Anda di halaman 1dari 7

BAB X1

KONSEP KELUARGA KRISTEN

Keluarga merupakan lembaga yang terdiri atas seorang suami, seorang istri, baik
dengan anak maupun tanpa anak, dan mungkin masih ada orang lain lagi. Sebagai sebuah
lembaga, masing-masing berada pada posisinya dan bersinergi, sehingga roda lembaga itu
dapat bergerak dan berfungsi. 2 Allah memberikan hukum-hukum dan peraturan-peraturan
mengenai keluarga. Jika menghendaki keluarga yang berbahagia, kita harus mentaati
hukum-hukum Allah. Sebaliknya, keluarga akan mengalami ketidakbahagiaan jika
melanggar hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah
mengenai pernikahan dan keluarga. Namun, adakalanya permasalahan dalam keluarga
juga timbul akibat pandangan-pandangan yang berlaku di masyarakat, yaitu adanya
permasalahan bias gender yang terjadi di dalam keluarga.

A. Ideologi Gender dalam Keluarga


Ideologi gender sebagai hasil konstruksi masyarakat menimbulkan berbagai
masalah dalam keluarga. Pemahaman bahwa setelah menikah istri adalah milik suami,
mengundang perilaku suami untuk menguasai istri. Istri menjadi bergantung pada suami
dan merasa harus dilindungi. Padahal belum tentu laki-laki sebagai seorang pribadi
memiliki kemampuan untuk melindungi dan menafkahi keluarganya. Adanya masalah
stereotipe atau pelabelan terhadap laki-laki dan perempuan, menyebabkan terjadinya
pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Dampak dari pelabelan ini adalah banyak
perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian
rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci,
mencari air untuk mandi, hingga merawat anak. Karena anggapan stereotipe ini, sejak
dini perempuan telah disosialisasikan untuk menekuni peran domestik. Di lain pihak,
laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan
domestik itu.
Perbedaan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
keluarga tidak lepas dari penafsiran yang keliru terhadap ayat-ayat dalam Alkitab. Ada
banyak perikop mengatakan bahwa istri haruslah tunduk dan patuh kepada suami (Ef
5:22; Kol 3:18, 1 Pet 3:1). Berbagai kisah dalam Alkitab seolah
memarginalisasikan/meminggirkan perempuan. Lebih-lebih jika dalam menafsirkan

1
Ditulis oleh Dr. Josephine K. Mantik, M.Hum.
2
Teha Sugiyo, Keluarga sebagai Sekolah Cinta (Bandung: Lembaga Literatur Baptis,
1996), 19-20.

1
berbagai ayat-ayat Firman Tuhan itu hanya berdasar pemahaman teks yang terpotong-
potong, dan bukan secara kontekstual dengan pengamatan secara holistik.
Dalam Efesus 5:21 dikatakan “Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang
lain di dalam takut akan Kristus”. Sementara, dalam Efesus 6:9 dikatakan “Dan kamu
tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah
bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka”. Dari
kedua ayat tersebut dapat disatukan dua benang pikiran sebagai berikut.
Pertama, dari segi keluarga, suami dilihat sebagai kepala keluarga dan istri wajib
tunduk padanya serta menghormatinya. Sebagai kepala, suami harus mengasihi istrinya
seperti dirinya sendiri serta mengasuh dan merawatnya bagaikan tubuhnya sendiri.
Bukankah laki-laki meninggalkan ayah dan ibu serta bersatu dengan istrinya sehingga
mereka menjadi satu daging, yaitu satu unit baru? Hal itu merupakan suatu rahasia. 3
Kedua, dari segi gerejawi, Kristus dilihat sebagai kepala tubuh-Nya, yaitu gereja. 4
la menyelamatkannya dengan menyerahkan diri baginya. Melalui air baptisan dan firman,
la menguduskannya, sehingga gereja itu berdiri bagaikan pengantin perempuan di
hadapan-Nya dengan cemerlang, tanpa cacat. Kristus mengasihi tubuh-Nya dan merawat
kita sebagai anggota tubuh itu, dan kita hendaknya tunduk pada-Nya dalam segala hal.
Hal itu merupakan satu rahasia besar, yang hanya dapat diterima dalam iman.
Titik kesamaan dan perbedaan dalam dua kiasan di atas jelas:
1) Suami dan Kristus adalah kepala, tetapi sebagai kepala rumah tangga, sang suami
menjalankan suatu fungsi sosial dan sang istri hendaknya tunduk pada bidang itu
saja. Istri tetap bertanggung jawab kepada Allah (sebab ada situasi bahwa istri
hendaknya memilih apa yang baik di hadapan Allah, sekalipun suaminya tidak
setuju).
2) Suami dan Kristus sama-sama mengasihi, tetapi Kristus menyerahkan nyawa-Nya
dan menyelamatkan gereja, sedangkan suami merawat istri dalam hidup sehari-hari
serta menerima keselamatan bersamanya dari Kristus.
3) Gereja dikiaskan dengan pengantin (bandingkan 2 Korintus 11:2 – 3) yang setelah
dimandikan dan dihias tampak cemerlang bagi pengantin laki-laki; baru secara
eskatologis, pada akhirat, gereja akan menjadi seperti itu (bandingkan Wahyu 19:7
dan 22:17). Lain sekali cara pengantin perempuan bersatu dengan suaminya menjadi
suatu unit baru yang fana, sehingga daya tarik antara suami dan istri memang
merupakan suatu rahasia. Kesamaannya ada, namun perbedaan lebih besar. Kiasan
Allah sebagai suami umat-Nya (bandingkan Hosea 1 – 3 di atas) dikenakan pada
Kristus dan Gereja serta dipakai sebagai patokan nikah patriarkal. 5

3
Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, 125.
4
Ibid.
5
Ibid., 126.

2
Dengan demikian, tatanan patriarkal itu dijadikan “kudus” dan abadi: suami
disamakan dengan Tuhan dan istri harus tunduk padanya dalam segala hal, sehingga ia
kehilangan kemerdekaan anak Allah; ia tidak lagi dapat menegur suaminya atau
mengambil jalannya sendiri ketika suaminya menentang kehendak Tuhan. Pengarang
surat Efesus tidak dengan sengaja menuju ke situ, ia ingin menekankan bahwa orang
Kristen hendaknya merendahkan diri seorang dengan yang lain (ayat 5:21 berlaku untuk
suami istri dan kepatuhan istri hanya merupakan contoh kerendahan hati itu).

A. Keluarga Kristen Harmonis Berperspektif Gender


Manusia bertanggung jawab mengubah dunia ini menjadi lebih baik, lebih adil,
dan Iebih damai. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah hidup
keluarga berdasarkan kesetaraan gender dan keadilan. Perubahan itu mesti dilakukan oleh
suami, istri beserta anak-anak, dan siapa pun yang terlibat dalam keluarga itu.
Faktor pendukung lain adalah pendidikan keluarga yang berwawasan gender.
Pendidikan androgyny dapat diterapkan pada manusia sebagai pribadi yang utuh, sebab
pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi logos dan eros. Namun potensi inilah
yang oleh ideologi gender kemudian dimanipulasi bahwa laki-laki hanya berciri logos
dan perempuan eros. Masing-masing kemudian hanya dominan pada satu sisi saja.
Padahal, dengan sisi logos-eros dalam satu jiwa, akan membuat laki-laki dan perempuan
dapat mengapresiasi kedudukan lawan jenis untuk kebersamaan.
Saling merendahkan diri di dalam Kristus adalah suatu prinsip rohani yang paling
umum. Prinsip ini harus diterapkan pertama-tama dalam keluarga Kristen. Ketundukan,
kerendahan hati, kelembutan, kesabaran, dan toleransi harus merupakan ciri khas dari
setiap anggota keluarga Kristen. Istri harus tunduk (yaitu tunduk di dalam kasih) kepada
tanggung jawab suaminya selaku pemimpin dalam keluarga. Di lain pihak, suami juga
harus mengembangkan sikap kasih dan pengorbanan diri. Anak-anak harus tunduk
kepada kekuasaan orang tua di dalam ketaatan. Ajaran Yesus juga mementingkan
penghormatan dan kasih kepada keluarga. Ia mencela orang-orang yang memakai alasan
agama yang dibuat-buat untuk mengabaikan kewajibannya kepada orang tuanya (Mrk
7:9-13).6 Dan orang tua harus tunduk kepada kebutuhan anak-anak dan membina mereka
di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.

B. Penutup

6
Malcolm Brownlee, Hai Pemuda, Pilihlah!: Menghadapi Masalah-Masalah Etika
Pemuda (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 65.

3
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dasar suatu keluarga yang berbahagia
adalah kepercayaan dan kasih seorang suami terhadap istrinya dan penghargaan dan
hormat istri terhadap suaminya. Mereka harus selalu mengingat bahwa yang satu
disediakan bagi yang lainnya. Keluarga hanya ada jika terdapat kasih dan kepercayaan,
serta saling menghormati dan saling menghargai. 7 Bagi anak-anak, keluarga merupakan
sekolah dan gereja mereka yang mula-mula, tempat mereka belajar mana yang benar dan
mana yang baik. Tempat mereka dihiburkan apabila mereka terluka atau sakit. Tempat
mereka dapat bersuka cita bersama-sama dan tempat kesedihan dan kesulitan mereka
diringankan. Keluarga juga merupakan tempat ayah dan ibu dihormati dan dikasihi serta
anak-anak dinantikan dan disayangi.8

Daftar Pustaka
7
Ibid., 6.
8
Ibid., 9.

4
Alkitab Penuntun: Hidup Berkelimpahan. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2004.

Bashin, Kamla. 1996. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan


Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta : Yayasan Bentang
Budaya.

____________. 2001. Memahami Gender, Cet I. Jakarta: Teplok Press.


Becher, Jeanne. 2004. Perempuan, Agama, dan Seksualitas: Studi tentang
Pengaruh Berbagai Ajaran Agama terhadap Perempuan. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.

Betakore, Yoel. 2009. Tomorrow Will Be Better: Pernikahan Kristen. Jakarta:


Penerbit Yayasan Kristen Dharma Wacana.

Brownlee, Malcolm. Hai Pemuda, Pilihlah!: Menghadapi Masalah-Masalah


Etika Pemuda. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Budiman, Arief. Pembagian Kerja secara Seksual: Sebuah Pembahasan
Sosiologis tentang Peran Perempuan di Dalam Masyarakat. Jakarta: PT
Gramedia, 1982.

Christenson, Larry. 1994. Keluarga Kristen. Semarang: Penerbit Yayasan


Persekutuan Betania.

Dharmaputra, Eka. 2003. ”Kepemimpinan Perspektif Alkitab” dalam Eka


Dharmaputra dkk. Kepemimpinan Kristiani: Spiritualitas, Etika dan
Teknik-teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan. Cetakan III
Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi Sekolah Tinggi Teologi.

Dollar, Creflo A. 2001. The Color of Love. Jakarta: Penerbit Imanuel.


Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Fiorenza, Elizabeth Schussler. 1995. Untuk Mengenang Perempuan Itu.


Terjemahan Stephen Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Frommel, Marie Claire Barth. 2003. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu.
Pengantar Teologis Feminis. Cetakan I. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat. Bahan Pelajaran Katekisasi Buku I.
Jakarta: Majelis Sinode GPIB.
Graham, Billy. Keluarga yang Berpusatkan Kristus. Bandung: Penerbit Kalam
Hidup, 1972.

5
Hadiwardoyo, Purwa. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1990.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang:
UMM Press, 2002.
Hendrik-Ririmasse, Margaretha M. 2000. ”Teologi Feminis dalam Kurikulum
Pendidikan Teologi: Implementasinya dalam Pelayanan Gereja di
Indonesia” dalam Bentangkan Sayapmu. Jakarta: Persetia.

Hommes, Anne. 1992. Perubahan Peran Laki-laki dan Wanita dalam Gereja dan
Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.

Kaunang, Agustien Kapahang. 2004. ”Berteologi Kontekstual dari Perspektif


Feminis” dalam Asnath M, Natar (ed), Perempuan Indonesia:Berteologi
Feminis dalam Konteks. Yogyakarta: PSFFT Univ.Kristen Duta Wacana.

Lerner, Gerda, The Creation of Patriarchy. Oxford and New York: Oxford
University Press, 1986.

Mantik, Maria Josephine K. 2008. ”Pengaruh Marginalisasi, Subordinasi, dan


Stereotipe dalam Bias Gender terhadap Kepemimpinan Perempauan
Pendeta Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat di Musyawarah
Pelayanan Daerah Khusus Ibukota Jakarta”. (Disertasi Sekolah Tinggi
Theologia Baptis Indonesia, Semarang).

Marshall, Alfred. The Niv Interlinear Greek – English New Testamen. Michigan:
New York Bible Society International, 1976.
Mastury, Pendekatan Agama Dalam Filsafat Sejarah. Yogyakarta: Nur Cahaya,
1982.

Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender I: Perempuan Indonesia dalam


Perspektif Sosial. Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM. Magelang:
Indonesiatera.

Parwieningrum, Endang. “Gender dan Permasalahannya,” http://hqweb01.bkkbn.


go.id/hqweb/ pria/artikel 01-2I.html.

Poerwowidagdo, Judo. 1999. ”Peran dan Kedudukan Wanita dalam Gereja dan
Teologi: Suatu Perkembangan Global” dalam Stephen Suleeman dan
Bendalina Souk. Berikanlah aku Air Hidup Itu. Jakarta: Persetia.

Sabaroekoe, Syarifah. “Meretas Diskriminasi Terhadap Perempuan”,


http://wartamikael. org/wmview. php?ArtID=203&page=3

6
Siagian, Kornelius. 2005. Perempuan: dari Dapur hingga ke Liang Kubur.
Jakarta: STT WMI.

Sibarani, Poltak. 2004. Membangun Keluarga Bahagia. Jakarta: Ramos Gospel


Publishing House.

Stott, John. 2000. Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani Penilaian


atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF.

Sugiyo, Teha. Keluarga sebagai Sekolah Cinta. Bandung: Lembaga Literatur


Baptis, 1996.

Sutanto, Hasan. Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi


Perjanjian Baru Jilid 1. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004.

Tong, Rosemarie Putnam. 2005. Feminis Thought. Yogyakarta:Jalasutera.


Trisna, Jonathan A. 2000. Pernikahan Kristen. Jakarta: ITKI
Waney, Paul. 1999. ”Analisis Sosial Budaya Terhadap Peran Perempuan
Berpendidikan Teologi di Perkotaan” dalam Stephen Suleeman dan
Bendalna Souk (Peny). Berikanlah Aku Air Hidup Itu. Bahan Sumber
Studi Gender. Jakarta: Persetia.

Wijanarko, Jarot. 2003. Pemulihan Suami Isteri. Jakarta: Suara Pemulihan.


_____________. 2001. Pernikahan. Jakarta: Suara Pemulihan.
Wolf, Naomi. 1997. Gegar Gender: Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21.
Yogyakarta: Pustaka Semesta Press.

Wright, Norman. 2006. Konseling Krisis. Malang: Penerbit Gandum Mas.

http://www.oaseonline.org/artikel/ati-manusia.htm. “Manusia dalam prespektif


agama Kristen” Bahan ceramah HMI, 2 Mei 2001 (diakses 1 Februari
2012)
http://8tunas8.wordpress.com/72/ Hakikat Manusia dalam Pandangan “Psikologi”
(diakses 2 Februari 2012)
http://dikdas.blogspot.com/2008/09/hakekat-manusia.html (diakses 3 Februari
2012)
http://www.slideshare.net/arvant/hakikat-manusia-bab-i (diakses 2 Februari 2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Moral_(Thomas_Aquinas) (diakses 3
Februari 2012)
http://www.oaseonline.org/artikel/ati-manusia.htm (diakses 2 Februari 2012)

Anda mungkin juga menyukai