Anda di halaman 1dari 5

KESETARAAN GENDER DAN MEMBERDAYAKAN KAUM PEREMPUAN SESUAI

DENGAN AJARAN IMAN KRISTEN


INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI TORAJA
Oleh: Inra Patuju
inrapautuju@gmail.com

Abstrack
Gender equality is one of our human rights as human beings. The right to live with
dignity, freedom from fear and freedom to make life choices is not only reserved for men,
women also have the same rights in essence. The figure of a woman who excels and can
balance between family and career is very rare to find. Women are often afraid to have a
career because of the demands of their role as a household. The Bible is the source of princip
and consist of Christianity foundational of faith, but it ought to be made as the theological
foundation that potentially seems in mistake viewpoint. That is why in the church there must
be gender equality, as evidenced by the existence of a women’s fellowship, not only a
father’s association, such as the Toraja Church Womens Fellowship (PWGT).

Keywords: Women, men, Work and Equality

Pendahuluan
Kaum perempuan terkadang disebut sebagai orang yang lemah, yang tugasnya hanya
mengurus anak dan rumah. Namun ada satu kisah yang menunjukkan bahwa kaum
perempuan juga bisa menjadi pemimipin. Adalah Pendeta Damaris Maartje Anggui-Pakan,
S.Th (Pendeta Perempuan Pertama di Gereja Toraja). Beliau lahir di Rantepao, pada tanggal
5 September 1941 dan merupakan anak ke-4 dari pasangan Lodang Pakan dan Rantedatu.
Tahun 1959, setelah tamat dari SMA Negeri 1 Makassar, Pdt D.M. Anggui -Pakan
melanjutkan Pendidikan di STT Jakarta, meskipun saat itu Gereja Toraja belum menerima
kehadiran perempuan sebagai pendeta. Lalu pada tahu 1965 memulai pelayanan sebagai
dosen di STT Rantepao, dan juga dosen di STT Intim Makassar pada tahun 1979. Lebih jauh
lagi, Pdt D.M Anggui-Pakan juga melayani sebagai ketua umum PP PWGT penuh waktu
pada tahun 1985.
Kehadiran perempuan dalam Jabatan Gerejawi di Gereja Toraja telah melalui proses
pergumulan dan percakapan yang Panjang, yakni bahkan sejak Sidang Sinode yang 1 tahun
1947. Khusus terkait kehadiran perempuan sebagai Pendeta, barulah kemudia diterima di
Sidang Sinode AM tahun 1984 di Palopo. Pdt D/M Anggui-Pakan diurapi sebagai pendeta ke
197 pada tanggal 31 Maret 1986, dan sekaligus merupakan pendeta perempuan pertama di
Gereja Toraja (lebih 20 tahun setelah lulus dari STT Jakarta). Sejumlah Pendeta yang dulu
juga merupakan mahasiswa beliau, turut menumpangkan tangan dalam pengurapan tersebut.
Bahkan sebuah lagu rohani Toraja yang popular, “Kareba Mepakarannu” ditulis oleh Pdt
Rinaldi Damanik dan Pdt John Nimpa (dua mahasiswa STT Intim Makassar yang juga turut
dididik oleh Pdt D.M Anggui-Pakan ) sebagai wujud sukacita atas peristiwa tersebut.
Jika kita melihat kisah penciptaan, maka kita akan mengetahui bahwa, manusia disebut
sebagai ciptaan yang paling mulia. Manusia pertama yang diciptakan Allah adalah Adam dan
kemudian menciptakan perempuan untuk menjadikannya penolong. Seperti yang terdapat
dalam Kejadian 1:26; Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di
udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di
bumi. Disini dapat kita lihat bahwa Allah memberikan mandat yang sama kepada laki-laki
dan perempuan untuk menjaga bumi ciptaan Allah.
Namun ketika manusia jatuh ke dalam dosa tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan itu berbeda. Dimana laki-laki di berikan tugas dan tanggung jawab sebagai
pencari nafkah, dan perempuan diberikan tugas melahirkan dan mengasuh anaknya. Namun
seiring berjalannya waktu mencari nafkah bukan lagi hanya menjadi tugas dan tanggung
jawab laki-laki, tetapi perempuan juga bisa menjadi tulang punggung dalam keluarga. Dalam
perjanjian lama dikatakan dengan jelas bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa
dengan Allah. Kata segambar dan serupa dalam teks tersebut menunjukkan adanya relasi atau
hubungan tanggung jawab dari manusia terhadap Allah, terhadap sesame manusia dan
terhadap ciptaan lainnya (binatang, tumbuh-tumbuhan dan bumi/dunia). Perempuan dan laki-
laki diberikan tugas dan tanggung jawab yang sama, yaitu menjadi wakil Allah di atas bumi.
Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia (laki-laki dan perempuan ) memiliki posisi khusus
dan amat penting dibanding ciptaan Allah lainnya. Ikatan khusus inilah yang membawa
mereka pada suatu kebersamaan (saling melengkapi dan saling menolong) dalam
menjalankan mandat Allah. Keperbedaan dalam jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)
tidak dalam pengertian perbedaan esensi, tetapi perbedaan tersebut menunjuk pada maksud
Allah bagi keberlangsungan karya ciptaanNya; Beranak cuculah dan bertambah banyak;
penuhilah bumi (kejadian 1:28). Fakta tersebut menunjuk pada mandate yang diberikan Allah
bagi mereka yang dinampakkan secara kongkrit dalam suatu Lembaga pernikahan.
Penciptaan manusia perempuan sebagai penolong yang sepadan, menunjuk pada adanya
keterikatan yang era tantara laki-laki dan perempuan. Peristiwa panggilan Musa untuk
melakukan tugas pembebasan Allah bagi umat Israel, juga tidak terlepas dari peran Allah
melibatkan perempuan-perempuan dalam penyelamatan. Musa pada masa bayi ketika Firaun
memerintahkan para bidan ibrani untuk membunuh semua anak laki-laki yang baru lahir.
Keterlibatan lain dari perempuan-perempuan dalam peristiwa keluaran, dapat juga di lihat
pada peran dari kakak perempuan Musa (Miryam), ibunya dan putri Firaun. Tindakan ini
dinilai sebagai tindakan subversive, dimana secara terbuka mereka menentang perintah
Firaun untuk melemparkan semua bayi laki-laki ke Sungai Nil. Keberanian yang dimiliki
para perempuan diatas mengajarkan kita bahwa perempuan juga selain menjadi penolong
bagi dirinya sendiri, tetapi bisa menjadi penolong bagi orang-orang terdekatnya.
1

Tujuan dan Manfaat


 Untuk memberikan pemahaman tentang kesetaraab gender menurut perspektif
iman Kristen
 Untuk menegaskan \harkat dan martabat yang sama bagi semua orang dan ras.
 Untuk kesetaraan dalam gereja dan masyarakat, dimana kaum perempuan
bukan untuk menjadi pengganti atau penindas laki-laki.
 Untuk mencerminkan kesetaraan gender menurut ajaran Alkitab atas dasar
kasih terhadap sesama.

Pembahasan
Tempat perempuan dalam konteks agama Kristen tidak saja dipengaruhi oleh tokoh-
tokoh gereja. Tetapi teks-teks alkitab tertentu juga merupakan landasan pijak yang kuat
dipakai oleh kaum laki-laki untuk menentukan dan menempatkan posisi dari kaum
perempuan . Posisi perempuan sebagaimana dinyatakan dalam teks kejadian 2:18; Aku akan
menjadikan penolong yang sepadan dengan dia. Ditafsir oleh para penafsir laki-laki sebagai
suatu amanat yang menetapkan kaum perempuan memiliki peran sebagai pembantu laki-laki.
Jika dikaji lebih dalam kalimat “sepadan dengan dia (laki-laki)” hendak memperlihatkan
1
http://ojs.ustj.ac.id/dinamis/article/view/502
adanya relasi hidup yang holistik dan saling melengkapi antara keduanya. Selain satu contoh
teks yang dipaparkan di atas, salah satu teks perjanjian Baru yang juga berpengaruh terhadap
posisi dan peran perempuan dalam gereja adalah teks 1 Korintus 14:34 “Sama seperti dalam
semua jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam
pertemuan jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus
menundukkan diri, seperti yang dikatakan oleh Hukum Taurat.
Terhadap kedua contoh teks tersebut, kaum laki-laki sebagai kelompok yang merasa
memiliki otoritas tertinggi baik dalam relasi social dan kehidupan bergereja memposisikan
kaum perempuan sebagai kelompok nomor dua dan berdampak pada marginalisasi. Teks-teks
sebagaimana ditunjukkan diatas oleh kaum feminis digolongkan sebagai teks-teks yang
menindas (against) perempuan. Karenanya hal penting yang mendapat penekanan utama
mereka adalah melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks tersebut bagi penemuan makna
yang benar dari esensi teks-teks tersebut. Dalam perjalanan sejarah agama Kristen, memang
masih terdapat gambaran-gambaran tentang Allah yang lebih menonjolkan sifat-sifat laki-laki
yang menimbulkan ketakutan daripada dampak kebebasan. Gambaran-gambaran Allah yang
menakutkan seperti, Allah sebagai hakim dan yang menuntut ganti rugi. Gambaran Allah
yang demikian berbeda dengan gambaran Allah yang diberitakan oleh Yesus. Allah yang
diberitakan oleh Yesus adalah Allah yang pengasih, Panjang sabar dan pengampun,
Pemberitaan Yesus tentang Allah yang berbeda dari tradisi yang menekankan aspek
maskulinitas terhadap Allah memberi tempat bagi perempuan untuk juga dapat terlibat dalam
sejarah agama Kristen. Sebagaimana kedua belas murid Yesus, perempuan-perempuan pada
jemaat mula-mula memiliki andil besar dalam memprakarsai berdirinya jemaat-jemaat rumah
dengan pola pelayanan yang khas. Jemaat-jemaat rumah ini, menjadi pusat pekerjaan
pekabaran Injil dimana secara aktif dan mandiri mereka mendampingi para rasul dalam
pemberitaan injil. Selain itu ada juga perempuan-perempuan yang melakukan tugas-tugas
sebagai diakonos seperti Febe sebagai teman sekerja Rasul Paulus yang melayani di
Kengkrea (Roma 16). Perempuan-perempuan ini menjadi kawan sekerja para rasul dalam
pemberitaan Injil. Kebersamaan ini menjadi bukti dari sikap Yesus yang tidak diskriminatif.

Kesimpulan
Uraian umum yang dipaparkan diatas, kiranya dapat mendorong kita untuk
memahami gender dalam agama khususnya agama Kristen. Diakui bahwa paham budaya
terkadang berdampak terhadap perempuan dalam agama Kristen. Sikap Yesus terhadap
perempuan menjadi suatu kekuatan untuk merombak diskriminasi terhadap perempuan yang
terjadi akibat kesalahan dalam menafsir teks-teks Alkitab. Kiranya urain ini dapat
memberikan kita pemahaman tentang bagaimana kesetaraan gender menurut iman Kristen,
dimana di dalamnya secara jelas diuraikan bahwa tidak ada pembedaan antara kaum laki-laki
dengan kaum perempuan. Kesetaraan gender hadir berdasarkan atas kasih dan pengampunan
yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Kaum perempuan menjadi penolong bagi laki-laki dan
ketika menjadi penolong kaum perempuan tidak menjadi penindas.2

2
https://theprodigiousteam.wordpress.com/2016/06/10/kesetaraan-gender-menurut-pandangan-kristen/

Anda mungkin juga menyukai