian hilir di bawah
10 m.
 bila tinggi melampaui keadaan
di atas maka perlu dilakukan
pemeriksaan dengan uji Gbr. 3.5.6.2. Bentuk peredam energi tipe
model fisik.
5) Ukuran hidraulik
Penentuan ukuran hidraulik yaitu kedalaman lantai, Ds, panjang lantai, L, tinggi
ambang, a, dan parameter lain ditentukan berdasarkan grafik-grafik yang telah
disiapkan untuk itu. Dan dapat dipelajari pada Publikasi HATHI No. 5 tentang
Petunjuk Perencanaan Teknik Hidraulik Banding dengan Peredam Energi Tipe MDO.
6) Penerapan
Bendung dengan peredam energi lantai datar dan ambang akhir modifikasi tipe
Vlughter yang dikenal dengan tipe MDO telah diterapkan di berbagai bendung.
Jumlahnya mencapai puluhan, dan tersebar di berbagai propinsi. Dari pengkajian
lapangan diketahui kinerjanya cukup baik. Beberapa bendung dengan peredam energi
tipe ini di ,Tawa Barat antara lain bendung-bendung: Cilemer, Ciletuh, Cikunten,
Cimerah, di Yogyakarta, Pengasih, Blawona (Gbr. 3.6.5.1) di Sulawesi Selatan,
Kalaena, Tabo Tabo, Parado. Pungkit, di Sulawesi Tengah, Parigi, Olaya, Singkoyo,
Maloso, Mentawa. Gumbasa, di Sulawesi Utara, Marisa, di NTB, Kambaniru, Katua,
Bungadidi, Pelaperado, di Maluku, Kairatu. Di Aceh. Krueno Tiro, Pandrah, Krueng
Tripa, Krueng Aceh, Krueng Nalan, Jambu Aye, di Sumatera Barat, Bt. Anai, Bt.
Indrapura, Amping Parak, Bt. Sumpur, Dataran Anai, di Jambi, Bt. Uleh, di
Bengkulu, Air Kembahang, Air Nipis. Air Baal, di Lampung, Tulung Mas, Way
Pisang, Way Pangubuan, di Timor Timur bendung Caraulun (Gbr.3.6.5.3.a) dan
sebagainya.
7) Contoh peredam energi tipe MDO pada Bendung Indrapura
Salah satu aplikasi dari peredam energi tipe MDO yaitu pada bendung Indrapura,
Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Bendung dibangun di sudetan sungai sekitar tahun
1975. Penyelidikan hidraulik dengan model fisik dilakukan di laboratorium hidrolika
DPMA. Pcrcobaan pengaliran antara lain untuk mempelajari bentuk dan ukuran
hidraulik peredam energi, keadaan penggerusan setempat di hilir bendung dan
sebagainya. Dimensi peredam energi yang disarankan yaitu (lihat Gbr. 3.6.5.3):
1) lantai peredam energi diperpanjang menjadi 17,25 m,
2) ambang akhir dibuat berkotak-kotak lebar 1,50 m, tinggi kotak 1,80 m dan 0,50 m,
3) ujung tembok sayap hilir dilengkungkan dan dimasukkan ke dalam tebing,
4) disepanjang hilir ambang dan kaki sayap dipasang rip-rap dari batu berdiameter 0,40 m,
5) pertemuan antara tembok pangkal di bagian hilir dengan tembok sayap hilir
diletakkan di tengah-tengah lantai peredam energi.
Contoh lain penggunaan peredam energi lantai datar dengan ambang akhir
berkotak-kotak/tipe MDO yaitu pada bendung Caraulun di Kabupaten Manufahi Timor-
Timur, untuk daerah irigasi Caraulun. Bendung ini didesain
Gbr. 3.6.5.3. Denah bendung indrapura di Sumatera Barat

tahun 1991 oleh P.T Raya Konsul yang bekerja sama dengan Ditgasi I dan uji model
hidraulik oleh Puslitbang Pengairan. Bendung berlokasi di palunng sungai dengan lebar
bentang yang cukup panjang yaitu 100 meter (Gbr. 3.6.5.3 a.).
5.2. Peredam energi cekung
1) Umum
Semenjak tahun 1970-an, pemanfaatan bangunan peredam energi tipe cekung atau
bucket type pada bendung tetap di sungai torensial banyak digunakan. Tipe ini dipilih
untuk digunakan pada bendung-bendung yang beralokasi pada sungai dengan
kemiringan dasar sungai yang curam dengan angkutan sedimen batu gelundung yang
terbawa aliran
sewaktu banjir. Ide pemanfaatan tipe ini yaitu untuk menggantikan tipe drop weir.
Seperti diketahui, bendung tipe drop weir yang dibangun oleh ahli teknik Belanda sekitar
tahun 1930-an dan ahli teknik Indonesia sekitar tahun 1950-an telah banyak yang rusak
dan hancur. Dewasa ini pemakaian tipe drop weir sudah

Gbr. 3.6.5.3. a. Peredam energi lantai dasar dengan ambang akhir berkotak-kotak
pada bendung Caraulun, Timor-Timur
tidak menjadi pilihan lagi. Kecuali bila fundasi bangunan dapat ditempatkan langsung
pada lapisan tanah dasar yang kuat masif, sehingga bahaya penggerusan dapat
dikurangi karena kerasnya lapisan dasar tersebut. Karena itu atas gagasan
Ir. Moch.Memed, DipI.HE, dkk, tipe cekung diuji dengan model fisik di laboratorium
hidrolika DPMA. Dan dimanfaatkan untuk pertama kalinya pada bendung K. Wadas
di Jawa Tengah sekitar tahun 1972-an. Bangunan peredam energi tipe solid bucket
dan dentated bucket sesungguhnya telah diperkenalkan pemakaiannya oleh USBR
sekitar tahun 1953-an. USBR memperkenalkan penggunaannya untuk spillway
bendungan, tinggi, sedang dan rendah. Bukan untuk bendung-bendung dengan tinggi
tekan yang rendah (low head weir). Dalam kaitan ini untuk memperoleh parameter
dasar dalam menentukan ukuran hidrauliknya telah banyak dilakukan penyelidikan
pengaliran dengan uji model fisik baik dua dimensi dan tiga dimensi. Salah satu
hasilnya dipublikasikan pada Proceedings XI - APD, IAHR, Vol. 2, yang berjudul
Application of a Bucket Type Energy Dissipator for Low Head, a Case Study of the
Weir in Indonesia oleh penulis.
Pemanfaatan peredam energi tipe cekung di sungai torensial sangat tepat. Alasannya
tipe ini dapat berfungsi menjauhkan penggerusan setempat dari bangunan sehingga
tidak membahayakan fundasi dan bagian-bagian perlengkapan bendung lainnya.
Selain itu dapat menghindarkan benturan batu langsung pada permukaan bangunan.
2) Definisi, fungsi dan macamnya
Peredam energi tipe cekung adalah bagian di hilir tubuh bendung berbentuk lantai
cekung masif, dilengkapi dengan ambang akhir (apron lip) dan dibatasi oleh tembok
pangkal di bagian kanan kirinya. Fungsi bangunan yaitu untuk menjauhkan kedung
penggerusan setempat dari bangunan dan menghindarkan benturan batu langsung
pada permukaan bangunan. Peredam energi cekung terdiri atas :
 masif cekung tanpa gigi, yang umumnya banyak dimanfaatkan untuk bendung
tetap di sungai torensial,
 cekung dengan gigi yang ditempatkan di bagian ambang akhir; bentuk ini tidak
banyak dimanfaatkan.
Tipe terakhir ini antara lain diterapkan pada bendung Jamblang di Jawa Barat dan
Namu Sira-Sira di Sumatera Utara.
3) Sifat dan prinsip pemecahan energi
Bangunan peredam energi tipe cekung ini dapat bersifat:
 aliran pusaran balik atas dan pusaran balik bawah,
 aliran loncat (skijump bucket).
Untuk keadaan aliran pusaran balik atas energi dikurangi dengan adanya pusaran-
pusaran air berbalik, vertikal arah atas dan bawah serta gesekan air dengan lantai .
Dan pusaran balik dasar yang searah dengan jarum jam akan mengangkut sedimen ke
arah udik mendekati koperan bangunan. Dalam memilih tipe ini beberapa persyaratan
hidraulik harus dipenuhi agar berfungsi dengan baik yaitu:
 pipa arus tidak meninggalkan bidang miring tubuh bendung,
 harus terjadi pusaran aliran permukaan yang bergerak berlawanan dengan arah
jarum jam di atas permukaan cekungan,
 dan pusaran aliran
permukaan yang
bergerak searah
dengan putaran
jarum jam di bagi-
an akhir ambang,
 terbentuk pusaran
dasar balik searah
jarum jam,
 sifat aliran harus
aliran sempurna.
4) Bentuk dan ukuran
hidraulik
Bentuk hidraulik
bangunan tipe ini
yaitu:
 mercu bendung
bertipe bulat,
 tubuh bendung
bagian hilir
 bentuk sayap hilir
dengan kemiring
1:1,
 c e k u n g a n
b e r b e n t u k
lengkung dengan
satu arudis,
 di hilir cekungan
harus ada ambang
akhir.
 Harus dilengkapi
dengan tembok
sayap hilir yang
awalnya dimulai
dari akhir ambang
akhir,
Gbr. 3.6.5.4. Bentuk peredam energi tipe cekung
 Bentuk sayap hilir miring,
 dilengkapi dengan rip-rap batu berdiameter 0,30 m – 0,40 m yang dipasang tepat
di hilir ambang akhir
Ukuran cekungan
Selain ukuran tersebut di atas
maka ukuran hidraulik lain yang
penting adalah penentuan ukuran
jari-jari lengkungan, R, dan
kedalaman lantai cekungan dari
muka air hilir, T. Untuk
penentuan ukuran - ukuran
tersebut telah diperoleh grafik-
grafiknya berdasarkan hasil
percobaan DPMA dan Nippon
Koei tahun 1983. Dan dipubli-
kasikan dalam Standar Gbr. 3.6.5.5 Penentuan R minimun
Perencanaan Irigasi KP 02, tahun
1986 (lihat Gbr. 3.6.5.5).
Bila diketahui debit persatuan lebar, q, m 3 /det/m / , kedalaman air kritis, h c , meter,
dan perbedaan ketinggian muka air udik dan hilir, H, maka jari-jari hidraulik
cekungan, R, dan kedalaman cekungan, T, dapat ditentukan dengan mudah
(Gbr. 3.6.5.5).
5) Contoh perhitungan
Contoh perhitungan peredam energi tipe cekung dicoba berdasarkan Standar
Perencanaan Irigasi, KP - 02.
Ditentukan hal-hal seperti berikut:
Debit banjir desain, Q d = 278 m3/det
Lebar efektif bendung B c = 27,50 m
Debit persatuan panjang bentang, q = 10,11m 3 /det/m
Tinggi air di udik bendung h = 2,49 m
Tinggi air di hilir bendung, TW = + 139,60 m
Diperoleh:
a) tinggi air kritis, h C ;
q2 (10,11)²
hc =   2,18m
g 9,81
b) radius lengkungan, R min ;
R min h
 1,55; untuk 1  2
hc hc
R min h
 1,55; untuk 1  2
hc hc
h 1 2,49
  1,14; 1,14  2 maka
hc 2,18
R min = 1,55 x 2,18 = 3,379 m – 4,21 meter
c) kedalaman air minimum, Tmin;
h1 0,215
T min = 1,88 ( )
h2
2,49 0,215
T min = 1,88 ( 2,18 ) x 2,18 = 4,21 meter
d) dasar cekungan (bucket invert);
= tail water (T.W) = Tmin.
= + 139,69 = 4,21 m = + 135,48

6) Pemanfaatan
Pemanfaatan peredam energi tipe cekung untuk bendung-bendung yang berlokasi di
sungai torensial telah banyak dilaksanakan. Pertama kali
Tabel. 4. Peredam Energi Tipe Cekung pada Berbagai Bendung
dan ukuran cekungannya

Dilakukan yaitu untuk bendung K. Wadas di jawa Tengah. Setelah itu telah
puluhan pula yang dibangun di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Antara lain
ditunjukkan pada tabel 4.
Keterangan :
B = panjang bentang bendung bruto
b = lebar bangunan pembilas – satu bagian
t = lebar pilar satu buah
R = radius lengkung cekungan
D = kedalaman cekungan dari mercu ambang akhir
a = lebar ambang akhir
n = perbandingan kemiringan tubuh bendung bagian hilir
Catatan
Dari pemantauan terhadap kinerja berbagai bendung dengan peredar energi tipe cekung
tersebut umumnya bertiungsi dengan baik. Tidak terjadi penggerusan setempat yang
membahayakan bangunan. Dan tidak terjadi kerusakan dinding cekungan, dan lantai
akibat benturan batu gelundung kecuali pada bendung Cigasong. Bagian permukaan
hilir tubuh bendung dan permukaan cekungan bendung Cigasong telah dua kali
mengalami perbaikan. Disini penerapan tipe cekung kurang tepat dan seharusnya
dipilih tipe lain. Bendung Cipamingkis juga telah diubah peredam energinya menjadi
tipe bertangga tahun 1997. Kerusakan peredam energi tersebut akibat terjadinya
penggerusan setempat yang dalam ditambah pengaruh degradasi dasar sungai yang
besar. Penyebabnya karena pengambilan material dasar sungai secara besar-besaran
untuk keperluan bahan pembangunan.
7) Contoh penerapan
Salah satu contoh penerapan peredam energi tipe cekung yaitu pada bendung Lamasi,
Sulawesi Selatan yang datanya seperti berikut:
(1) Umum
Lokasi; Desa : Lamasi
Kabupaten : Palopo
Propinsi : Sulawesi Selatan
Sungai : S. Lamasi
: Berbatu-batu cukup besar
: Debit perencanaan 900 m 3/det
Debit intake;
Kiri : 7,50 m 3/det
Kanan : 9,00 m 3/det Perencanaan;
Perencanaan;
Desain hidraulik & Model test: Subdit Hidrolika, DPMA
Desain : Proyek Irigasi Luwu dengan Consultant NEDECO
(2) Data teknik bendung;
Jenis bendung : Bendung tetap
Lokasi : Di Palung sungai tidak sudetan
El. Mercu bendung : + 66,90
Bentuk dan ukuran mercu : Bulat; dengan satu jari-jari (R) = 1,75 m
Panjang bentang
Total : 74 m
Netto : 68 m
Lebar pembilas : 4 x 2,00 m (kiri dan kanan)
Elevasi mercu bendung : + 66,90
Elevasi tanggul penutup : + 71,85
Elevasi ambang intake : + 65,15
Elevasi dasar undersluice : + 63,40
Elevasi dekzerk : + 71,60
(3) Peredam energi;
Tipe : Bucket (cekung), masif
Tebal apron lip : 1,00 meter
Tebal bucket invert : + 60,40
Elevasi apron lip : + 61,40
Jari-jari cekungan : 5,50 m
(4) Bangunan pembilas ;
Bendung dilengkapi undersluice;
Lebar pilar : 2 x 2,00 m
Tinggi pintu bilas atau P : 1,75 m
Jumlah lubang undersluice : 2 lubang : kiri, kanan
Panjang undersluice : L1 : 15,00 m
L2 : 7,00 m
Pintu bilas : double (atas-bawah)
Lantai bilas : direndahkan dari lantai udik 1,00 m
untuk mendapatkan libang bilas
Perkuatan : Lapisan tahan aus dengan batu candi
Rip-rap : Sepanjang apron lip dan sayap hilir
Gbr. 3.6.5.6. Denah dan foto bendung Lamasi di Palopo, Sulawesi Selatan

Uji model fisik bendung Lamasi dilakukan di Laboratorioum Hidrolika DPMA


Pada tahun 1974 oleh Penulis, dkk.
Gbr. 3.6.5..6.a. Potongan memanjang bendung Lamasi
Foto potongan memanjang bendung Cigosong dan model fisik bendung
Kiararambay

Bentuk lapisan besi pada cekungan peredam energi bendung Cigasong Jawa Barat, tampak dalam
pelaksanaan (atas dan tengah). Keadaan lengkungan peredam energi pada model fisik bendung
Kiararambay, Jawa Barat. Foto di atas menunjukkan keadaan model sesudah pengaliran. Percobaan
pengaliran dilakukan di laboratorium hidrolika DPMA – Ciparay pada tahun 1978.
5.3. Peredam energi berganda
1) Umum
bendung dengan peredam energi berganda sangat cocok dibangun di sudetan sungai
dengan ketinggian lebih dari sepuluh meter. Karena akan dapat mengurungi jumlah
galian sudetan dan pemetahan energi air yang besar sehingga tidak menimbulkan
penggerusan setempat yang dalam. Bila bendung akan dibangun di daerah
pembendungan yang tinggi misalnya lebih dari 100 meter, maka pembuatan peredam
energi akan sangat berat, sebab akan cukup dalam, lantai hilir yan g, panjang dan perlu
balok-balok lantai dan sebagainya. Peredam energi bcrganda adalah salah satu alternatif
solusinya. Di Indonesia peredam energi berganda pertama kali dimanfaatkan pada
bendung Air Seluma, Bengkulu, dengan ketinggian lebih dari 15 meter. Selanjutnya
untuk tipe yang sama dibangun pula pada bendung-bendung Bt. Gadis di Tapanuli, BT.
Siat di Sumatera Barat dan sebagainya. Peredam energi berganda adakalanya juga
digunakun untuk pengamanan bendung, dimana peredam energi yang asli sudah tidak
berfungsi akibat antara lain terjadinya penggerusan setempat yang dalam, sehingga
peredam energi yang kedua merupakan tambahan. Contohnya dapat dilihat untuk
pengamanan peredam energi bendung Barugbug, Walahar di Jawa Barat dan bendung
Tajum di Jawa tengah.
2) Definisi dan keuntungan
Peredam energi tipe berganda adalah struktur di bagian hilir tubuh bendung yang
merupakan kolam olak berganda, yang masing-masing kolam olak dilengkapi dengan
lantai dasar dan ambang akhir pembentuk olakan. Di bagian kiri kanannya dibatasi oleh
tembok pangkal bentuk tegak (Gbr. 3.6.5.7).
Keuntungan pemakaian tipe ini antara lain yaitu :
 Pematahan energi air lebih besar karena dua ruang olakan, sehingga penggerusan
setempat menjadi lebih dangkal.
 Jauh lebih stabil karena bentuknya yang besar.
 Kerusakan lantai dan tubuh bendung akibat terjunan air dapat dihindari.
Gbr. 3.6.5.7. Peredam energi berganda bendung selama
3) Persyaratan
Agar kedua olakan berfungsi dengan baik maka harus dipenuhi:
 stabil, keadaan aliran yang melimpah pada mercu pertama dan di atas mercu kedua
harus kelihatan halus dan tidak berturbulensi.
 pipa aliran tidak meninggalkan mercu bendung.
Notasi;
Q d = debit banjir desain
B = panjang bentang bcndung total
b = lebar bangunan pembilas - satu bagian
t = lebar pilar pembilas - satu buah
LI = panjang olakan pertama/bagian atas
L2 = panjang olakan kedua / bagian bawah
P 1 = tinggi pembendungan/mercu pertama
P2 = tinggi pembendungan/mercu kedua
a = tinggi dan lebar ambang akhir pada olakan kedua
RI = jari-jari pembulatan pada lantai olakan pertama
R2 = jari jari pembulatan pada lantai olakan kedua
4) Bentuk dan ukuran hidraulik
Peredam energi terdiri dari bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas yaitu lantai
olakan pertama, Ll, mercu pertama dengan tinggi, Pl. Dan bagian bawah terdiri dari
mercu kedua dengan tinggi, P2, lantai olakan kedua L2, dan ambang akhir.
Untuk bangunan peredam energi yang kedua dapat dipakai tipe lantai datar dengan
ambang akhir/MDO, atau tipe sarang laba-laba.
Mercu bendung keduanya bertipe bulat dan besar dengan dua jari-jari pembulatan.
Bidang hilir tubuh bendung miring dengan perbandingan 1:1.
Ukuran panjang olakan dan tinggi ambang;
Ukuran hidraulik yang lain yang penting yaitu panjang lantai olakan pertama dan
kedua, serta tinggi mercu kedua. Untuk penentuan ukuran hidrauliknyn biasanya
digunakan bantuan uji model fisik. Dari berbagai hasil penyelidikan dengan uji model
diperoleh ukuran hidraulik seperti Tabel 5.
Tabel 5. Ukuran Hidraulik Peredam Energi Berganda

5) Contoh penerapan:
Bangunan peredam energi berganda pada bendung Air Seluma Bengkulu adalah
salah satu contoh penerapan tipe ini. Bendung Air Seluma berlokasi di sungai Seluma
Kecamatan Tais Bengkulu Selatan. Luas areal irigasi fungsional yaitu 3306 hektar.
Data teknis bendung seperti uraian berikut :
a) Bendung;
- daerah pengaliran sungai : 358 km²
- Jenis : bendung tetap
- lokasi : sudetan
- elevasi muka air tinggi : + 38,90
- elevasi muka air normal : + 33,50
- debit harian rata-rata : 24 m3/det
- Q100 tahun : 1640 m3/det
- Q1000 : 2445 m3/det
b) Peredam energi bendung tipe
Bentuk dan ukuran mercu bendung :
- mercu I : R1 2,00; R2 4,00 m
- Mercu II : R2 2,00; R2 4,00 m
Panjang bentang;
- Bruto : 81,00 m
- netto : 78,00 m
- elevasi mercu pertama : + 33,00
- dasar saluran pengelak : + 19,00
- elevasi dekzerk : + 40,00
- elevasi dasar intake : + 31,50
Ukuran pilar jembatan : 1,00 x 6,50 m
Jumlah pilar : 4 buah
Letak jembatan : di duik bendung
Tinggi freeboard : 1,00 m
Pintu pengambilan; di sebelah kanan,
Dengan kapasitas : 18,00 m 3/det
c) Pembilas dengan undersluice;
Lebar netto pembilas : 2 x 2,00 m
Lebar pilar : 2 x 1,50 m
Tinggi lubang : 1,50 m
Tinggi pintu bilas atau p : 2,70 m
Jumlah lubang undersluice : 2 buah L1 = 14,00 m dan
L2 = 6,00 m
Panjang undersluice rata-rata : 10,00 m
Pintu bilas : sorong satu buah
Tembok sayap hilir : melengkung masuk tebing
d) Tanggul penutup;
Terletak di sebelah kiri bendung;
Tipe : Earth Fill Dam tipe urugan
Elevasi mercu : + 40,00
Lebar atas : 12,00 m
Kemiringan lereng hilir : 1 : 3,5
Kemiringan lereng udik :1:3

Gbr. 3.6.5.7a. Potongan melintang peredam energi bendung Seluma

Gbr. 3.6.5.8. Denah dan foto bendung Seluma, Bengkulu


5.4 Peredam energi tipe USBR
Pemakaian tipe peredam energi USBR di Indonesia dimulai sejak tahun 1970-an,
yang diperkenalkan oleh konsultan asing atau petugas-petugas Indonesia yang telah
bersekolah di luar negeri. Tipe ini bila didesain berdasarkan grafik USBR untuk bendung
akan kurang handal karena antara lain :
 elevasi dasar sungai didesain sama tingi dengan elevasi lantai,
 pengaruh degradasi dasar sungai dan pengaruh bentuk tembok sayap hilir tidak
disinggung,
 pengaruh tipe dari ukuran tidak disinggun efektivitasnya terhadap pengurangan
penggerusan setempat,
Dalam penentuan ukuran hidraulik peredam energi tipe ini kriteria desainnya dapat
diperhatikan dalam Hydraulic Design of Stiilin Basin and Energy Dissipators, USBR,
dimana:
 panjang lantai, chute block, floor block dan endsill ditcntukan berdasarkan bilangan
Froude, Fr,
 Lokasi bilangan Froude, Fr, yaitu di kaki spillway,
 aliran air di kaki spillway dianggap loncatan penuh tanpa pusaran,
 kecepatan aliran, V 1 = 2gz dimana z yaitu tinggi terjun yang dihitung dari mercu
spillway ke pipa arus di kaki spillway. dan D 1 = tebal pipa arus.
Penggunaan peredam energi USBR untuk bendung berdasarkan grafik-grafik yang
diterbitkan USBR (Gbr. 3.6.5.12) akan menjadi over desain yang disebabkan oleh antara
lain :
 adakalanya tidak tcrbentuk loncatan balik di atas lantai dan adakalanya aliran yang
terjadi lebih tinggi dari tail water.
 perbedaan penetapan harga bilangan Froude, Fr (Gbr. 3.6.5.9) karena keadaan aliran
loncatan penuh pada spillway dan loncatan balik pada bendung dan tebal aliran di kaki
spillway , D 1, lebih kecil dari pada tebal aliran di kaki bendung, D,. Akibatnya bilangan
Froude pada bendung; akan lebih kecil dari pada bilangan Froude pada spillway, atau
untuk :
 spillway, Fr 1, = V 1 / g D1 ; V1  2g z1  loncatan penuh
 spillway, Fr2 = V 2 / g D2; V2  2g ( z   z ),  loncatan balik
Fr2 < Fr 1

Gbr. 3.6.5.9. Sifat peredam energi USBR


Catatan : peredam energi tipe USBR (Gbr. 3.6.5.10) masih dapat dipakai untuk
bendung, tetapi ukurannya disesuaikan berdasarkan hasil uji model fisik, bukan
berdasarkan grafik-grafik yang diterbitkan USBR. Salah satu contoh penggunaan tipe ini
yaitu pada bendung Ciliman, Jawa Barat (Gbr. 3.6.5.1I).

Gbr. 3.6.5.10. Bentuk dan tipe peredam energi USBR

Gbr. 3.6.5.11. Pemanfaatan peredam energi tipe USBR pada bendung Ciliman,
Teluklada, Jawa Barat
Dimensi Peredam Energi USBR

Gbr. 3.6.5.12. Grafik-grafik karakteristik stilling basin / peredam energi USBR


Bagian 1 s.d 3.

Catatan : Grafik-grafik dikutip dari pustaka 16


5.5 Peredam energi tipe kotak-kotak
Tipe lain dari bangunan
peredam energi yang telah diterapkan
pada bendung yaitu tipe kotak-kotak.
Penerapannya dilakukan pada ruang
olakan kedua bendung-bendung
Barugbug dan Tajum.
Peredam energi ini digunakan
sebagai tambahan peredam energi di
hilir peredam energi yang telah ada
sebelumnya dan sudah tidak efektif
bekerja karena berbagai sebab antara
lain penggerusan setempat yang
dalam, dan terjadinya degradasi dasar
sung ai.
Maksud pembuatan tipe ini
yaitu untuk mengurangi tekanan air
ke atas pada bagian peredam energi
lama, sehingga kerusakan bangunan
dapat dicegah. Gbr. 3.6.5.13a. Bendung Tajum – Jawa Tengah

Gbr. 3.6.5.13. Peredam energi tipe kotak-kotak, untuk perbaikan bendung tajum
Bentuk bangunan dibuat berkotak-kotak, permeable/lulus air yang terdiri dari balok-
balok beton yang bersilang memanjang - melintang. Kotak-kotak tersebut diisi dengan
batu lepas dengan diameter sekitar 0,30 meter (Gbr. 3.6.5.13).

6. Tembok Sayap, Tembok Pangkal dan Pengarah Arus


6.1. Tembok sayap hilir
1. Definisi dan fungsi
Tembok sayap hilir adalah tembok sayap yang terletak di bagian kanan dan kiri
peredam energi bendung yang menerus ke hilir dari tembok pangkal bendung dengan
bentuk dan ukuran yang berkaitan dengan ukuran peredam energi. Fungsinya sebagai
pembatas, pengarah arus, penahan gerowongan dan longsoran tebing sungai di hilir
bangunan dan pencegah aliran samping.
2. Penentuan dimensi
Dalam penentuan dimensi tembok sayap hilir hendaknya berdasarkan:
 dimensi berdasarkan peredam energi,
 geometri sungai di sekitar dan di hilirnya,
 tinggi muka air hilir desain,
 penggerusan setempat yang akan terjadi dan sebagainya.
3. Bentuk sayap hilir
Bentuk sayap hilir bendung dapat didesain (perhatikan Gbr. 3.6.6.1) yakni:
 bentuk miring sebagai kelanjutan dari tembok pangkal bendung,
 bagian ujung hilir tembok sayap dibulatkan dan masuk ke dalam tebing,
 bagian awal tembok sayap hilir yang miring dan akhir tembok pangkal dimulai dari
sekitar tengah-tengah lantai peredam energi; khusus untuk peredam energi tipe lantai
datar,
 untuk peredam energi tipe cekuna, bugian awal tembok sayap hilir yang miring clan
akhir tembok pangkal dimulai dari ujung ambang akhir.

br. 3.6.6.1. Bentuk ujung tembok sayap hilir melengkung masuk tebing di bendung K. Sapi, Jateng
4. Ukuran tembok sayap
 panjang tembok bagian yang lurus yaitu ½ L p + Lx
dimana : Lp = Panjang lantai datar peredam energi
Lx = panjang tembok sayap; (1,25 – 1,5) x L
Selanjutnya perhatikan Gbr. 3.6.6.2.

Gbr. 3.6.6.2. Ukuran tembok sayap hilir


Gbr. 3.6.6.2 a. Bentuk ujung tembok sayap hilir Bendung Lamasi, SulSel

5. Masalah yang ada


pada foto 3.6.6.3. tampak penggerusan setempat yang terjadi di hilir tembok sayap
hilir. Penggerusan berbentuk “bawang” dan umumnya terjadi akibat
gerusan oleh pusaran balik aliran searah dengan jarum jam pada bagian kanan dan
berlawanan dengan jarum jam pada bagian kiri. Banyak tembok sayap hilir bendung yang
rusak akibat bahaya penggerusan setempat seperti ini (Gbr. 3.6.6.3). Salah satu cara
penanggulangannya yang tepat dan telah banyak berhasil yaitu dengan melengkungkan
bagian ujung tembok sayap tersebut dan masuk ke dalam tebing sungai dengan ukuran dan
bentuk yang diuraikan di muka, yang ternyata cukup handal dan diperoleh dari berpuluh-
puluh percobaan pengaliran.

Gbr. 3.6.6.3. Masalah di ujung tembok sayap hilir

6.2 Tembok Pangkal Bendung


1. Definisi
Tembok pangkal bendung adalah tembok yang berada di kiri kanan pangkal bendung
dengan tinggi tertentu yang menghalangi luapan aliran pada debit desain tertentu ke
samping kiri dan kanan.
2. Fungsi
Tembok pangkal bendung berfungsi sebagai pengarah arus agar arah aliran sungai
tegak lurus (frontal) terhadap sumbu bendung, sebagai penahan tanah, pencegah rembesan
samping, pangkal jembatan dan sebagainya. Pangkal bendung juga menghubungkan antara
bendung dan tanggul banjir dan tanggul penutup.
3. Bentuk
Bentuk pangkal bendung umumnya ditentukan vertikal dengan ukuran panjang ke
udiknya dan kehilirnya yang sesuai dengan fungsinya yang harus dicapai.
4. Ukuran hidraulik
 tinggi pangkal bendung sama dengan tinggi muka air udik rencana ditambah tinggi
Japan (free board) sebesar antara satu sampai satu setengah meter atau aman terhadap
debit desain tertentu. Tinggi jagaan dapat diambil sedemikian sehingga muka air sungai
dengan debit banjir kala ulang tertentu tidak melampauinya,p
 panjang tembok pungkal ke udik dipengaruhi oleh adanya bangunan intake dan tata
letak jembatan lalu lintas; dan panjangnya antara sisi tembok in take ke udik lebih besar
dari dua kali tinggi air (Gbr. 3.6.6.4).

Gbr. 3.6.4.4. Contoh tembok pangkal bendung, tembok sayap udik,


dan pengarah arus

6.3. Tembok sayap udik dan pengaruh arus


1. Definisi
tembok sayap udik adalah tembok sayap yang menerus ke udik dari tembok pangkal
dengan bentuk dan ukuran yang disesuaikan dengan fungsinya sebagai pengarah arus,
pelindung tebing dan atau pelindung tanggul penutup dari arus yang deras.
2. Ukuran
Arah dan ukurannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pengarah arus pelindung
tebing atau tanggul penutup dan disesuaikan dengan pangkal bendung dari geometri badan
sungai (Gbr. 3.6.6.5).
3. Bentuk
Bentuknya miring dengan perbandingan 1 : 1 atau l : 1 ½ . Pertemuannya dengan
tembok pangkal dibuat menyudut kurang lebih 45 °.

Gbr. 3.6.65. Contoh tembok pengarah arus pada bendung Krueng Tiro, Aceh
(atas) dan bendung Langla, Jawa Barat (bawah)
VII. RIP – RAP
1. Definisi dan fungsi
Rip-rap yaitu susunun bongkahan batu alam atau blok-blok beton buatan dengan
ukuran dan volume tertentu yang digunakan antara lain sehagai tambahun peredam energi di
hilir bendung dan berfunsi pula sebagai lapisan perisai untuk mengurangi kedalaman
penggerusan setempat dan untuk melindungi tanah dasar di hilir peredam energi bendung.
2. Jenis rip-rap
Rip-rap dapat dibedakan menjadi:
 timbunan bonakah batu alam,
 susunan blok-blok beton berbentuk segi empat, segi panjang dan sebagainya.
3. Penerapan
Rip-rap yang digunakan sebagai tambahan fungsi peredaman energi bendung,
diterapkan pada:
 sepanjang bagian hilir ambang akhir,
 sepanjang bagian kaki tembok sayap hilir.
4. Bentuk dan ukuran
Bentuk dan ukuran rip-rap bongkahan batu ;
 bentuk batu relatifi bulat, padat, keras dengam berat jenis 2,4 t/m 3
 diameter batu berkisar 0,30 m
 volume batu yang cukup
 kedalaman sekitar 2,00 m untuk bagian hilir amban akhir dan sekitar 1,50 untuk bagian di
kaki tembok sayap hilir.
5. Sistem kerja rip-rap
di dasar sungai di hilir bangunan peredam energi bendung terjadi kecepatan aliran
sungai yang besarnya bervariasi. Rip-rap yang terdiri dari susunan batu-batu lepas tersebut
yang terkena aliran deras akan menyebar, masuk dan menutup lubang penggerusan setempat,
sehingga dapat menjadi perisai atau pelindung gerusan.
6. Pemasangan rip-rap
Rip-rap batu yang didesain dihilir bendung dipasang dengan bentuk miring dan
bentuk rata seperti ditunjukkan Gbr. 3.7.1.

Gbr. 3.7.1. Bentuk pemasangan rip-rap


7. Ukuran batu rip-rap USBR
USBR telah membuat suatu grafik hubungan antara kecepatan di dasar sungai
dalam feet per detik dan ukuran batu dalam inci serta berat batu (Gbr. 3.7.2)
Grafik ini bila ditelaah maka :
 belum diketahui bilamana batu
mulai goyang dan bergerak pada
suatu kecepatan aliran tertentu,
 bagaimana pengaruh hubungan
antara kecepatan aliran dengan
diamter bau, berat batu, bila batu
rip-rap tersebut tidak disusun
dalam bentuk horizontal, misalnya
miring (1 : n) seperti lazimnya
rip-rap di hilir peredam energi
bendung Indonesia.
Grafik USBR, itu hanya
menunjukkan hal berikut :
 diamater batu yang dibutuhkan
meningkat secara proporsional
dengan meningkatnya kecepatan
aliran di dasar sungai,
 ukuran diameter batu sampai
dengan 48” dengan kecepatan
aliran sampai dengan 18 ft/sec,
 rip-rap disusun dalam satuan feet
dan bila dijadikan satuan meter
maka diperoleh rumus :
d = 0,79 v²/2g
dimana : Gbr. 3.7.2. garfik-grafik USBR
d = diameter batu
v = kecepatan aliran di dasar
g = percepatan gravitasi
dalam kaitannya penggunaan rip-rap sebagai tambahan untuk mengurangi
kedalaman penggerusan setempat di hilir bangunan peredam energi bendung, maka grafik
USBR itu perlu diteliti dan dikembangkan lebih lanjut sehingga sesuai dengan kondisi
sungai di Indonesia.
Berdasarkan hasil uji model fisik terhadap puluhan bendung yang menggunakan
rip-rap di hilir peredam energinya biasanya disarankan pengunaan rip-rap batu antara
0,30 – 0,40 meter dengan panjang, lebar dan dalam / volume tertentu. Bila rumus dai atas
digunakan dengan mengambil kecepatan aliran sebesar 4 m/det, maka diameter batu, d,
yang dibutuhkan menjadi :
d = 0,79 v²/2g = 0,79 4²/19 . 82
d = 0,60 m, catatan, untuk batu alam dengan ukuran ini sulit ditemukan
8. Rip-rap beton
rip-rap beton persegi panjang ukuran 1 x 1 x 2m digunakan untuk pengamanan
bendung Walahar (Gbr. 3.7.3 atas) dan rip-rap beton persegi empat digunakan di kaki
sayap hilir bendung Rentang di Jawa Barat. Penetapan ini dimaksudkan untuk pengaman
bendung Walahar dari bahaya penggerusan setempat dan degradasi dasar sungai. Bentuk
dan ukuran rip-rap bersama-sama bangunan peredam energinya diperoleh dari uji model
fisik di laboratorium hidrolika DPMA. Rip-rap beton yang diterapkan dikaki tembok
sayap hilir bendung Rentang adalah bentuk persegi empat, ukuran 1x1x1 meter. Selain
itu, diterapkan pula rip-rap batu di hilir peredam energi bendung rentang seperti tampak
pada foto Gbr. 3.7.3 bawah.

Gbr. 3.7.3. Contoh penggunaan rip-rap beton di bendung Walahar dan


Bendung Rentang, Jawa Barat
9. Rip-rap bronjong
Penggunaan bronjong kawat di hilir bangunan peredam energi bendung untuk
maksud mengurangi bahaya penggerusan setempat telah pulu diterapkan diberbagai
bendung. Sebagai perlindungan dasar sungai dari bahaya penggerusan setempat dari
banyak pengalaman penerapan rip-rap bronjong kurano tepat dan kurang berhasil. Hal ini
dikarenakan faktor-faktor seperti berikut:
 bronjong yang bukan jenis bronjong Maccafferi berkarat, kurang tahan terhadap gaya
benturan batu dan benda padat lain yang terbawa aliran sungai.
 batu tidak seragam dan bila kawatnya putus maka batu-batu itu akan hanyut,
 karena perbedaan kekasaran antara bronjong dan tanah dasar di hilirnya maka di hilir
bronjong akan terjadi penggerusan setempat (Gbr. 3.7.4 atas) yang membahayakan
bangunan,
 karena bronjong flexible dan bila terjadi penggerusan setempat di hilirnya maka
bronjong itu akan ikut turun, dan jika kawatnya tak kuat akan putus sehingga batu-
batunya hanyut yang akhirnya bronjon rusak.

Gbr. 3.7.4. Rip-rap bronjong pada bendung di Yogyakarta (atas)


dan rip-rap batu pada bendung Suliti, Sumatera barat (bawah)
VIII. STABILITAS BENDUNG
1. Umum
Salah satu persyaratan keamanan bendung yaitu harus stabil terhadap geser,
guling dan pipingh, untuk itu harus dihitung gaya-gaya yang bekerja pada bangunan
yaitu :
 berat sendiri bangunan,
 tekanan air normal setinggi bendung dan setinggi muka air banjir desain,
 tekanan lumpur,
 gaya gempa, tekanan air di bawah bendung atau uplifit
Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja pada bangunan itu dianalisis dan dikontrol
stabilitasnya terhadap faktor-faktor keamanannya. Perhitungan dilakukan dengan tinjauan
panjang satu meter.
2. Langkah Perhitungan
hitung berat sendiri bangunan
yaitu :
 bagian yang dihitung hanya tubuh
bendung saja, dan selanjutnya
dibagi dalam bentuk tertentu.
 Hitung gaya yang bekerja yaitu
luas penampang dikalikan berat
jenis pasangan batu = 2,2 ton/m 3 ,
 Hitung momen gaya-gaya tersebut
terhadap suatu titik yaitu
perkalian gaya dengan jaraknya,
 Jumlahkan seluruh gaya-gaya
yang bekerja dan momenya dari
bagian-bagian yang ditinjau.
Pengaruh gempa ; dihitung
dengan cara mengalikan koefisien
gempa dengan besarnya gaya.
Selanjutnya hitung pula momen-
momen gaya tersebut.
Tekanan air normal; yaitu
tekanan air setinggi mercu bendung
terhadap tubuh bendung. Dihilir
bangunan dianggap kosong, tanpa ada
Gbr. 3.8.1. Gaya-gaya yang bekerja
air. Untuk memudahkan perhitungan pada bangunan
gaya horizontal dan gaya
Vertikal dikerjakan secara terpisah, selanjutnya hitung gaya-gaya tekanan air dan momen
gaya.
Tekanan air banjir ; yaitu tekanan air setinggi muka air banjir pada debit banjir
desain. Dihilir bangunan terdapat aliran setinggi muka air banjir pula.
Selanjutnya lakukan langkah perhitungan yang sama dengan air normal.
Tekanan lumpur ; yaitu tekanan lumpur terhadap bangunan di udik bendung.
3. Contoh Perhitungan
1) Stabilitas bangunan
(1) Hitung berat sendiri bangunan, yaitu bagian per bagian volume, berat, jarak
titik berat terhadap sumbu y, sumbu x dan momen tahanan (Gbr. 3.8.1).
(2) Tentukan koefisien gempa dari peta gempa Indonesia dan hitung gaya gempa
serta momen gulingnya.
(3) Hitung gaya hidrostatis pada keadaan air normal dan keadaan air banjir. Dalam
perhitungan ini dihitung jumlah gaya-gaya horizontal, vertikal, momen guling
dan momen tahanannya.
(4) Hitung gaya tekanan lumpur serta momen tahanannya.
(5) Hitung gaya tekanan uplit di setiap titik untuk keadaan air normal dan banjir,
yang dapat dihitung dengan rumus :
L
U x  h x  x H
L
Lx  Lv  1 3 LH
dimana : U x = gaya tekanan ke atas di titik x, kg/m
H x = tinggi energi di udik bendung, m
L x = jarak sepanjang bidang kontak dari udik sampai titik x,m
L = panjang total bidang kontak, m
H = beda tinggi energi, m
L V = panjang bidang vertikal, m
L H = panjang bidang horizontal, m
(6) Periksa stabilitas bangunan untuk keadaan air normal dan keadaan air banjir.
Pemeriksaan dilakukan terhadap bahaya:
a) guling : faktor keamanan (Fk) = MT / MG  1,5
b) geser : koefisien geser (f) = tg
gaya tahan = f . v = x ton

Gaya tahan
Faktor keamanan (Fk) =  gaya horizontal  1,5
dimana : MT = momen tahanan
MG = momen guling
c) eksentrisitas pembebanan atau jarak dari pusat gravitasi dasar sampai titik
potong resultante dengand dasar; resultante gaya-gaya harus masuk daerah
kern (galih) yang dapat dinyatakan dengan rumus :
MT  MG
e 1
2B ( ) 1 6B
V
dimana : e = eksentrisitas
B = lebar dasar
MT = momen tahanan
MG = momen guling
V = jumlah gaya vertikal

Gbr. 3.8.2. Pemeriksaan stabilitas bangunan

(7) Periksa terhadap daya dukung tanah pada keadaan air normal dan keadaan air
banjir.
(a) Hitung tegangan izin = 
(b) Hitung tegangan tanah yang terjadi yang dapat dihitung dengan rumus :
V 6e
1, 2  (1  )
B B

Dimana :  1,2 = tegangan tanah


V = gaya-gaa vertikal
B = lebar dasar
e = eksentrisitas
(c) Persyaratannya yaitu bila  1 <  dan  2 < 0
2) Panjang lantai udik
(1)Periksa dan tentukan harga weighted creep ratio, C
(2) Hitung perbedaan antara tinggi muka air udik dan hilir. h, pada keadaan air normal
dan banjir dan ambil untuk keadaan tekanan yang lebih besar.
(3) Hitung panjang garis rayapan yang dapat dihitung dengan cara Lane:
Lw perlu = Lv + 1/3  LH
dimana : Lw = panjang garis rayapan total
Lv = panjang garis rayapan dalam arah vertikal
LH = panjang garis rayapan dalam arah horizontal
(4) Periksa; panjang garis rayapan hasil perhitungan harus lebih bcaar dari pada
panjang bidang kontak yang ada.
3) Tebal lantai hilir
(1) Ambil tebal lantai hilir untuk potongan yang paling tebal dan paling kecil, t.
(2) Tentukan berat jenis bahan, misalnya untuk pasangan batu kali, y = 2,2 ton/m 3
(3) Tentukan tekanan uplift; yang dihitung dcngan rumus seperti disebut pada pasal l )
bagian (5).
(4) Periksa syarat keseimbangan, bila : Ux  t, y maka ketebalan lantai yang
ditentukan memadai.

Gbr. 3.8.3. Pemeriksaan tebal lantai hilir


BAB 4
CONTOH DESAIN HIDRAULIK

1. Umum dan Tahapan Desain


Contoh desain hidraulik bendung tetap berikut dimaksudkan untuk lebih memahami
teori yang dikemukakan di muka. Contoh ini diambil dari salah satu pekerjaan desain
hidraulik bendung di Indonesia.
Tahapan desain hidraulik bendung tetap contoh ini yaitu seperti berikut:
 Data awal seperti debit banjir desain sungai, debit penyadapan ke intake, keadaan
hidraulik sungai, tinggi muka air sungai saat banjir, elevasi lahan yang akan diairi telah
diketahui.
 Perhitungan untuk penentuan elevasi mercu bendung
 Penentuan panjang mercu bendung
 Penetapan ukuran lebar pembilas dan lebar pilar pembilas
 Perhitungan penentuan ketinggian elevasi muka air banjir di udik bendung. Penetapan
ukuran mercu bendung dan tubuh bendung.
 Perhitungan dimensi hidraulik bangunan intake.
 Penetapan dimensi hidraulik bangunan pembilas.
 Penetapan tipe, bcntuk, dan ukuran bangunan peredam energi.
 Perhitungan panjang lantai udik bendung
 Penetapan dimensi bangunan tembok pungkal, tembok sayap udik dan tembok sayap
hilir, dan sebagainya.
Dalam desain ini digunakan kriteria, yaitu:
 Tinggi muka air banjir di udik bendung harus lebih rendah atau sama dengan empat
meter.
 Tinggi mercu bendung ke dasar sungai di hilir harus lebih rendah atau sama dengan
sepuluh meter.
 Untuk desain mercu dan tubuh bendung dengan persyaratan, yaitu:
 Bentuk mercu bendung tipe bulat, jari-jari pembulatan satu radius.
 Bidang hilir tubuh bendung di bagian hilir mercu dibuat dengan kemiringan yang
perbandingannya yaitu 1:1.
2. Data
data yang diperlukan sehubungan dengan desain ini dan telah tersedia, yaitu :
 Peta topografi
 Peta situasi sungai, skala 1:2000, dimana diketahui :
- Lebar palung sungai antara 50 m – 60 m
- Elevasi dasar sungai rata-rata disekitar rencana bendung + 82,70
 Peta daerah irigasi dimana diketahui :
- Luas daerah irigasi yang diairi 6.229 hektar.
- Elevasi lahan yang tertinggi yang akan diairi + 84,80.
 Debit banjir desain sungai dan elevasi muka iar hilir (tail water) pada Q 100 = + 85,56
 Debit desain intake = 7,70 m 3/dt
3. Perhitungan Hidraulik Bendung
3.1 Perhitungan Penentuan Elevasi Mercu Bendung
1) Perhitunuan penentuan elevasi mercu bendung dengan memperhatikan faktor
ketinggian elevasi sawah tertinggi yang akan diairi. Cara perhitungan dilakukan seperti
berikut:
- Tinggi sawah yang akan diairi berelevasi : +84,80
- Tinggi air di sawah di ambil : 0,10 m
- Kehilangan tekanan dari sawah ke saluran tersier : 0,10 m
- Kehilangan tekanan dari saluran tersier ke saluran sekunder : 0,10 m
- Kehilangan tekanan dari saluran sekunder ke saluran induk : 0,10 m
- Kehilangan tekanan akibat kemiringan saluran induk ke saluran
Sedimen trap : 0,15 m

- Kehilangan tekanan akibat bangunan ukur : 0,40 m


- Kehilangan tekanan dari sedimen trap ke intake : 0,25 m
- Kehilangan tekanan pada intake : 0,20 m
- Kehilangan tekanan akibat eksploitasi : 0,10 m
Jadi ketinggian elevasi mercu bendung : +86,30

2) Perhitungan penentuan elevasi mercu bendunU dcngan memperhatikan faktor


tinggi tekanan yang diperlukan untuk pembilasan sedimen. Bendung ini
direncanakan dilengkapi dengan penangkap sedimen dan bangunan pembilas lurus
tipe undersluice. Penangkap sedimen direncanakan dengan ukuran seperti berikut :
- Panjang penangkap sedimen : 70,0 m
- Panjang saluran pengantar ke penangkap sedimen : 30,0 m
- Kemiringan permukaan sedimen di penangkap sedimen : 0,00016
- Elevasi dasar pcnangkap sedimen bagian hilir : +83,78
- Elevasi muka air di penangkap bagian hilir : +86,18
Cara perhitungan dilakukan seperti berikut :
- Elevasi permukaan air di kantong sedimen bagian udik : +86,18 +
(70x0,00016) = +86,19
- Elevasi permukaan aor di udik saluran pengantar/tepat di hilir intake bendung :
+86,18 + (70+30 x 0,00016 = 86,20
- Kehilangan tekanan pada intake di ambil = 0,20
- Elevasi muka air di udik intake : +86,20 + 0,20 = 86,40
- Kehilangan tekanan akibat ekspliotasi diambil = 0,01
Jadi, ketinggian elevasi mercu bendung +86,40 + 0,10 = +86,50.
Kesimpulan :
- Ketinggian elevasi mercu bendung berdasarkan elevasi saway yang akan di
airi : +86,30
- Ketinggian elevasi mercu bendung berdasarkan kebutuhan tinggi tekanan yang
diperlukan untuk pembilasan : +86,50
- Jadi, ketinggian mercu bendung ditetapkan pada elevasi +86,50

Gbr. 4.1. Skema Penentuan Elevasi Mercu Bendung

3.2 Penentuan panjang mercu bendung


Panjang mercu bendung ditentukan 1,2 kali lebar sungai rata-rata. lebar sungai
direncana lokasi bendung bervariasi antara 50m sampai dengan 55m. Lebar sungai
rata-rata diambil 52m. Panjang mercu bendung yaitu 1,2x52m = 62,4, panjang mercu
ditetapkan 62,0m.
3.3 Penentuan lebar lubang dIan pilar pembilas
Lebar bangunan pembilas diambil sepersepuluh kali lebar sungai rata-rata yaitu 1/10 x
52,0 m = 5,00 m. Pembilas dibuat 2 buah masing-masing 2,50m. Lebar pilar pembilas
ditetapkan 2 buah dengan lebar masing-masing pilar 1,50m.

3.4 Perhitungan panjang mercu bendung efektif


Panjang mercu bendung efektif dihitung dengan menggunakan rumus :
Bc = Bb – 2 (n k p + K a) H c
Dimana :
Bc = Panjang mercu bendung efektif, m
Bb = panjang mercu bendung bruto = 62 m
k = jumlah pilar pembilas, m
kp = koefisien kontraksi pilar = 0,01
ka = koefisien kontraksi pangkal bendung efektif yaitu :
perhitungan panjang mercu bendung efektif, yaitu :
Bc = Bb – 2 (n kepemimpinan + ka) He
Bc = 62 –2 (2 x 0,01 + 0,1) He
Bc = 62 – 0,24 He
3.5 Perhitungan tinggi muka air banjir di udik bendung
Elevasi muka air banjir di udik bendung dapat diketahui dengan menghitung tinggi
energi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Qd = C. B c . H c 3/2
Dimana :
Qd = debit banjir sungai rencana = 700 m 3/s
C = koefisien debit pelimpah
Bc = panjang mercu bendung efektif, 62,0 m
Hc = tinggi energi, m
Koefesien debit pelimpah C, nilainya dihitung dengan menggunakan persamaan :
C = 3,97 (H c/Hd)0,12 dimana H c = H a
Dari persamaan tersebut diperoleh nilai C = 2,19 (lihat open channel hydraulic, V.T.
Chow, hal 369).
Dari persamaan di atas tinggi energi dapat dihitung, yaitu :
Qd = C . B c . H c3/2
Dimana :
Qd = 700 m 3/s
Bc = 62 – 0,24 H c
C = 2,19
Perhitungan dilakukan dengan cara trial & error.
Langkah pertama diasumsikan nilai B c = 61,50 m
Qd = C . B c . H c3/2
Qd 23
Hc = ( )
C . Bc
700 2
Hc = ( 2,19 x 61,50 ) 3

Hc = 3,00 m
Langkah kedua diasumsikan nilai B c = 61,28
Qd = C . B c . H c3/2
Qd 23
He = ( )
C . Bc
700 2
He = ( 2,19 x 61,28 ) 3
He = 3,07 m ~ 3,00 m
Nilai H c diambil 3,00 m, sehingga B c dapat dihitung :
Be = 62 – 0,24 H
Be = 62 – 0,24 . 3
Be = 61,28 m
Tinggi tekanan (desain head)
Tinggi tekanan, Ha ditentukan dengan persamaan :
He = He – V2/2g
V2/2g = 0 (diabaikan)
Ha = 3,00 m
Kesimpulan :
- Tinggi muka air banjir di udik bendung = H a = 3,00m
- Elevasi muka air banjir = 86,50 + 3,0 = +89,50
3.6 Penentuan nilai jari-jari mercu bendung
Nilai jari mercu bendung ditentukan berdasarkan garfik hubungan antara tinggi muka
air udik, h a dan besarnya jari-jari (r) serta debit pengaturan lebar yang diterbitkan oleh
DPMA.
Dari grafik tersebut, untuk h a = H a = 3,00 m dan q = 11,4 m 3/dt/m 3 diperoleh nilai r =
2,3 m. diambil r = 2,50 m.
Dengan menggunakan grafik penentuan bahaya kavitasi di hilir mercu bendung yang
juga diterbitkan oleh DPMA dapat diketahui bahaya kavitasi di hilir mercu bendung.
Untuk nilai H a = 3,00 m, dan r = 2,50 m, tekanan berada di daerah positif, jadi tak ada
bahaya kavitasi.
3.7 Resume perhitingan hidraulik bendung
Elevasi mercu bendung : +86,50
Panjang mercu bendung : 62,0 m
Lebar pembilas 2 x 2,50 m : 5,0 m
Lebar pilar pembilas 2 x 1,50 m : 3,0 m
Panjang bendung total : 70 m
Tinggi muka air di udik bendung : 3,0 m
Elevasi muka air banjir : +89,50
Tinggi pembendungan : 3,0 m
Kemiringan tubuh bendung :1:1
Gbr. 4.2 Bentuk dan Ukuran Mercu Bendung

4. Perhitungan Dimensi Peredam Energi


4.1. Pemilihan tipe
Jenis sungai di daearah ini yakni sungai alluvial dengan angkutan sedimen
dominan fraksi pasir dan kerikil. Dengan memperhatikan jenis sungai tersebut, maka
bangunan peredam energi yang dipilih disini yaitu lantai datar dengan ambang akhir
berkotak-kotak atau tipe MDO.
Dalam penggunaan tipe ini ditentukan bentuk mercu bendung bulat dengan satu
jari-jari pembulatan, bidang miring tubuh bendung bagian hilir permukaannya bentuk
miring dengan perbandingan 1 : 1.
4.2. Grafik dan rumus
dalam mendesain dimensi peredam energi tipoe MDO ini digunakan grafik-grafik
yang diterbitkan oleh DPMA. Grafik-grafik tersebut yaitu grafik untuk menentukan
dimensi peredam energi tipe MDO yakni seperti berikut :
 Grafik untuk penentuan kedalaman lantai peredam energi
 Grafik untuk penentuan panjang lantai peredam energi
 Parameter energi dihitung dengan rumus sebagai berikut:
 Kedalaman lantai peredamenergi dihitung dengan rumus:
q
E 
gz 3

D  Ds
Ds = (D s)  s  ; diperoleh dari grafik
 D2  D2
 Panjang lantai peredam energi dihitung dengan rumus :
L  L
L s = (D s)  2  ; diperoleh dari grafik
 D2  D2
 Tinggi ambang akhir dihitung dengan rumus ;
a = (0,2a o,3) D 2
 lambang akhir dihitung dengan rumus :
b=2xa
keterangan :
E = parameter persegi
q = debit desain persatuan lebar pelimpah bendung m 3/dt/m
z = perbedaan tinggi muka air udik dan hilir, m
g = percepatan gravitasi m/dt 2
Ds = kedalaman lantai peredam energi, m
a = tinggi ambang akhir, m
b = lebar ambang akhir, m
D2 = kedalaman air di hilir, m
4.3 Desain dimensi peredam energi
debit desain persatuan lebar
700
q = 61,28 =11,42 m3/dt/m’
z = 4,96
g = 9,81 m/dt 2
kedalam air dihilir; D2 = Y
Q = C . L . Y 3/2
Q = 700 m 3/dt
C = 1,7 (diperkiran)
L = bentang sungai rata-rata di hilir = 70 m
3
( Q )2
Y=
(C . L )
3
700 2
Y=  3,26 m
1,7 x 70
Parameter energi
q 11,42
E=   0,33
3
gz 9,81 x 4,96 3
Panjang lantai dan kedalaman lantai peredam energi :
L/D 2 = 1,26 ; L/D 2 diperoleh dari grafik MDO
L = 1,26 x 7 = 8,28 ~ 8,00 m
Kedalaman lantai peredam energi :
D/D2 = 1,28 ; D/D2 diperoleh dari grafik MDO
D = 1,28 x 3,26 = 4,173 ~ 4,20 m
Tinggi ambang akhir :
a = 0,3 x 2,26 = 0,97 ~ 1,0 m
lebar ambang akhir;
b = 2a = 2 x 1,0 = 2,0 m

Gbr. 4.3. Bentuk dan Ukuran Peredam Energi Bendung

5. Perhitungan Hidraulik Bangunan Intake


5.1. Bentuk intake
bentuk didesain dengan bentuk biasa dengan lubang pengaliran terbuka dilengkapi
dengan dinding banjir. Arah intake terhadap sumbu singai dibuat tegak lurus. Lantai intake
tanpa kemiringan dengan elevasi lantai sama tinggi dengan elevasi plat undersluice.
5.2 Dimensi lubang intake
dimensi lubang intake dihitung dengan persamaan :
Qi =  b . a 2gz

dimana :
Qi = debit intake = 7.70 m 3/dt
 = koefisien debit = 0,85
b = lebar bukaan, m
a = tinggi bukaan, m
g = percepatan gravitasi = 9,8 m²/dt
z = kehilangan tinggi energi pada bukaan, m
Perbandingan antara lebar bukaan dan tinggi bukaan ditetapkan 2 : 1 (pendekatan).
Tinggi bukaan dihitung dari gambar 4.4 sehingga diperoleh nilai sebesar 1,20 m.
Perhitungan :
Qi =  b . a 2gz
7,70 = 0,85 . b . 1,20 2 . 9,8 . 02
7,7
b = 2,02  3,81 m

b diambnil 4,0 m; dibuat 2 bukaan sehingga lebar pintu 2 x 2,00 m.


kesimpulan :
lebar bukaan pintu intake : 2 x 2,00 m
tinggi bukaan lubang intake : 1,20 m

Gbr. 4.4 Penampang Memanjang Intake Bendung


5.3 Pemeriksaan diameter sedimen yang masuk ke intake
rumus yang digunakan untuk memperikirakan diameter partikel yang akan masuk
ke intake, yaitu :
v = 0,396 {(Q s – 1)d} 0.5
dimana :
v = kecepatan aliran, m/dt
Qs = berat jenis partikel = 2,65
D = diameter partikel = m
Kecepatan aliran yang mendekat ke intake dihitung dengan rumus :
Q = debit intake = 7,70 m 3/dt
A = luas penampang basah = m²
V = kecepatan aliran = m/dt
Perhitungan :
Kecepatan aliran :
V = Q / A ; A = (2x2) x 1,20 m = 4,80 m²
= 7,70 / 4,80 = 1,60 m/dt
Diameter partikel :
v = 0,396 {(Q s – 1)d} 0.5
1,60 = 0,396 {(2,65 – 1)d} 0.5
d = 9,8 mm
Diameter partikel sedimen yang akan masuk ke intake diperkirakan 9,98 mm.
5.4 Penetapan dimensi hidraulik bangunan pembilas
Dimensi pembilas
Bangunan pembilas direncanakan dengan undersluice lurus (Gbr. 4.5)
Dimensi lubang undersluice ;
- Lebar lubang = 2,50 m
- Tinggi lubang = 1,25 m
- Lebar mulut = 11,00 m
- Lebar pilar = 1,50 m
- Undersluice dibagi 2 bagian

Gbr. Bentuk Daerah Pembilas Bendung

5.5. perhitungan bangunan ukur pada intake


Tipe bangunan ukur pada intake yang akan dipilih yaitu jenis Crum de Gruyter,
karena debit intake besar. Perhitungan dilakukan seperti berikut :
Q = Cd. B . Y. 2g (H  Y )
K = Y/H atau Y = 0,63 H
Keterangan :
Q = debit intake m 3/dt = 7,70 m 3/dt
Cd = koefisien debit, diambil 0,94
B = lebar bukaan pintu, m
Y = bukaan pintu
H = tinggi energi total di atas ambang di udik pintu
Q = 0,94B x o,63 H 2 x 9,81 (H  0,63H )
Qmax = 1,594BH 3/2
Q max 7,70
B= 3/ 2
  4,83 m  4,80 m
1,594 H 1,594 x 13 / 2
Pintu dibuat dengan lebar bukaan masing-masing selebar 2,40 m.
Perhitungan nkehilangan tekanan (h); lihat gambar 4.6
Q max
Anggapan 3
Q min
h
 0,495  diperoleh dari grafik
H
Ymin
 0,140  diperoleh dari grafik
H
jadi h = 0,495 x 1,20 = 0,594 m ~ 0,60 m
bukaan pintu minimun : (Ymin)
Ymin = 0,140 x 1,20 = 0,17 m
Bukaan pintu maksimum : (Ymax)
Ymax = 0,63 x 1,20 = 0,756 m ~ 0,76 m

Gbr. 4.6 parameter di Intake Saluran

6. Perhitungan Panjang Lantai Udik


Perhitungan panjang lantai udik dilakukan dengan cara seperti berikut :
- Panjang rayapan (creep length) harus cukup panjang untuk memperkecil aliran
bawah (see page).
- Tentukan dengan cara perkiraan awal bentuk fundasi bendung dan panjang lantai
udik.
- Gambarkan bentuk fundasi bendung dan panjang lantai udik tersebut (Gambar 4.7)
- Hitung panjang lantai udik yang dibutuhkan
- Jika panjang lantai udik hasil perhitungan lebih panjang dari pada yang dibutuhkan
maka hasil perhitungan sudah memadai.
- Jika diperioleh sebaiknya maka ulangi perhitungan.
6.2 perhitungan panjang lantai udik
Rumus yang digunakan berdasarkan teori lane’s :
L = Lv + 1/3 L H
Dimana :
L = Panjang total rayapan
L v = panjang vertikal rayapan
L H = panjang horizontal rayapan
Dalam desain ini diambil nilai :
L=4
H
dimana L = panjang rayapan
H = kehilangan tekanan
Prhitungan
Perhitungan dilakukan dengan kondisi tidak ada aliran dari udik sehingga
Q = 0 jadi
H = 86,50 – 79,50 = 7,00 m
panjang rayapan seharusnya :
L b > 4 x 7,00 m = 28,00 m
Berdasarkan gambar 4.7 diperoleh :
L v = 2,5 + 6 x 1,5 + 3,80 + 1,5 + 2 x 2,00 + 4,25 + 1,98
L v = 28,57
L H = 35,42 m
L P = 28,57 + 1/3 35,42
L P = 40,38 m
Jadi : L b yang dibutuhkan = 28,0 m
L P, hasil perhitungan = 40,38 m
L P = 40,38 > L b = 28,00 OK
Panjang lantai udik cukup memadai.
7. Penentuan Dimensi Tembol Pangkal dan Tembok Sayap
7.1. Tembok pangkal
a) Ujung tembok pangkal bendung tegak ke arah hilir ditempatkan ditengah-tengah
panjang lantai peredam energi. Dalam desain ini, panjang dan mercu bendung sampai
dengan ujung ambang akhir yaitu 18,00 m. jadi ujung tembok pangkal tembok bendung
tegak ke arah hilir panjangnya 9,00 m.
b) Panjang pangkal tembok bendung tegak bagian udik dihitung dari mercu bendung,
diambil sama dengan panjang lantai peredam energi yaitu 10,00 m.
c) Elevasi dekzerk tembok pangkal dilukis mercu :
Elevasi mercu bendunbg + Ha + jagaan = +86,50 + 3,0 m + 1,50 m = 91,00
d) Elevasi dekzerk tembok pangkal hilir mercu :
Elevasi dasar sungai + D2 + jagaan = + 82,75 + 3,26 m + 1,50 m = + 87,51
7.2 Tembok sayap
a) Panjang tembok sayap hilir
Lsi = 1,5 Ls = 1,5 x 10,0 m = 15,0 m
b) Elevasi dekzerk tembok sayap hilir : + 87,51

Gbr. 4.7 L3enttrk tlan Mown f'mrdcr.si I3ortdung

Gbr. 4.7 Bentuk dan Ukuran Fundasi Bendung


DAFTAR PUSTAKA

Departemen pekerjaan umum, 1990. Standard Tata Cara Perencanaan Teknik Bendung,
SKSNI, T-02-1990F, Jakarta

Ibid, 1986. Standar Perencaan Irigasi, Kriteria Perencanaan bagian Bangunan Utama,
KP-02. Jakarta.

Ibid, 1995. Pedoman Teknis Sedehana Bangunan Pengairan Untuk Pedesaan, Jakarta.

D.P.M.A. 1975. Laporan Penyelidikan Hidrolis Dengan Model Banka Protection Inatke
Bendung Glapan, Jateng, No. P. 369. Tidak diterbitkan.

Ibid. 1975. Laporan Penyelidikan Hidrolis Dengan Model Terhadap Revetmant Udik.
Tebing Intake Glapan Timur di K. Tuntang dengan Beberapa Alternatif Kontruksi,
No. P. 369 A. Tidak diterbitkan.

D.V. Joglekar. DR. 1971. Manual on River Behaviour Control and Training. Central
Board of Irrigation and Power, New Delhi.

Erman Mawardi, Drs. Dipl. AIT. 1990. Pedoman Pembuatan Tugas DPBA, Desain
Hidraulik Bendfung Tetap, Fakultas Teknik UNPAR, Diktat Kuliah.

Ibid. 1992. Kemajuan Jepang di Bidang Pangan Tinjuauan Terhadap Sistem Irigasi dan
Drainage, Tsukuba City, Japan, laporan Teknik Intern.

Ibid. 1994. Analisis Stabilitas Bendung Tetap, Fakultas Teknik UNPAR, Diktat Kuliah.

I.H.E and JICA. 1990. Engineering Manual For Irrigation dan Drainage Headworks.

M. Yusuf Gayo. Ir. dkk. 1985. Perbaikan dan Pengaturan Sungai, Terjemahan Jakarta.
Moch. Memed. Ir. Dipl. HE, dan Erman Mawardi, Drs. Dipl. AIT. 1993. Bendung Pada
Sungai Dengan Angkutan Sedimen Batu Gelundung. Publikasi HATHI. No. 6.

Ibid. Pengelak Angkutan Sedimen Tipe Undersluice Dengan Perencanaan Hidrolisnya.


Publikasi HATHI No. 8

Ibid. Petunjuk Perencanaan Teknik Hidraulik Bendung Dengan Peredam Energi Tipe
MDO, Publikasi HATHI No. 5.

Ibid, 1990. Pemakaian Beberapa Tipe Peredam Energi Bendung di Indonesia. Seminar
on Theory and Application on Hydraulic Phenomena of Hydraulic Structures, IHE
and JICA.

Ibid. 1998. Petunjuk Penentuan Lokasi Bendung. Seminar Desain Bendung, Bandung.

Nippon Koei Co. Ltd. And PT. Buana Archion. Design Note on Hydraulic Model Test and
Related Study for Lankeme Irrigation Project.

Paterka. A.J. 1963. Hydraulic of Stilling Basins and Energy Dissipators, USBR, Denver
Colarado.

Sadeli Wiramihardja. Ir. 1980. Computation of Permanent Weir. Directorate of Irrigation,


Dit. Gen. Of Water Resources Development. Ministry of Public Works and power.

Th.D.Van Maanen. Ir. 1924. Irrigation in Nederlandsch-Indie. Wilieyreden, Beokhandel


Visser & Co.
B I O G R A F I
Erman Mawardi, lahir 17 Juli 1948 di Puyakumbuh, Sumatera Barat.
Lulus dari Fakultas Keguruan Ilmu Teknik (FKIT) IKIP Bandung,
Jurusan Sipil tahun 1976. Melanjutkan studi di Asian Institute of
Technology (AIT) Bangkok, Thailand, Jurusan Hydraulic Engineering
tahun 1979. Training di NRIAE, Taukuba - Jepang pada bidang
Irrigation and Drainage Engineerin, Juli - September 1992, atas
bantuan pemerintah Jepang melalui JICA.
Training dalam negeri, yang pernah dilaksanakan adalah Seminar for Professional
Development Water Sector, Juni - Juli 1985 di Denpasar Bali, dan Training for Dam Safety,
1988 di Bandung yang diselenggarakan oleh USBR Colorado - USA yang bekerja sama
dengan Puslitbang Pengairan Balitbang P.U, Dep. P.U.
Jabatan yang disandan g adalah Ahli Peneliti Muda GoI. IV C Bidang Hidraulika, 2001
di Pusat Litbang Sumber Daya Air Balitbang Kimpraswil, Dep. Kimpraswil.
Publikasi di Prosiding Internasional antara lain:
 Hydraulic Model Test for the Cisokan Weir. Java Indonesia. Proc. Japanese Society
Irrigation and Drainage and Reclamation Engineering, Hokkaido, Japan, 1992.
 River Morfology Impact of Proposed Bili-Bili Dam, Proc. of JICA-IPB. Bogor, 1992.
 Destruction of the Cipamingkis River Environment. West Java Indonesia, Proc. of the
International Conference Oil Environmentally Sound Water Resources Utilization, Ban-
kok, Thailand, 1993.
 Application of a Bucket type Energy Dissipator for Low Head a Case Study of The Weir
in Indonesia. Proc. 11th Congres of the IAHR-APD, Yogyakarta, Indonesia, September
8-10, 1998.
 Damage of the Cipager Weir in West Java, Indonesia, A Cause of Flood and its Counter
Measures, Proc. Symposium on Japan-Indonesia IDNDR Project. Bandung. Lndonesia,
1998.
e Fishway at Perjaya Headworks, Komering River, South Suwalera lndone sia (Field
Observation and Evaluation) Proc. International Symposium on Fishway and Tropical
River Eco-Hydraulics, Yogyakarta. Indonesia. September 4-5. 2001.
Publikasi pada buku yang diterbitkan yaitu : Bangunan sadap untuk Irigasi Desa,
ISBN; 979-3197-16-1, Puslitbang Sumber Daya Air, 2002, dan Membangun Kincir Air
Pengambil Air Baku, ISBN; 979-3197-10-2, Puslitbang Sumber Daya Air, 2002.
Organisasi Profesi yang pernah dan sedang digeluti adalah Anggota Pengurus
Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia, 1983-sekarang. Anggota Pengurus HATHI
Cabang Bandung, 1999-2002. Member of International As-sociation for Hydraulic
Research (IAHR), 1985-1999.
Pengabdian dalam bidang pendidikan adalah dosen tidak tetap di Jurusan FKIT-IKIP
Bandung, 1976-1978 dan Tenaga Pangajar di Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas
Parahyangan, 1990-sekarang.
B I O G R A F I
Ir. MOCH MEMED, Dipl., HE., APU., lahir di
Sukabumi 25 Mei 1937. Lulus Jurusan Sipil Basah ITB tahun
1964. Melanjutkan di Pasca Sarjana Delft. Jurusan Experimental
and Theoretical Hydraulics.
Bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan menjahat Kasi
Hidrolika Sungai LPMA tahun 1907. Kasi Hidrolika Clmum
ttthun 1975, Kasubdit Hidraulika tahun 1982.
Ka Balai Penyelidikan Hidrolika 1997, dan sebagai Ahli Peneliti Muda 1994, Ahli
Peneliti Madya 1997 dan terakhir Ahli Peneliti Utama tahun 2000. pensiun dan PNS dengan
pangkat Ahli Peneliti Utama Gol. IVE pada bulan Juni 2002.
Tanda Jasa yang diperoleh : Penghargaan Tanda Kehormatan Satya Lencana
Pembangunan dari Presiden RI 1980, Piagam Penghargaan Menteri PU 1980, Piagam Satya
Lencana Karya Satya XX (dua puluh) tahun dari Menteri PU 1982, Piagam Penghargaan
Jasa-jasa atas Jasa-jasa Khusus Teknis Kekaryaan dari Menteri PU 1990, Piagam Satya
Lencana dari Presiden RI tahun 1992 dan Piagam Satya Lencana Karya Satya 30 Tahun dari
Presiden RI 1997.
Salah seorang pendiri Himpunan Ahli Teknik Hidraulic Indonesia (HATHI) dan
pernah menjabat sekretaris umum pengurus pusat HATHI pada beberapa periode
kepengurusan.
Aktif menyampaikan puluhan makalah pada seminar nasional dan internasional di
berbagai negara dan pada pertemuan ilmiah tahunan (PIT) HATHI.
Sekarang bekerja sebagai tenaga pengajar di UNJANI dan ITB, serta bekerja pula
sebagai tenaga advisor pada konsultan lokal Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai