Anda di halaman 1dari 20

ABSTRAK

1
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 2
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
I.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................... 4
I.2 RUMUSAN MASALAH .................................................................................................. 4
I.3 TUJUAN PERCOBAAN .................................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 6
II.1 LATERIT ......................................................................................................................... 6
II.2 LIMESTONE ................................................................................................................... 7
II.3 ARANG............................................................................................................................ 7
II.4 BATUBARA .................................................................................................................... 8
II.5 DIRECT REDUTION ...................................................................................................... 9
II.6 CRUCIBLE .................................................................................................................... 12
II.7 MUFFLE FURNACE .................................................................................................... 12
II.8 AGLOMERASI.............................................................................................................. 13
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ................................................................................ 15
III.1 DIAGRAM ALIR ......................................................................................................... 15
III.2 ALAT DAN BAHAN ................................................................................................... 16
III.3 PROSEDUR PERCOBAAN ........................................................................................ 17
III.4 FORMULA PERHITUNGAN ..................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 18

2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Bijih Nikel Laterit .................................................................................................. 6
Gambar 2.2. Limestones ............................................................................................................. 7
Gambar 2.3. Arang ..................................................................................................................... 8
Gambar 2.1 Proses pembentukan batubara................................................................................. 8
Gambar 2.4. Batubara ................................................................................................................. 9
Gambar 2.5. Proses Direct Reduction ...................................................................................... 12
Gambar 2.6. Crucible................................................................................................................ 12
Gambar 2.7. Muffle Furnace .................................................................................................... 13
Gambar 2.8. hasil proses aglomerasi ........................................................................................ 14
Gambar 3.1 Diagram Alir Percobaan Briquetting .................................................................... 15
Gambar 3.2 Diagram Alir Percobaan Reduksi Langsung ........................................................ 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Ekstraksi metalurgi adalah praktek menghapus logam tidak berharga dari sebuah bijih
dan pemurnian logam mentah yang diekstrak ke dalam bentuk murni. Metalurgi adalah seni dan
ilmu pengetahuan untuk mendapatkan logam dari bijihnya dan pembuatan logam menjadi
berbagai produk. Ruang lingkup metalurgi terbagi menjadi dua bagian yaitu mineral processing
dan metal processing. Mineral processing yaitu perlakuan bijih untuk mendapatkan logam atau
konsentrat mineral. Sedangkan metal processing yaitu pembuatan produk dari logam. Adapun
proses-proses dari ekstraksi metalurgi / ekstraksi logam itu sendiri antara lain adalah
pyrometalurgy (proses ekstraksi yang dilakukan padatemperatur tinggi), hydrometalurgy
(proses ekstraksi yang dilakukan pada temperatur yang relatif rendah dengan cara pelindian
dengan media cairan), dan electrometalurgy (proses ekstraksi yang melibatkan penerapan
prinsip elektrokimia, baik pada temperatur rendah maupun pada temperatur tinggi).
Salah satu bahan galian yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu Nickel yang
merupakan baja nirkarat yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun sifat-
sifat nickel merupakan logam berwarna putih keperak – perakan, ringan, kuat antin karat,
mempunyai daya hantar listrik dan panas yang baik. Spesifik gravity nya 8,902 dengan titik
lebur 14530C dan titik didih 27320C, resisten terhadap oksidasi, mudah ditarik oleh magnet,
larut dalam asam nitrit, tidak larut dalam air dan amoniak, sedikit larut dalam hidrokhlorik dan
asam belerang. Endapan nickel tembaga sulfide dihasilkan dari pemisahan lelehan sulfida
oksida dari lelehan silikat bersulfur pada sebelum, selama atau sesudah proses alihan pada suhu
diatas 9000C, mineral utamanya adalah pentlandit (Fe,Ni)gS8. mineral lainnya antara lain
nikolit (NiAs), skuterudit (Co, Fe, Ni)As3 dan violurit (FeNi2S4).
Pada pengolahan bijih nikel terdapat beberapa tahapan penting yang harus dilakukan.
Beberapa proses yang penting yaitu proses Aglomerasi dan Reduksi. Proses aglomerasi ini
bertujuan untuk menggumpalkan dan menghomogenkan ukuran bijih sehingga baik untuk
diproses di dalam furnace. Proses aglomerasi yang dilakukan pada praktikum ini yaitu proses
pembriketan dan drying. Praktikum kali ini dilakukan untuk mempelajari bagaimana cara
membuat aglomerat yang baik secara fisik dan mekanik untuk diumpankan ke furnace Direct
Reduction serta bagaimana melakukan proses reduksi langsung nikel laterit yang baik.

I.2 RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah pada percobaan ini, yaitu:
1. Apa itu proses ore crushing?
2. Apa penyebab briket yang dibuat tidak baik?
3. Bagaimana hubungan antaran bentuk briket, homogenitas massa briket dan pori briket
terhadap proses reduksi?
4. Bagaimana proses reduksi carbothermic pada nikel?
5. Apa penyebab hasil reduksi tidak optimal?
6. Bagaimana hubungan antara temperature reduksi dan waktu penahanan terhadap hasil
reduksi?

I.3 TUJUAN PERCOBAAN


Adapun tujuan pada percobaan ini, yaitu:
1. Memahami proses ore crushing
2. Menganalisis penyebab briket yang dibuat tidak baik

4
3. Menganalisis hubungan antara bentuk briket, homogenies massa briket dan pori briket
terhadap proses reduksi
4. Memahami proses reduksi carbothermic pada nikel
5. Menganalisis penyebab hasil reduksi tidak maksimal
6. Menganalisis hubungan antara temperature reduksi dan waktu penahanan terhadap hasil
reduksi

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 LATERIT
Nikel adalah unsur paduan utama dari stainless steel, dan mengalami pertumbuhan yang
sangat cepat seiringan dengan peningkatan permintaan stainless steel. Saat ini lebih dari 65%
nikel digunakan dalam industri stainless steel, dan sekitar 12% digunakan dalam industry
manufaktur super alloy atau nonferrous alloy.
Cadangan nikel dunia saat ini yaitu jenis lateritik sebanyak 72% dan sisanya sulfide,
tetapi produksi nikel saat ini sebagian besar diperoleh dari jenis sulfida yaitu sebanyak 58% dan
sisanya 42% dari jenis lateritic. (Setiawan, 2016)
Nikel laterit adalah produk residual pelapukan kimia pada batuan ultramafic (dunit,
peridotit) dan ubahannya (serpentinit). Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai
ketika batuan ultramafik tersingkap di permukaan bumi. (paper jance m. supit ). Salah satu
factor yang mempengaruhi pembentukan endapan nikel laterit adalah batuan asal/induk.
(Kurniadi & dkk, 2017)
Produk yang biasanya dihasilkan berbahan bijih laterit yaitu feronikel. Produksi
feronikel dari bijih laterit memerlukan energi tinggi, karena bijih laterit atau bijih pra-reduksi
umumnya langsung dilebur untuk menghasilkan sejumlah kecil produk feronikel dan sejumlah
besar slag. Tidak seperti bijih nikel sulfida, bijih nikel laterit tidak dapat di upgrade dengan
penghalusan (grinding) dan metode lain yang bersifat fisikal benefisiasi (Norgate). Karenanya
hampir semua proses pengolahan nikel laterit menggunakan proses pirometalurgi terhadap
kandungan nikel yang diatas 1.5%. Padahal lebih dari 50% cadangan dunia mempunyai
kandungan Ni <1.45%. sehingga kurang menguntungkan bila diolah dengan proses
pirometalurgi yang umum. Proses rekoveri pada bijih nikel laterit sangat sulit dikarenakan sifat
mineraloginya yang kompleks serta keterbatasan teknologi yang telah ada saat ini. Beberapa
penelitian telah ilakukan untuk mengolah nikel laterit menjadi logamnya dengan menggunakan
beberapa variasi proses yaitu variasi jenis reduktor, aditif, temperatur reduksi. (Setiawan, 2016)

Gambar 2.1. Bijih Nikel Laterit


Nikel adalah salah satu logam yang paling penting dan memiliki banyak aplikasi dalam
industri. Ada banyak jenis produk nikel seperti logam halus, bubuk, spons, dan lainlain. 62%
dari logam nikel digunakan dalam baja tahan karat, 13% dikonsumsi sebagai superalloy dan
paduan non logam karena sifatnya yang tahan korosi dan tahan tinggi suhu

6
II.2 LIMESTONE
Limestone merupakan salah satu flux yang paling umum digunakan dalam pembuatan
pellet bijih besi Bersama dengan dolomite dan olivine serta magnesite. Flux digunakan tidak
hanya untuk meningkatkan formasi slag tetapi juga meningkatkan sifat kehalusan dan pelelehan
serta kemampuan reduksi dari sebuah material. Penambahan limestone pada pellet
menyebabkan kemampuan reduksi pellet meningkat seiring dengan peningkatan porositas pada
pellet karena limestone terdekomposisi pada proses sintering. (Iljana & dkk, 2015)
Apabila dilakukan proses kalsinasi, pada temperature 500oC hingga 1000oC, limestone
mulai terdekomposisi, dimana reaksinya yaitu
CaCO3 (s) ↔ CaO (s) + CO2 (g)
CaO yang merupakan hasil dekomposisi dari limestone merupakan material yang berfungsi
untuk mengikat CO2. (Mohamed & dkk, 2012)

Gambar 2.2. Limestones

II.3 ARANG
Arang merupakan bahan yang banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Arang
biasanya diolah menjadi arang aktif. Arang aktif adalah arang yang diolah lebih lanjut pada
suhu tinggi dengan menggunakan gas CO2, uap air atau bahan-bahan kimia, sehingga
poriporinya terbuka dan dapat digunakan sebagai adsorben. Daya adsorpsisi arang aktif
disebabkan adanya pori-pori mikro yang sangat besar jumlahnya, sehingga menimbulkan gejala
kapiler yang mengakibatkan adanya daya adsorpsi. Karbon aktif disusun oleh atom-atom C
yang terikat secara kovalen dalam suatu kisi heksagonal datar dengan satu atom C pada setiap
sudutnya yang luas permukaan berkisar antara 300 m2/g hingga 3500 m2/g dan ini berhubungan
dengan struktur pori internal sehingga mempunyai sifat sebagai adsorben. (Polii, 2017)
Karbon aktif yaitu suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% senyawa karbon.
Selain untuk bahan bakar, karbon dapat digunakan sebagai penyerap logam berat. Arang aktif
dapat dihasilkan dari beberapa bahan yang mengandung banyak karbon seperti kayu, serbuk
gergajian kayu, kulit biji, sekam padi, tempurung, gambut, bagase, tulang binatang, lignit dan
batu bara. (Silaban, 2018)

7
Gambar 2.3. Arang

II.4 BATUBARA
Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang berasal dari batuan sedimen yang
dapat terbakar dan terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan
terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen
dan oksigen.(Anggraini, 2016)

Gambar 2.1 Proses pembentukan batubara

Proses pembentukan batubara terbagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap biokimia dan tahap
pembatubaraan. Pada tahap biokimia, sisa-sisa tumbuhan yang tersimpan dalam kondisi bebas
oksigen dan drainase yang buruk akan membusuk. Tumbuhan yang membusuk ini akan
melepaskan unsur H, N, O dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O dan NH3 untuk menjadi
humus. Humus tersebut pun diubah menjadi gambut oleh bakteri anaerobik. Tahapan
selanjutnya yaitu tahap pembatubaraan. Tahap ini merupakan proses diagenesis terhadap
komponen organik dari gambut yang menimbulkan peningkatan temperature dan tekanan
sebagai gabungan proses biokimia, kimia dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan
sedimen yang menutupinya dalam kurun waktu geologi. Pada tahap tersebut, persentase karbon
akan meningkat, sedangkan persentase hidrogen dan oksigen akan berkurang sehingga
menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat maturitas material organiknya. Dalam proses
pembentukkannya, terdapat 3 hal yang sangat mempengaruhi, yaitu temperature, waktu dan
tekanan. (Wulandari, 2014)

8
Gambar 2.4. Batubara

II.5 DIRECT REDUTION


Metode reduksi langsung merupakan metode yang umumnya diaplikasikan untuk
mengolah pasir besi. Reduksi langsung dilakukan dengan memanfaatkan reaksi reduksi
karbotermik antara karbon dalam batu bara dengan besi oksida dalam pasir besi. (Abdul &
Wasik, 2018)
Reduksi pemanggangan merupakan proses reduksi logam oksida menjadi logam
menggunakan reduktor tertentu yang dilakukan pada temperatur dibawah temperatur lebur
oksida tersebut (<1000°C). Reduktor yang digunakan biasanya adalah C, gas CO dan gas H2.
Reduktor-reduktor tersebut dapat diperoleh dari kokas (cooking coal), briket anthrasite (coal
briquette), serbuk batu bara (pulverized coal) maupun potongan kayu. Selain itu gas alam dan
minyak bumi (hidrokarbon) juga dapat menjadi sumber gas CO dan gas H2. Reduksi
pemanggangan sering juga disebut dengan istilah reduksi selektif dan reduksi karbotermik.
Pada reduksi karbotermik digunakan reduktor yang berbasis karbon (C-CO-CO2), sedangkan
reduksi selektif secara terminologi berarti mereduksi logam oksida secara selektif dan
mencegah tereduksinya senyawa oksida lain yang tidak diinginkan, contohnya mencegah
terbentuknya ferit dalam reduksi bijih limonit.
Karbon merupakan reduktor yang paling sering digunakan karena memiliki harga yang
murah dan merupakan reduktor yang efektif. Kemampuan karbon untuk berfungsi sebagai
reduktor yang efektif didasarkan pada sifat unik dari karbon tersebut yang membentuk dua
macam gas oksida yaitu karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2) yang memiliki
stabilitas termodinamika yang sangat baik. Reaksi pembentukan gas CO dan CO2 adalah
sebagai berikut:
C + O2 → CO2
2C + O2 → 2CO
Dengan adanya kandungan air pada bijih maupun udara yang kemudian bereaksi dengan
karbon, dapat terjadi reaksi yang menghasilkan gas karbon monoksida dan gas hidrogen.
C + H2O → CO + H2
Posisi garis CO dan CO2 pada diagram Ellingham sangat penting dalam proses reduksi
oksida. Garis Ellingham dari CO2 paralel dengan sumbu x, ini berarti hanya terjadi sedikit
perubahan stabilitas dari gas CO2 dengan semakin bertambahnya temperatur. Sedangkan garis
Ellingham CO mempunyai gradien garis negatif yang sangat besar, hal ini menandakan bahwa
kestabilan dari gas CO semakin bertambah dengan meningkatnya temperatur. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada temperatur rendah gas CO2 bersifat lebih stabil daripada gas CO

9
sedangkan pada temperatur tinggi gas CO bersifat lebih stabil daripada gas CO2. Fase gas pada
kesetimbangan dengan menggunakan karbon sebagai reduktor pada setiap temperatur adalah
campuran antara gas CO dan CO2. Pada PCO + PCO2 = 1 atm dan temperatur dibawah 400°C,
kesetimbangan gas mengandung kurang dari 1% CO. Sedangkan pada temperatur diatas 980°C
mengandung kurang dari 1% CO2. Campuran gas akan sama ketika berada pada suhu 674°C.
Rasio antara PCO/PCO2 pada garis karbon akan selalu tetap pada setiap temperatur karena
terjadi kesetimbangan oleh reaksi :
C + CO2 →2 CO
CO + ½ O2 →CO2
Berdasarkan posisi dari garis karbon terhadap garis pembentukan oksida logam maka
dapat diketahui kemampuan dari karbon untuk mereduksi oksida menjadi logam. Jika garis
karbon berada dibawah garis oksida maka karbon dapat digunakan untuk mereduksi oksida
tersebut menjadi logam. Sedangkan jika garis oksida berada dibawah garis karbon maka karbon
tidak dapat digunakan untuk mereduksi oksida tersebut. Perpotongan antara garis karbon
dengan garis oksida dapat dijadikan sebagai acuan untuk menetukan temperatur minimum yang
dibutuhkan untuk mereduksi oksida menjadi logamnya. Contoh pada reduksi hematite menjadi
magnetite dapat direduksi oleh karbon pada temperatur 275°C.
3 Fe2O3 + C → 2 Fe3O4 + CO T = 275°C
Contoh lainnya adalah nikel oksida dapat direduksi oleh karbon pada temperatur 475°C,
dengan reaksi sebagai berikut :
NiO + C → Ni + CO T = 475°C
(Johansyah, 2012)
Reduktor dengan karbon merupakan jenis reduktor yang paling banyak digunakanuntuk
reduksi bijih nikel karena kelimpahannya yang sangat besar. Salah satu proses yang popular
yaitu produksi ferronikel Krupp-Renn process. Tahapan proses ini yaitu penggerusan bijih
dengan mencampur dengan material berkarbon yaitu batu-bara antrasit, kokas dan limestone
sebagai flux kemudian dibuat briket. Tahap selanjutnya direduksi dengan dialiri gas panas dari
hasil pembakaran batu bara. Produk yang terbentuk didinginkan, digerus, dipisahkan secara
fisik dan terakhir pemisahan dengan magnetik. Produk akhir berupa partikel dengan ukuran 2 -
3 mm dengan komposisi Ni 18-22% (T. Watanabe). Peneliti lain yang melakukan hal yang
mirip yaitu T.Watanabe, Beggs, Hoffman, Diaz. (Setiawan, 2016)
Mekanisme reduksi langsung dimulai dengan pembentukan gas reduktor. Dimana pada
temperatur tertinggi, reaksi antara karbon dengan oksigen akan membentuk gas CO menurut
reaksi:
C + O2 → CO2
CO2 + C → 2CO
Karbondioksida yang dibentuk dapat bereaksi kembali dengan karbon sehingga
terbentuk karbonmonoksida sesuai dengan reaksi boudouard. Karbon tersebut berasal dari
karbon dan gas CO yang merupakan gas reduktor yang akan mereduksi nikel oksida. Pada
proses pembakaran karbon terjadi pembentukan lapisan film. Gas CO yang terbentuk
konsentrasinya lebih rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi gas CO pada fraksi padat.
Selain gas CO sebagai reduktor yang terbentuk dari pembakaran tadi, dihasilkan juga abu yang
mempengaruhi jumlah molekul gas reduktor tiap satuan volume. Gas-gas yang terjadi
dipengaruhi oleh kecepatan molar transformasi karbon padat tiap satuan waktu dan satuan
volume. Proses pembentukan gas CO berjalan dengan seiring waktu, semakin lama waktu
reaksi maka semakin banyak karbon yang bereaksi dengan karbondioksida membentuk
karbonmonoksida yang digunakan sebagai pereduktor.
Reaksi gasifikasi karbon dengan CO2 merupakan reaksi endotermik, oleh karena itu
reaksi ini terjadi pada temperatur tinggi. Pada temperatur 1000°C akan dihasilkan 100% CO

10
pada tekanan 1 atm. Laju reaksi secara keseluruhan dikendalikan oleh laju gasifikasi karbon.
Laju gasifikasi karbon ditentukan oleh beberapa faktor yaitu reaktivitas karbon, temperatur dan
juga ketersediaan panas yang digunakan untuk mempertahankan reaksi hingga mencapai
temperatur operasi.
Reaktivitas yang dimiliki oleh material yang mengandung karbon sangat bervariasi.
Luas permukaan karbon yang memungkinkan terjadinya reaksi antara karbon dengan CO2
merupakan hal yang penting, yang ditentukan oleh ukuran partikel material dan juga porositas
yang dimiliki oleh material. Charcoal, arang dan juga kokas memiliki porositas dan reaktivitas
yang lebih tinggi daripada material karbon alami. Charcoal lebih reaktif daripada kokas pada
temperatur rendah. Kokas yang dibuat dengan tipe karbon yang berbeda-beda juga akan
memberikan reaktivitas yang berbeda-beda. Pada banyak kasus, laju reaksi serta produktivitas
dari proses reduksi langsung ditentukan oleh beberapa faktor yang saling terhubung yaitu :
 Transfer panas (heat transfer)
 Reaktivitas karbon (carbon reactivity)
 Reducibility nikel oksida (nickel oxide reducibility)
Ukuran partikel karbon, jumlah karbon yang tersedia, serta tipe karbon yang digunakan
sangat berpengaruh terhadap laju gasifikasi. Ukuran partikel yang kecil dan ketersediaan dalam
jumlah banyak akan meningkatkan luas permukaan.
Selanjutnya terjadi adsorpsi gas Nikel Oksida dimana bereaksinya molekul-molekul gas
reduktor dengan permukaan nikel oksida yang disebabkan oleh adanya kekuatan fisika dan
kimia disebut sebagai reaksi adsorpsi. Fisika adsorpsi merupakan pengikatan yang terjadi oleh
bergeraknya masing-masing molekul gas. Proses adsopsi gas reduktor ke permukaan nikel
oksida secara fisika dipengaruhi oleh jumlah molekul gas reduktor yang menumbuk permukaan
nikel oksida dalam periode waktu tertentu. Kimia adsopsi merupakan reaksi antara gas reduktor
dengan padatan, di mana gas melingkupi dan berinteraksi dengan permukaan padatan. Proses
adsopsi gas reduktor nikel oksida ke permukaan nikel oksida bergantung pada kemampuan dan
kecenderungan antara gas dengan nikel oksida dalam bertukar ion elektron atau memberi
orbitnya.
Pengurangan oksigen dalam nikel oksida dapat ditunjukkan dengan adanya beda
konsentrasi gas CO2 antara fasa gas dengan fasa kesetimbangan pada permukaan nikel oksida.
Pada nikel oksida terjadi pula proses difusi, dimana difusi didefinisikan sebagai
pergeseran atom di dalam bahan dalam bentuk padat, cair, dan gas. Sedangkan yang dibahas di
sini adalah dalam bentuk padat yaitu nikel oksida pada temperatur tinggi. Pada temperatur
tinggi, tempat atom kosong akan bergerak cepat dengan meningkatnya temperatur. Diperlukan
energi untuk menggerakan sebuah tempat atom kosong dari suatu keadaan setimbang ke
keadaan setimbang lainnya, sebesar ΔHm. Selain itu diperlukan juga energi untuk membentuk
tempat atom kosong, sebesar ΔHv. Sehingga difusi tidak hanya tergantung pada pergerakan
tempat atom kosong (termasuk pergerakan atom ) tetapi juga pada fraksi dari kedudukan tempat
atom kosong.
Konsekuensi dengan bertambahnya tempat atom kosong adalah meningkatnya
kecepatan difusi, atau meningkatnya difusifitas dengan naiknya temperatur.
Reduciability dari nikel oksida sangat dipengaruhi oleh porositas yang dimiliki oleh
nikel oksida tersebut. Semakin tinggi porositas maka akan mempermudah difusi gas pereduktor
CO pada nikel oksida sehingga akan meningkatkan laju reduksi. Bricket hasil aglomerisasi
memiliki porositas yang jauh lebih tinggi daripada piloow yang disinter, sehingga reduciability
pillow hasil aglomerisasi jauh lebih tinggi daripada pillow hasil sinter. Ukuran partikel pereaksi
seperti karbon juga sangat berpengaruh. Semakin kecil partikel karbon maka semakin luas
permukaan yang memungkinkan terjadi reaksi, sehingga laju pembentukan CO semakin tinggi.
Mekanisme reaksi reduksi langsung pada pillow berpori sangat tergantung dari difusi CO untuk

11
menyentuh permukaan nikel oksida dan bereaksi. Semakin banyak pori-pori, semakin mudah
CO berdifusi kedalam pillow sehingga laju reaksi reduksi akan berjalan semakin cepat.
Semakin sedikit pori-pori, semakin sulit CO untuk bereduksi sehingga laju reaksi reduksi akan
berjalan semakin lambat.

Gambar 2.5. Proses Direct Reduction

II.6 CRUCIBLE
Crucible merupakan wadah tahan panas yang digunakan didalam furnace untuk
produksi logam, kaca dan pigmen yang dapat menahan temperature yang cukup tinggi hingga
melelehkan isinya. Secara historis, crucible dibuat dari tanah liat, tetapi dapat pula dibuat dari
berbagai bahan yang memiliki ketahanan yang baik terhadap temperatur tinggi dibandingkan
bahan yang menjadi isinya.
Ketika logam dilelehkan dalam crucible, logam tersebut terproteksi dari sumber panas
ketika meleleh sehingga kondisi lelehannya cukup baik secara metalurgi karena terhindar dari
melt losses. (Sane, 2015)

Gambar 2.6. Crucible

II.7 MUFFLE FURNACE


Furnace adalah sebuah peralatan yang digunakan untuk memanaskan bahan serta
mengubah bentuknya atau merubah sifatnya. Biasanya, furnace disebut pula sebagai oven atau
kiln. Transfer energi pada furnace terjadi dalam tahapan pembangkitan energi panas oleh

12
element heater yang energinya disuplai dari sumber energi. (Rizal, Samantha, & Rachmat,
2016)
Muffle furnace dipanaskan melalui proses konduksi, konveksi ataupun radiasi untuk
mencapai temperature yang seragam dan memastikan material yang dipanaskan terisolasi dari
pengontaminasi dalam pembakaran. Terkadang peningkatan temperature dalam muffle furnace
tidak selalu sesuai dengan yang ditunjukkan oleh sensor. Oleh karena itu dalam penggunaannya,
muffle furnace harus secara rutin di kalibarasi. (Abadi, 2018)

Gambar 2.7. Muffle Furnace

II.8 AGLOMERASI
Aglomerasi adalah proses penggumpalan dari material halus menjadi lebih besari
dimana material-material halus harus saling menempel dan berganung satu sama lain. (Sharfina,
Nuryanto, & Putra, 2015)
Aglomerasi pada bijih yang dibagi ke beberapa metode umum yang digunakan dalam
indsutri metalurgi yaitu Briquetting, Sintering dan Pelletizing. Perbedaan kebutuhan tiap
metodenya terdapat pada ukuran partikelnya. Pada proses sintering, dibutuhkan partikel yang
lebih kasar (umumnya hingga 10 mm) sedangkan untuk pelletizing sebesar < 0,1 mm. Untuk
metode briquetting dapat mengakomodasi kedua ukuran partikel dari sintering dan pelletizing.
Proses aglomerasi menjadikan ore laterit yang berupa tanah digumpalkan yang telah
dicampur dengan batubara serta fluks dengan komposisi tertentu. Sehingga burden material
hasil aglomerasi akan sesuai untuk proses pada Mini Blast Furnace
Proses algomerasi yang digunakan berupa pembriketan. Campuran dari laterit, batu
bara, dan fluks dikompresi dalam suatu cetakan dengan bentuk tertentu, dengan komposisi
tambahan berupa kanji yang berfungsi sebagai zat pengikat.
Kanji digunakan sebagai pengikat (binder) briket untuk meningkatkan kekuatan green
briquette sebelum proses roasting, mengurangi tingkat degradasi briket saat transporatsi dan
handling. Karena hanya untuk keperluan sebelum proses roasting, binder tidak boleh
memberikan efek negatif pada proses roasting. Kanji dipilih sebagai binder karena kanji
merupakan zat organik, yang akan terbakar habis saat pemanasan.
Menurut Li (2012), perlu ditambahkan bahan tambahan berupa Natrium Sulfat untuk
mekanisme selective reduction pada Ni. Secara spesifik pembriketan dibagi menjadi briket
dingin dan birket panas. Briket dingin hanya dilakukan pada temperature kamar, sedangkan
briket panas dilakukan proses kalsinasi hingga temperatur diatas 1000 oC hingga dibawah
temperatur lelehnya. Proses kalsinasi dilakukan dalam proses roasting.

13
Bentuk briket yang digunakan berupa bentuk bantal / pillow (Gambar 2.3) dipilih
dengan maksud tertentu. Jika dibandingkan dengan briket berbentuk bola yang memiliki
keseragaman tegangan di seluruh permukaannya. Namun briket dengan bentuk bola akan sulit
dibuat karena keterbatasan alat yang ada, proses pelepasan briket bola dari alat biket atau
cetakan akan sulit dilakukan. Maka briket bebentuk bantal lebih mudah dibuat dengan
menggunakan alat yang sudah komersial. Briket bentuk bantal dengan volume yang sama
memiliki tebal penambang kecil dan luas permukaan yang lebih besar dibanding dengan bentuk
bola. Hal tersebut akan meningkatkan heat flux saat proses pemanasan. Heat flux yang besar
akan meningkatkan heat transfer sehingga tingkat reduksi yang terjadi juga akan semakin besar
Pada proses pembriketan, proses reduksi yang terjadi haruslah secara optimal.
Temperatur kalsinasi / roasting haruslah sesuai dengan temperature terjadinya reaksi reduksi
dari mineral nikel dan besi dalam laterit. Ketika temperatur tidak mencukupi maka reaksi
reduksi tidak optimal karena energi yang diperlukan tidak mencukupi.
Perlu juga dipertimbangkan kebutuhan gas CO sebagai agen reduktor. Gas CO berasal
dari batu bara, sehingga diperlukan perhitungan kebutuhan komposisi batu bara yang sesuai.
Apabila ketersediaan batu bara tidak memadahi maka reaksi tidak berjalan optimal karena gas
CO juga kurang untuk mereduksi mineral nikel dan besi yang ada. (R&D Division Tata Steel,
2007)

Gambar 2.8. hasil proses aglomerasi

14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 DIAGRAM ALIR


III.1.1 Diagram Alir Percobaan Briquetting

Start

Preparasi

Tapioka ditimbang Bijih nikel laterit Arang di hancurkan Na2SO4 ditimbang


di hancurkan

Di ayak dengan Di ayak dengan


screen 50 mesh screen 50 mesh

Di timbang Di timbang

Pencampuran Bahan

Campuran dijadikan briket bentuk pillow, tekanan


kompaksi 50 khf/cm2

Drying briket didalam oven pada temperatur


110oC selama 3 jam

Shatter index test

Analisa Data

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Percobaan Briquetting

15
III.1.2 Diagram Alir Percobaan Reduksi Langsung

Mulai

Persiapan alat dan bahan

Percobaan

Analisa Data dan Pembahasan

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.2 Diagram Alir Percobaan Reduksi Langsung

III.2 ALAT DAN BAHAN


III.2.1 BRICKETING + DRYING
III.2.1.1 Alat
1. Compacting devide
2. Oven for drying
3. Crusher
4. Screen Mesh 50
5. Beaker Glass
6. Digital Scale
III.2.1.2 Bahan
1. Nickel Laterit Ores 100g
2. Charcoal 30g
3. Na2SO4 Powder 12g
4. Tapioca 6g
5. Aquades secukupnya

III.2.2 DIRECT REDUCTION


III.2.2.1 Alat
1. Muffle Furnace
16
2. Crucible
3. Thermocouple
4. Blower
III.2.2.2 Bahan
1. Briket nikel 4 buah
2. Coal 20-70g
3. Limestone 18,20,22,24
4. LPG secukupnya

III.3 PROSEDUR PERCOBAAN


III.3.1 BRICKETING + DRYING
1. Lateritic nickel ores and charcoals are crushed using crusher
2. The lateritic nickel ores and charcoals are sieved using 50 mesh standard sieve
3. The lateritic nickel ores out from the sieve are mixed with woodd charcoals and
sodium sulphate (Na2SO4) with mass ratio of 100 : 12 : 12 (ore : Charcoal : Na2SO4).
4. Tapioca mixed with water of 100 ml, and heated in boiling water until slightly
thickened.
5. The mixture of lateritic nickel ore, wood charcoal, and Na2SO4 are added with tapioca
which has slightly thickened and stirred until evenly distributed.
6. The mixture is formed into a pillow briquette using a mold.
7. The existing mixture is molded with pillow shape with compaction device with a
pressure of 30 kgf/cm2. In one agglomeration process, it takes 1 piece of briquettes.
8. Briquettes are measured in mass using digital scale.
9. Briquettes measured its bulk volume using the Archimedes principle.
10. The briquettes which have been compacted are then dried at 110 oC for 3 hours using
the drying oven.
11. Briquettes are assessed from their shape visually to see if there are any cracks or not.
12. The briquettes measured their mass after drying and calculated mass changes before
and after drying and compared the mass homogeneity between the four briquettes.
13. The briquettes after drying are measured its bulk volume using the Archimedes
principle and calculated the pores present in the briquettes.
14. Briquettes are tested for fall strength using a shatter index test. Briquette is placed at a
height of 2 meters. Briquettes are freely dropped from a height of two meters to a steel
plate. Briquettes are measured in size distribution (category 1 : size <5 mm, category 2
: size 5-10 mm and category 3 : size> 10 mm).

III.3.2 DIRECT REDUCTION


1. The briquette is inserted into the crucible which contains a mixture of coal and
limestone. The limestone used in the bed varies between groups according to the table
below :
Group Limestone Mass Na2SO4 Sulphuric Powder
1 20 g 12 g -
2 22 g 12 g -
3 24 g 12 g -

17
4 26 g 12 g -
5 70 g - 5g
6 70 g - 10 g
7 70 g - 15 g
8 70 g - 20 g
9 70 g - 25 g
10 Further Determined Further Further
Determined Determined
11 Further Determined Further Further
Determined Determined
12 Further Determined Further Further
Determined Determined
13 Further Determined Further Further
Determined Determined
14 Further Determined Further Further
Determined Determined
15 Further Determined Further Further
Determined Determined
o
2. Crucible is placed in Muffle Furnace and preheated to 700 C in 60 minutes. Then, it
was holded at temperature 700oC for 2 hours.
3. Temperature was increased to temperature of 1350oC in 60 minutes. Then, it was
holded at a temperature of 1400oC for 6 hours.
4. The briquette is cooled inside the Muffle Furnace for 12 hours.
5. The reduced briquette is removed from Muffle Furnace.
6. Reduction briquette is weighed.
7. Calculation of degree reduction.

III.4 FORMULA PERHITUNGAN


III.4.1 Perhitungan volume dan massa jenis briket
The change in volume is calculated by the following equation,
Δ𝑉𝑜𝑙 = 𝑉𝑜𝑙(𝑓𝑖𝑛𝑎𝑙) − 𝑉𝑜𝑙(𝑖𝑛𝑖𝑡𝑖𝑎𝑙)

The change in volume (ΔVol) in mL is the volume of the briquettes. Then, the density of the
briquettes is calculated by the following equation,
𝑚 𝑏𝑟𝑖𝑞𝑢𝑒𝑡𝑡𝑒
ρ=
Δ𝑉𝑜𝑙

Then, to calculate the pore size of the briquettes, the calculation is done using the
equation,
%Pores = Δ𝑉𝑜𝑙 − 𝑉𝑜𝑙 𝑏𝑟𝑖𝑞𝑢𝑒𝑡𝑡𝑒 𝑎𝑝𝑝𝑟𝑜𝑟𝑖𝑎𝑡𝑒 𝑡𝑜 𝑡ℎ𝑒 𝑚𝑜𝑙𝑑

After the briquette is carried out the process of direct reduction will then be cooled and then
weighed to be calculated at the reduction level with the equation,

18
𝑂2 𝑟𝑒𝑚𝑜𝑣𝑒𝑑
%Degree of Reduction = 𝑥 100%
𝑂2 𝑖𝑛𝑖𝑡𝑖𝑎𝑙

19
DAFTAR PUSTAKA

Abadi, F. R. (2018). Design Of A Simple Muffle Furnace For Temperature Optimization In


Ash Content Analysis. Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 30.
Abdul, F., & Wasik, H. (2018). Analisa Penggunaan Beberapa Jenis Arang Lokal Sebagai
Reduktor dalam Proses Pembuatan Besi Spon (Sponge Iron) dari Bahan Baku Pasir
Besi Menggunakan Metode Reduksi Langsung. Jurnal IPTEK Media Komunikasi
Teknologi, 43.
Anggraini, D. (2016). DESULFURISASI BATUBARA DENGAN METODE ELEKTROLISIS
DITINJAU DARI WAKTU ELEKTROLISIS DAN KECEPATAN PENGADUKAN.
Palembang: Politeknik Negeri Sriwijaya.
Iljana, M., & dkk. (2015). Effect of Adding Limestone On The Metallurgical Properties Of
Iron Ore Pellets. International Journal of Mineral Processing, 34.
Johansyah, D. (2012). Studi Pengaruh Proses Reduksi Pemanggangan Dan Waktu Pelindian
Amonium Bikarbonat Terhadap Perolehan Nikel Dari Bijih Limonit. Depok:
Universitas Indonesia.
Kurniadi, A., & dkk. (2017). Karakterisasi Batuan Asal Pembentukan Endapan Nikel Laterit
Di Daerah Madang Dan Serakaman Tengah. Padjajaran Geoscience Journal, 149.
Mohamed, M., & dkk. (2012). Decomposition Study Of Calcium Carbonate In Cockle Shell.
Journal of Engineering Science and Technology, 1.
Polii, F. F. (2017). PENGARUH SUHU DAN LAMA AKTIFASI TERHADAP MUTU
ARANG AKTIF DARI. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 21.
R&D Division Tata Steel. (2007). Agglomeration And Prereduction Of Ores. 3.01.
Rizal, A., Samantha, Y., & Rachmat, A. (2016). Pembuatan Tungku Pemanas (Muffle
Furnace) Kapasitas 1200 C. Jurnal J-Ensitec, 13.
Sane, G. M. (2015). DESIGN, CONSTRUCTION AND TESTING OF A CHARCOAL FIRED
CRUCIBLE FURNACE FOR MELTING OF 10KG OF ALUMINUM. Zaria:
AHMADU BELLO UNIVERSITY.
Setiawan, I. (2016). Pengolahan Nikel Laterit Secara Pirometalurgi: Kini Dan Penelitian
Kedepan. Jurnal UMJ, 1.
Sharfina, E., Nuryanto, R., & Putra, T. Y. (2015). Pengaruh Variasi Waktu Milling Terhadap
Karakter Produk Sintesis MiMn2O4 dengan Reaksi Padat-Padat. Jurnal Kimia Sains
dan Aplikasi, 7.
Silaban, D. P. (2018). ACTIVATED CARBON MADE OF COCONUT SHELL
CHARCOAL FROM BOILER. Jurnal Dinamika Penelitian Industri, 119.
Wulandari, A. (2014). PENGARUH UKURAN BATUBARA DAN WAKTU PEMANASAN
TERHADAP PENINGKATAN MUTU BATUBARA LIGNIT MENGGUNAKAN
CAMPURAN BIOSOLAR DAN MINYAK JELANTAH. Palembang: Politeknik Negeri
Sriwijaya.

20

Anda mungkin juga menyukai