ABSTRAK
Alqur’an merupakan kitab mukjizat yang mempunyai berbagai kemukjizatan, antara lain bersifat
kekal, tidak ada yang mampu menandinginya, baik dari segi susunan kata, gaya bahasa maupun dari
keindahan, syariat, filsafat, ilmu pengetahuan, dan perumpamaan-perumpamaan yang dikandungnya.
Alqur’an senantiasa sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku dan dipakai sebagai pedoman hidup
manusia sepanjang zaman. Di antara isi kandunngannya memuat dan menjelaskan tentang laki-laki dan
perempuan. Alqur’an mengakui adanya perbedaan juga kesetaraan dalam hubungan antara laki-laki dan
perermpuan. Secara biologis bahwa laki-laki dan perempuan berbeda, namun keduanya diakui Alqur’an
sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Paper ini mencoba untuk mengungkap konsep
kesetaraan dan keadilan gender perspektif Alqur’an, melalui kajian pustaka yang berkaitan dengan
kesetaraan dan keadilan gender makalah/paper ini diuraikan. Ajaran Islam dalam penjelasan Alqur’an
memandang bahwa hubungan antara perempuan dan laki-laki adalah setara, baik sebagai hamba Allah,
sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai tanggung jawab, dan berpotensi meraih
prestasi. Perempuan dalam paradigma ini memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang
dimiliki laki-laki. Keadilan bagi perempuan mutlak dimaknai kembali sejalan dengan prinsip
kemanusiaan, karena keadilan sendiri adalah kemanusiaan.
PENDAHULUAN
Alqur’an al-karim mengintroduksikan dirinya sebagai kitab hidayah bagi
seluruh manusia dalam memperoleh petunjuk, bimbingan, dan berkewajiban untuk
mengamalkannya..Alqur’an memuat prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, bukan
hanya dokumen hukum (legal document), tetapi juga mengandung sejumlah pernyataan
hukum yang penting (Fazlur Rahman, 1979: 17).
Kitab suci Alqur’an mempunyai berbagai kemukjizatan, antara lain bersifat
kekal, tidak ada yang mampu menandinginya, baik dari segi susunan kata, gaya bahasa
maupun dari keindahan, syariat, filsafat, ilmu pengetahuan, dan perumpamaan-
perumpamaan yang dikandungnya (Muhamad Ismail Ibrahim, t.t: 12). Dengan
kemukjizatan itu,Alqur’an senantiasa sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku
dan dipakai sebagai pedoman hidup manusia sepanjang zaman. Di antara isi
kandunngannya memuat dan menjelaskan tentang laki-laki dan perempuan.
Alqur’an mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perermpuan seperti
firman Allah Swt dalam Qs. Ali imran ayat 36 berikut :
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Artinya: “Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya
Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah
seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan
aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada
(pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”
Tetapi ayat tersebut di atas tidak bermaksud memandang yang satu superior
dibandingkan dengan yang lain, karena misi pokok diturunkannya Alqur’an adalah
untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskiriminatif dan penindasan,
termasuk diskriminasi warna kulit, ras, etnis, dan jenis kelamin. Alqur’an menganjurkan
manusia untuk saling mengenal sehingga tidak ada diskriminasi, kekerasan juga
penindasan (Qs.al-Hujurat/49:13).
Secara kodrat memang diakui adanya perbedaan bukan pembedaan antara laki-
laki dengan perempuan,misalnya dalam aspek biologis masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan yang selanjutnay bersifat komplementer, saling mengisi dan
melengkapi seperti yang diungkapkan Alqur’an Qs. At-Taubah/9:71 berikut :
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan bekerja sama dalam amar
ma’ruf nahi munkar, maka dengan ayat ini Islam memperhatikan kesetaraan dalam
fungsi dan peran laki –laki dan perempuan.baik dalam ranah domestik maupun publik
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
PEMBAHASAN
1. Makna Gender dan Seks
Kata “gender” berasal dari bahasa Inggeris “gender”, dalam Kamus Bahasa
Inggeris-Indonesia, berarti “jenis kelamin” (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983:
265). Sedangkan dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai
“perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku” (Victoria Neufeldt (Ed.), 1984: 561).
Kalau dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata gender memang
belum masuk dalam perbendaharaannya, akan tetapi istilah gender ini lebih populer di
lingkungan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Dengan demikian untuk
memudahkan pemahaman kita terhadap kata gender tersebut, ada baiknya merujuk pada
penjelasan pemerintah melalui Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan
sebagaimana juga yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000, sebagai
berikut:
Gender (asal kata gen); perbedaan peran, tugas, fungsi, dan tanggung-jawab
serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena dibentuk oleh tata nilai sosial
budaya (konstruksi sosial) yang dapat diubah dan berubah sesuai kebutuhan atau
perubahan zaman (menurut waktu dan ruang) (Kantor Menteri Negara Urusan Peanan
Wanita, Buku III, Pengatar Teknik Analisa Gender, 1992: 3). Gender adalah konsep
yang mengacu pada peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi
akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender
adalah pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat, sebagai hasil
konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman
(Kantor Menteri Negara Urusan Peanan Wanita, Buku III, Pengatar Teknik Analisa
Gender, 1992: 3).
Ann Oakley seorang feminis pertama dari Inggris menyatakaan bahwa gender
adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan.perbedaan biologis
adalah perbedaan jenis kelamin yang bermuara dari kodrat Tuhan sememtara gender
adalah perbedaan yang bukan kodrat Tuhan, tetapi diciptakan oleh kaum laki-laki dan
perempuan melalui proses social dan budaya yang panjang Kantor Menteri Negara
Urusan Peanan Wanita, Buku III, Pengatar Teknik Analisa Gender, 1992: 3).
Menurut Nasarudin Umar, Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari social budaya. Gender
dalam arti ini memdefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut nonbiologis
(Nasarudin Umar, 1999: 35).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan:Gender: merupakan Konstruksi/bentuk
sosial,tidak dimiliki sejak lahir, bisa dibentuk/bisa berubah, dipengaruhi:tempat,
pemahaman agama,
ideologi Negara,politik, hukum dan ekonomi,Waktu/zaman,.Suku/ras/bangsa,budaya
dan Status social Karenanya gender, bukan kodrat, dibuat manusia, bisa dipertukarkan,
relatif, berbeda dengan ciri-ciri yang terdapat pada laki-laki maupun perempuan (jenis
kelamin, biologis, natur)
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Sex adalah pembagian jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki,
yang telah ditentukan oleh Tuhan, sebagai kodrat Allah Swt. Perbedaan biologis antara
perempuan dan laki-laki dapat dilihat baik dari ciri fisik primer maupun ciri fisik
sekunder dari organ dan fungsi reproduksinya. Karenanya seks relatif tidak dapat
ditukar atau diubah. Perbedaan jenis kelamin atau seks adalah sama di semua Negara
dan merupakan fakta mengenai biologi manusia (Isstibsyaroh, 2004: 62).
Maka dapat disimpukan bahwa jenis Kelamin biologis (seks) atau kodrat adalah
bawaan, kodrat, buatan Tuhan, tutlak, tidak dipengaruhi oleh tempat,waktu/zaman,
ras,suku,bangsa, budaya, negara dan ideologi.
Sementara itu, kesetaraan berasal dari kata setara asal katanya tara. Pada kamus
besar bahasa Indonesia diartikan dengan yang sama tingkatnya, kedudukannya dsb.
Kata setara mempunyai arti sejajar, sebanding, sepadan dan seimbang (Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 1143). Kesetaraan gender adalah suatu
kondisi di mana semua manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas
mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa
dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku. Hal ini bukan berarti bahwa
perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan
kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau
perempuan. (Unesco, 2002).
Keadilan gender adalah keadilan dalam memperlakukan perempuan dan laki-
laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup perlakuan yang setara atau perlakuan
yang berbeda karena mereka punya kebutuhan yang berbeda, baik secara biologis
maupun konstruksi sosial budaya.
Artinya: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat
marah”.(Qs,an-Nahl/16:58)
Bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah
memperjuangkan dan berhasil meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya
mereka tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya tidak menerima warisan, malah
termasuk barang yang diwariskan, oleh Islam diberikan porsi waris yang tetap (faraidh).
Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk Allah sederajat dengan pria dengan
hak dan tanggungjawabnya yang adil dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa
perempuan Muslimah pada masa-masa berikutnya pernah dan sebagian masih
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
mengalami perlakuan yang berbeda dan diskriminatif, juga telah menjadi catatan
historis dan kajian para ahli.
Alquran, sebagai sumber utama dalam ajaran Islam, telah menegaskan ketika
Allah Yang Maha Pencipta menciptakan manusia termasuk di dalamnya, laki-laki dan
perempuan. Paling tidak ada empat kata yang sering digunakan Alquran untuk
menunjuk manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas, serta bani adam (A. Hamid Hasan
Qolay, 1989: 51-52). Masing-masing kata ini merujuk makhluk ciptaan Allah yang
terbaik (fi ahsan taqwim), meskipun memiliki potensi untuk jatuh ke titik yang
serendah-rendahnya (asfala safilin), namun dalam penekanan yang berbeda. Keempat
kata ini mencakup laki-laki dan perempuan.
Mengenai asal kejadian manusia ini, Alquran menyatakan dalam surah AnNisa’(4): 1
sebagai berikut:
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (Qs.an-Nisa/4:1)
Kata من نفس واحدة dalam ayat di atas mayoritas ulama memahaminya dalam
arti Adam As., dan ada pula yang memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan
wanita. Syaikh Muhammad Abduh al-Qasimi dan beberapa ulama kontemporer lainnya
memahami demikian sehingga ayat ini sama dengan firman Allah SWT dalam Qs.al-
hujurat/49:13.
tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok dan karena itu -tulis al-Qurtuby dalam
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi
hamba ideal. Hamba ideal dalam Alquran biasa diistilahkan dengan orang-orang yang
bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya
perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu yang disaebutkan
dalam QS Al-Hujurat (49): 13, sebagai berikut:
Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan
Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Pada ayat lain disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2): 30, sebagai berikut: Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.”
Kata khalifah dalam kedua ayat di atas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin
atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan menpunyai fungsi yang sama
sebagai khalifah, yang akan mempertanggung-jawabkan tugas-tugas kekhalifah-annya
di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung-jawab sebagai hamba Tuhan.
Ketiga, sebagai penerima perjanjian/ikrar ketuhanan yg sama. Laki-laki dan
perempuan sama-sama mengamban amanah dan menerima perjanjian primordial
dengan Tuhan.Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim
ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya (QS.Al-A’raf
(7): 172).
Menurut penjelasan Fakhr ar-Razi, tidak seorang pun anak manusia yang lahir
ke muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka
disaksikan oleh para Malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak. Di dalam
ajaran Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian seseorang telah berlangsung
sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah kejadian manusia
dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan
sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Dan tambahnya lagi Alquran
mengungkapkan bahwa Allah SWT yang Maha Kuasa memuliakan seluruh anak cucu
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Adam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya QS. Al-Isra’ (17): 70, sebagai
berikut:
orang ( هماhuma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam
beberapa kasus berikut: bahwa Adam dan Hawa diciptakan di surga dan memanfaatkan
fasilitas surga, disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 35, sebagai berikut:
Adam dan istrinya sama-sama mendapat godaan dari setan, yang ditegaskan dalam
Alquran, QS. Al-A’raf (7): 20, sebagai berikut:
Artinya: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya
dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini,
melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi
orang-orang yang kekal (dalam surga).”
Keduanya (Adam dan istrinya) sama-sama memakan buah khuldi dan mereka menerima
akibat jatuh ke bumi, seperti tertulis dalam QS. Al-A’rat (7): 22, sebagai berikut:
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Artinya:”Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu
daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-
auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian
Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari
pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagi kamu berdua?"
Kemudian keduanya sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan,
yang kisahnya diabadikan dalam QS. Al-A’raf (7): 23, sebagai berikut:
Artinya: “Keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri
Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat
kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.”
Pernyataan-pernyataan dalam Alquran di atas, agak berbeda dengan pernyataan-
pernyataan dalam Alkitab yang membebankan kesalahan lebih berat kepada Hawa.
Dalam ayat-ayat tersebut di atas, Adam dan Hawa disebutkan secara bersama-sama
sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut.
Kelima, sebagai hamba yang berpotensi meraih prestasi. Peluang untuk meraih
prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana
ditegaskan secara khusus di dalam firman-Nya surah Ali Imran (3): 195:
…
Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan…”
Dalam QS. an-Nisa’ (4): 124, Allah menegaskan:
Salah satu penjelasan Alquran tentang tujuan dari syariat Islam ialah
terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Alquran mencakup segala
segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Karena itu Alquran tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik
berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang
berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang
bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman
dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan.
Seorang ulama kontemporer Muhamad Syahrur dalam karyanya Al-kitab wa
Alqur’an :Qira’ah Mu’ashirah dalam pembahasannya juga menjelaskan ayat-ayat
gender dalam konteks ini, Syahrur menulis:
Bahwasanya kajian tentang kedudukan perempuan dalam Islam termasuk dalam
bidang yang sangat sensitiv. Dan sudah banyak yang mencoba mengkajinya, baik dari
kalangan “pendukung“ Islam maupun kelompok yang “memusuhi“ Islam. Meskipun
demikian, saya tidak yakin bahwa sudah ada yang melakukan kajian orisinil terhadap
obyek ini, dengan bertolak dari perspektiv pertentangan (yang terus menerus, pen)
antara kelompok substansialis yang formatnya bisa berubah (Dalam bahasa Syahrur
disebut sebagai al Hanîfîyah) dan kelompok formalis yang statis (Baca: al Shirâth al
Mustaqîm atau al Istiqâmah) —dalam ajaran Islam— di satu sisi, dan pertentangan
keduanya dengan fitrah kemanusiaan di sisi lain, seraya menjadikan konsep al-hudûd
sebagai pilar utama (Syahrur, 1992: 592 )
Kemudian ia memaparkan pandangannya tentang penafsiran ayat-ayat gender
sebelumnya, dengan menyebut kesalahan-kesalahan para penafsir terdahulu sebagai
berikut:
a. Dalam klaim Syahrur, kesalahan utama Fiqh Islam dan Tafsîr al-Qur’an
konvensional yang ada sekarang bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak
memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci.
Akibatnya hukum Islam yang ada sekarang membebani punggung ummat dan tidak
sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi-kondisi abad ke-20.
(Al-‘Qurî: 127)
b. Bahwa hukum-hukum Islam tentang kaum perempuan mempunyai sifat yang sama
dengan hukum-hukum Islam tentang perbudakan, yang tidak menggunakan cara
revolusi dalam menuntut perubahan. Keduanya dilakukan secara berangsur-angsur.
Karena itu, harus dikatakan bahwa emansipasi kaum perempuan dalam Islam telah
dimulai dari zaman Nabi saw dan belum berakhir, sebagaimana halnya dengan
pembebasan budak. Karena itu, dengan bersandarkan kepada ayat-ayat hudûd,
“program” perbaikan kondisi sosial kaum perempuan harus tetap berlanjut.
c. Kesalahkaprahan para ulama dalam menafsirkan QS. Ali ‘Imrân: 14 serta QS. Al-
Baqarah: 223, sudah menjebak mereka dalam kesalahan fatal: memposisikan
perempuan sebagai harta-benda milik laki-laki. Kesalahan ini dilatari oleh
ketidaktahuan mereka terhadap konsep hudûd dalam penafsiran al-Qur’an
kontemporer.
d. Bahwa Islam, pada hakikatnya, meletakkan perempuan dalam posisi yang
seimbang. Perhatikan, misalnya, QS. Al-Baqarah: 182 (Hunna libâs lakum wa
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
antum libâs lahunna). Islam juga menyamakan lelaki dan perempuan dalam sistem
hukum, tanpa memandang perbedaan yang ada, baik perbedaan fisik (seperti QS.
Al-Najm: 45 dan QS. Al-Dzâriyât: 49), maupun perbedaan kemampuan akal
(seperti QS. Al-Hujurât: 13 dan QS. Al-Isrâ’: 70).
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena
memiliki kudrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-
Quran mengingatkan:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-
laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun)
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs.an-
Nisa/4:32)
Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki
keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan
perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan
fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Mustafa as-Siba’i menegaskan
bahwa perbedaah hak laki-laki dan perempuan dalam Islam meliputi empat hal yaitu
hak waris, persaksian, ketentuan diyat bagi kasus pembunuhan tidak sengaja bagi
perempuan, dan kepemimpinan negara. Namun perbedaan tersebut tidak mengurangi
sedikitpun bahwa Islam memuliakan perempuan, mengakui kemampuan perempuan
juga derajat kemanusiannya (Mustafa as-Siba’i, 1989: 23-32).
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang
menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)”
(QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada
kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong
menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan
pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan
mereka bersama.
Kata al-qawwâmah pada surat an-Nisa ayat 34 di atas dimaksudkan dengan
imârah (pengaturan) dan idârah (pengurusan). Diharuskannya pengaturan dan
pengurusan bagi seseorang yang menjadi pemimpin sebuah lembaga atau perkumpulan
yaitu pengaturan keadaan dan pengawasan mereka (Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti,
1977: 101). Jika dalam keluarga, salah seorang di antara suami istri diangkat menjadi
pemimpin menunjukan keinginan yang besar agar tidak semenitpun dalam sebuah
keluarga kecuali ada pemimpin yang memelihara, menjaga dan merawat keadaan serta
mengatur urusan mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Jika tiga orang sedang
dalam perjalanan maka hendaklah menjadikan salah satu di antara mereka menjadi
pemimpin”. (HR Baihaqi, Ahmad, Hakim dan Daruquthni dari Abi Hurairah).
Jadi kepemimpinan bagi keluarga dalam aturan dan syariat Islam adalah
kepemimpinan sebagai pemeliharaan dan pengurusan, bukan berbentuk kepemimpinan
pengawasan dan kekuasaan. Tidak dengan pertimbangan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala
semata yang menjadi pembeda seorang pemimpin atau pengatur, tetapi
pertimbangannya ditentukan oleh kecukupan kapasitas yang dimiliki oleh seorang
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
KESIMPULAN
1. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan laki-
laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, yang dapat berubah sesuai
dengan tuntutan perubahan zaman. Sedangkan seks (jenis kelamin: laki-laki dan
perempuan) tidak berubah dan merupakan kodrat Tuhan.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
2. Ajaran Islam memandang antara perempuan dan laki-laki adalah setara, baik
sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai
tanggung jawab, dan berpotensi meraih prestasi.
3. Perempuan dalam paradigma ini memiliki seluruh potensi kemanusiaan
sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Oleh karena itu, konstruksi sosial baru yang
menjamin keadilan gender diharapkan lahir menjadi basis pendefinisian kembali
pranata sosial, regulasi, kebijakan politik, dan ekonomi, juga fikih. Keadilan bagi
perempuan mutlak dimaknai kembali sejalan dengan prinsip kemanusiaan, karena
keadilan sendiri adalah kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
A.Hamid Hasan Qolay, Kunci Indeks dan Klasifikasi Ayat-ayat Alquran, Jilid I,
Bandung: Pustaka, 1989
Imam Ibn Jarir at-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wi Ay Alqur’an, jilid.4
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan: Relasi Gender dalam Tafsir al-Sya’rawy, Jakarta:
Teraju, 2004
Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian
Islam dan Jender1999
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia,(Jakarta: Gramedia, cet.
XII, 1983
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III, Pengantar Teknik Analisa
Gender, 1992
Mansour Fakih, Membincang Peminisme: Diskursus Gender Persfektif Islam,
Surabaya: Risalah Gusti, 1996
M.Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an, Bandung:Mizan , 2004,
----------------, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an,
Jakarta:lentara Hati , 2002
Muhamad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, Kairo: Al-Haiah al-Misriyah al-“amah li al-
Kitab: 1990, Jilid 4
Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as-Syariah al-Islamiyah
Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 1977
Muhamad ibn Ahmad ibn Abi Bakr Syamsudin al-Qurtuby, al-jami’ Li Ahkam
Alqur’an. Kairo: Dar al-kutub al-Misriyah, 1964, Cet.ke-2,, Juz .2
Muhamad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-mughirah al- Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih,
Juz.4
Mustafa as-siba’i, al-Mar’ah bain al-Fiqh wa al-Qanun, Mesir : Dar as-Salam, 1998
Nasarudin Umar, Argumen kesetaraan Jender Persfektif Alqur’an, Jakarta: Paramadina,
1999
Victoria Neufeldt (Ed.), Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New
World Clevenland, 1984),
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani