Anda di halaman 1dari 44

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

KETERDAPATAN UNSUR LITHIUM


DALAM SISTEM PANAS BUMI

KARYA REFERAT

Disusun oleh:

MAHAJANA HATMANDA
08 / 264901 / TK / 33595

YOGYAKARTA
2011
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

KETERDAPATAN UNSUR LITHIUM


DALAM SISTEM PANAS BUMI

REFERAT
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikulum program strata 1
Jurusan Teknik Geologi
Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada

Disusun Oleh :

MAHAJANA HATMANDA
08 / 264901 / TK / 33595

YOGYAKARTA
2011
LEMBAR PENGESAHAN

KETERDAPATAN UNSUR LITHIUM


DALAM SISTEM PANAS BUMI

REFERAT

Mengetahui, Yogyakarta, September 2011


Dosen Pembimbing Penyusun

Dr. Agung Harijoko,M.Eng. Mahajana Hatmanda


NIP. 08/264901/TK/33595
INTI SARI

Di beberapa negara, keterdapatan lithium dalam bentuk mineral di alam sangat sedikit.
Sementara itu untuk mengekstraksi lithium dari air laut secara komersial juga sangat
sulit karena konsentrasinya yang sangat kecil, yaitu sekitar 0,18 ppm. Oleh karenanya
ekstraksi lithium dari fluida panas bumi tampak menjanjikan dengan konsentrasi yang
dapat mencapai 10 ppm bahkan lebih. Sejak akhir dari perang dunia ke dua produksi
lithium di dunia meningkat dengan cepat. Peningkatan jumlah produksi lithium ini
berkaitan dengan penemuan-penemuan tentang kegunaan lithium di dunia industri.
Pada tahun – tahun terakhir abad ke dua puluh, lithium menjadi penting sebagai
mineral untuk anoda baterai karena tingginya potensial elektriknya secara kimiawi.
Terdapatnya kandungan lithium yang cukup signifikan di beberapa sistem panas bumi
di dunia serta semakin meningkatnya kebutuhan dunia akan unsur lithium di berbagai
bidang industri membuat proses ekstraksi lithium dari fluida panas bumi (heat carrier)
semakin dikembangkan.
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ............................................................................................. i


Lembar Persembahan ......................................................................................... ii
Kata Pengantar .................................................................................................... iii
Daftar Isi.............................................................................................................. iv
Daftar Gambar..................................................................................................... v
Sari ...................................................................................................................... vi
Bab I. Pendahuluan............................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
I.2 Maksud dan Tujuan........................................................................... 1
I.3 Pembatasan Masalah ........................................................................ 2
Bab II. Panas Bumi.......................................................................................... 3
II.1 Pengertian Panas Bumi..................................................................... 3
II.2 Sistem Panas Bumi........................................................................... 3
II.3 Klasifikasi Sistem Panas Bumi....................................................... 6
Bab III. Fluida Panas Bumi............................................................................... 12
III.1 Sumber Fluida Panas bumi ........................................................... 12
III.2 Evolusi Fluida Panas bumi.............................................................. 13
III.3 Komposisi Fluida Panas Bumi........................................................ 17
Bab IV. Lithium Di Geotermal............................................................................. 23
IV.1 Sumber Dan Kegunaan Lithium Di Dunia........................................ 23
IV.2 Lithium di Fluida Panas Bumi......................................................... 26
IV.3 Proses Eksrtaksi Lithium Dalam Fluida Panas Bumi....................... 27
IV.4 Perhitungan Ekstraksi Lithium di Lapangan Panas Bumi Wayang
Windu, Indonesia.......................................................................... 32
Bab V. Kesimpulan................................................................................................ 30
Daftar Pustaka........................................................................................................ 32
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Penampang Sistem Panas Bumi 6


Gambar 2.1. Hubungan Antara Temperatur Didih Dengan Kedalaman 14
Gambar 3.2. Diagram Klasifikasi Tipe Air Panas Bumi 18

Gambar 4.1. Unsur Lithium 23


24
Gambar 4.2. Mineral Spodumene
24
Gambar 4.3. Mineral Lepidolite
26
Gambar 4.4. Diagram Penggunaan Lithium Dunia
28
Gambar 4.3. Diagram Proses Pemanfaatan Fluida Panas Bumi
Gambar 4.5. Grafik Residual Li Dalam Fluida Di Lapangan Panas Bumi Cesano 31
Gambar 4.6. Tabel Komposisi Kimia Sumur- Sumur Panas Bumi Di Indonesia 33
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang berada dalam tatanan tektonik active
margin, yaitu tempat bertemunya lempeng eurasian, lempeng Indo-Australian,
dan lempeng pasific. Bertemunya 3 lempeng tektonik tersebut membuat Indonesia
memiliki zona subduksi aktif sepanjang Pulau Sumatera sampai selatan Nusa
Tenggara Timur dan dari Maluku Utara sampai Barat Daya Pulau Papua.
Penunjaman lempeng ini memberi peranan penting bagi terbentuknya sumber
energi panas bumi di Indonesia. Dengan adanya zona subduksi akitif ini Indonesia
mempunyai banyak gunung api yang membentuk suatu jajaran gunung api di
sepanjang zona subduksi tersebut. Hal ini membuat Indonesia sangat berpotensi
dalam pengembangan energi panas bumi.
Dalam perkembangan sumber energi panas bumi, terdapat suatu
pertanyaan penting mengenai pemanfaatan heat carrier (fluida panas bumi). Heat
carrier (fluida geothermal) yang telah dipompa untuk menggerakkan turbin
biasanya hanya diinjeksikan kembali ke reservoir. Keterdapatan fluida panas bumi
yang sangat saline membuat ekstraksi mineral dari fluida panas bumi ini menjadi
sering dipertimbangkan. Lithium adalah salah satu mineral dalam fluida panas
bumi yang memiliki nilai potensial untuk diekstraksi (Belova, 2010).
Di beberapa negara, seperti Jepang dan Rusia keterdapatan lithium dalam
bentuk mineral di alam sangat sedikit. Sementara itu untuk mengekstraksi lithium
dari air laut secara komersial juga sangat sulit karena konsentrasinya yang sangat
kecil, yaitu sekitar 0,18 ppm. Oleh karenanya ekstraksi lithium dari fluida panas
bumi tampak menjanjikan (Yoshinaga, 1982)

I.2. Maksud dan Tujuan


Penulisan referat dengan judul keterdapatan Unsur Lithium dalam Sistem
Panas bumi ini dilakukan dengan untuk mengetahui kehadiran unsur lithium
dalam sistem panas bumi sebagai sumber unsur lithium yang dapat dimanfaatkan
secara ekonomis.

1
Sedangkan tujuan dari penulisan referat ini adalah :
1. Mengetahui kandungan fluida panas bumi.
2. Mengetahui keterdapatan unsur lithium di sistem panas bumi.
3. Mengetahui metode-metode yang digunakan untuk mengekstraksi lithium
dari fluida geothermal.

I.3. Batasan Masalah


Dalam penulisan karya referat dengan judul Keterdapatan Unsur Lithium
di sistem panas bumi ini akan dibahas mengenai sistem panas bumi secara umum
beserta klasifikasinya. Secara lebih khusus akan di bahas mengenai fluida sebagai
heat carrier dalam sistem panas bumi, mencakup tentang sumber fluida, jenis
fluida panas bumi, dan komposisi fluida panas bumi.
Lalu akan dibahas lebih lanjut tentang proses-proses serta metode yang
digunakan untuk mengekstraksi unsur lithium yang terkandung dalam fluida
panas bumi selama proses pemboran produksi berlangsung.

2
BAB II
PANAS BUMI

II. 1. Pengertian Panas Bumi


Terminologi panas bumi (geothermal) mengacu pada energi panas yang
berada di dalam bumi yang secara umum digunakan untuk menunjukkan sistem,
dimana panas bumi terkonsentrasi dengan cukup untuk membentuk suatu sumber
energi. (L. Rybach dan L. J. P. Muffler, 1981).
Menurut Ellis dan Mahon (1977) energi panas bumi digunakan untuk
menunjukkan pada energi yang berpotensi untuk dimanfaatkan yang tersimpan
sebagai air panas atau uap dalam kondisi geologi yang memungkinkan di
beberapa kilometer dalam kerak bumi bagian atas.
Secara umum energi panas bumi dapat diartikan sebagai energi panas di
dalam kerak bumi bagian atas yang terbentuk akibat adanya anomali gradien
panas bumi yang terakumulasi dan terbawa oleh suatu fluida sehingga dapat
diambil dan diekstrak secara ekonomis.

II. 2. Sistem Panas Bumi


Sistem panas bumi merupakan suatu sistem di mana terjadi perpindahan
panas dari sumber panas ke reservoir oleh adanya konveksi fluida (air) secara
alami pada kerak bumi (Hochstein, 1990). Agar energi panas bumi dapat
terakulmulasi dalam suatu sistem, harus dipenuhi beberapa kondisi atau syarat-
syarat tertentu. Menurut Gupta (1980), syarat- syarat terbentuknya sistem panas
bumi adalah adanya sumber panas, batuan permeable sebagai reservoir tempat
terakumulasinya fluida pembawa panas, dan batuan penudung. Syarat lain untuk
membentuk sistem panas bumi adalah adanya air bawah tanah dan struktur
geologi sebagai jalan masuknya air tanah mendekati sumber panas.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa sistem panas bumi dapat
terbentuk jika ada komponen-komponen yang saling berhubungan secara dinamis
sebagai syarat-syarat terbentuknya sistem panas bumi.

3
Sumber Panas (Heat Source)
Sumber panas (heat source) berperan sebagai pemanas fluida di dalam
batuan reservoir. Fluida yang telah dipanasi ini akan bersirkulasi sebagai akibat
adanya arus konveksi. Fluida ini akan membawa panas dari sumber panas
sehingga dapat dimanfaatkan. Sumber panas dalam sistem panas bumi dapat di
bagi menjadi 3 menurut Hochstein dan Browne (2000), yaitu :
1. Intrusi magma pada kerak bumi
2. Intracurustal non magmatic
3. Aliran panas konduktif dalam kerak bagian atas

Batuan permeable sebagai reservoir


Untuk membentuk reservoir panas bumi sumber panas (heat source) harus
menembus batuan atau formasi yang memiliki porositas dan permeabilitas tinggi
sehingga dapat terisi air sebagai fluida pembawa panas. Beberapa batuan
diketahui memiliki kualitas yang baik sebagai reservoir panas bumi. Batuan
tersebut dapat berupa batu gamping atau dolomit yang terkekarkan secara intensif,
batupasir greywacke, atau breksi pumis dan tuff, selain itu dapat pula batupasir
deltaic. Reservoir yang baik dapat juga terbentuk pada unconformity dan batas
formasi dikarenakan memiliki permeabilitas yang bagus dan memiliki suplai air
dan kontinuitas hidrolik yang bagus. (Gupta, 1980).

Batuan Penudung
Keberadaan batuan penudung (cap rock) dengan permeabilitas rendah
yang terletak di atas batuan reservoir sangat penting untuk mencegah lepasnya
fluida pembawa panas secara konveksi. Meskipun lepasnya panas secara konduksi
tidak dapat dicegah oleh batuan penudung (cap rock), namun panas yang lepas
secara konduksi sangat kecil dibandingkan hilangnya panas secara konveksi.
Batuan penudung terbentuk akibat adanya alterasi hidrotermal yang
membentuk zona kaya mineral lempung yang memiliki permeabilitas rendah.
Karena volkanisme berkaitan erat dengan tektonisme maka kehadiran retakan-
retakan di batuan penudung tidak dapat dihindari. Namun proses geokimia seperti
pengendapan mineral alterasi hidrotermal yang terjadi di sekitar daerah

4
volkanisme sangat membantu dalam menyumbat retakan-retakan tersebut.
Mineral-mineral seperti calcite dan silica dapat menyumbat retakan-retakan di
batuan penudung sehingga dapat mencegah bocornya reservoir. Proses-proses
hidrotermal dan geokimia di reservoir sangat kompleks dan rumit serta bervaiasi
antara satu tempat dan tempat lain (Gupta, 1980).

Fluida pembawa panas (heat carrier)


Sumber dari fluida pembawa panas dalam sistem panas bumi sebagian
besar berasal dari air meteorik dan sebagian berasal dari air magmatik. Fluida
dalam sistem panas bumi ini berperan dalam menyimpan energi panas dari
sumber panas (heat source). Dalam suatu sistem panas bumi fluida pembawa
panas ini akan terkumpul di reservoir dan mengalami sirkulasi (Gupta, 1980).

Zona permeable
Zona permeable berperan sebagai jalan masuknya air meteorik sebagai
fluida pembawa panas di sistem panas bumi mendekati sumber panas (heat
source). untuk dapat menjadi jalan (pathway) fluida mendekati sumber panas
maka zona permeable ini harus memiliki kedalaman yang cukup dalam. Zona
permeable ini dapat berupa sesar besar. Sesar yang berpotensi sebagai pathway
fluida panas bumi dapat berupa sesar normal yang membentuk suatu opening pada
bidang sesarnya. Selain sesar normal, sesar geser juga dapat menjadi pathway
yang baik karena asosiasi sesar geser dapat membentuk pull apart basin yang
berasosiasi dengan sesar turun. (Gupta, 1980)
Secara ideal panas bumi dengan heat source berupa intrusi magmatik di
daerah volkanik dapat digambarkan pada gambar di bawah.

5
Gambar 1.1. Penampang Sistem Panas Bumi ( Nicholson, 1993)

II. 3. Klasifikasi Sistem Panas Bumi


Sistem panasbumi dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa parameter.
Salah satu parameter dalam klasifikasi sistem panas bumi adalah suhu dari
reservoir panas bumi. Berdasarkan suhu reservoir nya panas bumi dapat dibagi
menjadi 3, yaitu low temperature reservoir (T<125oC), intermediate temperature
reservoir (T 125-225oC), dan high temperature reservoir (T>225oC) (Hochstein,
1990).

1. Sistem Temperatur Rendah


a. Akuifer Cekungan Sedimen (Aquifers in sedimentary basin)
Pada sistem ini akuifer/reservoir dapat meliputi daerah yang luas (500km2 atau
lebih). Fluidanya bersifat stagnan/tidak bergerak, biasanya termineralisasi dan
saline (marine pore fluids). Perpindahan panasnya secara konduktif, dan suhu
akuifer dikontrol oleh terrestrial heat flux, konduktivitas panas batuan dan
kedalaman akuifer, dengan kisaran suhu reservoir biasanya 60-75oC.

6
b. Akuifer Dasar Dibawah Cekungan Sedimen (Basement aquifer
beneath sedimentary basins)
Merupakan akuifer dengan permeabilitas tinggi yang berada pada basement yang
tertutup oleh sekuen batuan sedimen dengan permeabilitas rendah. Yang biasanya
terjadi adalah forced convection di mana fluida bergerak dari tengah ke tepi
cekungan. Suhu reservoir biasanya berkisar 50-65oC. Sistem ini terdapat di Cina,
Italia, Swiss, dan Amerika
c. Sistem Mata air panas ( Warm spring systems )
Sistem ini umum dijumpai di kaki-kaki gunung, yang berasosiasi dengan
deep reaching fracture dan berpermeabilitas tinggi. Panas berasal dari terrestrial
heat flow yang dipindahkan secara konveksi dengan suhu 60-80oC
d. Sistem Tekanan (Geopressured systems)
Sistem ini terdapat pada bagian dalam dari cekungan sedimen. Akibat
pengendapan cepat dan pembentukan sesar listrik, pada beberapa bagian cekungan
akan terbentuk penudung sehingga menghasilkan tekanan litostatik. Panas
terbentuk karena adanya gradien tekanan yang menghasilkan anomali
temperature. Suhu pada sistem ini dapat mencapai 100-120oC (pada kedalaman 2-
3 km).
2. Sistem Temperatur Menengah (Intermediate temperature system)
Perpindahan panasnya biasanya konvektif dengan reservoir jenuh air,
kehilangan panas alamiah (natural heat loss) biasanya cukup besar (3-30 MWt).
Sumber panas berupa intrusi dalam atau kerak bagian atas yang panas (hot upper
crust ). Sistem panas bumi ini dapat dibagi menjadi :
a. Narrow Fracture Zone System
Reservoir pada sistem ini tersusun oleh rekahan yang sempit dan
merupakan hasil tektonik muda. Sistem ini memiliki permeabilitas
vertikal yang sangat tinggi dan dikelilingi oleh batuan berpermeabilitas
rendah (Huang dan Goff dalam Hochstein, 1995)
b. Fracture Zone System with High Temperature at Sweep Base
Sistem ini dihasilkan oleh deformasi atau intrusi yang dalam. Suhu
rata-rata reservoir pada sistem ini >125oC.

7
c. Wide Fracture Zone System
Sistem panas bumi ini dicirikan oleh zona rekahan yang lebih besar
dari 100 m. Tingkat permeabilitas vertikal di sistem ini menengah.
d. Large system with Intermediete Temperature
Dicirikan oleh persebaran fluida panas bumi yang luas secara lateral
dari zona rekahan.
e. Wide Fracture Zone System in Steep Terrain
Pelepasan panas pada sistem panas bumi ini melalui secondary
reservoir dengan suhu < 165oC. Sumber panas berasal dari kerak
bagian bawah yang terdeformasi.
3. Sistem Temperatur Tinggi (High temperature system)
Sistem ini hanya terdapat dalam tatanan tektonik lempeng active plate
margin, yang umumnya berasosiasi dengan vulkanisme dan deformasi kerak
bumi.
a. Sistem Air Panas (hot water systems)
- Pada medan datar
Reservoir yang produktif berada di bawah zona manifestasi permukaan.
Pengendapan mineral hidrotermal umumnya terjadi pada bagian atas reservoir dan
pada bagian sistem di mana fluida panas bertemu dengan air permukaan yang
dingin.
- Pada medan terjal
Perbedaan utama dengan hot water system pada medan datar adalah pola
aliran fluidanya. Pengeluaran panas alamiah umumnya terjadi melalui mekanisme
“concealed lateral outflow” (semacam seepage pada zona lateral). Pada sistem ini
biasanya terdapat uap (minor) hasil evaporasi pada bagian atas reservoir yaitu
kondensasi uap dan oksidasi H2S yang menghasilkan kondensat asam, dan batuan
yang terdapat di atas reservoir utama umumnya teralterasi oleh aktivitas uap
tersebut.
b. Sistem air Asin (Hot brine systems)
Mata air asin (brine) pada sistem ini kemungkinan terbentuk dari konveksi
air pada hot water system yang melarutkan evaporit. Pada sistem ini suhu
reservoir umumnya tinggi (di Salton Sea, Utah mencapai 300o C), dengan transfer

8
panas secara konduktif dan heat loss relatif kecil (< 30 MWt). Karena fluidanya
bersifat salin, maka sangat mudah menimbulkan korosi.
Two phase systems
Pada sistem ini permeabilitas batuan di dalam dan di luar reservoir relatif
lebih rendah dari hot water system, dan sering terdapat penurunan permeabilitas
vertikal, saturasi dan entalpi fluida.
c. Sistem Dominasi Uap Air (Vapor-dominated System)
Keterdapatan sistem ini termasuk langka di dunia. Dapat terbentuk apabila
natural recharge sangat kecil karena permeabilitas di luar reservoir rendah.
Umumnya pada bagian atas reservoir terbentuk lapisan kondensat yang tebal, di
mana bagian atas kondensat bersifat asam. Heat loss lebih kecil dibandingkan hot
water system pada ukuran yang sama.
d.Sistem Panasbumi Gunungapi (Volcanic geothermal system)
Ciri khas dari system ini adalah adanya kondensat tebal di atas reservoir
dengan kandungan gas vulkanik yang reaktif misalnya HF dan HCl. Sistem ini
sering dikatagorikan dalam sesumber yang sub-ekonomis.
Berdasarkan dominansi fluida pembawa panasnya Hochenstein dan
Browne membagi sistem panas bumi menjadi 3, yaitu liquid dominated system,
high temperature 2 phase system, dan vapour dominated system.
Goff dan Janik (2000) membagi tipe-tipe sistem panas bumi berdasarkan
kriteria geologi, hidrologi, dan teknik pengambilan energi panasnya menjadi 5,
yaitu young igneous rock system, tectonic system, geopressured system, hot dry
rock system, dan magma tap system. Dua tipe sistem panas bumi di atas
membutuhkan injeksi fluida ke dalam reservoir untuk mengeksploitasi energi
panasnya. Hal ini disebabkan tidak terdapatnya fluida di dalam reservoir panas
bumi secara alami. Tipe sistem panas bumi yang membutuhkan injeksi fluida ke
dalam reservoir tersebut adalah hot dry rock system, dan magma tap system.
Sementara itu untuk young igneous rock system, tectonic system,dan geopressured
system tidak membutuhkan injeksi fluida ke dalam reservoir.
a. Young Igneous System
Dalam Young igneous system energi panas dihasilkan oleh volkanisme dan
asosiasi dapur magma dangkal. Sistem panas bumi ini 95 % tersebar sepanjang

9
batas lempeng tektonik dan hot spot. Air meteorik menapis ke bawah tanah dan
dipanasi oleh intrusi magmatik sebagai sumber panas. Air meteorik tersebut
kemudian bersirkulasi secara konveksi sebagai fluida panas bumi. Sistem panas
bumi dengan sumber panas berupa intrusi ini memiliki temperatur reservoir paling
tinggi sekitar ≤370oC, sehingga termasuk dalam high temperature reservoir.
Kedalaman reservoir dari sistem panas bumi ini sekitar ≤1,5 km. Fluida panas
bumi pada young igneous system ini mengalami pengkayaan komposisi akibat
penambahan volatil magma yang membuat fluida tersebut bersifat asam dan dapat
melarutkan batuan sekitarnya.
b. Tectonic System
Tectonic geothermal system dapat terbentuk pada rift valley, seperti di
Afrika, di mana material mantel bagian atas yang panas menjadi sumber
panasnya. Hal ini dapat terjadi karena adanya penipisan kerak akibat rifting.
Selain pada zona rifting Tectonic geothermal system dapat juga terbentuk pada
zona patahan besar berupa sesar naik. Adanya sesar naik dengan skala besar
mengakibatkan bagian dari mantel bagian atas bergerak mendekati permukaan
membuat anomali gradien geothermal. Bagian dari mantel bagian atas tersebut
menjadi sumber panas untuk sistem panas bumi ini. Temperatur reservoir pada
sistem panas bumi ini dapat bervariasi dari low temperature reservoir hingga
intermediete temperature reservoir.
c. Geopressured System
Sistem panas bumi ini terdapat di cekungan sedimen dimana terjadi
subsidence dan lapisan sedimen yang mengandung fluida yang tertimbun menjadi
panas akibat bertambahnya kedalaman dan pembebanan akibat sedimen di
atasnya. Geopressured geothermal system ini sedikit menyerupai sistem
hidrokarbon. Sistem panas bumi ini terletak pada kedalaman antara 1,5 km – 3
km. Temperatur reservoir pada sistem panas bumi ini berkisar antara 50 oC – 90oC,
sehingga sistem panas bumi ini termasuk dalam low temperature reservoir.
d. Hot Dry Rock System
Hot dry rock system umumnya terdapat pada kerak benua di mana batuan
granit yang panas sebagai sumber panasnya. Sistem panas bumi ini memiliki
temperatur yang cukup tenggi sekitar ≥ 200oC. Namun dalam sistem panas bumi

10
ini hampir tidak memiliki aliran fluida karena rendahnya permeabilitas dari batuan
penyusun sistem panas bumi ini.
Karena tidak adanya fluida yang bersirkulasi akibat rendahnya
permeabilitas batuan penyusun sistem panas bumi ini, maka diperlukan
pemompaan fluida ke dalam batuan hingga mendekati sumber panasnya untuk
kemudian diambil energi panasnya dengan memompa fluida tersebut ke
permukaan kembali.
e. Magma Tap System
Eksploitasi energi panas dalam sistem panas bumi ini dilakukan dengan
melakukan pengeboran ke tubuh magma dangkal. Pengeboran dilakukan untuk
memompakan air atau fluida mendekati sumber panas berupa tubuh magma
sehingga energi panas dapat dieksploitasi menggunakan fluida yang dipompa
tersebut. Sistem panas bumi ini memiliki temperatur yang tinggi sekitar 1200 oC
akan tetapi untuk mengeksploitasi energinya harus menggunakan heat exchanger.
Selain itu eksploitasi energi pada sistem panas bumi ini membutuhkan modal
yang besar karena memerlukan material yang tahan korosi. Hal ini diseabkan
karena volatil – volatil magma membuat fluida pembawa panas bersifat asam.

11
BAB III
FLUIDA PANAS BUMI

III. 1. Sumber Fluida Panas bumi


Air yang menyusun fluida panas bumi dapat berasal dari berbagai sumber.
Fluida panas bumi dapat merepresentasikan air meteorik yang menerobos masuk
ke kedalaman beberapa kilometer melalui rekahan – rekahan dan zona permeable.
Fluida panas bumi juga dapat merepresentasikan air yang telah terkubur bersama
sedimen (air formasi). Sumber lain dari fluida panas bumi dapat berupa air yang
telah berevolusi dalam proses metamorfosa (metamorphic waters) dan dapat juga
berupa berasal dari magma (magmatic water) (Nicholson, 1991).
Menurut Craig (1963) dalam Nicholson (1993) fluida panas bumi berasal
dari air meteorik. Penelitian tersebut berdasarkan pada data isotop alam stabil
deuterium yang terkandung dalam fluida panas bumi. Kandungan deuterium
dalam fluida panas bumi tersebut dibandingkan dengan air meteorik lokal. Hasil
yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan deuterium
di fluida panas bumi hampir konstan dan sama dengan kandungan deuterium yang
terkandung dalam air meteorik lokal. Sementara itu menurut Ellis dan Mahon
(1964, 1967) dalam Nicholson (1993) menyatakan bahwa semua larutan dalam
fluida panas bumi dapat berasal dari reksi antara air meteorik dan batuan
sampingnya, walaupun demikian larutan di fluida panas bumi dapat juga
mendapat kontribusi dari air formasi, air laut, dan juga air magmatik.
Kontribusi air magmatik dalam fluida panas bumi hanya berkisar antara 5
– 10 %. Meskipun kontribusi air magmatik dalam fluida panas bumi sedikit akan
memberikan efek yang signifikan terhadap komposisi kimia fluida panas bumi,
berdasarkan :
1. Rasio air – batuan
2. Kandungan klorida dari batuan samping
3. Konsentrasi klorida dalam air bersuhu tinggi
4. Luas sistem panas bumi
5. Lama durasi dari sistem panas bumi tersebut.

12
Berdasarkan pada penelitian oleh Ellis dan Mahon (1964, 1967) dan
Mahon (1967) dalam Nicholson (1993) diketahui bahwa reaksi antara batuan
dengan air di suhu kurang dari 300oC terjadi sangat lambat dalam kondisi statik.
Tetapi sebagian besar Boron dan Klorida (50% - 80%) dapat larut sebelum altersai
hidrotermal dapat diamati.

III. 2. Evolusi Fluida Panas bumi


Dengan mengetahui bahwa terdapat penambahan sumber fluida selain air
meteorik dan larutannya, maka perubahan atau evolusi dari fluida panas bumi
pada lapangan panas bumi bertipe liquid-dominated system dapat didirumuskan.
Pada mulanya air meteorik (air hujan, air tanah dangkal, dsb) masuk ke dalam
kerak bumi melalui zona permeable seperti sesar dan bersirkulasi di kedalaman
sekitar 5 – 7 km. Sewaktu air meteorik ini turun, air tersebut dipanasi oleh
sumber panas, sehingga air panas tersebut bereaksi dengan batuan sampingnya
dan naik kembali ke atas akibat pemuaian karena panas sehingga menurunkan
berat jenisnya (efek konveksi). Air yang bersirkulasi di kedalaman ini adalah
fluida klorida panas bumi primer dan semua fluida panas bumi lain bersal secara
langsung maupun tidak langsung dari air klorida ini. Air ini dapat mengandung
1000-10000 mg/kg Cl dengan temperatur mencapai 350oC.
Klorida sebagai unsur yang mudah terlarut merupakan yang pertama
terlepas dari batuan samping dan larut dalam air panas bumi, sehingga menjadi
anion utama dalam fluida di reservoir panas bumi diikuti oleh unsur-unsur lain
yang dikontrol oleh reaksi kimia yang bergantung pada suhu dan tekanan di
kondisi reservoir. Reaksi kimia ini mengubah mineralogi primer dari batuan
samping menjadi mineral alterasi khusus yang dapat menunjukkan karakteristik
fluida panas bumi dan temperaturnya. Fluida panas bumi tersebut tertahan di
dalam zona permeable membentuk reservoir panas bumi dengan kesetimbangan
mineral-fluida dan membentuk deretan mineral sekunder hasil alterasi (Nicholson,
1993).
Saat fluida panas bumi di reservoir naik menuju permukaan melalui zona
permeabel, fluida tersebut mengalami pengurangan tekanan sehingga dapat terjadi
pendidihan (boiling) dan membentuk zona 2 fase (uap dan liquid). Proses boiling

13
merupakan proses pemisahan fase, di mana uap dan gas yang terlarut dalam fluida
memisahkan diri dari fase cairnya. Proses boiling ini merupakan proses penting
yang mengontrol kandungan unsur kimia dalam cairan dan uap yang dilepaskan.
Air klorida yang tersisa dalam reservoir panas bumi yang telah mengalami boiling
dapat keluar langsung ke permukaan sebagai mata air panas atau dapat mengalir
secara lateral dan mucul ke permukaan beberapa kilometer dari reservoir sebagai
mata air. Sementara itu uap dan gas yang telah terpisah dari fluida reservoir panas
bumi dapat langsung naik ke permukaan menbentuk fumarol atau mengalami
pendinginan dan terkondensasi akibat bertemu dengan air tanah dangkal. Gas
yang dilepaskan mengandung SO2, SO3, CO2, sehingga ketika terkondensasi
membentuk asam sulfat dan atau asam bikarbonat. Hubungan antara temperatur
boiling dengan kedalaman ditunjukkan dalam gambar 2.1.

Gambar 2.1. Hubungan antara temperatur didih dengan kedalaman (Nicholson, 1993)

Pada gambar di atas daerah di dalam kurva menunjukkan air masih dalam
fase cair, sedangkan di luar kurva menunjukkan air dalam fase gas. Berdasarkan
grafik di atas semakin besar kedalaman maka tekanan akan semakin besar

14
sehingga air murni membutuhkan temperatur yang lebih tinggi untuk dapat
mengalami boiling sesuai dengan kurva. Tetapi untuk air dengan zat terlarut
tertentu kurva boiling untuk air dapat bergeser ke kiri (menurunkan titik didih)
atau ke kanan (menaikkan titik didih), seperti yang ditunjukkan oleh kurva dengan
penambahan NaCl dan CO2.
Asumsi yang digunakan dalam grafik di atas adalah tekanan yang bekerja
pada fluida, di mana semakin besar tekanan maka titik didih akan semakin
meningkat, tetapi keyataannya batas tekanan yang berlaku berada 10% di atas
tekanan yang sebenarnya dalam sistem panas bumi. Tekanan berlebihan ini
dihasilkan dari gaya Bouyancy air panas yang menekan ke atas relatif terhadap air
dingin dan tekanan dari recharge air di daerah dengan relief yang lebih tinggi (
Grant et al., 1982; Henley, 1985 dalam Nicholson, 1993). Sehingga fluida panas
bumi dapat memiliki suhu yang lebih tinggi saat boiling pada kedalaman yang
lebih dangkal daripada yang diberikan kurva yang menjadikan proses boiling
terjadi pada kedalaman yang lebih dangkal.
Meskipun dalam grafik salinitas mempengaruhi kurva boiling, tetapi
dalam sistem panas bumi perubahan salinitas tudak banyak berpengaruh pada
kedalaman boiling. Perubahan secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan
kandungan gas dalam fluida. Penambahan beberapa persen berat gas dalam fluida
panas bumi menyebabkan boiling terjadi pada tempat yang lebih dalam.
Proses boiling menyebabkan berbagai perubahan pada fluida panas bumi.
Salah satunya adalah peningkatan konsentrasi zat-zat terlarut kecuali gas dalam
fluida yang masih dalam fase cair. Pengkayaan kadar zat-zat terlarut ini terjadi
karena sebagian zat pelarut berubah menjadi fase gas (steam). Jika kadar zat
terlarut sangat jenuh maka akan terjadi presipitasi mineral sekunder. Selain
meningkatkan konsentrasi zat terlarut di fluida panas bumi, proses boiling dapat
juga menyebabkan kenaikan PH fluida akibat lepasnya gas SO2, SO3, dan CO3
yang bersifat asam.
Proses Boiling juga menurunkan temperatur fluida yang tersisa seiring
dengan pelepasan uap dari fluida asal. Fluida dengan fase cair yang tersisa dari
proses boiling ini jika mencapai permukaan akan menjadi mata air hangat. Air
hangat ini sangat sesuai digunakan untuk mengetahui temperatur air di reservoir

15
menggunakan berbagai metode geotermometer. Mata air yang cocok untuk
digunakan dalam metode geotermometer sebaiknya memiliki debit yang cukup
besar, yaitu sekitar 1-3 L/s. Hal ini diasumsikan bahwa dengan debit sebesar itu
fluida geothermal tersebut bergerak dengan cepat ke permukaan sehingga sangat
sedikit kontak dengan batuan di sampingnya yang menyebabkan reaksi dengan
batuan samping menjadi minimal. Dengan sedikitnya reaksi dengan batuan
samping selama perjalanan fluida tersebut ke permukaan diharapkan fluida
tersebut masih mewakili kondisi reservoir (Nicholson, 1993)
Untuk mata air dengan debit < 1,5 L/s diasumsikan telah mengalami
penurunan suhu secara konduksi dengan batuan samping, sehingga salama kontak
dengan batuan samping fluida tersebut telah mengalami reaksi dengan batuan
samping dan dapat mengubah komposisi fluida sehingga tidak mewakili kondisi
reservoir. Mata air ini kurang cocok digunakan untuk penghitungan
geotermometer untuk perkiraan suhu di reservoir.
Selain boiling, proses lain yang dapat terjadi pada fluida panas bumi
adalah pencampuran (mixing) dengan air tanah atau dengan air formasi. Proses
mixing ini menyebabkan penurunan suhu dari fluida panas bumi karena air tanah
atau air formasi memiliki suhu lebih rendah daripada air panas bumi. Selain
penurunan suhu, pencampuran dengan air tanah atau air formasi dapat
menurunkan konsentrasi ( pengenceran) air panas bumi. Hal ini disebabkan
karena air tanah memiliki konsentrasi zat terlarut yang jauh lebih rendah daripada
air panas bumi.
Proses mixing juga menambah kadar CO2 dalam air panas bumi, karena air
tanah yang berasal dari air hujan banyak mengandung CO 2 saat kontak dengan
atmosfer. Hal ini menyebabkan air yang telah mengalami proses mixing bersifat
sedikit asam karena CO2 bereaksi dengan hidrogen di air membentuk asam
bikarbonat (H2CO3). Air yang telah mengalami mixing ini kurang cocok
digunakan untuk perhitungan geotermometer karena tidak mewakili kondisi
reservoir.Meskipun umumnya mixing terjadi antara air panas bumi dengan air
tanah atau air formasi, tetapi di beberapa kasus dapt juga terjadi mixing antara air
panas bumi dengan air di reservoir dangkal pada sistem dengan lebih dari satu

16
reservoir dan air panas bumi dengan air asam dekat permukaan akibat kondensasi
gas (Nicholson, 1993).

III. 3. Komposisi Fluida Panas Bumi


Tipe fluida yang paling umum ditemukan dalam sistem panas bumi
dengan temperatur tinggi adalah fluida dengan PH netral dengan kandungan anion
klorida yang dominan. Fluida lain yang ditemukan dalam lapangan panas bumi
umumnya berasal dari fluida ini dengan perubahan kimia dan fisika selama proses
pembentukannya. Dari sekian banyak komposisi penyusun fluida panas bumi, ada
3 anion penyusun fluida tersebut yang dijadikan acuan klasifikasi fluida dalam
sistem panas bumi, yaitu klorida (CL- ), sulfat (SO4-2), dan bikarbonat (HCO3-).
Ketiga anion ini dijadikan acuan untuk klasifikasi fluida karena ketiga anion
tersebut merupakan anion yang dominan dan selalu ada di setiap sistem panas
bumi.
Menurut Sigvaldason, 1973 dalam Nicholson, 1993 dan Nicholson, 1993
dari ketiga anion yang disebutkan di atas fluida panas bumi dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok utama, yaitu :
1. Air klorida (Chloride water)
2. Air Sulfat (Sulphate water)
3. Air Bikarbonat (Bicarbonate water)
4. Air sulfat-klorida (Sulphate-chloride water)
5. Air klorida encer (Dilute chloride water)
Secara umum dapat digambarkan dalam diagram segitiga seperti di bawah ini.

17
Gambar 3.2. diagram klasifikasi tipe air panas bumi (Nicholson, 1993)

Air Klorida (Chloride Water)


Tipe air ini sering disebut “ alkali – klorida” atau “klorida-netral”. Air
panas bumi ini merupakan tipikal fluida panas bumi di reservoir bertemperatur
tinggi. Keterdapatan air tipe klorida ini di permukaan dengan suhu relatif tinggi
dan debit yang besar dapat menunjukkan suplai air dari reservoir panas bumi
secara langsung dengan indikasi zona permeabel di daerah tersebut. Tetapi
bagaimanapun juga area dengan keterdapatan mata air klorida ini belum
menunjukkan zona up flow dari reservoir panas bumi di bawahnya, karena
topografi dari daerah tersebut dapat memberikan kontrol yang signifikan terhadap
pola hidrologi daerah tersebut.
Di permukaan air klorida umunya berupa mata air panas dan kolam air
panas dengan aliran yang baik (debit yang besar) dan sebagian besar berupa
geyser. Air klorida ini berwarna bening kebiruan atau kehijauan. Secara kimia air
klorida memiliki anion Cl- yang dominan dengan kadar berkisa ribuan mg/kg
hingga 10.000 mg/kg. Beberapa tempat bahkan dapat mencapai kadar Cl - hingga
100.000 mg/kg seperti di Salton Sea, California, USA. Tingginya kadar anion Cl –
ini dapat disebabkan bercampurnya air formasi dan air laut dengan air klorida
panas bumi (Nicholson, 1993).

18
Kation utama yang menyusun air klorida ini adalah sodium dan potassium
dengan ratio sekitar 10 :1. Selain itu juga terdapat kandungan silika yang
signifikan ( berbanding lurus dengan bertambahnya suhu di reservoir) dan Boron.
Air klorida mempunyai PH yang sedikit asam atau sedikit basa. Secara umum PH
air tipe ini hampir netral. Gas –gas terlarut yang utama adalah karbon dioksida
dan hidrogen sulfida dalam jumlah yang lebih sedikit. Pada sistem panas bumi
yang memiliki kandungan gas yang tinggi, air klorida dapat mengandung
bikarbonat yang tinggi dan mengalami boiling pada kedalaman yang lebih dalam.
Tetapi tingginya konsentrasi anion Cl - membedakan air klorida dengan air
bikarbonat dan air klorida-bikarbonat encer.
Dari reaksinya dengan batuan samping, air klorida ini akan membentuk
zona alterasi argilik sampai propilitik. Pada mata air klorida di permukaan sering
dijumpai adanya endapan silika sinter yang menunjukkan bahwa air klorida ini
kaya akan silika. Dari adanya endapan silika sinter tersebut dapata diperkirakan
suhu di bawah permukaan lebih dari 200oC. adanya mata air klorida dengan
endapan silika sinter di sekitar tempat keluarnya mata air menunjukkan daerah
dengan permeabilitas tinggi seperti sesar, breksi erupsi gunung api, dan lainnya.

Air Sulfat (Sulphate Water)


Air tipe ini dikenal juga sebagai air asam sulfat. Air asam sulfat ini
terbentuk dari kondensasi gas di dekat permukaan dan air tanah dangkal yang
kaya oksigen. Gas yang terkondensasi mengandung uap air dan volatil-volatil lain
yang pada mulanya terlarut dalam fluida panas bumi di reservoir namun kemudian
terpisah dari air klorida akibat boiling. Fluida ini biasa ditemukan di tepi daerah
dengan jarak tertentu dari upflow area dngan topografi lebih tinggi daripada
bidang pisometrik air tanah dangkal. Meskipun biasanya ditemukan di dekat
permukaan, air sulfat dapat masuk kembali ke dekat reservoir melalui zona
permeabel patahan di sistem panas bumi. Pada kondisi ini air sulfat dipanaskan
kembali oleh sumber panas dan meng alterasi batuan sampingnya kemudian
bercampur dengan air klorida yang naik ke atas.
Manifestasi di permukaan dari air asam sulfat ini dapat berupa kolam
lumpur atau mata air asam. Jika gas yang terpisah saat boiling mengandung

19
tingkat entalpi yang masih tinggi, maka air yang dipanasi oleh gas ini dapat
mendidih dan membentuk kolam lumpur panas dan tanah beruap. Air asam yang
panas ini dapat melarutkan batuan di sekitarnya dan membentuk kawah-kawah
runtuhan dan gua-gua. Secara kimiawi air sulfat mengandung anion utama berupa
sulfat (SO4-2) (Nicholson, 1991). Air sulfat ini terbentuk dari reaksi antara gas
yang terpisah saat boiling dari fluida panas bumi. Gas-gas ini mengandung banyak
gas H2S. Jika bertemu dengan air tanah dangkal yang banyak mengandung
oksigen, maka gas tersebut akan membentuk asam sulfat menurut persamaan
reaksi :
H2S(gas) + 2O2(aq) = 2H+(aq) + SO4-2(aq).
Dari reaksi di atas dengan ditambah kondensasi dari karbon dioksida
menurut persamaan reaksi :
CO2(gas) + H2O(l) = H2CO3(aq) = 2H+(aq) + CO3-2(aq)
akan membentuk air asam. Air asam yang terbentuk mempunyai PH minimum
sekitar 2,8. Jika PH yang terbentuk lebih rendah asam (<2,0) ada kemungkinan
mendapat tambahan volatil gas dari magma. Gas-gas lain yang ikut terpisah saat
boiling adalah NH3, B, As, sehingga di air asam sulfat ini terdapat peningkatan
komsentrasi unsur – unsur tersebut.
Pengendapan yang terjadi di sekitar tempat keluarnya fluida asam sulfat
ini biasanya sulfur, alunit, dan mineral-mineral sulfat lainnya. Air asam sulfat
bereaksi secara cepat dan melarutkan batuan samping membentuk alterasi argilik
lanjut dengan mineral penciri kaolinit, halloysit, kristobalit, dan alunit. Pelarutan
intensif dari air asam ini dapat membentuk residu silika yang berbeda dengan
silika sinter. Keterdapatan air asam sulfat di permukaan dapat mengindikasikan
adanya zona permeable di bawahnya, karena gas yang terlepas saat boiling akan
bergerak secara vertikal ke atas. Bagaimanapun juga hal tersebut berlaku untuk
sistem panas bumi yang terletak di topografi yang relatif datar.

Air Bikarbonat (Bicarbonate Water)


Air bikarbonat yang mengandung anion CO3- sebagai anion utama ini
terbentuk dari uap dan gas yang terkondensasi di air tanah dangkal yang miskin
oksigen. Air bikarbonat biasanya ditemukan di daerah non volcanogenic pada

20
sistem bertemperatur tinggi dan lebih rumit dalam menentukan asalnya.
Manifestasi di permukaan dari air bikarbonat dapat berupa mata air hangat sampai
mata air panas dan mata air soda dingin. Air bikarbonat mempunyai PH yang
hampir netral karena reaksi dengan batuan samping selama perjalanan dari
reservoir menuju permukaan. hilangnya proton H+ selama reaksi dengan batuan
samping membentuk PH yang hampir netral dengan natrium sebagai kation
utama. Sulfat dapat hadir dalam jumlah yang variabel, sedangkan klorida hampir
tidak ada.
Air bikarbonat ini sangat reaktif dan dapat mengkorosi casing sumur
dalam pengembangan lapangan panas bumi (Hedenquist dan Stewart, 1985).
Endapan travertin biasa dijumpai di sekitar mata air bikarbonat ini dan dapat
mengindikasikan temperatur di bawah permukaan < 150 oC. aragonit dapat
terbentu di permukaan jika debit manifestasi di permukaan besar dan pendinginan
cepat.

Air Sulfat – Klorida (Sulphate-Clhoride Water)


Ada beberapa proses yang dapat membentuk air sulfat- klorida ini,
diantaranya :
1. Pencampuran antara air klorida dan air sulfat di berbagai kedalaman.
2. Oksidasi gas H2S yang masih terlarut dalam air klorida
3. Kondensasi gas volkanik di dekat permukaan di dalam air meteorik.
4. Kondensasi uap volkanik di kedalaman.
5. Air klorida yang melewati lapisan mineral yang mengandung sulfat
seperti gipsum.
Dari banyaknya proses yang memungkinkan untuk pembentukan air
sulfat-klorida ini, pencampuran antara air klorida dengan air asam sulfat
merupakan yang paling sering terjadi. Air ini mempunyai PH sekitar 2 sampai 5
dengan klorida dan sulfat dalam proporsi yang relatif seimbang. Air yang
terbentuk dari kondensasi uap volkanik baik di kedalaman maupun di dekat
permukaan dapat diidentifikasi dengan tingginya konsentrasi Cl, SO 4, dan F.
Biasanya air ini memiliki PH sangat rendah, yaitu sekitar 0-2, tetapi reaksi
dengan batuan samping dapat menaikkan PH air ini. Untuk air yang terbentuk

21
akibat pencampuran dengan air klorida dapat membentuk zona alterasi dari
propilitik sampai argilik dan argilik lanjut. Di permukaan mungkin terdapat
sedikit sinter tipis dan pengendapan mineral sulfat, sedangkan air yang terbentuk
karena lewatnya air klorida melalui lapisan mineral sulfat dapat membawa sedikit
mineral sulfat tersebut ke permukaan dan mengendapkan sulfur. Sebagai air yang
terbentuk karena pencampuran dengan air klorida dari reservoir, maka air tipe ini
dapat digunakan untuk analisa geotermometri.

Air Klorida Encer (Dilute Chloride Water)


Air ini dapat terbentuk dari pengenceran air klorida oleh air tanah atau air
bikarbonat selama air klorida tersebut mengalir secara lateral. Keterdapatan air
tipe ini terbatas hanya pada pinggiran zona upflow dan struktur outflow dari sistem
panas bumi bertemperatur tinggi. Adanya air klorida encer dengan kandungan
bikarbonat menunjukkan adanya pencampuran denganair meteorik. Bikarbonat
dapat hadir karena air meteorik mengandung sedikit bikarbonat selama kontak
dengan atmosfer.
Manifestasi yang dapt dijumpai di permukaan biasanya adalah mata air
hangat sampai mata air panas. Air ini memiliki PH mendekati netral dengan
klorida sebagai anion utama dan bikarbonat muncul dalam konsentrasi yang
bervariasi. Pada manifestasi di permukaan sering ditemui adanya silika sinter di
sekitar mata air dan terdapat juga travertin dari kandungan bikarbonatnya.
Air tipe ini masih dapat digunakan untuk analisa geotermometri jika air
klorida hanya diencerkan oleh air tanah dangkal. Tetapi bagaimanapun diperlukan
analisa lebih lanjut karena pengenceran akan mempengaruhi perhitungan
geotermometer silika dan penambahan bikarbonat dapat membuat perhitungan
Na-K-Ca menjadi tidak akurat.

22
BAB IV
LITHIUM DI GEOTERMAL

IV. 1. Sumber Dan Kegunaan Lithium Di Dunia

Dengan densitas setengah dari densitas air, yaitu sekitar 0,53 g/cm 3,
lithium merupakan logam teringan di dunia. Logam lithium sangat lunak sehingga
dapat diiris dengan pisau. Saat diiris dengan pisau lithium berwarna perak putih
yang dengan cepat berubah menjadi abu-abu kusam karena bereaksi dengan
oksigen. Secara kimiawi lithium memiliki nomor atom 3 dengan konfigurasi
elektron 1 s2, 2s1 dan memiliki berat atom 6,941 g/mol (Krebs, 2006). Dengan
konfigurasi elektron seperti di atas, maka lithium termasuk dalam golongan alkali
atau golongan 1 A dalam sistem periodik unsur. Seperti logam alkali lainnya,
lithium memiliki elektron valensi tunggal. Hal ini membuat lithium menjadi
penghantar panas dan listrik yang baik. Tetapi lithium jarang digunakan sebagai
konduktor panas dan listrik dalam industri dikarenakan kereaktifannya yang
tinggi.

Gambar 4.1. Unsur Lithium


(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Lithium_paraffin.jpg)
Lithium memiliki sifat sangat reaktif dengan air dan membentuk
hidroksida (LiOH). Karena kereaktifannya yang tinggi tersebut lithium tidak
dijumpai dalam bentuk unsur tunggal di alam, tetapi dalam bentuk senyawa,
biasanya ionik. Lithium muncul di alam dalam beberapa mineral pegmatit, mata
air asin, sejumlah mineral lempung, dan di laut dalam bentuk ion.

23
Mineral pegmatitik yang mengandung lithium adalah spodumene dan
lepidolite. Spodumene merupakan mineral clinopyroksen yang terdiri dari lithium
aluminium inosilikat LiAl(SiO3)2. Spodumene berwarna bening kekuningan,
keunguan atau kuning kehijauan. Mineral ini merupakan mineral utama sebagai
sumber lithium (Mc. Donald, et.al., 2004).

Gambar 4.2. Mineral Spodumene


(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Spodumene-usa59abg.jpg)
Mineral lain sebagai sumber lithium di batuan adalah lepidolite.
Lepidolote termasuk dalam kelompok mineral mikadengan rumus kimia
KLi2Al(Al,Si)3O10(F,OH)2. Mineral ini berwarna abu-abu atau merah mawar.

Gambar 4.3. Mineral Lepidolite


(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Lepidolite-208658.jpg)

24
Dengan kandungan lithium yang tinggi, spodumene dalam batuan
pegmatit menjadi sumber lithium yang penting. Lithium diekstraksi dari
spodumene dengan mencampurkan asam. Produksi lithium di dunia dari ekstraksi
mineral spodumene mencapai 80.000 metrik ton per annum pada batuan pegmatit
Greenbushes di Australia Barat. Selain diekstraksi dari mineral dalam batuan,
lithium juga dapat diekstraksi dari mata air asin yang mengandung garam lithium.
Chile merupakan pengasil lithium terbesar di dunia diikuti oleh Argentina. Kedua
negara tersebut mengekstraksi lithium dari kolam air asin (Mc. Donald, et.al.,
2004).
Sejak akhir dari perang dunia ke dua produksi lithium di dunia meningkat
dengan cepat. Peningkatan jumlah produksi lithium ini berkaitan dengan
penemuan-penemuan tentang kegunaan lithium di dunia industri. Pada tahun –
tahun terakhir abad ke dua puluh, lithium menjadi penting sebagai mineral untuk
anoda baterai karena tingginya potensial elektriknya secara kimiawi. Satu cell
baterai lithium dapat menghasilkan tegangan 3 volt, dibandingkan dengan baterai
timbal yang hanya menghasilkan 2,1 volt, atau baterai seng-karbon yang
menghasilkan 1,5 volt. Baterai lithium berbeda dengan baterai ion lithium. Baterai
lithium merupakan baterai yang tidak dapat diisi ulang (unrechargeable) yang
menggunakan lithium sebagai anoda. Sedangkan baterai ion lithium merupakan
baterai energi tinggi yang dapat diisi ulang (rechargeable battery). Baterai isi
ulang lain diantaranya adalah lithium ion polymer battery yang mempunyai daya
tahan paling lama dan lithium iron phospate battery. Lithium niobate digunakan
secara luas dalam produk telekomunikasi seperti telepon seluler dan modulator
optik sebagai kristal resonansi (Hammond, 2000).
Lithium dalam bentuk lithium oksida digunakan secara luas dan
berkesinambungan dalam pemrosesan silika untuk menurunkan titik leleh dan
viskositas material dalam industri keramik. Garam lithium seperti lithium klorida
dan lithium bromida bersifat sangat higroskopik sehingga digunakan sebagai
bahan penyerap kelembaban sedangkan lithium karbonat digunakan dalam
industri aluminium.. Sementara itu lithium hidroksida dapat diproses bersama
lemak untuk menjadi lithium stearat sebagai bahan dasar pembuatan sabun. Yang

25
mempunyai kemampuan meningkatkan viskositas minyak sehingga membuat
minyak menjadi gemuk (Hammond, 2000).

Gambar 4.4. Diagram Penggunaan Lithium Dunia


(http://www.internationallithium.com)
IV. 2. Lithium di Fluida Panas Bumi
Sebagai unsur yang termasuk dalam golongan 1 A, lithium tidak dapat
dijumpai dalam bentuk unsur tunggal di alam, tetapi dalam bentuk senyawa.
Sumber lithium yang utama dalam batuan terdapat dalam mineral spodumene dan
lepidolite. Lithium bersama dengan rubidium dan cessium tergolong dalam logam
alkali jarang dan termasuk dalam unsur konservatif, yaitu unsur yang cenderung
berada dalam larutan saat terlarut (Nicholson, 1993)
Karena sifatnya yang mudah larut sebagai unsur konservatif, maka lithium
banyak didapati dalam mata air asin. Jumlah lithium yang signifikan juga
ditemukan dalam fluida panas bumi sebagai kation. Kation lithium dalam fluida
panas bumi berasal dari pelarutan batuan samping oleh fluida panas bumi yang
bersifat asam. Karena sumber lithium dalam batuan adalah mineral spodumene
dan lepidolite yang merupakan mineral pegmatitik, maka kadar lithium yang
relatif tinggi di fluida panas bumi terdapat pada sistem panas bumi dengan batuan
riolit dan andesit sebagai batuan penyusunnya atau batuan sedimen yang secara
mineralogi dan kimiawi sama. Kadar lithium di sistem panas bumi dengan batuan
penyusun andesitik dapat mencapai 10 mg/kg. Sedangkan untuk daerah dengan
batuan penyusun basaltik, kadar lithium dalam fluida panas bumi secara
signifikan rendah, yaitu sekitar < 0,1 mg/kg (Ellis, 1979 dalam Nicholson, 1993).

26
Indonesia dengan sistem panas bumi yang bertipe volkanogenik memiliki
batuan penyusun andesitik, sehingga beberapa lapangan panas bumi di Indonesia
memiliki kadar lithium yang relatif tinggi. Pada sumur panas bumi di Gunung
Salak contohnya memiliki kadar lithium mencapai 12,5 mg/kg, sedangkan pada
sumur panas bumi di Wayang Windu kadar lithium dapat mencapai 33 mg/kg.
Kadar lithium dalam fluida panas bumi tidak setinggi kadar Natrium atau
Kalium sebagai kation meskipun sama-sama unsur dalam golongan 1A dalam
sistem periodik unsur. Hal ini dikarenakan kadar lithium dalam batuan tidak
setinggi natrium dan kalium. Lithium dalam batuan hanya sebagai unsur jejak dan
hanya terkandung dalam mineral-mineral tertentu seperti spodumene dan
lepidolite. Tidak seperti halnya lithium, natrium dan kalium terkandung dalam
batuan sebagai unsur penyusun mineral pembentuk batuan seperti feldspar yang
merupakan mineral yang sangat dominan dalam batuan.
Sebagai kation, lithium sering kali berasosiasi dengan klorida atau boron.
lithium dengan klorida dan boron tergabung dalam mineral- mineral alterasi
sekunder dan sering kali menunjukkan penurunan konsentrasi saat migrasi dari
reservoir ke permukaan dan saat terjadi aliran fluida secara lateral (Nicholson,
1993).
IV. 3. Proses Eksrtaksi Lithium Dalam Fluida Panas Bumi
Terdapatnya kandungan lithium yang cukup signifikan di beberapa sistem
panas bumi di dunia serta semakin meningkatnya kebutuhan dunia akan unsur
lithium di berbagai bidang industri membuat proses ekstraksi lithium dari fluida
panas bumi (heat carrier) semakin dikembangkan. Perkembangan energi panas
bumi saat ini menemui suatu keganjilan. Keganjilan tersebut berkaitan dengan
pemanfaatan fluida panas bumi (heat carrier) yang berpengaruh pada lingkungan
sekitarnya. Pemanfaatan fluida panas bumi yang telah digunakan untuk memutar
turbin tersebut dapat dibagi menjadi :
1. Diinjeksikan kembali secara langsung ke dalam reservoir melalui sumur-
sumur.
2. Pembersihan dan pemanfaatan unsur – unsur yang terkandung dalam fluida
tersebut secara kimiawi.

27
Pada pemanfaatan pertama unsur-unsur yang bernilai, seperti lithium hilang.
Pada pemanfaatan kedua unsur-unsur yang bernilai tersebut dapat diambil dan
dimanfaatkan lebih lanjut, hanya saja dibutuhkan penambahan alat-alat produksi
lain. Secara sederhana pemanfaatan lebih lanjut fluida panas bumi dapat
digambarkan seperti pada diagram di bawah ini.

Gambar 4.3. Diagram Proses Pemanfaatan Fluida Panas Bumi


(Ellis et al, 2008 dengan modifikasi)
Ekstraksi unsur – unsur berharga, khususnya lithium dari fluida geothermal
umumnya menggunakan metode penyerapan (sorption). Penyerap (sorbent) yang
digunakan dapat berupa organik maupun anorganik. Sorbent organik tidak efisien
untuk digunakan dalam proses ekstraksi pada kasus fluida panas bumi karena
mikroorganisme yang digunakan hanya dapat digunakan dalam kondisi
temperatur ruangan. Sorbent anorganik yang paling banyak digunakan untuk
ekstrkasi lithium adalah aluminium hidroksida. Dalam mengekstraksi lithium dari
fluida panas bumi yang perlu diperhatikan adalah rasio Na/Li yang harus rendah.
Hal ini dikarenakan natrium merupakan unsur yang paling menghambat dalam
proses ekstraksi (Trukhin, 2005).
28
Preparasi dalam pembuatan aluminium hidroksida dapat dilakukan dengan
menggunakan zeolit (Belova, 2010). Zeolit yang digunakan berukuran butir 0,25 –
0,5 mm. Zeolit tersebut kemudian ditambahkan larutan AlCl 3 0,2 M selama 24
jam. Setelah itu zeolit tersebut dikondisikan dengan 2% amonia dalam air. Selama
proses ini berjalan, Al(OH)3 mengendap dalam pori zeolit. Selanjutnya zeolit
dicuci dengan air murni sampai reaksi alkaline pada phenolftalein berhenti, lalu
dikeringkan dan dibakar hingga 400oC.
Penambahan garam aluminium ke dalam air yang mengandung lithium,
dalam hal ini adalah fluida panas bumi akan menyebabkan reaksi antara Li+ dalam
larutan dengan AlO2- yang terbentuk akibat larutnya garam aluminium dalam air.
Garam aluminium yang digunakan adalah aluminium hidroksida amorf,
sedangkan untuk aluminium hidroksida kristalin tidak ada penyerapan lithium
(Yoshinaga, et al, 1982). Reaksi antara kation lithium dengan aluminium
hidroksida yang terlarut ini akan membentuk kompleks lithium aluminat, menurut
persamaan reaksi :
Li+(aq) + AlO2-(aq) = LiAlO2.yH2O(aq)
Selain membentuk AlO2-, penambahan garam aluminium juga akan
membentuk Al(OH)4-. Anion aluminium hidroksida ini akan menyerap lithium
yang tersisa dari reaksi pertama membentuk lithium aluminat. Kehadiran lithium
aluminat dapat dideteksi dengan pengukuran difraksi pola sinar X. Solubilitas atau
kelarutan LiO2 sangat berpengaruh pada PH larutan dan temperatur. Sangat jelas
bahwa setelah penambahan garam aluminium, kelarutan lithium aluminat
meningkat tergantung pada suhu sistem tersebut. Pada tahap pertama
pencampuran, lithium alumina terbentuk dengan cepat. Kemudian kompleks
lithium aluminat tersebut larut kembali sesuai dengan kesetimbangan kelarutan.
Menurut Yoshinaga, et al (1982), penyerapan lithium dapat memberikan
hasil dengan kadar rendah tergantung pada kadar garam lain pada fluida panas
bumi. Komponen yang dapat menurunkan kemampuan penyerapan kation lithium
oleh aluminium hidroksida adalah natrium klorida atau halit, asam silika
polimerik, dan ion kalsium. Penurunan kadar hasil penyerapan paling besar
disebabkan oleh ion kalsium. Dalam prosesnya ion kalsium dapat dikurangi atau
dihilangkan dengan pembentukan kalsium oxalat dalam temperatur rendah.

29
Penelitian yang dilakukan oleh Pauwells et al, (1991) menggunakan 3
variasi suhu, yaitu 20oC, 50oC, dan 80oC. Dari ketiga variasi suhu tersebut hasil
pada suhu 80oC memberikan hasil yang terbaik. Temperatur berperan dalam
mempercepat laju pengendapan kompleks lithium aluminat. Dengan temperatur
yang diperlukan untuk hasil terbaik sekitar 80 oC, ini berarti penyerapan kation
lithium dapat dilakaukan segera setelah fluida panas bumi mencapai permukaan.
penyerapan mencapai kadar maksimum secara umum pada 5 menit pertama dan
berlanjut dalam 20 menit. Lebih jauh, proses ini dapat berjalan dengan PH
mendekati PH awal larutan. Tingkat ekstraksi mencapai 90% hingga 99% dapat
diamati untuk proses ketika fluida memiliki PH sekitar 6 – 7. Dengan kondisi
temperatur, PH, dan waktu seperti keadaan di atas, penyerapan kation lithium
dapat dilakukan tanpa merubah karakteristik fisika kimia dari fluida panas bumi
tersebut, sehingga masih memungkinkan bagi fluida tersebut diinjeksikan kembali
ke dalam reservoir.

30
Gambar 4.5. Grafik Residual Li Dalam Fluida Di Lapangan Panas Bumi Cesano
(Pauwells et al, 1991)

31
Dalam metode penyerapan kation lithium ini tidak membutuhkan jumlah
aluminium hidroksida yang besar. Kadar penyerapan kation lithium sebesar 90 –
99% membutuhkan rasio molaritas Al/Li sebesar 3,2. Di bawah nilai rasio ini
kemampuan penyerapan kation lithium oleh aluminium hidroksida sudah terlalu
jenuh, sehingga kadar penyerapan menurun.
Lithium yang diserap oleh aluminium hidroksida belum dapat digunakan
sebagai produk yang dapat digunakan dalam industri. Dalam literatur yang ada,
aluminium dalam lithium aluminat tersebut dilarutkan dan dipisahkan dari
lithium, kemudian didaur ulang untuk dapat dimanfaatkan kembali. Pouwells
menemukan prosedur lain dalam pemisahan lithium dengan aluminium, yaitu
dengan mencuci lithium aluminat tersebut dengan air murni untuk memurnikan
komposit Al – Li tersebut. Dari percobaan yang dilakukan sangat memungkinkan
untuk memisahkan 75 % lithium yang terikat dalam komplek aluminium
hidroksida tersebut dengan menggunakan asam hidrofluorik.

IV.4. Perhitungan Ekstraksi Lithium di Lapangan Panas Bumi


Wayang Windu, Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan panas
bumi terbesar di dunia. pemanfaatan panas bumi sebagai pembangkit di Jawa
Barat mencapai 940 MW tersebar di empat lokasi, yaitu lapangan Awibengkok
Bogor yang menyimpan potensi sebesar 375 MW, lapangan Kamojang Garut 200
MW, lapangan Darajat Garut 255 MW, dan lapangan Wayang Windu Bandung
110 MW (ESDM).
Lapangan panas bumi Wayang Windu berlokasi sekitar 40 km di selatan
Kota Bandung. Sistem panas bumi di lapangan ini berasosiasi dengan gunung api
yang telah mati, yaitu G. Malabar, G. Wayang, dan G. Windu yang terletak lebih
di selatan. Daya yang dihasilkan dari lapangan panas bumi Wayang Windu ini
mencapai 110 MW di siang hari dan 105 MW di malam hari (Abernica et al,
2010). Untuk komposisi fluida panas bumi dilapangan Wayang Windu diberikan
oleh gambar di bawah ini.

32
Gambar 4.6. Tabel Komposisi Kimia Sumur- Sumur Panas Bumi Di Indonesia
(Mahon et al, 2000)

Dari tabel di atas dilihat bahwa konsentrasi Lithium di sumur panas bumi
di Wayang Windu mencapai 33 ppm. Dengan mengasumsikan bahwa
karakteristik fluida panas bumi di lapangan Wayang Windu sama dengan fluida di
lapangan panas bumi di Cesano dan kecepatan aliran fluida panas bumi di
Wayang Windu sama dengan kecepatan aliran fluida di lapangan panas bumi di
Hatchobaru, Jepang, yaitu 600 ton/jam (Yoshinaga et al, 1982), maka jumlah
lithium yang dapat diekstraksi dari lapangan panas bumi Wayang Windu dapat
dihitung.
Kecepatan aliran fluida panas bumi di lapangan Hatchobaru dengan daya 5
MW adalah 600 ton/jam, sedangkan lapangan panas bumi Wayang Windu dapat
mengahsilkan daya hingga 110 MW. Dengan asumsi bahwa debit fluida yang
dibutuhkan untuk menggerakkan turbin berbanding lurus dengan daya yang
dihasilkan, maka debit fluida di lapangan panas bumi Wayang Windu dapat
dihitung dengan persamaan :

Debit Wayang Windu= 110 MW/ 5 MW x 600 ton/jam = 13.200 ton/jam


33
Sehingga dalam 1 hari fluida yang dapat ditampung menjadi :

Fluida/hr = 13.200 ton/jam x 24 jam = 316.800 ton

Konsentrasi Lithium di sumur Wayang Windu mencapai 33 ppm (g/ton),


sehingga jumlah lithium yang dapat diekstraksi dari fluida panas bumi di sumur
Wayang Windu dalam 1 hari :

Lithium total/hr = 316.800 ton x 33 g/ton = 10.454.400 g = 10,4544 ton

Dari metode yang diterapkan oleh Pauwells, lithium yang diekstraksi dapat
mencapai 90%, sehingga jumlah lithium yang diekstraksi dalam sehari :

Lithium ekstraksi/hr = 90/100 X 10,4544 ton = 9,40896 ton

Jumlah lithium yang dapat diekstraksi dalam sebulan :

Lithium ekstraksi/bln = 30 hari x 9,40896 ton/hari = 282,2688 ton

Pada Oktober 2008, harga lithium di pasaran dunia mencapai USD


8.000/ton (www.generalmining.com). Dengan jumlah lithium yang dapat
diekstraksi mencapai 282,2688 ton/bulan, maka dalam sebulan dapat dihasilkan :

Pemasukan = 282,2668 ton x US$8000.00 / ton = US$ 2.258.150.40

Dari hitungan sederhana di atas dapat dilihat bahwa lithium dalam fluida panas
bumi dapat diekstraksi secara ekonomis.

34
BAB V
KESIMPULAN

Dalam 70 tahun terakhir ini terjadi peningkatan permintaan dunia akan unsur
lithium. Peningkatan permintaan dunia ini berkaitan erat dengan manfaat unsur
lithium dalam berbagai bidang industri di dunia. Bidang industri di dunia yang
banyak memanfaatkan lithium adalah :
1. Industri elektronik.
Lithium digunakan sebagai anoda baterai lithium dan ion lithium sebagai beterai
ion lithium. Lithium niobate digunakan untuk kristal resonansi dalam telepon
seluler dan modulator optik.
2. Industri keramik
Lithium dalam bentuk lithium oksida digunakan untuk menurunkan titik leleh dan
viskositas material, khususnya silika.
3. Industri kimia
lithium klorida dan lithium bromida digunakan sebagai bahan penyerap
kelembaban. lithium hidroksida dapat diproses bersama lemak untuk menjadi
lithium stearat sebagai bahan dasar pembuatan sabun yang digunakan untuk
meningkatkan viskositas lemak.
4. Industri logam
lithium karbonat digunakan dalam industri aluminium.
Lithium tidak terdapat dalam bentuk unsur tunggal karena kereaktifannya
yang tinggi, melainkan dalam bentuk ion dan senyawa. Dalam batuan unsur
lithium terdapat pada mineral-mineral spodumene dan lepidolite. Kedua mineral
ini umumnya terdapat dalam batuan beku pegmatit. Sebagai unsur yang
konservatif, lithium cenderung untuk terlarut dalam air ketika tercuci dari batuan.
Sumber lain lithium yang ekonomis adalah dari mata air asin dan fluida panas
bumi.Dalam fluida panas bumi lithium adalah sebagai kation dan berasosiasi
dengan unsur boron dan klorida. Karena unsur lithium berasosiasi dengan klorida,
maka dapat disimpulkan lithium dapat ditemukan dalam fluida panas bumi dengan
tipe air klorida yang merupakan tipikal air reservoir.

35
Fluida panas bumi yang telah dieksploitasi untuk membangkitkan energi
listrik masih dapat digunakan untuk diambil unsur-unsur yang bernilai ekonomis
yang terkandung di dalamnya, termasuk lithium sebelum diinjeksikan kembali ke
dalam reservoir. Pengekstraksian lithium di fluida panas bumi dapat dilakukamm
dengan berbagai metode. Metode yang paling banyak digunakan adalah dengan
metode penyerapan. Penyerap (absorbent) dalam metode ini dapat berupa
penyerap organik dan anorganik. Penyerap organik menggunakan
mikroorganisme untuk menyerap ion lithium. Penyerap ini kurang efisien untuk
digunakan dalam fluida panas bumi yang akan diinjeksikan karena hanya bekerja
efektif pada suhu kamar, sehingga fluida panas bumi dengan suhu > 80 oC harus
didinginkan terlebih dahulu.
Penyerap anorganik yang umum digunakan adalah aluminium hidroksida.
Aluminium hidroksida dapat dibuat dengan menambahkan AlCl 3 dalam zeolit.
Setelah diberi perlakuan yang tepat Al(OH)3 akan mengendap dalm pori zeolit.
Aluminium hidroksida tersebut selanjutnya ditambahan ke dalam fluida panas
bumi. Ion lithium akan diserap dan berikatan dengan aluminium membentuk
lithium aluminat (LiAlO2.yH2O). Penyerapan lithium sangat bergantung pada
temperatur dan PH. Semakin tinggi temperatur maka semakin cepat penyerapan
lithium. Penyerapan dengan kadar 90-99% terjadi pada suhu 80oC dan PH 6-7
yang sangat cocok untuk fluida panas bumi yang akan diinjeksikan ke dalam
reservoir. Rasio Al – Li dalam penambahan aluminium hidroksida adalah 3,2.
Komponen-komponen yang menghambat penyerapan lithium adalah natrium,
asam silika, dan kalsium yang merupakan penghambat utama. Kalsium dapat
dihilangkan dengan pembentukan kalsium oxalat .
Lithium aluminat tersebut kemudian dicuci dengan air murni dan
ditambahkan asam hidrofluorik untuk memisahkan lithium dari kompleks
aluminium. Dengan metode ini sekitar 75% lithium berhasil dipisahkan untuk
dapt digunakan dalam berbagai bidang industri.
Dari data- data di atas fluida panas bumi yang telah digunakan untuk
memutar turbin dimanfaatkan lebih lanjut untuk diambil lithium yang terlarut
dengan menggunakan metode penyerapan oleh absorbent aluminium hidroksida.

36
DAFTAR PUSTAKA
Abrenica, A. B., Harijoko, A., Kusumah, Y. I., Bogie, I., 2010, Characteristics of
Hydrothermal Alteration in Part of the Northern Vapor-
DominatedReservoir of the Wayang Windu Geothermal Field, West Java,
Proceedings World Geothermal Congress Bali, Indonesia. pp 1-5
Belova, T. P. , 2010, The Analysis of Sorption Extraction of Boron and Lithium
From The Geothermal Heat-Carriers, Research Geotechnological Center,
Far Branch of Russian Academy of Sience, Russia. pp 1-3
Ellis, A. J and W. A. J. Mahon, 1977, Chemistry and Geothermal System, New
york : Academic Press. 392 pp
Goff, F., Janik, C.J., 2000, “Geothermal Systems”. In Encyclopedia of Volcanoes,
H. Sigurdsson, B.F. Houghton, S.R. McNutt, H. Rymer dan J. Stix (eds.),
Academic Press, pp. 817-834.
Gupta, H. K., 1980, Geothermal Resources: An Energy Alternative, Elsevier
Scientific Publishing Company, New York. 227 p
Hammond, C. R., 2000, The Elements, in Handbook of Chemistry and Physics
81st edition. CRC press.
Hochstein, M.P., 1990. “Classification and assessment of geothermal resources”.
In: Dickson, M.H. and Fanelli, M., eds., Small Geothermal Resources: A
Guide to Development and Utilization, UNITAR, New York, pp. 31—57
Hochstein, M.P. and Browne, P.R.L., 2000, “Surface Manifestation Of
Geothermal Systems With Volcanic Heat Sources”. In Encyclopedia of
Volcanoes, H. Sigurdsson, B.F. Houghton, S.R. McNutt, H. Rymer dan J.
Stix (eds.), Academic Press, pp 835 – 855
Kamienski, McDonald, Daniel P.; Stark, Marshall W.; Papcun, John R., Conrad
W., 2004, "Lithium and lithium compounds". Kirk-Othmer Encyclopedia
of Chemical Technology. John Wiley & Sons, Inc..
Krebs, Robert E., 2006, The History and Use of Our Earth's Chemical Elements:
A Reference Guide, Westport, Conn.: Greenwood Press.
Mahon,T., Harvey,C., Crosby, D., 2000, The Chemistry Of Geothermal Fluids In
Indonesia And Their Relationship To Water And Vapour Dominated

37
Systems, Proceeding World Geothermal Congress 2000, Kyushu-Tohoku,
Japan. Pp. 1394
Muffler, J. P., Thomas, Hinrichs, T. C., Ellis, A. J., Geothermal Power, in
AccessScience, ©McGraw-Hill Companies, 2008,
http://www.accessscience.com
Nicholson, K., 1993, Geothermal Fluids : Chemistry and Exploration Techniques,
Berlin : Springer Verlag. 137 pp
Pauwels, H., Brach, M., Fouillac, C., 1990, Lithium Recovery From Geothermal
Waters Of Cesano (Italy) And Cronembourg (Alsace, France), in
Proceeding 12th New Zealand Geothermal Workshop. pp 117-122
Rybach,L and L.J.P Muffler,1981,Geothermal System Principal and Case
Histories,New York:John Wiley and Son. 359 pp
Trukhin,Yu.P and R.A. Shuvalov, 2005, Hydrothermal Fields As A Commercial
Source Of Boron And Lithium, in International Conference Extraction Of
Minerals From Geothermal Brines. pp 9
Yoshinaga, T., Yanagase, K., Kawano, K., Ueda, Y., 1982, Recovery Of Lithium
From Geothermal Water In Hatchobaru And Ohtake Area In Kyushu,
Fukuoka, Department of Environmental Science Kyushu Institute of
Technology. pp 1 – 4
http://www.generalmining.com/includes/industry_info/lithium.html diakses
tanggal 13 September 2011
http://internationallithium.com/s/aboutlithium.asp diakses tanggal 13 September
2011

38

Anda mungkin juga menyukai