Pembangunan Rumah Potong Hewan PDF
Pembangunan Rumah Potong Hewan PDF
Semoga kehadiran Proposal ini, dapat membuka mata dan telinga kita, tentang
eksistensi Rumah Potong Hewan yang ada, guna menuju perbaikan dimasa
mendatang. Hanya Kepa Allah kami memohon pertolongan.
(Drs.H.M.Solihin)
DAFTAR ISI
NO Uraian Halaman
1. Bab I Pendahuluan
Berisi Gambaran Umum Rumah Potong Hewan (RPH) di 1-13
Kabupaten Karawang, Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Pembuatan Proposan, Biaya yang
diperlukan, manfaat yang diperoleh dan sistematika
penulisan.
2. Bab II Kajian Tioritis 14-29
Berisi Kajian Teoritis pembangunan Rumah Potong Hewan,
persyaratan lokasi, persyaratan fisik bangunan, bangunan
penunjang dan lainnya.
3. Bab III Standarisasi Manajemen Rumah Potong Hewan 30-61
Berisi Peran dan Fungsi Rumah Potong Hewan, Design Tata
Ruang Rumah Potong Hewan, Standarisasi Rumah Potong
Hewan, Analisis Lingkungan Rumah Potong Hewan,
Analisis Pasar dan Pemasaran, Analisis Financial dan
Analisis Sosial ekonomi.
4. Bab IV Manajemen Pengolahan limbah Rumah Potong 62-110
Hewan
Berisi tentang penanganan limbah Rumah Potong Hewan,
dampak limbah Rumah Potong Hewan dan Solusi
pemanfaatannya.
5. Bab V Penutup
Berisi Kesimpulan dan Saran 111-125
6. Daftar Pustaka 126-132
7. Lampiran-Lampiran 133-293
7.1 Undang-undang republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009 133-186
TentangPeternakan dan kesehatan hewan
7.2 Peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 95 tahun 187-212
2012012 Tentang Kesehatan masyarakat veteriner dan
kesejahteraan hewan
7.3 Peraturan menteri pertanian Nomor: 213-225
381/kpts/ot.140/10/2005 Tentang pedoman sertifikasi
kontrol veteriner Unit usaha pangan asal hewan
7.4 Peraturan pemerintah republik indonesia 226-241
Nomor 22 tahun 1983 Tentang Kesehatan masyarakat
veteriner
7.5 peraturan menteri pertanian republik Indonesia nomor 242-273
13/permentan/ot.140/1/2010 tentang persyaratan rumah
potong hewan ruminansia dan unit penanganan daging
(meat cutting plant)
7.6 Peraturan menteri Perdagangan Nomor 41 tahun 2015 274-279
tentang Ketentuan Ekpor dan Impor Hewan
7.7 Peraturan menteri negara lingkungan hidup Nomor 02 tahun 280-289
2006 Tentang Baku mutu air limbah Bagi kegiatan rumah
pemotongan hewan
7.8 Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699 Tahun 2013 290-293
Tentang Stabilisasi harga Daging Sapi
7.9 Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 49 Tahun 2015 294-306
Tentang Rumah Potong Hewan Ruminansi
PROPOSAL
PERLUASAN PEMBANGUNAN
RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
PASAR CIKAMPEK
GAMBARAN UMUM
KONDISI RUMAH POTONG HEWAN
DI KABUPATEN KARAWANG
Pedagang Daging di Karawang Keluhkan RPH
RPH 1 CIKAMPEK
Ia mengaku selama ini para pedagang daging lebih memilih memotong sapi
dengan menggunakan jasa tukang potong atau tukang jagal dibandingkan di
rumah pemotongan hewan.
Ia mengatakan, ada tiga unit rumah pemotongan hewan atau Rumah Potong
Hewan (RPH) yang ada di Karawang. Masing-masing Rumah Potong Hewan
(RPH) itu berada di Kecamatan Cikampek, Karawang Timur dan wilayah
Rengasdengklok.
Tiga unit RPH yang tersebar di tiga kecamatan tersebut diakuinya belum
memiliki fasilitas yang layak. Sehingga perlu pengembangan, agar mampu
melayani pemotongan hewan dalam jumlah yang banyak.
Dalam sehari, rata-rata hanya tujuh sampai delapan ekor sapi yang dipotong di
masing-masing Rumah Potong Hewan (RPH) sekitar Karawang.
Kondisi Rumah Potong Hewan (RPH) saat ini banyak yang tidak layak. Karena
itu secepatnya fasilitas ini akan ditingkaktkan sehingga menjadi Rumah Potong
Hewan modern. Sehingga masyarakat juga bisa memanfaatkannya.
RPH 2 CIKAMPEK
membuat RPH yang ada tersebut kurang diminati sehingga masyarakat lebih
memilih menggunakan jasa tukang jagal atau yang biasa memotong hewan.
Menurut Kadarisman, Pemkab Karawang memiliki 3 unit Rumah Potong Hewan
yang ada di Kecamatan Cikampek, Karawang Timur dan Rengas Dengklok.
Dari ketiga Rumah Potong Hewan tersebut seluruhnya memiliki fasilitas yang
minim. Dengan fasilitas yang minim membuat para pedagang sapi potong tidak
mau datang dan mereka memilih tempat lain. “RPH yang di Cikampek dan
Karawang Timur paling hanya memotong 6 ekor sapi. Sedangkan yang di
Rengasdengklok lebih parah lagi paling hanya memotong dua ekor saja setiap
harinya. Jumlah ini sangat minim sekali makanya kita akan segera memperbaiki
agar jumlah hewan yang dipotong lebih banyak lagi,” katanya.
Menurut Kadarisman salah satu penyebab Rumah Potong Hewan ini sepi karena
memang fasilitas yang dimiliki sangat minim. Oleh karena itu pihak dinas
pertanian akan segera memperbaiki fasilitas RPH yang ada di Karawang.
“Seluruh RPH akan kita perbaiki fasilitasnya dan yang kurang akan kita
lengkapi sesuai dengan standar modern. Diharapkan dengan adanya
penambahan fasilitas nantinya bisa lebih maksimal melayani masyarakat,”
katanya.
Sementara itu salah seorang pedagang daging sapi di Pasar Baru Karawang,
Endang, mengaku selama ini lebih memilih memotong sapi menggunakan jasa
tukang potong. Menurutnya, Rumah Potong Hewan yang ada di Karawang tidak
layak untuk disebut rumah pemotongan. Selain itu biaya pemotongan lebih
mahal dibandingkan dengan pelayanan yang diharapkan pedagang. “Harusnya
Rumah Potong Hewan itu bisa melayani sesuai dengan harapan para pedagang
yaitu melayani lebih cepat. Selain itu juga harganya jangan terlalu mahal hingga
pedagang mau ke Rumah Potong Hewan,” kata Endang.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang sehat dan
sejahtera, mendorong adanya tuntutan akan kebutuhan pangan yang sempurna,
mencakup didalamnya komposisi gizi yang seimbang antara karbohidrat sebagai
sumber energi, dan protein sebagai zat sumber pertumbuhan badan. Kebutuhan
protein nabati dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi bahan pangan dari tumbuh-
tumbuhan sedang konsumsi protein hewani diperoleh dari hewan ternak yang
dipelihara dengan sehat.
RPH 3 CIKAMPEK
intensitas pemotongan juga meningkat, oleh karena itu keberadaan Rumah
Pemotongan Hewan sangat diperlukan, yang dalam pelaksanaannya harus dapat
menjaga kualitas, baik dari tingkat kebersihannya, kesehatannya, ataupun
kehalalan daging untuk dikonsumsi. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah
mendirikan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di berbagai daerah seluruh
Indonesia.
Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang
sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik
sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung
enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein,
lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging
dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).
Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam
mata rantai penyediaan daging adalah tahap di Rumah Pemotongan Hewan
(RPH). Di Rumah Pemotongan Hewan ini hewan disembelih dan terjadi
perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi
pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi
(pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di Rumah Pemotongan
Hewan yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan,
mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem
jaminan mutu dan keamanan pangan di Rumah Pemotongan Hewan sangatlah
penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety
Rumah Pemotongan Hewan. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem
tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesehatan hewan.
Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu
tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan
hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus
yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan
sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi
masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan Rumah
Pemotongan Hewan di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah
Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan.
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan
disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas
bagi konsumsi masyarakat luas (Manual Kesmavet, 1993).
RPH 4 CIKAMPEK
Untuk menanggapi potensi luar biasa tersebut diperlukan adanya Rumah
Pemotongan Hewan yang representatif, sehingga demikian perlu perencanaan
tentang Rumah Pemotongan Hewan di Cikampek yang lebih menekankan pada
fungsi proses produksi sehingga tercipta keefektifan di lokasi tersebut, dengan
ketentuan tentang persyaratan Rumah Pemotongan Hewan yang sesuai dengan
keputusan pemerintah yang berlaku.
Rumah Potong Hewan adalah suatu komplek bangunan dengan desain dan
syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan bagi
konsumsi masyarakat luas. Rumah Pemotongan Hewan Pasar Cikampek
Kabupaten Karawang memiliki konsep terpadu dimana RPH tidak hanya
memberikan pelayanan pemotongan berbagai macam jenis ternak seperti sapi,
kerbau, kambing, domba dan unggas tetapi juga RPH dilengkapi dengan
kandang-kandang penampungan, pasar hewan, klinik, meat shop dan unit
pengolahan ayam ungkep, koasistensi/ magang/ penelitian/ study banding
pelajar, mahasiswa dan instansi (pemerintah maupun swasta) serta menjadi
kawasan eduagrowisata sehingga pelayanan yang diberikan sangat lengkap dari
hulu ke hilir atau one stop shopping. RPH Terpadu Pasar Cikampek yang
berdiri di atas lahan 7.000 M2 diharapkan dapat menjadi RPH percontohan di
Karawang.
Daging merupakan salah satu bahan makanan yang hampir sempurna, karena
mengandung gizi yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu protein
hewani, energi, air, mineral dan vitamin (Soeparno, 2005). Kebutuhan daging
sapi di Indonesia sangat tinggi, Rumah Potong Hewan sangat berperan pada
penyediaan konsumsi daging di pasaran. Rumah Potong Hewan (RPH)
merupakan bangunan yang di desain dengan kontruksi khusus untuk memenuhi
persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat
memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat (Anonim,
1999). Untuk memperoleh kualitas daging yang baik dan ASUH (Aman, Sehat,
Utuh dan Halal) maka perlu diterapkan sistem pengawasan terhadap hewan
potong di RPH dengan baik serta ditunjang dengan sarana dan prasana baik yang
mendukung.
RPH 5 CIKAMPEK
Daging merupakan bahan pangan asal ternak yang dibutuhkan oleh manusia
karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan mengandung asam amino esensial
yang diperlukan untuk pertumbuhan sel- sel baru, pergantian sel-sel rusak serta
diperlukan bagi metabolisme tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan
bagi masyarakat, daging harus memenuhi aspek kuantitatif, aspek kualitatif
(nilai gizi), aspek kesehatan (syarat-syarat hygiene) dan aspek kehalalan,
sehingga diperoleh produk yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).
Rumah Potong Hewan secara garis besar mempunyai bangunan utama dan
bangunan pendukung. Bangunan utama merupakan ruangan yang secara
langsung menangani hewan potong dari proses pengistirahatan hewan potong
sampai proses pembagian karkas dan siap untuk dipasarkan, sedangkan
bangunan pendukung merupakan kantor administrasi yang mempunyai tugas
untuk mendata hewan yang masuk dan karkas yang diedarkan.
RPH 6 CIKAMPEK
pembenahan baik dibidang fisik bangunan maupun organisasi pengelola untuk
memperoleh ISO 9001:2008 tentang Quality Management System for
the provision of beef slaughtering service. Diharapkan RPH Terpadu dapat
memberikan pelayanan yang berkualitas dengan berorientasi kepada kebutuhan
dan kepuasan masyarakat.
RPH 7 CIKAMPEK
1.2.2 Kebutuhan Dan Sumber Data
Data yang dibutuhkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh langsung dari nara sumber yang antara terdiri dari atas
1. Pejabat Pemerintah terkait (Bupati, Dinas Pertanian, BAPPEDA, dll), untuk
mengetahui kebijakan yang diambil dalam pendirian RPH.
2. Pengusaha/Peternak, untuk mengetahui respons dan feedback
pengusaha/peternak dengan adanya rencana pendirian RPH tersebut.
3. Pengusaha Peralatan Pemotongan Hewan, untuk mendapatkan informasi
mengenai harga peralatan dan mesin yang akan digunakan RPH.
Pembuatan Proposal ini dibagi dalam dua tahap pengumpulan data. Tahap
pertama di fokuskan kepada aktivitas desk research yang meliputi telaah pustaka
dan pencarian data sekunder. Tahap kedua akan memfokuskan pada pencirian
data primer melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan nara
sumber terpilih baik dari kalangan pejabat pemerintahan, pengusaha/peternak
maupun masyarakat dengan metode random sampling. Adapun teknik
pengolahan data didasarkan kepada aspek-aspek analisis kelayakan yang antara
lain meliputi:
RPH 8 CIKAMPEK
1) Aspek Kelayakan Pasar, dengan teknik analisis trend terhadap variable
terpilih. Analisis ini memberikan arahan tentang volume permintaan dan
penawaran daging sekarang dan masa yang akan datang.
2) Aspek Kelayakan Teknis, melalui teknik analisis deskriptif terhadap
variabel-variabel yang telah ditentukan.
3) Aspek Kelayakan Finansial, melalui Net Present Value (NPV), Internal Rate
of Returns (IRR) dan Net Benefit Cost Ratio.
4) Aspek Kelayakan Lingkungan diterapkan secara deskriptif untuk
mengetahui dan mengukur kemanfaatan dan kerugian yang diprediksi akan
muncul dengan adanya fasilitas pemotongan hewan di sekitar bangunan
RPH.
RPH 9 CIKAMPEK
(2) Teknik Analisis Internal Rate of Returns (IRR)
Tingkat hasil pengembalian internal didefinisikan sebagai suku bunga
yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan atau
penerimaan kas, dengan pengeluaran investasi awal. Analisis IRR
adalah proses penghitungan suatu tingkat discount rate yang
menghasilkan NPV sama dengan 0 (nol).
Jika IRR lebih besar daripada CoC (Cost of Capital) maka proyek
tersebut layak untuk diteruskan, sedangkan apabila IRR lebih kecil atau
sama dengan CoC maka proyek tersebut sebaiknya dihentikan.
Jika nilai Net B/C lebih besar dari 1 (satu) maka proyek tersebut layak
untuk dikerjakan sebaliknya jika Net B/C kurang dari 1 (satu) berarti
proyek tersebut tidak layak untuk diteruskan.
RPH 10 CIKAMPEK
yang Representatif, layak, bersih dan sehat, sehingga dapat menghasilakan
produk daging yang bersih dan sehat. Dari Rumah Potong Hewan yang layak,
bersih dan sehat akan menghasilkan:
1. Bertambahnya Pendapatan Asli Daerah dari sektor retribusi RPH
2. Bertambahnya pertumbuhan ekonomi di sektor perdagangan daging
3. Terjaminnya kesehatan daging yang diproduksi RPH
4. Kesejahteraan masyarakat bertambah baik.
Net B/C adalah perbandingan antara jumlah PV net benefit yang positif
dengan jumlah PV net benefit yang negatif. Jumlah Present value positif
sebagai pembilang dan jumlah present value negatif sebagai penyebut.
Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat manfaat (benefit)
yang diperoleh dari biaya (cost) yang dikeluarkan. Apabila net B/C > 1,
maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan layak untuk
dilaksanakan. Demikian pula sebaliknya, apabila net B/C < 1, maka
proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan tidak layak untuk
dilaksanakan. Net B/C ratio merupakan manfaat bersih tambahan yang
diterima proyek dari setiap 1 satuan biaya yg dikeluarkan.
RPH 11 CIKAMPEK
Diketahui:
1. Biaya Investasi Proyek Perluasan Rumah Potong Hewan Pasar
Cikampek Rp. 11.267.850.000
2. Pendapatan Kotor RPH Rp. 11.862.500.000/tahun
3. Biaya Operasional RPH Rp.8.896.875.000 /tahun
4. Umur Proyek investasi 25 Tahun
5. Selisih Laba Usaha Netto Rp. 2.965.625.000/tahun x 25 Tahun = Rp.
74.140.625.000
6. Laba Usaha dikurangi modal investasi (74.140.625.000 -
12.407.850.000) = 61.732.775.000
7. Net B/C = 61.732.775.000/11.267.850.000 = 547,866%
RPH 12 CIKAMPEK
Bab ini membahas teori-teori dan konsep serta hasil-hasil penelitian sejenis
yang sudah dilakukan.
3. Bab III Pembahasan
Bab ini membahas solusi alternative yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan
4. Bab IV Penutu
Bab ini berisi kesimpulan dan Saran (Rekomendasi)
RPH 13 CIKAMPEK
BAB II
KAJIAN TIORITIS
Salah satu tahapan proses penelitian yang harus diperhatikan oleh peneliti adalah
menyusun kajian teori. Proses menyusun kajian teori merupakan proses yang
sangat menentukan langkah penelitian berikutnya. Maka dari itu seorang peneliti
harus memiliki perhatian yang tinggi terhadap masalah kajian teori.
Proses pemilihan teori yang relevan dengan topik penelitian merupakan proses
yang memerlukan kecapakan dan strategi tertentu. Seorang peneliti akan mudah
menyusun kajian teori manakala ia paham betul topik masalah yang hendak
ditelitinya, kemudia ia memiliki kemampuan untuk menemukan referensi yang
dibutuhkanya.
RPH 14 CIKAMPEK
Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum.
(Peraturan Menteri RI No.13/Permentan/OT.140/1/2010).
RPH 15 CIKAMPEK
2. Dinding
Tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan
karkas minimum meter. Dinding bagian dalam berwarna terang
dan minimum setinggi 2 meter terbuat dari bahan yang kedap air,
tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras,
mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.
3. Lantai
Lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak
licin, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan landai
ke arah saluran pembuangan. Permukaan lantai harus rata, tidak
bergelombang, tidak ada celah atau lubang.
4. Sudut Pertemuan
Sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk
lengkung dengan jari- jari sekitar 75 mm. Sudut pertemuan antara
dinding dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari
sekitar 25 mm.
5. Langit-langit
Langit-langit didisain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan
kondensasi dalam ruangan. Langit-langit harus berwarna terang,
terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah mengelupas, kuat,
mudah dibersihkan serta dihindarkan adanya lubang atau celah
terbuka pada langit-langit.
9. Penerangan
Penerangan dalam ruangan harus cukup baik. Lampu penerangan
harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dam mempunyai
intensitas penerangan 540 lux untuk tempat pemeriksaan
RPH 16 CIKAMPEK
postmortem dan 220 luks untuk ruang lainnya.
RPH 17 CIKAMPEK
Kesehatan masyarakat veteriner adalah suatu bidang penerapan kemampuan
profesional, pengetahuan dan sumberdaya kedokteran hewan dalam bidang
kesehatan masyarakat untuk melindungi dan memperbaiki kesehatan manusia.
Daerah kotor adalah daerah dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi dan
fisik yang tinggi. Daerah bersih adalah daerah dengan dengan tingkat
pencemaran biologik, kimiawi dan fisik yang rendah. Desinfeksi adalah
penggunaan bahan kimia dan/atau tindakan fisik untuk mengurangi/
menghilangkan mikroorganisme.
RPH 18 CIKAMPEK
mengisolasi hewan potong yang ditunda pemotongannya karena menderita
penyakit tertentu atau dicurigai terhadap suatu penyakit tertentu.
RPH 19 CIKAMPEK
potong harus terpisah dari pintu keluar daging.
Sarana untuk mencuci tangan harus didisain sedemikian rupa agar tangan
tidak menyentuh kran air setelah selesai mencuci tangan, dilengkapi
dengan sabun dan pengering tangan seperti lap yang senantiasa diganti,
kertas tissue atau pengering mekanik (hand drier). Jika menggunakan
kertas tissue, maka disediakan pula tempat sampah tertutup yang
dioperasikan dengan menggunakan kaki.
RPH 20 CIKAMPEK
berbeda dengan yang digunakan untuk pekerjaan kotor, misalnya pisau
untuk penyembelihan tidak boleh digunakan untuk pengerjaan karkas.
RPH 21 CIKAMPEK
2.2.8 Persyaratan Ruang Pendingin/Pelayuan
Ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih. Besarnya ruang
disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan. Konstruksi bangunan
harus memenuhi persyaratan:
- Dinding
Tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan karkas
minimum 3 meter. Dinding bagian dalam berwarna terang, terbuat dari
bahan yang kedap air, memiliki insulasi yang baik, tidak mudah
korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.
- Lantai
Lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak
toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas (SNI 01 - 6159 – 1999).
2.2.11 Laboratorium
Laboratorium didisain khusus agar memenuhi persyaratan kesehatan dan
keselamatan kerja. Tata ruang didisain agar dapat menunjang
pemeriksaan laboratorium. Penerangan dalam laboratorium memiliki
intensitas cahaya 540 lux. Lampu harus diberi pelindung (SNI 01 - 6159
– 1999).
2.3.1 Karkas
Bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal sesuai dengan
CAC/GL 24-1997, telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala dan
RPH 22 CIKAMPEK
kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta
lemak yang berlebih.
a. Ketebalan Lemak Karkas
Jaringan lemak subkutan (sub cutaneous)
b. Konformasi Karkas
Jaringan otot skeletal dan jaringan lemak sebagai unit komersial
yang berhubungan dengan ukuran tulang rangka (skeleton)
c. Warna Karkas
Warna pada sayatan segar otot punggung (back muscle) atau otot daging
kelapa pada paha belakang (round)
2.3.2 Daging
Daging adalah bagian hewan yang disembelih (sapi, kerbau, kambing, domba)
yang dapat dimakan dan berasal dari otot rangka atau yang terdapat di lidah,
diagfragma, jantung dan oeshopagus dengan atau tidak mengandung lemak.
Daging merupakan otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil
yang masing- masing serat berupa sel memanjang, terdiri dari tiga komponen
utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue) dan
jaringan ikat (connective tissue). Sel serat otot mengandung dua macam protein
yang tidak larut, yaitu kolagen dan elastin yang terdapat pada jaringan ikat.
Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan
tingkat kealotan/kekerasan daging. Istilah daging dibedakan dengan karkas,
karena daging merupakan bagian tidak mengandung tulang, sedangkan karkas
adalah daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya (Foxit PDF,
2009 dalam Afiati).
Daging sapi merupakan pangan asal ternak yang kaya gizi, khususnya sumber
protein hewani yang bersifat perishable. Cara pemotongan dan penanganan
yang kurang higienis di RPH merupakan titik kritis kontaminasi
mikroorganisme pada daging. Mikroorganisme kontaminan yang bersifat
patogen dan perusak diantaranya adalah E. coli, L. monocytogenes dan S.
Typhimurium. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme kontaminan pada
daging dapat dilakukan secara fisik, kimia, dan biologis. Penggunaan
biopreservatif, misalnya dengan penambahan bakteriosin sudah mulai menjadi
pilihan produsen, karena lebih aman dan tidak meninggalkan residu yang
membahayakan konsumen (Usmiati et al, 2007 dalam Takasari).
Komposisi kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan
substansi bukan protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik,
substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin. Daging merupakan bahan
makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya
yang tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial
yang lengkap dan seimbang (Lawrie, 1995).
RPH 23 CIKAMPEK
Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum dan sesudah
pemotongan. faktor-faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi
kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,
umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral), dan stress.
faktor-faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara
lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan dan nilai pH
karkas (Soeparno, 1994 dalam Fatimah).
Menurut SNI 3932:2008 daging adalah Bagian otot skeletal dari karkas sapi
yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging
segar, daging segar dingin, atau daging beku.
a. Daging Segar
Daging yang belum diolah dan atau tidak ditambahkan dengan bahan
apapun.
b. Daging Segar Dingin
Daging yang mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan
sehingga temperature bagian dalam daging antara 0 °C dan 4 °C.
c. Daging Beku
Daging segar yang sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast
freezer dengan temperatur internal minimum -18 °C.
d. Marbling Butiran lemak putih yang tersebar dalam jaringan otot
daging (lemak intra muskuler).
e. Perubahan Warna
Penyimpangan warna karena terdapat memar, pendarahan, "freeze burn"
dan atau perubahan warna lainnya yang disebabkan oleh mikroorganisme
atau zat-zat kontaminan
f. Memar
Perubahan warna dan konsistensi pada daging akibat benturan fisik g)
Freeze Burn Perubahan warna pada daging akibat kontak dengan
permukaan yang sangat dingin, di bawah temperatur -18 °C
RPH 24 CIKAMPEK
2.3.3 Daging Normal
Kriteria yang dipakai sebagai pedoman untuk menentukan kualitas daging
yang layak dikonsumsi adalah:
3. Warna daging bervariasi tergantung dari jenis hewan secara genetik dan
usia, misalkan daging sapi potong lebih gelap daging sapi perah, daging
sapi muda lebih pucat daripada daging sapi dewasa. Warna daging
yang baru diiris biasanya merah ungu gelap dan akan berubah menjadi
terang bila dibiarkan terkena udara dan bersifat reversible (dapat balik).
Namun bila dibiarkan terlalu lama dibiarkan di udara akan berubah
menjadi cokelat.
4. Rasa dan aroma dipengaruhi oleh jenis pakan. Daging berkualitas baik
mempunyai rasa gurih dan aroma yang sedap.
RPH 25 CIKAMPEK
Zat gizi meliputi unsure makro seperti karbohidrat, protein dan lemak serta
unsure mikro seperti vitamin dan mineral. Utuh, daging tidak dicampur dengan
bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain. Halal, hewan
maupun dagingnya disembelih dan ditangani sesuai syariat agama Islam.
Kehalalan menjadi hak asasi manusia yang diakui keberadaannya sehingga
harus dijamin dan dilindungi oleh semua pihak secara brtanggung jawab.
b. Organoleptik
Uji organoleptik adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui rasa dan
bahu (kadang-kadang termasuk penampakan) dari suatu produk makanan,
minuman, obat dan produk lain (Wiryawan, 2011).
a. Panel Perseorangan
orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik sangat tinggi yang diperoleh
karena bakat atau latihan-latihan yang sangat intensif. Panel perseorangan sangat
RPH 26 CIKAMPEK
mengenal sifat, peranan, dan cara pengolahan bahan yang akan dinilai dan
menguasai metoda-metoda analisis organoleptik dengan sangat baik.
b. Panel Terbatas
Terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi. Panelis ini mengenal
dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan dapat mengetahui
cara pengolahan serta pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan
diambil setelah berdiskusi diantara angota-anggotanya.
c. Panel Terlatih
Terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup baik. Untuk menjadi
panelis terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan. Panelis ini
dapat menilai beberapa sifat rangsangan, sehingga tidak terlampau
spesifik. Keputusan diambil setelah data dianalisis secara statistik.
f. Panel Konsumen
tergantung pada target pemasaran suatu
komoditi. Mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat ditentukan
berdasarkan daerah atau kelompok tertentu.
g. Panel Anak-anak
Menggunakan anak-anak berusia 3-10 tahun. Panelis anak-anak ini dilakukan
secara bertahap, yaitu dengan pemberitahuan atau undangan bermain bersama,
kemudian dipanggil untuk diminta responnya terhadap produk yang dinilai
dengan alat bantu gambar seperti boneka, snoopy yang sedang sedih, biasa dan
tertawa.
RPH 27 CIKAMPEK
c. Uji Mikrobiologi
Jenis mikroba yang terdapat dalam makanan meliputi bakteri, kapang / jamur,
dan ragi serta virus yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak
diinginkan seperti peampilan, tekstur, rasa dan bau dari makanan.
Pengelompokkan mikroba dapat berdasarkan atas aktifitas mikroba (proteolitik,
lipofik, dsb) ataupun atas pertumbuhannya (psikrofilik, mesofilik, halofilik dsb).
Banyak factor yang mempengaruhi jumlah serta jenis mikroba yang terdapat
dalam makanan, diantaranya adalah sifat makanan itu sendiri (pH, kelembaban,
nilai gizi), keadaan lingkungan dari mana makanan tersebut diperoleh, serta
kondisi pengolahan ataupun penyimpanan. Jumlah mikroba yang terlalu tinggi
dapat mengubah karakter organoleptik, mengakibatkan perubahan nutrisi / nilai
gizi atau bahkan merusak makanan tersebut. Bahkan bila terdapat mikroba
patogen, besar kemungkinan akan berbahaya bagi yang mengonsumsinya
(Badan POM, 2008).
RPH 28 CIKAMPEK
e. Kerangka konsep
Kerangka konsep merupakan astraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-
hal yang khusus (Notoatmodjo, 2010)
Berdasarkan kerangka teori diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
RPH 29 CIKAMPEK
BAB III
STANDARISASI MANAJEMEN
RUMAH POTONG HEWAN
3.1 Umum
Rantai pasok daging sapi (beef supply chain) global menjadi salah satu
komponen yang strategis di dalam pemenuhan pangan dan sistem logistik
daging sapi nasional. Pada saat ini industri daging sapi atau rantai pasok
daging sapi nasional, dihadapkan pada lingkungan pasar global yang sangat
kompetitif. Semakin senjangnya kapasitas produksi daging sapi nasional
dengan laju pertumbuhan permintaan konsumsi menyebabkan Indonesia
semakin berkepentingan dengan rantai global untuk mereduksi tingkat
kesenjangan tersebut. Oleh sebab itu, pada akhir-akhir ini, tuntutan terhadap
Indonesia untuk dapat menyelaraskan diri terhadap berbagai norma dan
regulasi perdagangan internasional (terms of trade) sapi potong dan daging
sapi tampaknya semakin keras disuarakan oleh berbagai pihak yang menjadi
mitra perdagangan internasional Indonesia. Khususnya untuk komoditas
perdagangan sapi potong, isu-isu mengenai kepuasan dan kepercayaan
konsumen atas atribut-atribut non ekonomi, seperti keamanan pangan (food
safety), kemamputelusuran (traceability) dan kesejahteraan hewan (animal
welfare) semakin intensif dikemukakan di berbagai forum perdagangan
internasional.
RPH 30 CIKAMPEK
tahun 2014”, yang menyatakan bahwa swasembada daging sapi nasional akan
tercapai pada saat populasi sapi potong Indonesia mencapai besaran antara
14,2 juta ekor. Oleh karena itu, sejak tahun 2011, tingkat impor sapi potong
diturunkan secara drastis. Namun begitu, seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, tingkat harga daging sapi berangsur mengalami kenaikan. Pada
perspektif ekonomi, kondisi ini menyiratkan timbulnya kelebihan permintaan
(excess demand) atas daging sapi secara nasional.
Di antara sekian banyak pelaku dalam rantai, Rumah Potong Hewan (RPH)
merupakan salah satu pelaku dalam rantai yang diyakini menjadi
simpul strategis yang menghubungkan antara rantai pasok nasional, global,
dan konsumen daging sapi nasional. Di sisi produksi, RPH merupakan
lembaga yang menjadi muara tataniaga sapi potong, baik nasional atau pun
global, sementara pada sisi konsumsi, RPH merupakan lembaga yang
berfungsi untuk menjamin ketersediaan daging sapi bagi konsumen, baik
kuantitasnya atau pun kualitasnya.
RPH 31 CIKAMPEK
a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem
inspection) dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem
inspektion) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang
ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-
mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit
hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.
RPH 32 CIKAMPEK
dan dipotong pada keadaan tenang sehingga proses ketegangan otot dapat
dihindarkan. Faktanya, dalam proses pemotongan, ternak masih
diperlakukan semena-mena. Dampak dari cara pemotongan yang tradisional
tersebut, diperoleh daging yang berkualitas rendah.
Selain itu, dalam proses pasca pemotongan ternak, hampir tidak pernah
dilakukan pelayuan, daging atau karkas langsung dibawa oleh pedagang dan
dijual dalam “keadaan panas” (hot meat). Keadaan ini dilakukan karena
konsumen lebih menyukai daging panas dari pada daging dingin (chill meat
atau frozen meat). Hal inilah yang menyebabkan seluruh RPH bekerja pada
malam hari, karena setelah dilakukan pemotongan, pada malam itu juga
daging didistribusikan ke pasar-pasar yang mulai berdagang pada dinihari
dan sampainya di konsumen rumah tangga pada pagi hari.
RPH 33 CIKAMPEK
Gambar 3.1 Ruang penyembelihan
c. Tempat pemeriksaan kesehatan daging merupakan suatu ruang fasilitas
pemeriksaan kesehatan baik ante mortem dan post mortem. Ruang ini
diusahakan berdampingan dengan rel kepala dan jeroan sehingga mudah
untuk mencocokan antara karkas dengan jeroan atau kepalanya. Rel
dilengkapi dengan rel rijek yang berfungsi untuk tempat
memberhentikan karkas.
d. Penimbangan merupakan
ruang yang dilengkapi
dengan alat penimbangan
secara langsung yang
menyatu dengan rel dan
secara otomatis akan
mencatat berat karkas
tersebut.
RPH 34 CIKAMPEK
g. Ruang kepala, hati, jantung dan paru-paru merupakan ruangan yang
berguna untuk pengeluaran otak dan pencucian yang diperlengkapi
dengan alat penggantung.
h. Ruang pelayuan adalah ruang untuk melayukan karkas. Ruang ini
tergantung pada tipe dari RPH. Untuk tipe D hanya diperlengkapi
dengan sistem rel saja, tipe C ditambah dengan ekshauser, untuk tipe A
dan B ditambah dengan perlengkapan pendingin/chiller yang bersuhu
18oC.
RPH 35 CIKAMPEK
3.3.2 Bangunan Penunjang dan Perlengkapan lain
Untuk memperlancar kerja RPH maka perlu diperlengkapi bangunan
penunjang dan sistem alat yang terintegrasi. Beberapa peralatan dan
bangunan penunjang ini akan diuraikan sebagai berikut sesuai dengan
pendapat Lestari (1993b):
1. Perlengkapan Rumah Potong Hewan.
a. Sistem rel. Rel sistem ini diatur sesuai dengan tahap pekerjaannya dan
saling berhubungan. Rel sistem diawali dari daerah kotor yaitu diawali
pada daerah penyembelihan, pengulitan, dan kedaerah pemeriksaan
yang dilengkapi dengan rel rijek. Pada daerah pemeriksaan rel
bercabang jika terjadi pemeriksaan lebih lanjut akan ditunda dan jika
lolos pemeriksaan akan dilanjutkan ke rel paralel untuk penimbangan
dan pemotongan karkas yang letaknya lebih tinggi. Rel kemudian
keluar dari daerah kotor dan masuk ke daerah bersih, yaitu ruangan
pelayuan. Pada daerah ini rel mempunyai banyak simpangan dan lajur
yang disesuaikan untuk kapasitas pemotongan. Untuk RPH tipe C dan
D rel hanya sampai disini, tetapi untuk tipe A dan B sistem rel
dilanjutkan ke ruang deboning dan cold storage. Pada sistem rel
terdapat beberapa alat:
a.1 Hoist: alat penggerek sapi atau karkas.
a.2 Timbangan: secara otomatis dapat menunjukkan berat karkas
atau daging setelah diproses.
a.3 Gantungan sapi: alat penggantung sapi yang akan ditaruh di
meja pengulitan dan peregang karkas yang akan dibagi dua.
a.4 Gantungan karkas: kait penggantung karkas untuk diproses
selanjutnya setelah dibagi menjadi dua belahan.
a.5 Gantungan jeroan: kait penggantung kepala, jantung dan paru-
paru untuk diperiksa dan akan berlanjut ke ruang kepala.
b. Perlengkapan lain yang terdapat pada ruang kotor adalah:
b.1 Alat penjepit hewan: terdapat di ruang penyembelihan sebelum
hewan dipingsankan.
b.2 Alat pemingsan: alat pemingsan hewan yang dirancang
sedemikian rupa dengan voltase dan waktu tertentu.
b.3 Meja pengulitan: meja yang dibuat sedemikian rupa sehingga
memudahkan pengulitan dan menghindarkan daging
menyentuh lantai.
b.4 Gergaji: gergaji yang digunakan untuk membelah karkas.
b.5 Tangga: tangga untuk operator pembelah karkas untuk
mempermudah pembelahan karkas.
b.6 Gerobak jerohan: gerobak dengan desain khusus untuk
mengangkut jerohan ke ruang penanganan selanjutnya.
2. Bangunan Penunjang.
a. Halaman serta pagar. Tersedia halaman untuk kendaraan keluar masuk
untuk bongkar muat sapi, tempat parkir dan daging yang terpisah.
Halaman dipisahkan menurut daerahnya (kotor dan bersih). Pagar
RPH 36 CIKAMPEK
sebaiknya dari tembok agar proses penyembelihan tidak terlihat dan
keamanan terjaga.
b. Kandang istirahat ternak. Kandang untuk menampung ternak dan
istirahat harus memenuhi persyaratan: lokasi aharus jauh dari daearah
bersih, dirancang agar tidak terdapat lekukan tajam, lantai licin dan
penonjolan mur atau baut yang bisa melukai ternak, tata letak fasilitas
harus menganut pengoperasian jarlur lurus sehingga menghindari
putaran balik dan pwersilangan antara titik bongkar dan pemotongan
ternak, pagar dan pintu terbuat dari baja atau bahan lain yang diijinkan
dan kuat, kapasitas penempungan disesuaikan dengan kapasitas
penyembelihan dan tiap jenis ternak dipisahkan, luas disesuakan
dengan minimal ketentuan perlakuan layak pada hewan, terpasang atap
yang dapat melindungai 24% ternak besar atau seluruh ternak kecil
yang akan dipotong pada hari yang sama dan jalur penggiring ke
tempat persiapan dan pemingsanan harus beratap.
RPH 37 CIKAMPEK
buangan, beratap dan sesuai dengan ukuran jenis ternak dan diberi
tanda peringatan keberadaannya. Juga dilengkapi dengan alat penjepit
dan pengekang yang mempermudah penanganan pemeriksaan.
e. Tempat pemotongan darurat. Dibangun berdekatan dengan tempat
penurunan sapi dan kandang penampungan. Tersedia fasilitas tempat
penahanan daging yang akan diperiksa inspektor.
f. Kantor admistrasi. Dibangun sesuai dengan kapasitas RPH dan
dilengkapi dengan peralatan administrasi yang menunjang administrasi
pemotongan.
g. Kamar mandi dan WC. Dibangun di masing-masing daerah kotor dan
bersih dengan saluran pembuangan limbah tersendiri.
h. Gudang alat-alat. Tersedia gudang untuk penyimpanan material
pemrosesan dan pembungkusan maupun bahan kimiawi. Gudang
bahan pengemas harus kedap debu, anti hama dan tidak berhubungan
dengan ruangan bahan kimiawi dan bila perlu dilengkapi dengan rak
anti karat dengan ketinggian minimal 30 cm dari bawah. Gudang
bahan kimiawi yang berdekatan dengan daerah pemotongan atau
daerah bersih harus dilengkapi dengan pintu tertutup tersendiri,
dilengkapi ventilasi dan mempunyai saluran pembuangan.
i. Ruang akomodasi karyawan RPH. Ruang harus diatur agar karyawan
daerah bersih tidak melewati daerah kotor dan sebaliknya, tersedia
jalan setapak yang diperkeras dari tempat kerja ke ruang ini, dinding,
pintu dan langit-langit dibuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan
berwarna cerah, kemiringan kisi dinding minimal 45o ke arah bawah,
semua lubang keluar harus kedap serangga, hama dan pengerat,
ventilasi minimal pergantian udara 4 kali setiap jam, tempat udara
masuk harus terhindar dari kontaminasi dan alat penyedot dengan
menggunakan saringan, penerangan cukup, tersedia ruang makan
dengan fasilitasnya (meja makan, kursi makan, alat pemanas air,
tempat sampah), kapasitas ruang sesuai dengan jumlah pegawai, antar
bagian ruang makan dan ganti bagian harus terpasng pintu dan tirai
dan tersedian fasilitas kamar mandi dan WC.
j. Ruang akomodasi staf pemeriksa. Lokasi dan akses menuju ruang
akomodasi staf sesuai dengan persyaratan akomodasi untuk karyawan
RPH, terpisah dari staf karyawan wanita kecuali pada ruang makan,
konstruksi sesuai dengan persyaratan yang berlaku, luas kantor
minimal 3x3 m2 dan dilengkapi dengan telepon, meja, kursi 2 buah,
lemari metal terkunci untuk peralatan, lemari metal terkunci untuk
arsip, lemari tiap anggota staf, penutup lantai/karpet dan fasilitas
pencuci tangan.
k. Lokker. Jumlah sesuai dengan keperluan, diperlengkapi dengan kunci
dan minimal ukuran 40x40x40 m3 per ruang.
l. Kantin. Tempat harus jauh dari daerah kotor dan menyediakan
makanan dan minuman yang sehat.
m. Rumah jaga. Dibangun disamping pintu masuk dan keluar lokasi
RPH 38 CIKAMPEK
RPH dengan jalur terpisah antara kendaraan dan orang untuk
mempermudah pemeriksaan.
n. Krematorium. Pembakaran dengan cara pembakaran kering dan letak
minimal 27 m dari bagian ruang pemotongan, pengolahan dan
penyimpanan alat-alat pemotongan, kegiatan penggilingan,
pengarungan dan pemuatan yang berkaitan dengan pembakaran harus
terpisah dari daerah bersih, konstruksi sesuai ketentuan dan kapasitas
pembakaran mencukupi sehingga menjamin bahan-bahan yang akan
dibakar tidak tertunda, cara efektif pengendalian bahan hasil sistem
pembakaran harus sesuai ketentuan, terdapat pemisahan yang jelas
pada tangki penampung lemak yang bisa dikonsumsi dan tidak dapat
dikonsumsi, terjamin fasilitas dan peralatan yang terpisah untuk bagian
yang sudah dan belum diproses, dan untuk ruang penanganan ternak
mati pada bagian pembakaran lantai diperkeras, tersedia kran air panas
dan dingin, tersedia alat untuk pemindahan material dan tersedia
fasilitas pencuci dan pengering tangan.
o. Tempat pengolahan limbah. Letaknya disesuaikan dengan desain RPH
yang berhubungan langsung dengan saluran pembuangan RPH dan
dibangun pada daerah kotor yang tidak mencemari lingkungan dengan
daya tampung disesuaikan dengan kapasitas pemotongan.
Gambar 3.5 Bak pengendap pada saluran pembuangan cairan dan bak
penampungan limbah padat
RPH 39 CIKAMPEK
Untuk itu dalam merancang tata ruang RPH perlu diperhatikan untuk
menghasilkan daging yang sehat dan tidak membahayakan manusia bila
dikonsumsi sehingga harus memenuhi persyaratan kesehatan veteriner
(Koswara, 1988).
Tata ruang RPH yang baik dan berkualitas biasanya dirancang berdasarkan
desain yang baik dan berada di lokasi yang tepat untuk memenuhi
keperluan jangka pendek maupun jangka panjang dan menjamin fungsinya
secara normal. Secara garis besar dari berbagai syarat bangunan dan
perlengkapan yang diperlukan, maka RPH dapat diterjemahkan dalam tata
ruang sesuai dengan tipenya seperti pada gambar 2 sampai 5 (Lestari,
1993b).
RPH 40 CIKAMPEK
Pemerintah yang berlaku. Pembangunan RPH harus memenuhi ketentuan atau
standar lokasi, bangunan, sarana dan fasilitas teknis, sanitasi dan higiene,
serta ketentuan lain yang berlaku. Sanitasi dan higiene menjadi persyaratan
vital dalam bangunan, pengelolaan dan operasi RPH.
Pada SNI tentang rumah potong hewan No. 01-6159-1999 dan Peraturan
Menteri Pertanian No. 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan
Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging diatur
beberapa persayaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah rumah potong
hewan, persyaratan tersebut mengatur mengenai:
1. Persyaratan lokasi:
a. Tidak bertentangan dengan rencana umum tata ruang dan rencana
detail tata ruang wilayah;
b. Tidak berada ditengah kota, letak lebih rendah dari pemukiman
penduduk
c. Tidak berada dekat industri logam atau kimia serta daerah rawan
banjir
d. Lahan luas
RPH 41 CIKAMPEK
2. Persyaratan sarana:
Jalan yang baik, cukup sumber air dan Tenaga listrik yang cukup.
4. Persyaratan peralatan
a. Semua alat terbuat dari bahan yang mudah korosif dan mudah
dibersihkan;
b. Alat yang langsung bersentuhan dengan daging tidak bersifta toksis;
c. Dilengkapi dengan system rel dan alat penggantung karkas;
d. Dilengkapi sarana desinfektan;
e. Dilengkapi peralatan khusus karyawan.
6. Pengawasan kesmavet
a. Diberlakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem;
b. Memiliki tenaga dokter hewan.
11 Persyaratan laboratorium.
RPH 42 CIKAMPEK
treatment), Perkantoran (office), Laboratorium (laboratory) dan gang-
gang disekitar RPH (gangway)
2. Bangunan Pendukung terdiri atas: Gudang (workshop), Garasi
(garage), Pos Jaga (guard house), Perumahan (housing), Kantin
(canteen), Ruang Istirahat (rest room) dan Tempat Ibadah (prayer
place)
3. Infrastruktur terdiri atas :Jalan-jalan dan Areal Parkir (roads and
parking),Tower Tempat Air (water plant) dan Pagar/Tembok Pembatas
(yard fencing)
RPH 43 CIKAMPEK
d. Instalasi pengolahan limbah yang berupa saringan untuk memisahkan
limbah/buangan padat secara fisik.
e. Mempunyai tempat pelayuan dengan dinding yang bagian dalamnya
dilapisi bahan kedap air setinggi 2 meter dan dilengkapi dengan
exhauster.
f. Dilengkapi dengan timbangan untuk karkas serta rel-rel pengangut
karkas.
RPH 44 CIKAMPEK
internasional dan meliputi:
(1) Bangunan Utama terdiri atas,
a. Rumah Pemotongan (slaughter house)
b. Kandang Penampungan Sementara (lairage)
c. Karantina (quarantine)
d. Tempat Penurunan Sapi (cattle ramp)
e. Ruang Pembakaran (incenerator)
f. Rumah Diesel (power house)
g. Pengolaha Limbah Cair (waste water treatment)
h. Perkantoran (office)
i. Laboratorium (laboratory)
j. Gang-gang disekitar RPH (gangway)
(2) Bangunan Pendukung terdiri atas,
a. Gudang (workshop)
b. Garasi (garage)
c. Pos Jaga (guard house)
d. Perumahan (housing)
e. Kantin (canteen)
f. Ruang Istirahat (rest room)
g. Tempat Ibadah (prayer place)
(3) Infrastruktur terdiri atas,
a. Jalan-jalan dan Areal Parkir (roads and parking)
b. Tower Tempat Air (water plant)
c. Pagar/Tembok Pembatas (yard fencing)
RPH 45 CIKAMPEK
(7) Semua bagian luar pintu keluar masuk harus dilapisi dengan bahan
yang halus, bahan tahan karat (stainless steel), dan kedap air bukan dari
kayu.
(8) Rel untuk menggantung karkas harus berjarak satu meter dari dinding
terdekat.
(9) Semua ruangan tempat penanganan karkas, daging dan produk hewan,
tempat cuci harus dilengkapi dengan sabun dan tissue. Strerilisasi pisau
dan gergaji harus ditentukan pada posisi yang tepat. Air panas (suhu
minimal 82° C), untuk sterilisasi harus selalu tersedia selama jam
kerja.
(10) Tidak boleh ada pintu dari fasilitas toilet (wc) yang menghadap atau
membuka ke dalam ruang pemotongan atau ke tempat penanganan
karkas atau daging.
(11) Tempat pemisahan sapi (stunning box) harus dibuat dari bahan yang
mudah disterilisasi, jika terbuat dari logam maka bahannya harus tahan
karat.
(12) Terdapat areal terpisah untuk penyembelihan (bleeding), pengerjaan
karkas (carcass dressing), pembersihan hasil ikutan karkas (offals), dan
penempatannya.
(13) Terdapat ruang afkiran (condemen meat) dengan luas proporsional
dengan jumlah karkas yang diproses/dihasilkan (turn over) tiap hari.
(14) Kapasitas ruang pendingin (chilling room) untuk pelayuan (ageing)
sesuai dengan besarnya pasokan daging selama tiga hari sebagai
tambahan untuk cold storage.
(15) Persyaratan ruang pendinginan karkas dan daging:
a. Suhu ruangan untuk pendinginan awal karkas segar adalah 1°C -
2°C.
b. Suhu ruang chilling carcass 1°C - 5°C
c. Suhu ruang pembekuan daging (blast freezer) - 25°C (24 jam).
(16) Ruangan untuk penanganan dan penyimpanan kulit baru yang masih
berbulu (hide) dan kulit yang sudah bersih/tanpa bulu (skin) harus jauh
dari ruang pemotongan utama dan ruang pendingin/penyimpanan
daging. Bagian dalam kulit yang disimpan ditaburi garam.
(17) Ruangan penanganan jeroan (isi perut), darah, hasil sampingan karkas
(offalls) harus terpisah dari ruang pemotongan utama.
(18) Diperlukan sebuah ruangan isolasi tersendiri untuk pemotongan darurat
akibat kecelakaan.
Menurut Manual Kesmavet (1993) RPH ini harus memenuhi syarat yang
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi syarat lokasi, kelengkapan
bangunan, komponen bangunan utama dan kelengkapan RPH:
1. Lokasi RPH.
a. Lokasi RPH di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau
pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak
padat penduduknya, dekat aliran sungai atau di bagian terendah kota.
RPH 46 CIKAMPEK
b. Lokasi RPH di tempat yang mudah dicapai dengan kendaraan atau
dekat jalan raya (Lestari, 1994b; Manual Kesmavet, 1993).
2. Kelengkapan bangunan.
a. Kompleks bangunan RPH harus dipagar untuk memudahkan
penjagaan dan keamanan serta mencegah terlihatnya proses
pemotongan hewan dari luar.
b. Mempunyai bangunan utama RPH.
c. Mempunyai kandang hewan untuk istirahat dan pemeriksaan ante
mortem.
d. Mempunyai laboratorium sederhana yang dapat dipergunakan untuk
pemeriksaan kuman dengan pewarnaan cepat, parasit, pH,
pemeriksaan permulaan pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran
darah.
e. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan atau karkas yang
ditolak berupa tempat pembakar atau penguburan.
f. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan yang ditunda
pemotongannya.
g. Mempunyai bak pengendap pada saluran buangan cairan yang menuju
ke sungai atau selokan.
h. Mempunyai tempat penampungan sementara buangan padat sebelum
diangkut.
i. Mempunyai ruang administrasi, tempat penyimpan alat, kamar mandi
dan WC.
j. Mempunyai halaman yang dipergunakan sebagai tempat parkir
kendaraaan.
3. Komponen bangunan utama.
a. Mempunyai tempat penyembelihan hewan, tempat pengulitan, tempat
pengeluaran jeroan dari rongga perut dan dada, tempat pembagian
karkas, tempat pemeriksaan kesehatan daging.
b. Mempunyai tempat pembersihan dan pencucian jeroan yang terpisah
dengan air yang cukup.
c. Berdinding dalam yang kedap air terbuat dari semen, porselin atau
bahan yang sejenis setinggi dua meter, sehingga mudah dibersihkan.
d. Berlantai kedap air, landai kearah saluran pembuangan agar air mudah
mengalir, tidak licin dan sedikit kasar.
e. Sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk
lengkung.
f. Berventilasi yang cukup untuk menjamin pertukaran udara.
4. Kelengkapan RPH.
a. Mempunyai alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai
dengan penyelesaian proses pemotongan termasuk alat pengerek dan
penggantung karkas pada waktu pengulitan serta pakaian khusus
untuk tukang sembelih dan pekerja lainnya.
b. Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksa daging.
c. Persediaan air bersih yang cukup.
RPH 47 CIKAMPEK
d. Alat pemelihara kesehatan.
e. Pekerja yang mempunyai pengetahuan di bidang kesehatan
masyarakat veteriner yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya
syarat-syarat dan prosedur yang berlaku dalam pemotongan hewan
serta penanganan daging.
RPH 48 CIKAMPEK
b. Pemeriksaan organ rongga dada yang dilakukan dengan cara melihat,
meraba dan menyayat seperlunya oesophagus, larynx, trachea, paru-paru
serta kelenjar paru-paru yang meliputi kelenjar bronchiastinum anterior,
medialis dan posterior, jantung dengan memperhatikan pericardium,
epicardium, myocardium, endocardium, dan katup jantung dan yang
terakhir diafragma.
c. Pemeriksaan organ rongga perut yang dilakukan dengan cara melihat,
meraba dan menyayat seperlunya hati dan limpa, ginjal meliputi capsul,
corteks dan medulanya dan pemeriksaan pada usus beserta kelenjar
mesenterialis.
d. Pemeriksaan alat genetalia dan ambing yang dilakukan bila ada penyakit
yang dicurigai.
e. Pemeriksaan karkas yang dilakukan dengan melihat, meraba dan
menyayat seperlunya kelenjar prescapularis superficialis, inguinalis
profunda/supramammaria, axillaris, iliaca dan poplitea.
RPH 49 CIKAMPEK
keadaan menggantung dan terpisah dari isi rongga perut dan dada serta
bagian hewan potong lainnya.
h. Selama dalam pengangkutan tidak diperbolehkan seorang pun dalam
ruang daging kendaraan pengangkut.
i. Pengangkutan daging untuk tujuan Dati II, Dati I atau negara lain harus
disertai Surat Keterangan Kesehatan Dan Asal Daging yang dikeluarkan
oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
j. Untuk tujuan eksport dan antar pulau harus memenuhi persyaratan
karantina yang berlaku.
k. Ruang daging dalam kendaraan angkutan hanya dikhususkan untuk
mengangkut daging dan memenuhi syarat yang ditentukan, antara lain:
terbuat dari bahan anti karat, berlantai tidak licin, bersudut pertemuan
antar dinding melengkung dan mudah dibersihkan, dilengkapi dengan alat
penggantung dan lampu penerang yang cukup, dan untuk pengangkutan
yang memerlukan waktu lebih dari 2 jam harus bersuhu setinggi-
tingginya 10oC dan untuk daging beku bersuhu setinggi-tingginya –15oC.
l. Selama perjalanan tempat daging tidak boleh dibuka atau harus ditutup.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa tempat penjualan daging di pasar
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Terpisah dari tempat penjualan komoditi yang lain.
b. Bangunan permanen dengan lantai kedap air, ventilasi cukup, langit-
langit tidak mudah dilepas bagiannya, dinding tembok permukaannya
licin dan berwarna terang atau yang terbuat dari porselin putih,
mempunyai loket yang bagian atasnya dilengkapi dengan kawat kasa
atau alat lain untuk mencegah masuknya lalat atau serangga lain serta
dilengkapi lampu penerangan yang cukup.
c. Disediakan meja berlapis porselin putih dan tempat serta alat
penggantung bagian daging yang terbuat dari bahan yang tidak
berkarat.
d. Selalu tersedia air bersih yang cukup untuk keperluan pembersihan
tempat penjualan dan tempat pencucian tangan.
e. Selalu dalam keadaan bersih.
f. Daging beku dan daging dingin yang ditawarkan di toko daging dan
swalayan harus ditempatkan dalam alat pendingin, kotak pamer
berpendingin dengan suhu yang sesuai dengan suhu daging yang
dilengkapi dengan lampu yang pantulan cahayanya tidak merubah
warna asli daging.
g. Daging yang dijual dengan menjajakan keliling dari rumah ke rumah
harus ditempatkan di dalam wadah yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut: mempunyai tutup, sedapat-dapatnya berwarna putih
dan bagian dalamnya dilapisi dengan bahan yang tidak berkarat.
RPH 50 CIKAMPEK
darah dapat keluar sebanyak mungkin dan cukup tersedia energi agar proses
rigormortis berjalan sempurna (Soeparno, 1992). Pengistirahatan ternak
penting karena ternak yang habis dipekerjakan jika langsung disembelih tanpa
pengistirahatan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap yang biasa
disebut dark cutting meat, karena ternak mengalami stress (Beef Stress
Syndrome), sehingga sekresi hormon adrenalin meningkat yang akan
menggangu metabolisme glikogen pada otot (Smith et al., 1978).
a. Pemingsanan (Stunning)
Pemingsanan dilaksanakan dengan alasan untuk keamanan, menghilangkan
rasa sakit sesedikit mungkin pada ternak (Blakely dan Bade, 1992),
memudahkan pelaksanaan penyembelihan dan kualitas kulit dan karkas yang
dihasilkan lebih baik (Soeparno, 1992).
RPH 51 CIKAMPEK
Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan alat
pemingsan knocker, senjata pemingsan stunning gun, pembiusan dan arus
listrik (Soeparno, 1992). Alat yang sering digunakan adalah captive bolt,
yaitu suatu tongkat berbentuk silinder selongsong kosong yang mempunyai
muatan eksplosif yang ditembakkan oleh suatu tekanan pada kepala sapi
(Blakely dan Bade, 1992).
Alat pemingsan diarahkan pada bagian titik tengan tulang kening kepala sapi
sedikit dia atas antara kedua kelopak mata, sehingga peluru diarahkan pada
bagian otak. Peluru yang ditembakkan akan mengenai otak dengan kecepatan
tinggi, sehingga sapi menjadi pingsan (Soeparno, 1992).
b. Penyembelihan
Penyembelihan hewan potong di Indonesia harus menggunakan metode
secara Islam (Manual Kesmavet, 1992). Hewan yang disembelih harus
memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan menurut syariah.
Penyembelihan dilaksanakan dengan memotong mari’ (kerongkongan),
hulqum (jalan pernapasan) dan dua urat darah pada leher (Nuhriawangsa,
1999).
Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan digantung
(Blakely dan Bade, 1992). Pisau pemotongan diletakkan 45 derajat pada
bagian brisket (Smith et al., 1978), dilakukan penyembelihan oleh modin dan
dilakukan bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher kearah jantung
(Soeparno, 1992). Posisi ternak yang menggantung menyebabkan darah
keluar dengan sempurna (Blakely dan Bade, 1992).
c. Pengulitan
Pengulitan dimulai setelah dilakukan pemotongan kepala dan ke empat
bagian kaki bawah (Smith et al., 1978). Pengulitan bisa dilakukan di lantai,
digantung dan menggunakan mesin (Soeparno, 1992).
Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis
tengah dada dan bagian perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam
kaki, dan kulit dipisahkan mulai dari ventral ke arah punggung tubuh
(Soeparno, 1992) dan diakhiri dengan pemotongan ekor (Smith et al., 1978).
d. Eviserasi
Menurut Smith et al. (1978) proses eviserasi bertujuan untuk mengeluarkan
organ pencernaan (rumen, intestinum, hati, empedu) dan isi rongga dada
(jantung, eshophagus, paru, trachea).
Tahap-tahap eviserasi menurut Soeparno (1992) dilaksanakan dengan urutan
sebagai berikut:
1. Rongga dada dibuka dengan gergaji melalui ventral tengah tulang dada.
RPH 52 CIKAMPEK
2. Rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral
tengah abdominal.
3. Memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal.
4. Belah bonggol pelvic dan pisahkan kedua tulang pelvic.
5. Buat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantung plastik.
6. Pisahkan eshophagus dari trakhea.
7. Keluarkan kandung kencing dan uterus jika ada.
8. Keluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen
dan bagian lain dari lambung serta hati dan empedu.
9. Diafragma dibuka dan keluarkan organ dada (pluck) yang terdiri dari
jantung, paru-paru dan trakhea.
Organ ginjal tetap ditinggal di dalam badan dan menjadi bagian dari karkas.
Eviserasi dilanjutkan dengan pemeriksaan organ dada (Smith et al., 1978),
organ perut dan karkas untuk mengetahui apakah karkas diterima atau ditolak
untuk dikonsumsi manusia (Blakely dan Bade, 1992).
e. Pembelahan
Pembelahan dilaksanakan dengan membagi karkas menjadi dua bagian
sebelah kanan dan kiri dengan menggunakan gergaji tepat pada garis tengah
punggung. Karkas dirapikan dengan melakukan pemotongan pada bagian-
bagian yang kurang bermanfaat dan ditimbang untuk memperoleh berat
karkas segar (Soeparno, 1992). Pemotongan dilaksanakan untuk
menghilangkan sisa-sisa jaringan kulit, bekas memar, rambut dan sisa kotoran
yang ada (Smith et al., 1978).
Karkas agar lebih baik kualitasnya, maka disemprot air dengan tekanan tinggi
dan dilanjutkan dengan dicuci air hangat yang dicampur garam (Smith et al.,
1978), dan dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan
(Soeparno, 1992).
f. Pendinginan
Karkas ditimbang diberi label dan disimpan pada suhu 28 sampai 32oF pada
ruang pendingin agar dingin dengan berkurangnya panas tubuh dengan waktu
12 sampai 24 jam. Karkas kemudian dimasukan dalam ruang pendingin
dengan suhu 32 sampai 34oF untuk penyimpanan berikutnya (Smith et al.,
1978).
RPH 53 CIKAMPEK
Potongan seperempat bagian depan yang terdiri dari bahu (chuck) termasuk
leher, rusuk, paha depan, dada (breast) yang terbagi menjadi dua, yaitu dada
depan (brisket) dan dada belakang (plate).
Bagian seperempat belakang yang terdiri dari paha (round), dan paha atas
(rump), loin yang terdiri sirloin dan shortloin, flank beserta ginjal dan lemak
yang menyeliputinya.
RPH 54 CIKAMPEK
d. Dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh petugas pemeriksa yang
berwenang paling lama 24 jam sebelum penyembelihan.
e. Diistirahatkan paling sedikit 12 jam sebelum penyembelihan dilakukan.
f. Penyembelihannya dilakukan di rumah pemotongan hewan atau tempat
pemotongan hewan.
g. Pelaksanaan pemotongan hewan potong dilakukan di bawah pengawasan
dan menurut petunjuk-petunjuk petugas pemeriksa yang berwenang.
h. Tidak dalam keadaan bunting.
i. Penyembelihannya dilakukan menurut tata cara agama Islam.
Syarat-syarat tersebut diatas untuk hewan potong bisa tidak dipenuhi jika
dilakukan penyembelihan darurat. Penyembelihan hewan darurat dapat
dilaksanakan jika hewan potong yang bersangkutan menderita kecelakaan
yang membahayakan jiwanya dan jika hewan tersebut membahayakan
keselamatan manusia dan atau barang. Jika penyembelihan darurat
dilaksanakan di RPH atau tempat pemotongan hewan maka syarat d dan e
tidak perlu dipenuhi. Jika penyembelihan darurat dilaksanakan diluar RPH
atau tempat pemotongan hewan, maka syarat c, d, e, f, g, dan h tidak perlu
dipenuhi dan setelah penyembelihan hewan harus dibawa ke RPH atau tempat
pemotongan hewan untuk penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post
mortem. Untuk penyembelihan hewan potong dalam rangka agama dan adat
syarat b dan f tidak perlu dipenuhi (Manual Kesmavet, 1993).
3.5.4 Penilaian Karkas Sapi
Penetapan peringkat karkas sapi ditetapkan berdasarkan pada kualitas dan
palatabilitas daging dan jumlah atau hasil potongan-potongan dagingnya
(Blakely dan Bade, 1992). Peringkat kualitas karkas menurut USDA terdiri
dari Prime, Choice, Good, Standart, Commercial, Utility dan Cutter. Penilaian
karkas menurut USDA juga bisa didasarkan pada nilai perdagingan karkas
(Yield grade) dengan nilai 1 sampai 5 (Smith et al., 1978).
Penilaian karkas menurut USDA (United State Departement of Agriculture)
didasarkan pada:
1. Kualitas karkas (carcass quality) dengan melihat kedewasaan ternak
(umur ketika dipotong), susunan daging, tekstur daging dan perlemakan
marbling.
2. Potongan-potongan daging (cutability) dengan melihat berat karkas, luas
area ribeye, jumlah persentase lemak internal dan ketebalan lemak
eksternal (Smith et al., 1978).
3. Kedewasaan ternak diukur berdasarkan bentuk dan proses penulangan
serta warna dan tekstur daging tak berlemak. Perlemakan dengan melihat
penyebaran lemak di dalam otot pada lokasi antara tulang rusuk ke-12 dan
ke-13. Tekstur dan warna daging tidak berlemak juga ditentukan nilainya
pada tulang rusuk ke-12 dan ke-13 (Blakely dan Bade, 1992). Penentuan
warna daging, kekerasan daging, tekstur daging, jumlah marbling,
distribusi marbling dan tektur marbling dengan menggunakan angka skor
1 sampai 8 dengan keterangan tertentu (Smith et al., 1978).
RPH 55 CIKAMPEK
4. Berat karkas ditentukan dengan menimbang berat karkas segar atau
karkas beku yang dikalikan 102%. Ketebalan lemak eksternal diukur
dengan melihat ketebalan lemak pada daging ribeye (Gambar 17). Luas
area ribeye dengan mengukur luas penampang daging pada ribeye dengan
menempelkan pada plastik dengan skala kotak-kotam 0,1 inci (Gambar
8). Presentase lemak internal dengan melihat jumlah lemak ginjal, pelvis
dan jantung pada berat karkas segar dikalikan 100% (Smith et al., 1978).
5. Nilai perdagingan karkas (Yield grade) dihitung dengan menggunakan
persamaan menurut USDA, yaitu: 2,50 + (2,50 x tebal lemak punggung
dalam inci) + (0,20 x % lemak internal) + (0,0038 x berat karkas dalam
lbs) – (0,32 x luas area LD atau ribeye dalam inci2). Hasil perhitungan
dibulatkan ke bawah, misal 1,69 dibulatkan menjadi 1,0, nilai tersebut
menunjukkan peringkat Yield grade (Swatland, 1984)
Dalam hal pemasaran produk RPH, sebenarnya akan menjadi pekerjaan yang
cukup berat bagi manajemen RPH, karena permintaan untuk konsumsi lokal
masih sangat tinggi. Sedangkan kapasitas produksi RPH yang akan diperluas
relatif kurang memadai. Untuk memperluas pemasaran, pihak manajemen
RPH akan menembus perusahaan-perusahaan yang ada di Kabupaten
Karawang, yang memang konsumsi daging sapinya cukup besar.
RPH 56 CIKAMPEK
BOT (Built Operate Transfer) dapat menjadi salah satu pilihan/solusi apabila
terdapat kesulitan pendanaan oleh pihak pemerintah daerah. Dalam pola
tersebut, pihak swasta diundang untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek
pemerintah/publik. Kontribusi pemerintah dapat berbentuk non tunai
misalnya dalam bentuk aset lahan. Alternatif bentuk kelembagaan BOT
antara lain adalah:
(1). Konsorsium perusahaan swasta saja.
(2). Konsorsium perusahaan swasta dengan perusahaan BUMN/BUMD.
(3). Konsorsium perusahaan swasta dan pemerintah daerah.
Berkaitan dengan rencana pendirian RPH ini nampaknya alternatif ketiga
dapat merupakan pilihan terbaik.
Sejalan dengan era perdagangan bebas yang segera akan diberlakukan baik
di kawasan ASEAN (AFTA) maupun kawasan Asia Pasifik (ANEC), maka
terbuka peluang bagi perdagangan daging sapi dan produk ikutannya di pasar
internasional. Hal ini terutama disebabkan segala bentuk subsidi, tarif impor,
kuota maupun lisensi impor terhadap daging sapi khususnya sudah dihapus,
sehingga terbuka peluang bagi pelaku bisnis baru sebagai eksportir daging
sapi. Terbukanya pasar antar bangsa tentu saja diharapkan berpengaruh
positif kepada kondisi perekonomian di dalam negeri.
RPH 57 CIKAMPEK
Analisis ini akan menentukan prosepek investasi melalui perhitungan biaya
dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran
pendapatan, seperti ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek
untuk membiayai kembali dana tersebut dalam kurun waktu yang telah
ditentukan sehingga proyek tersebut relevan untuk dilaksanakan.
Sumber dan rencana pembangunan RPH tipe D ini dapat berasal dari
anggaran APBD Kabupaten Karawang, tanpa menutup peluang pihak swasta
untuk berpartisipasi. Dalam hal ini, terdapat dua skenario dalam pembiayaan
yaitu pemerintah daerah membiayai seluruh kegiatan pembangunan RPH ini
atau pemerintah daerah menjalin kerjasama dengan swasta. Pemerintah
membiayai sekitar 100 % dari seluruh biaya yang dikeluarkan yaitu Rp.
11.700.000.000,-.
RPH 58 CIKAMPEK
penerimaan dari jasa potong diperkirakan sebesar Rp. 10.950.000.000,- per
tahun,
pada tingkat inflasi 10 persen (asumsi) per tahunnya. Penerimaan dari sumber
kedua diperkirakan sebesar Rp. 912.500.000,- per tahun, pada tingkat inflasi
sebesar 10 persen per tahun.
RPH 59 CIKAMPEK
kelembagaan dan orang-orang yang memiliki pengalaman yang cukup pada
bidang tersebut.
RPH 60 CIKAMPEK
daging bagi masyarakat dengan produk yang dikenal dengan istilah
HAUS (halal, aman, utuh dan sehat). Atas dasar ini, aktivitas di MBC
merupakan industri prosesing daging yang menghasilkan potongan-
potongan daging dan hasil ikutannya antara lain seperti kulit, darah,
lemak, tulang dan jeroan. Selain itu juga, ditempat ini dapat dilakukan
prosesing daging (baso, sosis, corned beef dsb) serta prosesing hasil
ikutannya seperti prosesing kulit, lemak, dan darah. Sebagai pusat
kegiatan perdagingan, di area ini terdapat pula pusat perkantoran para
pengusaha daging, pergudangan, tempat perdagangan grosir dan kegiatan
lembaga keuangan. Keseluruhan aktivitas tersebut, selama ini dilakukan
terpencar, di pasar-pasar bahkan di rumah-rumah pemukiman, akibatnya
sering-sering mengganggu lingkungan pemukiman. Para pengusaha
jagal tentunya akan sangat dimudahkan dengan ketersediaan sapi, dan
prosesing daging di tempat itu. Konsumen akan dimudahkan pula untuk
mencari informasi mengenai daging di MBC.
Selain itu, Pemerintah dapat melakukan pembinaan terhadap bisnis ini antara
lain melalui pengawasan dan penerbitan sertifikasi mutu/kualitas daging.
Para pengusaha suplier sapi yang tergabung dalam Apfindo memiliki
kontribusi kongkrit bersama asosiasi pedagang daging (Apdasi) dalam
mengelola secara bersama bisnis ini. Sehingga pasarnya menjadi captive.
Tentunya sistem manajamen ini akan menjadikan bisnis pemotongan sapi
akan terjamin dalam sistem pembayaran, karena telah terjadi “closed circuit”
peredaran uang dan barang.Tidak seperti kondisi saat ini, dimana bisnis
perdagangan daging dihantui oleh resiko piutang macet.
RPH 61 CIKAMPEK
BAB IV
MANAJEMEN PENGOLAHAN LIMBAH
RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH)
Menurut Jorgensen (1979) Type umum limbah cair Rumah Potong Hewan
adalah mengandung lemak, protein & karbohidart dengan konsentrasi yang
relatif tinggi. Pada umumnya limbah cair dapat diolah secara biologic. Proses
pengolahan secara biologik menelan biaya yang cukup tinggi, oleh karena
limbah cair ini memiliki konsentrasi BOD5 yang lebih tinggi dibandingkan
dengan limbah cair rumah tangga, sehingga proses biologi yang dilakukan
sering menggunakan dua atau lebih tahapan pengolahan.
Akibat mahalnya biaya pengolahan limbah RPH, maka umumnya limbah RPH
tanpa dikelola lebih dahulu langsung dibuang ke sungai (dumping in water) atau
dibunag begitu saja ke atas tanah (open dumping) dan biasanya dimakan burung
atau binatang lain. Hal tersebut harus dicegah karena dapat menyebarkan
RPH 62 CIKAMPEK
penyakit dengan cepat dan dalam jarak yang cukup jauh. Pencemaran terhadap
air permukaan akan mengakibatkan makin banyaknya penggunaan air
tanah. Penggunaan air tanah yang berlebihan terutama yang berasal dari sumur-
sumur dalam (deep well) dapat mengakibatkan makin cepatnya intrusi air laut ke
dalam sumber-sumber air tanah, sehingga makin mengurangi persediaan air
bersih.
Limbah organik itu bila dibiarkan tanpa dikelola, tidak hanya akan menunjukkan
keburukan sanitasi lingkungan, melainkan juga akan menarik binatang penyebab
dan penyebar penyakit seperti insecta, rodentia dan lain sebagainya. Banyak
jenis infeksi penyakit melalui makanan (Food Borne Disease) yang ditularkan
melalui daging akibat daging terkontamin asi langsung atau tidak langsung oleh
limbah RPH. Meat Borne Disesase dapat disebabkan oleh beberapa agent seperti
bakteri, jamur, virus, protozoa dan cacing.
Meat Borne Disease yang umum berjangkit disuatu tempat dan erat
hubungannya dengan keburukan pengelolaan limbah RPH adalah:
1. Bacterial Meat Borne Disease.
a. Salmonellosis
Dapat timbul pada manusia akibat memakan daging yang tercemar oleh
kotoran hewan.
b. Dysentri
Disebabkan oleh daging yang tercemar bakteri yang banyak terdapat
pada limbah cair.
c. Tuberculosis
Disebabkan oleh karena manusia memakan organ atau daging yang
menderita sakit TBC.
d. Anthraxis
Disebabkan oleh Bacillus Anthrax, merupakan kuman yang bersifat
patogen dan membentuk spora di dalam daging.
e. Brucellosis
Penyakit ini dipindahkan dari hewan ke manusia akibat memakan daging
yang tercemar kuman Brucella.
2. Parasitic Meat Borne Disease
a. Cysticercus Bovis/ Taenia Saginata
Infeksi cacing pita ini pada orang-orang yang memakan daging tercemar
tanpa dimasak matang lebih dahulu.
b. Cysticercus Cellulosa/ Taenia Solium
Hanya babi yang merupakan sumber infeksi Taenia Solium pada
RPH 63 CIKAMPEK
manusia dimana babi terinfeksi oleh telur cacing yang terdapat pada
kotoran dan makanan.
c. Hydatidosis/Echinococcus
Kurangnya fasilitas pemotongan yang layak dan pemeriksaan serta
pengapkiran organ-organ tubuh yang terinfeksi Cyste Hydatid akan
menyebabkan anjing atau kucing memakan limbah tersebut.
Echinococcus pada anjing sangat berperan dalam menimbulkan infeksi
pada manusia.
d. Trichinella Spiralis
Parasit ini terutama terdapat pada babi, siklus hidup Trichinella spiralis
sempurna pada induk semang. Babi terkena infeksi akibat memakan
makan sampah yang mengandung Cyste yang berasal dari limbah RPH.
Manusia terinfeksi karena memakan daging babi panggang (Grilled
Meat) yang hanya matang bagian permukaannya saja.
3. Food Poisioning
a. Keracunan Staphylococcus
Disebabkan oleh Entero toksin yang diproduksi oleh strain
Staphylococcus. Manusia keracunan karena makan daging yang
seharusnya dibuang.
b. Keracunan Botulismus
Disebabkan oleh Exo toksin dari Clostridium Botulinum. Manusia
keracunan karena makan daging yang tercemar Clostridium Botulinum.
c. Keracunan Clostridium Perfringens.
Disebabkan oleh Exo toksin dari Clostridium perfringens, manusia
keracunan karena makan daging yang mengandung Exo toksin ini, yang
biasa terdapat pada daging busuk.
Keracunan nitrat dan nitrit terjadi pada hewan dan manusia karena limbah
industry dan lingkungan yang tercemar limbah organik. Di daerah yang airnya
banyak mengandung nitrat, keracunan nitrat bisa terjadi pada bayi dan hewan
muda (pedet) karena flora di dalam saluran pencernaan mampu mengolah nitrat
menjadi nitrit yang toksis (Schenider, 1975). Nitrit di dalam tubuh menyebabkan
terbentuknya methemoglobin karena methemoglobin tidak dapat mengikat
oksigen, maka akan terjadi Hipoksia atau Anoksia. Disamping nitrit juga
mengganggu enzim-enzim untuk metabolisme protein. Nitrit juga
mempengaruhi fungsi kelenjar gondok, karena nitrit mengganggu pengambilan
yodium oleh kelenjar gondok (mangkoewidjojo, 1985).
RPH 64 CIKAMPEK
adalah untuk mendegradasi bahan pencemarnya, sehingga efluen yang
dihasilkan kualitasnya memenuhi syarat-syarat tertentu.
Pencemar yang terdapat didalam limbah cair dapat dikurangi atau dihilangkan
secara fisik, biologis dan kimia. Metode tersebut diklasifikasikan sebagai unit
proses fisik, unit proses biologis dan unit proses kimiawi (Metcalf & Eddy.
Inc.1991) .Menurut Sutamiharja ,R.T.M,(1994) penanggulangan sisa buangan
(limbah) yang akan dibuang ke perairan umum dan ke air baku adalah suatu
pengolahan sisa buangan yang secara umum terdiri atas pengolahan secara :
meka- nik, biologic, fisik atau kimia. Nilai BOD menunjukkan jumlah oksigen
yang diperlukan mi- kroorganisme untuk menguraikan (mengoksidasikan)
hampir semua zat organic terlarut dan se- bagian zat-zat organic yang
tersuspensi di dalam air sedangkan nilai COD adalah jumlah oksigen (mg O2 )
yang diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organic yang terdapat dalam 1 liter
sample air dengan menggunakan K2Cr2O7 sebagai oksidator (Alaerts ,G dan
S. Santika, 1987).
Limbah Cair Rumah Potong Hewan merupakan seluruh air limbah yang
dihasilkan oleh kegiatan rumah potong hewan, yaitu air yang berasal dari
pemotongan, pembersihan lantai tempat pemotongan, pembersihan kandang
penampung, pembersihan kandang isolasi, dan pembersihan isi perut serta air
sisa perendaman. Sanjaya dkk (1996) menyatakan bahwa untuk menangani
limbah yang dihasilkan oleh kegiatan RPH, maka ada tiga kegiatan yang perlu
dilakukan yaitu identifikasi limbah, karakterisasi dan pengolahan limbah. Hal ini
harus dilakukan agar dapat ditentukan suatu bentuk penanganan limbah RPH
yang efektif.
Limbah cair adalah limbah hasil buangan dari proses pengandangan hingga
proses pemotongan yang berupa:
a. Pencucian atau sanitasi kandang.
RPH 65 CIKAMPEK
b. Urine Rumah Potong Hewan
c. Air/limbah cair yang terkontaminasi limbah padat seperti sisa pakan
Rumah Potong Hewan dan kotoran Rumah Potong Hewan
Sedangkan dari kegiatan pemotongan Rumah Potong Hewan, limbah cair
yang dihasilkan meliputi:
a. Darah dari penyembelihan.
b. Air limbah pencucian pemotongan
c. Air limbah pencucian jeroan
d. Cairan rumen
3. Limbah Gas/Bau
RPH 66 CIKAMPEK
Pengelolaan limbah gas/bau yaitu:
1) Menyediakan ruang terbuka hijau disekitar lokasi kegiatan.
2) Kegiatan pemotongan hewan dilaksanakan dalam ruangan atau tempat
pemotongan hewan sehingga kebisingan tidak sampai ke arah luar
bangunan gedung.
3) Menggunakan kendarraan yang layak pakai dan telah lolos uji keur
4) Membuat tempat khusus untuk genset sehingga tidak menggangu
masyarakat dan aktifitas yang berlangsung di tempat pemotongan hewan.
Total limbah yang dihasilkan Rumah Potong Hewanan tergantung dari species
Rumah Potong Hewan, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Manure yang
terdiri dari feses dan urin merupakan limbah Rumah Potong Hewan yang
terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh Rumah Potong
Hewan ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Umumnya setiap
kilogram susu yang dihasilkan Rumah Potong Hewan perah menghasilkan 2 kg
limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses .
Selain menghasilkan feses dan urin, dari proses pencernaan Rumah Potong
Hewan ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas
metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan
global dan perusakan ozon. Kontribusi emisi metan dari peRumah Potong
Hewanan mencapai 20 – 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di
Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar
RPH 67 CIKAMPEK
karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah
pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan .
Limbah Rumah Potong Hewan masih mengandung nutrisi atau zat padat yang
potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan
pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peRumah
Potong Hewanan melaporkan bahwa total sapi dengan berat badannya 5000 kg
selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 107 m3
air. Selain melalui air, limbah peRumah Potong Hewanan sering mencemari
lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang biaknya
lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang paling baik
untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan
air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur lalat .
Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah Rumah Potong Hewan
ruminansia ialah meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai
polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat
menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya
proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses
nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya
kehidupan biota air.
Tinja dan urin dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit,
misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau
tergores.Spora anthrax dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum
dimasak yang mengandung spora.
RPH 68 CIKAMPEK
4.2 Penanganan Limbah RPH
Penanganan limbah Rumah Potong Hewan akan spesifik pada jenis/spesies,
jumlah Rumah Potong Hewan, tatalaksana pemeliharaan, areal tanah yang
tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan limbah. Penanganan
limbah padat dapat diolah menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan atau
menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan
ini akan mempercepat proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas
kompos yang dihasilkan. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk beberapa
waktu sampai kira-kira terlihat kering. Proses pembuatan kompos seperti ini
menyebabkan gas metan yang terbentuk dibrbaskan ke atmosfer.
Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Pengolahan
secara fisik disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini
merupakan proses termurah dan termudah, karena tidak memerlukan biaya
operasi yang tinggi.Metode ini hanya digunakan untuk memisahkan partikel-
partikel padat di dalam limbah. Beberapa kegiatan yang termasuk dalam
pengolahan secara fisik antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.
RPH 69 CIKAMPEK
Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary
treatment) yang bisanya relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses
pengolahan secara fisik.Metode ini umumnya digunakan untuk mengendapkan
bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam limbah cair menjadi
padat. Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi, flokulasi,
koagulasi, dan ekstrasi.
RPH 70 CIKAMPEK
mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana,
perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer.
Biogas adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang
merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas
yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2). Biogas
memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk
gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Produksi biogas
sebanyak 1275-4318 l dapat digunakan untuk memasak, penerangan,
menyeterika dan menjalankan lemari es untuk keluarga yang
berjumlah lima orang per hari.
Jika ditinjau dari kandungan bahan yang terdapat pada limbah Rumah Potong
Hewan ruminansia maka proses pembuatan biogas dapat dilihat pada diagram
berikut:
RPH 71 CIKAMPEK
Gambar 3. Diagram Pembuatan Biogas Berdasarkan Kandungannya
Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam telah terbukti dalam
penelitian ketika diproses dalam alat penghasil biogas (digester) menghasilkan
biogas yang sangat memuaskan(Harahap et al., 1980). Perbandingan kisaran
komposisi gas dalam biogas antara kotoran sapi dan campuran kotoran Rumah
Potong Hewan dengan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel.
Tabel 1. Komposisi gas dalam biogas (%) antara kotoran sapi dan campuran
kotoran Rumah Potong Hewan dengan sisa pertanian(Harahap et al., 1980).
RPH 72 CIKAMPEK
CO2, H2, H2S.
2. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam organik,
dan senyawa netral yang lebih besar dari metanol menjadi asetat dan
hidrogen.
3. Bakteri penghasil metan (metanogens), yang berperan dalam merubah asam-
asam lemak dan alkohol menjadi metan dan karbondioksida. Bakteri
pembentuk metan antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan
Methanosarcina.
Adapun proses pembuatan biogas adalah sebagai berikut. Bahan organik
dimasukkan ke dalam digester, sehingga bakteri anaerob akan membusukkan
bahan organik tersebut yang selanjutnya akan menghasilkan gas yang
disebut biogas. Biogas yang telah terkumpul di dalam digester lalu dialirkan
melalui pipa penyalur gas menuju tangki penyimpan gas atau langsung ke
lokasi penggunaannya, misalnya kompor atau lampu.
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu rasio C/N terlalu tinggi atau terlalu
rendah akan mempengaruhi proses terbentuknya biogas, karena ini
merupakan proses biologis yang memerlukan persyaratan hidup tertentu,
seperti juga manusia.
RPH 73 CIKAMPEK
2. Kadar air
Kadar air bahan yang terkandung dalam bahan yang digunakan, juga seperti
rasio C/N harus tepat. Jika hasil biogas diharapkan sesuai dengan
persyaratan yang berlaku, maka semisal limbah Rumah Potong Hewan
ruminansia yang digunakan berbentuk kotoran kambing kering dicampur
dengan sisa-sisa rumput bekas makanan atau dengan bahan lainnya yang
juga kering, maka diperlukan penambahan air. Tapi berbeda kalau bahan
yang akan digunakan berbentuk lumpur selokan yang sudah mengandung
bahan organik tinggi, semisal dari bekas dan sisa pemotongan hewan
atau manure dari peRumah Potong Hewanan. Dalam bahannya sudah
terkandung air, sehingga penambahan air tidak akan sebanyak pada bahan
yang kering.
3. Temperatur
Temperatur selama proses berlangsung, karena ini menyangkut kondisi
optimal hidup bakteri pemroses biogas yaitu antara 27° – 28°C. Dengan
temperatur itu proses pembuatan biogas akan berjalan sesuai dengan
waktunya. Tetapi berbeda kalau nilai temperatur terlalu rendah , maka waktu
untuk menjadi biogas akan lebih lama.
Untuk menjamin agar kehadiran jasad renik atau mikroba pembuat biogas
(umumnya disebut bakteri metan), sebaiknya digunakan starter, yaitu bahan
atau substrat yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung mikroba
metan sesuai yang dibutuhkan.
5. Aerasi
Aerasi atau kehadiran udara (oksigen) selama proses. Dalam hal pembuatan
biogas maka udara sama sekali tidak diperlukan dalam bejana pembuat.
Keberadaan udara menyebabkan gas CH4 tidak akan terbentuk. Untuk itu
maka bejana pembuat biogas harus dalam keadaan tertutup rapat.
Masih ada beberapa persyaratan lain yang diperlukan agar hasil biogas
RPH 74 CIKAMPEK
sesuai dengan yang diharapkan semisal, pengadukan, pH dan tekanan udara.
Tetapi kelima syarat tersebut sudah merupakan syarat dasar agar proses
pembuatan biogas berjalan sebagaimana mestinya.
Ditambahkan Janie dan Rahayu (1993) bahwa limbah utama yang dihasilkan
oleh RPH adalah berasal dari isi perut, rendering, pemotongan bagian-bagian
yang tidak berguna, pengolahan, dan pekerjaan pembersihan.
Limbah cair yang dihasilkan pada Rumah Potong Hewan terdiri dari darah, air
pemandian sapi, air pembersihan ruangan dan keranjang, air pencucian kandang,
air pencucian karkas, pencucian lantai, cairan rumen, dan cairan isi perut.
RPH 75 CIKAMPEK
C (karbon), dan K (kalium) yang merupakan nutrisi bagi pertumbuhan sel
mikroalga (Kabinawa dan Agustini, 2005). Contoh agroindustri dengan kategori
nutrien tinggi adalah RPH. Limbah RPH merupakan limbah organik, berserat,
voluminous (bervolume besar). Limbah organik yang dihasilkan RPH adalah
berupa darah, sisa lemak, tinja, isi rumen, dan usus dengan kandungan protein,
lemak, dan karbohidrat yang cukup tinggi.
Menurut Revo (2011) bahwa limbah yang tidak dikelola secara sadar lingkungan
semakin membuat warga merasakan gangguan akan dampak yang
ditimbulkan. Seperti bau kotoran hewan yang keluar dari tumpukan isi perut
hewan yang dipotong serta limbah air dari hasil pencucian. Bau timbul karena
adanya kegiatan mikroorganik yang menguraikan zat organik menghasilkan gas
tertentu. Di samping itu bau juga timbul karena terjadinya reaksi kimia yang
menimbulkan gas. Kuat tidaknya bau yang dihasilkan limbah tergantung pada
jenis dan banyak gas yang ditimbulkan.
Menurut Widya dalam Roihatin dan Rizqi (2007) bahwa Limbah Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) yang berupa feces urine, isi rumen atau isi lambung,
darah afkiran daging atau lemak, dan air cuciannya, dapat bertindak sebagai
media pertumbuhan dan perkembangan mikroba sehingga limbah tersebut
mudah mengalami pembusukan. Dalam proses pembusukannya di dalam air,
mengakibatkan kandungan NH3 dan H2S di atas maksimum kriteria kualitas air,
dan kedua gas tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap serta dapat
menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan yang disertai dengan reaksi
fisiologik tubuh berupa rasa mual dan kehilangan selera makan. Selain
menimbulkan gas berbau busuk juga adanya pemanfaatan oksigen terlarut yang
berlebihan dapat mengakibatkan kekurangan oksigen bagi biota air.
RPH 76 CIKAMPEK
Kusnoputranto (1995) menyatakan limbah ini akan berdampak pada kualitas
fisik air yaitu warna dan pH disamping itu total padatan terlarut. Padatan
tersuspensi, kandungan lemak, BOD5. Ammonium, nitrogen, fosfor akan
mengalami peningkatan. Limbah terbesar berasal dari darah dan isi perut
(Tjiptadi, 1990) sedangkan darah berdampak pada peningkatan nilai BOD dan
padatan tersuspensi. Disamping itu isi perut (rumen) dan usus akan
meningkatkan jumlah padatan. Pencucian karkas juga meningkatkan nilai BOD.
Sedangkan Bewick (1980) menyatakan bahwa limbah Rumah Potong Hewan
merupakan sumber pencemaran bagi air yang mempunyai kandungan BOD
tinggi dan kandungan oksigen yang terlarut didalam air relatif sedikit.
b. Irigasi luas
Air limbah dialirkan ke dalam parit-parit terbuka yang digali dan air akan
merembes masuk ke dalam tanah melalui dasar dan dinding parit-parit
tersebut. Dalam keadaan tertentu air buangan dapat digunakan untuk
pengairan ladang pertanian atau perkebunan dan sekaligus berfungsi untuk
pemupukan (Kusnoputranto, 1985).
RPH 77 CIKAMPEK
biasanya digunakan luas 1 acre (= 4072 m2) untuk 100 orang
(Kusnoputranto, 1985) .
e. Tegnologi Bersih
Pengelolaan limbah dengan pendekatan produksi bersih di Industri menunjukkan
dengan jelas adanya pergeseran posisi dari biaya ke penghematan, dari parsial ke
terintegrasi, dari inefisien ke efisiensi, dari teknologi pencemar
ke Teknologi Produksi Bersih. Teknologi Produksi Bersih sebagai salah satu
alternatif solusi untuk mengantisipasi limbah di RPH Cakung dilakukan dengan
pendekatan yang meliputi (Anonim, 2011):
RPH 78 CIKAMPEK
Teknologi yang paling lazim untuk mengolah air limbah Rumah Potong Hewan
adalah dengan pengolahan secara kimia fisika diikuti dengan pengolahan secara
biologis. Koagulasi dan flokulasi menggunakan bahan-bahan kimia
menghasilkan lumpur kimia yang memerlukan penanganan lebih lanjut sehingga
memerlukan biaya tersendiri. Proses pengolahan secara biologis (khususnya)
aerobik juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain memerlukan energi
yang tinggi untuk aerasi dan menghasilkan lumpur dalam jumlah besar sehingga
memberikan permasalahan terendiri bagi lingkungan. Di sisi lain, proses
pengolahan air limbah RPH secara anaerobik juga memiliki beberapa
keterbatasan karena proses pengolahan berjalan lambat karena akumulasi
padatan tersuspensi dan lemak yang mengapung di reaktor sehingga
menghambat pertumbuhan mikroba metanogenesis dan banyak biomasa yang
terikut bersama keluaran (washout) (Masse, D, dkk., 2002; Rajehwari, K.V.,
dkk., 2000).).
Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki
pengenda- pan/sedimentasi. Endapan Lumpur padatan organik dipompa ke
RPH 79 CIKAMPEK
penampung lumpur yang lebih padat. Limbah cair yang sudah dipisahkan akan
dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reactor pengolahan limbah cair anaerobik
melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan anaerobik ini ada- lah untuk
mendegradasi bahan organik di limbah cair dan merubah bahan organik yang
terdegra- dasi menjadi biogas.
Bagan 1. Skema Diagram Alir dari Limbah Cair dan Limbah Padat ( Indriyati,
2004)
Selama final acceptance test debit air limbah yang masuk ke dalam sistem
adalah berkisar rata-rata antara 59-140 m³/hari dengan kandungan COD terlarut
rata-rata setelah beberapa tahap penyaringan dan pengendapan sebesar 1967
mg/l. Setelah proses degradasi dicapai COD terlarut effluent sebesar 583 mg/l.
RPH 80 CIKAMPEK
Dalam upaya menurunkan kadar pencemar organic yang terkandung di dalam
limbah cair RPH perlu penambahan melalui proses kimia, salah satu cara
pengolahan limbah cair dengan proses kimia adalah dengan cara fotokatalitik
yang berarti pengolahan dengan cara penambahan katalis dan cahaya pada
limbah tersebut dengan proses fotokatalitik limbah organik akan terde- gradasi
menjadi CO2 dan H2O sehingga diharapkan dapat mereduksi kandungan
Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) , pH
dan daya hantar listrik yang merupakan tolok ukur pencemaran oleh zat-zat
organik.
Sifat listrik zat padat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam berdasarkan
daya hantar listriknya (σ), yaitu konduktor, isolator, dan semikonduktor.
Kondukor merupakan bahan yang dapat dengan mudah menghantarkan arus
listrik dengan nilai σ sebesar 104 – 106 ohm-1cm-1. Isolator adalah bahan
dengan daya hantar listrik sangat lemah atau tidak sama sekali, dengan nilai σ <
10-15 ohm-1cm-1. Semikonduktor adalah suatu bahan dengan daya hantar arus
listrik be- rada di antara konduktor dan isolator, dengan nilai σ sebesar 10-5 –
103 ohm-1cm-1 ( Kamat,1993) (Hubeey 1993)
Hampir semua material oksida, sulfida, dan material yang dapat digunakan
dalam reaksi fotokatalitik. Namun beberapa semikonduktor tersebut kurang
cocok digunakan sebagai katalis karena sifatnya yang kurang menguntungkan.
Logam sulfida mudah mengalami korosi. ZnO tidak stabil secara kimia, karena
mudah larut dalam air membentuk Zn(OH)2 pada permukaan partikel ZnO,
sehingga pemakaian dengan waktu lama menyebabkan inaktivasi katalis ZnO.
Semikonduktor TiO2 merupakan katalis yang banyak dipilih untuk proses
fotokatalitik, karena TiO2 bersifat inert secara biologi dan kimia, stabil
terhadap korosi akibat foton, stabil terhadap korosi akibat kimia, tidak beracun,
dan harganya relatif murah. (Mills dan Le Hunte 1997)
RPH 81 CIKAMPEK
Katalisis merupakan suatu proses yang dipercepat dengan penambahan suatu
substansi/katalis. Suatu reaksi yang dipengaruhi oleh cahaya dan katalis secara
bersama-sama dinamakan reaksi fotokatalitik. Katalis ini dapat mempercepat
fotoreaksi melalui interaksinya dengan substrat, baik dalam keadaan dasar
maupun keadaan tereksitasi dan atau produk utamanya, tergantung pada
mekanisme fotoreaksinya. (Mills dan Le Hunte 1997)
Jika suatu semikonduktor menyerap energi sebesar atau lebih besar dari energi
celahnya, maka elektron (e-) pada pita valensi (VB) akan tereksitasi ke pita
konduksi (CB), dengan meninggalkan lubang positif (h+). Hal ini merupakan
awal dari proses fotokatalitik.( Hoffmann et al 1995 )
RPH 82 CIKAMPEK
Lubang positif (hole) pada pita valensi mempunyai sifat pengoksidasi yang
sangat kuat (+1,0 sampai +3,5 V relatif terhadap elektroda hidrogen Nernst),
RPH 83 CIKAMPEK
sedangkan elektron pada pita konduksi mempunyai sifat pereduksi yang juga
sangat kuat (+0,5 sampai -1,5 V relatif terhadap elektroda hidrogen Nernst).
Reaksi degradasi fotokatalitik untuk sebagian besar senyawa organik, dapat
terjadi oleh hole. Reaksi fotodegradasi secara tidak langsung terjadi melalui
radikal hidroksil (•OH) yang dihasilkan akibat interaksi hole dengan air (H2O)
atau dengan ion hidroksil (OH-). Radikal hidroksil juga dapat terbentuk
melalui reaksi reduksi molekul oksigen oleh elektron pada pita konduksi.
Reaksi pembentukan radikal hidroksil dapat dituliskan sebagai berikut:
Zat organik terdegradasi baik secara langsung oleh lubang positif (hole) maupun
tidak langsung oleh radikal hidroksil. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi
berantai, sehingga zat organik terdegradasi secara sempurna menjadi CO2 dan
H2O. Proses fotokatalitik heterogen dapat terjadi dalam media yang bervariasi:
media fasa gas, fasa cairan organik, atau fasa larutan aqueous. Seperti halnya
proses katalitik heterogen, tahapan proses keseluruhan fotokatalitik heterogen
terbagi menjadi 7 tahap, yaitu: (Fujishima, et al.1999)
5. Desorpsi produk;
RPH 84 CIKAMPEK
6. Diffusi produk dari permukaan internal ke permukaan ekternal katalis;
RPH 85 CIKAMPEK
Dari sisi konfigurasi katalis, ada 2 (dua) model yang digunakan untuk
fotoreaktor pengolahan limbah, yaitu: katalis TiO2 dalam sistem suspensi dan
katalis TiO2 dalam sistem imobilisasi.
RPH 86 CIKAMPEK
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel limbah rumah potong
hewan (RPH) Cakung, perak sulfat (Merck, 98%), merkuri sulfat (Merck 98%),
ferro amonium sulfat (Merck, 98%), 1.10-fenantrolin(BDH, 98%), ferro sulfat
(Merck,98%),asam sulfamat (Merck, 98%), kalium hydrogen phtalate (Merck,
98%), asam sulfat (Merck, 98%). Sedangkan Peralatan yang digunakan selama
penelitian adalah pH meter Copenhagen, konduktometer Hanna EC-215,
RPH 87 CIKAMPEK
Reaktor fotokatalitik , pompa sirkulasi, tempat penampung sampel (reservoir),
dan kran.
Untuk mengolah limbah Rumah Potong Hewan menjadi biogas untuk
membangkitkan tenaga listrik, diperluikan Langkah-langkah sebagai berikut:
RPH 88 CIKAMPEK
Gambar 4. Skematik reaktor fotokatalitik TiO2-IWGCT (Jarnuzi dkk).
Sistem yang digunakan dalam reaktor ini adalah sestem imobilisasi, dimana
katalis TiO2 dilapiskan pada bagian dalam kolom gelas. Sampel uji atau limbah
organik cair dialirkan dari reservoar ke bagian dalam kolom gelas yang sudah
disinari dengan lampu UV dan kemudian larutan uji yang ke luar dari kolom
gelas ditampung kembali dalam reservoar, proses sirkulasi ini dilakukan secara
kontinyu dengan variasi waktu penyinaran.
RPH 89 CIKAMPEK
Penentuan nilai BOD dengan waktu inkubasi 5 hari dan suhu inkubasi 20oC
(BOD5) dilakukan terhadap sampel RPH yang telah disirkulasikan melewati
reaktor fotokatalitik dengan variasi waktu penyinaran. Prosedur penentuan
nilai BOD menggunakan metode titrimetri.
Dengan cara yang sama, dilakukan pula refluks dan titrasi terhadap air destilasi
dengan volume yang sama dengan sampel yang dianalisis, cara ini dilakukan
untuk menentukan nilai blanko.
Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki
pengenda- pan/sedimentasi. Endapan Lumpur padatan organik dipompa ke
penampung lumpur yang lebih padat. Limbah cair yang sudah dipisahkan akan
dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reactor pengolahan limbah cair anaerobik
melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan anaerobik ini ada- lah untuk
mendegradasi bahan organik di limbah cair dan merubah bahan organik yang
terdegra- dasi menjadi biogas.
RPH 90 CIKAMPEK
Pengolahan limbah RPH Cakung masih terbatas pada penggunaan sistim
anaerobic, namun den- gan sistim yang lebih terpadu dalam sebuah reactor yang
mampu menghasilkan biogas sebagai pembangkit tenaga listrik. Sebelum masuk
ke reactor anaerobik terlebih dahulu dilakukan berba- gai penyaringan,
pemompaan dan pengendapan untuk memisahkan air limbah dengan berbagai
padatan ( Padmono, 2003).
Limbah cair RPH Cakung yang digunakan selama penelitian sebagai nilai
blanko sebesar BOD5 17,74 mg/l, COD 200 mg/l , pH 6,89 dan Konduktifitas
2.09 mS/cm.
Reaktor TiO2 - inner wall of a glass column tube, dan disingkat sebagai TiO2 –
IWGCT), adalah reaktor fotokatalitik skala laboratorium yang dikembangkan di
Departemen Kimia FMI- PA-UI untuk mendegradasi polutan organik ( Gambar5
). Sistim yang digunakan dalam reaktor ini adalah sestem imobilisasi, dimana
katalis TiO2 dilapiskan pada bagian dalam kolom gelas. Sampel uji atau limbah
organik cair dialirkan dari reservoar ke bagian dalam kolom gelas yang sudah
disinari dengan lampu UV dan kemudian larutan uji yang ke luar dari
kolom gelas ditampung kembali dalam reservoar, proses sirkulasi ini
dilakukan secara kontinyu dengan variasi waktu penyinaran. Menurut Jarnuzi,
et al ( 2001) , reaksi degradasi limbah organik secara fotokatalitik terjadi pada
bagian dalam kolom gelas, yang digambarkan sebagai berikut:
RPH 91 CIKAMPEK
Hole (h+) dan radikal hidroksil (•OH) yang dihasilkan pada permukaan katalis
akan bereaksi dengan polutan organik yang diikuti dengan proses dekomposisi
polutan organik menjadi CO2, H2O dan asam-asam mineral. Lubang positif
(hole) pada pita valensi mempunyai sifat pengoksidasi yang sangat kuat
(+1,0 sampai +3,5 V relatif terhadap elektroda hidrogen Nernst), sedangkan
elektron pada pita konduksi mempunyai sifat pereduksi yang juga sangat kuat
(+0,5 sampai -1,5 V relatif terhadap elektroda hidrogen Nernst). Reaksi
degradasi fotokatalitik untuk sebagian besar senyawa organik, dapat terjadi
oleh hole. Reaksi fotodegradasi secara tidak langsung terjadi melalui radikal
hidroksil (•OH) yang dihasilkan akibat interaksi hole dengan air (H2O) atau
dengan ion hidroksil (OH-). Radikal hidroksil juga dapat terbentuk melalui
reaksi reduksi molekul oksigen oleh elektron pada pita konduksi ( Linsebigler et
al, 1995) (Fujishima et al, 1999) Reaksi keseluruhan dekomposisi limbah
organik secara fotokatalitik sebagai berikut:
RPH 92 CIKAMPEK
Gambar 6. Profil konsentrasi dan intensitas UV dalam sistem immobilisasi
TiO2 dengan sinar UV berasal dari bagian luar penyangga (q=kapasitas
adsorpsi, I= intensitas cahaya, H=ketebalan katalis, I0= intensitas cahaya awal,
dan Cb=konsentrasi polutan pada bulk). Ketebalan optimum lapisan TiO2 untuk
reaktor TiO2-IWGCT adalah antara 1,626 μm sampai dengan 1,906 μm.
(Surahman, H, 2004).
RPH 93 CIKAMPEK
Meningkatnya waktu kontak seiring dengan bertambahnya jumlah kolom TiO2
akan meningkatkan persentasi limbah organik yang terdegradasi.
4.6.6 Pengaruh Waktu Penyinaran Terhadap Nilai BOD5 Limbah Cair RPH
Pengaruh waktu penyinaran sinar UV dengan variasi penyinaran 0, 2, 4, 6, dan 8
jam ter- hadap nilai BOD5 limbah cair RPH menggunakan reaktor fotokatalisis
TiO2-IWGCT telah dipe- lajari. Grafik 1 memperlihatkan hubungan antara
variasi waktu penyinaran dengan nilai BOD5 limbah cair RPH, yaitu
kecenderungan menaiknya nilai BOD5 terhadap kenaikan waktu penyi- naran
sinar UV.
RPH 94 CIKAMPEK
Nilai BOD5 menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan mikroorganisme
untuk men- guraikan bahan organik terlarut dan sebagian bahan organik yang
tersuspensi di dalam air . BOD5 merupakan salah satu parameter yang paling
umum digunakan untuk mengetahui beban pencemaran dari suatu air buangan
atau air limbah , ukuran beban bagi suatu unit pengolahan air limbah dan juga
ukuran bagi efesiensi untuk pengolahan air limbah tersebut . Besarnya nilai
BOD5 dalam limbah cair ditentukan oleh komposisi kandungan organik yang
bersifat biodegrad- able ( mudah terurai secara biologi) dan nonbiodegradable
(sulit terurai secara biologi). Limbah cair yang mengandung bahan organik
biodegradable akan menghasilkan nilai BOD5 yang lebih tinggi dibandingkan
dengan limbah cair yang mengandung bahan organik nonbiodegradable.
Pada Grafik 1 memperlihatkan kenaikan nilai BOD5 dari 17,74 mg/l menjadi
62,38 mg/l setelah dilakukan penyinaran selama 8 jam. Kenaikan nilai BOD5
seiring bertambahnya waktu penyina- ran mengindikasikan terjadinya
penguraian bahan organik nonbiodegradable menjadi bahan organik
biodegradable secara fotokatalisis. Semakin lama waktu penyinaran akan
semakin banyak bahan organik biodegradable yang terbentuk ditandai dengan
semakin tingginya nilai BOD5 da- lam limbah cair. Hu Chun dan Wang
Yizhong (1999), menyatakan bahwa proses fotokatalisis TiO2 mengakibatkan
meningkatnya nilai BOD5.
4.6.7 Pengaruh Waktu Penyinaran Terhadap Nilai COD Limbah Cair RPH.
Pengaruh waktu penyinaran sinar UV dengan variasi penyinaran 0, 2, 4, 6, dan 8
jam ter- hadap nilai COD limbah cair RPH menggunakan reaktor fotokatalisis
TiO2-IWGCT telah dipela- jari. Grafik 2 memperlihatkan hubungan antara
variasi waktu penyinaran dengan nilai COD limbah cair RPH. yaitu
kecenderungan menurunnya nilai COD terhadap kenaikan waktu penyi- naran
sinar UV.
RPH 95 CIKAMPEK
Nilai COD merupakan salah satu parameter untuk mengetahui beban
pencemaran dari suatu air buangan atau air limbah. Tinggi rendahnya nilai
COD dalam suatu air limbah ditentu- kan dengan kandungan bahan-bahan
organik yang terlarut. Semakin tinggi kandungan bahan organik maka semakin
tinggi nilai COD nya dan sebaliknya, semakin rendah kandungan bahan
organiknya maka semakin rendah nilai COD nya. Pada Grafik 2 .
memperlihatkan penurunan nilai COD sebesar 42,8 % setelah dilakukan
penyinaran selama 8 jam. Penurunan nilai COD mengindikasikan turunnya
kandungan bahan-bahan organik yang terdapat dalam limbah cair RPH seperti
darah, protein, lemak, dan zat-zat organik lainnya secara reaksi
fotokatalisis. Andrew Mills dan Stephen Le Hunte (1997), telah melaporkan
beberapa contoh proses fotokata- lisis untuk mendegradasi beberapa senyawa
organik termasuk senyawa-senyawa biomassa seperti karbohidrat, urine, dan
protein. Secara umum reaksi-reaksi fotokatalisis untuk mendegradasi senyawa
organik dapat dituliskan sebagai berikut:
RPH 96 CIKAMPEK
Dengan semakin lamanya waktu kontak antara limbah cair RPH dengan katalis
TiO2 dalam tabung gelas maka proses degradasi limbah cair RPH secara
fotokatalisis akan mengakibatkan kenaikan nilai BOD5 . Pada Grafik 3,
memperlihatkan kenaikan nilai BOD5 yang terdegradasi secara fotokatalisis.
Kenaikan nilai BOD5 yang terdegradasi memperlihatkan kenaikan secara linier
sampai dengan waktu kontak 48,76 menit. Fenomena ini dapat dijelaskan
sebagai berikut. Reaksi degradasi fotokatalitik pada lapisan tipis TiO2 ini
merupakan suatu sistem heterogen , yang mengakibatkan banyaknya bahan
organik yang sulit terdegradasi secara biologi menjadi bahan organik yang
mudah terdegradasi secara biologi sehingga kebutuhan oksigen akan meningkat.
RPH 97 CIKAMPEK
4.6.8 Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Nilai COD Limbah Cair RPH.
Dengan semakin lamanya waktu kontak antara limbah cair RPH dengan katalis
TiO2 dalam tabung gelas maka proses degradasi limbah cair RPH secara
fotokatalisis akan semakin baik, hal ini dapat dilihat seperti pada Grafik 4.
RPH 98 CIKAMPEK
Al Ekabi dan Nick Serpone (1988), serta Bahnemann et al. (1995) , menyatakan
bahwa kecenderungan tidak lagi menaiknya laju degradasi polutan organik
terutama disebabkan oleh kejenuhan fraksi pelingkupan permukaan aktif TiO2
(θ) yang disebabkan oleh berkompetisinya senyawa organik awal dan senyawa
organik intermediet (hasil degradasi belum sempurna) untuk teradsorpsi pada
permukaan katalis TiO2. Mills at al , 1997, mendiskripsikan pembentukan
senyawa intermediet selam proses fotokatalisis seperti pada Gambar 7 di bawah
ini:
Proses degradasi limbah cair RPH secara fotokatalisis menggunakan reaktor alir
TiO2- IWGCT dapat menurunkan nilai COD dari 200 mg/L menjadi 114 mg/L
selama 8 jam penyinaran atau setara dengan 48,76 menit waktu kontak antara
limbah cair RPH dengan katalis TiO2. Ditinjau dari baku mutu air limbah
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Nomor Kep.02/MENKLH/I/1988 tentang pedoman penetapan baku mutu
lingkungan, kualitas limbah cair RPH hasil proses fotokatalisis mengalami
kenaikan dilihat dari parameter COD yaitu dari mutu air limbah golongan III
menjadi mutu air limbah golongan II, Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor KEP 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair
Kegiatan Industri mengalami kenaikan dari Golongan baku II menjadi golongan
I dan masih memenuhi baku mutu air limbah RPH berdasarkan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.2 Tahun 2006.
RPH 99 CIKAMPEK
Berdasarkan kualitas limbah cair, pegolahan secara biologis biasanya dilakukan
jika nilai kandungan BOD5 dibandingkan nilai COD berada diantara 0,4 – 0,6.
Mempertimbangkan hasil pemeriksaan karakteristik limbah cair RPH Cakung
(tabel 3) dan kandungan zat organik yang tinggi serta bersifat biodegradabel,
maka pengolahan secara biologis lebih dapat diterapkan jika dibandingkan
dengan proses kimia. Tabel 3. Perbandingan BOD/COD .
Fakta ini didukung oleh data hasil pengukuran konduktivitas (Grafik 6) yang
semakin meningkat dengan bertambahnya waktu kontak. Sementara itu menurut
Winarti 2001, meningkatnya keasaman larutan hasil degradasi senyawa organik
terjadi karena terbentuknya senyawa intermediet berupa asam organik, seperti
asam asetat dan asam oksalat. Menurunnya nilai pH dari 6,89 sampai 6,05
masih memenuhi Baku Mutu Air Limbah berdasarkan Keputusan Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor Kep. 02/Men KLH/I/1988 dan
masih memenuhi baku mutu air limbah RPH berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No.2 Tahun 2006.
Dari hasil degradasi buangan akhir limbah cair RPH rumah potong hewan
diperoleh data penurunan nilai COD sebesar 42% selama 48,76 menit dan
kenaikan BOD5. Data ini memberikan hasil yang positif dalam penggunaan
teknologi fotokatalisis sebagai pengolah limbah cair RPH. Penurunan nilai
COD limbah cair RPH menggunakan reaktor TiO2-IWGCT dapat ditingkatkan
dengan menambahkan unit reaktor dan mempercepat laju alir larutan limbah cair
RPH. Penambahan unit reaktor akan meningkatkan waktu kontak antara larutan
uji dengan katalis TiO2, sehingga proses degradasi limbah cair RPH akan
semakin cepat. Penambahan laju alir larutan uji akan meningkatkan turbulensi
larutan limbah cair RPH di dalam tabung. Dengan meningkatnya turbulensi
larutan uji di dalam tabung maka proses transfer massa atau berpindahnya massa
polutan organik ke permukaan katalis TiO2 akan semakin besar, sehingga
proses degradasi fotokatalisis limbah cair RPH akan semakin cepat.(perhitungan
terlampir).
Untuk kasus pengolahan limbah cair RPH secara fotokatalisis, limbah cair harus
melewati beberapa proses pengolahan limbah pendahuluan sebelum diproses
secara fotokatalisis. Seperti halnya pengolahan limbah cair di rumah potong
hewan Cakung yang melewati beberapa tahap pengolahan. Proses dimulai
dengan pemisahan limbah padat yang kasar dengan menggunakan penyaringan.
Limbah cair yang keluar dari saringan dialirkan langsung menuju tangki
pencampuran dan penyimpanan.
Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki
pengendapan/sedimentasi. Endapan lumpur padatan organik dipompa ke
penampung lumpur yang lebih padat, Limbah cair yang sudah dipisahkan akan
dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reaktor pengolahan limbah cair
anaerobik melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan anaerobik ini adalah untuk
mendegradasi bahan organik di limbah cair dan merubah bahan organik yang
terdegradasi menjadi biogas. Setelah proses anaerobik limbah cair dibuang ke
perairan umum.
Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki
pengendapan/sedimentasi. Endapan lumpur padatan organik dipompa ke
penampung lumpur yang lebih padat Limbah cair yang sudah dipisahkan akan
dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reaktor pengolahan limbah cair
Gambar 2. Skema Diagram Alir dari Limbah Cair dan Limbah Padat.
Biogas yang dihasilkan dari Fixed Bed digester digunakan untuk memproduksi
listrik dengan menggunakan generator. Mesin tersebut berjalan bersamaan
dengan jaringan listrik PLN. Kapasitas maksimum adalah 45 kW, generator di
atur menjadi 35 kW pada saat tes dilakukan. Mesin yang digunakan adalah Gas
Otto Engine yang hanya dijalankan menggunakan biogas tanpa menggunakan
bahan baker disel.
Sedangkan untuk limbah padat yang berasal dari penampung isi rumen
dimasukkan kedalam screw press untuk dikurangi airnya, kemudian padatannya
dibawa oleh wheel loader menuju tempat penampungan sementara, sedangkan
limbah padat yang berasal dari kandang yang berupa kotoran dan sisa pakan
dikumpulkan untuk dibawa ke tempat penampung sementara.
Demikian pula dengan lumpur hasil proses limbah cair dibawa ketempat
penampungan sementara dan didiamkan selama 7 hari, dari tempat
penampungan sementara limbah padat tersebut dibawa ke ruang pengkomposan
untuk diproses selama 35 hari dengan proses pembalikan dua kali setiap
minggumya. Hasil proses pengkomposan selama kurang lebih 42 hari kemudian
dibawa ke tempat penyaringan untuk dilakukan proses penyaringan sehingga
dihasilkan kompos halus dan kompos kasar yang kemudian dikemas sesuai
ukuran kantong dan dibawa menuju gudang kompos.
Keamanan
Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat tinggi dan
cepat daya nyalanya. Karenanya sejak biogas berada pada bejana pembuatnya
sampai digunakan untuk penerangan ataupun memasak, harus selalu dihindari
kehadirannya dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan. Hal ini
berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kebocoran pada peralatan yang
tidak diketahui.
Sifat cepat menyala biogas, juga merupakan masalah tersendiri. Artinya dari
segi keselamatan pengguna. Sehingga tempat pembuatan atau penampungan
biogas harus selalu berada jauh dari sumber api yang kemungkinan dapat
menyebabkan ledakan kalau tekanannya besar. Untuk mengatasi masalah ini,
sebaiknya setiap digester atau penampung gas metan dilengkapi dengan
pengukur tekanan sehingga dapat memperkecil resiko terjadinya kecelakaan atau
ledakan.
Biogas dapat dipergunakan dengan cara yang sama seperti gas-gas mudah
terbakar yang lain. Pembakaran biogas dilakukan dengan mencampurnya
dengan sebagian oksigen (O2). Namun demikian, untuk mendapatkan hasil
pembakaran yangoptimal, perlu dilakukan pra kondisi sebelum biogas dibakar
yaitu melalui proses pemurnian /penyaringan karena biogas mengandung
beberapa gas lain yang tidakmenguntungkan. Sebagai salah satu contoh,
kandungan gas hidrogen sulfida yang tinggi dalam biogas, jika dicampur dengan
oksigen dengan perbandingan 1:20, makaakan menghasilkan gas yang sangat
Limbah Biogas
Limbah biogas, yaitu kotoran Rumah Potong Hewan yang telah hilang gasnya
(slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang
dibutuhkan olehtanaman. Bahkan, unsur-unsur tertentu seperti protein, selulose,
lignin, dan lain-lain tidak bisa digantikan oleh pupuk kimia. Bahan pembuat
biogas juga merupakan bahan organik berkandungan nitrogen tinggi. Selama
proses pembuatan kompos yang akan keluar dan tergunakan adalah unsur-unsur
C, H, dan 0 dalam bentuk CH4 dan CO2. Karenanya nitrogen yang ada akan
tetap bertahan dalam sisa bahan, kelak menjadi sumber pupuk organik.
Pupuk organik yang dihasilkan dari memiliki kualitas yang baik, yang
merupakan sisa proses fermentasi untuk mendapatkan biogas, dikarenakan
bakteri patogen dan biji tanaman gulma dalam kotoran Rumah Potong Hewan
menjadi mati selama proses fermentasi, dan pupuk kandang tersebut langsung
dapat digunakan sebagai pupuk terhadap tanaman.
Kandungan zat organik yang tinggi di dalam limbah cair RPH adalah bahan
pencemar yang dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan biota perairan
dan kehidupan manusia.
Kesimpulan
1. Limbah Rumah Potong Hewan dapat mencemari lingkungan dan
menimbulkan wabah penyakit apabila tidak ditangani dengan baik dan
benar.
2. Perlu dibangun sistem pengolahan limbah Rumah Potong Hewan.
3. Penanganan limbah Rumah Potong Hewan perlu dibuat Instalasi Pengolahan
Air Limbah (IPAL).
4. Penanganan limbah Rumah Potong Hewan dengan menggunakan teknologi
tepat guna, akan menghasilkan biogas dan pupuk organic.
5. Biogas dapat dipergunakan untuk pembangkit listri dan untuk keperluan
dapur.
A. Kesimpulan
Kebutuhan Rumah Potong Hewan yang representative dan Higienis, merupakan
kebutuhan yang mendesak dan tidak boleh dituinda-tunda. Hal ini disebabkan
kebutuhan masyarakat terhadap daging semakin hari semakin meningkat.
Penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (bagi masyarakat penganut
agama Islam) adalah hal pokok yang menjadi tuntutan masyarakat. Pengelolaan
penyediaan daging sebagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut
merupakan tugas yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, baik Pemerintah
Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
Ketentuan Pasal 2 ayat (3) di atas mengatur bahwa pemotongan hewan harus
dilakukan di RPH. Berkenaan dengan hal tersebut, maka proses produksi
daging di RPH harus memenuhi persyaratan teknis, baik fisik, sumber daya
manusia maupun prosedur pelaksaannya.
Pasal 62
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan
yang memenuhi persyaratan teknis.
(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diusahakan oleh setiap orang setelah memiliki izin usaha dari
bupati/walikota.
(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang
pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.
Pasal 63
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib
menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi.
(2) Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan:
a. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah
pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat
pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan rnesin
produk hewan;
b. surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau
cemaran kimia; dan
c. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan
aktivitas tersebut.
(3) Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat
veteriner.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan sanitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 4
RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang
aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk
melaksanakan:
a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection)
dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk
mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan
pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna
pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan
zoonosis di daerah asal hewan.
Pasal 5
(1) Untuk mendirikan rumah potong wajib memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan peraturan perundangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lokasi;
b. sarana pendukung;
c. konstruksi dasar dan disain bangunan;
d. peralatan.
Pasal 9
(1) Bangunan utama RPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
huruf a harus memiliki daerah kotor yang terpisah secara fisik dari daerah
bersih.
(2) Daerah kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. area pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area
pengeluaran darah;
b. area penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat
kaki sampai metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi
dada dan isi perut);
c. ruang untuk jeroan hijau;
d. ruang untuk jeroan merah;
e. ruang untuk kepala dan kaki;
f. ruang untuk kulit; dan
g. pengeluaran (loading) jeroan.
(3) Daerah bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi area untuk:
a. pemeriksaan post-mortem;
b. penimbangan karkas;
c. pengeluaran (loading) karkas/daging.
Pasal 10
Disain dan konstruksi dasar seluruh bangunan dan peralatan RPH harus dapat
memfasilitasi penerapan cara produksi yang baik dan mencegah terjadinya
kontaminasi.
Pasal 11
Bangunan utama RPH harus memenuhi persyaratan:
Pasal 12
(1) Area penurunan (unloading) ruminansia harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. dilengkapi dengan fasilitas untuk menurunkan ternak (unloading)
dari atas kendaraan angkut ternak yang didisain sedemikian rupa
sehingga ternak tidak cedera akibat melompat atau tergelincir;
b. ketinggian tempat penurunan/penaikan sapi harus disesuaikan dengan
ketinggian kendaraan angkut hewan;
c. lantai sejak dari tempat penurunan hewan sampai kandang
penampungan harus tidak licin dan dapat meminimalisasi terjadinya
kecelakaan;
d. harus memenuhi aspek kesejahteraan hewan.
(2) Kandang penampung dan istirahat hewan harus memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a. bangunan kandang penampungan sementara atau kandang istirahat
paling kurang berjarak 10 meter dari bangunan utama;
b. memiliki daya tampung 1,5 kali dari rata-rata jumlah pemotongan
hewan setiap hari;
c. ventilasi (pertukaran udara) dan penerangan harus baik;
d. tersedia tempat air minum untuk hewan potong yang didisain landai
ke arah saluran pembuangan sehingga mudah dibersihkan;
e. lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras),
kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta
mudah dibersihkan dan didesinfeksi;
f. saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat
mengalir lancar;
g. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi
hewan dengan baik dari panas dan hujan;
h. terdapat jalur penggiringan hewan (gang way) dari kandang menuju
tempat penyembelihan, dilengkapi dengan pagar yang kuat di kedua
sisinya dan lebarnya hanya cukup untuk satu ekor sehingga hewan
tidak dapat kembali ke kandang;
i. jalur penggiringan hewan yang berhubungan langsung dengan
bangunan utama didisain sehingga tidak terjadi kontras warna dan
cahaya yang dapat menyebabkan hewan yang akan dipotong menjadi
stres dan takut.
Pasal 14
Kandang isolasi harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. terletak pada jarak terjauh dari kandang penampung dan bangunan utama,
serta dibangun di bagian yang lebih rendah dari bangunan lain;
Pasal 15
Ruang pendingin/pelayuan (chilling room) harus memenuhi persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
a. ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih;
b. besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan dengan
mempertimbangkan jarak antar karkas paling kurang 10 cm, jarak antara
karkas dengan dinding paling kurang 30 cm, jarak antara karkas dengan
lantai paling kurang 50 cm, dan jarak antar baris paling kurang 1 meter;
c. konstruksi bangunan harus memenuhi persyaratan:
1. tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan karkas
minimal 3 meter;
2. dinding bagian dalam berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap
air, memiliki insulasi yang baik, tidak mudah korosif, tidak toksik,
tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi
serta tidak mudah mengelupas;
3. lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak
toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;
4. lantai tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan;
5. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 75 mm;
6. sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 25 mm;
7. langit-langit harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air,
memiliki insulasi yang baik, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah
dibersihkan;
8. intensitas cahaya dalam ruang 220 luks.
d. bangunan dan tata letak pendingin/pelayuan harus mengikuti persyaratan
seperti bangunan utama;
e. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang pendingin/pelayuan;
f. ruang dilengkapi dengan alat penggantung karkas yang didisain agar
karkas tidak menyentuh lantai dan dinding;
g. ruang mempunyai fasilitas pendingin dengan suhu ruang – 4 oC sampai +
Pasal 16
Area pemuatan (loading) karkas dan/atau daging ke dalam kendaraan angkut
karkas dan/atau daging harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dapat meminimalisasi terjadinya kontaminasi silang pada karkas dan/atau
daging;
b. ketinggian lantai harus disesuaikan dengan ketinggian kendaraan angkut
karkas dan/atau daging;
c. dilengkapi dengan fasilitas pengendalian serangga, seperti pemasangan
lem serangga;
d. memiliki fasilitas pencucian tangan.
Pasal 17
Kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan harus memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. luas kantor administrasi disesuaikan dengan jumlah karyawan, didisain
untuk keselamatan dan kenyamanan kerja, serta dilengkapi dengan ruang
pertemuan;
c. kantor Dokter Hewan harus terpisah dengan kantor administrasi.
Pasal 18
Kantin dan mushola harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. luas ruang disesuaikan dengan jumlah karyawan;
c. kantin didisain agar mudah dibersihkan, dirawat dan memenuhi persyaratan
kesehatan lingkungan.
Pasal 19
Ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi/ruang ganti
pakaian (locker) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. terletak di bagian masuk karyawan atau pengunjung;
c. tempat istirahat karyawan harus dilengkapi dengan lemari untuk setiap
karyawan yang dilengkapi kunci untuk menyimpan barang-barang pribadi;
d. locker untuk pekerja ruang kotor harus terpisah dari locker pekerja bersih.
Pasal 21
Fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan
atau insinerator harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. dibangun dekat dengan kandang isolasi;
b. dapat memusnahkan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat
dimanfaatkan secara efektif tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan;
c. didisain agar mudah diawasi dan mudah dirawat serta memenuhi
persyaratan kesehatan lingkungan.
Pasal 22
Sarana penanganan limbah harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki kapasitas sesuai dengan volume limbah yang dihasilkan;
b. didisain agar mudah diawasi, mudah dirawat, tidak menimbulkan bau dan
memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan;
c. sesuai dengan rekomendasi upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dari
Dinas yang membidangi fungsi kesehatan lingkungan.
Pasal 23
Rumah jaga harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. dibangun masing-masing di pintu masuk dan di pintu keluar kompleks
RPH;
b. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
c. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi
petugas dari panas dan hujan;
d. didisain agar memenuhi persyaratan keamananan dan keselamatan kerja,
serta memungkinkan petugas jaga dapat mengawasi dengan leluasa keadaan
di sekitar RPH dari dalam rumah jaga.
Pasal 24
Pasal 25
Disain dan konstruksi dasar ruang pengemasan daging harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan
pembagian/pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 27
Ruang penyimpanan beku (cold storage) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. kapasitas ruang disesuaikan dengan jumlah produk beku yang disimpan;
b. disain dan konstruksi dasar ruang penyimpanan beku harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian/
pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
c. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang penyimpanan beku;
d. dilengkapi dengan fasilitas pendingin sebagai berikut:
1. memiliki ruang penyimpanan berpendingin yang mampu mencapai dan
mempertahankan secara konstan temperatur daging pada +4 oC hingga –
4 oC (chilled meat); - 2 oC hingga - 8oC (frozen meat) -18oC
(deep frozen), serta kapasitas ruangan harus mempertimbangkan sirkulasi
udara dapat bergerak bebas;
2. ruang penyimpanan berpendingin dilengkapi dengan thermometer atau
display suhu yang diletakkan pada tempat yang mudah dilihat.
Pasal 28
(1) RPH berorientasi ekspor harus mempunyai fasilitas laboratorium sederhana
untuk pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian produk, peralatan, air,
petugas dan lingkungan produksi yang diperlukan dalam rangka monitoring
penerapan praktek higiene di RPH.
(2) RPH berorientasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
RPH yang telah memperoleh Sertifikat NKV Level I.
(3) Jenis pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pemeriksaan organoleptik, pengujian kimiawi sederhana, seperti
uji awal pembusukan daging dan uji kesempurnaan pengeluaran darah,
pengujian cemaran mikroba seperti Total Plate Count (TPC), Coliform, E.
coli, Staphylococcus sp., Salmonella sp., serta pengujian parasit.
Bagian Kelima
Persyaratan Peralatan
Pasal 29
(1) Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di RPH harus terbuat dari
bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta
mudah dirawat.
(2) Seluruh peralatan dan permukaan yang kontak dengan daging dan jeroan
tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik,
misalnya seng, polyvinyl chloride/ PVC tidak mudah korosif, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
(3) Seluruh peralatan logam yang kontak dengan daging dan jeroan harus
terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif (terbuat dari
stainless steel atau logam yang digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah
dibersihkan dan mudah didesinfeksi serta mudah dirawat.
(4) Pelumas untuk peralatan yang kontak dengan daging dan jeroan harus food
grade (aman untuk pangan).
(5) Sarana pencucian tangan harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak
kontak dengan telapak tangan, dilengkapi dengan fasilitas seperti sabun cair
dan pengering, dan apabila menggunakan tissue harus tersedia tempat
sampah.
(6) Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan
harus tersedia dalam jumlah cukup sehingga proses pembersihan dan
desinfeksi bangunan dan peralatan dapat dilakukan secara baik dan efektif.
(3)
B. Saran
1. Karena merupakan Kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk membangun
Rumah Potong Hewan, Hendaknya Pemerintah kabupaten Karawang
melaksanakan kewajiban tersebut.
2. Dalam membangun Rumah Potong Hewan, hendaknya Pemerintah
Kabupaten Karawang tidak asal sekedar menggugurkan kewajiban,
melainkan membangun Rumah Potong Hedwan berorientasi kepada
kemaslahatan umat.
3. Untuk Pihak Dinas Rumah Potong Hewanan Sebagai instansi pemerintahan
yang turut dan berkewajiban dalam melindungi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha pemotongan hewan, seharusnya rumah potong milik
pemerintahan Kabupaten Karawang tersebut memiliki RPH yang baik,
baik dalam segi pengelolaan limbah, baik dalam hal pengelolaan rumah
potong bahkan memiliki fasilitas dan sarana penanganan daging yang sesuai
dengan aturan yang telah di atur dalam Undang-Undang. Diharpkan
nantinya RPH yang telah disediakan oleh pemerintah Kabupaten Karawang
tak menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sesuai dengan
persyaratan teknis, higiene dan sanitasi yang baik, sehingga produk yang
dihasilkan memiliki kualitas yang baik di konsumsi bagi masyarakat dan
juga tetap menjaga kualitas lingkungan hidup di sekitar area rumah potong
hewan tersebut.
4. Kepada Pengelola Rumah Potong Hewan Pasar Cikampek
Sebagai RPH yang di kelola oleh pemerintah Kabupaten Karawang.
Seharusnya RPH Pasar Cikampek Kabupaten Karawang dapat memberikan
contoh bagai mana pengelolaan limbah yang benar, baik limbah padat,
limbah cair, maupun limbah gas/bau. Sehingga apabila dalam pengelolaan
limbah tersebut berjalan sesuai yang telah di tetapkan oleh Undang-
Undang ataupun upaya pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup
yang dikeluarkan oleh Bapedalda Kabupaten Karawang sehingga limbah
yang dihasilkan tak merusak lingkungan sekitar area RPH tersebut.
Menimbang:
a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa mempunyai
peranan penting dalam penyediaan pangan asal hewan dan hasil hewan lainnya
serta jasa bagi manusia yang pemanfataannya perlu diarahkan untuk kesejahteraan
masyarakat;
b. bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu diselenggarakan kesehatan hewan
yang melindungi kesehatan manusia dan hewan beserta ekosistemnya sebagai
prasyarat terselenggaranya peternakan yang maju, berdaya saing, dan
berkelanjutan serta penyediaan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal
sehingga perlu didayagunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
c. bahwa dengan perkembangan keadaan tuntutan otonomi daerah dan globalisasi,
peraturan perundang- undangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang
berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih,
bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen,
pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya.
2. Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan,
pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan
penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat
hewan dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan.
3. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui
integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan,
kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait.
(2) Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan kemanfaatan dan
keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan
keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan.
Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan bertujuan untuk:
a. mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertanggung jawab, dan
berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
b. mencukupi kebutuhan pangan, barang, dan jasa asal hewan secara mandiri, berdaya
saing, dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat
menuju pencapaian ketahanan pangan nasional;
c. melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia,
hewan, tumbuhan, dan lingkungan;
d. mengembangkan sumber daya hewan bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat;
dan
e. memberi kepastian hukum dan kepastian berusaha dalam bidang peternakan dan
kesehatan hewan.
BAB III
SUMBER DAYA
Bagian Kesatu
Lahan
Pasal 4
Untuk menjamin kepastian terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan
penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis peternakan dan kesehatan hewan.
Pasal 6
(1) Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum harus
dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan.
(2) Kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai:
a. penghasil tumbuhan pakan;
b. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan inseminasi buatan;
c. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau
d. tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi peternakan dan
kesehatan hewan.
(3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai persediaan lahan
yang memungkinkan dan memprioritaskan budi daya ternak skala kecil diwajibkan
menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum.
(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara pengusahaan
peternakan dan pengusahaan tanaman pangan, hortikultura, perikanan, perkebunan,
dan kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut
sebagai sumber pakan ternak murah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan kawasan
penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
peraturan daerah kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Air
Pasal 7
(1) Air yang dipergunakan untuk kepentingan peternakan dan kesehatan hewan harus
memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai dengan peruntukannya.
(2) Apabila ketersediaan air terbatas pada suatu waktu dan kawasan, kebutuhan air untuk
hewan perlu diprioritaskan setelah kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Bagian Ketiga
Sumber Daya Genetik
Pasal 8
(1) Sumber daya genetik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang dikuasai oleh
Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan Negara atas sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, atau pemerintahan
daerah kabupaten/kota berdasarkan sebaran asli geografis sumber daya genetik yang
bersangkutan.
(3) Sumber daya genetik dikelola melalui kegiatan pemanfaatan dan pelestarian.
(4) Pemanfaatan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
melalui pembudidayaan dan pemuliaan.
(5) Pelestarian sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
melalui konservasi di dalam habitatnya dan/atau di luar habitatnya serta upaya
lainnya.
Pasal 9
(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya genetik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) wajib membuat perjanjian dengan pelaksana
penguasaan negara atas sumber daya genetik yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan, antara lain,
pembagian keuntungan dari hasil pemanfaatan sumber daya genetik yang
bersangk utan dan pemberdayaan masyarakat sekitar dalam pemanfaatannya.
(3) Pemanfaatan sumber daya genetik hewan asal satwa liar mengikuti peraturan
perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal 10
(1) Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4)
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota, masyarakat, dan/atau korporasi.
(2) Pemerintah wajib melindungi usaha Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mengoptimalkan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan pelestarian sumber daya
genetik asli Indonesia.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
setiap orang yang melakukan pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 11
(1) Setiap orang atau lembaga nasional yang melakukan pemasukan dan/atau
pengeluaran sumber daya genetik ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib memperoleh izin dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi lembaga
internasional yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran sumber daya genetik
ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga asing yang akan
melakukan pemasukan dan pengeluaran sumber daya genetik, terlebih dahulu harus
memiliki perjanjian dengan Pemerintah di bidang transfer material genetik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 12
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya genetik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetik
termasuk sumber daya genetik hewan dan rekayasa genetik diatur dengan undang-
undang.
Bagian Kesatu
Benih, Bibit, dan Bakalan
Pasal 13
(1) Penyediaan dan pengembangan benih, bibit, dan/atau bakalan dilakukan dengan
mengutamakan produksi dalam negeri dan kemampuan ekonomi kerakyatan.
(2) Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/
atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin
ketersediaan benih, bibit, dan/atau bakalan.
(3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum
berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan.
(4) Setiap benih atau bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak benih atau bibit
yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu.
(5) Sertifikat layak benih atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan
oleh lembaga sertifikasi benih atau bibit yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh
Menteri.
Pasal 14
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan perbibitan nasional untuk mendorong ketersediaan
benih dan/atau bibit yang bersertifikat dan melakukan pengawasan dalam pengadaan
dan peredarannya secara berkelanjutan.
(2) Pemerintah membina pembentukan wilayah sumber bibit pada wilayah yang
berpotensi menghasilkan suatu rumpun ternak dengan mutu dan keragaman jenis
yang tinggi untuk sifat produksi dan/atau reproduksi.
(3) Wilayah sumber bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri
dengan mempertimbangkan jenis dan rumpun ternak, agroklimat, kepadatan
penduduk, sosial ekonomi, budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan perbibitan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Dalam keadaan tertentu pemasukan benih dan/atau bibit dari luar negeri dapat
dilakukan untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. mengatasi kekurangan benih atau bibit di dalam negeri; dan/atau
d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
(2) Pemasukan benih dan/atau bibit wajib memenuhi persyaratan mutu dan kesehatan
hewan dan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan serta
memerhatikan kebijakan pewilayahan bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(3) Setiap orang yang melakukan pemasukan benih dan/atau bibit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan
perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan mutu dan kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16
(1) Pengeluaran benih, bibit, dan/atau bakalan dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah
terpenuhi dan kelestarian ternak lokal terjamin.
(2) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan perdagangan setelah
mendapat rekomendasi dari Menteri.
Pasal 18
(1) Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, ternak ruminansia betina produktif
diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia betina tidak produktif
disingkirkan untuk dijadikan ternak potong.
(2) Ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil
ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian
dan penanggulangan penyakit hewan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/ kota menyediakan dana untuk
menjaring ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan
menampung ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan
penangkaran dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeleksian dan penyingkiran sebagaimana pada
ayat (1) dan penjaringan ternak ruminansia betina produktif sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pakan
Pasal 19
(1) Setiap orang yang melakukan budi daya ternak wajib mencukupi kebutuhan pakan
dan kesehatan ternaknya.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah membina pelaku usaha peternakan untuk
mencukupi dan memenuhi kebutuhan pakan yang baik untuk ternaknya.
(3) Untuk memenuhi kebutuhan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah membina pengembangan industri premiks dalam negeri.
Pasal 20
(1) Pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran bahan pakan dan tumbuhan atau
tanaman pakan yang tergolong bahan pangan dilakukan secara terkoordinasi
antarinstansi atau departemen.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan lahan untuk
keperluan budi daya tanaman pakan, pengadaan pakan di dalam negeri, dan
pemasukan pakan dari luar negeri.
(3) Pengadaan dan/atau pembudidayaan tanaman pakan dilakukan melalui system
pertanaman monokultur dan/atau terpadu dengan jenis tanaman lain dengan tetap
mempertimbangkan ekosistem sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang sis tem budi daya tanaman.
(4) Dalam rangka pengadaan pakan dan/atau bahan pakan yang tergolong bahan pangan,
Pemerintah mengutamakan bahan baku pakan lokal.
(5) Pengadaan dan penggunaan pakan dan/atau bahan pakan yang berasal dari organisme
transgenik harus memenuhi persyaratan keamanan hayati.
Pasal 22
(1) Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau bahan pakan untuk diedarkan secara
komersial wajib memperoleh izin usaha.
(2) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau
persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara
pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berlabel sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4) Setiap orang dilarang:
a. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;
b. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan ruminansia yang mengandung bahan
pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau
c. menggunakan pakan yang dicampur hormone tertentu dan/atau antibiotik
imbuhan pakan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c ditetapkan
dengan Peratur an Menteri.
Pasal 23
Setiap pakan dan/atau bahan pakan yang dimasukkan dari luar negeri atau dikeluarkan
dari dalam negeri harus memenuhi ketentuan persyaratan teknis kesehatan hewan dan
peraturan perundang-undangan di bidang karantina.
Bagian Ketiga
Alat dan Mesin Peternakan
Pasal 24
(1) Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin peternakan yang
peredarannya perlu diawasi.
(2) Alat dan mesin peternakan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus mengutamakan keselamatan dan
keamanan pemakainya.
(3) Alat dan mesin peternakan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
peredarannya perlu diawasi wajib diuji sebelum diedarkan.
Pasal 25
(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan alat dan mesin peternakan dari
luar negeri untuk diedarkan wajib menyediakan suku cadang.
(2) Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri alat dan mesin
peternakan dalam negeri.
(3) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengadaan dan
peredaran alat dan mesin peternakan.
(4) Alat dan mesin peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan
mengandung suku cadang lokal dan melibatkan masyarakat dala m alih teknologi.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai alat dan mesin peternakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Budi daya merupakan usaha untuk menghasilkan hewan peliharaan dan produk
hewan.
(2) Pengembangan budi daya dapat dilakukan dalam suatu kawasan budi daya sesuai
dengan ketentuan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Penetapan suatu kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
berdasarkan Peraturan Menteri dengan berpedoman pada peraturan perundang-
undangan di bidang penataan ruang.
(4) Pelaksanaan budi daya dengan memanfaatkan satwa liar dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal 28
(1) Pemerintah menetapkan hewan hasil budi daya yang memanfaatkan satwa liar sebagai
ternak sepanjang populasinya telah mengalami kestabilan genetik tanpa bergantung
lagi pada populasi jenis tersebut di habitat alam.
(2) Satwa liar baik dari habitat alam maupun hasil penangkaran dapat dimanfaatkan di
dalam budi daya untuk menghasilkan hewan peliharaan sepanjang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan tentang konservasi satwa liar.
(3) Satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk satwa liar
yang seluruh dan/atau sebagian daur hidupnya berada di air.
Pasal 29
(1) Budi daya ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, serta
pihak tertentu untuk kepentingan khusus.
(2) Peternak yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah ternak di bawah
skala usaha tertentu diberikan tanda daftar usaha peternakan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
(3) Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah
ternak di atas skala usaha tertentu wajib memiliki izin usaha peternakan dari
pemerintah daerah kabupaten / kota.
(4) Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang mengusahakan ternak
dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya ternak yang baik
dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang ditetapkan
oleh Menteri.
(5) Pemerintah berkewajiban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari
persaingan tidak sehat di antara pelaku pasar.
Pasal 30
(1) Budi daya hanya dapat diselenggarakan oleh perorangan warga Negara Indonesia atau
korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum Indonesia.
(2) Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan pihak asing sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait.
Pasal 31
(1) Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak berdasarkan
perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan serta
berkeadilan.
(2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
a. antarpeternak;
b. antara peternak dan perusahaan peternakan;
c. antara peternak dan perusahaan di bidang lain; dan
Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengupayakan agar sebanyak mungkin warga
masyarakat menyelenggarakan budi daya ternak.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan membina pengembangan budi
daya yang dilakukan oleh peternak dan pihak tertentu yang mempunyai kepentingan
khusus.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan memberikan fasilitas untuk
pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan badan usaha di bidang peternakan.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 32 diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kelima
Panen, Pascapanen, Pemasaran, dan
Industri Pengolahan Hasil Peternakan
Pasal 34
(1) Peternak dan perusahaan peternakan melakukan tata cara panen yang baik untuk
mendapatkan hasil produksi dengan jumlah dan mutu yang tinggi.
(2) Pelaksanaan panen hasil budi daya harus mengikuti syarat kesehatan hewan,
keamanan hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika.
Pasal 35
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengembangan unit pascapanen
produk hewan skala kecil dan menengah.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi berkembangnya unit usaha
pascapanen yang memanfaatkan produk hewan sebagai bahan baku pangan, pakan,
farmasi, dan industri.
Pasal 36
(1) Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan
pemasaran hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri maupun ke luar
negeri.
(2) Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk membina
peningkatan produksi dan konsumsi protein hewani dalam mewujudkan ketersediaan
pangan bergizi seimbang bagi masyarakat dengan tetap meningkatkan kesejahteraan
pelaku usaha peternakan.
(3) Pengeluaran hewan atau ternak dan produk hewan ke luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah
mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
(4) Pemasukan hewan atau ternak dan produk hewan dari luar negeri dilakukan apabila
produksi dan pasokan hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri belum
mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
(5) Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi hewan atau
ternak dan produk hewan.
Pasal 37
(1) Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan produk
hewan dengan mengutamakan penggunaan bahan baku dari dalam negeri.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai panen, pascapanen, pemasaran, dan industri pengolahan
hasil peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37, kecuali
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang industri, diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB V
KESEHATAN HEWAN
Bagian Kesatu
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan
Pasal 39
(1) Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan merupakan penyelenggaraan
kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan dalam bentuk pengamatan dan
pengidentifikasian, pencegahan, pengamanan, pemberantasan, dan/atau pengobatan.
(2) Urusan kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
(3) Dalam rangka mengefektifkan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melalui berbagai pendekatan dalam urusan
kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mengembangkan
kebijakan kesehatan hewan nasional untuk menjamin keterpaduan dan
kesinambungan penyelenggaraan kesehatan hewan di berbagai lingkungan ekosistem.
Pasal 40
(1) Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (1) dilakukan melalui kegiatan surveilans dan pemetaan, penyidikan dan
peringatan dini, pemeriksaan dan pengujian, serta pelaporan.
(2) Menteri menetapkan jenis penyakit hewan, peta dan status situasi penyakit hewan,
serta penyakit eksotik yang mengancam kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan
berdasarkan hasil pengamatan dan pengidentifikasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan dilakukan oleh laboratorium
veteriner yang terakreditasi.
(4) Dalam hal laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum ada, Menteri
menetapkan laboratorium untuk melakukan pengamatan dan pengidentifikasian
penyakit hewan.
(5) Menteri menetapkan pedoman pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 41
Pencegahan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan.
Pasal 42
(1) Pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
dilaksanakan melalui:
a. penetapan penyakit hewan menular strategis;
Pasal 43
(1) Menteri menetapkan jenis penyakit hewan menular strategis dalam rangka
pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
huruf a.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan
pengamanan terhadap penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Pengamanan terhadap jenis penyakit hewan selain penyakit hewan menular strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh masyarakat.
(4) Setiap orang yang memelihara dan/ atau mengusahakan hewan wajib melakukan
pengamanan terhadap penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 44
(1) Pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 meliputi
penutupan daerah, pembatasan lalu lintas hewan, pengebalan hewan, pengisolasian
hewan sakit atau terduga sakit, penanganan hewan sakit, pemusnahan bangkai,
pengeradikasian penyakit hewan, dan pendepopulasian hewan.
(2) Pendepopulasian hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memerhatikan status konservasi hewan dan/atau status mutu genetik hewan.
(3) Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan
depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang berdasarkan pedoman
pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberantasan penyakit hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 45
(1) Setiap orang, termasuk peternak, pemilik hewan, dan perusahaan peternakan yang
berusaha di bidang peternakan yang mengetahui terjadinya penyakit hewan menular
wajib melaporkan kejadian tersebut kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
dokter hewan berwenang setempat.
(2) Menteri menetapkan status daerah sebagai daerah tertular, daerah terduga, dan daerah
bebas penyakit hewan menular, serta pedoman pemberantasannya.
(3) Pemerintah daerah provinsi mengawasi penerapan pedoman pemberantasan penyakit
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 46
(1) Menteri menyatakan dan mengumumkan kepada masyarakat luas kejadian wabah
penyakit hewan menular di suatu wilayah berdasarkan laporan gubernur dan/atau
bupati/walikota setelah memperoleh hasil investigasi laboratorium veteriner dari
pejabat otoritas veteriner di wilayah setempat.
(2) Dalam hal suatu wilayah dinyatakan sebagai daerah wabah, pemerintah daerah
provinsi atau pemerintah daerah kabupaten atau kota wajib menutup daerah tertular,
melakukan pengamanan, pemberantasan, dan pengobatan hewan, serta pengalokasian
dana yang memadai di samping dana Pemerintah.
(3) Dalam hal wabah penyakit hewan menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan penyakit hewan menular eksotik, tindakan pemusnahan harus dilakukan
terhadap seluruh hewan yang tertular dengan memerhatikan status konservasi hewan
yang bersangkutan.
(4) Tindakan pemusnahan hewan langka dan/atau yang dilindungi dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
(5) Setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan,
dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah
tertular dan/ atau terduga ke daerah bebas.
(6) Ketentuan pemberantasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemusnaan
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi bibit ternak yang
diproduksi oleh perusahaan peternakan di bidang pembibitan yang dinyatakan bebas
oleh otoritas veteriner.
(7) Pernyataan bebas penyakit menular pada perusahaan peternakan di bidang pembibitan
oleh otoritas veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 47
(1) Pengobatan hewan menjadi tanggung jawab pemilik hewan, peternak, atau
perusahaan peternakan, baik sendiri maupun dengan bantuan tenaga kesehatan
hewan.
(2) Pengobatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menggunakan obat
keras dan/atau obat yang diberikan secara parenteral harus dilakukan di bawah
pengawasan dokter hewan.
(3) Hewan atau kelompok hewan yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
berdasarkan visum dokter hewan harus dieutanasia dan/atau dimusnahkan oleh tenaga
kesehatan hewan dengan memerhatikan ketentuan kesejahteraan hewan.
(4) Hewan atau kelompok hewan yang menderita penyakit menular dan tidak dapat
disembuhkan berdasarkan visum dokter hewan berwenang serta membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan harus dimusnahkan atas permintaan pemilik
hewan, peternak, perusahaan peternakan, Pemerintah, dan/atau Pemerintah Daerah.
(5) Pemerintah tidak memberikan kompensasi bagi hewan yang berdasarkan pedoman
pemberantasan wabah penyakit hewan harus dimusnahkan.
(6) Pengeutanasiaan atau pemusnahan hewan atau kelompok hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh dokter hewan dan/atau tenaga
kesehatan hewan di bawah pengawasan dokter hewan dengan memerhatikan
ketentuan kesejahteraan hewan.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamatan, pengamanan, pemberantasan penyakit
hewan, pengobatan, maupun persyaratan teknis kesehatan hewan, termasuk pemberian
kompensasi sebaga imana dimaksud dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 47 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
(1) Berdasarkan sediaannya, obat hewan dapat digolongkan ke dalam sediaan biologik,
farmakoseutika, premiks, dan obat alami.
(2) Berdasarkan tingkat bahaya dalam pemakaian dan akibatnya, obat hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menjadi obat keras, obat bebas
terbatas, dan obat bebas.
(3) Untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutan sediaan biologik, biang isolat lokal
disimpan di laboratorium dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan veteriner.
(4) Untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutan sediaan premiks dalam
pengembangan peternakan skala kecil dan menengah, Pemerintah memfasilitasi
distribusi sediaan premiks dalam negeri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai distribusi sediaan premiks sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 50
(1) Obat hewan yang dibuat dan disediakan dengan maksud untuk diedarkan harus
memiliki nomor pendaftaran.
(2) Untuk memperoleh nomor pendaftaran, setiap obat hewan harus didaftarkan, dinilai,
diuji, dan diberikan sertifikat mutu setelah lulus penilaian dan pengujian.
(3) Pembuatan, penyediaan, peredaran, dan pengujian obat hewan harus dilakukan di
bawah pengawasan otoritas veteriner.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan
pengawasan atas pembuatan, penyediaan, dan peredaran obat hewan.
Pasal 51
(1) Obat keras yang digunakan untuk pengamanan penyakit hewan dan/atau pengobatan
hewan sakit hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan.
(2) Pemakaian obat keras harus dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga kesehatan
hewan di bawah pengawasan dokter hewan.
(3) Setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya
untuk konsumsi manusia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan menggunakan obat hewan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 52
(1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan, penyediaan, dan/atau peredaran
obat hewan wajib memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan
yang:
a. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia;
b. tidak memiliki nomor pendaftaran;
c. tidak diberi label dan tanda; dan
d. tidak memenuhi standar mutu.
Pasal 53
(1) Pembuatan sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia yang bertujuan
untuk melindungi kepentingan nasional dan membantu pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan di negara lain wajib memenuhi persyaratan
keamanan hayati yang tinggi.
(2) Pembuatan sediaan biologik yang biang isolatnya tidak ada di Indonesia yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional dan membantu pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan di negara lain wajib memenuhi persyaratan
keamanan hayati yang tinggi.
Pasal 54
(1) Penyediaan obat hewan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri.
(2) Dalam hal obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat diproduksi
atau belum mencukupi kebutuhan dalam negeri, penyediaannya dapat dipenuhi
melalui produk luar negeri.
(3) Pemasukan obat hewan untuk diedarkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus memenuhi persyaratan peredaran obat hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) dan peraturan perundang- undangan di bidang karantina.
(4) Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar negeri harus mengutamakan
kepentingan nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan pengeluaran dari dan ke luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Ketiga
Alat dan Mesin Kesehatan Hewan
Pasal 55
(1) Pemerintah menetapkan jenis dan standar mutu alat dan mesin kesehatan hewan yang
pengadaan dan peredarannya perlu dilakukan pengawasan.
(2) Alat dan mesin kesehatan hewan yang dibuat atau dimasukkan untuk diedarkan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi standar mutu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Setiap orang yang membuat, memasukkan, dan mengedarkan alat dan mesin
kesehatan hewan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan pelayanan purnajual dan alih teknologi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai alat dan mesin kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN
KESEJAHTERAAN HEWAN
Bagian kesatu
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Pasal 56
Kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam
bentuk:
a. pengendalian dan penanggulangan zoonosis;
b. penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan;
c. penjaminan higiene dan sanitasi;
d. pengembangan kedokteran perbandingan; dan
e. penanganan bencana.
Pasal 57
(1) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan kesehatan menetapkan jenis
zoonosis yang memerlukan prioritas pengendalian dan penanggulangan.
(2) Pengendalian dan penanggulangan zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara mutatis mutandis mengikuti ketentuan dalam Pasal 40 sampai
dengan Pasal 47.
Pasal 58
(1) Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan,
pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.
(2) Pengawasan dan pemeriksaan produk hewan berturut-turut dilakukan di tempat
produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu
dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah
pengawetan.
(3) Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan dilakukan terhadap produk
hewan yang diproduksi di dan/ atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat
halal.
(5) Produk hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh negara
pengimpor.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Menteri.
(7) Untuk pangan olahan asal hewan, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pangan.
Pasal 59
(1) Setiap orang yang akan memasukkan produk hewan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia wajib memperoleh izin pemasukan dari menteri yang
terkait di bidang perdagangan setelah memperoleh rekomendasi:
a. untuk produk hewan segar dari Menteri; atau
b. untuk produk hewan olahan dari pimpinan instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengawasan obat dan makanan dan/atau Menteri.
(2) Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha
produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi
persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.
(3) Produk hewan olahan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang masih
mempunyai risiko penyebaran zoonosis yang dapat mengancam kesehatan manusia,
hewan, dan lingkungan budi daya, harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri
sebelum dikeluarkannya rekomendasi dari pimpinan instansi yang bertanggung jawab
di bidang pengawasan obat dan makanan.
(4) Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasiona l yang berbasis analisis risiko di
bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan
kepentingan nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan
kedalam wilayah Negara Kesatuan Repub lik Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 61
(1) Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus:
a. dilakukan di rumah potong; dan
b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat
veteriner dan kesejahteraan hewan.
(2) Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memerhatikan kaidah agama dan
unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.
(3) Menteri menetapkan persyaratan rumah potong dan tata cara pemotonga n hewan yang
baik.
(4) Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara
adat, dan pemotongan darurat.
Pasal 62
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang
memenuhi persyaratan teknis.
(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh
setiap orang setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota.
(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di
bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan
masyarakat veteriner.
Pasal 63
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib
menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi.
(2) Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan:
a. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah pemotongan
hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan tempat
penjualan atau penjajaan serta alat dan rnesin produk hewan;
b. surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau cemaran
kimia; dan
c. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas tersebut.
(3) Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 64
Pemerintah dan pemerintah daerah mengantisipasi ancaman terhadap kesehatan
masyarakat yang ditimbulkan oleh hewan dan/atau perubahan lingkungan sebagai
dampak bencana alam yang memerlukan kesiagaan dan cara penanggulangan terhadap
zoonosis, masalah higiene, dan sanitasi lingkungan.
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasah, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, dan
sertifikasi produk hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), tata cara
pemasukan produk hewan olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b,
Bagian Kedua
Kesejahteraan Hewan
Pasal 66
(1) Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan
penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan
perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan
pengayoman yang wajar terhadap hewan.
(2) Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara manusiawi yang meliputi:
a. penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan- undangan di bidang konservasi;
b. penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga
memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya;
c. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan
dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit,
penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;
d. pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas
dari rasa takut dan tertekan serta bebas dari penganiayaan;
e. penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga
hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan;
f. pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga
hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiyaan, dan
penyalahgunaan; dan
g. perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan
penyalahgunaan.
(3) Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan diberlakukan
bagi semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak
bertulang belakang yang dapat merasa sakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 67
Penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat.
BAB VII
OTORITAS VETERINER
Pasal 68
(1) Penyelenggaraan kesehatan hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia memerlukan otoritas veteriner.
(2) Dalam rangka pelaksanaan otoritas veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah menetapkan Siskeswanas.
(3) Dalam pelaksanaan Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya menetapkan dokter hewan
berwenang, meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan penyelenggaraan kesehatan
hewan, serta melaksanakan koordinasi dengan memerhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah.
(4) Dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri dapat melimpahkan kewenangannya
kepada otoritas veteriner.
Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner,
pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa
medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan atau pos kesehatan
hewan.
(2) Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin usaha dari bupati/walikota.
Pasal 70
(1) Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan hewan, Pemerintah mengatur
penyediaan dan penempatan tenaga kesehatan hewan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan kebutuhan.
(2) Tenaga kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga
medik veteriner, sarjana kedokteran hewan, dan tenaga paramedik veteriner.
(3) Tenaga medik veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas dokter
hewan dan dokter hewan spesialis.
(4) Tenaga paramedik veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki diploma
kesehatan hewan dan/atau ijazah sekolah kejuruan kesehatan hewan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tenaga kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 71
(1) Tenaga medik veteriner melaksanakan segala urusan kesehatan hewan berdasarkan
kompetensi medik veteriner yang diperolehnya dalam pendidikan kedokteran hewan.
(2) Tenaga paramedik veteriner dan sarjana kedokteran hewan melaksanakan urusan
kesehatan hewan yang menjadi kompetensinya dan dilakukan di bawah penyeliaan
dokter hewan.
(3) Dokter hewan spesialis dan/atau dokter hewan yang memperoleh sertifikat
kompetensi dari organisasi profesi kedokteran hewan dan/atau sertifikat yang diakui
oleh Pemerintah dapat melaksanakan urusan kesehatan hewan.
(4) Dalam menjalankan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tenaga
kesehatan hewan wajib mematuhi kode etik dan memegang teguh sumpah atau janji
profesinya.
Pasal 72
(1) Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib
memiliki surat izin praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh bupati/walikota.
(2) Untuk mendapatkan surat izin praktik kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tenaga kesehatan hewan yang bersangkutan mengajukan surat permohonan
untuk memperoleh surat izin praktik kepada bupati/walikota disertai dengan sertifikat
kompetensi dari organisasi profesi kedokteran hewan.
(3) Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan praktik pelayanan kesehatan hewan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau
multilateral antara pihak Indonesia dan negara atau lembaga asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 74
(1) Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan hewan sebagai hewan laboratorium dan
hewan model penelitian dan/atau pemanfaatan organ hewan untuk kesejahteraan
manusia diterapkan ilmu kedokteran perbandingan.
(2) Penerapan ilmu kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan:
a. di bawah penyeliaan dokter hewan yang kompeten;
b. berdasarkan etika hewan dan etika kedokteran hewan; dan
c. dengan mempertimbangkan kesejahteraan hewan.
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 sampai dengan Pasal 74 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PEMBERDAYAAN PETERNAK DAN USAHA
DI BIDANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
Pasal 76
(1) Pemberdayaan peternak, usaha di bidang peternakan, dan usaha di bidang kesehatan
hewan dilakukan dengan memberikan kemudahan bagi kemajuan usaha di bidang
peternakan dan kesehatan hewan serta peningkatan daya saing.
(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta informasi;
b. pelayanan peternakan, pelayanan kesehatan hewan, dan bantuan teknik;
c. penghindaran pengenaan biaya yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi;
d. pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi antarpelaku usaha;
e. penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau meningkatan kewirausahaan;
f. pengutamaan pemanfaatan sumber daya peternakan dan kesehatan hewan dalam
negeri;
g. pemfasilitasan terbentuknya kawasan pengembangan usaha peternakan;
h. pemfasilitasan pelaksanaan promosi dan pemasaran; dan/atau
i. perlindungan harga dan produk hewan dari luar negeri.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan di bidang
peternakan dan kesehatan hewan melakukan pemberdayaan peternak guna
meningkatkan kesejahteraan peternak.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong dan memfasilitasi pengembangan
produk hewan yang ditetapkan sebagai bahan pangan pokok strategis dalam
mewujudkan ketahanan pangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 77
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melindungi peternak dari perbuatan yang
mengandung unsur pemerasan oleh pihak lain untuk memperoleh pendapatan yang
layak.
BAB IX
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 78
(1) Sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan meliputi aparat
Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan semua pihak yang terkait dengan
bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(2) Sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) perlu ditingkatkan dan dikembangkan kualitasnya untuk lebih
meningkatkan keterampilan, keprofesionalan, kemandirian, dedikasi, dan akhlak
mulia.
(3) Pengembangan kualitas sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan
hewan dilaksanakan dengan cara:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. penyuluhan; dan/atau
c. pengembangan lainnya dengan memerhatikan kebutuhan kompetensi kerja,
budaya masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah melalui institusi pendidikan dan dunia usaha
memfasilitasi dan mengembangkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang
berkaitan dengan penyediaan sumber daya manusia yang kompeten di bidang
peternakan dan kesehatan hewan.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan penyuluhan peternakan dan
kesehatan hewan serta mendorong dan membina peran serta masyarakat untuk
melaksanakan peternakan dan kesehatan hewan yang baik.
(6) Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan
publik di bidang peternakan dan kesehatan hewan melalui upaya peningkatan
kesadaran gizi masyarakat dalam mengonsumsi produk hewan yang aman, sehat,
utuh, dan halal.
(7) Pemerintah mengembangkan dan memfasilitasi berbagai cara pengembangan sumber
daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan he wan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai cara pengembangan kualitas sumber daya manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.
BABX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 79
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan peternakan dan kesehatan hewan.
(2) Penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan dapat
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, institusi pendidikan, perorangan,
lembaga swadaya masyarakat, atau dunia usaha, baik secara sendiri-sendiri maupun
bekerja sama.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan mengembangkan adanya kerja sama
yang baik antarpenyelenggara penelitian dan pengembangan di bidang peternakan
dan kesehatan hewan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Pasal 81
Negara memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual hasil aplikasi ilmu
pengetahuan dan invensi teknologi di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
Pasal 82
Penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan rekayasa genetik di bidang
peternakan dan kesehatan hewan dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan
kaidah agama; kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan; kesejahteraan
hewan; serta tidak merugikan keanekaragaman hayati.
Pasal 83
Ketentuan mengenai pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang peternakan dan kesehatan hewan mengikuti
ketentuan peraturan perundang- undangan.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 84
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya meliputi
peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang sehubungan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti
pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang peternakan dan kesehatan hewan; dan/atau
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum sesuai Kitab Undang-Undang Huk um Acara Pidana.
Pasal 85
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19
ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1),
Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3),
Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat
(5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3),
Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin,
atau produk hewan dari peredaran;
d. pencabutan izin; atau
e. pengenaan denda.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(4) Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada huruf e dikenakan kepada setiap orang
yang:
a. menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif paling sedikit sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah);
b. menyembelih ternak ruminansia besar betina produktif paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah); dan
c. melanggar selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(5) Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditambah 1/3 (sepertiga) dari
denda tersebut jika pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pejabat yang berwenang atau korporasi.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 86
Setiap orang yang menyembelih:
a. ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6
(enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rup iah) dan
paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan
b. ternak ruminansia besar betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9
(sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan
paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 87
Setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(4) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9
(sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta
rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 89
(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran atas tindakan mengeluarkan dan/atau
memasukkan hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya
dari dan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (5), Pasal 58 ayat (5), dan Pasal 59 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, atau
media pembawa penyakit hewan lainnya ke dalam wilayah bebas dari wilayah tertular
atau terduga tertular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5), Pasal 59 ayat
(3), dan Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
Pasal 90
Setiap orang yang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk
konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) dipidana dengan
pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 91
Setiap orang yang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.800.000.000,00 (satu
miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 92
(1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi atau pejabat yang berwenang,
pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3
(sepertiga) dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 sampai dengan
Pasal 91.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi atau pejabat
yang berwenang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, status
badan hukum, atau status kepegawaian dari pejabat yang berwenang.
Pasal 93
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 90,
dan Pasal 91 merupakan pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 merupakan kejahatan.
Pasal 94
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. nomor pendaftaran obat hewan, pakan, alat dan mesin peternakan dan kesehatan
hewan, pangan asal hewan, dan usaha pemotongan dinyatakan tetap berlaku sampai
habis masa berlakunya untuk selanjutnya di sesuaikan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya;
b. permohonan untuk memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang diajukan dan sedang dalam proses diselesaikan berdasarkan ketentuan
peraturan pelaksanaan di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
c. izin usaha peternakan, izin usaha obat hewan, izin usaha pemotongan hewan, izin
pelayanan kesehatan hewan, dan izin praktik dokter hewan dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum dicabut dengan Undang-Undang ini;
dan/atau
d. permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada huruf c yang
diajukan dan sedang dalam proses diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan dan peraturan pelaksanaannya.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 95
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang peternakan
dan kesehatan hewan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang
baru yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 96
Ketentuan praktik kedokteran hewan dan ketentuah veteriner yang belum cukup diatur
dalam Undang-Undang ini akan diatur tersendiri dengan undang-undang.
Pasal 97
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini:
a. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden harus telah ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan;
b. Peraturan atau Keputusan Menteri harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan; dan
c. Peraturan Pemerintah Daerah harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak
peraturan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b ditetapkan.
Pasal 98
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1967 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2824);
2. Ketentuan yang mengatur kehewanan yang tercantum dalam:
a. peninjauan kembali ketentuan mengenai pengawasan praktik dokter hewan dan
kebijakan kehewanan (Herziening van de bepalingen omtrent het
Veeartsnijkundige staatstoezicht en de Veeartsnijkundige politie, Staatsblad
Tahun 1912 Nomor 432);
b. desentralisasi dari wewenang pusat sesuai dengan ketentuan dalam Staatsblad
Tahun 1914 Nomor 486, membuka kemungkinan pelimpahan pelaksanaan kepada
tiap-tiap kepala daerah untuk penanggulangan penyakit hewan menular pada
hewan ternak dan gedung yang menjadi sarang tikus (Decenstralisatie
Pasal 99
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
I. UMUM
Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan
keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya
hewan dan tumbuhan, sebagai anugerah sekaligus amanah Tuhan Yang Maha Esa.
Kekayaan tersebut perlu dimanfaatkan dan dilestarikan dalam mewujudkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam rangka memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati tersebut
diselenggarakan peternakan dan kesehatan hewan secara sendiri maupun terintegrasi
dengan budi daya tanaman pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan; dengan
pendekatan sistem agrobisnis peternakan dan sistem kesehatan hewan; serta
penerapan asas kemanfaatan dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan
dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan
keprofesionalan.
Kedua hal tersebut harus diselenggarakan secara sinergis untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas sumber daya hewan; menyediakan pangan yang aman, sehat,
utuh, dan halal; meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan;
menyediakan jasa dan bahan baku industri; mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi; meningkatkan pendapatan dan devisa negara; memperluas kesempatan
berusaha dan kesempatan kerja; serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peternakan perlu dikembangkan wawasan
dan paradigma baru di bidang peternakan agar investasi, inovasi, dan pemberdayaan
di bidang peternakan terus berlanjut dan meningkat sehingga meningkatkan daya
saing bangsa dan kesetaraan dengan bangsa lain yang lebih maju.
Untuk menunjang keberhasilan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan
diatur juga mengenai pemberdayaan peternak, perusahaan peternakan dan pelayanan
kesehatan hewan, pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan
pengembangan, serta sumber daya permodalan.
Disadari bahwa pengaturan dalam Undang-Undang ini belum sepenuhnya mencakup
aspek kehewanan dalam arti luas. Jangkauan pengaturan baru pada hewan budi daya,
yaitu ternak, hewan kesayangan, dan hewan laboratorium. Untuk itulah diperlukan
suatu undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai aspek kehewanan secara
komprehensif termasuk pengaturan praktik kedokteran hewan (veteriner).
Selain upaya tersebut, dalam menciptakan suasana yang kondusif dalam
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, dikembangkan sistem jaminan
penegakan hukum berupa pengenaan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi
pidana, terhadap perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian negara atau
kepentingan orang banyak.
Pembentukan Undang-Undang ini juga mempertimbangkan komitmen Indonesia
untuk melakukan penyesuaian dan penyetaraan peraturan perundang-undangan
dengan ketentuan konvensi internasional. Misalnya, General Agreement on Trade
and Tariffs (GATT), khususnya tentang Agreement on the Application of Sanitary
and Phytosanitary Measures (SPS) yang mengatur tentang impor dan ekspor produk
hewan dan perlindungan terhadap kehidupan atau kesehatan manusia, hewan,
tanaman, dan lingkungan.
Di samping itu, dalam menyusun Undang-Undang ini dipertimbangkan pula semua
produk undang- undang yang telah diundangkan meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
Sejalan dengan hal tersebut di atas dan untuk melakukan unifikasi hukum khususnya
yang terkait dengan peternakan dan kesehatan hewan serta untuk menjawab
kebutuhan dan perkembangan zaman, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan berbagai
Ordonnantie peninggalan Pemerintah Hindia Belanda perlu diganti dengan undang-
undang yang baru di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang dapat memberikan
kepastian hukum, keadilan, dan ketenteraman batin masyarakat dalam
penyelenggaraan semua kegiatan yang berkaitan dengan peternakan dan kesehatan
hewan.
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 65 dan untuk memberikan
pengaturan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan
Hewan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT
VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
a. Kesehatan Masyarakat Veteriner;
b. Kesejahteraan Hewan; dan
c. penanganan Hewan akibat Bencana Alam.
BAB II
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Kesehatan Masyarakat Veteriner meliputi:
a. penjaminan Higiene dan Sanitasi;
b. penjaminan produk Hewan; dan
c. Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.
(2) Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. produk pangan asal Hewan;
b. produk Hewan nonpangan yang berpotensi membawa risiko Zoonosis
secara langsung kepada manusia; dan
c. produk Hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit ke Hewan
dan lingkungan.
(3) Produk Hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit ke Hewan
dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersendiri.
Paragraf 1
Umum
Pasal 4
(1) Penjaminan Higiene dan Sanitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan menerapkan cara yang baik pada
rantai produksi produk Hewan.
(2) Cara yang baik pada rantai produksi produk Hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi cara yang baik:
a. di tempat budidaya;
b. di tempat produksi pangan asal Hewan;
c. di tempat produksi produk Hewan nonpangan;
d. di rumah potong Hewan;
e. di tempat pengumpulan dan penjualan; dan
f. dalam pengangkutan.
(3) Unit Usaha produk Hewan yang telah menerapkan cara yang baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara terus menerus, diberikan
Nomor Kontrol Veteriner.
Paragraf 2
Cara yang Baik di Tempat Budidaya
Pasal 5
(1) Cara yang baik di tempat budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf a dilakukan untuk:
a. Hewan potong;
b. Hewan perah; dan
c. unggas petelur.
(2) Cara yang baik untuk Hewan potong sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan dengan:
a. pemisahan Hewan baru dari Hewan lama dan Hewan sakit dari Hewan
sehat;
b. penjaminan kebersihan kandang, peralatan, dan lingkungannya;
c. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
d. pemberian obat Hewan di bawah Pengawasan Dokter Hewan; dan
e. pemberian pakan yang aman dan sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.
(3) Cara yang baik untuk Hewan perah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan kandang, peralatan, dan lingkungannya;
b. penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan terutama ambing;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
d. pemisahan Hewan baru dari Hewan lama dan Hewan sakit dari Hewan
sehat;
e. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
f. pemberian obat Hewan di bawah Pengawasan Dokter Hewan; dan
g. pemberian pakan yang aman dan sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.
(4) Cara yang baik untuk unggas petelur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan kandang, peralatan, dan lingkungannya;
b. penjaminan kesehatan dan kebersihan unggas;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
d. pencegahan tercemarnya telur oleh bahaya biologis, kimiawi, dan fisik;
e. pemisahan unggas baru dari unggas lama dan unggas sakit dari unggas
sehat;
f. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
g. pemberian obat Hewan di bawah Pengawasan Dokter Hewan; dan
Paragraf 3
Cara yang Baik di Tempat Produksi Pangan Asal Hewan
Pasal 6
Cara yang baik di tempat produksi pangan asal Hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya;
b. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel; dan
d. pencegahan tercemarnya pangan asal Hewan oleh bahaya biologis, kimiawi,
dan fisik.
Paragraf 4
Cara yang Baik di Tempat Produksi Produk Hewan Nonpangan
Pasal 7
Cara yang baik di tempat produksi produk Hewan nonpangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya;
b. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel; dan
d. pencegahan tercemarnya produk Hewan nonpangan oleh bahaya biologis,
kimiawi, dan fisik.
Paragraf 5
Cara yang Baik di Rumah Potong Hewan
Pasal 8
(1) Pemotongan Hewan potong yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di
rumah potong Hewan yang:
a. memenuhi persyaratan teknis yang diatur oleh Menteri; dan
b. menerapkan cara yang baik.
(2) Pendirian rumah potong Hewan harus memenuhi persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Cara yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
dengan:
a. pemeriksaan kesehatan Hewan potong sebelum dipotong;
b. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan
lingkungannya;
c. penjaminan kecukupan air bersih;
d. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
e. pengurangan penderitaan Hewan potong ketika dipotong;
f. penjaminan penyembelihan yang Halal bagi yang dipersyaratkan dan
bersih;
g. pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan potong
dipotong; dan
h. pencegahan tercemarnya karkas, daging, dan jeroan dari bahaya
biologis, kimiawi, dan fisik.
(4) Pemeriksaan kesehatan Hewan potong sebelum dipotong dan pemeriksaan
kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan potong dipotong sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf g harus dilakukan oleh Dokter
Hewan di rumah potong Hewan atau paramedik Veteriner di bawah
Pengawasan Dokter Hewan Berwenang.
Pasal 10
(1) Pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf g dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan insisi.
(2) Hasil pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang aman dan layak dikonsumsi dinyatakan dalam bentuk:
a. pemberian stempel pada karkas dan label pada jeroan yang bertuliskan
“telah diperiksa oleh Dokter Hewan”; dan
b. surat keterangan kesehatan daging.
(3) Jeroan dan karkas yang berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak aman dan tidak
layak dikonsumsi wajib dimusnahkan di rumah potong Hewan.
Pasal 11
Pemotongan Hewan potong dapat dilakukan di luar rumah potong Hewan
dalam hal untuk:
a. upacara keagamaan;
b. upacara adat; atau
c. pemotongan darurat.
Pasal 12
Pemotongan Hewan potong untuk keperluan upacara keagamaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf a hanya dapat dilakukan apabila di suatu
kabupaten/kota:
a. belum memiliki rumah potong Hewan; atau
b. kapasitas pemotongan di rumah potong Hewan yang ada tidak memadai.
Pasal 13
Pemotongan Hewan potong untuk keperluan upacara adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf b hanya dapat dilakukan dalam rangka
upacara pemakaman atau pernikahan pada masyarakat tertentu.
Pasal 14
Pemotongan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c hanya
dapat dilakukan pada Hewan potong dalam kondisi:
a. mengalami kecelakaan; atau
b. korban Bencana Alam yang bersifat nonbiologi yang mengancam jiwanya.
Pasal 15
(1) Pelaksanaan pemotongan Hewan potong untuk keperluan upacara
keagamaan dan upacara adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf
a dan huruf b paling sedikit harus memenuhi persyaratan cara yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf
g.
Pasal 16
(1) Pelaksanaan pemotongan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf c paling sedikit harus memenuhi persyaratan cara yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf g.
(2) Pelaksanaan pemotongan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah pemilik atau penanggung jawab Hewan terlebih dahulu
melapor kepada Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat
Veteriner kabupaten/kota.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan kriteria Hewan potong serta
persyaratan cara yang baik di rumah potong diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 6
Cara yang Baik di Tempat Pengumpulan dan Penjualan
Pasal 18
(1) Cara yang baik di tempat pengumpulan dan penjualan produk Hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan
lingkungannya;
b. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
d. pencegahan tercemarnya produk Hewan oleh bahaya biologis, kimiawi,
dan fisik yang berasal dari petugas, alat, dan proses produksi;
e. pemisahan produk Hewan yang Halal dari produk Hewan atau produk
lain yang tidak Halal;
f. penjaminan suhu ruang tempat pengumpulan dan penjualan produk
Hewan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme;
dan
g. pemisahan produk Hewan dari Hewan dan komoditas selain produk
Hewan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai cara yang baik di tempat pengumpulan
dan penjualan produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 7
Cara yang Baik Dalam Pengangkutan
Pasal 19
Cara yang baik dalam pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf f dilakukan untuk:
a. Hewan potong, Hewan perah, unggas petelur; dan
b. produk Hewan.
Pasal 20
Cara yang baik dalam pengangkutan Hewan potong, Hewan perah, dan unggas
petelur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dilakukan dengan
penjaminan:
a. kebersihan alat angkut;
b. kesehatan dan kebersihan Hewan; dan
c. kesehatan dan kebersihan personel.
Pasal 21
Cara yang baik dalam pengangkutan produk Hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf b dilakukan dengan:
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai cara yang baik dalam pengangkutan diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 8
Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner
Pasal 23
(1) Setiap Unit Usaha produk Hewan wajib mengajukan permohonan untuk
memperoleh Nomor Kontrol Veteriner kepada pemerintah provinsi
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) diberikan Nomor
Kontrol Veteriner.
(3) Pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan kepada Unit Usaha
yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3).
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Dalam hal setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Unit
Usaha belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3), pemerintah kabupaten/kota wajib mencabut izin usaha Unit
Usaha yang bersangkutan.
Pasal 24
(1) Nomor Kontrol Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
diberikan dalam bentuk sertifikat Nomor Kontrol Veteriner oleh Otoritas
Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner di provinsi atas nama
gubernur.
(2) Nomor Kontrol Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan pada label dan kemasan produk Hewan.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penjaminan Produk Hewan
Paragraf 1
Umum
Pasal 26
(1) Penjaminan produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf b dilakukan melalui:
a. pengaturan Peredaran Produk Hewan;
b. Pengawasan Unit Usaha produk Hewan;
c. Pengawasan produk Hewan;
d. pemeriksaan dan Pengujian produk Hewan;
Paragraf 2
Pengaturan Peredaran Produk Hewan
Pasal 27
Peredaran Produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf a meliputi peredaran:
a. hasil produksi dalam negeri;
b. yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia; dan
c. yang dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 28
Produk Hewan hasil produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf a hanya dapat diedarkan apabila berasal dari:
a. Unit Usaha yang telah memiliki Nomor Kontrol Veteriner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); atau
b. Unit Usaha yang sedang dalam pembinaan penerapan cara yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).
Pasal 29
Produk Hewan yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b harus berasal dari negara dan
Unit Usaha yang telah disetujui oleh Menteri.
Pasal 30
(1) Untuk memperoleh persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29, negara asal produk Hewan harus mengajukan permohonan
kepada Menteri.
(2) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri harus mempertimbangkan:
a. status penyakit Hewan menular di negara asal; dan
b. hasil analisis risiko rencana Pemasukan produk Hewan dari luar negeri.
(3) Analisis risiko rencana Pemasukan produk Hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
a. pemeriksaan dokumen sistem penyelenggaraan kesehatan Hewan dan
jaminan keamanan produk Hewan di negara asal;
b. pemeriksaan dokumen sistem jaminan keamanan produk Hewan di Unit
Usaha di negara asal;
c. verifikasi sistem penyelenggaraan kesehatan Hewan dan jaminan
keamanan produk Hewan di negara asal;
d. audit pemenuhan sistem jaminan keamanan produk Hewan di Unit
Usaha di negara asal; dan
e. penetapan tingkat perlindungan yang dapat diterima.
(4) Analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Otoritas
Veteriner Kementerian.
(5) Dalam hal hasil analisis risiko negara asal dan/atau Unit Usaha tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri
mengeluarkan surat penolakan.
(6) Dalam hal hasil analisis risiko negara asal dan Unit Usaha memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri mengeluarkan
surat persetujuan.
(7) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dicabut jika di negara
yang bersangkutan terjadi wabah. ]
Pasal 31
Setiap produk Hewan dari negara yang telah memperoleh persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6) wajib memiliki:
a. Sertifikat Veteriner dari Otoritas Veteriner di negara asal; dan
b. sertifikat Halal bagi yang dipersyaratkan.
Pasal 32
(1) Setiap pelaku usaha yang memasukkan produk Hewan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia dari negara dan Unit Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 harus mendapatkan:
a. rekomendasi teknis; dan
b. izin pemasukan.
(2) Rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikeluarkan oleh:
a. kepala lembaga pemerintahan non kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, untuk
pangan olahan asal Hewan yang tidak berpotensi membawa risiko
Zoonosis; dan
b. Menteri, untuk produk Hewan selain pangan olahan asal Hewan yang
tidak berpotensi membawa risiko Zoonosis, dengan mencantumkan
Nomor Kontrol Veteriner.
(3) Izin pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikeluarkan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan berdasarkan rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Izin pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melampirkan
rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 33
(1) Izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b
harus dicabut oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang perdagangan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak
diterimanya pemberitahuan pencabutan persetujuan negara asal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (8).
(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan menyampaikan pemberitahuan pencabutan persetujuan
negara asal kepada pelaku usaha paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung
sejak pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pelaku usaha wajib mereekspor produk Hewan paling lama 3 (tiga) hari
kerja terhitung sejak memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) pelaku usaha belum melakukan reekspor, produk Hewan yang
bersangkutan wajib dimusnahkan.
(5) Pemusnahan produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
dilakukan oleh pelaku usaha paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak berakhirnya jangka waktu reekspor produk Hewan.
(6) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) pelaku usaha belum melakukan pemusnahan, Menteri
melakukan pemusnahan.
(7) Segala biaya yang berkaitan dengan reekspor atau pemusnahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), atau ayat (6) dibebankan
kepada pelaku usaha.
Pasal 35
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
memfasilitasi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan Pengeluaran produk
Hewan ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai Peredaran Produk Hewan diatur dengan
Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Pengawasan Unit Usaha Produk Hewan
Pasal 37
Pasal 38
Pengawasan rumah potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf a dilakukan terhadap penerapan cara yang baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).
Pasal 39
Pengawasan rumah potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf a dilakukan oleh Dokter Hewan Berwenang yang memiliki
kompetensi sebagai Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengawasan rumah potong Hewan
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 42
Pengawasan Unit Usaha produk Hewan selain rumah potong Hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b dilakukan oleh:
a. Dokter Hewan Berwenang yang memiliki kompetensi sebagai Pengawas
Kesehatan Masyarakat Veteriner untuk Unit Usaha yang menghasilkan:
1. pangan segar asal Hewan;
2. produk Hewan olahan untuk pangan yang berpotensi membawa risiko
Zoonosis; dan
3. produk Hewan nonpangan baik segar maupun olahan, dan
b. lembaga pemerintahan non kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan untuk Unit Usaha
yang menghasilkan pangan olahan asal Hewan.
Pasal 43
(1) Dalam melaksanakan Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
dan Pasal 42 pengawas berwenang untuk:
a. memasuki setiap Unit Usaha produk Hewan;
b. menunda atau menghentikan proses produksi;
c. memeriksa produk Hewan yang dicurigai membawa atau mengandung
bahaya biologis, kimiawi, dan/atau fisik;
d. memeriksa dokumen atau catatan terkait dengan proses produksi; dan
e. menunda atau menghentikan alat angkut produk Hewan yang dicurigai
membawa atau mengandung bahaya biologis, kimiawi, dan/atau fisik.
(2) Dalam melaksanakan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dan Pasal 42 huruf a ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 44
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengawasan Unit Usaha yang
menghasilkan pangan olahan asal Hewan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 huruf b yang tidak berpotensi membawa risiko Zoonosis diatur
dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan/kepala lembaga pemerintahan non kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengawasan Unit Usaha produk
Hewan selain pangan olahan asal Hewan yang tidak berpotensi membawa
risiko Zoonosis diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Pengawasan Produk Hewan
Pasal 45
Pengawasan produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf c dilakukan terhadap produk Hewan yang:
a. diproduksi di dalam negeri; dan
b. dimasukkan dari luar negeri.
Pasal 46
(1) Pengawasan produk Hewan yang diproduksi di dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 huruf a harus dilakukan terhadap produk Hewan
sejak diproduksi sampai dengan diedarkan.
Pasal 47
(1) Pengawasan terhadap Pemasukan produk Hewan dari luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b dilakukan pada:
a. negara dan Unit Usaha asal;
b. tempat Pemasukan; dan
c. peredaran.
(2) Pengawasan terhadap Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilaksanakan oleh Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan
Masyarakat Veteriner Kementerian.
(3) Pengawasan terhadap Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan oleh Otoritas Veteriner di bidang karantina Hewan di
tempat Pemasukan yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(4) Pengawasan terhadap peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilakukan oleh Dokter Hewan Berwenang yang memiliki kompetensi
sebagai Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Kementerian,
provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 48
Pengawasan produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
serta Pasal 47 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan melalui pemeriksaan:
a. kondisi fisik produk Hewan;
b. dokumen; dan/atau
c. label.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengawasan produk Hewan diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Pemeriksaan dan Pengujian Produk Hewan
Pasal 50
(1) Pemeriksaan dan Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf d dilakukan terhadap produk Hewan yang:
a. akan diedarkan; dan
b. dalam peredaran.
(2) Pemeriksaan dan Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan di Laboratorium Veteriner milik Pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau laboratorium milik swasta yang
terakreditasi.
(3) Pemeriksaan dan Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan di Laboratorium Veteriner milik Pemerintah, pemerintah
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota yang terakreditasi.
Pasal 51
(1) Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengembangan kompetensi
Laboratorium Veteriner milik pemerintah kabupaten/kota.
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengembangan kompetensi
Laboratorium Veteriner milik pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.
(3) Menteri melakukan pembinaan dan pengembangan kompetensi
Laboratorium Veteriner milik Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan Pengujian produk
Hewan diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 6
Standardisasi Produk Hewan
Pasal 53
(1) Standardisasi produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1) huruf e dilakukan terhadap produk Hewan yang diedarkan di dalam
wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Standardisasi produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Menteri menetapkan Standar wajib bagi produk Hewan segar.
(4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
melakukan pembinaan kepada pelaku usaha agar produk Hewan yang
dihasilkan memenuhi Standar Nasional Indonesia.
Paragraf 7
Sertifikasi Produk Hewan
Pasal 54
(1) Sertifikasi Produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf f dilakukan terhadap produk Hewan yang diedarkan di dan
dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Sertifikasi Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Sertifikat Veteriner; dan
b. sertifikat Halal bagi yang dipersyaratkan.
(3) Sertifikat Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk
produk Hewan yang diedarkan di wilayah negara Republik Indonesia
diterbitkan oleh Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat
Veteriner pada pemerintah kabupaten/kota.
(4) Sertifikat Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk
produk Hewan yang dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
diterbitkan oleh Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat
Veteriner Kementerian.
(5) Sertifikat Halal bagi yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dilakukan oleh institusi yang berwenang di bidang sertifikasi
Halal.
Pasal 55
(1) Untuk memperoleh Sertifikat Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 ayat (2) huruf a, pelaku usaha harus mengajukan permohonan kepada
Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) atau ayat
(4).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan:
a. Nomor Kontrol Veteriner;
b. sertifikat hasil pemeriksaan dan Pengujian; dan/atau
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Sertifikat Veteriner
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 8
Registrasi Produk Hewan
Pasal 57
(1) Registrasi produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf g dilakukan terhadap produk Hewan berupa pangan segar asal
Hewan yang dikemas untuk diedarkan.
(2) Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi produk
Hewan yang diproduksi di dalam negeri, dimasukkan ke dan dikeluarkan
dari wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Registrasi produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Menteri dalam bentuk pemberian nomor Registrasi.
Pasal 58
(1) Nomor Registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) wajib
dicantumkan pada label dan kemasan produk Hewan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Registrasi produk
Hewan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis
Paragraf 1
Umum
Pasal 59
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
a. penetapan Zoonosis prioritas;
b. manajemen risiko;
c. kesiagaan darurat;
d. Pemberantasan Zoonosis; dan
e. partisipasi masyarakat.
Paragraf 2
Penetapan Zoonosis Prioritas
Pasal 60
(1) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan menetapkan jenis Zoonosis yang memerlukan prioritas
pengendalian dan penanggulangan.
(2) Dalam hal terdapat Zoonosis yang bersumber dari Satwa Liar, penetapan
jenis Zoonosis yang memerlukan prioritas pengendalian dan
penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
konservasi sumber daya alam hayati.
(3) Dalam hal terdapat Zoonosis yang bersumber dari Hewan yang seluruh
atau sebagian siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan,
penetapan jenis Zoonosis yang memerlukan prioritas pengendalian dan
penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan
dan perikanan.
Pasal 62
(1) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a
meliputi:
a. Otoritas Veteriner di bidang penyelenggaraan kesehatan Hewan untuk:
1. produk Hewan; dan
2. Hewan selain Satwa Liar dan Hewan yang seluruh atau sebagian
siklus hidupnya di lingkungan perairan,
b. Otoritas Veteriner di bidang konservasi sumber daya alam hayati untuk
Satwa Liar; dan
c. Otoritas Veteriner di bidang kelautan dan perikanan untuk Hewan yang
seluruh atau sebagian siklus hidupnya di lingkungan perairan.
(2) Dalam hal Otoritas Veteriner di bidang konservasi sumber daya alam hayati
untuk Satwa Liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b belum ada,
pengamatan atau kegiatan lain terkait Zoonosis dilakukan oleh Otoritas
Veteriner Kementerian berkoordinasi dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang konservasi sumber daya
alam hayati.
(3) Dalam hal Otoritas Veteriner di bidang kelautan dan perikanan untuk
Hewan yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya di lingkungan perairan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c belum ada, pengamatan atau
kegiatan lain terkait dengan Zoonosis dilakukan oleh Otoritas Veteriner
Kementerian berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Pasal 63
(1) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a
melaporkan hasil Pengamatan Zoonosis kepada Menteri dengan tembusan
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
(2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan menginformasikan hasil Pengamatan Zoonosis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf b kepada Menteri.
(3) Hasil Pengamatan Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3)
yang berkaitan dengan tingkat kesakitan Hewan, tingkat kematian Hewan,
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengamatan Zoonosis pada Hewan
dan produk Hewan diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 65
(1) Setiap penelitian Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2)
huruf c pada Hewan dan produk Hewan wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada Menteri.
(2) Menteri menetapkan syarat dan tata cara penelitian dan pengembangan
tentang pengendalian dan Pemberantasan Zoonosis.
(3) Menteri melakukan Pengawasan penggunaan agen penyebab Zoonosis dan
kemungkinan penyalahgunaan agen penyebab Zoonosis untuk tujuan di
luar Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.
(4) Dalam melakukan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan dan keamanan, kesehatan, dan/atau
lingkungan hidup.
Pasal 66
(1) Analisis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dilakukan
oleh Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan, konservasi sumber daya alam hayati,
dan/atau kelautan dan perikanan.
(2) Dalam hal Menteri dan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyepakati hasil analisis risiko Zoonosis, Menteri menetapkan Peraturan
Menteri tentang Zoonosis yang diprioritaskan pengendalian dan
penanggulangannya.
(3) Dalam hal Zoonosis yang diprioritaskan pengendalian dan
penanggulangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi wabah,
kejadian wabah tersebut harus diumumkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya kepada masyarakat.
Pasal 67
(1) Penetapan status Zoonosis daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (4) dilakukan oleh bupati/walikota, gubernur, atau Menteri sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan sebaran geografis Zoonosis.
(2) Status Zoonosis daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. daerah wabah;
b. daerah tertular;
c. daerah penyangga; dan
d. daerah bebas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria status Zoonosis daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 68
Berdasarkan penetapan Zoonosis prioritas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (2), Menteri menetapkan manajemen risiko Zoonosis sesuai
dengan status Zoonosis daerah.
Pasal 69
(1) Manajemen risiko pada daerah wabah dan daerah tertular paling sedikit
dilakukan melalui:
a. penutupan daerah wabah;
b. penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan rentan serta lingkungan;
c. penjaminan kebersihan kandang dan peralatan;
d. pemusnahan Hewan sakit;
e. pengendalian vektor;
f. pengendalian populasi Hewan rentan;
g. pembatasan keluarnya Hewan;
h. penghentian produksi dan Peredaran Produk Hewan;
i. vaksinasi Hewan rentan;
j. kesiagaan dini; dan
k. komunikasi, informasi, dan edukasi masyarakat.
(2) Penutupan daerah wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya atas rekomendasi Otoritas Veteriner provinsi atau
kabupaten/kota.
Pasal 70
Manajemen risiko pada daerah penyangga paling sedikit dilakukan melalui:
a. penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan rentan serta lingkungan;
b. penjaminan kebersihan kandang dan peralatan;
c. pengisolasian atau pengobatan Hewan terduga sakit;
d. pemusnahan Hewan sakit;
e. pengendalian vektor;
f. pengendalian populasi Hewan rentan;
g. pembatasan perpindahan Hewan dan Peredaran Produk Hewan;
h. vaksinasi Hewan rentan;
i. kesiagaan dini; dan
j. komunikasi, informasi, dan edukasi masyarakat.
Pasal 71
(1) Manajemen risiko pada daerah bebas paling sedikit dilakukan melalui:
a. penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan rentan serta lingkungan;
b. penjaminan kebersihan kandang dan peralatan;
c. pengendalian perpindahan Hewan dan Peredaran Produk Hewan dari
daerah tertular atau wabah;
d. vaksinasi Hewan rentan;
e. pemusnahan Hewan terduga sakit;
f. kesiagaan dini; dan
g. komunikasi, informasi, dan edukasi masyarakat.
(2) Dalam hal Hewan terduga sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e merupakan Satwa Liar, pemusnahannya dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber
daya alam hayati.
Pasal 72
Manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal
71 dilakukan oleh Otoritas Veteriner di kabupaten/kota, provinsi, dan
kementerian sesuai dengan kewenangannya.
Paragraf 4
Kesiagaan Darurat
Pasal 74
(1) Kesiagaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c
dituangkan dalam bentuk pedoman kesiagaan darurat.
(2) Pedoman kesiagaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
oleh Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan, konservasi sumber daya alam hayati,
kelautan dan perikanan, serta institusi terkait.
(3) Pedoman yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(4) Pedoman yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disosialisasikan dan disimulasikan oleh Menteri kepada pemangku
kepentingan.
Pasal 75
Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) dievaluasi sesuai
dengan kebutuhan.
Paragraf 5
Pemberantasan Zoonosis
Pasal 76
(1) Pemberantasan Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf d
dilakukan terhadap Zoonosis yang telah ditetapkan sebagai Zoonosis
prioritas.
(2) Dalam keadaan tertentu Pemberantasan Zoonosis dapat dilakukan
terhadap Wabah Zoonosis selain Zoonosis prioritas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan wabah
yang dinyatakan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(4) Pernyataan Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
diumumkan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya kepada masyarakat.
Pasal 77
(1) Pemberantasan Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Otoritas Veteriner di Kementerian,
provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dalam hal Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber pada Satwa Liar, pemberantasannya dilakukan berkoordinasi
dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati.
(3) Dalam hal Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber pada Hewan yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya
berada di lingkungan perairan, pemberantasannya dilakukan berkoordinasi
dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kelautan dan perikanan.
(4) Dalam hal Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber pada Hewan untuk keperluan khusus Tentara Nasional
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepabeanan,
pemberantasannya dilakukan berkoordinasi dengan Panglima Tentara
Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
Pasal 78
Dana yang diperlukan untuk pelaksanaan Pemberantasan Zoonosis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah
provinsi, dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
Pasal 79
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemberantasan Zoonosis diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 6
Partisipasi Masyarakat
Pasal 80
Setiap orang yang memiliki atau memelihara Hewan wajib menjaga dan
mengamati kesehatan Hewan dan kebersihan serta kesehatan lingkungannya.
Pasal 81
Setiap orang yang mengetahui terjadinya kasus Zoonosis pada Hewan
dan/atau manusia wajib melaporkan kepada perangkat kelurahan/desa atau
nama lain, kecamatan, Otoritas Veteriner, dan/atau otoritas kesehatan
setempat.
Pasal 82
(1) Kementerian, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota harus
mengikutsertakan masyarakat dalam Pengendalian dan Penanggulangan
Zoonosis.
(2) Keikutsertaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk pemantauan dan tindakan cepat kejadian Zoonosis.
(3) Untuk melakukan pemantauan dan tindakan cepat kejadian Zoonosis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota membentuk kader pemantauan dan tindakan cepat
kejadian Zoonosis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara partisipasi masyarakat dalam
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB III
KESEJAHTERAAN HEWAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 83
(1) Kesejahteraan Hewan diterapkan terhadap setiap jenis Hewan yang
kelangsungan hidupnya tergantung pada manusia yang meliputi Hewan
bertulang belakang dan Hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat
merasa sakit.
(2) Kesejahteraan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara menerapkan prinsip kebebasan Hewan yang meliputi bebas:
a. dari rasa lapar dan haus;
b. dari rasa sakit, cidera, dan penyakit;
c. dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan;
d. dari rasa takut dan tertekan; dan
e. untuk mengekspresikan perilaku alaminya.
(3) Prinsip kebebasan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan
pada kegiatan:
a. penangkapan dan penanganan;
Pasal 84
Pasal 85
Pemilik fasilitas pemeliharaan Hewan yang tidak menerapkan prinsip
kebebasan Hewan pada kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat
(3) dikenai sanksi pencabutan izin usahanya oleh bupati/walikota.
Bagian Kedua
Penangkapan dan Penanganan
Pasal 86
Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada penangkapan dan penanganan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf a paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan
stres; dan
b. menggunakan sarana dan peralatan yang tidak menyakiti, tidak melukai,
dan/atau tidak mengakibatkan stres.
Bagian Ketiga
Penempatan dan Pengandangan
Pasal 87
Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada penempatan dan pengandangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf b paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan
stres;
b. menggunakan sarana dan peralatan yang tidak menyakiti, tidak melukai,
dan/atau tidak mengakibatkan stres;
c. memisahkan antara Hewan yang bersifat superior dari yang bersifat
inferior;
d. menggunakan kandang yang bersih dan memungkinkan Hewan leluasa
bergerak, dapat melindungi Hewan dari predator dan Hewan pengganggu,
serta melindungi dari panas matahari dan hujan; dan
e. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.
Pasal 88
(1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pemeliharaan dan perawatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf c paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak
mengakibatkan stres;
b. menggunakan sarana, prasarana, dan peralatan yang bersih dan tidak
menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan stres;
c. menggunakan kandang yang memungkinkan Hewan leluasa bergerak,
dapat melindungi Hewan dari predator dan Hewan pengganggu, serta
melindungi dari panas matahari dan hujan; dan
d. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.
(2) Dalam hal pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam rangka pemulihan kesehatan fisik dan/atau mental
Hewan pasca tindakan medik atau Bencana Alam, penerapan prinsip
kebebasan Hewan harus di bawah penyeliaan Dokter Hewan.
Bagian Kelima
Pengangkutan
Pasal 89
(1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pengangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf d paling sedikit harus dilakukan
dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, melukai, dan/atau mengakibatkan stres;
b. menggunakan alat angkut yang layak, bersih, sesuai dengan kapasitas
alat angkut, tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak
mengakibatkan stres; dan
c. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.
(2) Dalam hal pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan kandang, kandang harus memungkinkan Hewan dapat
bergerak leluasa, bebas dari predator dan Hewan pengganggu, serta
terlindung dari panas matahari dan hujan.
(3) Pengangkutan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan di bawah penyeliaan dan/atau setelah mendapat rekomendasi
dari Dokter Hewan Berwenang.
Bagian Keenam
Penggunaan dan Pemanfaatan
Pasal 90
Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada penggunaan dan pemanfaatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf e paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti dan tidak mengakibatkan stres; dan
b. menyediakan sarana dan peralatan yang bersih.
Pasal 91
Penggunaan bagian tubuh dan organ dalam Hewan untuk tujuan medis harus
dilakukan oleh Dokter Hewan yang memiliki izin layanan.
Pasal 92
Setiap orang dilarang untuk:
a. menggunakan dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan kodratnya
yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan, keselamatan, atau
menyebabkan kematian Hewan;
Bagian Ketujuh
Perlakuan dan Pengayoman yang Wajar Terhadap Hewan
Pasal 93
Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada perlakuan dan pengayoman yang
wajar terhadap Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf f
paling sedikit harus dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak mengakibatkan stres, dan/atau mati; dan
b. menggunakan sarana, prasarana, dan peralatan yang bersih.
Pasal 94
(1) Gubernur dan bupati/walikota melakukan pembinaan perlakuan dan
pengayoman yang wajar terhadap Hewan kepada pemilik Hewan, orang
yang menangani Hewan sebagai bagian dari pekerjaannya, dan pemilik
serta pengelola fasilitas pemeliharaan Hewan.
(2) Pembinaan perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap Hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyediaan sarana,
sosialisasi, dan edukasi.
Bagian Kedelapan
Pemotongan dan Pembunuhan
Pasal 95
(1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pemotongan dan pembunuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf g paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak mengakibatkan ketakutan, dan stres
pada saat penanganan Hewan sebelum dipotong atau dibunuh;
b. cara yang tidak mengakibatkan ketakutan dan stres, serta dapat
mengakhiri penderitaan Hewan sesegera mungkin pada saat
pemotongan atau pembunuhan;
c. menggunakan sarana dan peralatan yang bersih; dan
Pasal 96
Dalam hal pemotongan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
95 dilakukan untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit Hewan
menular dan Zoonosis atau mengurangi penderitaan Hewan yang tidak
mungkin diselamatkan jiwanya, pemotongan dan pembunuhan Hewan harus
berdasarkan pertimbangan medis dari Dokter Hewan.
Bagian Kesembilan
Praktik Kedokteran Perbandingan
Pasal 97
(1) Praktik kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83
ayat (3) huruf h dilakukan terhadap Hewan laboratorium.
Pasal 98
(1) Praktik kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
harus dilakukan oleh atau di bawah penyeliaan Dokter Hewan.
(2) Dokter Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mematuhi kode
etik profesi Dokter Hewan.
Pasal 99
(1) Setiap orang dilarang:
a. melakukan kegiatan yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu
terjadi bagi Hewan;
b. memutilasi tubuh Hewan;
c. memberi bahan yang mengakibatkan keracunan, cacat, cidera,
dan/atau kematian pada Hewan; dan
d. mengadu Hewan yang mengakibatkan Hewan mengalami ketakutan,
kesakitan, cacat permanen, dan/atau kematian.
(2) Untuk membuktikan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan uji forensik oleh
Dokter Hewan.
BAB IV
PENANGANAN HEWAN AKIBAT BENCANA ALAM
Pasal 100
Dalam hal terjadi Bencana Alam, penanganan Hewan dilakukan melalui:
a. evakuasi Hewan;
b. penanganan Hewan mati;
c. penampungan sementara;
d. pemotongan dan pembunuhan Hewan; dan/atau
e. pengendalian Hewan sumber penyakit dan vektor.
Pasal 101
(1) Evakuasi Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a
dilakukan terhadap Hewan sehat dan Hewan sakit yang masih mungkin
disembuhkan yang berada pada lokasi Bencana Alam yang tidak
memungkinkan untuk kelangsungan hidup Hewan.
(2) Pelaksanaan evakuasi Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan prinsip kebebasan Hewan.
(3) Hewan dievakuasi ke tempat penampungan sementara yang ditetapkan
oleh bupati/walikota.
(4) Evakuasi Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah
Pengawasan Dokter Hewan atau orang yang memiliki kompetensi di bidang
Kesejahteraan Hewan.
Pasal 102
(1) Penanganan Hewan mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf b
dilakukan dengan penguburan atau pembakaran.
(2) Penanganan Hewan mati akibat Bencana Alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di bawah Pengawasan Dokter Hewan.
Pasal 104
(1) Pemotongan dan pembunuhan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
100 huruf d dilakukan terhadap Hewan yang:
a. tidak mungkin diselamatkan jiwanya; dan
b. perlu dihentikan penderitaannya.
(2) Pemotongan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap Hewan yang dagingnya dapat dimanfaatkan untuk konsumsi
manusia.
(3) Pembunuhan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap Hewan yang dagingnya tidak dikonsumsi.
(4) Pemotongan dan pembunuhan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di bawah Pengawasan Dokter Hewan.
Pasal 105
(1) Pengendalian Hewan sumber penyakit dan vektor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 100 huruf e harus dilakukan di lokasi Bencana Alam dan
wilayah sekitar yang terkena dampak.
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. penerapan sanitasi lingkungan; dan
b. pemusnahan vektor.
Pasal 106
Penanganan Hewan akibat Bencana Alam dilakukan oleh Menteri, menteri
atau kepala lembaga pemerintahan non kementerian, gubernur, dan
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Hewan akibat Bencana
Alam diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 108
Dalam hal Laboratorium Veteriner terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (3) belum tersedia, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
dapat menunjuk laboratorium untuk melakukan pemeriksaan dan Pengujian
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 109
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pemilik fasilitas
pemeliharaan Hewan yang belum memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (2) wajib memiliki izin usaha paling lambat 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 110
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan
dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 111
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 112
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
TENTANG
MENTERI PERTANIAN,
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Ruang lingkup Peraturan ini meliputi pelaku usaha pangan asal hewan
yang wajib memiliki NKV, persyaratan untuk memperoleh NKV, tata cara
memperoleh NKV, kewajiban pencantuman NKV, masa berlaku, perubahan
dan pencabutan NKV, pembinaan, serta pengawasan.
BAB II
PELAKU USAHA PANGAN ASAL HEWAN YANG WAJIB MEMILIKI NKV
Pasal 4
(1) Pelaku usaha pangan asal hewan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat
(1) huruf b dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia
atau badan hukum Indonesia yang berusaha di bidang:
a. Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah
Pemotongan Babi;
b. Usaha budidaya unggas petelur;
c. Usaha pemasukan, usaha pengeluaran;
d. Usaha distribusi;
(2) Pelaku usaha distribusi dan atau usaha ritel pangan asal hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d meliputi:
a. pelaku usaha yang mengelola gudang pendingin (cold storage), dan
toko/kios daging (meat shop);
b. pelaku usaha yang mengelola unit pendingin susu (milk cooling
centre), dan gudang pendingin susu;
c. pelaku usaha yang mengemas dan melabel telur.
Pasal 5
(1) Setiap unit usaha pangan asal hewan wajib memiliki NKV.
(2) Untuk mendapatkan NKV, unit usaha pangan asal hewan harus
memenuhi persyaratan higiene-sanitasi.
(3) NKV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pelaku
usaha yang bertanggung jawab terhadap manajemen usaha secara
keseluruhan, meliputi prasarana dan sarana, personil, serta cara
produksi dan penanganan.
(4) Terhadap penambahan sarana usaha baru untuk kegiatan usaha sejenis
yang berada dalam lokasi yang sama diberikan NKV perubahan
terhadap NKV yang sudah dimiliki.
(5) Terhadap penambahan sarana usaha baru untuk kegiatan usaha sejenis
di lokasi yang berbeda diwajibkan untuk memiliki NKV baru.
BAB III
PERSYARATAN UNTUK MEMPEROLEH NKV
Pasal 6
Pasal 7
BAB IV
TATA CARA MEMPEROLEH NKV
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
BAB V
KEWAJIBAN PENCANTUMAN NKV
Pasal 11
(1) Setiap pelaku usaha yang telah memperoleh NKV wajib mencantumkan
nomor yang tercantum pada NKV tersebut:
a. untuk daging diberikan stempel pada daging dan atau label pada
kemasannya;
b. untuk telur diberikan stempel pada kerabang dan atau label pada
kemasannya;
c. untuk susu diberikan label pada kemasannya.
(2) Penulisan NKV terdiri dari rangkaian angka yang menunjukkan jenis,
lokasi dan nomor urut registrasi unit usaha bersangkutan.
BAB VI
MASA BERLAKU, PERUBAHAN, DAN PENCABUTAN NKV
Pasal 12
NKV berlaku untuk jangka waktu selama unit usaha melakukan kegiatan
proses produksi, penanganan dan atau pengolahan sepanjang masih
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pengelola unit usaha pangan asal hewan yang akan memindahkan kegiatan
usahanya ke wilayah propinsi yang berbeda wajib menyerahkan NKVnya
kepada Kepala Dinas Propinsi setempat dan wajib memperoleh NKV baru
dari Kepala Dinas Propinsi di tempat yang baru.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 17
(1) Terhadap pelaku usaha yang belum dapat diberikan NKV dilakukan
pembinaan paling lama 5 (lima) tahun oleh Dinas Kabupaten/Kota
sampai terpenuhinya persyaratan higiene-sanitasi, selanjutnya wajib
memiliki NKV.
(2) Dinas Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan mengikuti
ketentuan dalam Pedoman Pembinaan seperti tercantum pada
Lampiran – IV Peraturan ini.
BAB VIII
PENGAWASAN
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
(1) Dalam rangka menjamin penerapan sertifikasi NKV yang baik, Dinas
Propinsi melakukan surveilans dan evaluasi.
(2) Dalam rangka menjamin penerapan sistem NKV yang baik, Tim Auditor
Direktorat Jenderal Peternakan melakukan verifikasi terhadap
penerapan sertifikasi NKV oleh Dinas Propinsi, dan melaporkan hasil
verifikasi kepada Direktur Jenderal Peternakan.
(3) Berdasarkan laporan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Direktur Jenderal Peternakan meminta Kepala Dinas Propinsi untuk
melakukan tindakan koreksi terhadap ketidaksesuaian penerapan
pelaksanaan sertifikasi NKV.
(4) Pelaksanaan verifikasi oleh Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan
dapat dilakukan pada unit usaha pangan asal hewan bersama dengan
Tim Auditor Propinsi.
(5) Apabila hasil surveilans dan verifikasi pada unit usaha pangan asal
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menunjukkan adanya
ketidaksesuaian yang menyebabkan produk menjadi sangat berisiko
terhadap keamanan pangan, maka Direktur Jenderal Peternakan
merekomendasikan kepada Kepala Dinas Propinsi untuk mencabut NKV
unit usaha dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g.
(6) Apabila ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
disebabkan oleh adanya kelalaian dari Tim Auditor Propinsi, maka
Direktur Jenderal Peternakan merekomendasikan kepada Kepala Dinas
Propinsi untuk memberikan sanksi kepada Tim Auditor Propinsi
bersangkutan.
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 19 Oktober 2005
MENTERI PERTANIAN,
ttd.
ANTON APRIYANTONO
DAFTAR LAMPIRAN
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 19 Oktober 2005
MENTERI PERTANIAN,
ttd.
ANTON APRIYANTONO
MEMUTUSKAN :
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 226 CIKAMPEK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
PENGAWASAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Pasal 2
(1) Setiap hewan potong yang akan dipotong harus Sehat dan telah diperiksa kesehatannya oleh
petugas pemeriksa yang berwenang.
(2) Jenis-jenis hewan potong ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
(3) Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah pemotongan hewan atau tempat
pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
(4) Pemotongan hewan potong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta
penyembelihan hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan menyimpang dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini, dengan mendapat izin terlebih dahulu dari
Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang
ditunjuknya.
(5) Syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, pelaksanaan pemotongan, dan cara
pemeriksaan kesehatan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh Menteri.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 227 CIKAMPEK
Pasal 3
Pasal 4
(1) Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperiksa kesehatannya oleh petugas
pemeriksa yang berwenang.
(2) Daging yang lulus dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, baru
dapat diedarkan setelah terlebih dahulu dibubuhi cap atau stempel oleh petugas pemeriksa
yang berwenang.
(3) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) Pasal ini, dan cara
penanganan serta syarat kelayakan tempat penjualan daging diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(4) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan daging yang tidak berasal dari pemotongan
hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini, kecuali
daging yang berasal dari pemotongan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
Peraturan Pemerintah ini.
(5) Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat.
Pasal 5
(1) Setiap perusahaan susu harus memenuhi persyaratan tentang kesehatan sapi perah,
perkandangan, kesehatan lingkungan, kamar susu, tempat penampungan susu, dan alat-alat
serta keadaan air yang dipergunakan dalam kaitannya dengan produksi susu.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 228 CIKAMPEK
(2) Persyaratan usaha peternakan susu rakyat diatur tersendiri oleh Menteri.
(3) Tenaga kerja yang menangani produksi susu, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a. berbadan sehat;
b. berpakaian bersih;
c. diperiksa kesehatannya secara berkala oleh Dinas Kesehatan setempat;
d. tidak berbuat hal-hal yang dapat mencemarkan susu;
e. syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 6
Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan susu yang tidak memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan susu harus mengikuti cara penanganan,
penyimpanan, pengangkutan, dan penjualan susu yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Menteri menerapkan syarat kelayakan tempat usaha dan tempat penjualan susu.
Pasal 8
Setiap usaha peternakan babi harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat veteriner
dari ternak babi, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang ditetapkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
Pasal 9
Setiap usaha peternakan unggas harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat
veteriner dari ternak unggas, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
Pasal 10
(1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan telur yang tidak memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan telur harus mengikuti cara penyimpanan dan
pengangkutan telur yang ditetapkan oleh Menteri.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 229 CIKAMPEK
Pasal 11
Setiap usaha atau kegiatan pengawetan bahan makanan asal hewan dan hasil usaha atau kegiatan
tersebut harus memenuhi syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 12
Menteri menetapkan batas maksimum kandungan residu bahan hayati, anti biotika, dan obat
lainnya di dalam bahan makanan asal hewan.
Pasal 13
Setiap usaha pengumpulan, penampungan, penyimpanan, dan pengawetan bahan asal hewan harus
memenuhi ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 14
Pasal 15
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 230 CIKAMPEK
BAB III
PENGUJIAN
Pasal 16
(1) Dalam rangka pengawasan daging, telur, bahan makanan asal hewan yang diawetkan, dan
bahan asal hewan apabila dipandang perlu dapat dilakukan pengujian.
(2) Dalam rangka pengawasan terhadap kesehatan susu, pengujiannya dapat dilakukan setiap
waktu.
Pasal 17
Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya menetapkan petunjuk teknis pengujian.
Pasal 18
(1) Pengujian daging, susu, dan telur serta bahan asal hewan lainnya dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II.
(2) Pemerintah Daerah Tingkat II mengatur lebih lanjut pelaksanaan pengujian bahan makanan
asal hewan dan bahan asal hewan yang beredar di daerah kewenangannya masing-masing.
(3) Dalam melakukan kewenangan tersebut Pemerintah Daerah harus mengindahkan petunjuk
teknis pengujian yang dikeluarkan oleh Menteri.
Pasal 19
Menteri mengatur pengujian bahan makanan yang berasal dari hewan yang diawetkan.
Pasal 20
(1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal, 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini,
dilakukan di laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah Tingkat
II setempat.
(2) Apabila pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, tidak dapat dilaksanakan
oleh laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah Tingkat II
setempat, Menteri menunjuk lembaga atau laboratorium yang berwenang melakukan
pengujian.
BAB IV
PEMBERANTASAN RABIES
Pasal 21
Menteri menetapkan daerah-daerah tertentu di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, sebagai
daerah bebas rabies.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 231 CIKAMPEK
Pasal 22
(1) Untuk mempertahankan daerah bebas rabies, setiap orang atau badan hukum dilarang
memasukkan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan
rabies :
a. dari Negara atau bagian Negara lain yang belum diakui sebagai Negara atau bagian
Negara yang bebas rabies ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang telah
dinyatakan sebagai daerah bebas rabies;
b. dari daerah yang belum dinyatakan oleh Menteri sebagai daerah bebas rabies ke daerah
lain di wilayah Negara Republik Indonesia yang telah dinyatakan sebagai daerah bebas
rabies.
(2) Menteri dapat memberikan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) Pasal ini hanya untuk kepentingan umum, ketertiban umum dan pertahanan-keamanan.
Pasal 23
Pasal 24
(1) Pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya
yang diduga dapat menularkan rabies diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(2) Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarakan dengan kerja sama
dengan Instansi lain.
Pasal 25
Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Peraturan Pemerintah ini,
pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing di bawah kewenangan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dilakukan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan.
BAB V
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN ZOONOSA LAINNYA
Pasal 26
Menteri menetapkan jenis-jenis zoonosa yang harus diadakan pencegahan dan pemberantasan.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 232 CIKAMPEK
Pasal 27
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 28
(1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5),Pasal 3 ayat (1),
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 5 ayat (1),Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000, (Lima puluh ribu rupiah).
(2) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (5), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1)
Peraturan Pemerintah ini dipidana berdasarkan' ketentuan Perundang-undangan Yang
berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Hal-hal Yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
(2) Peraturan Yang mengatur masalah kesehatan masyarakat veteriner yang sudah ada dan
berlaku sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini, masih tetap berlaku sebelum
peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 233 CIKAMPEK
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, S.H.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 234 CIKAMPEK
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1983
TENTANG
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
A.UMUM
Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan
dan bahan-bahan yang berasal dari hewan, yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kesehatan manusia.
Oleh karena itu kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan yang penting dalam
mencegah penularan penyakit kepada manusia baik melalui hewan maupun bahan makanan
asal hewan atau bahan asal hewan lainnya, dan ikut serta memelihara dan mengamankan
produksi bahan makanan asal hewan dari pencemaran dan kerusakan akibat penanganan
yang kurang higienis.
Fungsi kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pemerintah
ini, antara lain untuk melindungi konsumen-konsumen dari bahaya yang dapat
mengganggu kesehatan ("foodborne disease") akibat menggunakan baik untuk dipakai
atau dimakan bahan makanan asal hewan, melindungi dan menjamin ketentraman baik
masyarakat dari kemungkinan-kemungkinan penularan zoonosa yang sumbernya berasal
dari kerugian-kerugian sebagai akibat penurunan nilai dan kualitas bahan makanan asal
hewan yang diproduksi. Dengan demikian kiranya dapat dipahami tentang pentingnya
kesehatan masyarakat veteriner, karena menyangkut aspek kesehatan dan secara tidak
langsung mempengaruhi aspek ekonomi yang satu dengan lainnya mempunyai pengaruh
timbal balik.
Mengingat pengaruh-pengaruh itu, maka perlu bidang kesehatan masyarakat veteriner ini
diatur dengan sebaik-baiknya. Pengaturan di bidang kesehatan masyarakat veteriner di
Indonesia pada saat sekarang yang meliputi atau mencakup usaha-usaha yang berhubungan
dengan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan serta pencegahan atau
pemberantasan zoonosa belum lengkap sebagaimana yang diharapkan.
Keadaan ini mempersulit dalam pembinaan teknis pelaksanaan yang dapat berakibat
kurangnya pengawasan sehingga menyebabkan timbulnya kerugian baik pada konsumen
maupun produsen.
Dalam usaha penanganan, pembinaan dan pengembangan bidang kesehatan masyarakat
veteriner, serta mengingat atau memperhatikan kemajuan teknologi di bidang lain maka
bidang kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapat perhatian bagi pengembangannya.
Untuk maksud tersebut diperlukan adanya Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner yang dapat memberikan kepastian dan jaminan hukum baik bagi
Pemerintah maupun masyarakat.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 235 CIKAMPEK
Sebagaimana diketahui bahwa bahan makanan asal hewan atau bahan asal hewan lainnya
berhubung dengan sifatnya yang mudah rusak dan dapat menjadi sumber penularan
penyakit hewan kepada manusia, maka setiap usaha yang bergerak dan berhubungan
dengan bahan-bahan tersebut harus memenuhi syarat kesehatan masyarakat veteriner agar
bahan-bahan tersebut tetap sehat dan dapat dikonsumsi manusia (memenuhi persyaratan
kesehatan).
Dalam pelaksanaannya diperlukan adanya pengawasan Pemerintah terhadap usaha-usaha
tersebut agar syarat-syarat yang telah ditetapkan ditaati. Disamping itu diperlukan pula
pengujian-pengujian terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diketahui apakah
bahan-bahan tersebut benar-benar memenuhi persyaratan kesehatan.
Mengenai perusahaan susu, perusahaan unggas, dan perusahaan babi, sehubungan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan di Indonesia yaitu
dalam rangka usaha pembangunan dan pengembangan peternakan umumnya, maka dalam
pembinaan dan penerapan peraturan mengenai bidang peternakan tersebut di atas,
kepentingan-kepentingan/masalah kesehatan masyarakat veteriner wajib diperhatikan.
Dengan demikian hal-hal yang menyangkut perizinan usaha peternakan harus disyaratkan
sebelumnya agar syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dapat dipenuhi.
Usaha pemotongan hewan juga termasuk ruang lingkup bidang kesehatan masyarakat
veteriner dan dapat merupakan suatu unit usaha yang sifatnya terpadu dengan rumah
potong hewan dan pengawetan daging atau bahan asal hewan.
Keadaan ini sama halnya dengan usaha peternakan sapi perah atau perusahaan susu yang
membutuhkan unit untuk pengerjaan atau penampungan susu (kamar susu).
Pengujian merupakan bagian daripada kegiatan pengawasan, baik pengujian terhadap
bahan segar, bahan hasil pengawetan dan bahan asal hewan lain. Untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan pengujian ini diperlukan adanya tenaga-tenaga trampil, sarana dan
peralatan yang memadai dan beaya operasional. Dengan melaksanakan pengawasan dan
pengujian ini, maka semua produk bahan asal hewan yang disampaikan kepada pihak
konsumen dapat dijamin kebersihan dan keamanannya, sehingga tidak menimbulkan
bahaya-bahaya yang tidak diinginkan bila dikonsumsi atau digunakan oleh para konsumen.
Bidang pengujian ini cukup luas, pada pokoknya akan mencakup pengujian secara fisis,
khemis dan bakteriologis dan dapat diperinci lebih lanjut tergantung pada macam atau
kondisi bahan yang akan diuji dan apa yang perlu diperiksa.
Pengujian bahan makanan asal hewan (daging, susu, dan telur) dan bahan asal hewan
lainnya, menjadi tanggungjawab Pemerintah.
Khusus mengenai rabies yang merupakan zoonosa terpenting yang berbahaya bagi
keselamatan jiwa manusia, perlu diatur usaha penolakan, pencegahan dan
pemberantasannya di Indonesia dengan sebaik-baiknya. Dalam rangka penolakan rabies ke
dalam wilayah atau daerah-daerah di Indonesia maka diadakan larangan untuk
memasukkan anjing, kucing atau kera, dan satwa liar lainnya ke dalam wilayah atau
daerah-daerah tertentu.
Pengecualian terhadap larangan tersebut dapat diberikan kepada rombongan sirkus atau
badan lain yang sama sifatnya.
Daerah-daerah tersebut diatas dikenal sebagai daerah bebas rabies.Daerah bebas rabies
tersebut kita pertahankan agar tetap bebas.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 236 CIKAMPEK
B.PASAL DEMI PASAL
Pasal 2
Ayat (1)
Pemeriksaan hewan sebelum dipotong adalah untuk memperoleh daging sehat
untuk konsumsi manusia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk memperoleh daging yang sehat pada dasarnya pemotongan hewan harus
dilakukan di rumah pemotongan hewan. Namun demikian mengingat belum semua
daerah mempunyai rumah pemotongan hewan maka pemotongan hewan dapat
dilakukan di tempat pemotongan hewan lain yang ditunjuk oleh Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setempat.
Ayat (4)
Pemotongan hewan yang dilakukan menyimpang dari ketentuan ayat (3) Pasal ini,
semata-mata hanya untuk keperluan keluarga, agama, adat, dan bukan untuk mata
pencaharian atau diperdagangkan.
Ayat (5)
Pekerja yang dimaksud dalam ayat ini adalah tenaga-tenaga yang langsung terlibat
dalam pemotongan hewan (orang yang menyembelih, orang yang menguliti dan
lain-lain).
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
yang dimaksud penanganan dalam ayat ini antara lain pemotongan bagian-bagian
daging, pengangkutan, penyimpanan, dan menjajakan daging pada saat penjualan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 237 CIKAMPEK
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud penanganan dalam Pasal ini antara lain pendinginan, pasteurisasi, dan
sterilisasi susu.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya
gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya dan
kesehatan ternak babinya sendiri.
Pasal 9
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya
gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya dan
kesehatan ternak unggasnya sendiri.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Maksud dan tujuan pengawetan dalam Pasal ini adalah semua usaha/ kegiatan untuk
mengendalikan,menghambat reaksi enzyma dan mikro-organisme pembusuk. Sehingga
bahan makanan tersebut dapat digunakan dengan aman dalam jangka waktu yang lebih
lama. Dalam usaha/kegiatan pengawetan ini termasuk : penggunaan suhu rendah, suhu
tinggi, proses pengeringan, dan bahan-bahan kimiawi dan zat tambahan lainnya. Syarat-
syarat kesehatan masyarakat veteriner dalam Pasal ini adalah syarat-syarat kesehatan
tentang : bahan baku, bahan pengawet, bahan tambahan lainnya, sarana dan cara
pengawetan serta cara pengepakan, penyimpanan dan pengangkutan hasil usaha/kegiatan
pengawetan.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 238 CIKAMPEK
Pasal 12
Penggunaan bahan hayati, anti biotika dan obat-obat lainnya pada hewan dapat
meningkatkan residu dalam bahan makanan asal hewan yang bersangkutan, yang pada
tingkat tertentu dapat membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu ditetapkan
batas maksimum residu yang dapat diizinkan dalam bahan makanan asal hewan.
Pasal 13
Syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dalam Pasal ini adalah syarat-syarat
kesehatan tentang :
- tempat atau lokasi pengumpulan dan penampungan serta lingkungannya.
- cara-cara pengawetan dan penyimpanan serta keterangan asal dari bahan asal
hewan tersebut.
Pasal 14
Ayat (1)
Bahwa tugas-tugas bidang kesehatan masyarakat veteriner sesuai dengan maksud
Peraturan Pemerintah ini merupakan tugas pembantuan (medebewind) kepada
Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Dengan demikian hanya
pelaksanaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah sedangkan pembinaan dan
hal-hal yang menyangkut masalah teknis tetap menjadi tanggung jawab dan
sepenuhnya ditangan Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal pelaksanaan pengawasan yang nyata-nyata menyangkut bidang teknis
higiene dan sanitasi akan dilakukan oleh Dokter Hewan yang ditunjuk dan
dianggap cakap dalam bidang ini.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Pengujian terhadap daging, telur, bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan
bahan asal hewan dapat dilakukan bila hasil penentuan sebelumnya belum dapat
memberikan keyakinan tentang kesehatan dari bahan-bahan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 239 CIKAMPEK
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah
Tingkat II setempat tidak tersedia perlengkapan yang memadai atau Dinas
Peternakan setempat tidak memiliki laboratorium sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) Pasal ini,maka pelaksanaan pengujian dapat dilakukan di laboratorium lain
yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Daerah bebas rabies dalam wilayah Negara Republik Indonesia ditetapkan dengan
Keputusan Menteri. Untuk daerah tersebut dilarang memasukkan anjing, kucing,
kera, dan satwa liar lainnya yang dapat menularkan rabies.
Ayat (2)
Izin pengecualian untuk memasukkan anjing, kucing, kera dari daerah rabies untuk
keperluan umum dan pertahanan keamanan diberikan oleh Menteri atas dasar
permohonan dari yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan
kepentingan pertahanan dan keamanan misalnya anjing-anjing pelacak untuk
pengamanan operasi/obyek-obyek militer, anjing-anjing pelacak untuk operasi-
operasi kepolisian, dan petugas/Instansi Bea dan Cukai misalnya operasi narkotika
dan lain-lain. Sedangkan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya untuk
kepentingan pribadi dari anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak
termasuk didalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) ini.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 240 CIKAMPEK
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarakan dengan kerja
sama dengan Instansi lain, karena disamping rabies mempunyai akibat negatif
terhadap manusia yang terjangkit dan masyarakat sekitarnya, juga pelaksanaan
pencegahan dan pemberantasan rabies tersebut dapat disertai dengan suatu
tindakan pemusnahan terhadap milik orang lain.
Pasal 25
Anjing yang ada di bawah kewenangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia antara
lain ialah anjing-anjing pelacak dalam satuan Brigade Anjing dalam Dinas Provoost
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, anjing pelacak yang merupakan bagian dari
Satuan Satwa POLRI. Untuk usaha pencegahan adanya rabies pada anjing-anjing tersebut
termasuk pelaksanaan vaksinasi dilakukan oleh unsur Departmen Pertahanan dan
Keamanan. Dalam hal-hal tertentu Departemen Pertahanan-Kemanan dapat minta bantuan
kepada Dinas Peternakan bilamana tenaga teknis untuk maksud tersebut belum dapat
dipenuhi.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 241 CIKAMPEK
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.60, 2010 Kementerian Pertanian. Rumah Potong Hewan.
Unit Penanganan Daging.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 242 CIKAMPEK
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dipandang perlu
menetapkan Persyaratan Rumah Potong Hewan
Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting
Plant) dengan Peraturan Menteri Pertanian;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3656);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5015);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara
Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3253);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang
Standardisasi Nasional Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4020);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4424);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 243 CIKAMPEK
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4761);
11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
12. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang
Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen;
13. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
14. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/
OT.210/3/2005 tentang Pelaksanaan Standardisasi
Nasional di Bidang Pertanian;
15. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/Kp.140/
7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Pertanian, jis Peraturan Menteri Pertanian Nomor
11/Permentan/OT.140/2/ 2007 dan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 22/Permentan/ OT.140/4/2008;
16. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/Kp.140/
9/2005 Tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Pertanian juncto Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;
17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/
10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG
PERSYARATAN RUMAH POTONG HEWAN
RUMINANSIA DAN UNIT PENANGANAN DAGING
(MEAT CUTTING PLANT).
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 244 CIKAMPEK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Ruminansia besar adalah ternak memamah biak yang terdiri dari ternak
ruminansia besar, seperti sapi dan kerbau, serta ternak ruminansia kecil,
seperti kambing dan domba.
2. Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat
umum.
3. Unit Penanganan Daging (meat cutting plant) yang selanjutnya disebut
dengan UPD adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan
disain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan
pembagian karkas, pemisahan daging dari tulang, dan pemotongan daging
sesuai topografi karkas untuk menghasilkan daging untuk konsumsi
masyarakat umum.
4. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus
hidupnya berada di darat, air dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun
yang dihabitatnya.
5. Karkas ruminansia adalah bagian dari tubuh ternak ruminansia sehat yang
telah disembelih secara halal, dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan
kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan
ambing, ekor serta lemak yang berlebih, dapat berupa karkas segar hangat
(hot carcass), segar dingin (chilled carcass) atau karkas beku (frozen
carcass).
6. Daging adalah bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak
dikonsumsi oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang dan
daging tanpa tulang, dapat berupa daging segar hangat, segar dingin
(chilled) atau karkas beku (frozen).
7. Karkas atau daging segar dingin (chilled) adalah karkas atau daging yang
mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan sehingga temperatur
bagian dalam karkas atau daging antara 0ºC dan 4ºC.
8. Karkas atau daging segar beku (frozen) adalah karkas atau daging yang
sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan
temperatur internal karkas atau daging minimum minus18ºC.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 245 CIKAMPEK
9. Jeroan (edible offal) adalah isi rongga perut dan rongga dada dari ternak
ruminansia yang disembelih secara halal dan benar sehingga aman, lazim,
dan layak dikonsumsi oleh manusia dapat berupa jeroan dingin atau beku.
10. Pemeriksaan ante-mortem (ante-mortem inspection) adalah pemeriksaan
kesehatan hewan potong sebelum disembelih yang dilakukan oleh petugas
pemeriksa berwenang.
11. Pemeriksaan post-mortem (post-mortem inspection) adalah pemeriksaan
kesehatan jeroan dan karkas setelah disembelih yang dilakukan oleh
petugas pemeriksa berwenang.
12. Pemotongan hewan adalah kegiatan untuk menghasilkan daging hewan
yang terdiri dari pemeriksaan ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian
penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem.
13. Penyembelihan hewan adalah kegiatan mematikan hewan hingga tercapai
kematian sempurna dengan cara menyembelih yang mengacu kepada
kaidah kesejahteraan hewan dan syariah agama Islam.
14. Penanganan daging hewan adalah kegiatan yang meliputi pelayuan,
pembagian karkas, pembagian potongan daging, pembekuan, pendinginan,
pengangkutan, penyimpanan dan kegiatan lain untuk penjualan daging.
15. Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan pemerintah yang ditunjuk
oleh Gubernur/Bupati/Walikota untuk melakukan pengawasan di bidang
kesehatan masyarakat veteriner di RPH dan/atau UPD.
16. Dokter hewan penanggungjawab teknis adalah dokter hewan yang ditunjuk
oleh Manajemen RPH dan/atau UPD berdasarkan rekomendasi dari
Gubernur/Bupati/ Walikota yang bertanggungjawab dalam pemeriksaan
ante-mortem dan post-mortem serta pengawasan di bidang kesehatan
masyarakat veteriner di RPH dan/atau UPD.
17. Daerah kotor adalah daerah dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi
dan fisik yang tinggi.
18. Daerah bersih adalah daerah dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi
dan fisik yang rendah.
19. Desinfeksi adalah penerapan bahan kimia dan/atau tindakan fisik untuk
mengurangi/menghilangkan mikroorganisme.
20. Kandang penampung adalah kandang yang digunakan untuk menampung
hewan potong sebelum pemotongan dan tempat dilakukannya pemeriksaan
ante-mortem.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 246 CIKAMPEK
21. Kandang isolasi adalah kandang yang digunakan untuk mengisolasi hewan
potong yang ditunda pemotongannya karena menderita atau dicurigai
menderita penyakit tertentu.
22. Zoonosis adalah suatu penyakit infeksi yang secara alami ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya.
23. Kesehatan Masyarakat Veteriner yang selanjutnya disingkat Kesmavet
adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan
yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan
manusia.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan dan dasar hukum bagi setiap
orang dan pemerintah daerah dalam membangun dan mengembangkan RPH
dan UPD.
Pasal 3
Ruang lingkup peraturan ini meliputi Persyaratan RPH; Persyaratan UPD;
Persyaratan Higiene-sanitasi; Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner;
Izin RPH, Izin dan Jenis Usaha Usaha Pemotongan Hewan; Sumber Daya
Manusia; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.
BAB II
PERSYARATAN RUMAH POTONG HEWAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Teknis RPH
Pasal 4
RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang
aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk
melaksanakan:
a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection)
dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk
mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan
pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna
pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan
zoonosis di daerah asal hewan.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 247 CIKAMPEK
Pasal 5
(1) Untuk mendirikan rumah potong wajib memenuhi persyaratan administratif
dan persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan peraturan perundangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lokasi;
b. sarana pendukung;
c. konstruksi dasar dan disain bangunan;
d. peralatan.
Bagian Kedua
Persyaratan Lokasi
Pasal 6
(1) Lokasi RPH harus sesuai dengan dengan Rencana Umum Tata Ruang
Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD) atau
daerah yang diperuntukkan sebagai area agribisnis.
(2) Lokasi RPH harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan
kontaminan lainnya;
b. tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan;
c. letaknya lebih rendah dari pemukiman;
d. mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan
hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi;
e. tidak berada dekat industri logam dan kimia;
f. mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH;
g. terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi
dengan pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk
mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar rumah potong.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 248 CIKAMPEK
agian Ketiga
Persyaratan Sarana Pendukung
Pasal 7
RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung paling kurang
meliputi:
a. akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut
hewan potong dan kendaraan daging;
b. sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah
cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari;
c. sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus;
d. fasilitas penanganan limbah padat dan cair.
Bagian Keempat
Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi
Pasal 8
(1) Kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah
untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging
(2) Bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi:
a. bangunan utama;
b. area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang
penampungan/kandang istirahat hewan;
c. kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif;
d. kandang isolasi;
e. ruang pelayuan berpendingin (chilling room);
f. area pemuatan (loading) karkas/daging;
g. kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan;
h. kantin dan mushola;
i. ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi
(locker)/ruang ganti pakaian;
j. kamar mandi dan WC;
k. fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat
dimanfaatkan atau insinerator;
l. sarana penanganan limbah;
m. rumah jaga.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 249 CIKAMPEK
(3) Dalam kompleks RPH yang menghasilkan produk akhir daging segar
dingin (chilled) atau beku (frozen) harus dilengkapi dengan:
a. ruang pelepasan daging (deboning room) dan pemotongan daging
(cutting room);
b. ruang pengemasan daging (wrapping and packing);
e. fasilitas chiller;
f. fasilitas freezer dan blast freezer;
g. gudang dingin (cold storage).
(4) RPH berorientasi ekspor dilengkapi dengan laboratorium sederhana.
Pasal 9
(1) Bangunan utama RPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf
a harus memiliki daerah kotor yang terpisah secara fisik dari daerah bersih.
(2) Daerah kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. area pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area
pengeluaran darah;
b. area penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat
kaki sampai metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi
dada dan isi perut);
c. ruang untuk jeroan hijau;
d. ruang untuk jeroan merah;
e. ruang untuk kepala dan kaki;
f. ruang untuk kulit; dan
g. pengeluaran (loading) jeroan.
Daerah bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi area
untuk:
a. pemeriksaan post-mortem;
b. penimbangan karkas;
c. pengeluaran (loading) karkas/daging.
Pasal 10
Disain dan konstruksi dasar seluruh bangunan dan peralatan RPH harus dapat
memfasilitasi penerapan cara produksi yang baik dan mencegah terjadinya
kontaminasi.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 250 CIKAMPEK
Pasal 11
Bangunan utama RPH harus memenuhi persyaratan:
a. tata ruang didisain sedemikian rupa agar searah dengan alur proses serta
memiliki ruang yang cukup, sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan
dapat berjalan baik dan higienis, dan besarnya ruangan disesuaikan dengan
kapasitas pemotongan;
b. adanya pemisahan ruangan yang jelas secara fisik antara “daerah bersih” dan
“daerah kotor”;
c. memiliki area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaan post-
mortem;
d. lampu penerangan harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan
mempunyai intensitas cahaya 540 luks untuk area pemeriksaan post-mortem,
dan 220 luks untuk area pengerjaan proses pemotongan;
e. dinding bagian dalam berwarna terang dan paling kurang setinggi 3 meter
terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan
terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak
mudah mengelupas;
f. dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan
dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;
g. lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak
toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan landai ke arah saluran
pembuangan;
h. permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah atau
lubang, jika lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat
mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan kedap air;
i. lubang ke arah saluran pembuangan pada permukaan lantai dilengkapi
dengan penyaring;
j. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan
jari-jari sekitar 75 mm;
k. sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 25 mm;
l. di daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus didisain agar darah dapat
tertampung;
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 251 CIKAMPEK
m. langit-langit didisain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi
dalam ruangan, harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air,
tidak mudah mengelupas, kuat, mudah dibersihkan, tidak ada lubang atau
celah terbuka pada langit-langit;
n. ventilasi pintu dan jendela harus dilengkapi dengan kawat kasa untuk
mencegah masuknya serangga atau dengan menggunakan metode
pencegahan serangga lainnya;
o. konstruksi bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah
tikus atau rodensia, serangga dan burung masuk dan bersarang dalam
bangunan;
p. pertukaran udara dalam bangunan harus baik;
q. kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari
kayu, dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan
keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat
menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk;
r. kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang
memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.
Pasal 12
(1) Area penurunan (unloading) ruminansia harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. dilengkapi dengan fasilitas untuk menurunkan ternak (unloading) dari
atas kendaraan angkut ternak yang didisain sedemikian rupa sehingga
ternak tidak cedera akibat melompat atau tergelincir;
b. ketinggian tempat penurunan/penaikan sapi harus disesuaikan dengan
ketinggian kendaraan angkut hewan;
c. lantai sejak dari tempat penurunan hewan sampai kandang
penampungan harus tidak licin dan dapat meminimalisasi terjadinya
kecelakaan;
d. harus memenuhi aspek kesejahteraan hewan.
(2) Kandang penampung dan istirahat hewan harus memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a. bangunan kandang penampungan sementara atau kandang istirahat
paling kurang berjarak 10 meter dari bangunan utama;
b. memiliki daya tampung 1,5 kali dari rata-rata jumlah pemotongan
hewan setiap hari;
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 252 CIKAMPEK
c. ventilasi (pertukaran udara) dan penerangan harus baik;
d. tersedia tempat air minum untuk hewan potong yang didisain landai ke
arah saluran pembuangan sehingga mudah dibersihkan;
e. lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras),
kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta
mudah dibersihkan dan didesinfeksi;
f. saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat
mengalir lancar;
g. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi
hewan dengan baik dari panas dan hujan;
h. terdapat jalur penggiringan hewan (gang way) dari kandang menuju
tempat penyembelihan, dilengkapi dengan pagar yang kuat di kedua
sisinya dan lebarnya hanya cukup untuk satu ekor sehingga hewan tidak
dapat kembali ke kandang;
i. jalur penggiringan hewan yang berhubungan langsung dengan bangunan
utama didisain sehingga tidak terjadi kontras warna dan cahaya yang
dapat menyebabkan hewan yang akan dipotong menjadi stres dan takut.
Pasal 13
(1) Untuk melindungi populasi ternak ruminansia betina produktif, harus
dilakukan pencegahan pemotongan ternak ruminansia betina produktif di
RPH.
(2) Ternak ruminansia betina yang berdasarkan pemeriksaan ante-mortem
sebagai ternak betina produktif harus ditampung dalam kandang khusus
yang memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. kandang penampung ternak ruminansia betina produktif dapat
merupakan kandang penampung yang terpisah atau merupakan bagian
kandang penampungan hewan, tetapi memiliki batas yang jelas;
b. fungsi kandang penampungan untuk menampung ternak ruminansia
betina produktif hasil seleksi hewan yang akan dipotong di RPH,
sekaligus sebagai tempat isolasi untuk ternak yang tidak boleh dipotong;
c. syarat kandang penampungan ternak ruminansia betina produktif harus
sama dengan syarat kandang penampungan ternak;
d. dilengkapi dengan kandang jepit untuk pemeriksaan status reproduksi.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 253 CIKAMPEK
Pasal 14
Kandang isolasi harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. terletak pada jarak terjauh dari kandang penampung dan bangunan utama,
serta dibangun di bagian yang lebih rendah dari bangunan lain;
b. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
c. dilengkapi dengan tempat air minum yang didisain landai ke arah saluran
pembuangan sehingga mudah dibersihkan;
d. lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap
air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah
dibersihkan dan didesinfeksi;
e. saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat mengalir
lancar;
f. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan
dengan baik dari panas dan hujan.
Pasal 15
Ruang pendingin/pelayuan (chilling room) harus memenuhi persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
a. ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih;
b. besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan dengan
mempertimbangkan jarak antar karkas paling kurang 10 cm, jarak antara
karkas dengan dinding paling kurang 30 cm, jarak antara karkas dengan
lantai paling kurang 50 cm, dan jarak antar baris paling kurang 1 meter;
c. konstruksi bangunan harus memenuhi persyaratan:
1. tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan karkas
minimal 3 meter;
2. dinding bagian dalam berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air,
memiliki insulasi yang baik, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan
terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak
mudah mengelupas;
3. lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak
toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;
4. lantai tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan;
5. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 75 mm;
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 254 CIKAMPEK
6. sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 25 mm;
7. langit-langit harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air,
memiliki insulasi yang baik, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah
dibersihkan;
8. intensitas cahaya dalam ruang 220 luks.
d. bangunan dan tata letak pendingin/pelayuan harus mengikuti persyaratan
seperti bangunan utama;
e. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang pendingin/pelayuan;
f. ruang dilengkapi dengan alat penggantung karkas yang didisain agar karkas
tidak menyentuh lantai dan dinding;
g. ruang mempunyai fasilitas pendingin dengan suhu ruang – 4 oC sampai + 4
o
C, kelembaban relatif 85-90% dengan kecepatan udara 1 sampai 4 meter per
detik;
h. suhu ruang dapat menjamin agar suhu bagian dalam daging maksimum +8 oC;
i. suhu ruang dapat menjamin agar suhu bagian dalam jeroan maksimum +4 oC.
Pasal 16
Area pemuatan (loading) karkas dan/atau daging ke dalam kendaraan angkut
karkas dan/atau daging harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dapat meminimalisasi terjadinya kontaminasi silang pada karkas dan/atau
daging;
b. ketinggian lantai harus disesuaikan dengan ketinggian kendaraan angkut
karkas dan/atau daging;
c. dilengkapi dengan fasilitas pengendalian serangga, seperti pemasangan lem
serangga;
d. memiliki fasilitas pencucian tangan.
Pasal 17
Kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan harus memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. luas kantor administrasi disesuaikan dengan jumlah karyawan, didisain
untuk keselamatan dan kenyamanan kerja, serta dilengkapi dengan ruang
pertemuan;
c. kantor Dokter Hewan harus terpisah dengan kantor administrasi.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 255 CIKAMPEK
Pasal 18
Kantin dan mushola harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. luas ruang disesuaikan dengan jumlah karyawan;
c. kantin didisain agar mudah dibersihkan, dirawat dan memenuhi persyaratan
kesehatan lingkungan.
Pasal 19
Ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi/ruang ganti
pakaian (locker) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. terletak di bagian masuk karyawan atau pengunjung;
c. tempat istirahat karyawan harus dilengkapi dengan lemari untuk setiap
karyawan yang dilengkapi kunci untuk menyimpan barang-barang pribadi;
d. locker untuk pekerja ruang kotor harus terpisah dari locker pekerja bersih.
Pasal 20
Kamar mandi dan WC harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. masing-masing daerah kotor dan daerah bersih memiliki paling kurang satu
unit kamar mandi dan WC;
c. saluran pembuangan dari kamar mandi dan WC dibuat khusus ke arah
“septic tank”, terpisah dari saluran pembuangan limbah proses pemotongan;
d. dinding bagian dalam dan lantai harus terbuat dari bahan yang kedap air,
tidak mudah korosif, mudah dirawat serta mudah dibersihkan dan
didesinfeksi;
e. jumlah kamar mandi dan WC disesuaikan dengan jumlah karyawan, minimal
1 unit untuk 25 karyawan.
Pasal 21
Fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan
atau insinerator harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. dibangun dekat dengan kandang isolasi;
b. dapat memusnahkan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan
secara efektif tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan;
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 256 CIKAMPEK
c. didisain agar mudah diawasi dan mudah dirawat serta memenuhi persyaratan
kesehatan lingkungan.
Pasal 22
Sarana penanganan limbah harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki kapasitas sesuai dengan volume limbah yang dihasilkan;
b. didisain agar mudah diawasi, mudah dirawat, tidak menimbulkan bau dan
memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan;
c. sesuai dengan rekomendasi upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dari Dinas
yang membidangi fungsi kesehatan lingkungan.
Pasal 23
Rumah jaga harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. dibangun masing-masing di pintu masuk dan di pintu keluar kompleks RPH;
b. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
c. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi petugas
dari panas dan hujan;
d. didisain agar memenuhi persyaratan keamananan dan keselamatan kerja,
serta memungkinkan petugas jaga dapat mengawasi dengan leluasa keadaan
di sekitar RPH dari dalam rumah jaga.
Pasal 24
Ruang pelepasan daging (deboning room) dan pembagian/pemotongan daging
(cutting room) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, harus
memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan daging dan ruang pembagian/
pemotongan daging harus dapat memfasilitasi proses pembersihan dan
desinfeksi dengan efektif;
b. memiliki ventilasi dan penerangan yang cukup;
c. didisain untuk dapat mencegah masuk dan bersarangnya serangga, burung,
rodensia, dan binatang pengganggu lainnya di dalam ruang produksi;
d. lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik,
tahan terhadap benturan keras, tidak berlubang, tidak licin dan landai ke arah
saluran pembuangan, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, tidak mudah
mengelupas, serta apabila lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin
diatur sedekat mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan
kedap air;
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 257 CIKAMPEK
e. dinding terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik,
memiliki insulasi yang baik, dan berwarna terang, dan dinding bagian dalam
dilapisi bahan kedap air setinggi minimal 3 meter dengan permukaan rata,
tidak ada celah/lubang, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak
mudah mengelupas;
f. dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan
dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;
g. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan
jari-jari sekitar 75 mm, dan sudut pertemuan antara dinding dan dinding
harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25 mm;
h. langit-langit harus dibuat sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya
akumulasi debu dan kotoran, meminimalisasi terjadinya kondensasi,
pertumbuhan jamur, dan terjadinya keretakan, serta mudah dibersihkan;
i. jendela dan ventilasi harus didisain untuk menghindari terjadinya akumulasi
debu dan kotoran, mudah dibersihkan dan selalu terawat dengan baik;
j. kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari
kayu, dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan
keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat
menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk;
k. kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang
memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;
l. pintu dilengkapi dengan tirai plastik untuk mencegah terjadinya variasi
temperatur dan didisain dapat menutup secara otomatis;
m. selama proses produksi berlangsung temperatur ruangan harus dipertahankan
≤ 15 oC.
Pasal 25
Disain dan konstruksi dasar ruang pengemasan daging harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan
pembagian/pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 26
Disain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat (blast freezer) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kapasitas ruangan disesuaikan dengan jumlah produk yang akan dibekukan;
b. disain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian/
pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 258 CIKAMPEK
c. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang pembeku;
d. ruang dilengkapi dengan alat pendingin yang memiliki kipas (blast freezer)
yang mampu mencapai dan mempertahankan temperatur ruangan di bawah -
18oC dengan kecepatan udara minimum 2 meter per detik.
Pasal 27
Ruang penyimpanan beku (cold storage) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. kapasitas ruang disesuaikan dengan jumlah produk beku yang disimpan;
b. disain dan konstruksi dasar ruang penyimpanan beku harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian/
pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
c. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang penyimpanan beku;
d. dilengkapi dengan fasilitas pendingin sebagai berikut:
1. memiliki ruang penyimpanan berpendingin yang mampu mencapai dan
mempertahankan secara konstan temperatur daging pada +4 oC hingga - 4
o
C (chilled meat); - 2 oC hingga - 8oC (frozen meat); atau ≤-18oC (deep
frozen), serta kapasitas ruangan harus mempertimbangkan sirkulasi udara
dapat bergerak bebas;
2. ruang penyimpanan berpendingin dilengkapi dengan thermometer atau
display suhu yang diletakkan pada tempat yang mudah dilihat.
Pasal 28
(1) RPH berorientasi ekspor harus mempunyai fasilitas laboratorium sederhana
untuk pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian produk, peralatan, air,
petugas dan lingkungan produksi yang diperlukan dalam rangka monitoring
penerapan praktek higiene di RPH.
(2) RPH berorientasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
RPH yang telah memperoleh Sertifikat NKV Level I.
(3) Jenis pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pemeriksaan organoleptik, pengujian kimiawi sederhana, seperti
uji awal pembusukan daging dan uji kesempurnaan pengeluaran darah,
pengujian cemaran mikroba seperti Total Plate Count (TPC), Coliform, E.
coli, Staphylococcus sp., Salmonella sp., serta pengujian parasit.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 259 CIKAMPEK
(4) Laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. letak laboratorium berdekatan dengan kantor dokter hewan;
b. tata ruang dan peralatan laboratorium harus mempertimbangkan faktor
keselamatan dan kenyamanan kerja;
c. konstruksi lantai, dinding dan langit-langit harus memenuhi
persyaratan paling kurang tertutup dengan enamel berkualitas baik
atau dengan cat epoksi, ataupun bahan lainnya yang memiliki
permukaan yang halus, kedap air, mudah dibersihkan dan didesinfeksi
serta mudah perawatannya;
d. penerangan dalam laboratorium memiliki intensitas cahaya 540 luks
dan dilengkapi dengan lampu berpelindung;
e. ventilasi di dalam ruang harus baik, dilengkapi dengan alat pendingin
(air conditioner) ruangan untuk mengurangi jumlah partikel yang
terdapat dalam udara dan untuk meminimalkan kemungkinan
terjadinya variasi temperatur;
f. untuk keselamatan kerja petugas, laboratorium dilengkapi dengan alat
pemadam kebakaran, alarm (tanda bahaya) dan sarana P3K;
g. memiliki ruang dan fasilitas khusus masing-masing untuk
penyimpanan sampel, peralatan dan media;
h. dilengkapi dengan sarana pencuci tangan.
Bagian Kelima
Persyaratan Peralatan
Pasal 29
(1) Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di RPH harus terbuat dari
bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta
mudah dirawat.
(2) Seluruh peralatan dan permukaan yang kontak dengan daging dan jeroan
tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik,
misalnya seng, polyvinyl chloride/ PVC tidak mudah korosif, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
(3) Seluruh peralatan logam yang kontak dengan daging dan jeroan harus
terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif (terbuat dari
stainless steel atau logam yang digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah
dibersihkan dan mudah didesinfeksi serta mudah dirawat.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 260 CIKAMPEK
(4) Pelumas untuk peralatan yang kontak dengan daging dan jeroan harus food
grade (aman untuk pangan).
(5) Sarana pencucian tangan harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak
kontak dengan telapak tangan, dilengkapi dengan fasilitas seperti sabun
cair dan pengering, dan apabila menggunakan tissue harus tersedia tempat
sampah.
(6) Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan
harus tersedia dalam jumlah cukup sehingga proses pembersihan dan
desinfeksi bangunan dan peralatan dapat dilakukan secara baik dan efektif.
(7) Bangunan utama paling kurang harus dilengkapi dengan:
a. alat untuk memfiksasi hewan (Restraining box);
b. alat untuk menempatkan hewan setelah disembelih (Cradle);
c. alat pengerek karkas (Hoist);
d. rel dan alat penggantung karkas yang didisain agar karkas tidak
menyentuh lantai dan dinding;
e. fasilitas dan peralatan pemeriksaan post-mortem, meliputi:
1. meja pemeriksaan hati, paru, limpa dan jantung;
2. alat penggantung kepala.
f. peralatan untuk kegiatan pembersihan dan desinfeksi;
g. timbangan hewan, karkas dan daging.
(8) Ruang jeroan paling kurang harus dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan
untuk:
a. mengeluarkan isi jeroan;
b. mencuci jeroan;
c. menangani dan memproses jeroan.
(9) Ruang pelepasan daging dan pemotongan karkas dan/atau daging paling
kurang dilengkapi dengan:
a. meja stainless steel;
b. talenan dari bahan polivinyl;
c. mesin gergaji karkas dan/atau daging (bone saw electric);
d. mesin pengiris daging (slicer);
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 261 CIKAMPEK
e. mesin penggiling daging (mincer/grinder);
f. pisau yang terdiri dari pisau trimming dan pisau cutting;
g. fasilitas untuk mensterilkan pisau yang dilengkapi dengan air panas;
h. metal detector.
(10) Untuk mendukung pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat
veteriner di RPH, dokter hewan penanggung jawab di RPH dan/atau
petugas pemeriksa harus disediakan peralatan paling kurang terdiri dari:
a. pakaian pelindung diri;
b. pisau yang tajam dan pengasah pisau;
c. stempel karkas.
(11) Perlengkapan standar untuk pekerja pada proses pemotongan meliputi
pakaian kerja khusus, apron plastik, tutup kepala dan sepatu boot yang
harus disediakan paling kurang 2 (dua) set untuk setiap pekerja.
(12) Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus dilengkapi dengan
peralatan untuk mencuci tangan yang dilengkapi dengan sabun,
desinfektan, foot dip dan sikat sepatu, dengan jumlah disesuaikan dengan
jumlah pekerja.
(13) Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan
harus tersedia dalam jumlah cukup agar dapat dipastikan bahwa seluruh
proses pembersihan dan desinfeksi dapat dilakukan secara baik dan efektif.
BAB III
PERSYARATAN UNIT PENANGANAN DAGING
(MEAT CUTTING PLANT)
Bagian Kesatu
Persyaratan Teknis Unit Penanganan Daging
Pasal 30
(1) UPD wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
persyaratan:
a. lokasi;
b. sarana pendukung;
c. konstruksi dasar dan disain bangunan;
d. peralatan.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 262 CIKAMPEK
Bagian Kedua
Persyaratan Lokasi
Pasal 31
(1) Lokasi UPD harus sesuai dengan dengan Rencana Umum Tata Ruang
Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD) atau
lokasi yang diperuntukkan sebagai area agribisnis.
(2) Lokasi UPD harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu, dan
kontaminan lainnya;
b. tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan;
c. letaknya lebih rendah dari pemukiman;
d. memiliki akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan penanganan
daging dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi;
e. tidak berada dekat industri logam dan kimia.
Bagian Ketiga
Persyaratan Sarana Pendukung
Pasal 32
UPD harus dilengkapi dengan sarana pendukung paling kurang meliputi:
a. sarana jalan yang baik menuju UPD yang dapat dilalui kendaraan
pengangkut daging;
b. suplai air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah
cukup dan terus menerus;
c. sumber tenaga listrik yang cukup;
d. sarana penanganan limbah dan sistem saluran pembuangan limbah yang
didisain agar aliran limbah mengalir dengan lancar, mudah diawasi dan
mudah dirawat, tidak mencemari tanah, tidak menimbulkan bau dan dijaga
agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia.
Bagian Keempat
Persyaratan Tata Letak, Konstruksi Dasar, dan Disain
Pasal 33
(1) Persyaratan bangunan dan tata letak dalam kompleks UPD paling kurang
meliputi:
a. bangunan utama
1) ruang pelepasan daging (deboning) dan pembagian/pemotongan
daging (meat cutting);
2) ruang pengemasan;
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 263 CIKAMPEK
3) ruang pembekuan cepat (blast freezer);
4) ruang penyimpanan dingin (cold storage).
b. area penurunan (loading) karkas dan pemuatan (unloading) daging ke
dalam alat angkut;
c. kantor administrasi dan kantor dokter hewan;
d. kantin dan mushola;
e. ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi/ruang
ganti pakaian (locker) kamar mandi dan wc;
f. rumah jaga;
g. sarana penanganan limbah.
(2) Kompleks UPD harus dipagar untuk memudahkan penjagaan dan
keamanan.
(3) Disain dan konstruksi dasar bangunan utama UPD harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan
Pasal 27.
(4) Disain dan konstruksi dasar ruang kantor administrasi dan kantor Dokter
Hewan pada UPD harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17.
(5) Disain dan konstruksi dasar kantin dan mushola pada UPD harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(6) Disain dan konstruksi dasar ruang penyimpanan barang pribadi
(locker)/ruang ganti pakaian pada UPD harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(7) Disain dan konstruksi dasar kamar mandi dan WC pada UPD harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Bagian Kelima
Persyaratan Peralatan
Pasal 34
(1) Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di UPD harus terbuat dari
bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta
mudah dirawat.
(2) Seluruh peralatan dan permukaan yang kontak dengan daging dan jeroan
tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik (misal:
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 264 CIKAMPEK
seng, polyvinyl chloride/ PVC), tidak mudah korosif, mudah dibersihkan
dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
(3) Seluruh peralatan logam yang kontak dengan daging dan jeroan harus
terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif (terbuat dari
stainless steel atau logam yang digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah
dibersihkan dan mudah didesinfeksi serta mudah dirawat.
(4) Pelumas untuk peralatan yang kontak dengan daging dan jeroan harus food
grade (aman untuk pangan).
(5) Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan
harus tersedia dalam jumlah cukup sehingga proses pembersihan dan
desinfeksi bangunan dan peralatan dapat dilakukan secara baik dan efektif.
(6) Ruang penanganan dan pemotongan karkas dan/atau daging paling kurang
dilengkapi dengan mesin dan peralatan:
a. meja stainless steel;
b. talenan dari bahan polivinyl;
c. mesin gergaji karkas/daging (bone saw electric);
d. mesin pengiris daging (slicer);
e. mesin penggiling daging (mincer/grinder);
f. pisau yang terdiri dari pisau trimming dan pisau cutting;
g. fasilitas untuk mensterilkan pisau yang dilengkapi dengan air panas;
h. metal detector.
(7) Perlengkapan standar untuk pekerja di ruang penanganan dan pemotongan
karkas dan/atau daging meliputi pakaian kerja khusus, apron plastik,
penutup kepala, penutup mulut, sarung tangan, dan sepatu boot yang harus
disediakan paling kurang 2 (dua) set untuk setiap pekerja.
BAB IV
PERSYARATAN HIGIENE DAN SANITASI
Pasal 35
(1) Pada RPH dan UPD harus dilengkapi dengan fasilitas higiene-sanitasi yang
dapat memastikan bahwa cara produksi karkas, daging, dan jeroan dapat
diterapkan dengan baik dan konsisten.
(2) Fasilitas higiene-sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mampu menjamin bahwa proses pembersihan dan sanitasi bangunan,
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 265 CIKAMPEK
lingkungan produksi, peralatan, dan baju kerja karyawan dapat diterapkan
secara efektif.
(3) Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus memiliki fasilitas untuk
mencuci sepatu boot yang dilengkapi dengan sikat sepatu, dan fasilitas
untuk mensucihamakan sepatu boot yang dilengkapi desinfektan (foot
dipping).
(4) RPH dan/atau UPD harus memiliki fasilitas cuci tangan yang dilengkapi
dengan air hangat, sabun dan desinfektan serta didisain tidak dioperasikan
menggunakan tangan atau tidak kontak langsung dengan telapak tangan.
(5) Fasilitas cuci tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilengkapi
dengan fasilitas pengering tangan, apabila menggunakan tisue maka harus
disediakan tempat sampah bertutup dan tidak dioperasikan dengan tangan.
(6) Untuk mensucihamakan pisau dan peralatan yang digunakan, harus
memiliki air bertemperatur tidak kurang dari 82oC yang memenuhi
persyaratan baku mutu air bersih, atau metoda sterilisasi lain yang efektif.
(7) Tidak menggunakan bahan kimia berbahaya yang tidak diperbolehkan
digunakan untuk pangan.
(8) Setiap kali selesai proses pemotongan dan produksi karkas, daging, dan
jeroan, harus dilakukan proses pembersihan dan desinfeksi secara
menyeluruh.
(9) Kebersihan lingkungan di sekitar bangunan utama dalam area komplek
RPH dan/atau UPD harus dipelihara secara berkala, dengan cara:
a. menjaga kebersihan lingkungan dari sampah, kotoran dan sisa pakan;
b. memelihara rumput atau pepohonan sehingga tetap terawat;
c. menyediakan fasilitas tempat pembuangan sampah sementara di tempat-
tempat tertentu.
Pasal 36
(1) Higiene personal harus diterapkan pada setiap RPH dan/atau UPD.
(2) Seluruh pekerja yang menangani karkas, daging, dan/atau jeroan harus
menerapkan praktek higiene meliputi:
a. pekerja yang menangani daging harus dalam kondisi sehat, terutama
dari penyakit pernafasan dan penyakit menular seperti TBC, hepatitis a,
tipus, dll;
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 266 CIKAMPEK
b. harus menggunakan alat pelindung diri (hair net, sepatu bot dan pakaian
kerja);
c. selalu mencuci tangan menggunakan sabun dan/atau sanitaiser sebelum
dan sesudah menangani produk dan setelah keluar dari toilet;
d. tidak melakukan tindakan yang dapat mengkontaminasi produk (bersin,
merokok, meludah, dll) di dalam bangunan utama rumah potong.
BAB V
PENGAWASAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Pasal 37
(1) Dalam rangka menjamin karkas, daging, dan jeroan yang dihasilkan oleh
RPH atau UPD (UPD) memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal
(ASUH) perlu dilakukan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di
RPH dan UPD oleh Dokter Hewan Berwenang atau Dokter Hewan
Penanggung Jawab Perusahaan yang disupervisi oleh Dokter Hewan
Berwenang.
(2) Kegiatan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penerapan kesehatan hewan di RPH;
b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih (ante-mortem
inspection);
c. pemeriksaan kesempurnaan proses pemingsanan (stunning);
d. pemeriksaan kesehatan jeroan dan/atau karkas (post- mortem
inspection);
e. pemeriksaan pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses
produksi.
(3) Dokter Hewan Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
hak dan akses untuk memasuki ruang produksi, melakukan pengawasan,
pengambilan sampel, penyidikan, pemeriksaan dokumen, memusnahkan
(condemn) hewan/bangkai, karkas, daging, dan jeroan yang tidak
memenuhi syarat dan dianggap membahayakan kesehatan konsumen.
(4) Dokter Hewan Penanggung Jawab Perusahaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki hak untuk memasuki ruang produksi, melakukan
pengawasan, pengambilan sampel, pemeriksaan dokumen, memusnahkan
(condemn) hewan/bangkai, karkas, daging, dan/atau jeroan yang tidak
memenuhi syarat dan dianggap membahayakan kesehatan konsumen.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 267 CIKAMPEK
(5) Pemeriksaan ante-mortem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dilakukan di kandang penampungan sementara atau peristirahatan hewan,
kecuali apabila atas pertimbangan dokter hewan berwenang dan/atau dokter
hewan penanggung jawab perusahaan, pemeriksaan tersebut harus
dilakukan di dalam kandang isolasi, kendaraan pengangkut atau alat
pengangkut lain.
(6) Pemeriksaan post-mortem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
dilakukan segera setelah penyelesaian penyembelihan, dan pemeriksaan
dilakukan terhadap kepala, karkas dan/atau jeroan.
(7) Pemeriksaan pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan terhadap
pemeliharaan sanitasi bangunan, lingkungan produksi, peralatan, proses
produksi dan higiene personal.
(8) Karkas, daging, dan/atau jeroan yang telah lulus pemeriksaan ante-mortem
dan post-mortem harus distempel oleh Dokter Hewan Penanggung Jawab
RPH yang berisi informasi tentang “Di Bawah Pengawasan Dokter
Hewan” dan Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
(9) Kesimpulan hasil pengawasan kesehatan masyarakat veteriner yang
menyatakan karkas, daging, dan/atau jeroan tersebut aman, sehat, dan utuh
dinyatakan dalam Surat Keterangan Kesehatan Daging (SKKD) yang
ditandatangani oleh Dokter Hewan Berwenang di RPH atau di UPD dengan
format SKKD, seperti format model 1.
(10) Surat Keterangan Kesehatan Daging sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
harus disertakan pada peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan.
(11) Dokter Hewan Penanggung Jawab Perusahaan memiliki kewajiban untuk
membuat laporan hasil pengawasan kesmavet sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) kepada Dokter Hewan Berwenang.
(12) Dokter Hewan Berwenang wajib membuat laporan hasil pengawasan
kesmavet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 268 CIKAMPEK
BAB VI
IZIN MENDIRIKAN RUMAH POTONG HEWAN DAN
IZIN USAHA PEMOTONGAN HEWAN
Bagian Kesatu
Izin Mendirikan Rumah Potong Hewan
Pasal 38
(1) Setiap orang atau badan usaha yang akan mendirikan RPH harus memiliki
izin mendirikan RPH.
(2) Izin mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Bupati/Walikota.
(3) Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam memberikan
izin mendirikan RPH harus memperhatikan persyaratan teknis RPH.
(4) Izin mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dipindah tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain tanpa
persetujuan tertulis dari pemberi izin.
Bagian Kedua
Izin Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging
Pasal 39
(1) Setiap orang atau badan usaha yang melakukan usaha pemotongan hewan
dan/atau penanganan daging harus memiliki izin usaha dari
Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Bupati/Walikota dalam memberikan izin usaha pemotongan hewan
dan/atau penanganan daging harus memperhatikan persyaratan teknis tata
cara pemotongan dan penanganan daging ternak ruminansia sesuai dengan
peraturan perundangan.
(3) Izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging tidak dapat
dipindah tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain.
(4) Izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging dapat dicabut,
apabila:
a. kegiatan pemotongan dan/atau penanganan daging dilakukan di RPH
atau UPD yang tidak memiliki izin mendirikan RPH;
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 269 CIKAMPEK
b. melanggar persyaratan teknis tata cara pemotongan dan/atau
penanganan daging ternak ruminansia sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan;
c. tidak melakukan kegiatan pemotongan hewan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan berturut-turut setelah izin diberikan;
d. tidak memiliki NKV, setelah jangka waktu yang ditentukan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
(1) Berdasarkan pola pengelolaannya, usaha pemotongan hewan dan/atau
penanganan daging dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis:
a. Jenis I : RPH dan/atau milik pemerintah daerah yang dikelola oleh
pemerintah daerah dan sebagai jasa pelayanan umum;
b. Jenis II : RPH dan/atau UPD milik swasta yang dikelola sendiri atau
dikerjasamakan dengan swasta lain;
c. Jenis III : RPH dan/atau UPD milik pemerintah daerah yang dikelola
bersama antara pemerintah daerah dan swasta.
(2) RPH dan/atau UPD dengan pola pengelolaan Jenis II dan Jenis III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, selain
menyelenggarakan kegiatan pemotongan ternak milik sendiri harus
memberikan jasa pelayanan pemotongan dan/atau penanganan daging bagi
masyarakat yang membutuhkan.
(3) Berdasarkan kelengkapan fasilitas proses pelayuan (aging) karkas, usaha
pemotongan hewan dibedakan menjadi 2 (dua) kategori:
a. Kategori I : usaha pemotongan hewan di RPH tanpa fasilitas
pelayuan karkas, untuk menghasilkan karkas hangat;
b. Kategori II : usaha pemotongan hewan di RPH dengan fasilitas
pelayuan karkas, untuk menghasilkan karkas dingin
(chilled) dan/atau beku (frozen).
(4) Bagi usaha pemotongan kategori II sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b harus dilengkapi dengan fasilitas rantai dingin hingga ke tingkat
konsumen.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 270 CIKAMPEK
BAB VII
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 41
(1) Setiap RPH dan/atau UPD harus dibawah pengawasan dokter hewan
berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang ditunjuk oleh
Bupati/Walikota.
(2) Setiap RPH harus mempekerjakan paling kurang satu orang dokter hewan
sebagai pelaksana dan penanggung jawab teknis pengawasan kesehatan
masyarakat veteriner di RPH.
(3) Dokter hewan penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) melaksanakan tugas di RPH sesuai dengan kewenangan yang
dilimpahkan oleh dokter hewan berwenang.
(4) Dokter hewan penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) bertanggung jawab terhadap dokter hewan berwenang di bidang
kesehatan masyarakat veteriner.
(5) Setiap RPH selain mempekerjakan dokter hewan penanggung jawab teknis
dapat mempekerjakan paling kurang satu orang tenaga pemeriksa daging
(keurmaster) dibawah pengawasan dokter hewan penanggung jawab teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Setiap RPH wajib mempekerjakan paling kurang satu orang juru sembelih
halal.
(7) UPD wajib mempekerjakan paling kurang:
a. satu orang petugas sebagai penanggung jawab teknis;
b. satu orang tenaga ahli pemotong daging berdasarkan topografi karkas
(butcher).
(8) Dokter hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
memenuhi persyaratan paling kurang:
a. mempunyai keahlian di bidang meat inspector yang diakui oleh
organisasi profesi dokter hewan dan diverifikasi oleh Otoritas Veteriner;
b. mempunyai keahlian di bidang reproduksi yang diakui oleh organisasi
profesi dokter hewan dan diverifikasi oleh Otoritas Veteriner.
(9) Petugas penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
huruf a harus memenuhi persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat
pelatihan sistem jaminan keamanan pangan.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 271 CIKAMPEK
(10) Tenaga pemeriksa daging sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b harus
memenuhi persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat sebagai juru uji
daging yang mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Otoritas
Veteriner.
(11) Juru sembelih halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus
memenuhi persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat sebagai juru
sembelih halal yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang.
(12) Tenaga ahli pemotong daging paling kurang harus mempunyai sertifikat
sebagai tenaga ahli pemotong daging yang dikeluarkan oleh lembaga
berwenang.
Pasal 42
(1) Pelatihan penyegaran kompetensi bagi seluruh SDM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 dapat diselenggarakan oleh manajemen RPH atau
Gubernur atau Menteri Pertanian.
(2) Penyelengaraan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu
kepada Pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan
bekerjasama dengan Badan Sumberdaya Manusia, Kementerian Pertanian.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1) RPH dan/atau UPD yang pada waktu dikeluarkannya Peraturan ini belum
memenuhi persyaratan yang yang diatur dalam Peraturan ini, harus
menyesuaikan dengan Peraturan ini paling lama 5 (lima) tahun terhitung
sejak Peraturan ini ditetapkan.
(2) Dengan ditetapkannya Peraturan ini, Keputusan Menteri Pertanian Nomor
555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan
dan Usaha Pemotongan Hewan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Peraturan ini mulai berlakukan pada tanggal diundangkan.
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 272 CIKAMPEK
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Januari 2010
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA,
SUSWONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
www.djpp.depkumham.go.id
RPH 273 CIKAMPEK
RPH 274 CIKAMPEK
RPH 275 CIKAMPEK
RPH 276 CIKAMPEK
RPH 277 CIKAMPEK
RPH 278 CIKAMPEK
RPH 279 CIKAMPEK
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 02 TAHUN 2006
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH
BAGI KEGIATAN RUMAH PEMOTONGAN HEWAN
Pasal 1
3. Air limbah RPH adalah sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan RPH
yang berwujud cair;
4. Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH adalah ukuran batas atau
kadar maksimum unsur pencemar dan/atau jumlah pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam air limbah kegiatan RPH yang akan
dibuang atau dilepas ke media lingkungan;
Baku mutu air limbah dalam Peraturan Menteri ini berlaku untuk kegiatan
RPH:
a. Sapi;
b. Kerbau;
c. Babi;
d. Kuda;
e. Kambing dan/atau;
f. Domba.
Pasal 3
Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH ditetapkan dengan tujuan:
a. menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup;
b. menurunkan beban pencemaran lingkungan melalui upaya
pengendalian pencemaran dari kegiatan RPH.
Pasal 4
Sasaran penetapan baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH dimaksudkan
untuk mendorong penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH
mengolah air limbah sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Pasal 5
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran A dan Lampiran B Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Apabila baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH daerah telah ditetapkan
sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka dalam hal baku mutu
air limbah daerah:
a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, maka dinyatakan tetap
berlaku;
b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini wajib disesuaikan dengan baku mutu air
limbah bagi kegiatan RPH sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Peraturan Menteri ini selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah
ditetapkannya Peraturan Menteri ini.
Pasal 11
Pasal 12
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2006
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
pH - 6-9
Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau dan kuda : 2.0 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0.2 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0.9 m3/ekor/hari
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.
NH3-N mg/L 25
pH - 6-9
Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau dan kuda : 1.5 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0.15 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0.65 m3/ekor/hari
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.