Dosen Pembimbing:
Oleh :
AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
Kata Pengantar
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemampuan dan
kekuatan, sehingga makalah yang berjudul Aspek Perpajakan atas Perusahaan Pergadangan
Asing ini dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan. Shalawat beserta salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dan kepada Bapak Drs. Rinaldi
Munaf, MM, Ak, CPA, CA selaku dosen pembimbing pada mata kuliah perpajakan lanjutan
kami.
Penulis yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman penulis. Untuk itu penulis mengharapakan kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini. Kami harap makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca.
Penulis
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan ………………………………………………………………………………………
BAB II
Pembahasan
BAB III
Penutup
Kesimpulan ……………………………………………………………………………………….
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah Representative Office (Rep Off) atau Liaison Office mungkin terdengar asing bagi
sebagian orang. Istilah tersebut merupakan nama lain atau sebutan dari perusahaan dagang asing
yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia. Lantas, muncul pertanyaan apakah
kantor perwakilan dagang asing dikenakan pajak penghasilan (PPh) badan di Indonesia.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita dapat mengacu pada UU Nomor 36 tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Berdasarkan aturan tersebut adanya kantor cabang atau perwakilan perusahaan asing di
Indonesia akan menimbulkan Bentuk Usaha Tetap (BUT), meski sesederhana apapun
kegiatannya.
Lebih lanjut, sesuai dengan Pasal 5 UU PPh disebutkan bahwa BUT merupakan objek pajak,
sehingga kantor perwakilan dagang asing yang berlokasi di Indonesia akan dikenakan PPh Badan
di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah sebagai
berikut :
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian perusahaan dagang asing?
2. Untuk mengetahui dasar hukum perusahaan dagang asing?
3. Untuk mengetahui jenis perizinan Kantor Perwakilan asing?
4. Untuk mengetahui aktivitas perusahaan dagang asing di Indonesia?
5. Untuk mengetahui subjek dan objek PPh perusahaan dagang asing?
6. Untuk mengetahui ketentuan perpajakan perusahaan dagang asing?
7. Untuk mengetahui pemotongan, pemungutan, penyetoran PPh pasal 15?
8. Untuk mengetahui pengenaan PPN terhadap perusahaan dagang asing?
9. Untuk mengetahui Ketentuan P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda)?
BAB II
PEMBAHASAN
Izin untuk perwakilan perusahaan perdagangan asing disebut dengan Surat Izin Usaha
Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“SIUP3A”). SIUP3A diberikan kepada
Penanggungjawab/Kepala Kantor Pusat/Kepala Kantor Cabang Perwakilan Perusahaan
Perdagangan Asing atas nama perusahaan (lihat pasal 8 Permendag 10/2006).
Menurut Permendag 10/2006, permohonan untuk memperoleh SIUP3A diajukan secara tertulis
oleh Kepala Kantor Pusat atau Kantor Cabang Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing atau
kuasa yang ditunjuk kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan.Permohonan
tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup. Dokumen
yang perlu dlampirkan adalah:
a. Surat Permohonan dari Kantor Pusat atau Kantor Cabang
b. Mengisi Daftar Isian Permohonan dengan benar diberi materai secukupnya.
c. Surat Persetujuan Sementara Penunjukan Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing
d. Surat Penunjukan (Letter of Appointment)
e. Copy izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) untuk Tenaga Kerja Asing (TKA)
f. Surat Keterangan domisili dari Kelurahan setempat atau keterangan ruang kantor dari
pengelola gedung.
g. Pas Photo ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 lembar (berwarna)
h. Copy Bukti Pembayaran Uang Jaminan
1) Untuk Kepala Perwakilan WNA Rp 5.000.000
2) Untuk Kepala Perwakilan WNI Rp 1.000.000
Objek pajaknya adalah nilai ekspor bruto yaitu semua nilai pengganti atau imbalan yang
diterima atau diperoleh WPLN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari
penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
Ketentuan Objek Pajak bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan
Dagang di Indonesia diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-undang PPh. Ketentuan
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh mengatur definisi penghasilan yang menjadi Objek Pajak
secara umum, yaitu penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Penghasilan neto bagi Perusahaan Dagang Asing yang
mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia diatur dalam Pasal 15 Undang-undang PPh
yang mana penghasilan netonya dihitung dengan Norma Penghitungan Khusus. Rumusan
ketentuan Pasal 15 Undang-undang PPh tersebut adalah sebagai berikut: “Norma Penghitungan
Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung
berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.”
Rumusan ketentuan Pasal 15 Undang-undang PPh tersebut adalah rumusan setelah
perubahan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan tidak mengalami perubahan
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-undang 36 Tahun
2008. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang PPh mengatur cara menghitung Penghasilan
Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri sedangkan ketentuan
Pasal 16 ayat (3) Undang-undang PPh mengatur cara menghitung Penghasilan Kena Pajak
sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 15 disebutkan sebagai berikut:
“Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak
tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi
luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (“build, operate, and
transfer”).
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan
kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi
wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya
penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.”
a. Penghasilan neto dari Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang
di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.
b. Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang di Indonesia adalah sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat
final.
c. Yang dimaksud dengan nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan
Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada
atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Selanjutnya, terkait penerapan tarif 0,44%, Direktur Jenderal Pajak memberikan penegasan
melalui suratnya Nomor SE-2/PJ.03/2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Penegasan atas Penerapan
Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai
Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia sebagai berikut:
Adapun dasar penghitungan 0,44% adalah sebagai berikut :
- PPh atas penghasilan kena pajak terutang 30% x 1% = 0.30%
- Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT
(Branch Profit Tax) (tarif 20%) 20% x (1-0,3)% = 0,14% -
Total = 0,44%
Untuk Kantor Perwakilan Dagang dari negara-negara mitra P3B dengan Indonesia, maka
besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax dari suatu BUT
tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait.
Contoh : Penghitungan untuk Kantor Perwakilan Dagang yang berasal dari Spanyol.
Tarif Branch Profit Tax dalam P3B Indonesia dengan Spanyol sebesar 10%. Dengan demikian
tarif pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
- PPh atas penghasilan kena pajak terutang 30% x 1% = 0.30%
- Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT
(Branch Profit Tax) (tarif 10%) 10% x (1-0,3)% = 0,07% -
Total = 0,37%
Pembahasan
Dalam praktiknya, pernah terjadi perbedaan persepsi antara aparat pajak dengan wajib
pajak mengenai perlakukan Pajak Penghasilan terhadap Perusahaan Dagang Asing yang
mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia mengenai hal-hal berikut ini:
- Apakah Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
tersebut merupakan bentuk Usaha Tetap?
- Seandainya Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di
Indonesia tersebut merupakan bentuk Usaha Tetap, apakah bisa dipajaki di Indonesia?
- Seandainya Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di
Indonesia tersebut merupakan bentuk Usaha Tetap dan bisa dipajaki di Indonesia, apakah
tarif Branch Profit Tax-nya bisa disesuaikan dengan Tarif BPT sebagaimana diatur dalam
P3B?
Pembahasan atas ketiga permasalahan tersebut dipaparkan berikut ini.
Dilihat dari sisi Subjek Pajaknya, untuk menentukan apakah Perusahaan Dagang Asing
tersebut mempunyai BUT di Indonesia atau tidak perlu dilihat apakah negara domisilinya
mempunyai P3B dengan Indonesia tatau tidak.
Apabila negara domisilinya tidak mempunyai P3B dengan Indonesia, maka berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5) Undang-undang PPh, Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai
Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dalam rangka untuk menjalankan usahanya maka, secara
normatif, Perusahaan Dagang Asing tersebut mempunyai BUT di Indonesia berupa BUT Kantor
Perwakilan (BUT Kantor Perwakilan Dagang).
Apabila negara domisilinya mempunyai P3B dengan Indonesia, maka perlu dilihat apakah
Kantor Perwakilan Dagang tersebut termasuk dalam pengertian BUT sebagaimana diatur dalam
P3B.
Dengan demikian, apabila Perusahaan Dagang Asing tersebut mempunyai BUT di
Indonesia, maka Indonesia berhak memajaki penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
Perusahaan Dagang Asing tersebut. Adapun pemenuhan kewajiban perpajakannya di Indonesia
dilakukan melalui BUT Kantor Perwakilan Dagang tersebut.
Perbedaan persepsi antara aparat pajak dengan wajib pajak kadang-kadang muncul karena
ketentuan PPh tidak memberikan definisi secara jelas apa yang dimaksud dengan Kantor
Perwakilan Dagang karena istilah Kantor Perwakilan Dagang ini muncul dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994.
Sebagai contoh, misalnya Perusahaan Dagang Asing mempunyai Kantor Perwakilan di
Indonesia yang tugasnya untuk mencari pembeli di Indonesia, melakukan pengawasan kuantitas
dan/atau kualitas barang yang dijual oleh Perusahaan Dagang Asing, dan memberikan pelayanan
purna jual kepada para pembeli di Indonesia, maka apabila tidak ada P3B antara negara domisili
Perusahan Dagang Asing dengan Indonesia, berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh
Perusahaan Dagang Asing tersebut mempunyai BUT di Indonesia. Apabila ada P3B antara
negara domisili Perusahan Dagang Asing dengan Indonesia maka harus dilihat ketentuan
pengertian BUT dalam P3B tersebut.
Contoh lain, misalnya Perusahaan Dagang Asing menyewa tempat di Indonesia yang
digunakan sebagai kantor yang tugasnya hanya untuk mengantarkan pegawai Kantor Pusat
Perusahaan Dagang Asing ke tempat pembeli atau calon pembeli di Indonesia. Apakah kantor
tersebut merupakan BUT dalam bentuk BUT Kantor Perwakilan (BUT Kantor Perwakilan
Dagang)? Hal ini bisa menimbulkan persepsi yang berbeda antara aparat pajak dan wajib pajak.
Bagi aparat pajak, akan memperlakukan kantor tersebut sebagai BUT agar Indonesia bisa
memajaki penghasilan dari penjualan Perusahaan Dagang Asing kepada pembeli di Indonesia.
Bagi wajib pajak, akan keberatan apabila kantor tersebut diperlakukan sebagai BUT karena
tugasnya hanya sebagai kantor penghubung saja.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, akan lebih baik ke depannya apabila ketentuan
PPh memberikan definisi Kantor Perwakilan Dagang.
Dilihat dari sisi Objek Pajaknya, penghasilan neto Perusahaan Dagang Asing yang
mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia tidak dihitung dengan menggunakan
mekanisme umum dengan cara mengurangkan biaya/pengeluaran yang diperbolehkan menurut
ketentuan perpajakan dari penghasilan bruto, melainkan dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Khusus karena alasan pertimbangan praktis dan untuk menghindari kesukaran
dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Ketentuan pemajakan terhadap Perusahaan
Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia (BUT Kantor
Perwakilan Dagang) ini walaupun tidak didasarkan pada prinsip umum, prinsip ability to pay,
namun secara logika ketentuan ini adalah hal yang wajar dan masuk akal karena kalau
penghasilan neto BUT Kantor Perwakilan Dagang dihitung dengan menggunakan mekanisme
umum maka akan menyulitkan karena data harga pokok penjualan dan biaya usaha lainnya
berada di Kantor Pusat BUT Kantor Perwakilan Dagang tersebut.
Permasalahan timbul di lapangan apabila wajib pajak punya persepsi bahwa pengenaan
PPh bagi BUT, Objek Pajaknya hanya didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh.
Menurut persepsi Wajib Pajak, penghasilan Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang di Indonesia tidak bisa di pajaki sesuai ketentuan Pasal 15 Undang-undang
PPh karena Objek Pajak BUT sudah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh, yang menjadi Obyek Pajak
BUT adalah sebagai berikut:
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki
atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di
Indonesia;
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan
yang memberikan penghasilan dimaksud.
Menurut persepsi wajib pajak yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-
undang PPh, bagaimana bisa BUT dari Perusahaan Dagang Asing tersebut dipajaki di Indonesia
padahal BUT-nya tidak menjual barang. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan hururf b Undang-
undang PPh tidak relevan bagi BUT dari Perusahaan Dagang Asing kalau BUT-nya tidak
menjual barang.
Penulis sendiri tidak sependapat dengan persepsi wajib pajak yang hanya mendasarkan
pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh untuk Objek Pajak BUT. Sebetulnya,
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh itu mengatur Objek Pajak BUT secara umum dan
juga tidak lepas dari ketentuan pengertian penghasilan yang menjadi Objek Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh. Bagi BUT tertentu, tambahan
kemampuan ekonomis (penghasilan neto) yang menjadi Objek Pajak yang tidak dapat dihitung
berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) Undang-undang PPh dihitung dengan
menggunakan Norma Penghitungan Khusus yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Untuk mengatasi perbedaan persepsi antara aparat pajak dan wajib pajak, penulis
berpendapat bahwa sebaiknya dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang PPh ditambahkan satu
ayat yang mengatur bahwa “Objek Pajak berupa penghasilan neto bagi BUT tertentu diatur
dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
Undang-undang PPh.”
Dari sisi tarifnya, tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,44% yang ditetapkan bagi
Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang (BUT Kantor
Perwaklilan Dagang) di Indonesia sebenarnya terdiri-dari dua jenis tarif yaitu tarif umum PPh
atas penghasilan BUT Kantor Perwakilan Dagang itu sendiri (Corporate Income Tax) dan tarif
PPh Pasal 26 ayat (4) atas Penghasilan Kena Pajak setelah PPh (Branch Profit Tax).
Tarif Corporate Income Tax besarnya 0,3% dari Nilai Ekspor Bruto yang berasal dari
penerapan tarif 30% atas penghasilan neto yang dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Khusus sebesar 1% dari Nilai Ekspor Bruto (Omzet). Tarif 30% tersebut
sebetulnya adalah tarif tertinggi dari lapisan tarif progresif PPh bagi BUT sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 yang digunakan sebagai dasar
untuk menentukan tarif PPh bagi BUT Kantor Perwakilan Dagang sebagaimana ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994. Adapun tarif Branch Profit
Tax besarnya 0,14% dari Nilai Ekspor Bruto berasal dari penerapan tarif Pasal 26 ayat (4)
Undang-undang PPh atas Penghasilan Kena Pajak setelah PPh dari BUT (=20% x (1% - 0,3%)
dari Nilai Ekspor Bruto). Dengan demikian, tarif PPh bagi Perusahaan Dagang Asing yang
mempunyai BUT Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia adalah sebesar 0,44% (=0,3%+0,14%)
dari Nilai Ekspor Bruto yang pemenuhan kewajiban perpajakannya dilakukan melalui BUT
Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
Selanjutnya dengan diterbitkannya Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
2/PJ.03/2008 tanggal 31 Juli 2008 yang memberikan penegasan atas Penerapan Norma
Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang, maka terkait penerapan tarif 0,44% dari Nilai Ekspor Bruto, komponen
tarif Branch Profit Tax yang besarnya 0,14% dapat disesuaikan dengan tarif Branch Profit
Tax yang diatur dalam P3B. Penulis berpendapat bahwa SE-2/PJ.03/2008 tersebut memperluas
hal yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 634/KMK.04/1994 karena
KMK Nomor 634/KMK.04/1994 hanya mengatur besarnya pengertian Nilai Ekspor Bruto,
besarnya Norma Penghitungan Khusus, dan besarnya tarif PPh atas Penghasilan yang diterima
atau diperoleh Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di
Indonesia, dan amanah kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengatur pelaksanaan KMK
Nomor 634/KMK.04/1994. KMK Nomor 634/KMK.04/1994 tidak menyebutkan asal-usul
besarnya tarif 0,44% dan hal ini wajar karena penghasilan neto Perusahaan Dagang Asing yang
mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Khusus. Apabila SE-2/PJ.03/2008 disempurnakan dan hanya mengatur teknis
pelaksanaan KMK Nomor 634/KMK.04/1994, tidak menyebutkan asal-usul besarnya tarif 0,44%
dan tidak membuka peluang penyesuaian besarnya tarif 0,44%, maka terdapat potensi adanya
tambahan penerimaan pajak.
Berdasarkan pembahasan sebagaimana diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Ketentuan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan Dagang Asing yang
mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia masih dapat menimbulkan perbedaan
persepsi antara aparat pajak dan Wajib Pajak. Untuk mengurangi perbedaan persepsi antara
aparat pajak dan Wajib Pajak, maka disarankan:
b. Perlunya diberikan pengertian Kantor Perwakilan Dagang.
Bila dilakukan perubahan atas Undang-undang PPh, ketentuan Pasal 5 perlu ditambahkan satu
ayat yang mengatur bahwa “Objek Pajak berupa penghasilan neto bagi BUT tertentu diatur
dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
Undang-undang PPh.”
c. SE-2/PJ.03/2008 memperluas hal yang diatur dalam KMK Nomor 634/KMK.04/1994, yaitu
penegasan asal-usul besarnya tarif PPh 0,44% dan dapat dilakukannya penyesuaian atas
besarnya tarif tersebut dengan tarif Branch Profit Tax yang diatur dalam P3B sehingga
memungkinkan tarif tersebut turun di bawah 0,44%. SE-2/PJ.03/2008 akan lebih baik bila
disempurnakan sehingga tidak memperluas hal-hal yang diatur dalam KMK Nomor
634/KMK.04/1994 sehingga tidak memungkinkan adanya penurunan tarif menjadi di bawah
0,44% sehingga dapat meningkatkan potensi penerimaan PPh Pasal 15.
Pembayaran dan pelaporan PPh dari WPLN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di
Indonesia dan pengadministrasiannya di Kantor Pelayanan Pajak dilakukan sebagai berikut:
WPLN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia wajib membayar PPh
yang terutang dalam suatu masa pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan, dengan menggunakan satu Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
WPLN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia wajib melaporkan
pembayaran PPh yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya
tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan
menggunakan bentuk formulir sesuai lampiran I KEP-667/PJ./2001 dan dilampiri
dengan lembar ke-3 SSP Final.
Uraian Tarif x DPP Penyetoran & Pelaporan Dasar Hukum
WPLN yang Untuk negara yang tidak Disetor sendiri paling KMK
mempunyai ada P3B dengan lambattanggal 15 bulan 634/KMK.04/1994,
kantor Indonesia: berikutnya setelah bulan berlaku mulai 1
perwakilan diterima penghasilan. Januari 1995
0,44% x nilai ekspor
dagang di KEP
bruto Disetor dengan
Indonesia 667/PJ/2001,berlak
menggunakan SSP dengan:
Penghasilan neto= 1% x u mulai 29 Oktober
nilai ekspor bruto KAP: 411128 2001
Untuk negara yang KJS: 413 SE 2/PJ.03/2008,
mempunyai P3B dengan ditetapkan tgl 31
Dilaporkan paling lambat
Indonesia: Juli 2008.
tanggal 20bulan berikutnya
disesuaikan dengan tarif dengan
P3B, untuk contoh menggunakan Formulir
penghitungan lihat di SE dalam Lampiran I KEP
2/PJ.03/2008. 667/PJ./2001 dan
dilampiri SSP lembar ke-
FINAL
3.
Pasal 1 angka 15 UU No 42 tahun 2009 untuk selanjutnya ini akan disebut dengan undang-
undang PPN serta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012
pasal 1 angka 3 mendefinisikan pengusaha kena pajak sebagai pengusaha yang melakukan
penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak
berdasarkan undang-undang PPN. Pengertian pengusaha sendiri berdasarkan pasal 1 angka 14
undang-undang PPN dan pasal 1 angka 2 PP Nomor 1 Tahun 2012 adalah merupakan orang
pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk
mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Selanjutnya pengertian badan
menurut pasal 1 angka 13 undang-undang PPN dan penjelasan pasal 2 ayat 1 huruf B undang-
undang Nomor 36 tahun 2008 adalah mencakup bentuk usaha tetap
Sebagai yang termasuk dalam pengertian badan meskipun merupakan sumber pajak luar
negeri, apabila melakukan penyerahan jasa kena pajak didalam daerah pabean, maka buku
tersebut diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak,
memungut pajak yang terutang, menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak
keluaran lebih besar daripada pajak masukan yang dapat dikreditkan dan melaporkan dalam SPT
masa PPN. Hal ini diatur dalam pasal 3 ayat 1 undang-undang PPN serta penjelasannya.
Pengecualian diberikan bagi pengusaha kecil yaitu pengusaha yang selama 1 tahun buku
melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran
bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600 juta sesuai Peraturan Menteri Keuangan
nomor 68/pmk.03/2010. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN
dinyatakan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi
baik Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan
PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian Perwakilan Dagang Asing tidak disebutkan secara ekspilisit dalam UU No.7
tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 36 tahun
2008. Berdasarkan UU Pph pasal 15 subjek pajak adalah wajib pajak luar negeri (WPLN) yang
mempunyai kantor perwakilan dagang (representative office/liaison office) di Indonesia
yang berasal dari negara yang belum mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) dengan Indonesia. Objek pajaknya adalah nilai ekspor bruto yaitu semua nilai pengganti
atau imbalan yang diterima atau diperoleh WPLN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di
Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Inti pemajakan terhadap BUT Kantor Perwakilan Dagang tersebut adalah penghasilan
neto dari Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto, pelunasan Pajak Penghasilan bagi
Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia adalah
sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final, yang dimaksud dengan nilai ekspor bruto
adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada
orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Perusahaan
dagang asing juga akan dikenakan PPN apabila melakukan penyerahan barang kena pajak dan
penghasilan brutonya melebihi dari Rp 600 juta.
Daftar Pustaka
https://bppk.kemenkeu.go.id/id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/20912-analisis-ketentuan-
pajak-penghasilan-bagi-perusahaan-dagang-asing-yang-mempunyai-kantor-perwakilan-
dagang-di-indonesia
http://intipajak.blogspot.com/2014/09/pph-atas-kantor-perwakilan-dagang-asing.html
https://news.ddtc.co.id/pajak-atas-perusahaan-dagang-asing-10965
https://slideplayer.info/slide/13907318/
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4cd77f52e091f/membuka-kantor-
perusahaan-asing
https://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=47&list=&q=&hlm=5
Daftar Pertanyaan