Anda di halaman 1dari 4

Pilih Pemakaman atau Kremasi?

Tinjauan atas praktek iman Katolik


F.X. Didik Bagiyowinadi Pr

Sebagai orang Katolik manakah yang boleh kita pilih: pemakaman atau kremasi? Keduanya
diperbolehkan. Tetapi manakah yang sebaiknya dipilih, kita simak pernyataan Gereja ini,
“Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah
dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan
yang bertentangan dengan ajaran kristiani” (Kan. 1176$3).

Prioritas pada Pemakaman


Gereja memprioritaskan jenazah untuk dimakamkan daripada dikremasi dengan alasan:

1. Hal itu sesuai dengan praktek dalam Perjanjian Lama (Abraham, Ishak, Musa,
dsb) dan Perjanjian Baru (Yesus, Stefanus). Bahkan Perjanjian Lama melihat
jenazah yang tidak dikuburkan tetapi hangus dalam api sebagai hukuman Tuhan,
mis. Sodom-Gomora (Kej 19:1-29), Jezebel (2 Raj 9:30-37),dan keturunan Ahab
(1 Raj 21:17-24).
2. Dengan dimakamkan simbolisasi untuk dibangkitkan oleh Kristus pada akhir
zaman menjadi lebih jelas. Demikian pula sesuai dengan ilustrasi St. Paulus
seperti benih yang ditaburkan ke tanah (1 Kor 15).
3. Pada masa penganiayaan Gereja oleh kekaisaran Romawi, jenazah para martir
dimakamkan secara rahasia di kuburan bawah tanah yang disebut dengan
katakombe. Mereka tidak mengikuti kebiasaan kafir Romawi yang membakar
jenazah.
4. Gereja Katolik baru mengizinkan praktek kremasi pada tahun 1969. Namun,
dengan memberi catatan bahwa alasan kremasi tidak boleh bertentangan dengan
iman kristiani.

Mengapa Kremasi Diperkenankan?


Ada banyak alasan mengapa orang Katolik memilih kremasi dan hal itu bisa diterima oleh
Gereja. Misalnya, alasan higienis pada jenazah yang mempunyai penyakit menular. Alasan
ekonomis karena sedikitnya lahan untuk pemakaman, misalnya di Singapura. Alasan praktis
dalam kasus korban kecelakaan yang jenazahnya hancur. Atau, bisa jadi sekedar mengikuti
tradisi dan kebiasaan leluhur tanpa harus menolak iman akan kebangkitan badan.

Kremasi dan Kebangkitan Badan


Dalam diskusi apakah kremasi itu tidak bertentangan dengan iman Kristen, salah satu hal yang
dipersoalkan adalah bagaimana mungkin orang yang dikremasi bisa turut dalam kebangkitan
badan? Untuk menjawab keberatan ini mari kita melihat ajaran St. Paulus dalam 1 Kor 15:44,
“Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah”. Jadi, yang
dibangkitkan pada akhir zaman nanti adalah tubuh rohaniah yang berbeda dengan tubuh alamiah
yang dimakamkan, dikremasi, hilang di laut, hancur terkena bom Bali, ataupun dimangsa
binatang liar. Bukankah tubuh alamiah yang dimakamkan pun akan terurai dengan tanah?

Bagaimanakah tubuh rohaniah itu? Gambaran tubuh rohaniah setelah kebangkitan bisa kita lihat
pada Tubuh Yesus setelah kebangkitan, di satu pihak ada kemiripan dengan tubuh-Nya sebelum
meninggal, ada lima luka di telapak tangan, lambung, dan kedua kaki. Tetapi, di lain pihak tidak
sama persis dengan Tubuh-Nya saat disalibkan sehingga para murid sulit untuk langsung
mengenali-Nya. Hal ini berbeda dengan kebangkitan Lazarus yang kemudian akan mati lagi.

Mungkin Anda bertanya, bagaimana mungkin tubuh yang dikremasi dan menjadi abu
[sebenarnya partikel-partikel tulang] itu bisa dibangkitkan oleh Tuhan? Jawabannya tentu saja
Tuhan jauh lebih kuasa daripada pemikiran kita. Apalagi yang dibangkitkan adalah tubuh
rohaniah. Dalam Kitab Wahyu 20:13 juga disebutkan penghakiman bagi mereka yang tidak
dimakamkan, “Maka laut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, dan maut dan
kerajaan maut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, dan mereka dihakimi
masing-masing menurut perbuatannya.” Jadi, apakah jenazah kita dimakamkan ataukah
dikremasi kita tetap akan dihakimi dan dibangkitkan dalam tubuh rohaniah. Jiwa kita yang abadi
tidak akan hilang, melainkan menerima kebahagiaan kekal atau hukuman kekal.

Alasan yang Bertentangan dengan Iman Katolik


Hukum Gereja di atas memberi syarat bahwa alasan kremasi tidak boleh bertentangan dengan
iman Katolik, khususnya iman akan kebangkitan badan. Setidaknya ada dua alasan kremasi yang
bertentangan dengan iman Katolik:
a. Orang-orang Yunani dan Romawi mengkremasi jenazah dengan alasan bahwa tubuh adalah
penjara jiwa. Kematian justru melepaskan jiwa dari penjaranya. Maka mereka merasa tak perlu
repot-repot lagi dengan jenazah yang bagi mereka sekedar penjara jiwa. Paham Yahudi-Kristiani
melihat badan-jiwa-roh manusia adalah satu-kesatuan. Maka setelah kematian mereka
menantikan adanya kebangkitan badan. Kebangkitan Yesus Kristus dari kematian memberi
jaminan akan kebangkitan kita dan kemenangan atas kuasa maut.
b. Mereka yang menerima paham reinkarnasi menganggap bahwa kremasi akan mempercepat
proses manusia lepas dari putaran reinkarnasi. Dalam paham panteisme, kremasi menjadikan
jenazah orang itu segera bersatu dengan alam semesta. Paham demikian bertentangan dengan
iman kristiani. Setiap orang diciptakan Tuhan secara unik. Pada akhir hidupnya masing-masing
mesti mempertanggungjawabkan perbuatannya “Manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali
saja dan sesudah itu dihakimi” (Ibr 9:27). Mungkin ada yang berpikir, apakah surga bisa
menampung semua orang yang pernah hidup di dunia ini sejak zaman purbakala? Pemikiran
demikian terlalu materialistis. Kita bisa memegang janji Tuhan Yesus sendiri, “Di rumah Bapa-
Ku ada banyak tempat tinggal.”

Abu Kremasi Mesti Diapakan?


Dalam Order of Christian Funerals bagian Appendiks II no. 417 yang diterbitkan pada tahun
1997, diberikan catatan bagaimana kita mesti memperlakukan abu kremasi [sebenarnya partikel-
partikel tulang]. Dua praktek yang dilarang adalah: penaburan/pelarungan abu kremasi ke
laut/sungai, entah dari udara atau dari pantai, dan penyimpanan abu kremasi di rumah sanak
kerabat atau sahabat. Gereja menganjurkan agar abu kremasi itu dimakamkan di pemakaman
atau disemayamkan di mausoleum atau columbarium. Saat ini di tempat ziarah Pohsarang,
Kediri, sudah ada tempat columbarium untuk menyemayamkan abu kremasi.

Gereja menganjurkan agar abu kremasi dimakamkan atau disemayamkan di


mausoleum/columbarium agar ada tempat untuk mengingat pribadi yang meninggal sekaligus
tempat kita berziarah dan berdoa.

Demikianlah beberapa hal yang mesti dipertimbangkan dalam memilih pemakaman atau
kremasi. Maka dalam kondisi normal sebaiknya kita lebih memilih pemakaman Katolik. Namun
bila suara hati kita condong memilih kremasi dengan alasan yang tidak bertentangan dengan
iman Katolik, Gereja akan tetap melayani.

Sumber: F.X. Didik Bagiyowinadi Pr, SAKRAMEN PENYEMBUHAN - (Yogyakata: Pustaka


Nusatama, 2007) hlm. 98-103.

Mitos hidup perkawinan: menerima pasangan apa adanya!

Blasius Slamet Lasmunadi, Pr

Dalam kursus persiapan perkawinan, saya mengajukan pertanyaan pertama begini, "Apakah
kaliah harus menerima kelemahan pasangan apa adanya?" Dengan penuh semangat mereka
menjawab, "Pasti dong Romo! Masak sudah suami isteri nggak mau meneriman kelemahan
pasangan!" Lalu saya tidak mengomentari, tapi saya bertanya lagi, "Sampai kapan kalian akan
saling menerima kelemahan apa adanya?" Dengan mantap tanpa ragu ragu, mereka pun
menjawab, "Yah pastilah kami mau menerima kelemahan sampai maut memisahkan Romo.
Masakan kita sudah janji nikah, mau diingkari!"

Saya masih juga belum berkomentar, tapi memperdalam jawaban, "Kalau


begitu, "Apa jaminan kalian, kok bisa mengatakan mampu saling menerima
kelemahan pasangan sampai akhir hayat? Kalau orang hutang di pegadaian,
jaminannya bisa sertifikat tanah, dsb. Kalau
kalian bertekad mau menerima
kelemahan "apa adanya",
jaminannya apa? Pasangan itu
lalu bekerut dahi. Namun
mereka berusah menjawab,
"Romo, jaminan kami ya
percaya saja pada pasangan,
dan ingat janji nikah!" Saya
mulai menggugat jawaban
mereka, "Ah apa benar, saya
kok tidak yakin!! Coba
sekarang kalau kenyataannya
begini. Misalnya, kalau
suamimu ini sering tidak bisa
bangun malam, padahal sebagai
ibu, kamu sudah capek, dan
tidak bisa

bergantian jaga untuk ganti popok anakmu, apakah sebagai ibu, kamu akan diam saja atau mau
protes atau marah?"Pihak calon isteri langsung saja spontan menjawab, "Yah kalau begitu, mana
bisa Romo, pasti saya juga marah!' Saya langsung tertawa, sambil menyahut, "Nah, lho...baru
saja tadi kalian bilang mau menerima kelemahan apa adanya, kok sekarang berbeda jawabanmu?
Coba saya tanya pada calon suami nih, "Mas, kalau isterimu judes dan galak, selalu saja
komentar dengan cara berpakaianmu, caramu makan, dsb, kira kira kamu terima apa nggak
diperlakukan begitu oleh isterimu nanti?" Spontan, calon suami tadi langsung menyahut,
"Romo, yah harapannya tidak seperti itu, tapi kalau terjadi, mana saya bisa terima kelemahan
isteri saya!"

Saya lalu menanggapi jawaban mereka berdua, "Nah ternyata apa yang tadi kalian katakan tidak
konsisten kan? Setelah dihadapkan pada contoh dan kenyataan yang akan terjadi, kalian sudah
mengatakan "tidak bisa menerima kelemahan pasangan!" Jadi sebenarnya, mitos itu mesti
diganti dengan cara pandang baru, bagaimana mengubah PARADIGMA KITA TENTANG
KELEMAHAN MANUSIA, Kelemahan yang dianggap sebagai gangguan yang
menggelisahkan, membosankan dan mengecewakan, dipahami sebagai "SAAT SAAT
ISTIMEWA PENUH RAHMAT TUHAN untuk tumbuh dan berkembang sebagai pasangan
hidup

Contohnya begini: kalau isterimu judes, galak dan cerewet, itu kesempatan bagimu sebagai
suami untuk "dinilai, dikritik dan ditunjukkan kesalahanmu" Jadi nanti kalau habis bekerja,
kalau ada kesalahpahaman, tanyalah pada isterimu, "apa yang salah dalam diriku menurutmu,
coba kamu nilai kerjaanku apa sudah baik apa belum!" Kalau, suamimu sering bangun terlambat
karena tidur larut malam, atau tidak bisa bangun malam untuk berganti jaga, tanyakan pada
suamimu, "Mas, kalau kamu bangun terlambat, saya belajar untuk memahami bagaimana kamu
capek seharian sudah kerja. Tapi saya juga jadi ingin tahu, apa Mas keberatan dengan tanggung
jawab untuk berganti jaga malam hari mengganti popok? Kalau keberatan, katakan, ya itulah
resiko yang harus aku tanggung! Namun, alangkah senangnya, kalau Mas bisa bangun pagi, atau
bisa berjaga malam! Tapi itu harapanku!" Isteri belajar untuk mempelakukan suami menjadi
"diri sendiri". Demikian juga suami yang mengenal isterinya judes, ia tidak mau mengubahnya,
melainkan menghargai dia dengan cara memberi kesempatannya menilai.
Dari berbagai pengamatan, setelah pandangan itu diterapkan, ternyata mengurangi banyak
percecokkan dalam keluarga. Mereka bisa bergembira dalam hidup perkawinan, Tidak usah
pusing saling mempersatukan perbedaan, melainkan mereka bisa sersan, serius tapi santai,
menghadapi kelemahan satu sama lain.

Moga moga makin banyak hidup perkawinan menjadi tanda kehadiran cinta Allah yang
membebaskan orang untuk saling mengasihi.

Blasius Slamet Lasmunadi, Pr

Anda mungkin juga menyukai