Keluarga merupakan lembaga yang terdiri atas seorang suami, seorang istri, baik
dengan anak maupun tanpa anak, dan mungkin masih ada orang lain lagi. Sebagai sebuah
lembaga, masing-masing berada pada posisinya dan bersinergi, sehingga roda lembaga itu
dapat bergerak dan berfungsi. 2 Allah memberikan hukum-hukum dan peraturan-peraturan
mengenai keluarga. Jika menghendaki keluarga yang berbahagia, kita harus mentaati
hukum-hukum Allah. Sebaliknya, keluarga akan mengalami ketidakbahagiaan jika
melanggar hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah
mengenai pernikahan dan keluarga. Namun, adakalanya permasalahan dalam keluarga
juga timbul akibat pandangan-pandangan yang berlaku di masyarakat, yaitu adanya
permasalahan bias gender yang terjadi di dalam keluarga.
1
Ditulis oleh Dr. Josephine K. Mantik, M.Hum.
2
Teha Sugiyo, Keluarga sebagai Sekolah Cinta (Bandung: Lembaga Literatur Baptis,
1996), 19-20.
1
berbagai ayat-ayat Firman Tuhan itu hanya berdasar pemahaman teks yang terpotong-
potong, dan bukan secara kontekstual dengan pengamatan secara holistik.
Dalam Efesus 5:21 dikatakan “Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang
lain di dalam takut akan Kristus”. Sementara, dalam Efesus 6:9 dikatakan “Dan kamu
tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah
bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka”. Dari
kedua ayat tersebut dapat disatukan dua benang pikiran sebagai berikut.
Pertama, dari segi keluarga, suami dilihat sebagai kepala keluarga dan istri wajib
tunduk padanya serta menghormatinya. Sebagai kepala, suami harus mengasihi istrinya
seperti dirinya sendiri serta mengasuh dan merawatnya bagaikan tubuhnya sendiri.
Bukankah laki-laki meninggalkan ayah dan ibu serta bersatu dengan istrinya sehingga
mereka menjadi satu daging, yaitu satu unit baru? Hal itu merupakan suatu rahasia. 3
Kedua, dari segi gerejawi, Kristus dilihat sebagai kepala tubuh-Nya, yaitu gereja. 4
la menyelamatkannya dengan menyerahkan diri baginya. Melalui air baptisan dan firman,
la menguduskannya, sehingga gereja itu berdiri bagaikan pengantin perempuan di
hadapan-Nya dengan cemerlang, tanpa cacat. Kristus mengasihi tubuh-Nya dan merawat
kita sebagai anggota tubuh itu, dan kita hendaknya tunduk pada-Nya dalam segala hal.
Hal itu merupakan satu rahasia besar, yang hanya dapat diterima dalam iman.
Titik kesamaan dan perbedaan dalam dua kiasan di atas jelas:
1) Suami dan Kristus adalah kepala, tetapi sebagai kepala rumah tangga, sang suami
menjalankan suatu fungsi sosial dan sang istri hendaknya tunduk pada bidang itu
saja. Istri tetap bertanggung jawab kepada Allah (sebab ada situasi bahwa istri
hendaknya memilih apa yang baik di hadapan Allah, sekalipun suaminya tidak
setuju).
2) Suami dan Kristus sama-sama mengasihi, tetapi Kristus menyerahkan nyawa-Nya
dan menyelamatkan gereja, sedangkan suami merawat istri dalam hidup sehari-hari
serta menerima keselamatan bersamanya dari Kristus.
3) Gereja dikiaskan dengan pengantin (bandingkan 2 Korintus 11:2 – 3) yang setelah
dimandikan dan dihias tampak cemerlang bagi pengantin laki-laki; baru secara
eskatologis, pada akhirat, gereja akan menjadi seperti itu (bandingkan Wahyu 19:7
dan 22:17). Lain sekali cara pengantin perempuan bersatu dengan suaminya menjadi
suatu unit baru yang fana, sehingga daya tarik antara suami dan istri memang
merupakan suatu rahasia. Kesamaannya ada, namun perbedaan lebih besar. Kiasan
Allah sebagai suami umat-Nya (bandingkan Hosea 1 – 3 di atas) dikenakan pada
Kristus dan Gereja serta dipakai sebagai patokan nikah patriarkal. 5
3
Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, 125.
4
Ibid.
5
Ibid., 126.
2
Dengan demikian, tatanan patriarkal itu dijadikan “kudus” dan abadi: suami
disamakan dengan Tuhan dan istri harus tunduk padanya dalam segala hal, sehingga ia
kehilangan kemerdekaan anak Allah; ia tidak lagi dapat menegur suaminya atau
mengambil jalannya sendiri ketika suaminya menentang kehendak Tuhan. Pengarang
surat Efesus tidak dengan sengaja menuju ke situ, ia ingin menekankan bahwa orang
Kristen hendaknya merendahkan diri seorang dengan yang lain (ayat 5:21 berlaku untuk
suami istri dan kepatuhan istri hanya merupakan contoh kerendahan hati itu).
B. Penutup
6
Malcolm Brownlee, Hai Pemuda, Pilihlah!: Menghadapi Masalah-Masalah Etika
Pemuda (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 65.
3
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dasar suatu keluarga yang berbahagia
adalah kepercayaan dan kasih seorang suami terhadap istrinya dan penghargaan dan
hormat istri terhadap suaminya. Mereka harus selalu mengingat bahwa yang satu
disediakan bagi yang lainnya. Keluarga hanya ada jika terdapat kasih dan kepercayaan,
serta saling menghormati dan saling menghargai. 7 Bagi anak-anak, keluarga merupakan
sekolah dan gereja mereka yang mula-mula, tempat mereka belajar mana yang benar dan
mana yang baik. Tempat mereka dihiburkan apabila mereka terluka atau sakit. Tempat
mereka dapat bersuka cita bersama-sama dan tempat kesedihan dan kesulitan mereka
diringankan. Keluarga juga merupakan tempat ayah dan ibu dihormati dan dikasihi serta
anak-anak dinantikan dan disayangi.8
Daftar Pustaka
7
Ibid., 6.
8
Ibid., 9.
4
Alkitab Penuntun: Hidup Berkelimpahan. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2004.
Frommel, Marie Claire Barth. 2003. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu.
Pengantar Teologis Feminis. Cetakan I. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat. Bahan Pelajaran Katekisasi Buku I.
Jakarta: Majelis Sinode GPIB.
Graham, Billy. Keluarga yang Berpusatkan Kristus. Bandung: Penerbit Kalam
Hidup, 1972.
5
Hadiwardoyo, Purwa. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1990.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang:
UMM Press, 2002.
Hendrik-Ririmasse, Margaretha M. 2000. ”Teologi Feminis dalam Kurikulum
Pendidikan Teologi: Implementasinya dalam Pelayanan Gereja di
Indonesia” dalam Bentangkan Sayapmu. Jakarta: Persetia.
Hommes, Anne. 1992. Perubahan Peran Laki-laki dan Wanita dalam Gereja dan
Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Lerner, Gerda, The Creation of Patriarchy. Oxford and New York: Oxford
University Press, 1986.
Marshall, Alfred. The Niv Interlinear Greek – English New Testamen. Michigan:
New York Bible Society International, 1976.
Mastury, Pendekatan Agama Dalam Filsafat Sejarah. Yogyakarta: Nur Cahaya,
1982.
Poerwowidagdo, Judo. 1999. ”Peran dan Kedudukan Wanita dalam Gereja dan
Teologi: Suatu Perkembangan Global” dalam Stephen Suleeman dan
Bendalina Souk. Berikanlah aku Air Hidup Itu. Jakarta: Persetia.
6
Siagian, Kornelius. 2005. Perempuan: dari Dapur hingga ke Liang Kubur.
Jakarta: STT WMI.