Anda di halaman 1dari 310

KATA PENGANTAR

Proposan Perluasan dan Pembangunan Rumah Potong Hewan Pasar Cikampek,


mengurai tentang pentingnya Pemerintah darah kabupaten Karawang memiliki
Rumah Potong Hewan yang Representative dan Higienis.

Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009


tentang Peternakan dan kesehatan hewan menyebutkan bahwa: Pemerintah
daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi
persyaratan teknis.
Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner menyebutkan bahwa:
Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di Rumah Pemotongan Hewan
atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang
berwenang.

Semua persyaratan teknis, Administrasi, keuangan dan sekaligus penanganan


limbah Rumah Potong Hewanm digambarkan secara detail dalam proposal ini.
Hal ini dimaksudkan agar mudah difahami dan diaplikasikan.

Kebutuhan hadirnya Rumah Potong Hewan yang Representativ dan Higienis,


bukan saja kebutuhan pedagang daging Pasar Cikampek saja, melainkan
merupakan kebutuhan hajat hidup orang banyak.

Semoga kehadiran Proposal ini, dapat membuka mata dan telinga kita, tentang
eksistensi Rumah Potong Hewan yang ada, guna menuju perbaikan dimasa
mendatang. Hanya Kepa Allah kami memohon pertolongan.

Karawang 1 Agustus 2016


Pramusaji

(Drs.H.M.Solihin)
DAFTAR ISI
NO Uraian Halaman
1. Bab I Pendahuluan
Berisi Gambaran Umum Rumah Potong Hewan (RPH) di 1-13
Kabupaten Karawang, Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Pembuatan Proposan, Biaya yang
diperlukan, manfaat yang diperoleh dan sistematika
penulisan.
2. Bab II Kajian Tioritis 14-29
Berisi Kajian Teoritis pembangunan Rumah Potong Hewan,
persyaratan lokasi, persyaratan fisik bangunan, bangunan
penunjang dan lainnya.
3. Bab III Standarisasi Manajemen Rumah Potong Hewan 30-61
Berisi Peran dan Fungsi Rumah Potong Hewan, Design Tata
Ruang Rumah Potong Hewan, Standarisasi Rumah Potong
Hewan, Analisis Lingkungan Rumah Potong Hewan,
Analisis Pasar dan Pemasaran, Analisis Financial dan
Analisis Sosial ekonomi.
4. Bab IV Manajemen Pengolahan limbah Rumah Potong 62-110
Hewan
Berisi tentang penanganan limbah Rumah Potong Hewan,
dampak limbah Rumah Potong Hewan dan Solusi
pemanfaatannya.
5. Bab V Penutup
Berisi Kesimpulan dan Saran 111-125
6. Daftar Pustaka 126-132
7. Lampiran-Lampiran 133-293
7.1 Undang-undang republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009 133-186
TentangPeternakan dan kesehatan hewan
7.2 Peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 95 tahun 187-212
2012012 Tentang Kesehatan masyarakat veteriner dan
kesejahteraan hewan
7.3 Peraturan menteri pertanian Nomor: 213-225
381/kpts/ot.140/10/2005 Tentang pedoman sertifikasi
kontrol veteriner Unit usaha pangan asal hewan
7.4 Peraturan pemerintah republik indonesia 226-241
Nomor 22 tahun 1983 Tentang Kesehatan masyarakat
veteriner
7.5 peraturan menteri pertanian republik Indonesia nomor 242-273
13/permentan/ot.140/1/2010 tentang persyaratan rumah
potong hewan ruminansia dan unit penanganan daging
(meat cutting plant)
7.6 Peraturan menteri Perdagangan Nomor 41 tahun 2015 274-279
tentang Ketentuan Ekpor dan Impor Hewan
7.7 Peraturan menteri negara lingkungan hidup Nomor 02 tahun 280-289
2006 Tentang Baku mutu air limbah Bagi kegiatan rumah
pemotongan hewan
7.8 Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699 Tahun 2013 290-293
Tentang Stabilisasi harga Daging Sapi
7.9 Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 49 Tahun 2015 294-306
Tentang Rumah Potong Hewan Ruminansi
PROPOSAL
PERLUASAN PEMBANGUNAN
RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
PASAR CIKAMPEK

GAMBARAN UMUM
KONDISI RUMAH POTONG HEWAN
DI KABUPATEN KARAWANG
Pedagang Daging di Karawang Keluhkan RPH

Karawang, Aktual.com – Sejumlah


pedagang daging sapi di Kabupaten
Karawang, Jawa Barat, berharap
agar pemerintah daerah setempat
memperbaiki kondisi rumah
pemotongan hewan.

“Kondisi rumah pemotongan hewan


yang ada saat ini tidak layak untuk
disebut rumah pemotongan, karena
sangat minim fasilitas,” kata Endang,
salah seorang pedagang daging sapi Pasar Baru, di Karawang, Jumat.

RPH 1 CIKAMPEK
Ia mengaku selama ini para pedagang daging lebih memilih memotong sapi
dengan menggunakan jasa tukang potong atau tukang jagal dibandingkan di
rumah pemotongan hewan.

Selain fasilitasnya minim, jasa pemotongan hewan di rumah pemotongan hewan


tersebut juga tidak bisa cepat. Padahal pedagang butuh pelayanan cepat di rumah
pemotongan hewan itu.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Perkebunan Kehutanan dan Peternakan


Karawang Kadarisman menyatakan tiga rumah pemotongan hewan yang ada
belum berfungsi dengan baik dan perlu dikembangkan.
“Kondisi rumah pemotongan hewan yang saat ini masih minim fasilitasnya. Jadi
perlu dikembangkan,” kata dia.

Ia mengatakan, ada tiga unit rumah pemotongan hewan atau Rumah Potong
Hewan (RPH) yang ada di Karawang. Masing-masing Rumah Potong Hewan
(RPH) itu berada di Kecamatan Cikampek, Karawang Timur dan wilayah
Rengasdengklok.

Tiga unit RPH yang tersebar di tiga kecamatan tersebut diakuinya belum
memiliki fasilitas yang layak. Sehingga perlu pengembangan, agar mampu
melayani pemotongan hewan dalam jumlah yang banyak.

Dalam sehari, rata-rata hanya tujuh sampai delapan ekor sapi yang dipotong di
masing-masing Rumah Potong Hewan (RPH) sekitar Karawang.

Kondisi Rumah Potong Hewan (RPH) saat ini banyak yang tidak layak. Karena
itu secepatnya fasilitas ini akan ditingkaktkan sehingga menjadi Rumah Potong
Hewan modern. Sehingga masyarakat juga bisa memanfaatkannya.

Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Pertanian Perkebunan Kehutanan dan


Peternakan (Distanhutnak) Karawang Kadarisman, Kamis (18/2). “Dari 3
Rumah Potong Hewan yang kita miliki memang semuanya dalam kondisi yang
tidak layak sebagai RPH modern. Makanya kedepan kita akan membenahi agar
masyarakat juga bisa memanfaatkannya,” katanya.

Kondisi Rumah Potong Hewan di Karawang, kata dia, memang banyak


dikeluhkan oleh masyarakat karena fasilitasnya sangat minim. Kondisi ini

RPH 2 CIKAMPEK
membuat RPH yang ada tersebut kurang diminati sehingga masyarakat lebih
memilih menggunakan jasa tukang jagal atau yang biasa memotong hewan.
Menurut Kadarisman, Pemkab Karawang memiliki 3 unit Rumah Potong Hewan
yang ada di Kecamatan Cikampek, Karawang Timur dan Rengas Dengklok.

Dari ketiga Rumah Potong Hewan tersebut seluruhnya memiliki fasilitas yang
minim. Dengan fasilitas yang minim membuat para pedagang sapi potong tidak
mau datang dan mereka memilih tempat lain. “RPH yang di Cikampek dan
Karawang Timur paling hanya memotong 6 ekor sapi. Sedangkan yang di
Rengasdengklok lebih parah lagi paling hanya memotong dua ekor saja setiap
harinya. Jumlah ini sangat minim sekali makanya kita akan segera memperbaiki
agar jumlah hewan yang dipotong lebih banyak lagi,” katanya.

Menurut Kadarisman salah satu penyebab Rumah Potong Hewan ini sepi karena
memang fasilitas yang dimiliki sangat minim. Oleh karena itu pihak dinas
pertanian akan segera memperbaiki fasilitas RPH yang ada di Karawang.
“Seluruh RPH akan kita perbaiki fasilitasnya dan yang kurang akan kita
lengkapi sesuai dengan standar modern. Diharapkan dengan adanya
penambahan fasilitas nantinya bisa lebih maksimal melayani masyarakat,”
katanya.

Sementara itu salah seorang pedagang daging sapi di Pasar Baru Karawang,
Endang, mengaku selama ini lebih memilih memotong sapi menggunakan jasa
tukang potong. Menurutnya, Rumah Potong Hewan yang ada di Karawang tidak
layak untuk disebut rumah pemotongan. Selain itu biaya pemotongan lebih
mahal dibandingkan dengan pelayanan yang diharapkan pedagang. “Harusnya
Rumah Potong Hewan itu bisa melayani sesuai dengan harapan para pedagang
yaitu melayani lebih cepat. Selain itu juga harganya jangan terlalu mahal hingga
pedagang mau ke Rumah Potong Hewan,” kata Endang.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang sehat dan
sejahtera, mendorong adanya tuntutan akan kebutuhan pangan yang sempurna,
mencakup didalamnya komposisi gizi yang seimbang antara karbohidrat sebagai
sumber energi, dan protein sebagai zat sumber pertumbuhan badan. Kebutuhan
protein nabati dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi bahan pangan dari tumbuh-
tumbuhan sedang konsumsi protein hewani diperoleh dari hewan ternak yang
dipelihara dengan sehat.

Permintaan masyarakat terhadap daging yang sehat khusunya daging sapi


sebagai sumber utama protein hewani terus meningkat, hal ini menyebabkan

RPH 3 CIKAMPEK
intensitas pemotongan juga meningkat, oleh karena itu keberadaan Rumah
Pemotongan Hewan sangat diperlukan, yang dalam pelaksanaannya harus dapat
menjaga kualitas, baik dari tingkat kebersihannya, kesehatannya, ataupun
kehalalan daging untuk dikonsumsi. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah
mendirikan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di berbagai daerah seluruh
Indonesia.

Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang
sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik
sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung
enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein,
lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging
dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).

Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam
mata rantai penyediaan daging adalah tahap di Rumah Pemotongan Hewan
(RPH). Di Rumah Pemotongan Hewan ini hewan disembelih dan terjadi
perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi
pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi
(pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di Rumah Pemotongan
Hewan yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan,
mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem
jaminan mutu dan keamanan pangan di Rumah Pemotongan Hewan sangatlah
penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety
Rumah Pemotongan Hewan. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem
tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesehatan hewan.

Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu
tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan
hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus
yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan
sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi
masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan Rumah
Pemotongan Hewan di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah
Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan.

Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan
disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas
bagi konsumsi masyarakat luas (Manual Kesmavet, 1993).

Dari uraian tersebut diatas, di Kabupaten Karawang diperlukan sarana untuk


pelayanan kepada masyarakat baik di dalam maupun di luar Kabupaten
Karawang dalam penyediaan daging sehat yang sesuai dengan perkembangan
yang terjadi.

RPH 4 CIKAMPEK
Untuk menanggapi potensi luar biasa tersebut diperlukan adanya Rumah
Pemotongan Hewan yang representatif, sehingga demikian perlu perencanaan
tentang Rumah Pemotongan Hewan di Cikampek yang lebih menekankan pada
fungsi proses produksi sehingga tercipta keefektifan di lokasi tersebut, dengan
ketentuan tentang persyaratan Rumah Pemotongan Hewan yang sesuai dengan
keputusan pemerintah yang berlaku.

Rumah Potong Hewan adalah suatu komplek bangunan dengan desain dan
syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan bagi
konsumsi masyarakat luas. Rumah Pemotongan Hewan Pasar Cikampek
Kabupaten Karawang memiliki konsep terpadu dimana RPH tidak hanya
memberikan pelayanan pemotongan berbagai macam jenis ternak seperti sapi,
kerbau, kambing, domba dan unggas tetapi juga RPH dilengkapi dengan
kandang-kandang penampungan, pasar hewan, klinik, meat shop dan unit
pengolahan ayam ungkep, koasistensi/ magang/ penelitian/ study banding
pelajar, mahasiswa dan instansi (pemerintah maupun swasta) serta menjadi
kawasan eduagrowisata sehingga pelayanan yang diberikan sangat lengkap dari
hulu ke hilir atau one stop shopping. RPH Terpadu Pasar Cikampek yang
berdiri di atas lahan 7.000 M2 diharapkan dapat menjadi RPH percontohan di
Karawang.

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Cikampek, merupakan Unit Pelaksana


Teknis Dinas (UPTD) yang berada dibawah naungan Dinas Pertanian
Kabupaten Karawang. Rumah Pemotongan Hewan sebagai unit pelayanan
publik memiliki fungsi teknis, ekonomis dan sosial dimana dalam pelaksanaanya
mengacu pada Visi dan Misi Bupati Karawang. Dari aspek sosial RPH
memberikan ketentraman batin kepada masyarakat dari kemungkinan penularan
penyakit Zoonosis dan penyakit atau keracunan makanan (Food Born Disease
dan Food Born Intoxication) melalui penyediaan daging yang Aman, Sehat,
Utuh dan Halal (ASUH).

Daging merupakan salah satu bahan makanan yang hampir sempurna, karena
mengandung gizi yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu protein
hewani, energi, air, mineral dan vitamin (Soeparno, 2005). Kebutuhan daging
sapi di Indonesia sangat tinggi, Rumah Potong Hewan sangat berperan pada
penyediaan konsumsi daging di pasaran. Rumah Potong Hewan (RPH)
merupakan bangunan yang di desain dengan kontruksi khusus untuk memenuhi
persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat
memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat (Anonim,
1999). Untuk memperoleh kualitas daging yang baik dan ASUH (Aman, Sehat,
Utuh dan Halal) maka perlu diterapkan sistem pengawasan terhadap hewan
potong di RPH dengan baik serta ditunjang dengan sarana dan prasana baik yang
mendukung.

RPH 5 CIKAMPEK
Daging merupakan bahan pangan asal ternak yang dibutuhkan oleh manusia
karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan mengandung asam amino esensial
yang diperlukan untuk pertumbuhan sel- sel baru, pergantian sel-sel rusak serta
diperlukan bagi metabolisme tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan
bagi masyarakat, daging harus memenuhi aspek kuantitatif, aspek kualitatif
(nilai gizi), aspek kesehatan (syarat-syarat hygiene) dan aspek kehalalan,
sehingga diperoleh produk yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

Mengingat beberapa permasalahan tersebut diatas maka setiap kegiatan yang


bergerak dan berhubungan dengan penanganan daging harus dilaksanakan
dengan memenuhi persaratan kesehatan masyarakat veteriner. Sehingga
masyarakat konsumen daging akan dapat memperoleh manfaat dan nilai
kelebihan akan gizinya serta sekaligus dapat terhindar dari penularan penyakit
zoonosis..

Sebagai sarana pelayanan terhadap masyarakat, khususnya jasa pelayanan


pemotongan dan pemeriksaan kesehatan hewan dan daging, RPH Kabupaten
Karawangberfungsi pula sebagai unit penghasil pendapatan asli daerah (PAD).
Untuk dapat meningkatkan PAD RPH Kabupaten Karawang, selain tempat
pelayanan yang memadai dituntut pula jasa pelayanan yang prima dan
profesional dari aparatur.

Rumah Potong Hewan secara garis besar mempunyai bangunan utama dan
bangunan pendukung. Bangunan utama merupakan ruangan yang secara
langsung menangani hewan potong dari proses pengistirahatan hewan potong
sampai proses pembagian karkas dan siap untuk dipasarkan, sedangkan
bangunan pendukung merupakan kantor administrasi yang mempunyai tugas
untuk mendata hewan yang masuk dan karkas yang diedarkan.

Rumah Pemotongan Hewan Terpadu Pasar Cikampek akan mengupayakan


untuk memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia. Dimana setiap juru sembelih/modin sudah mendapat
sertifikasi sehingga semua produk yang keluar dari RPH telah memenuhi aspek
halal.

Selain akan mengupayakan memenuhi aspek halal, Rumah Pemotongan Hewan


Pasar Cikampek Kabupaten Karawang juga sedang berupaya untuk memiliki
Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yaitu suatu sertifikasi yang merupakan
legitimasi telah dipenuhinya peryaratan higiene sanitasi sebagai kelayakan dasar
jaminan pangan asal hewan. Rumah Potong Hewan Pasar Cikampek akan
dilengkapi oleh Standar Operasional Prosedur (SOP) yang merupakan pedoman
dalam melaksanakan setiap kegiatan dan telah memiliki standar pelayananan
untuk memberikan jaminan kepastian bagi pengguna jasa.

Rumah Pemotongan Hewan Pasar Cikampek sudah dan sedang melakukan

RPH 6 CIKAMPEK
pembenahan baik dibidang fisik bangunan maupun organisasi pengelola untuk
memperoleh ISO 9001:2008 tentang Quality Management System for
the provision of beef slaughtering service. Diharapkan RPH Terpadu dapat
memberikan pelayanan yang berkualitas dengan berorientasi kepada kebutuhan
dan kepuasan masyarakat.

1.2 Kerangka Pikir


Adapun alur pikir kegiatan yang menjadi landasan prosedur kegiatan ini
disajikan dalam diagram alir sebagaimana terlihat pada gambar 1.

1.2.1 Variabel dan Indikator


Variabel dan indikator yang digunakan dalam studi ini dikelompokkan
berdasarkan jenis analisis kelayakan yang digunakan, yaitu:
1) Analisis kelayakan pasar, dengan variabel permintaan dan penawaran saat
ini dan yang akan datang, harga jual daging, target pasar, kendala
pemasaran, distribusi pemasaran, daerah pemasaran dan prospek RPH.
2) Analisis kelayakan teknis, yang meliputi variabel lokasi usaha, sumber
bahan baku, teknologi yang digunakan, kapasitas produksi, kebutuhan
tenaga kerja, fasilitas air, fasilitas listrik, alat angkut.
3) Analisis kelayakan finansial, dengan variabel jumlah/kebutuhan investasi
untuk tanah dan bangunan, mesin, peralatan dan biaya pemasangannya, serta
biaya-biaya lainnya, modal kerja, biaya tetap, biaya tidak tetap, sumber
pembiayaan.
4) Analisis kelayakan lingkungan meliputi aspek-aspek kedekatan dengan
pemukiman penduduk, jalur transportasi, dan tempat pembuangan limbah.

RPH 7 CIKAMPEK
1.2.2 Kebutuhan Dan Sumber Data
Data yang dibutuhkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh langsung dari nara sumber yang antara terdiri dari atas
1. Pejabat Pemerintah terkait (Bupati, Dinas Pertanian, BAPPEDA, dll), untuk
mengetahui kebijakan yang diambil dalam pendirian RPH.
2. Pengusaha/Peternak, untuk mengetahui respons dan feedback
pengusaha/peternak dengan adanya rencana pendirian RPH tersebut.
3. Pengusaha Peralatan Pemotongan Hewan, untuk mendapatkan informasi
mengenai harga peralatan dan mesin yang akan digunakan RPH.

Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan publikasi yang diterbitkan


oleh instansi terkait dan berhubungan langsung dengan studi ini.

1.2.3 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pembuatan Proposal ini dibagi dalam dua tahap pengumpulan data. Tahap
pertama di fokuskan kepada aktivitas desk research yang meliputi telaah pustaka
dan pencarian data sekunder. Tahap kedua akan memfokuskan pada pencirian
data primer melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan nara
sumber terpilih baik dari kalangan pejabat pemerintahan, pengusaha/peternak
maupun masyarakat dengan metode random sampling. Adapun teknik
pengolahan data didasarkan kepada aspek-aspek analisis kelayakan yang antara
lain meliputi:

RPH 8 CIKAMPEK
1) Aspek Kelayakan Pasar, dengan teknik analisis trend terhadap variable
terpilih. Analisis ini memberikan arahan tentang volume permintaan dan
penawaran daging sekarang dan masa yang akan datang.
2) Aspek Kelayakan Teknis, melalui teknik analisis deskriptif terhadap
variabel-variabel yang telah ditentukan.
3) Aspek Kelayakan Finansial, melalui Net Present Value (NPV), Internal Rate
of Returns (IRR) dan Net Benefit Cost Ratio.
4) Aspek Kelayakan Lingkungan diterapkan secara deskriptif untuk
mengetahui dan mengukur kemanfaatan dan kerugian yang diprediksi akan
muncul dengan adanya fasilitas pemotongan hewan di sekitar bangunan
RPH.

1.2.3 Teknik Analisis Data


Teknik analisis yang digunakan dalam studi ini adalah:
1) Teknik Analisis Deskriptif yang meliputi,
(1) Kecenderungan (trend) produksi;
(2) Potensi pemasaran;
(3) Pendapatan per kapita masyarakat dan perkembangan penduduk;
(4) Dampak lingkungan.
2) Teknik Analisis Kelayakan Teknis, yang mencakup:
(1) Analisis bahan baku;
(2) Analisis sumber daya manusia;
(3) Analisis infrastruktur jalan, listrik, telepon, dll.
3) Teknik Analisis Kelayakan Finansial
(1) Teknik Analisis NPV
Teknik analisis NPV sangat bermanfaat untuk menilai kelayakan suatu
proyek dengan menghitung nilai penerimaan sekarang dan yang akan
datang. Penilaian proyek dilakukan dengan mengukur prospek
penerimaan sekarang atas sejumlah dana dengan mempertimbangkan
penerimaan di masa yang akan datang. Apabila dari hasil perhitungan,
NPV bernilai positif maka rencana proyek layak untuk dilanjutkan,
demikian pula sebaliknya.

RPH 9 CIKAMPEK
(2) Teknik Analisis Internal Rate of Returns (IRR)
Tingkat hasil pengembalian internal didefinisikan sebagai suku bunga
yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan atau
penerimaan kas, dengan pengeluaran investasi awal. Analisis IRR
adalah proses penghitungan suatu tingkat discount rate yang
menghasilkan NPV sama dengan 0 (nol).

Formula persamaan untuk menghitung nilai IRR adalah:

Jika IRR lebih besar daripada CoC (Cost of Capital) maka proyek
tersebut layak untuk diteruskan, sedangkan apabila IRR lebih kecil atau
sama dengan CoC maka proyek tersebut sebaiknya dihentikan.

(3) Teknik Analisis Net Benefit Cost Ratio


Teknik analisis Net B-C Ratio digunakan untuk membandingkan antara
keuntungan bersih yang telah di discount positif dengan net benefit
yang telah di discount negatif.
Rumus untuk menghitung IRR adalah:

Jika nilai Net B/C lebih besar dari 1 (satu) maka proyek tersebut layak
untuk dikerjakan sebaliknya jika Net B/C kurang dari 1 (satu) berarti
proyek tersebut tidak layak untuk diteruskan.

1.3 Perumusan Masalah


Dalam upaya mewujudkan Rumah Potong Hewan (RPH) yang berkelas dan
mendapat ISO 9001:2008 tentang Quality Management System for
the provision of beef slaughtering service, perlu dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Perluasan Lahan dan Bangunan Rumah Potong Hewan yang ada;
2. Penambahan Perlengkapan alat-alat, sarana dan prasarana penunjang;
3. Penguatan Struktur Organisasi Pengelola Rumah Potong Hewan
4. Penguatan kesadaran dan Rasa memiliki terhadap Rumah Potong Hewan
dari stakeholder.

1.4 Tujuan Pembuatan Proposal


Pembuatan proposal ini bertujuan untuk mewujudkan Rumah Potong Hewan

RPH 10 CIKAMPEK
yang Representatif, layak, bersih dan sehat, sehingga dapat menghasilakan
produk daging yang bersih dan sehat. Dari Rumah Potong Hewan yang layak,
bersih dan sehat akan menghasilkan:
1. Bertambahnya Pendapatan Asli Daerah dari sektor retribusi RPH
2. Bertambahnya pertumbuhan ekonomi di sektor perdagangan daging
3. Terjaminnya kesehatan daging yang diproduksi RPH
4. Kesejahteraan masyarakat bertambah baik.

1.5 Biaya yang dibutuhkan


Biaya yang dibutuhkan untuk perluasan dan pembangunan Rumah Potong
Hewan Cikampek adalah sebagai berikut:

1. Biaya Perencanaan 122.850.000


2. Pembelian tanah seluas 3.800 m2 @Rp.1.200.000 4.560.000.000
3. Pembangunan Pisik Bangunan Rumah Potong Hewan 6.000.000.000
@Rp.2.000.000
4. Biaya Administrasi (DED. KAK, RKS, Dokumen 585.000.000
Lelang dan lainnya).
Jumlah 11.267.850.000

1.6 Analisis Financial


Internal Rate of Returns (IRR), Biaya yang dibutuhkan Rp.
11.267.850.000, Pendapatan yang dihasilkan Rp. 12.775.000.000/tahun
Net Present Value (NPV) = 1.507.150.000, angka ini menunjukan lebih
besar dari 0(Nol)

Net B/C adalah perbandingan antara jumlah PV net benefit yang positif
dengan jumlah PV net benefit yang negatif. Jumlah Present value positif
sebagai pembilang dan jumlah present value negatif sebagai penyebut.

Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat manfaat (benefit)
yang diperoleh dari biaya (cost) yang dikeluarkan. Apabila net B/C > 1,
maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan layak untuk
dilaksanakan. Demikian pula sebaliknya, apabila net B/C < 1, maka
proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan tidak layak untuk
dilaksanakan. Net B/C ratio merupakan manfaat bersih tambahan yang
diterima proyek dari setiap 1 satuan biaya yg dikeluarkan.

RPH 11 CIKAMPEK
Diketahui:
1. Biaya Investasi Proyek Perluasan Rumah Potong Hewan Pasar
Cikampek Rp. 11.267.850.000
2. Pendapatan Kotor RPH Rp. 11.862.500.000/tahun
3. Biaya Operasional RPH Rp.8.896.875.000 /tahun
4. Umur Proyek investasi 25 Tahun
5. Selisih Laba Usaha Netto Rp. 2.965.625.000/tahun x 25 Tahun = Rp.
74.140.625.000
6. Laba Usaha dikurangi modal investasi (74.140.625.000 -
12.407.850.000) = 61.732.775.000
7. Net B/C = 61.732.775.000/11.267.850.000 = 547,866%

1.6 Manfaat yang diperoleh


Dengan perluasan Rumah Potong Hewan Pasar Cikampek, secara otomatis
berimbas pada besaran jumlah hewan yang dipotong di RPH tersebut. Hal ini
membawa dampak:
1. Pelayanan RPH semakin memuaskan pelanggan;
2. Kualitas daging semakin baik untuk memenuhi konsumsi lokal, maupun
regional, termasuk konsumen hotel, restoran, maupun perusahaan katering.
3. Mendorong peningkatan permintaan sapi dan daging sapi dengan harga
pasar yang kondusif sehingga pendapatan peternak membaik dan
peternakan rakyat kecil turut berkembang.
4. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah;
5. Peningkatan Kesejahtraan Masyarakat;
6. Terpenuhinya kebutuhan daging dipasaran.

1.7 Sistimatika Penulisan


1. Bab I Pendahuluan
Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Rumah Potong Hewan,
sehingga dapat dirumuskan masalah-masalah yang menjadi kendala untuk
selanjutnya dicarikan solusinya.
2. Bab II Kajian Tioritis

RPH 12 CIKAMPEK
Bab ini membahas teori-teori dan konsep serta hasil-hasil penelitian sejenis
yang sudah dilakukan.
3. Bab III Pembahasan
Bab ini membahas solusi alternative yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan
4. Bab IV Penutu
Bab ini berisi kesimpulan dan Saran (Rekomendasi)

RPH 13 CIKAMPEK
BAB II
KAJIAN TIORITIS

Salah satu tahapan proses penelitian yang harus diperhatikan oleh peneliti adalah
menyusun kajian teori. Proses menyusun kajian teori merupakan proses yang
sangat menentukan langkah penelitian berikutnya. Maka dari itu seorang peneliti
harus memiliki perhatian yang tinggi terhadap masalah kajian teori.

Banyak peneliti yang terhenti proses penelitiannya hanya karena tidak


memahami cara mendapatkan teori yang relevan dengan topik penelitiannya,
atau peneliti tidak memiliki referensi yang cukup memadai untuk melengkapi
tahapan kajian teorinya, sehingga dasar pijakan dalam penelitianya rapuh.

Proses pemilihan teori yang relevan dengan topik penelitian merupakan proses
yang memerlukan kecapakan dan strategi tertentu. Seorang peneliti akan mudah
menyusun kajian teori manakala ia paham betul topik masalah yang hendak
ditelitinya, kemudia ia memiliki kemampuan untuk menemukan referensi yang
dibutuhkanya.

2.1 Pengertian Rumah Potong Hewan


Sebelum membahas tentang Rumah Potong Hewan terlebih dahulu di berikan
pengertian tentang hewan potong . Untuk mendapatkan hewan potong yang
baik diperlukan tempat khusus yang disebut Rumah Potong Hewan.

RPH 14 CIKAMPEK
Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum.
(Peraturan Menteri RI No.13/Permentan/OT.140/1/2010).

Rumah Pemotongan Hewan adalah kompleks bangunan dengan disain dan


konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta
digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi
konsumsi masyarakat. (SNI 01 - 6159 – 1999).

Unit Penanganan Daging (meat cutting plant) yang selanjutnya disebut


dengan UPD adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain
dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan
pembagian karkas, pemisahan daging dari tulang, dan pemotongan daging
sesuai topografi karkas untuk menghasilkan daging untuk konsumsi
masyarakat umum.

2.1.1 Bangunan utama Rumah Potong Hewan terdiri dari


a. Daerah kotor
Tempat pemingsanan, tempat pemotongan dan tempat pengeluaran
darah. Tempat penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan
kepala, keempat kaki sampai tarsus dan karpus, pengulitan,
pengeluaran isi dada dan isi perut). Ruang untuk jeroan, ruang
untuk kepala dan kaki, ruang untuk kulit, tempat pemeriksaan
postmortem.
b. Daerah bersih
Tempat penimbangan karkas, tempat keluar karkas, jika Rumah
Pemotongan Hewan dilengkapi dengan ruang pendingin/pelayuan,
ruang pembeku, ruang pembagian karkas dan pengemasan daging,
maka ruang-ruang tersebut terletak di daerah bersih (SNI 01 - 6159
– 1999).

2.1.2 Bangunan utama Rumah Potong Hewan harus memenuhi persyaratan


yaitu:
1. Tata ruang
Tata ruang harus didisain agar searah dengan alur proses serta
memiliki ruang yang cukup sehingga seluruh kegiatan pemotongan
hewan dapat berjalan baik dan higienis. Tempat pemotongan
didisain sedemikian rupa sehingga pemotongan memenuhi
persyaratan halal. Besar ruangan disesuaikan dengan
kapasitas pemotongan. Adanya pemisahan ruangan yang jelas
secara fisik antara “daerah bersih” dan “daerah kotor”. Di daerah
pemotongan dan pengeluaran darah harus didisain agar darah dapat
tertampung.

RPH 15 CIKAMPEK
2. Dinding
Tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan
karkas minimum meter. Dinding bagian dalam berwarna terang
dan minimum setinggi 2 meter terbuat dari bahan yang kedap air,
tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras,
mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.

3. Lantai
Lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak
licin, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan landai
ke arah saluran pembuangan. Permukaan lantai harus rata, tidak
bergelombang, tidak ada celah atau lubang.

4. Sudut Pertemuan
Sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk
lengkung dengan jari- jari sekitar 75 mm. Sudut pertemuan antara
dinding dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari
sekitar 25 mm.

5. Langit-langit
Langit-langit didisain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan
kondensasi dalam ruangan. Langit-langit harus berwarna terang,
terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah mengelupas, kuat,
mudah dibersihkan serta dihindarkan adanya lubang atau celah
terbuka pada langit-langit.

6. Pencegahan serangga, rodensia dan burung


Masuknya serangga harus dicegah dengan melengkapi pintu,
jendela atau ventilasi dengan kawat kasa atau dengan
menggunakan metode pencegahan serangga lainnya. Konstruksi
bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah
masuknya tikus atau rodensia, serangga dan burung masuk dan
bersarang dalam bangunan.

7. Pertukaran udara dalam bangunan harus baik


8. Pintu
Pintu dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat
menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk. Pintu dilengkapi
dengan alat penutup pintu otomatik.

9. Penerangan
Penerangan dalam ruangan harus cukup baik. Lampu penerangan
harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dam mempunyai
intensitas penerangan 540 lux untuk tempat pemeriksaan

RPH 16 CIKAMPEK
postmortem dan 220 luks untuk ruang lainnya.

10 Kandang Penampung dan Istirahat Hewan Berdasarkan SNI 01 -


6159 – 1999 yaitu:
a. Lokasinya berjarak minimal 10 meter dari bangunan utama.

b. Kapasitas atau daya tampungnya mampu menampung minimal


1,5 kali kapasitas pemotongan hewan maksimal setiap hari.

c. Pertukaran udara dan penerangan harus baik.

d. Tersedia tempat air minum untuk hewan potong yang didisain


landai ke arah saluran pembuangan sehingga mudah dikuras dan
dibersihkan.

e. Lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan


keras), kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran
pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi.

f. Saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan


dapat mengalir lancar.

g. Terpasang atap yang terbuat dari bahan yang kuat, tidak


toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas
dan hujan.

h. Terdapat jalur penggiring hewan (gangway) dari kandang


menuju tempat penyembelihan. Jalur ini dilengkapi jaring
pembatas yang kuat di kedua sisinya dan lebarnya hanya cukup
untuk satu ekor sehingga hewan tidak dapat berbalik arah
kembali ke kandang.

RPH 17 CIKAMPEK
Kesehatan masyarakat veteriner adalah suatu bidang penerapan kemampuan
profesional, pengetahuan dan sumberdaya kedokteran hewan dalam bidang
kesehatan masyarakat untuk melindungi dan memperbaiki kesehatan manusia.

Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum


disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Pemeriksaan
postmortem adalah pemeriksaan kesehatan jeroan, kepala dan karkas setelah
disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang.
Petugas pemeriksa berwenang adalah dokter hewan pemerintah yang ditunjuk
oleh Menteri atau petugas lain yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
pemeriksaan antemortem dan postmortem serta pengetahuan di bidang
kesehatan masyarakat veteriner yang berada di bawah pengawasan dan tanggung
jawab dokter hewan yang dimaksud.

Daerah kotor adalah daerah dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi dan
fisik yang tinggi. Daerah bersih adalah daerah dengan dengan tingkat
pencemaran biologik, kimiawi dan fisik yang rendah. Desinfeksi adalah
penggunaan bahan kimia dan/atau tindakan fisik untuk mengurangi/
menghilangkan mikroorganisme.

Kandang Penampung adalah kandang yang digunakan untuk menampung hewan


potong sebelum pemotongan dan tempat dilakukannya pemeriksaan
antemortem. Kandang Isolasi adalah kandang yang digunakan untuk

RPH 18 CIKAMPEK
mengisolasi hewan potong yang ditunda pemotongannya karena menderita
penyakit tertentu atau dicurigai terhadap suatu penyakit tertentu.

Kandang Isolasi adalah kandang yang digunakan untuk mengisolasi hewan


potong yang ditunda pemotongannya karena menderita penyakit tertentu
atau dicurigai terhadap suatu penyakit tertentu (SNI 01 - 6159 – 1999 tentang
RPH).

2.2 Syarat-syarat Rumah Potong Hewan


Syarat Rumah Potong Hewan berdasarkan (SNI 01 - 6159 – 1999) yaitu:

2.2.1 Persyaratan Lokasi


Tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR),
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan/atau Rencana Bagian Wilayah
Kota (RBWK). Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya
serta letaknya lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak
menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan. Tidak berada dekat
industri logam dan kimia, tidak berada di daerah rawan banjir, bebas dari
asap, bau, debu dan kontaminan lainnya. Memiliki lahan yang relatif
datar dan cukup luas untuk pengembangan rumah pemotongan hewan.

2.2.2 Persyaratan Sarana


Rumah Pemotongan Hewan harus dilengkapi dengan Sarana jalan yang
baik menuju Rumah Pemotongan Hewan yang dapat dilalui kendaraan
pengangkut hewan potong dan kendaraan daging. Sumber air yang cukup
dan memenuhi persyaratan SNI 01-0220-1987. Persediaan air yang
minimum harus disediakan yaitu : Sapi, Kerbau, Kuda dan hewan yang
setara beratnya: 1000 liter/ekor/hari; Kambing, domba dan hewan yang
setara beratnya: 100 liter/ekor/hari; Babi: 450 liter/ekor/hari. Sumber
tenaga listrik yang cukup. Pada Rumah Pemotongan Hewan Babi
harus ada persediaan air panas untuk pencelupan sebelum pengerokan
bulu. Pada Rumah Pemotongan Hewan seyogyanya dilengkapi dengan
instalasi air bertekanan dan/atau air panas (suhu 80).

2.2.3 Persyaratan Bangunan dan Tata Letak


Kompleks Rumah Pemotongan Hewan harus terdiri dari Utama Kandang
Penampung dan Istirahat, Kandang Isolasi, Kantor Administrasi dan
Kantor Dokter Hewan, Tempat Istirahat Karyawan, Kantin dan Mushola,
Tempat Penyimpanan Barang Pribadi (locker)/Ruang Ganti Pakaian,
Kamar Mandi dan WC, Sarana Penanganan Limbah, Insenerator, Tempat
Parkir, Rumah Jaga, Gardu Listrik, Menara Air.

Kompleks Rumah Pemotongan Hewan harus dipagar sedemikian


rupa sehingga dapat mencegah keluar masuknya orang yang tidak
berkepentingan dan hewan lain selain hewan potong. Pintu masuk hewan

RPH 19 CIKAMPEK
potong harus terpisah dari pintu keluar daging.

Sistem saluran pembuangan limbah cair harus cukup besar, didisain


agar aliran limbah mengalir dengan lancar, terbuat dari bahan yang
mudah dirawat dan dibersihkan, kedap air agar tidak mencemari tanah,
mudah diawasi dan dijaga agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia
lainnya. Saluran pembuangan dilengkapi dengan penyaring yang mudah
diawasi dan dibersihkan.

Di dalam kompleks Rumah Pemotongan Hewan, sistem saluran


pembuangan limbah cair harus selalu tertutup agar tidak menimbulkan
bau. Di dalam bangunan utama, sistem saluran pembuangan limbah cair
terbuka dan dilengkapi dengan grill yang mudah dibuka-tutup, terbuat
dari bahan yang kuat dan tidak mudah korosif.

2.2.4 Syarat Peralatan


Seluruh perlengkapan pendukung dan penunjang di Rumah
Pemotongan Hewa harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif,
mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat. Peralatan yang
langsung berhubungan dengan daging harus terbuat dari bahan yang tidak
toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta
mudah dirawat.

Di dalam bangunan utama harus dilengkapi dengan sistem rel (railing


system) dan alat penggantung karkas yang didisain khusus dan
disesuaikan dengan alur proses untuk mempermudah proses pemotongan
dan menjaga agar karkas tidak menyentuh lantai dan dinding.

Sarana untuk mencuci tangan harus didisain sedemikian rupa agar tangan
tidak menyentuh kran air setelah selesai mencuci tangan, dilengkapi
dengan sabun dan pengering tangan seperti lap yang senantiasa diganti,
kertas tissue atau pengering mekanik (hand drier). Jika menggunakan
kertas tissue, maka disediakan pula tempat sampah tertutup yang
dioperasikan dengan menggunakan kaki.

Sarana untuk mencuci tangan disediakan disetiap tahap proses


pemotongan dan diletakkan ditempat yang mudah dijangkau, ditempat
penurunan ternak hidup, kantor administrasi dan kantor dokter hewan,
ruang istirahat pegawai dan/atau kantin serta kamar mandi/WC.
Pada pintu masuk bangunan utama harus dilengkapi sarana untuk
mencuci tangan dan sarana mencuci sepatu boot, yang dilengkapi sabun,
desinfektan, dan sikat sepatu. Pada Rumah Pemotongan Hewan untuk
babi disediakan bak pencelup yang berisi air panas.

Peralatan yang digunakan untuk menangani pekerjaan bersih harus

RPH 20 CIKAMPEK
berbeda dengan yang digunakan untuk pekerjaan kotor, misalnya pisau
untuk penyembelihan tidak boleh digunakan untuk pengerjaan karkas.

Ruang untuk jeroan harus dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk


pengeluaran isi jeroan, pencucian jeroan dan dilengkapi alat penggantung
hati, paru, limpa dan jantung. Ruang untuk kepala dan kaki harus
dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk mencuci dan alat penggantung
kepala. Ruang untuk kulit harus dilengkapi dengan sarana/peralatan
untuk mencuci.

Harus disediakan sarana/peralatan untuk mendukung tugas dan pekerjaan


dokter hewan atau petugas pemeriksa berwenang dalam rangka menjamin
mutu daging, sanitasi dan higiene di Rumah Pemotongan Hewan.
Perlengkapan standar untuk karyawan pada proses pemotongan dan
penanganan daging adalah pakaian kerja khusus, apron plastik, penutup
kepala, penutup hidung dan sepatu boot (SNI 01- 6159 – 1999).

2.2.5 Higiene Karyawan dan Perusahaan


Rumah Pemotongan Hewan harus memiliki peraturan untuk semua
karyawan dan pengunjung agar pelaksanaan sanitasi dan higiene rumah
pemotongan hewan dan higiene produk tetap terjaga baik. Setiap
karyawan harus sehat dan diperiksa kesehatannya secara rutin minimal
satu kali dalam setahun. Setiap karyawan harus mendapat pelatihan yang
berkesinambungan tentang higiene dan mutu. Daerah kotor atau daerah
bersih hanya diperkenankan dimasuki oleh karyawan yang bekerja di
masing-masing tempat tersebut, dokter hewan dan petugas
pemeriksa yang berwenang (SNI 01 - 6159 – 1999).

2.2.6 Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner


Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner serta pemeriksaan
antemortem dan postmortem di Rumah Pemotongan Hewan dilakukan
oleh petugas pemeriksa berwenang. Pada setiap Rumah Pemotongan
Hewan harus mempunyai tenaga dokter hewan yang bertanggung jawab
terhadap dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur pemotongan hewan,
penanganan daging serta sanitasi dan hygiene (SNI 01 - 6159 –1999).

2.2.7 Kendaraan Pengangkut Daging


Boks pada kendaraan untuk mengangkut daging harus tertutup. Lapisan
dalam boks pada kendaraan pengangkut daging harus terbuat dari bahan
yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi, mudah dirawat serta mempunyai sifat insulasi yang baik.
Boks dilengkapi dengan alat pendingin yang dapat mempertahankan
suhu bagian dalam daging segar +7 oC dan suhu bagian dalam jeroan +3
oC (SNI 01 - 6159 – 1999).

RPH 21 CIKAMPEK
2.2.8 Persyaratan Ruang Pendingin/Pelayuan
Ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih. Besarnya ruang
disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan. Konstruksi bangunan
harus memenuhi persyaratan:
- Dinding
Tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan karkas
minimum 3 meter. Dinding bagian dalam berwarna terang, terbuat dari
bahan yang kedap air, memiliki insulasi yang baik, tidak mudah
korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.
- Lantai
Lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak
toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas (SNI 01 - 6159 – 1999).

2.2.9 Ruang Beku


Ruang Pembeku terletak di daerah bersih. Besarnya ruang disesuaikan
dengan jumlah karkas yang dihasilkan. Ruang didisain agar tidak ada
aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke dalam
ruang pendingin/pelayuan. Ruang mempunyai alat pendingin yang
dilengkapi dengan kipas (blast freezer). Suhu dalam ruang di bawah –18
oC dengan kecepatan udara minimum 2 meter per detik (SNI 01 -6159 –
1999).

2.2.10 Ruang Pembagian Karkas dan Pengemasan Daging


Ruang pembagian dan pengemasan karkas terletak di daerah bersih dan
berdekatan dengan ruang pendingin/pelayuan dan ruang pembeku. Ruang
didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang lain
yang masuk ke dalam ruang pembagian dan pengemasan daging.
Ruang dilengkapi dengan meja dan fasilitas untuk memotong karkas
dan mengemas daging (SNI 01 - 6159 – 1999).

2.2.11 Laboratorium
Laboratorium didisain khusus agar memenuhi persyaratan kesehatan dan
keselamatan kerja. Tata ruang didisain agar dapat menunjang
pemeriksaan laboratorium. Penerangan dalam laboratorium memiliki
intensitas cahaya 540 lux. Lampu harus diberi pelindung (SNI 01 - 6159
– 1999).

2.3 Pengertian Daging


Berikut adalah definisi daging berdasarkan SNI 3932:2008

2.3.1 Karkas
Bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal sesuai dengan
CAC/GL 24-1997, telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala dan

RPH 22 CIKAMPEK
kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta
lemak yang berlebih.
a. Ketebalan Lemak Karkas
Jaringan lemak subkutan (sub cutaneous)
b. Konformasi Karkas
Jaringan otot skeletal dan jaringan lemak sebagai unit komersial
yang berhubungan dengan ukuran tulang rangka (skeleton)
c. Warna Karkas
Warna pada sayatan segar otot punggung (back muscle) atau otot daging
kelapa pada paha belakang (round)

2.3.2 Daging
Daging adalah bagian hewan yang disembelih (sapi, kerbau, kambing, domba)
yang dapat dimakan dan berasal dari otot rangka atau yang terdapat di lidah,
diagfragma, jantung dan oeshopagus dengan atau tidak mengandung lemak.
Daging merupakan otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil
yang masing- masing serat berupa sel memanjang, terdiri dari tiga komponen
utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue) dan
jaringan ikat (connective tissue). Sel serat otot mengandung dua macam protein
yang tidak larut, yaitu kolagen dan elastin yang terdapat pada jaringan ikat.
Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan
tingkat kealotan/kekerasan daging. Istilah daging dibedakan dengan karkas,
karena daging merupakan bagian tidak mengandung tulang, sedangkan karkas
adalah daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya (Foxit PDF,
2009 dalam Afiati).

Daging sapi merupakan pangan asal ternak yang kaya gizi, khususnya sumber
protein hewani yang bersifat perishable. Cara pemotongan dan penanganan
yang kurang higienis di RPH merupakan titik kritis kontaminasi
mikroorganisme pada daging. Mikroorganisme kontaminan yang bersifat
patogen dan perusak diantaranya adalah E. coli, L. monocytogenes dan S.
Typhimurium. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme kontaminan pada
daging dapat dilakukan secara fisik, kimia, dan biologis. Penggunaan
biopreservatif, misalnya dengan penambahan bakteriosin sudah mulai menjadi
pilihan produsen, karena lebih aman dan tidak meninggalkan residu yang
membahayakan konsumen (Usmiati et al, 2007 dalam Takasari).

Komposisi kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan
substansi bukan protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik,
substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin. Daging merupakan bahan
makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya
yang tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial
yang lengkap dan seimbang (Lawrie, 1995).

RPH 23 CIKAMPEK
Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum dan sesudah
pemotongan. faktor-faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi
kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,
umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral), dan stress.
faktor-faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara
lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan dan nilai pH
karkas (Soeparno, 1994 dalam Fatimah).

Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk


mempertahankan standar yang berkualitas karena kesejahteraan hewan
merupakan bagian dari kualitas daging (Grandin, 2001 dalam Fatimah).

Umumnya daging sapi di Indonesia dijual di pasar tradisonal pada masing-


masing daerah yang diperoleh dari hasil pemotongan di setiap RPH
ataupun pemotongan secara konvensional oleh para pedagang/pemilik ternak.
Rendahnya kemampuan penanganan daging sapi dalam proses pemotongan di
RPH mengakibatkan potensi penurunan daya simpan menjadi semakin besar dan
cepat. Begitu juga dengan perlakuan yang kurang baik selama proses penjualan
di pasar tradisional yang juga merupakan salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari daging sapi tersebut (Kurniawan,
2011)

Menurut SNI 3932:2008 daging adalah Bagian otot skeletal dari karkas sapi
yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging
segar, daging segar dingin, atau daging beku.
a. Daging Segar
Daging yang belum diolah dan atau tidak ditambahkan dengan bahan
apapun.
b. Daging Segar Dingin
Daging yang mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan
sehingga temperature bagian dalam daging antara 0 °C dan 4 °C.
c. Daging Beku
Daging segar yang sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast
freezer dengan temperatur internal minimum -18 °C.
d. Marbling Butiran lemak putih yang tersebar dalam jaringan otot
daging (lemak intra muskuler).
e. Perubahan Warna
Penyimpangan warna karena terdapat memar, pendarahan, "freeze burn"
dan atau perubahan warna lainnya yang disebabkan oleh mikroorganisme
atau zat-zat kontaminan
f. Memar
Perubahan warna dan konsistensi pada daging akibat benturan fisik g)
Freeze Burn Perubahan warna pada daging akibat kontak dengan
permukaan yang sangat dingin, di bawah temperatur -18 °C

RPH 24 CIKAMPEK
2.3.3 Daging Normal
Kriteria yang dipakai sebagai pedoman untuk menentukan kualitas daging
yang layak dikonsumsi adalah:

1. Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin


tua usia hewan susunan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan susunan
jaringan ikat semakin banyak sehingga daging yang dihasilkan semakin
liat. Jika ditekan dengan jari daging yang sehat akan memiliki konsistensi
kenyal.

2. Kandungan lemak (marbling) adalah lemak yang terdapat diantara


serabut otot (intramuscular). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot
dan mempertahankan keutuhan daging pada waktu dipanaskan. Marbling
berpengaruh pada cita rasa.

3. Warna daging bervariasi tergantung dari jenis hewan secara genetik dan
usia, misalkan daging sapi potong lebih gelap daging sapi perah, daging
sapi muda lebih pucat daripada daging sapi dewasa. Warna daging
yang baru diiris biasanya merah ungu gelap dan akan berubah menjadi
terang bila dibiarkan terkena udara dan bersifat reversible (dapat balik).
Namun bila dibiarkan terlalu lama dibiarkan di udara akan berubah
menjadi cokelat.

4. Rasa dan aroma dipengaruhi oleh jenis pakan. Daging berkualitas baik
mempunyai rasa gurih dan aroma yang sedap.

5. Kelembaban daging secara normal dapat dilihat pada bagian permukaan.


Bila permukaan daging relatif kering, daging tersebut dapat menahan
pertumbuhan mikroorganisme dari luar, sehingga mempengaruhi daya
simpan (Afiati 2009)

2.3.4 Standar Asuh


Jaminan keamanan pangan atau bahan pangan telah menjadi tuntutan seiring
dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Jaminan keamanan
pangan juga telah menjadi tuntutan dalam perdagangan nasional
maupun internasional. Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berkaitan dengan
keamanan pangan asal ternak diharapkan dapat memberikan jaminan keamanan
produk pangan asal ternak (Afiati 2009).

Dikatakan aman, daging tidak tercemar bahaya biologi (mikroorganisme,


serangga, tikus), kimiawi (pestisida dan gas beracun) fisik (kemasan tidak
sempurna bentuknya karena benturan) serta tidak tercemar benda lain yang
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sehat, daging
memiliki zat-zat yang dibutuhkan, berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan
tubuh manusia.

RPH 25 CIKAMPEK
Zat gizi meliputi unsure makro seperti karbohidrat, protein dan lemak serta
unsure mikro seperti vitamin dan mineral. Utuh, daging tidak dicampur dengan
bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain. Halal, hewan
maupun dagingnya disembelih dan ditangani sesuai syariat agama Islam.
Kehalalan menjadi hak asasi manusia yang diakui keberadaannya sehingga
harus dijamin dan dilindungi oleh semua pihak secara brtanggung jawab.

Sertifikasi halal mutlak dibutuhkan untuk menghilangkan keraguan masyarakat


akan kemungkinan adanya bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong
yang tidak halal dalam suatu produk yang dijual (Widowati et al. dan
Apriyatono, 2003 dalam Afiati 2009).

2.3.5 Uji Fisik dan Mikrobiologi


a. Uji Fisik
Penilaian mutu fisik daging dimaksudkan untuk memprediksi palatabil itas
daging dengan melihat penampilan warna daging dan lemak, derajat marbling
dan tekstur daging. Pengujian mutu fisik daging dilakukan secara organoleptik
dengan menggunakan indra penglihatan terhadap penampilan fisik otot dan
lemak. Nilai penampilan fisik daging dan lemak selanjutnya ditentukan dengan
menggunakan alat bantu standar mutu. Penampilan fisik daging yang dievaluasi
meliputi warna daging dan lemak, intensitas marbling dan tekstur (SNI
3932:2008 Mutu Karkas dan Daging Sapi).

b. Organoleptik
Uji organoleptik adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui rasa dan
bahu (kadang-kadang termasuk penampakan) dari suatu produk makanan,
minuman, obat dan produk lain (Wiryawan, 2011).

Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel yang bertindak


sebagai instrumen atau alat. Panel adalah orang atau kelompok yang bertugas
menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang
menjadi anggota panel disebut panelis. Terdapat tujuh macam panel dalam
penilaian organoleptik, yaitu panel perseorangan, panel terbatas, panel terlatih,
panel agak terlatih, panel tak terlatih, panel konsumen, dan panel anak-anak.
Masing-masing penilaian didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian
organoleptik (Rahayu, 2013).

Berikut adalah macam-macam panel dalam penilaian organoleptik menurut


Rahayu (2013).

a. Panel Perseorangan
orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik sangat tinggi yang diperoleh
karena bakat atau latihan-latihan yang sangat intensif. Panel perseorangan sangat

RPH 26 CIKAMPEK
mengenal sifat, peranan, dan cara pengolahan bahan yang akan dinilai dan
menguasai metoda-metoda analisis organoleptik dengan sangat baik.

Keuntungan menggunakan panelis ini adalah Kepekaan tinggi, bias dapat


dihindari, penilaian cepat, efisien, dan tidak cepat fatik. Panel perseorangan
biasanya digunakan untuk mendeteksi penyimpangan yang tidak terlalu banyak
dan mengenali penyebabnya. Keputusan yang dihasilkan sepenuhnya hanya
seorang saja.

b. Panel Terbatas
Terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi. Panelis ini mengenal
dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan dapat mengetahui
cara pengolahan serta pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan
diambil setelah berdiskusi diantara angota-anggotanya.

c. Panel Terlatih
Terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup baik. Untuk menjadi
panelis terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan. Panelis ini
dapat menilai beberapa sifat rangsangan, sehingga tidak terlampau
spesifik. Keputusan diambil setelah data dianalisis secara statistik.

d. Panel Agak Terlatih


Terdiri dari 15-25 orang yang sebelumnya dilatih untuk mengetahui sifat
sensorik tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan terbatas
dengan menguji kepekaannya terlebih dahulu.

e. Panel Tidak Terlatih


Terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasarkan jenis kelamin,
suku bangsa, tingkat sosial, dan pendidikan. Panel tidak terlatih hanya
diperbolehkan menilai sifat-sifat organoleptik yang sederhana seperti sifat
kesukaan, tetapi tidak boleh digunakan dalam uji pembedaan. Untuk itu panel
tidak terlatih biasanya terdiri dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria
dengan panelis wanita.

f. Panel Konsumen
tergantung pada target pemasaran suatu
komoditi. Mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat ditentukan
berdasarkan daerah atau kelompok tertentu.

g. Panel Anak-anak
Menggunakan anak-anak berusia 3-10 tahun. Panelis anak-anak ini dilakukan
secara bertahap, yaitu dengan pemberitahuan atau undangan bermain bersama,
kemudian dipanggil untuk diminta responnya terhadap produk yang dinilai
dengan alat bantu gambar seperti boneka, snoopy yang sedang sedih, biasa dan
tertawa.

RPH 27 CIKAMPEK
c. Uji Mikrobiologi
Jenis mikroba yang terdapat dalam makanan meliputi bakteri, kapang / jamur,
dan ragi serta virus yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak
diinginkan seperti peampilan, tekstur, rasa dan bau dari makanan.
Pengelompokkan mikroba dapat berdasarkan atas aktifitas mikroba (proteolitik,
lipofik, dsb) ataupun atas pertumbuhannya (psikrofilik, mesofilik, halofilik dsb).

Banyak factor yang mempengaruhi jumlah serta jenis mikroba yang terdapat
dalam makanan, diantaranya adalah sifat makanan itu sendiri (pH, kelembaban,
nilai gizi), keadaan lingkungan dari mana makanan tersebut diperoleh, serta
kondisi pengolahan ataupun penyimpanan. Jumlah mikroba yang terlalu tinggi
dapat mengubah karakter organoleptik, mengakibatkan perubahan nutrisi / nilai
gizi atau bahkan merusak makanan tersebut. Bahkan bila terdapat mikroba
patogen, besar kemungkinan akan berbahaya bagi yang mengonsumsinya
(Badan POM, 2008).

RPH 28 CIKAMPEK
e. Kerangka konsep
Kerangka konsep merupakan astraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-
hal yang khusus (Notoatmodjo, 2010)

Berdasarkan kerangka teori diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

RPH 29 CIKAMPEK
BAB III
STANDARISASI MANAJEMEN
RUMAH POTONG HEWAN

3.1 Umum
Rantai pasok daging sapi (beef supply chain) global menjadi salah satu
komponen yang strategis di dalam pemenuhan pangan dan sistem logistik
daging sapi nasional. Pada saat ini industri daging sapi atau rantai pasok
daging sapi nasional, dihadapkan pada lingkungan pasar global yang sangat
kompetitif. Semakin senjangnya kapasitas produksi daging sapi nasional
dengan laju pertumbuhan permintaan konsumsi menyebabkan Indonesia
semakin berkepentingan dengan rantai global untuk mereduksi tingkat
kesenjangan tersebut. Oleh sebab itu, pada akhir-akhir ini, tuntutan terhadap
Indonesia untuk dapat menyelaraskan diri terhadap berbagai norma dan
regulasi perdagangan internasional (terms of trade) sapi potong dan daging
sapi tampaknya semakin keras disuarakan oleh berbagai pihak yang menjadi
mitra perdagangan internasional Indonesia. Khususnya untuk komoditas
perdagangan sapi potong, isu-isu mengenai kepuasan dan kepercayaan
konsumen atas atribut-atribut non ekonomi, seperti keamanan pangan (food
safety), kemamputelusuran (traceability) dan kesejahteraan hewan (animal
welfare) semakin intensif dikemukakan di berbagai forum perdagangan
internasional.

Pasca penayangan kekejaman pemotongan sapi impor di salah satu RPH


(Rumah Potong Hewan) di Indonesia oleh TV ABC di acara Four Corners
pada bulan Mei 2011, pemerintah Australia secara resmi mengumumkan
embargo ekspor sapi potong ke Indonesia. Pada faktanya, embargo
tersebut, telah menimbulkan dampak bagi kestabilan stok daging sapi pada
tingkat nasional. Setelah embargo, volume stok daging sapi di tingkat
nasional diperkirakan mengalami penurunan yang cukup nyata. Meskipun
tidak terdapat data resmi mengenai perubahan stok daging sapi nasional,
penurunan volume stok tersebut dapat teramati dari pergerakan harga daging
sapi di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar
yang merupakan wilayah utama konsumsi daging sapi nasional. Secara
berangsur, harga daging sapi mengalami kenaikan sebesar (20-30) % di dalam
jangka waktu 8 bulan terakhir ini.

Selain dari permasalahan embargo tersebut, pemberlakuan pembatasan tingkat


impor sapi potong yang dilakukan oleh pemerintah tampaknya juga
berkontribusi secara nyata terhadap ketersediaan daging sapi di tingkat
nasional. Berdasarkan hasil sensus sapi potong dan kerbau (PSPK) tahun
2011, dimana populasi sapi potong nasional telah mencapai 14,8 juta ekor,
pemerintah mulai berkeyakinan bahwa Indonesia mulai dapat
berswasembada daging sapi. Keyakinan ini didasarkan atas perhitungan-
perhitungan yang termuat di dalam “Cetak Biru Swasembada Daging Sapi

RPH 30 CIKAMPEK
tahun 2014”, yang menyatakan bahwa swasembada daging sapi nasional akan
tercapai pada saat populasi sapi potong Indonesia mencapai besaran antara
14,2 juta ekor. Oleh karena itu, sejak tahun 2011, tingkat impor sapi potong
diturunkan secara drastis. Namun begitu, seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, tingkat harga daging sapi berangsur mengalami kenaikan. Pada
perspektif ekonomi, kondisi ini menyiratkan timbulnya kelebihan permintaan
(excess demand) atas daging sapi secara nasional.

Kedua fenomena tersebut setidaknya dapat menunjukkan bahwa


untuk beberapa tahun mendatang, rantai pasok daging sapi nasional akan
semakin terintegrasi dengan rantai pasok global, baik secara fisik maupun
kelembagaan. Di dalam konteks ini, setiap pelaku di dalam rantai pasok
nasional (chain actor) masing-masing memiliki peran yang signifikan di
dalam menjamin keintegrasian rantai pasok daging sapi nasional tersebut.

Di antara sekian banyak pelaku dalam rantai, Rumah Potong Hewan (RPH)
merupakan salah satu pelaku dalam rantai yang diyakini menjadi
simpul strategis yang menghubungkan antara rantai pasok nasional, global,
dan konsumen daging sapi nasional. Di sisi produksi, RPH merupakan
lembaga yang menjadi muara tataniaga sapi potong, baik nasional atau pun
global, sementara pada sisi konsumsi, RPH merupakan lembaga yang
berfungsi untuk menjamin ketersediaan daging sapi bagi konsumen, baik
kuantitasnya atau pun kualitasnya.

Namun dibalik fungsi pentingnya sebuah RPH, khususnya bagi konsumen,


Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa dari
sekitar 800 unit RPH yang ada di Indonesia, ternyata baru 25 unit RPH yang
telah memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner). NKV merupakan tolok
ukur resmi dan sah yang menunjukkan telah dipenuhinya persyaratan
higienis-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal
hewan yang diproduksi oleh sebuah RPH. Pada tahun 2012 ini, pemerintah
Indonesia menargetkan untuk memberikan NKV pada 150 unit RPH. Selain
itu, auditor indenpenden telah mengaudit RPH di Indonesia yang sesuai
dengan National Livestock Identification System (NLIS) nya Australia,
ternyata hanya sebanyak 11 unit RPH yang dapat memenuhi standar rantai
pasok dan NLIS tersebut.

3.2 FUNGSI RUMAH POTONG HEWAN


Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah
suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu
yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi
masyarakat umum (Permentan No. 13/2010 tentang RPH). Lebih lanjut,
dijelaskan bahwa RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam
penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai
sarana untuk melaksanakan:

RPH 31 CIKAMPEK
a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem
inspection) dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem
inspektion) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang
ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-
mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit
hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Lestari (1994) bahwa Rumah Pemotongan


Hewan mempunyai fungsi antara lain sebagai:
a. Sarana strategis tata niaga ternak ruminansia, dengan alur dari peternak,
pasar hewan, RPH yang merupakan sarana akhir tata niaga ternak hidup,
pasar swalayan/pasar daging dan konsumen yang merupakan sarana awal
tata niaga hasil ternak.
b. Pintu gerbang produk peternakan berkualitas, dengan dihasilkan ternak
yang gemuk dan sehat oleh petani sehingga mempercepat transaksi yang
merupakan awal keberhasilan pengusaha daging untuk dipotong di RPH
terdekat.
c. Menjamin penyediaan bahan makanan hewani yang sehat, karena di RPH
hanya ternak yang sehat yang bisa dipotong.
d. Menjamin bahan makanan hewani yang halal, dengan dilaksanakannya
tugas RPH untuk memohon ridlo Yang Kuasa dan perlakuan ternak tidak
seperti benda atau yang manusiawi.
e. Menjamin keberadaan menu bergizi tinggi, yang dapat memperkaya
masakan khas Indonesia dan sebagai sumber gizi keluarga/rumah tangga.
Menunjang usaha bahan makanan hewani, baik di pasar swalayan, pedagang
kaki lima, industri pengolahan daging dan jasa boga.

Pada pasal 62 UU 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan


hewan dinyatakan, bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki
rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis. Dari pernyataan
ini, jelaslah bahwa undang- undang mengamanatkan kepada pemerintah
daerah untuk memenuhi persyaratan teknis RPH di wilayahnya. Namun,
pada realitanya RPH yang memiliki fungsi utama melindungi konsumen
terhadap kehalalan ternak yang dipotong, kesehatan daging dan menjaga
kualitas daging yang dihasilkan, pada saat ini fungsi tersebut masih
terabaikan. Para pengusaha jagal (pemotong ternak) masih berfikir sangat
sederhana, yaitu pemotongan ternak dan prosesing daging dilakukan asal
halal menurut syariat Islam.

Sesungguhnya dalam proses pemotongan, ternak perlu diistirahatkan dengan


waktu yang cukup, dan perlakuannya tidak boleh “dilakukan penyiksaan”.
Seharusnya ternak sebelum dipotong dalam keadaan istirahat, dimandikan

RPH 32 CIKAMPEK
dan dipotong pada keadaan tenang sehingga proses ketegangan otot dapat
dihindarkan. Faktanya, dalam proses pemotongan, ternak masih
diperlakukan semena-mena. Dampak dari cara pemotongan yang tradisional
tersebut, diperoleh daging yang berkualitas rendah.

Selain itu, dalam proses pasca pemotongan ternak, hampir tidak pernah
dilakukan pelayuan, daging atau karkas langsung dibawa oleh pedagang dan
dijual dalam “keadaan panas” (hot meat). Keadaan ini dilakukan karena
konsumen lebih menyukai daging panas dari pada daging dingin (chill meat
atau frozen meat). Hal inilah yang menyebabkan seluruh RPH bekerja pada
malam hari, karena setelah dilakukan pemotongan, pada malam itu juga
daging didistribusikan ke pasar-pasar yang mulai berdagang pada dinihari
dan sampainya di konsumen rumah tangga pada pagi hari.

Kenyataan tersebut yang menyebabkan, turunan bisnis pemotongan sapi


yang berlanjut pada kegiatan “prosessing meat” atau “meat handling”
berjalan dan dilakukan secara terpencar di masing-masing pasar, bukannya
disuatu tempat yang mudah diawasi. Akibatnya seluruh bisnis ini menjadi
tidak efesien, para jagal tidak menikmati keuntungan yang seharusnya
diperoleh lebih besar, demikian pula halnya pemerintah tidak memperoleh
manfaat dan sangat sulit melakukan pembinaan kepada para para jagal dan
bisnis turunannya.

3.3 DESAIN DAN TATA RUANG RPH


Desain dan tata ruang akan membicarakan permasalahan kompleks Rumah
Potong Hewan yang meliputi bangunan dan perlengkapannya beserta denah
dari berbagai tipe RPH. Pembahasan ini banyak diambil dari pendapat Lestari
(1993b).

3.3.1 Bangunan Utama dan Peralatan


Lestari (1993b) menerangkan , secara umum bangunan dan peralatan Rumah
Potong Hewan meliputi fasilitas sebagai berikut:
a. Tempat penyembelihan hewan yang merupakan suatu bangunan berguna
untuk tempat hewan disembelih. Ruang ini dilengkapi dengan alat
penjepit sapi, pemingsan sapi, pisau sembelih dan penampungan saluran
darah.
b. Tempat proses penyelesaian penyembelihan merupakan bangunan yang
digunakan untuk pengulitan hingga proses pembelahan karkas untuk
dipasarkan. Ruangan ini dilengkapi dengan beberapa peralatan hoist dan
kait penggerek/pembentang karkas sapi, meja/rak pengulitan, gergaji
atau pisau pengulitan dan pengeluaran jeroan, gerobak transportasi,
gergaji pembelah karkas dan tangga untuk pembelah karkas.

RPH 33 CIKAMPEK
Gambar 3.1 Ruang penyembelihan
c. Tempat pemeriksaan kesehatan daging merupakan suatu ruang fasilitas
pemeriksaan kesehatan baik ante mortem dan post mortem. Ruang ini
diusahakan berdampingan dengan rel kepala dan jeroan sehingga mudah
untuk mencocokan antara karkas dengan jeroan atau kepalanya. Rel
dilengkapi dengan rel rijek yang berfungsi untuk tempat
memberhentikan karkas.
d. Penimbangan merupakan
ruang yang dilengkapi
dengan alat penimbangan
secara langsung yang
menyatu dengan rel dan
secara otomatis akan
mencatat berat karkas
tersebut.

Gambar 3.2 Ruang bagi daging


e. Ruangan kulit merupakan ruangan penampungan kulit dan kaki dari
hewan yang sudah disembelih yang diperlengkapi dengan sarana
pencucian dan penggaraman.
f. Ruang jeroan/isi rumen merupakan ruangan untuk proses membersihan
jeroan yang diperlengkapi dengan sarana pengeluaran kotoran, meja dan
tempat perebusan.

RPH 34 CIKAMPEK
g. Ruang kepala, hati, jantung dan paru-paru merupakan ruangan yang
berguna untuk pengeluaran otak dan pencucian yang diperlengkapi
dengan alat penggantung.
h. Ruang pelayuan adalah ruang untuk melayukan karkas. Ruang ini
tergantung pada tipe dari RPH. Untuk tipe D hanya diperlengkapi
dengan sistem rel saja, tipe C ditambah dengan ekshauser, untuk tipe A
dan B ditambah dengan perlengkapan pendingin/chiller yang bersuhu
18oC.

Gambar 3.3 Ruang pelayuan


i. Ruang deboning merupakan ruangan untuk memotong bagian-bagian
karkas sampai dengan bagian-bagian daging untuk dikemas yang
dilengkapi dengan peralatan meja pemotong daging, gergaji
daging, vacum packaging, pisau deboning, tempat pencucian alat dan
daging dan AC dengan temperatur 10oC untuk tipe A dan temperatur
18oC untuk tipe B.
j. Ruang cold storage dan blast freezer ruang ini merupakan ruang
pembekuan secara cepat daging maupun karkas dan ruang penyimpanan
sebelum pemasaran. Kedua ruang ini dikhususkan untuk RPH tipe A dan
B.
k. Ruang pengepakan merupakan ruang untuk mengepak daging maupun
bagian-bagian karkas. Perlengkapan yang ada timbangan duduk dan
timbangan digital pada sistem rel dan karton pembungkus untuk
membungkus daging sebelum dipasarkan.

RPH 35 CIKAMPEK
3.3.2 Bangunan Penunjang dan Perlengkapan lain
Untuk memperlancar kerja RPH maka perlu diperlengkapi bangunan
penunjang dan sistem alat yang terintegrasi. Beberapa peralatan dan
bangunan penunjang ini akan diuraikan sebagai berikut sesuai dengan
pendapat Lestari (1993b):
1. Perlengkapan Rumah Potong Hewan.
a. Sistem rel. Rel sistem ini diatur sesuai dengan tahap pekerjaannya dan
saling berhubungan. Rel sistem diawali dari daerah kotor yaitu diawali
pada daerah penyembelihan, pengulitan, dan kedaerah pemeriksaan
yang dilengkapi dengan rel rijek. Pada daerah pemeriksaan rel
bercabang jika terjadi pemeriksaan lebih lanjut akan ditunda dan jika
lolos pemeriksaan akan dilanjutkan ke rel paralel untuk penimbangan
dan pemotongan karkas yang letaknya lebih tinggi. Rel kemudian
keluar dari daerah kotor dan masuk ke daerah bersih, yaitu ruangan
pelayuan. Pada daerah ini rel mempunyai banyak simpangan dan lajur
yang disesuaikan untuk kapasitas pemotongan. Untuk RPH tipe C dan
D rel hanya sampai disini, tetapi untuk tipe A dan B sistem rel
dilanjutkan ke ruang deboning dan cold storage. Pada sistem rel
terdapat beberapa alat:
a.1 Hoist: alat penggerek sapi atau karkas.
a.2 Timbangan: secara otomatis dapat menunjukkan berat karkas
atau daging setelah diproses.
a.3 Gantungan sapi: alat penggantung sapi yang akan ditaruh di
meja pengulitan dan peregang karkas yang akan dibagi dua.
a.4 Gantungan karkas: kait penggantung karkas untuk diproses
selanjutnya setelah dibagi menjadi dua belahan.
a.5 Gantungan jeroan: kait penggantung kepala, jantung dan paru-
paru untuk diperiksa dan akan berlanjut ke ruang kepala.
b. Perlengkapan lain yang terdapat pada ruang kotor adalah:
b.1 Alat penjepit hewan: terdapat di ruang penyembelihan sebelum
hewan dipingsankan.
b.2 Alat pemingsan: alat pemingsan hewan yang dirancang
sedemikian rupa dengan voltase dan waktu tertentu.
b.3 Meja pengulitan: meja yang dibuat sedemikian rupa sehingga
memudahkan pengulitan dan menghindarkan daging
menyentuh lantai.
b.4 Gergaji: gergaji yang digunakan untuk membelah karkas.
b.5 Tangga: tangga untuk operator pembelah karkas untuk
mempermudah pembelahan karkas.
b.6 Gerobak jerohan: gerobak dengan desain khusus untuk
mengangkut jerohan ke ruang penanganan selanjutnya.
2. Bangunan Penunjang.
a. Halaman serta pagar. Tersedia halaman untuk kendaraan keluar masuk
untuk bongkar muat sapi, tempat parkir dan daging yang terpisah.
Halaman dipisahkan menurut daerahnya (kotor dan bersih). Pagar

RPH 36 CIKAMPEK
sebaiknya dari tembok agar proses penyembelihan tidak terlihat dan
keamanan terjaga.
b. Kandang istirahat ternak. Kandang untuk menampung ternak dan
istirahat harus memenuhi persyaratan: lokasi aharus jauh dari daearah
bersih, dirancang agar tidak terdapat lekukan tajam, lantai licin dan
penonjolan mur atau baut yang bisa melukai ternak, tata letak fasilitas
harus menganut pengoperasian jarlur lurus sehingga menghindari
putaran balik dan pwersilangan antara titik bongkar dan pemotongan
ternak, pagar dan pintu terbuat dari baja atau bahan lain yang diijinkan
dan kuat, kapasitas penempungan disesuaikan dengan kapasitas
penyembelihan dan tiap jenis ternak dipisahkan, luas disesuakan
dengan minimal ketentuan perlakuan layak pada hewan, terpasang atap
yang dapat melindungai 24% ternak besar atau seluruh ternak kecil
yang akan dipotong pada hari yang sama dan jalur penggiring ke
tempat persiapan dan pemingsanan harus beratap.

Kandang tempat hewan diistirahatkan, dan untuk tempat pemeriksaan


antemortum. Kandang peristirahatan ini berada di belakang dari
kompleks bangunan Rumah Potong Hewan, kandang peristirahatan
tidak jauh dari tempat pemotongan hewan dengan tujuan agar lebih
mudah untuk mobilisasi pada saat hewan mau dipotong.

Gambar 3.4 Kandang tempat hewan diistirahatkan


c. Laboratorium. Laboratorium yang bisa digunakan untuk pemeriksaan
post mortem secara mendalam beserta peralatan dan fasilitasnya.
d. Kandang sakit atau isolasi hewan. Kandang sakit dibuat sedemikian
rupa sehingga mempunyai pagar pembatas/galangan kecuali untuk arus

RPH 37 CIKAMPEK
buangan, beratap dan sesuai dengan ukuran jenis ternak dan diberi
tanda peringatan keberadaannya. Juga dilengkapi dengan alat penjepit
dan pengekang yang mempermudah penanganan pemeriksaan.
e. Tempat pemotongan darurat. Dibangun berdekatan dengan tempat
penurunan sapi dan kandang penampungan. Tersedia fasilitas tempat
penahanan daging yang akan diperiksa inspektor.
f. Kantor admistrasi. Dibangun sesuai dengan kapasitas RPH dan
dilengkapi dengan peralatan administrasi yang menunjang administrasi
pemotongan.
g. Kamar mandi dan WC. Dibangun di masing-masing daerah kotor dan
bersih dengan saluran pembuangan limbah tersendiri.
h. Gudang alat-alat. Tersedia gudang untuk penyimpanan material
pemrosesan dan pembungkusan maupun bahan kimiawi. Gudang
bahan pengemas harus kedap debu, anti hama dan tidak berhubungan
dengan ruangan bahan kimiawi dan bila perlu dilengkapi dengan rak
anti karat dengan ketinggian minimal 30 cm dari bawah. Gudang
bahan kimiawi yang berdekatan dengan daerah pemotongan atau
daerah bersih harus dilengkapi dengan pintu tertutup tersendiri,
dilengkapi ventilasi dan mempunyai saluran pembuangan.
i. Ruang akomodasi karyawan RPH. Ruang harus diatur agar karyawan
daerah bersih tidak melewati daerah kotor dan sebaliknya, tersedia
jalan setapak yang diperkeras dari tempat kerja ke ruang ini, dinding,
pintu dan langit-langit dibuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan
berwarna cerah, kemiringan kisi dinding minimal 45o ke arah bawah,
semua lubang keluar harus kedap serangga, hama dan pengerat,
ventilasi minimal pergantian udara 4 kali setiap jam, tempat udara
masuk harus terhindar dari kontaminasi dan alat penyedot dengan
menggunakan saringan, penerangan cukup, tersedia ruang makan
dengan fasilitasnya (meja makan, kursi makan, alat pemanas air,
tempat sampah), kapasitas ruang sesuai dengan jumlah pegawai, antar
bagian ruang makan dan ganti bagian harus terpasng pintu dan tirai
dan tersedian fasilitas kamar mandi dan WC.
j. Ruang akomodasi staf pemeriksa. Lokasi dan akses menuju ruang
akomodasi staf sesuai dengan persyaratan akomodasi untuk karyawan
RPH, terpisah dari staf karyawan wanita kecuali pada ruang makan,
konstruksi sesuai dengan persyaratan yang berlaku, luas kantor
minimal 3x3 m2 dan dilengkapi dengan telepon, meja, kursi 2 buah,
lemari metal terkunci untuk peralatan, lemari metal terkunci untuk
arsip, lemari tiap anggota staf, penutup lantai/karpet dan fasilitas
pencuci tangan.
k. Lokker. Jumlah sesuai dengan keperluan, diperlengkapi dengan kunci
dan minimal ukuran 40x40x40 m3 per ruang.
l. Kantin. Tempat harus jauh dari daerah kotor dan menyediakan
makanan dan minuman yang sehat.
m. Rumah jaga. Dibangun disamping pintu masuk dan keluar lokasi

RPH 38 CIKAMPEK
RPH dengan jalur terpisah antara kendaraan dan orang untuk
mempermudah pemeriksaan.
n. Krematorium. Pembakaran dengan cara pembakaran kering dan letak
minimal 27 m dari bagian ruang pemotongan, pengolahan dan
penyimpanan alat-alat pemotongan, kegiatan penggilingan,
pengarungan dan pemuatan yang berkaitan dengan pembakaran harus
terpisah dari daerah bersih, konstruksi sesuai ketentuan dan kapasitas
pembakaran mencukupi sehingga menjamin bahan-bahan yang akan
dibakar tidak tertunda, cara efektif pengendalian bahan hasil sistem
pembakaran harus sesuai ketentuan, terdapat pemisahan yang jelas
pada tangki penampung lemak yang bisa dikonsumsi dan tidak dapat
dikonsumsi, terjamin fasilitas dan peralatan yang terpisah untuk bagian
yang sudah dan belum diproses, dan untuk ruang penanganan ternak
mati pada bagian pembakaran lantai diperkeras, tersedia kran air panas
dan dingin, tersedia alat untuk pemindahan material dan tersedia
fasilitas pencuci dan pengering tangan.
o. Tempat pengolahan limbah. Letaknya disesuaikan dengan desain RPH
yang berhubungan langsung dengan saluran pembuangan RPH dan
dibangun pada daerah kotor yang tidak mencemari lingkungan dengan
daya tampung disesuaikan dengan kapasitas pemotongan.

Gambar 3.5 Bak pengendap pada saluran pembuangan cairan dan bak
penampungan limbah padat

3.3.3 Tata Ruang RPH


Produk peternakan asal hewan mempunyai sifat mudah rusak dan dapat
bertindak sebagai sumber penularan penyakit dari hewan ke manusia.

RPH 39 CIKAMPEK
Untuk itu dalam merancang tata ruang RPH perlu diperhatikan untuk
menghasilkan daging yang sehat dan tidak membahayakan manusia bila
dikonsumsi sehingga harus memenuhi persyaratan kesehatan veteriner
(Koswara, 1988).

Tata ruang RPH yang baik dan berkualitas biasanya dirancang berdasarkan
desain yang baik dan berada di lokasi yang tepat untuk memenuhi
keperluan jangka pendek maupun jangka panjang dan menjamin fungsinya
secara normal. Secara garis besar dari berbagai syarat bangunan dan
perlengkapan yang diperlukan, maka RPH dapat diterjemahkan dalam tata
ruang sesuai dengan tipenya seperti pada gambar 2 sampai 5 (Lestari,
1993b).

Perancangan bangun RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar


yang telah ditentukan dan sebaiknya sesuai dengan Instalasi Standar
Internasional dan menjamin produk sehat dan halal. RPH dengan standar
internasional biasanya dilengkapi dengan peralatan moderen dan canggih,
rapi bersih dan sistematis, menunjang perkembangan ruangan dan modular
sistem. Produk sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki
sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana
menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan
hewan secara tepat. Selain itu juga harus bersahabat dengan alam, yaitu
lokasi sebaiknya di luar kota dan jauh dari pemukiman dan memiliki
saluran pembuangan dan pengolahan limbah yang sesuai dengan AMDAL
(Lestari, 1993b).

3.3.4 Tata ruang RPH tipe D (Lestari, 1994)


Keterangan:
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kulit, kepala, kaki, jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Pemisahan daging.
6. Penimbangan.
7. Ruang jeroan.
8. Ruang kepala, kulit, kaki.
9. Kantor.

3.4 STANDARISASI RUMAH POTONG HEWAN


RUMAH POTONG HEWAN, di samping sebagai sarana produksi daging
juga berfungsi sebagai instansi pelayanan masyarakat yaitu untuk
menghasilkan komoditas daging yang sehat, aman dan halal (sah). Umumnya
RPH merupakan instansi Pemerintah. Namun perusahaan swasta diizinkan
mengoperasikan RPH khusus untuk kepentingan perusahaannya, asalkan
memenuhi persyaratan teknis yang diperlukan dan sesuai dengan peraturan

RPH 40 CIKAMPEK
Pemerintah yang berlaku. Pembangunan RPH harus memenuhi ketentuan atau
standar lokasi, bangunan, sarana dan fasilitas teknis, sanitasi dan higiene,
serta ketentuan lain yang berlaku. Sanitasi dan higiene menjadi persyaratan
vital dalam bangunan, pengelolaan dan operasi RPH.

Beberapa persyaratan RPH secara umum adalah Merupakan tempat atau


bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap,
lantai dan dinding, memiliki tempat atau kandang untuk menampung hewan
untuk diistirahatkan dan dilakukan pemeriksaan ante mortem sebelum
pemotongan. Syarat penting lainnya memiliki persediaan air bersih yang
cukup, cahaya yang cukup, meja atau alat penggantung daging agar daging
tidak bersentuhan dengan lantai. Untuk menampung limbah hasil pemotongan
diperlukan saluran pembuangan yang cukup baik, sehingga lantai tidak
digenangi air buangan atau air bekas cucian.

Syarat-syarat RPH telah diatur juga di dalam SK Menteri Pertanian Nomor


555/Kpts/TN.240/9/1986. Persyaratan ini dibagi menjadi prasyarat untuk
RPH yang digunakan untuk memotong hewan guna memenuhi kebutuhan
lokal di Kabupaten/Kotamadya Derah Tingkat II, memenuhi kebutuhan
daging antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu Propinsi
Daerah Tingkat I, memenuhi kebutuhan daging antar Propinsi Daerah Tingkat
I dan memenuhi kebutuhan eksport (Manual Kesmavet, 1993).

Acuan tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan tatacara pemotongan


yang baik dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional
Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi
beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan
lokasi, sarana, bangunan dan tata letak sehingga keberadaan RPH tidak
menimbulkan ganguan berupa polusi udara dan limbah buangan yang
dihasilkan tidak mengganggu masyarakat.

Pada SNI tentang rumah potong hewan No. 01-6159-1999 dan Peraturan
Menteri Pertanian No. 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan
Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging diatur
beberapa persayaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah rumah potong
hewan, persyaratan tersebut mengatur mengenai:
1. Persyaratan lokasi:
a. Tidak bertentangan dengan rencana umum tata ruang dan rencana
detail tata ruang wilayah;
b. Tidak berada ditengah kota, letak lebih rendah dari pemukiman
penduduk
c. Tidak berada dekat industri logam atau kimia serta daerah rawan
banjir
d. Lahan luas

RPH 41 CIKAMPEK
2. Persyaratan sarana:
Jalan yang baik, cukup sumber air dan Tenaga listrik yang cukup.

3. Persyaratan bangunan dan tata letak bangunan yang harus ada


antara lain: Kandang istirahat , Kandang isolasi , Kantor administrasi
dan kantor dokter hewan, Tempat istirahat karyawan, kantin dan
mushala, Tempat penyimpanan barang pribadi/ruang ganti pakaian,
Kamar mandi, Sarana pengolahan limbah, Incinerator, Tempat parker,
Rumah jaga dan Menara air.

4. Persyaratan peralatan
a. Semua alat terbuat dari bahan yang mudah korosif dan mudah
dibersihkan;
b. Alat yang langsung bersentuhan dengan daging tidak bersifta toksis;
c. Dilengkapi dengan system rel dan alat penggantung karkas;
d. Dilengkapi sarana desinfektan;
e. Dilengkapi peralatan khusus karyawan.

5. Persyaratan karyawan dan perusahaan


a. Setiap karyawan harus sehat dan diperiksa kesehatannya min 1 x
setahun;
b. Karyawan mendapat pelatihan tentang hygiene dan mutu;
c. Karyawan daerah kotor dan bersih dipisah;

6. Pengawasan kesmavet
a. Diberlakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem;
b. Memiliki tenaga dokter hewan.

7. Kendaraan pengangkut daging : dengan menggunakan box tertutup


yang dilengkapi alat pendingin dan alat penggantung karkas.
8. Persyaratan ruang pendinginan/pelayuan ; bersih, cukup cahaya, sanitasi
lancar;

9. Persyaratan pembekuan; bersih, cukup cahaya, sanitasi lancar;

10 Persyaratan ruang pembagian karkas dan pengemasan daging;

11 Persyaratan laboratorium.

Selain beberapa persyaratan tersebut di atas, bangunan Induk Rumah Potong


Hewan harus mengacu pada Standar internasional dan meliputi:
1. Bangunan Utama terdiri atas: Rumah Pemotongan (slaughter house),
Kandang Penampungan Sementara (lairage), Karantina (quarantine),
Tempat Penurunan Sapi (cattle ramp), Ruang Pembakaran (incenerator),
Rumah Diesel (power house), Pengolaha Limbah Cair (waste water

RPH 42 CIKAMPEK
treatment), Perkantoran (office), Laboratorium (laboratory) dan gang-
gang disekitar RPH (gangway)
2. Bangunan Pendukung terdiri atas: Gudang (workshop), Garasi
(garage), Pos Jaga (guard house), Perumahan (housing), Kantin
(canteen), Ruang Istirahat (rest room) dan Tempat Ibadah (prayer
place)
3. Infrastruktur terdiri atas :Jalan-jalan dan Areal Parkir (roads and
parking),Tower Tempat Air (water plant) dan Pagar/Tembok Pembatas
(yard fencing)

3.4 Analisis Fisik dan Lingkungan Lokasi RPH


3.4.1 Analisis Teknik Operasional
Produk peternakan asal hewan mempunyai sifat mudah rusak dan dapat
bertindak sebagai sumber penularan penyakit dari hewan ke manusia. Untuk
itu dalam merancang tata ruang RPH perlu diperhatikan untuk menghasilkan
daging yang sehat dan tidak membahayakan manusia bila dikonsumsi
sehingga harus memenuhi persyaratan kesehatan veteriner (Koswara, 1988).
Tata ruang RPH yang baik dan berkualitas biasanya dirancang berdasarkan
desain yang baik dan berada di lokasi yang tepat untuk memenuhi keperluan
jangka pendek maupun jangka panjang dan menjamin fungsinya secara
normal. Secara garis besar dari berbagai syarat bangunan dan perlengkapan
yang diperlukan, maka RPH dapat diterjemahkan dalam tata ruang sesuai
dengan tipenya seperti pada gambar 2 sampai 5 (Lestari, 1993).

Perancangan bangun RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar yang


telah ditentukan dan sebaiknya sesuai dengan Instalasi Standar Internasional
dan menjamin produk sehat dan halal. RPH dengan standar internasional
biasanya dilengkapi dengan peralatan moderen dan canggih, rapi bersih dan
sistematis, menunjang perkembangan ruangan dan modular sistem. Produk
sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk
pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana menjaga kebersihan,
dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat. Selain
itu juga harus bersahabat dengan alam, yaitu lokasi sebaiknya di luar kota dan
jauh dari pemukiman dan memiliki saluran pembuangan dan pengolahan
limbah yang sesuai dengan AMDAL (Lestari, 1993).

Menurut Manual Kesmavet (1993) untuk RPH yang diperuntukkan


memenuhi kebutuhan daging antar Daerah Tingkat II dalam satu Daerah
Tingkat I harus memenuhi semua syarat dari RPH untuk memenuhi daging
dalam kebutuhan lokal Daerah Tingkat II ditambah dengan:
a. Kandang istirahat berlantai semen.
b. Laboratorium yang juga dapat dipergunakan untuk identifikasi kuman
dengan pemupukan.
c. Tempat pemotongan darurat yang dilengkapi dengan ruang penahan
daging.

RPH 43 CIKAMPEK
d. Instalasi pengolahan limbah yang berupa saringan untuk memisahkan
limbah/buangan padat secara fisik.
e. Mempunyai tempat pelayuan dengan dinding yang bagian dalamnya
dilapisi bahan kedap air setinggi 2 meter dan dilengkapi dengan
exhauster.
f. Dilengkapi dengan timbangan untuk karkas serta rel-rel pengangut
karkas.

1) Persyaratan Teknis Lokasi RPH


Sesuai dengan rencana dari Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang untuk
membangun RPH terpadu maka RPH yang akan dibangun tergolong dalam
RPH tipe D. Adapun persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi adalah
sebagai berikut:
(1) Jaraknya kurang lebih 2-3 km dari pemukiman penduduk;
(2) Mudah dicapai kendaraan untuk pengangkutan hewan, daging, produksi
lain dan orang.
(3) Tersedia sumber/pasokan air segar yang memadai dengan tekanan cukup
tinggi, 200 galon/hari/ekor sapi dewasa, air harus dapat diminum
(potable) dan memenuhi standar baku internasional untuk air minum
WHO 1977 (untuk air berkaporit tidak mengandung bakteri coliform
atau E-coli dalam 100 ml).
(4) Tersedia fasilitas pengolahan/penimbunan/pembuangan limbah padat
seperti isi perut, kulit, tulang dan darah serta limbah cair.
(5) Tersedia fasilitas listrik untuk penerangan, alat penggerak dan alat
pendingin.
(6) Lokasi RPH harus tidak membahayakan kesehatan atau keselamatan
masyarakat, tidak mengganggu ketenangan atau menumbuhkan
kebisingan lokal.
(7) Pagar atau dinding tembok keliling harus kuat, tidak mudah rusak oleh
ternak/sapi (stock proof).

2) Perencanaan Pembangunan Rumah Potong Hewan


Secara umum kondisi RPH yang direncanakan adalah sebagai berikut:
(1) Memiliki kapasitas sekitar 20.000 ekor sapi/tahun atau 1.650 ekor
sapi/bulan; atau sekitar 85 ekor sapi/hari.
(2) Areal lahan bangunan RPH yang dibutuhkan seluas 5.000 M2.
(3) Waktu tempuh untuk transportasi daging segar maksimum pada radius
tiga jam pengangkutan.
(4) Sistem pemanfaatan RPH, para jagal dapat langsung mengoperasikan
RPH atau dengan sistem sewa dengan memanfaatkan tenaga/petugas
yang ada di RPH.

3) Bangunan Induk RPH


Bangunan induk RPH harus mengacu pada Standar Nasional Indonesia
(SNI) mengenai RPH yaitu SNI 01-6159-1999 yang sesuai dengan standar

RPH 44 CIKAMPEK
internasional dan meliputi:
(1) Bangunan Utama terdiri atas,
a. Rumah Pemotongan (slaughter house)
b. Kandang Penampungan Sementara (lairage)
c. Karantina (quarantine)
d. Tempat Penurunan Sapi (cattle ramp)
e. Ruang Pembakaran (incenerator)
f. Rumah Diesel (power house)
g. Pengolaha Limbah Cair (waste water treatment)
h. Perkantoran (office)
i. Laboratorium (laboratory)
j. Gang-gang disekitar RPH (gangway)
(2) Bangunan Pendukung terdiri atas,
a. Gudang (workshop)
b. Garasi (garage)
c. Pos Jaga (guard house)
d. Perumahan (housing)
e. Kantin (canteen)
f. Ruang Istirahat (rest room)
g. Tempat Ibadah (prayer place)
(3) Infrastruktur terdiri atas,
a. Jalan-jalan dan Areal Parkir (roads and parking)
b. Tower Tempat Air (water plant)
c. Pagar/Tembok Pembatas (yard fencing)

4) Persyaratan Bangunan RPH


(1) Bangunan harus berventilasi cukup, tahan terhadap serangga lalat dan
binatang kecil serangga pengganggu seperti rayap, semut dan lain-lain.
(2) Lantai beton atau bahan lain kedap air, tidak licin, tahan arus dan karat
(untuk logam) dengan kemiringan lantai satu inchi (2,5 cm) untuk
drainase.
(3) Permukaan dinding bagian dalam ruang RPH harus dilapisi bahan
licin/halus dan keras, kedap air (1,8 mm), mudah dibersihkan dan
berwarna terang. Semua sudut dan pojok antara lantai, tembok yang
satu dengan lainnya harus membulat.
(4) Permukaan langit-langit (plafon) dilapisi bahan kedap air, tahan debu,
mudah dicuci, tinggi minimal 30 cm di atas peralatan permanen dan
dari lantai kurang lebih lima meter.
(5) Penerangan, minimal 20 fc (foot candle) untuk ruang pemotongan dan
50 fc untuk ruang pemeriksaan daging. Jendela cukup besar untuk
penyinaran dan ventilasi memadai, berbingkai metal dan tahan karat,
jika terbuat dari kaca ambang jendela bagian dalam harus miring.
(6) Panggung (platform), tangga, bangunan miring untuk peluncur (chute),
meja dan semua peralatan terbuat dari logam tahan karat (stainless
steel).

RPH 45 CIKAMPEK
(7) Semua bagian luar pintu keluar masuk harus dilapisi dengan bahan
yang halus, bahan tahan karat (stainless steel), dan kedap air bukan dari
kayu.
(8) Rel untuk menggantung karkas harus berjarak satu meter dari dinding
terdekat.
(9) Semua ruangan tempat penanganan karkas, daging dan produk hewan,
tempat cuci harus dilengkapi dengan sabun dan tissue. Strerilisasi pisau
dan gergaji harus ditentukan pada posisi yang tepat. Air panas (suhu
minimal 82° C), untuk sterilisasi harus selalu tersedia selama jam
kerja.
(10) Tidak boleh ada pintu dari fasilitas toilet (wc) yang menghadap atau
membuka ke dalam ruang pemotongan atau ke tempat penanganan
karkas atau daging.
(11) Tempat pemisahan sapi (stunning box) harus dibuat dari bahan yang
mudah disterilisasi, jika terbuat dari logam maka bahannya harus tahan
karat.
(12) Terdapat areal terpisah untuk penyembelihan (bleeding), pengerjaan
karkas (carcass dressing), pembersihan hasil ikutan karkas (offals), dan
penempatannya.
(13) Terdapat ruang afkiran (condemen meat) dengan luas proporsional
dengan jumlah karkas yang diproses/dihasilkan (turn over) tiap hari.
(14) Kapasitas ruang pendingin (chilling room) untuk pelayuan (ageing)
sesuai dengan besarnya pasokan daging selama tiga hari sebagai
tambahan untuk cold storage.
(15) Persyaratan ruang pendinginan karkas dan daging:
a. Suhu ruangan untuk pendinginan awal karkas segar adalah 1°C -
2°C.
b. Suhu ruang chilling carcass 1°C - 5°C
c. Suhu ruang pembekuan daging (blast freezer) - 25°C (24 jam).
(16) Ruangan untuk penanganan dan penyimpanan kulit baru yang masih
berbulu (hide) dan kulit yang sudah bersih/tanpa bulu (skin) harus jauh
dari ruang pemotongan utama dan ruang pendingin/penyimpanan
daging. Bagian dalam kulit yang disimpan ditaburi garam.
(17) Ruangan penanganan jeroan (isi perut), darah, hasil sampingan karkas
(offalls) harus terpisah dari ruang pemotongan utama.
(18) Diperlukan sebuah ruangan isolasi tersendiri untuk pemotongan darurat
akibat kecelakaan.

Menurut Manual Kesmavet (1993) RPH ini harus memenuhi syarat yang
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi syarat lokasi, kelengkapan
bangunan, komponen bangunan utama dan kelengkapan RPH:
1. Lokasi RPH.
a. Lokasi RPH di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau
pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak
padat penduduknya, dekat aliran sungai atau di bagian terendah kota.

RPH 46 CIKAMPEK
b. Lokasi RPH di tempat yang mudah dicapai dengan kendaraan atau
dekat jalan raya (Lestari, 1994b; Manual Kesmavet, 1993).
2. Kelengkapan bangunan.
a. Kompleks bangunan RPH harus dipagar untuk memudahkan
penjagaan dan keamanan serta mencegah terlihatnya proses
pemotongan hewan dari luar.
b. Mempunyai bangunan utama RPH.
c. Mempunyai kandang hewan untuk istirahat dan pemeriksaan ante
mortem.
d. Mempunyai laboratorium sederhana yang dapat dipergunakan untuk
pemeriksaan kuman dengan pewarnaan cepat, parasit, pH,
pemeriksaan permulaan pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran
darah.
e. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan atau karkas yang
ditolak berupa tempat pembakar atau penguburan.
f. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan yang ditunda
pemotongannya.
g. Mempunyai bak pengendap pada saluran buangan cairan yang menuju
ke sungai atau selokan.
h. Mempunyai tempat penampungan sementara buangan padat sebelum
diangkut.
i. Mempunyai ruang administrasi, tempat penyimpan alat, kamar mandi
dan WC.
j. Mempunyai halaman yang dipergunakan sebagai tempat parkir
kendaraaan.
3. Komponen bangunan utama.
a. Mempunyai tempat penyembelihan hewan, tempat pengulitan, tempat
pengeluaran jeroan dari rongga perut dan dada, tempat pembagian
karkas, tempat pemeriksaan kesehatan daging.
b. Mempunyai tempat pembersihan dan pencucian jeroan yang terpisah
dengan air yang cukup.
c. Berdinding dalam yang kedap air terbuat dari semen, porselin atau
bahan yang sejenis setinggi dua meter, sehingga mudah dibersihkan.
d. Berlantai kedap air, landai kearah saluran pembuangan agar air mudah
mengalir, tidak licin dan sedikit kasar.
e. Sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk
lengkung.
f. Berventilasi yang cukup untuk menjamin pertukaran udara.
4. Kelengkapan RPH.
a. Mempunyai alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai
dengan penyelesaian proses pemotongan termasuk alat pengerek dan
penggantung karkas pada waktu pengulitan serta pakaian khusus
untuk tukang sembelih dan pekerja lainnya.
b. Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksa daging.
c. Persediaan air bersih yang cukup.

RPH 47 CIKAMPEK
d. Alat pemelihara kesehatan.
e. Pekerja yang mempunyai pengetahuan di bidang kesehatan
masyarakat veteriner yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya
syarat-syarat dan prosedur yang berlaku dalam pemotongan hewan
serta penanganan daging.

3.5 Teknik Pemotongan pada Sapi


Pelaksanaan Pemotongan Hewan pada Rumah Potong Hewan/RPH
Sapi, Kambing, Domba, Kerbau dan Kuda.
Manual Kesmavet (1993) mengutarakan bahwa pemeriksaan ante mortem
dilaksanakan dengan mengamati dengan seksama hewan potong yang akan
disembelih mengenai:
a. Sikap hewan potong pada saat berdiri dan bergerak yang dilihat dari
segala arah.
b. Lubang kumlah, selaput lendir mulut, mata, dan cermin hidung.
c. Kulit, kelenjar getah bening sub maxillaris, parotidea, prescapularis, dan
inguinalis.
d. Ada atau tidaknya adanya tanda-tanda hewan potong telah disuntik
hormon dan suhu badannya.
e. Mengadakan pengujian laboratorik apabila terdapat kecurigaan tentang
adanya penyakit yang tidak dapat diketahui dalam pengamatan.

Pemeriksaan post mortem dimulai dengan pemeriksaan sederhana dan apabila


diperlukan dilengkapi dengan pemeriksaan mendalam. Pemeriksaan
sederhana meliputi pemeriksaan organoleptis yaitu terhadap bau, warna
konsistensis dan pemeriksaan dengan cara melihat, meraba dan menyayat.
Pemeriksaan mendalam dilakukan terhadap semua daging dan bagian hewan
potong yang sisembelih tanpa pemeriksaan ante mortem, terhadap semua
daging dan bagian hewan yang menderita atau menunjukkan gejala penyakit
coryza gangraenosa bovum, haemorhagic septicemiia, piroplasmosis, surra,
influensa equorum, arthritis, hernia, fractura, abces, ephithelimia,
actinomycosis, actinobacillosis, mastitis, septichemia, cachexia, hydrops,
oedema, brucellosis dan tuberculosis dan apabila berdasarkan pemeriksaan
sederhana terdapat kelainan yang menyebabkan perlunya pemeriksaan
mendalam. Peredaran daging yang mengalami pemeriksaan mendalam boleh
diedarkan setelah menerima hasil pemeriksaan dan diperbolehkan untuk
diedarkan ke konsumen (Manual Kesmavet, 1993).

Menurut SK Menteri Pertanian Nomor: 431/Kpts/TN.310/7/1992 yang


terdapat dalam Manual Kesmavet (1993) pemeriksaan sederhana seperti yang
telah disebutkan di atas dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan kepala lidah yang dilakukan secara lengkap dengan cara
melihat, meraba, dan menyayat seperlunya alat-alat pengunyah
(massetter) serta kelenjar-kelenjar sub maxillaris, sub parotidea,
retropharyngealis dan tonsil.

RPH 48 CIKAMPEK
b. Pemeriksaan organ rongga dada yang dilakukan dengan cara melihat,
meraba dan menyayat seperlunya oesophagus, larynx, trachea, paru-paru
serta kelenjar paru-paru yang meliputi kelenjar bronchiastinum anterior,
medialis dan posterior, jantung dengan memperhatikan pericardium,
epicardium, myocardium, endocardium, dan katup jantung dan yang
terakhir diafragma.
c. Pemeriksaan organ rongga perut yang dilakukan dengan cara melihat,
meraba dan menyayat seperlunya hati dan limpa, ginjal meliputi capsul,
corteks dan medulanya dan pemeriksaan pada usus beserta kelenjar
mesenterialis.
d. Pemeriksaan alat genetalia dan ambing yang dilakukan bila ada penyakit
yang dicurigai.
e. Pemeriksaan karkas yang dilakukan dengan melihat, meraba dan
menyayat seperlunya kelenjar prescapularis superficialis, inguinalis
profunda/supramammaria, axillaris, iliaca dan poplitea.

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pemeriksaan secara mendalam berupa


penerapan salah satu atau beberapa tindakan-tindakan sebagai berikut:
a. Pengukuran pH daging.
b. Uji permulaan pembusukan daging.
c. Uji kesempurnaan pengeluaran darah.
d. Uji memasak dan memanggang (untuk pejantan).
e. Pemeriksaan mikrobiologi dan parasitologi.
f. Pemeriksaan residu antibiotika dan hormon.
g. Pemeriksaan zat warna empedu.

Tata cara penanganan daging diatur dalam SK Menteri Pertanian Nomor:


413/Kpts/TN.310/7/1992 (Manual Kesmavet, 1993), sebagai berikut:
a. Daging sebelum diedarkan harus dilakukan pelayuan selama sekurang-
kurangnya 8 jam dengan cara menggantungkan di dalam ruang pelayuan
yang sejuk, cukup ventilasi, terpelihara baik, dan higienis.
b. Daging yang akan diedarkan harus memenuhi syarat (sesuai dengan SK
Menpan) yang telah dikeluarkan oleh tanggung jawab dari RPH atau
tempat pemotongan hewan.
c. Tidak diperbolehkan menambah bahan atau zat pada daging yang dapat
mengubah warna aslinya.
d. Dalam penanganannya daging tidak boleh kontak dengan lantai dan tidak
terkontaminasi.
e. Apabila diperlukan membagi karkas menjadi empat bagaian atau kurang
dengan cara pemotongan dalam keadaan menggantung atau disediakan
meja khusus.
f. Daging dalam bentuk tanpa tulang harus didinginkan sampai suhu 10oC
atau kurang atau dibekukan sampai sushu –15oC dan harus dibungkus
atau dikemas dengan baik.
g. Dalam pengangkutan karkas atau bagian karkas harus tetap dalam

RPH 49 CIKAMPEK
keadaan menggantung dan terpisah dari isi rongga perut dan dada serta
bagian hewan potong lainnya.
h. Selama dalam pengangkutan tidak diperbolehkan seorang pun dalam
ruang daging kendaraan pengangkut.
i. Pengangkutan daging untuk tujuan Dati II, Dati I atau negara lain harus
disertai Surat Keterangan Kesehatan Dan Asal Daging yang dikeluarkan
oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
j. Untuk tujuan eksport dan antar pulau harus memenuhi persyaratan
karantina yang berlaku.
k. Ruang daging dalam kendaraan angkutan hanya dikhususkan untuk
mengangkut daging dan memenuhi syarat yang ditentukan, antara lain:
terbuat dari bahan anti karat, berlantai tidak licin, bersudut pertemuan
antar dinding melengkung dan mudah dibersihkan, dilengkapi dengan alat
penggantung dan lampu penerang yang cukup, dan untuk pengangkutan
yang memerlukan waktu lebih dari 2 jam harus bersuhu setinggi-
tingginya 10oC dan untuk daging beku bersuhu setinggi-tingginya –15oC.
l. Selama perjalanan tempat daging tidak boleh dibuka atau harus ditutup.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa tempat penjualan daging di pasar
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Terpisah dari tempat penjualan komoditi yang lain.
b. Bangunan permanen dengan lantai kedap air, ventilasi cukup, langit-
langit tidak mudah dilepas bagiannya, dinding tembok permukaannya
licin dan berwarna terang atau yang terbuat dari porselin putih,
mempunyai loket yang bagian atasnya dilengkapi dengan kawat kasa
atau alat lain untuk mencegah masuknya lalat atau serangga lain serta
dilengkapi lampu penerangan yang cukup.
c. Disediakan meja berlapis porselin putih dan tempat serta alat
penggantung bagian daging yang terbuat dari bahan yang tidak
berkarat.
d. Selalu tersedia air bersih yang cukup untuk keperluan pembersihan
tempat penjualan dan tempat pencucian tangan.
e. Selalu dalam keadaan bersih.
f. Daging beku dan daging dingin yang ditawarkan di toko daging dan
swalayan harus ditempatkan dalam alat pendingin, kotak pamer
berpendingin dengan suhu yang sesuai dengan suhu daging yang
dilengkapi dengan lampu yang pantulan cahayanya tidak merubah
warna asli daging.
g. Daging yang dijual dengan menjajakan keliling dari rumah ke rumah
harus ditempatkan di dalam wadah yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut: mempunyai tutup, sedapat-dapatnya berwarna putih
dan bagian dalamnya dilapisi dengan bahan yang tidak berkarat.

3.5.1 Pengistirahatan Ternak


Ternak sebelum disembelih sebaiknya dipuasakan dahulu selama 12 sampai
24 jam. Ternak diistirahatkan mempunyai maksud agar ternak tidak stres,

RPH 50 CIKAMPEK
darah dapat keluar sebanyak mungkin dan cukup tersedia energi agar proses
rigormortis berjalan sempurna (Soeparno, 1992). Pengistirahatan ternak
penting karena ternak yang habis dipekerjakan jika langsung disembelih tanpa
pengistirahatan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap yang biasa
disebut dark cutting meat, karena ternak mengalami stress (Beef Stress
Syndrome), sehingga sekresi hormon adrenalin meningkat yang akan
menggangu metabolisme glikogen pada otot (Smith et al., 1978).

Pengistirahatan ternak dapat dilaksanakan dengan pemuasaan atau tanpa


pemuasaan. Pengistirahatan dengan pemuasaan mempunyai maksud untuk
memperoleh berat tubuh kososng (BTK = bobot tubuh setelah dikurangi isi
saluran pencernaan, isi kandung kencing dan isi saluran empedu) dan
mempermudah proses penyembelihan bagi ternak agresif dan liar.
Pengistirahatan tanpa pemuasaan bermaksud agar ketika disembelih darah
dapat keluar sebanyak mungkin dan ternak tidak mengalami stress (Soeparno,
1992).

Pada saat ternak diistirahatkan juga dilaksanakan pemeriksaan sebelum


penyembelihan (antemortem), yang meliputi kesehatan ternak, cidera atau
tidaknya ternak dan bunting atau tidaknya ternak (Manual Kesmavet, 1992).
Pemeriksaan ante mortem adalah pemeriksaan yang dilakukan sebelum
hewan disembelih. Petugas pemeriksaan antemortem adalah dokter hewan.
Dokter hewan inilah yang berhak menentukan apakah hewan dapat dipotong
atau tidak. Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan hewan sebelum
disembelih. Adapun tujuan pemeriksaan antemortem antara lain:
a. Memperoleh ternak yang cukup sehat.
b. Menghindari pemotongan hewan yang sakit/abnormal.
c. Mencegah atau meminimalkan kontaminasi pada alat, pegawai dan
karkas.
d. Sebagai bahan informasi bagi pemeriksaan postmortem.
e. Mencegah penyebaran penyakit zoonosis.
f. Mengawasi penyakit tertentu sesuai dengan undang-undang. (Anonim,
2009).

3.5.2 Prosessing Karkas Sapi


Setelah sapi lolos pada pemeriksaan pre-mortem oleh dokter hewan atau
petugas yang ditunjuk, melalui proses regristasi dan dinyatakan memenuhi
syarat, maka sapi dibawa masuk ke ruang persiapan penyembelihan untuk
melalui prosesing penyembelihan (Manual Kesmavet, 1992).

a. Pemingsanan (Stunning)
Pemingsanan dilaksanakan dengan alasan untuk keamanan, menghilangkan
rasa sakit sesedikit mungkin pada ternak (Blakely dan Bade, 1992),
memudahkan pelaksanaan penyembelihan dan kualitas kulit dan karkas yang
dihasilkan lebih baik (Soeparno, 1992).

RPH 51 CIKAMPEK
Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan alat
pemingsan knocker, senjata pemingsan stunning gun, pembiusan dan arus
listrik (Soeparno, 1992). Alat yang sering digunakan adalah captive bolt,
yaitu suatu tongkat berbentuk silinder selongsong kosong yang mempunyai
muatan eksplosif yang ditembakkan oleh suatu tekanan pada kepala sapi
(Blakely dan Bade, 1992).

Alat pemingsan diarahkan pada bagian titik tengan tulang kening kepala sapi
sedikit dia atas antara kedua kelopak mata, sehingga peluru diarahkan pada
bagian otak. Peluru yang ditembakkan akan mengenai otak dengan kecepatan
tinggi, sehingga sapi menjadi pingsan (Soeparno, 1992).

b. Penyembelihan
Penyembelihan hewan potong di Indonesia harus menggunakan metode
secara Islam (Manual Kesmavet, 1992). Hewan yang disembelih harus
memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan menurut syariah.
Penyembelihan dilaksanakan dengan memotong mari’ (kerongkongan),
hulqum (jalan pernapasan) dan dua urat darah pada leher (Nuhriawangsa,
1999).

Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan digantung
(Blakely dan Bade, 1992). Pisau pemotongan diletakkan 45 derajat pada
bagian brisket (Smith et al., 1978), dilakukan penyembelihan oleh modin dan
dilakukan bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher kearah jantung
(Soeparno, 1992). Posisi ternak yang menggantung menyebabkan darah
keluar dengan sempurna (Blakely dan Bade, 1992).

c. Pengulitan
Pengulitan dimulai setelah dilakukan pemotongan kepala dan ke empat
bagian kaki bawah (Smith et al., 1978). Pengulitan bisa dilakukan di lantai,
digantung dan menggunakan mesin (Soeparno, 1992).
Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis
tengah dada dan bagian perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam
kaki, dan kulit dipisahkan mulai dari ventral ke arah punggung tubuh
(Soeparno, 1992) dan diakhiri dengan pemotongan ekor (Smith et al., 1978).

d. Eviserasi
Menurut Smith et al. (1978) proses eviserasi bertujuan untuk mengeluarkan
organ pencernaan (rumen, intestinum, hati, empedu) dan isi rongga dada
(jantung, eshophagus, paru, trachea).
Tahap-tahap eviserasi menurut Soeparno (1992) dilaksanakan dengan urutan
sebagai berikut:
1. Rongga dada dibuka dengan gergaji melalui ventral tengah tulang dada.

RPH 52 CIKAMPEK
2. Rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral
tengah abdominal.
3. Memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal.
4. Belah bonggol pelvic dan pisahkan kedua tulang pelvic.
5. Buat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantung plastik.
6. Pisahkan eshophagus dari trakhea.
7. Keluarkan kandung kencing dan uterus jika ada.
8. Keluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen
dan bagian lain dari lambung serta hati dan empedu.
9. Diafragma dibuka dan keluarkan organ dada (pluck) yang terdiri dari
jantung, paru-paru dan trakhea.
Organ ginjal tetap ditinggal di dalam badan dan menjadi bagian dari karkas.
Eviserasi dilanjutkan dengan pemeriksaan organ dada (Smith et al., 1978),
organ perut dan karkas untuk mengetahui apakah karkas diterima atau ditolak
untuk dikonsumsi manusia (Blakely dan Bade, 1992).

e. Pembelahan
Pembelahan dilaksanakan dengan membagi karkas menjadi dua bagian
sebelah kanan dan kiri dengan menggunakan gergaji tepat pada garis tengah
punggung. Karkas dirapikan dengan melakukan pemotongan pada bagian-
bagian yang kurang bermanfaat dan ditimbang untuk memperoleh berat
karkas segar (Soeparno, 1992). Pemotongan dilaksanakan untuk
menghilangkan sisa-sisa jaringan kulit, bekas memar, rambut dan sisa kotoran
yang ada (Smith et al., 1978).

Karkas agar lebih baik kualitasnya, maka disemprot air dengan tekanan tinggi
dan dilanjutkan dengan dicuci air hangat yang dicampur garam (Smith et al.,
1978), dan dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan
(Soeparno, 1992).

f. Pendinginan
Karkas ditimbang diberi label dan disimpan pada suhu 28 sampai 32oF pada
ruang pendingin agar dingin dengan berkurangnya panas tubuh dengan waktu
12 sampai 24 jam. Karkas kemudian dimasukan dalam ruang pendingin
dengan suhu 32 sampai 34oF untuk penyimpanan berikutnya (Smith et al.,
1978).

Pendinginan dilakukan pada suhu 2oC selama 24 jam untuk persiapan


pemeriksaan kualitas karkas (grading). Karkas disayat pada posisi antara
tulang rusuk ke-12 dan ke-13 untuk membuka loin eye, dan dilakukan
penilaian untuk menentukan grade karkas.

3.5.3 Potongan pada Karkas Sapi


Menurut Soeparno (1992) potongan primal karkas sapi dari potongan
setengah dibagi lagi mennjadi potongan seperempat, yang meliputi:

RPH 53 CIKAMPEK
Potongan seperempat bagian depan yang terdiri dari bahu (chuck) termasuk
leher, rusuk, paha depan, dada (breast) yang terbagi menjadi dua, yaitu dada
depan (brisket) dan dada belakang (plate).

Bagian seperempat belakang yang terdiri dari paha (round), dan paha atas
(rump), loin yang terdiri sirloin dan shortloin, flank beserta ginjal dan lemak
yang menyeliputinya.

Pemisahan bagian karkas seperempat depan dan seperempat belakang


dilakukan diantara rusuk 12 dan 13 (rusuk terakhir diikutkan pada seperempat
belakang). Cara pemotongan primal karkas adalah sebagai berikut: hitung
tujuh vertebral centra kearah depan (posisi karkas tergantung ke bawah), dari
perhubungan sacralumbar. Potong tegak lurus vertebral column dengan
gergaji. Pisahkan bagian seperempat depan dari seperempat belakang dengan
pemotongan melalui otot-otot intercostals dan abdominal mengikuti bentuk
melengkung dari rusuk ke-12. Pisahkan bagian bahu dari rusuk dengan
memotong tegak lurus melalui vertebral column dan otot-otot intercostals
atau antara rusuk ke-5 dan ke-6. Pisahkan rusuk dari dada belakang dengan
membuat potongan dari anterior ke posterior. Pisahkan bahu dari dada depan
dengan memotong tegak lurus rusuk ke-5, kira-kira arah proksimal terhadap
tulang siku (olecranon). Paha depan juga dapat dipisahkan (Soeparno, 1992).

Cara pemotongan primal karkas seperempat belakang diawali dengan


memisahkan ekses lemak dekat pubis dan bagian posterior otot abdomianal.
Pisahkan flank dengan memotong dari ujung distal tensor fascialata, anterior
dari rectus femoris ke arah rusuk ke-13 (kira-kira 20 cm dari vertebral
column). Pisahkan bagian paha dari paha atas dengan memotong melalui
bagian distal terhadap ichium kira-kira berjarak 1 cm, sampai bagian kepala
dari femur. Pisahkan paha atas dari sirloin dengan potongan melewati antara
vertebral sacral ke-4 dan ke-5 dan berakhir pada bagian ventral terhadap
acetabulum pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan
tegak lurus terhadap vertebral column dan melalui vertebral lumbar antara
lumbar ke-5 dan ke-6 (Soeparnpo, 1992).

Syarat Tata Cara Pemotongan


Syarat dan tata cara pemotongan hewan diatur di dalam SK Menteri Pertanian
Nomor: 413/Kpts/TN.310/7/1992 dan dibedakan antara babi dengan sapi,
kambing, domba, kerbau dan kuda (Manual Kesmavet, 1993). Sapi, Kambing,
Domba, Kerbau dan Kuda
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi hewan potong yang diuraikan
dalam Manual Kesmavet (1993):
a. Disertai surat kepemilikan.
b. Disertai bukti pembayaran retribusi/pajak potong.
c. Memiliki surat ijin potong.

RPH 54 CIKAMPEK
d. Dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh petugas pemeriksa yang
berwenang paling lama 24 jam sebelum penyembelihan.
e. Diistirahatkan paling sedikit 12 jam sebelum penyembelihan dilakukan.
f. Penyembelihannya dilakukan di rumah pemotongan hewan atau tempat
pemotongan hewan.
g. Pelaksanaan pemotongan hewan potong dilakukan di bawah pengawasan
dan menurut petunjuk-petunjuk petugas pemeriksa yang berwenang.
h. Tidak dalam keadaan bunting.
i. Penyembelihannya dilakukan menurut tata cara agama Islam.

Syarat-syarat tersebut diatas untuk hewan potong bisa tidak dipenuhi jika
dilakukan penyembelihan darurat. Penyembelihan hewan darurat dapat
dilaksanakan jika hewan potong yang bersangkutan menderita kecelakaan
yang membahayakan jiwanya dan jika hewan tersebut membahayakan
keselamatan manusia dan atau barang. Jika penyembelihan darurat
dilaksanakan di RPH atau tempat pemotongan hewan maka syarat d dan e
tidak perlu dipenuhi. Jika penyembelihan darurat dilaksanakan diluar RPH
atau tempat pemotongan hewan, maka syarat c, d, e, f, g, dan h tidak perlu
dipenuhi dan setelah penyembelihan hewan harus dibawa ke RPH atau tempat
pemotongan hewan untuk penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post
mortem. Untuk penyembelihan hewan potong dalam rangka agama dan adat
syarat b dan f tidak perlu dipenuhi (Manual Kesmavet, 1993).
3.5.4 Penilaian Karkas Sapi
Penetapan peringkat karkas sapi ditetapkan berdasarkan pada kualitas dan
palatabilitas daging dan jumlah atau hasil potongan-potongan dagingnya
(Blakely dan Bade, 1992). Peringkat kualitas karkas menurut USDA terdiri
dari Prime, Choice, Good, Standart, Commercial, Utility dan Cutter. Penilaian
karkas menurut USDA juga bisa didasarkan pada nilai perdagingan karkas
(Yield grade) dengan nilai 1 sampai 5 (Smith et al., 1978).
Penilaian karkas menurut USDA (United State Departement of Agriculture)
didasarkan pada:
1. Kualitas karkas (carcass quality) dengan melihat kedewasaan ternak
(umur ketika dipotong), susunan daging, tekstur daging dan perlemakan
marbling.
2. Potongan-potongan daging (cutability) dengan melihat berat karkas, luas
area ribeye, jumlah persentase lemak internal dan ketebalan lemak
eksternal (Smith et al., 1978).
3. Kedewasaan ternak diukur berdasarkan bentuk dan proses penulangan
serta warna dan tekstur daging tak berlemak. Perlemakan dengan melihat
penyebaran lemak di dalam otot pada lokasi antara tulang rusuk ke-12 dan
ke-13. Tekstur dan warna daging tidak berlemak juga ditentukan nilainya
pada tulang rusuk ke-12 dan ke-13 (Blakely dan Bade, 1992). Penentuan
warna daging, kekerasan daging, tekstur daging, jumlah marbling,
distribusi marbling dan tektur marbling dengan menggunakan angka skor
1 sampai 8 dengan keterangan tertentu (Smith et al., 1978).

RPH 55 CIKAMPEK
4. Berat karkas ditentukan dengan menimbang berat karkas segar atau
karkas beku yang dikalikan 102%. Ketebalan lemak eksternal diukur
dengan melihat ketebalan lemak pada daging ribeye (Gambar 17). Luas
area ribeye dengan mengukur luas penampang daging pada ribeye dengan
menempelkan pada plastik dengan skala kotak-kotam 0,1 inci (Gambar
8). Presentase lemak internal dengan melihat jumlah lemak ginjal, pelvis
dan jantung pada berat karkas segar dikalikan 100% (Smith et al., 1978).
5. Nilai perdagingan karkas (Yield grade) dihitung dengan menggunakan
persamaan menurut USDA, yaitu: 2,50 + (2,50 x tebal lemak punggung
dalam inci) + (0,20 x % lemak internal) + (0,0038 x berat karkas dalam
lbs) – (0,32 x luas area LD atau ribeye dalam inci2). Hasil perhitungan
dibulatkan ke bawah, misal 1,69 dibulatkan menjadi 1,0, nilai tersebut
menunjukkan peringkat Yield grade (Swatland, 1984)

3.5.5 SNI Daging Sapi


Karkas sapi Cow carcasses SNI 01-3932 -1995
Daging sapi/kerbau Beef SNI 01-3947 -1995
Bakso daging SNI 01-3818 -1995
Sosis daging SNI 01-3820 -1995Dendeng sapi SNI 01-2908 -1992Keripik
paru sapi SNI 01-4280 -1996Persyaratan sapi potong SNI 01-3523 -
1994Standar daging sapi / kerbau SNI 01-3947 -1995Kulit sapi mentah
kering SNI 06-0206 -1987(Anonim, 2006).

3.6 Analisis Pasar dan Pemasaran


Selama ini kebutuhan hewan ternak (sapi) dipasok dari wilayah Kabupaten
Karawang dan kabupaten lain di Propinsi Jawa Barat, termasuk dari Propinsi
Jawa tengah dan Jawa timur. RPH berstandar internasional belum tersedia di
wilayah Kabupaten Karawang, sehingga keberadaan RPH yang akan
diperluas akan menarik daerah lain untuk memotong ternaknya di Kabupaten
Karawang. Daerah pemasaran daging potong selain wilayah Kabupaten
Karawang (konsumen perseorangan maupun perusahaan), juga dapat
dipasarkan ke daerah lain seperti ke Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Subang, dan lainnya.

Dalam hal pemasaran produk RPH, sebenarnya akan menjadi pekerjaan yang
cukup berat bagi manajemen RPH, karena permintaan untuk konsumsi lokal
masih sangat tinggi. Sedangkan kapasitas produksi RPH yang akan diperluas
relatif kurang memadai. Untuk memperluas pemasaran, pihak manajemen
RPH akan menembus perusahaan-perusahaan yang ada di Kabupaten
Karawang, yang memang konsumsi daging sapinya cukup besar.

3.7 Analisis Manajemen


Bentuk Kerjasama Pembangunan/Investasi
Model kelembagaan untuk investasi pembangunan RPH di Kabupaten
Karawang, sebenarnya masih merupakan masalah tersendiri. Alternatif sistem

RPH 56 CIKAMPEK
BOT (Built Operate Transfer) dapat menjadi salah satu pilihan/solusi apabila
terdapat kesulitan pendanaan oleh pihak pemerintah daerah. Dalam pola
tersebut, pihak swasta diundang untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek
pemerintah/publik. Kontribusi pemerintah dapat berbentuk non tunai
misalnya dalam bentuk aset lahan. Alternatif bentuk kelembagaan BOT
antara lain adalah:
(1). Konsorsium perusahaan swasta saja.
(2). Konsorsium perusahaan swasta dengan perusahaan BUMN/BUMD.
(3). Konsorsium perusahaan swasta dan pemerintah daerah.
Berkaitan dengan rencana pendirian RPH ini nampaknya alternatif ketiga
dapat merupakan pilihan terbaik.

3.8 Analisis Sosial Ekonomi


Pendirian RPH ditinjau dari aspek kemanfaatan sosial ekonomi (social and
economic benefit) mengamati dampak keberadaan RPH terhadap kesempatan
kerja, peningkatan pendapatan per kapita, PDRB, penghematan devisa,
bertambahnya sarana dan prasarana produksi, atau bahkan terbukanya daerah
dari kondisi keterbelakangan. Keberadaan RPH dapat mendorong berdirinya
industri baru, hulu dan hilir (backward and forward linkage), seperti
munculnya industri yang memanfaatkan produk pemotongan atau hasil
sampingan dari RPH misalnya, industri makanan (daging kaleng, sosis,
bakso, dll), industri pengolahan kulit sapi, industri pengolahan tulang, industri
pakan ternak, industri pupuk dan lain sebagainya. Kehadiran RPH diprediksi
akan memperbesar kesempatan kerja dan peluang usaha pada bidang-bidang
yang terkait dengan produk RPH sehingga pada gilirannya diharapkan
berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat termasuk usaha kecil dan
menengah (UKM). Populasi UKM di wilayah ini cukup besar sejalan dengan
pertumbuhan perusahaan Kawasan Industri di wilayah Kabupaten Karawang.

Sejalan dengan era perdagangan bebas yang segera akan diberlakukan baik
di kawasan ASEAN (AFTA) maupun kawasan Asia Pasifik (ANEC), maka
terbuka peluang bagi perdagangan daging sapi dan produk ikutannya di pasar
internasional. Hal ini terutama disebabkan segala bentuk subsidi, tarif impor,
kuota maupun lisensi impor terhadap daging sapi khususnya sudah dihapus,
sehingga terbuka peluang bagi pelaku bisnis baru sebagai eksportir daging
sapi. Terbukanya pasar antar bangsa tentu saja diharapkan berpengaruh
positif kepada kondisi perekonomian di dalam negeri.

3.9 Analisis Finansial


Cakupan studi pada aspek finansial dimaksudkan untuk mengetahui perkiraan
kebutuhan dana dan aliran kas sehingga dapat diketahui tingkat kelayakan
pendirian dan pengembangan RPH. Dalam hal ini, yang perlu dipersiapkan
adalah kebutuhan dana serta sumber pendanaannya, penentuan kebijakan
aliran kas serta biaya modal.

RPH 57 CIKAMPEK
Analisis ini akan menentukan prosepek investasi melalui perhitungan biaya
dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran
pendapatan, seperti ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek
untuk membiayai kembali dana tersebut dalam kurun waktu yang telah
ditentukan sehingga proyek tersebut relevan untuk dilaksanakan.

Untuk merealisasi rencana pendirian RPH dibutuhkan sejumlah dana tertentu


untuk investasi yang meliputi keperluan dana untuk pembelian aktiva tetap
berwujud (tangible asset), seperti tanah, bangunan, pabrik dan mesinmesin
serta aktiva tak berwujud (intangible asset) berupa hak paten, lisensi, biaya-
biaya pendahuluan dan biaya-biaya sebelum operasional (sunk cost). Di
samping untuk aktiva, dana juga dibutuhkan untuk modal kerja berupa semua
investasi untuk membiayai aktiva lancar (current asset). Seluruh dana yang
dibutuhkan itu harus dalam bentuk pendanaan dengan biaya paling rendah
dan tidak menimbulkan masalah bagi RPH dan lembaga yang
mensponsorinya.

Berdasarkan hasil perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB), jumlah dana


investasi yang dibutuhkan untuk pendirian RPH tipe D sebesar Rp.
19.207.100.000,- Biaya investasi tersebut telah termasuk biaya untuk aktiva
tetap berupa pembebasan tanah, biaya bangunan dan peralatan RPH.

Sumber dan rencana pembangunan RPH tipe D ini dapat berasal dari
anggaran APBD Kabupaten Karawang, tanpa menutup peluang pihak swasta
untuk berpartisipasi. Dalam hal ini, terdapat dua skenario dalam pembiayaan
yaitu pemerintah daerah membiayai seluruh kegiatan pembangunan RPH ini
atau pemerintah daerah menjalin kerjasama dengan swasta. Pemerintah
membiayai sekitar 100 % dari seluruh biaya yang dikeluarkan yaitu Rp.
11.700.000.000,-.

Komponen biaya operasional dan pemeliharaan terdiri dari biaya upah/gaji,


listrik, telepon, air dan biaya pemeliharaan terhadap asset-aset yang dimiliki.
Beban biaya dalam pendirian RPH bertaraf internasional ini terdiri dari biaya
investasi, biaya operasional, biaya pembelian sapi dan biaya angsuran
pinjaman. Biaya operasional meliputi biaya upah/gaji, biaya pemeliharaan
dan biaya rutin seperti biaya telepon, listrik dan air. Total biaya operasional
dan pemeliharaan per tahun diperkirakan sekitar Rp. 6.570.000.000,- dengan
asumsi tingkat inflasi sebesar 10 persen per tahun.

Perkiraan penerimaan dari operasionalisasi RPH dibagi menjadi dua sumber :


(1) penerimaan RPH yang hanya berasal dari jasa potong; dan (2) penerimaan
RPH berasal dari jasa potong dan penjualan produk daging sapi (termasuk
produk ikutannya yaitu karkas dan non karkas) di pasaran baik panda
konsumen akhir maupun konsumen antara. Berdasarkan hasil perhitungan

RPH 58 CIKAMPEK
penerimaan dari jasa potong diperkirakan sebesar Rp. 10.950.000.000,- per
tahun,

pada tingkat inflasi 10 persen (asumsi) per tahunnya. Penerimaan dari sumber
kedua diperkirakan sebesar Rp. 912.500.000,- per tahun, pada tingkat inflasi
sebesar 10 persen per tahun.

3.9.1 Kriteria Kelayakan Finansial Pembangunan RPH


Berdasarkan hasil analisis finansial, ditemukan NPV sebesar Rp.
11.862.500.000,- yang berarti bahwa proyek pembangunan RPH tersebut
memberikan keuntungan sebesar yang sama selama 20 tahun menurut nilai
sekarang. Sedangkan dari perhitungan IRR dari pembangunan RPH ini
didapatkan hasil sebesar 25 persen. Hal ini berarti bahwa nilai IRR tersebut
lebih besar dari social opportunity cost of capital (SOCC) dan ini
menguntungkan. Sedangkan dari hasil perhitungan diperoleh nilai Net B/C
sebesar 1,33 yang menunjukkan bahwa proyek ini menguntungkan.

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Analisis Finansial Pembangunan RPH di


Pasar Cikampek DesaKamojing Kecamatan Cikampek Kabupaten
Karawang.
Analisis Finansial Nilai Keterangan
NPV Rp. 11.862.500.000,- Layak
IRR 25 persen Layak
Net B/C 1,33 Layak
Berdasarkan analisis finansial dengan menggunakan NPV, IRR dan Net B/C
menunjukkan bahwa rencana pendirian RPH tersebut LAYAK untuk
diteruskan.

3.10 MEAT BUSINESS CENTER


Apabila setiap Rumah Potong Hewan milik pemerintah memiliki
Standarisasi sesuai SNI No. 01-6159-1999, tentu akan berdampak positif
terhadap kegiatan budidaya ternak sapi potong. Oleh karena itu, dalam
pengelolaannya perlu dilaksanakan secara profesional. Atas dasar hal
tersebut, membangun Rumah Potong Hewan bukan hanya membangun
fisiknya, tetapi juga membangun kesistemannya. Artinya, dalam
pengelolaannya Rumah Potong Hewan harus dilengkapi dengan tempat
penampungan hewan/rekondisi (sebelum disembelih), tempat pemingsanan
(stunning), penyembelihan (slaughtering), pengulitan (dehiding),
pengeluaran jeroan (evisceriting), pembelahan karkas (splitting),
pemeriksaan daging (meat inspecting), pelayuan daging (aging), dan
pendinginan (cooling), dengan menerapkan prinsip zero waste, maka
diharapkan kondisi lingkungan sekitar Rumah Potong Hewan tidak akan
tercemar, bahkan cenderung kondusif. Sistem ini dilengkapi juga dengan
suatu manajemen organisasi profesional yang dikendalikan oleh

RPH 59 CIKAMPEK
kelembagaan dan orang-orang yang memiliki pengalaman yang cukup pada
bidang tersebut.

Rumah Potong Hewan tersebut harus dilandasi konsep agribisnis dimana


RPH tidak hanya sebagai lembaga yang menyediakan jasa pemotongan,
tetapi sekaligus sebagai Meat Business Centre (MBC), sehingga keberadaan
RPH tersebut akan memiliki multiplier effect yang relatif besar (lihat skema).

Skema : Meat Business Centre (Tawaf, 2004)

Berdasarkan skema tersebut, tampaknya fungsi RPH sebagai food security


dan food safety, bermakna bahwa secara kuantitas ketersedian daging
maupun sapi yang diperuntukan bagi masyarakat cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi minimal, dan dari segi kualitas, daging hasil
pemotongan terjamin mutunya. Untuk melakukan hal tersebut, hubungan
usaha antara RPH dengan para pemasok sapi dan para pemasar yang
membutuhkan sapi harus mampu dijalin secara efektif dan
berksinambungan. Sehingga tidak dimungkinkan terjadi kekosongan
barang di suatu RPH, atau kesulitan memasarkannya. Setiap RPH
selayaknya memiliki suatu kerjasama yang tertutup, dengan cara
pemotongan yang standar.

Upaya memberikan perlindungan dan keamanan terhadap konsumen,


dengan menciptakan pusat perdagangan daging (Meat Business Center)
bukan hanya sekedar tempat pemotongan hewan atau bisnis jasa saja.
Visinya merupakan industri prosesing daging yang menguntungkan dan
mampu memberikan pelayanan, perlindungan serta keamanan terhadap

RPH 60 CIKAMPEK
daging bagi masyarakat dengan produk yang dikenal dengan istilah
HAUS (halal, aman, utuh dan sehat). Atas dasar ini, aktivitas di MBC
merupakan industri prosesing daging yang menghasilkan potongan-
potongan daging dan hasil ikutannya antara lain seperti kulit, darah,
lemak, tulang dan jeroan. Selain itu juga, ditempat ini dapat dilakukan
prosesing daging (baso, sosis, corned beef dsb) serta prosesing hasil
ikutannya seperti prosesing kulit, lemak, dan darah. Sebagai pusat
kegiatan perdagingan, di area ini terdapat pula pusat perkantoran para
pengusaha daging, pergudangan, tempat perdagangan grosir dan kegiatan
lembaga keuangan. Keseluruhan aktivitas tersebut, selama ini dilakukan
terpencar, di pasar-pasar bahkan di rumah-rumah pemukiman, akibatnya
sering-sering mengganggu lingkungan pemukiman. Para pengusaha
jagal tentunya akan sangat dimudahkan dengan ketersediaan sapi, dan
prosesing daging di tempat itu. Konsumen akan dimudahkan pula untuk
mencari informasi mengenai daging di MBC.

Selain itu, Pemerintah dapat melakukan pembinaan terhadap bisnis ini antara
lain melalui pengawasan dan penerbitan sertifikasi mutu/kualitas daging.
Para pengusaha suplier sapi yang tergabung dalam Apfindo memiliki
kontribusi kongkrit bersama asosiasi pedagang daging (Apdasi) dalam
mengelola secara bersama bisnis ini. Sehingga pasarnya menjadi captive.
Tentunya sistem manajamen ini akan menjadikan bisnis pemotongan sapi
akan terjamin dalam sistem pembayaran, karena telah terjadi “closed circuit”
peredaran uang dan barang.Tidak seperti kondisi saat ini, dimana bisnis
perdagangan daging dihantui oleh resiko piutang macet.

SIMPULAN DAN SARAN


1. Berdasarkan hasil perhitungan dan penilaian terhadap seluruh aspek yang
diukur diperoleh hasil akhir bahwa pendirian RPH ini dapat dikategorikan
LAYAK.
2. Disain dan konstruksi bangunan RPH harus memenuhi persyaratatan teknis
dan hygiene.
3. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumahn
Pemotongan Hewan berisi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan
RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak.
4. Kabupaten Karawang sebagai sentra konsumen daging nasional, harus
memiliki manajemen RPH yang berstandar Nasional Indonesia (SNI)
terutama RPH milik pemerintah.
5. Teknik pemotongan pada sapi meliputi pengistirahatan ternak, prosessing
karkas sapi, dan penentuan potongan pada karkas sapi.
6. Manajemen RPH milik pemerintah di Kabupaten Karawang dapat
mengacu kepada konsep ”meat business centre”, sehingga RPH dapat
menghasilkan produk yang berdaya saing.

RPH 61 CIKAMPEK
BAB IV
MANAJEMEN PENGOLAHAN LIMBAH
RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH)

RUMAH PEMOTONGAN HEWAN merupakan unit atau pelayanan


masyarakat dalam penyediaan daging sehat yang berfungsi sebagai: (a) tempat
dilaksanakannya pemotongan hewan secara benar, (b) tempat dilaksanakannya
pemotongan hewan sebelum dipotong (ante-mortem) dan pemeriksaan daging
(post-mortem), (c) tempat melacak atau mendeteksi penyakit hewan yang
ditemukan pada pemeriksaan antemortem sebagai pencegahan dan memberantas
penyakit hewan menular di daerah asal hewan dan, (d) melaksanakan seleksi dan
pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif.

4.1 Pengertian Limbah RPH


Limbah Rumah Potong Hewan adalah buangan dari proses pemotongan hewan
potong dan hasil ikutan yang tidak dimanfaatkan. Hasil ikutan adalah hasil
samping dari pemotongan hewan potong yang berupa darah, kulit, bulu, lemak,
tanduk, tulang dan kuku (Manual Kesmavet, 1993).Limbah Rumah Potong
Hewan terdiri dari limbah cair dan padat yang sebagian besar berupa limbah
organic yang mengandung protein, lemak dan karbohidrat yang cukup tinggi,
sehingga berpotensi sebagai pencemar lingkungan (Suryahadi, 2000).

Limbah utama dari RPH berasal dari penyembelihan, pemindahan, pembersihan


bulu, pen- jadian(rendening), pengaturan, pemerosesan dan pembersihan. Air
limbah adalah sisa dari suatu usaha dan /atau kegiatan yang berwujud cair
(Permen LH, No 11 Tahun 2009). Menurut Sugi- harto (1987) limbah Rumah
Potong Hewan mempunyai sifat-sifat umum yaitu darah, protein, lemak,
kelarutan dan campuran zat organik tinggi. Menurut Rialuszaman dan Ismoyo
(1994). limbah ialah suatu hasil sampingan dari proses produksi yang tidak
digunakan, dapat berbentuk padat, cair,gas, debu, su- ara, getaran, perusakan
dan lain lain yang dapat menimbulkan pencemaran apabila tidak dikelola dengan
baik.

Menurut Jorgensen (1979) Type umum limbah cair Rumah Potong Hewan
adalah mengandung lemak, protein & karbohidart dengan konsentrasi yang
relatif tinggi. Pada umumnya limbah cair dapat diolah secara biologic. Proses
pengolahan secara biologik menelan biaya yang cukup tinggi, oleh karena
limbah cair ini memiliki konsentrasi BOD5 yang lebih tinggi dibandingkan
dengan limbah cair rumah tangga, sehingga proses biologi yang dilakukan
sering menggunakan dua atau lebih tahapan pengolahan.

Akibat mahalnya biaya pengolahan limbah RPH, maka umumnya limbah RPH
tanpa dikelola lebih dahulu langsung dibuang ke sungai (dumping in water) atau
dibunag begitu saja ke atas tanah (open dumping) dan biasanya dimakan burung
atau binatang lain. Hal tersebut harus dicegah karena dapat menyebarkan

RPH 62 CIKAMPEK
penyakit dengan cepat dan dalam jarak yang cukup jauh. Pencemaran terhadap
air permukaan akan mengakibatkan makin banyaknya penggunaan air
tanah. Penggunaan air tanah yang berlebihan terutama yang berasal dari sumur-
sumur dalam (deep well) dapat mengakibatkan makin cepatnya intrusi air laut ke
dalam sumber-sumber air tanah, sehingga makin mengurangi persediaan air
bersih.

Karakteristik limbah Rumah Potong Hewan yang mengandung kadar protein


tinggi akan menyebabkan penyuburan air, sehingga memungkinkan tumbuhnya
tumbuhan air yang tidak dikehendaki atau disebut dengan gulma air.
Pertumbuhan gulma air yang tidak terkendali akan merusak badan air dan
menyebabkan terjadinya pendangkalan.

Limbah organik itu bila dibiarkan tanpa dikelola, tidak hanya akan menunjukkan
keburukan sanitasi lingkungan, melainkan juga akan menarik binatang penyebab
dan penyebar penyakit seperti insecta, rodentia dan lain sebagainya. Banyak
jenis infeksi penyakit melalui makanan (Food Borne Disease) yang ditularkan
melalui daging akibat daging terkontamin asi langsung atau tidak langsung oleh
limbah RPH. Meat Borne Disesase dapat disebabkan oleh beberapa agent seperti
bakteri, jamur, virus, protozoa dan cacing.

Meat Borne Disease yang umum berjangkit disuatu tempat dan erat
hubungannya dengan keburukan pengelolaan limbah RPH adalah:
1. Bacterial Meat Borne Disease.
a. Salmonellosis
Dapat timbul pada manusia akibat memakan daging yang tercemar oleh
kotoran hewan.
b. Dysentri
Disebabkan oleh daging yang tercemar bakteri yang banyak terdapat
pada limbah cair.
c. Tuberculosis
Disebabkan oleh karena manusia memakan organ atau daging yang
menderita sakit TBC.
d. Anthraxis
Disebabkan oleh Bacillus Anthrax, merupakan kuman yang bersifat
patogen dan membentuk spora di dalam daging.
e. Brucellosis
Penyakit ini dipindahkan dari hewan ke manusia akibat memakan daging
yang tercemar kuman Brucella.
2. Parasitic Meat Borne Disease
a. Cysticercus Bovis/ Taenia Saginata
Infeksi cacing pita ini pada orang-orang yang memakan daging tercemar
tanpa dimasak matang lebih dahulu.
b. Cysticercus Cellulosa/ Taenia Solium
Hanya babi yang merupakan sumber infeksi Taenia Solium pada

RPH 63 CIKAMPEK
manusia dimana babi terinfeksi oleh telur cacing yang terdapat pada
kotoran dan makanan.
c. Hydatidosis/Echinococcus
Kurangnya fasilitas pemotongan yang layak dan pemeriksaan serta
pengapkiran organ-organ tubuh yang terinfeksi Cyste Hydatid akan
menyebabkan anjing atau kucing memakan limbah tersebut.
Echinococcus pada anjing sangat berperan dalam menimbulkan infeksi
pada manusia.
d. Trichinella Spiralis
Parasit ini terutama terdapat pada babi, siklus hidup Trichinella spiralis
sempurna pada induk semang. Babi terkena infeksi akibat memakan
makan sampah yang mengandung Cyste yang berasal dari limbah RPH.
Manusia terinfeksi karena memakan daging babi panggang (Grilled
Meat) yang hanya matang bagian permukaannya saja.
3. Food Poisioning
a. Keracunan Staphylococcus
Disebabkan oleh Entero toksin yang diproduksi oleh strain
Staphylococcus. Manusia keracunan karena makan daging yang
seharusnya dibuang.
b. Keracunan Botulismus
Disebabkan oleh Exo toksin dari Clostridium Botulinum. Manusia
keracunan karena makan daging yang tercemar Clostridium Botulinum.
c. Keracunan Clostridium Perfringens.
Disebabkan oleh Exo toksin dari Clostridium perfringens, manusia
keracunan karena makan daging yang mengandung Exo toksin ini, yang
biasa terdapat pada daging busuk.

Keracunan nitrat dan nitrit terjadi pada hewan dan manusia karena limbah
industry dan lingkungan yang tercemar limbah organik. Di daerah yang airnya
banyak mengandung nitrat, keracunan nitrat bisa terjadi pada bayi dan hewan
muda (pedet) karena flora di dalam saluran pencernaan mampu mengolah nitrat
menjadi nitrit yang toksis (Schenider, 1975). Nitrit di dalam tubuh menyebabkan
terbentuknya methemoglobin karena methemoglobin tidak dapat mengikat
oksigen, maka akan terjadi Hipoksia atau Anoksia. Disamping nitrit juga
mengganggu enzim-enzim untuk metabolisme protein. Nitrit juga
mempengaruhi fungsi kelenjar gondok, karena nitrit mengganggu pengambilan
yodium oleh kelenjar gondok (mangkoewidjojo, 1985).

Limbah cair adalah bahan-bahan pencemar berbentuk cair. Sedangkan Air


limbah adalah air yang membawa sampah (limbah) dari rumah tinggal, bisnis,
dan industri yaitu campuran air dan padatan terlarut atau tersuspensi dapat
juga merupakan air buangan dari hasil proses yang dibuang ke dalam
lingkungan. Berdasarkan sifat fisiknya limbah dapat dikatagorikan atas limbah
padat, cair dan gas (Djajadiningrat S.T. dan H.H. Amir. 1991). Menurut
Soemantojo, R.W. (1994) tujuan utama dari suatu pengolahan limbah cair

RPH 64 CIKAMPEK
adalah untuk mendegradasi bahan pencemarnya, sehingga efluen yang
dihasilkan kualitasnya memenuhi syarat-syarat tertentu.

Pencemar yang terdapat didalam limbah cair dapat dikurangi atau dihilangkan
secara fisik, biologis dan kimia. Metode tersebut diklasifikasikan sebagai unit
proses fisik, unit proses biologis dan unit proses kimiawi (Metcalf & Eddy.
Inc.1991) .Menurut Sutamiharja ,R.T.M,(1994) penanggulangan sisa buangan
(limbah) yang akan dibuang ke perairan umum dan ke air baku adalah suatu
pengolahan sisa buangan yang secara umum terdiri atas pengolahan secara :
meka- nik, biologic, fisik atau kimia. Nilai BOD menunjukkan jumlah oksigen
yang diperlukan mi- kroorganisme untuk menguraikan (mengoksidasikan)
hampir semua zat organic terlarut dan se- bagian zat-zat organic yang
tersuspensi di dalam air sedangkan nilai COD adalah jumlah oksigen (mg O2 )
yang diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organic yang terdapat dalam 1 liter
sample air dengan menggunakan K2Cr2O7 sebagai oksidator (Alaerts ,G dan
S. Santika, 1987).

Dalam hasil observasi lapangan di temukan bahwa pengelolaan limbah RPH


terbagi atas 3 macam yaitu:
1) Limbah Cair
Limbah cair merupakan limbah yang berbentuk cair atau fluida yang sering kali
menim- bulkan banyak persoalan lingkungan. Karakteristiknya seringkali
menimbulkan persoalan ling- kungan karena efek yang ditimbulkan mencakup
area yang luas (Noer E, 2000). Parameter bio- kimia untuk limbah ternak adalah
Biochemical Oksigen Demand (BOD) ,Chemical Oksigen Demand (COD),
karbon organic total (TOC) dan kebutuhan oksigen padatan tersuspensi(SOD).
Limbah cair Rumah Potong Hewan yang terbesar berasal dari darah, menurut
Jenie dan Rahayu (1993) darah sapi mempunyai nilai BOD 156.500 mg/l, COD
218.300 mg/l, kadar air 82 % dan pH 7,3. Wisnu- prapto (1990) mengatakan
bahwa limbah RPH dan pengepakan daging mempunyai nilai BOD antar 400 –
3.000 mg/l, bahan tersuspensi 400 – 3.000 mg/l dan lemak 200 – 1.000 mg/l.

Limbah Cair Rumah Potong Hewan merupakan seluruh air limbah yang
dihasilkan oleh kegiatan rumah potong hewan, yaitu air yang berasal dari
pemotongan, pembersihan lantai tempat pemotongan, pembersihan kandang
penampung, pembersihan kandang isolasi, dan pembersihan isi perut serta air
sisa perendaman. Sanjaya dkk (1996) menyatakan bahwa untuk menangani
limbah yang dihasilkan oleh kegiatan RPH, maka ada tiga kegiatan yang perlu
dilakukan yaitu identifikasi limbah, karakterisasi dan pengolahan limbah. Hal ini
harus dilakukan agar dapat ditentukan suatu bentuk penanganan limbah RPH
yang efektif.

Limbah cair adalah limbah hasil buangan dari proses pengandangan hingga
proses pemotongan yang berupa:
a. Pencucian atau sanitasi kandang.

RPH 65 CIKAMPEK
b. Urine Rumah Potong Hewan
c. Air/limbah cair yang terkontaminasi limbah padat seperti sisa pakan
Rumah Potong Hewan dan kotoran Rumah Potong Hewan
Sedangkan dari kegiatan pemotongan Rumah Potong Hewan, limbah cair
yang dihasilkan meliputi:
a. Darah dari penyembelihan.
b. Air limbah pencucian pemotongan
c. Air limbah pencucian jeroan
d. Cairan rumen

Pengelolaan limbah cair terdiri:


a. Pengelolaan Limbah Air Permukaan Yaitu:
1 Limbah cair berasal dari kandang dialirkan ke drainase dan masuk
kesaluran Pengelelolaan limbah cair (IPAL)
2 Cairan darah penyembelihan hewan Rumah Potong Hewan ditampung
dalam sebuah wajan/ tempat sebelum dibuang ke tempat pembuangan
akhir.
3 Air bekas cucian jeroan, isi perut, dan limbah pembersihan RPH disalurkan
ke drainase dan masuk ke kolam pengelolaan limbah cair
4 Semua drainase pada unit kegiatan pengandagan dan rumah potong
hewan dibuat dalam satu kesatuan dan dialirkan ke saluran pengolahan
limbah cair.
5 Membuat sistem pengolahan limbah cair yang tepat sasaran yaitu
menggunakan sistem aneron dan aerob.

b. Pengelolaan Limbah Air Tanah Yaitu:


1 Mengalirkan limbah cair ke unit pengelohan air limbah agar tidak terjadi
peresapan terhadap limbah cair ke dalam air tanah.
2 Menghindari dan menimalkan limbah cair yang dihasilkan dari RPH
tergenang diatas permukaan tanah agar limbah cair tidak meresap kedalam
tanah.
3 Menyediakan septitank dan mengalirkan limbah MCK ke
dalamnya.

2). Limbah Padat.


Pengelolaan limbah padat yaitu:
1) Menjaga kandang hewan Rumah Potong Hewan dalam keadaan bersih
2) Membersihkan drainase di sekitar tempat pemotongan hewan dari
limbah padat yang dihasilkan seperti endapan kotoran.
3) Menyediakan septitank sebagai wadah penampungan kotoran Rumah
Potong Hewan.
4) Memanfaatkan limbah padat seperti kotoran Rumah Potong Hewan dan
lainnya untuk kebutuhan pupuk kandang.

3. Limbah Gas/Bau

RPH 66 CIKAMPEK
Pengelolaan limbah gas/bau yaitu:
1) Menyediakan ruang terbuka hijau disekitar lokasi kegiatan.
2) Kegiatan pemotongan hewan dilaksanakan dalam ruangan atau tempat
pemotongan hewan sehingga kebisingan tidak sampai ke arah luar
bangunan gedung.
3) Menggunakan kendarraan yang layak pakai dan telah lolos uji keur
4) Membuat tempat khusus untuk genset sehingga tidak menggangu
masyarakat dan aktifitas yang berlangsung di tempat pemotongan hewan.

Penelitian tentang pengelolaan limbah cair rumah potong hewan pernah


dilakukan oleh Yan El Rizal Unzilatirrizqi Dewantoro (2011) dengan judul
Kajian Pencemaran Lingkungan Akibat Limbah Rumah Pemotongan Hewan
Desa Pangkah Kecamatan Pangkah Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Penelitian
ini bertujuan untuk mengumpulkan data, memprediksi, dan menganalisis
pengaruh pembuangan limbah pemotongan hewan terhadap lingkungan perairan
disekitarnya; mengumpulkan data, memprediksi, dan mengkaji persepsi
masyarakat sekitar Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tentang efek limbah
pemotongan hewan terhadap lingkungan sekitarnya; menyusun strategi
pengelolaan limbah Rumah Pemotongan Hewan agar tidak mencemari
lingkungan disekitarnya, sedangkan penelitian yang akan dilakukan bertujuan
untuk mengkaji dan mengevaluasi sistem pengelolaan limbah cair yang
dilakukan pada IPAL RPH Rumah Potong Hewan Sapi Kota Pontianak saat
ini,meliputi efisiensi pada tiap-tiap unit pengolahan limbah cair, waktu tinggal,
dan debit air limbah, serta mencari langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengarah pada sistem pengelolaan limbah cair RPH yang memenuhi standar
mutu buangan yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Selain menghasilkan daging RPH juga menghasilkan produk samping yang
masih bisa dimanfaatkan dan limbah. Limbah RPH tergolong limbah organik,
berupa darah, lemak, tinja, isi rumen dan usus yang apabila tidak ditangani
secara benar akan berpotensi sebagai pencemar lingkungan.

Total limbah yang dihasilkan Rumah Potong Hewanan tergantung dari species
Rumah Potong Hewan, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Manure yang
terdiri dari feses dan urin merupakan limbah Rumah Potong Hewan yang
terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh Rumah Potong
Hewan ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Umumnya setiap
kilogram susu yang dihasilkan Rumah Potong Hewan perah menghasilkan 2 kg
limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses .

Selain menghasilkan feses dan urin, dari proses pencernaan Rumah Potong
Hewan ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas
metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan
global dan perusakan ozon. Kontribusi emisi metan dari peRumah Potong
Hewanan mencapai 20 – 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di
Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar

RPH 67 CIKAMPEK
karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah
pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan .

Limbah Rumah Potong Hewan masih mengandung nutrisi atau zat padat yang
potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan
pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peRumah
Potong Hewanan melaporkan bahwa total sapi dengan berat badannya 5000 kg
selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 107 m3
air. Selain melalui air, limbah peRumah Potong Hewanan sering mencemari
lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang biaknya
lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang paling baik
untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan
air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur lalat .

Kehadiran limbah Rumah Potong Hewan dalam keadaan keringpun dapat


menimbulkan pencemaran yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara
di lingkungan penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00,
kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati
ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000
mg/m3).

Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah Rumah Potong Hewan
ruminansia ialah meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai
polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat
menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya
proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses
nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya
kehidupan biota air.

Tinja dan urin dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit,
misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau
tergores.Spora anthrax dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum
dimasak yang mengandung spora.

Dampak limbah Rumah Potong Hewan memerlukan penanganan yang


serius. Skema berikut ini (Gambar 1) memberi gambaran akibat yang
ditimbulkan oleh limbah secara umum dan manajemennya .

RPH 68 CIKAMPEK
4.2 Penanganan Limbah RPH
Penanganan limbah Rumah Potong Hewan akan spesifik pada jenis/spesies,
jumlah Rumah Potong Hewan, tatalaksana pemeliharaan, areal tanah yang
tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan limbah. Penanganan
limbah padat dapat diolah menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan atau
menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan
ini akan mempercepat proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas
kompos yang dihasilkan. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk beberapa
waktu sampai kira-kira terlihat kering. Proses pembuatan kompos seperti ini
menyebabkan gas metan yang terbentuk dibrbaskan ke atmosfer.

Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Pengolahan
secara fisik disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini
merupakan proses termurah dan termudah, karena tidak memerlukan biaya
operasi yang tinggi.Metode ini hanya digunakan untuk memisahkan partikel-
partikel padat di dalam limbah. Beberapa kegiatan yang termasuk dalam
pengolahan secara fisik antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.

RPH 69 CIKAMPEK
Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary
treatment) yang bisanya relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses
pengolahan secara fisik.Metode ini umumnya digunakan untuk mengendapkan
bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam limbah cair menjadi
padat. Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi, flokulasi,
koagulasi, dan ekstrasi.

Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder


bahan-bahan organik yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya
mengandung bahan organik saja dan tidak mengandung bahan kimia yang
berbahaya, dapat langsung digunakan atau didahului denghan pengolahan secara
fisik.

4.3 Pemanfaatan Limbah RPH


Berbagai manfaat dapat dipetik dari limbah Rumah Potong Hewan, apalagi
limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada Rumah Potong
Hewan. Limbah Rumah Potong Hewan masih mengandung nutrisi atau zat padat
yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah Rumah Potong Hewan kaya akan
nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen
(BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain
(unidentified substances).Limbah Rumah Potong Hewan dapat dimanfaatkan
untuk bahan makanan Rumah Potong Hewan, pupuk organik, energi (biogas)
dan media berbagai tujuan. Pada makalah ini dibahas pemanfaatan limbah
kotoran Rumah Potong Hewan ruminansia manjadi biogas saja, tanpa
mengesampingkan manfaat lain yang dapat diambil.

Permasalahan limbah Rumah Potong Hewan, khususnya manure dapat diatasi


dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih
tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan
limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar
biogas. Kotoran Rumah Potong Hewan ruminansia sangat baik untuk digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Rumah Potong Hewan ruminansia
mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme
dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin
dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja Rumah
Potong Hewan ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa
yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi
mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72%
total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan
0.68% K.

Pembentukan biogas dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang


meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap
metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan-bahan organik

RPH 70 CIKAMPEK
mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana,
perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer.

Pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk


pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk
asam.Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam
asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida,
hidrogen dan amoniak. Sedangkan pada tahap metanogenik adalah proses
pembentukan gas metan. Sebagai ilustrasi dapat dilihat salah satu contoh bagan
perombakan serat kasar (selulosa) hingga terbentuk biogas (Gambar 2).

Biogas adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang
merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas
yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2). Biogas
memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk
gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Produksi biogas
sebanyak 1275-4318 l dapat digunakan untuk memasak, penerangan,
menyeterika dan menjalankan lemari es untuk keluarga yang
berjumlah lima orang per hari.

Jika ditinjau dari kandungan bahan yang terdapat pada limbah Rumah Potong
Hewan ruminansia maka proses pembuatan biogas dapat dilihat pada diagram
berikut:

RPH 71 CIKAMPEK
Gambar 3. Diagram Pembuatan Biogas Berdasarkan Kandungannya

Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam telah terbukti dalam
penelitian ketika diproses dalam alat penghasil biogas (digester) menghasilkan
biogas yang sangat memuaskan(Harahap et al., 1980). Perbandingan kisaran
komposisi gas dalam biogas antara kotoran sapi dan campuran kotoran Rumah
Potong Hewan dengan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel.

Tabel 1. Komposisi gas dalam biogas (%) antara kotoran sapi dan campuran
kotoran Rumah Potong Hewan dengan sisa pertanian(Harahap et al., 1980).

Proses pembuatan biogas ini dilakukan secara biologis dengan memanfaatkan


sejumlah mikroorganisme anaerob. Bakteri-bakteri anaerob yang berperan
dalam tahap-tahap proses pembuatan biogas antara lain:

1. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria) yang merombak senyawa


organik menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu berupa asam organik,

RPH 72 CIKAMPEK
CO2, H2, H2S.
2. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam organik,
dan senyawa netral yang lebih besar dari metanol menjadi asetat dan
hidrogen.
3. Bakteri penghasil metan (metanogens), yang berperan dalam merubah asam-
asam lemak dan alkohol menjadi metan dan karbondioksida. Bakteri
pembentuk metan antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan
Methanosarcina.
Adapun proses pembuatan biogas adalah sebagai berikut. Bahan organik
dimasukkan ke dalam digester, sehingga bakteri anaerob akan membusukkan
bahan organik tersebut yang selanjutnya akan menghasilkan gas yang
disebut biogas. Biogas yang telah terkumpul di dalam digester lalu dialirkan
melalui pipa penyalur gas menuju tangki penyimpan gas atau langsung ke
lokasi penggunaannya, misalnya kompor atau lampu.

Jenis limbah Rumah Potong Hewan ruminansia yang diproses sangat


mempengaruhi produktivitas sistem biogas. Selain itu limbah Rumah Potong
Hewan ruminansia yang diproses menjadi biogas memerlukan persyaratan dasar
tertentu, yaitu persyaratan tertentu yang menyangkut:
1. Kandungan atau isi yang terkandung dalam bahan.
Salah satu cara untuk menentukan bahan organik yang sesuai untuk
digunakan sebagai bahan sistem biogas adalah dengan mengetahui
perbandingan Karbon (C) dan Nitrogen (N) atau disebut rasio C/N.
Perubahan senyawa organik dari limbah Rumah Potong Hewan ruminansia
menjadi CH4 (gas metan) dan CO2 (gas karbon dioksida) memerlukan
persyaratan rasio C/N antara 20 – 25. Sehingga kalau menggunakan limbah
Rumah Potong Hewan ruminansia hanya berbentuk jerami dengan rasio-C/N
di atas 65, maka walaupun CH4 dan CO2 akan terbentuk, perbandingan CH4 :
CO2 = 65 : 35 tidak akan tercapai. Mungkin perbandingan tersebut bernilai
45 : 55 atau 50 : 50 atau 40 : 60 serta angka-angka lain yang kurang dari
yang sudah ditentukan, maka hasil biogasnya akan mempunyai nilai bakar
rendah atau kurang memenuhi syarat sebagai bahan energi.

Juga sebaliknya kalau limbah Rumah Potong Hewan ruminansia yang


digunakan berbentuk kotoran saja, semisal dari kotoran kambing dengan
rasio C/N sekira 8, maka produksi biogas akan mempunyai bandingan antara
CH4 dan CO2 seperti 90 : 10 atau nilai lainnya yang terlalu tinggi. Dengan
nilai ini maka hasil biogasnya juga terlalu tinggi nilai bakarnya, sehingga
mungkin akan rnembahayakan pengguna.

Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu rasio C/N terlalu tinggi atau terlalu
rendah akan mempengaruhi proses terbentuknya biogas, karena ini
merupakan proses biologis yang memerlukan persyaratan hidup tertentu,
seperti juga manusia.

RPH 73 CIKAMPEK
2. Kadar air
Kadar air bahan yang terkandung dalam bahan yang digunakan, juga seperti
rasio C/N harus tepat. Jika hasil biogas diharapkan sesuai dengan
persyaratan yang berlaku, maka semisal limbah Rumah Potong Hewan
ruminansia yang digunakan berbentuk kotoran kambing kering dicampur
dengan sisa-sisa rumput bekas makanan atau dengan bahan lainnya yang
juga kering, maka diperlukan penambahan air. Tapi berbeda kalau bahan
yang akan digunakan berbentuk lumpur selokan yang sudah mengandung
bahan organik tinggi, semisal dari bekas dan sisa pemotongan hewan
atau manure dari peRumah Potong Hewanan. Dalam bahannya sudah
terkandung air, sehingga penambahan air tidak akan sebanyak pada bahan
yang kering.

Air berperan sangat penting di dalam proses biologis pembuatan biogas.


Artinya jangan terlalu banyak (berlebihan) juga jangan terlalu sedikit
(kekurangan), ada perbandingan yang berpengaruh pada optimalisasi
konversi gas metan.

3. Temperatur
Temperatur selama proses berlangsung, karena ini menyangkut kondisi
optimal hidup bakteri pemroses biogas yaitu antara 27° – 28°C. Dengan
temperatur itu proses pembuatan biogas akan berjalan sesuai dengan
waktunya. Tetapi berbeda kalau nilai temperatur terlalu rendah , maka waktu
untuk menjadi biogas akan lebih lama.

4. Bakteri penghasil metan (metanogens)


Kehadiran jasad pemroses, atau jasad yang mempunyai kemampuan untuk
menguraikan bahan-bahan yang akhirnya membentuk CH4 dan CO2. Dalam
limbah Rumah Potong Hewan ruminansia semisal kotoran kandang, limbah
rumah pemotongan ataupun rumput dan jerami, serta bahan-bahan buangan
lainnya, banyak jasad renik, baik bakteri ataupun jamur pengurai bahan-
bahan tersebut didapatkan. Tapi yang menjadi masalah adalah hasil
uraiannya belum tentu menjadi CH4 yang diharapkan serta mempunyai
kemampuan sebagai bahan bakar.

Untuk menjamin agar kehadiran jasad renik atau mikroba pembuat biogas
(umumnya disebut bakteri metan), sebaiknya digunakan starter, yaitu bahan
atau substrat yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung mikroba
metan sesuai yang dibutuhkan.
5. Aerasi
Aerasi atau kehadiran udara (oksigen) selama proses. Dalam hal pembuatan
biogas maka udara sama sekali tidak diperlukan dalam bejana pembuat.
Keberadaan udara menyebabkan gas CH4 tidak akan terbentuk. Untuk itu
maka bejana pembuat biogas harus dalam keadaan tertutup rapat.
Masih ada beberapa persyaratan lain yang diperlukan agar hasil biogas

RPH 74 CIKAMPEK
sesuai dengan yang diharapkan semisal, pengadukan, pH dan tekanan udara.
Tetapi kelima syarat tersebut sudah merupakan syarat dasar agar proses
pembuatan biogas berjalan sebagaimana mestinya.

4.3 Karakteristik Limbah RPH


Industri Rumah Potong Hewan merupakan salah satu industri pangan. Ciri dan
limbah industri pangan adalah kandungan bahan organik yang cukup tinggi dan
mudah terurai di perairan. Rumah Potong Hewan memiliki tiga sumber limbah
utama, yaitu: tempat penampungan hewan (stock yard), tempat penyembelihan
hewan (slaughter house) dan tempat pengolahan karkas atau daging (packing
house).

Ditambahkan Janie dan Rahayu (1993) bahwa limbah utama yang dihasilkan
oleh RPH adalah berasal dari isi perut, rendering, pemotongan bagian-bagian
yang tidak berguna, pengolahan, dan pekerjaan pembersihan.

Limbah cair yang dihasilkan pada Rumah Potong Hewan terdiri dari darah, air
pemandian sapi, air pembersihan ruangan dan keranjang, air pencucian kandang,
air pencucian karkas, pencucian lantai, cairan rumen, dan cairan isi perut.

Limbah utama dari Rumah Potong Hewan berasal dari penyembelihan,


pemindahan, pembersihan rambut, penjadian (rendering), pengaturan,
pemrosesan, dan pembersihan. Scahill (2003) memberikan statistik lebih rinci
tentang kedua berat sapi dimah pemotongan hewan. Seekor sapi dengan berat
400 kg akan memiliki berat karkas yang dikurangi menjadi sekitar 200 kg
setelah pemotongan. Selain itu, kehilangan sekitar sepertiga lemak dan tulang
setelah melewati pencacahan daging. Oleh karena itu, seekor sapi yang masih
hidup mempunyai berat 400 kg akan memberikan sekitar 140 kg daging yang
dapat dimakan, yang hanya mewakili 35% dari bobot hidupnya. Sisanya, 65%
adalah limbah padat dan limbah cair (260 kg).

Menguatkan temuan di atas, Gannon et al. (2004) menunjukkan bahwa seekor


sapi yang dipotong menghasilkan 13.6 kg darah sebagai limbah cair, sisanya
dikumpulkan lalu dimanfaatkan lagi sebagai tepung darah sebab jumlah darah
yang dihasilkan dari penyembelihan adalah sekitar 7.7% dari bobot sapi yaitu
sebesar 30.8 kg. Limbah padat dikurangi lagi dengan cairan rumen dan cairan isi
perut yang dihasilkan pada proses pemotongan sebesar 20 kg dari seekor sapi,
jadi limbah padat kurang lebih sebesar 209.2 kg dari seekor sapi. Jumlah sapi
yang dipotong dalam sehari di UPTD RPH Bubulak sekitar 40 kepala per hari,
maka perhitungan jumlah limbah cair dalam bentuk darah yang dihasilkan dalam
satu hari adalah Limbah cair darah = 13.6 kg/ ekor x 40 ekor/ hari= 544 kg/ hari

4.4 Komposisi Kimia pada Limbah RPH


Salah satu Industri yang banyak ditemukan di Indonesia ialah agro Industri.
Limbah cair agroindustri pada umumnya kaya akan nutrien N (nitrat), P (fosfat),

RPH 75 CIKAMPEK
C (karbon), dan K (kalium) yang merupakan nutrisi bagi pertumbuhan sel
mikroalga (Kabinawa dan Agustini, 2005). Contoh agroindustri dengan kategori
nutrien tinggi adalah RPH. Limbah RPH merupakan limbah organik, berserat,
voluminous (bervolume besar). Limbah organik yang dihasilkan RPH adalah
berupa darah, sisa lemak, tinja, isi rumen, dan usus dengan kandungan protein,
lemak, dan karbohidrat yang cukup tinggi.

Berdasarkan istilah teknis dan sumbernya, limbah RPH termasuk dalam


golongan limbah industri. Dilihat dari komposisi dan pengaruhnya terhadap
perairan, limbah RPH mirip dengan sampah domestik (domestic sewage).
Namun karena kandungan bahan organiknya yang tinggi, maka bahaya
kontaminasi mikroorganisme patogen limbah RPH lebih besar dari sampah
domestik. Menurut Sugiharto (1987) limbah RPH mempunyai sifat-sifat umum
yaitu kelarutan dan campuran zat organik tinggi, darah, protein, dan lemak. Cara
pengolahan limbahnya dapat dilakukan dengan cara pemisahan, pengendapan,
dan penyaringan.

Pendirian Rumah Potong Hewan (RPH) didekat pemukiman menimbulkan


berbagai masalah seperti pencemaran lingkungan akibat dari limbah Rumah
Potong Hewan. Pencemaran lingkungan berdampak pada manusia terutama
ketika memproduksi limbah-limbah yang dapat mencemari air, menimbulkan
polusi udara (bau) yang sangat mengganggu masyarakat yang ada di sekitar
usaha RPH. Hal ini terjadi karena kurangnya manajemen dalam penegelolaan
limbah (Anonimous, 2011)

Menurut Revo (2011) bahwa limbah yang tidak dikelola secara sadar lingkungan
semakin membuat warga merasakan gangguan akan dampak yang
ditimbulkan. Seperti bau kotoran hewan yang keluar dari tumpukan isi perut
hewan yang dipotong serta limbah air dari hasil pencucian. Bau timbul karena
adanya kegiatan mikroorganik yang menguraikan zat organik menghasilkan gas
tertentu. Di samping itu bau juga timbul karena terjadinya reaksi kimia yang
menimbulkan gas. Kuat tidaknya bau yang dihasilkan limbah tergantung pada
jenis dan banyak gas yang ditimbulkan.

Menurut Widya dalam Roihatin dan Rizqi (2007) bahwa Limbah Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) yang berupa feces urine, isi rumen atau isi lambung,
darah afkiran daging atau lemak, dan air cuciannya, dapat bertindak sebagai
media pertumbuhan dan perkembangan mikroba sehingga limbah tersebut
mudah mengalami pembusukan. Dalam proses pembusukannya di dalam air,
mengakibatkan kandungan NH3 dan H2S di atas maksimum kriteria kualitas air,
dan kedua gas tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap serta dapat
menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan yang disertai dengan reaksi
fisiologik tubuh berupa rasa mual dan kehilangan selera makan. Selain
menimbulkan gas berbau busuk juga adanya pemanfaatan oksigen terlarut yang
berlebihan dapat mengakibatkan kekurangan oksigen bagi biota air.

RPH 76 CIKAMPEK
Kusnoputranto (1995) menyatakan limbah ini akan berdampak pada kualitas
fisik air yaitu warna dan pH disamping itu total padatan terlarut. Padatan
tersuspensi, kandungan lemak, BOD5. Ammonium, nitrogen, fosfor akan
mengalami peningkatan. Limbah terbesar berasal dari darah dan isi perut
(Tjiptadi, 1990) sedangkan darah berdampak pada peningkatan nilai BOD dan
padatan tersuspensi. Disamping itu isi perut (rumen) dan usus akan
meningkatkan jumlah padatan. Pencucian karkas juga meningkatkan nilai BOD.
Sedangkan Bewick (1980) menyatakan bahwa limbah Rumah Potong Hewan
merupakan sumber pencemaran bagi air yang mempunyai kandungan BOD
tinggi dan kandungan oksigen yang terlarut didalam air relatif sedikit.

Di sisi lain, pengolahan limbah cair akan menimbulkan permasalahan tersendiri


bagi Rumah Potong Hewan yaitu tingginya biaya pengolahan. Hal ini karena
limbah cair RPH termasuk ke dalam kategori limbah cair kompleks (complex
wastewater) yang mengandung bahan organik, padatan tersuspensi, serta bahan
koloid seperti lemak, protein, dan selulosa dengan konsentrasi tinggi (D.J
Batstone, dkk, 2000; Claudia E.T. Caixeta, dkk, 2002; D.I Masse, dkk, 2001;
dan L.A. Nunez, dkk, 1999).

4.5 Teknologi pengolahan limbah RPH


Adapun teknologi pengolahan limbah yang dapat diterapkan untuk mengolah
limbah rumah potong hewan adalah:
a. Pengenceran (dilution)
Yakni air buangan diencerkan terlebih dahulu sampai mencapai konsentrasi
yang cukup rendah, kemudian baru dibuang ke badan air. Pada keadaan
tertentu dilakukan proses pengolahan sederhana terlebih dahulu seperti
pengendapan dan penyaringan (Kusnoputranto, 1985).

b. Irigasi luas
Air limbah dialirkan ke dalam parit-parit terbuka yang digali dan air akan
merembes masuk ke dalam tanah melalui dasar dan dinding parit-parit
tersebut. Dalam keadaan tertentu air buangan dapat digunakan untuk
pengairan ladang pertanian atau perkebunan dan sekaligus berfungsi untuk
pemupukan (Kusnoputranto, 1985).

c. Kolam oksidasi (Oxidation Ponds/Waste Stabilization Ponds Lagoon)


Merupakan suatu pengolahan air buangan untuk sekelompok masyarakat
kecil dan cara ini terutama dianjurkan untuk daerah pedesaan. Prinsip
kerjanya adalah memanfaatkan pengaruh sinar matahari, ganggang (algae),
bakteri dan oksigen dalam proses pembersihan alamiah. Air buangan
dialirkan ke dalam kolam besar berbentuk persegi panjang dengan
kedalaman 1-1,5 meter. Dinding dan lapisan kolam tidak perlu diberi lapisan
apapun. Luas kolam tergantung pada jumlah air buangan yang akan diolah,

RPH 77 CIKAMPEK
biasanya digunakan luas 1 acre (= 4072 m2) untuk 100 orang
(Kusnoputranto, 1985) .

d. Pengolahan Primer dan Sekunder


Merupakan cara pengolahan air buangan yang lebih kompleks dan lengkap
yaitu pengolahan secara fisik dan mekanik (primer) dan secara biologis
(sekunder) terutama di daerah perkotaan dan umumnya air buangan dari
segala jenis, baik yang berasal dari rumah tangga, kota praja maupun
industri (Said, 2007).

Gambar 1. Pengolahan Primer Sekunder Limbah RPH

e. Tegnologi Bersih
Pengelolaan limbah dengan pendekatan produksi bersih di Industri menunjukkan
dengan jelas adanya pergeseran posisi dari biaya ke penghematan, dari parsial ke
terintegrasi, dari inefisien ke efisiensi, dari teknologi pencemar
ke Teknologi Produksi Bersih. Teknologi Produksi Bersih sebagai salah satu
alternatif solusi untuk mengantisipasi limbah di RPH Cakung dilakukan dengan
pendekatan yang meliputi (Anonim, 2011):

 Pengurangan limbah pada sumbernya


 Pendayagunaan limbah dengan memanfaatkan hasil sampingnya
 Pengurangan Limbah Pada Sumbernya
 Pendayagunaan limbah dengan memanfaatkan hasil sampingnya

4.6 Parian Teknologi Pengolahan Limbah RPH

RPH 78 CIKAMPEK
Teknologi yang paling lazim untuk mengolah air limbah Rumah Potong Hewan
adalah dengan pengolahan secara kimia fisika diikuti dengan pengolahan secara
biologis. Koagulasi dan flokulasi menggunakan bahan-bahan kimia
menghasilkan lumpur kimia yang memerlukan penanganan lebih lanjut sehingga
memerlukan biaya tersendiri. Proses pengolahan secara biologis (khususnya)
aerobik juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain memerlukan energi
yang tinggi untuk aerasi dan menghasilkan lumpur dalam jumlah besar sehingga
memberikan permasalahan terendiri bagi lingkungan. Di sisi lain, proses
pengolahan air limbah RPH secara anaerobik juga memiliki beberapa
keterbatasan karena proses pengolahan berjalan lambat karena akumulasi
padatan tersuspensi dan lemak yang mengapung di reaktor sehingga
menghambat pertumbuhan mikroba metanogenesis dan banyak biomasa yang
terikut bersama keluaran (washout) (Masse, D, dkk., 2002; Rajehwari, K.V.,
dkk., 2000).).

Pengolahan limbah Rumah Potong Hewan adalah dengan melakukan minimisasi


limbah, kemudian dilakukan pengolahan limbah sebelum pembuangan sisa
limbah. Dalam upaya menurunkan kadar pencemar organik yang terkandung di
dalam limbah cair Rumah Potong Hewan maka telah diterapkan pengo- lahan
limbah cair dengan proses fisik (menggunakan bak-bak sedimentasi) dan proses
biologis.

Pengolahan limbah Rumah Potong Hewan masih terbatas pada penggunaan


sistim anaerobic, namun dengan sistim yang lebih terpadu dalam sebuah reactor
yang mampu menghasilkan biogas sebagai pembangkit tenaga listrik. Sebelum
masuk ke reactor anaerobik terlebih dahulu dilakukan berbagai penyaringan,
pemompaan dan pengendapan untuk memisahkan air limbah dengan berbagai
padatan ( Padmono, 2003).

Menurut Indriyati (2004), Rumah Potong Hewan dalam pendayagunaan limbah


cair dan limbah padatnya menggunakan cara biologi, karena diharapkan akan
adanya pemanfaatan limbah cair yang dapat digunakan sebagai energi
alternative serta dihasilkannya kompos dari proses limbah padat. Proses
pendayagunaan limbah cair Rumah Potong Hewan dilakukan secara biologi
dengan sistim anaerobik menggunakan reactor tipe Fixed Bed. Proses dimulai
dengan pemisahan limbah padat yang kasar dengan menggunakan penyaring
otomatis dengan tujuan untuk melindungi pompa dari padatan kasar yang
mungkin akan menyumbat pompa. Limbah cair yang keluar dari saringan kasar
dialirkan langsung menuju penampung dan selanjutnya dialirkan ke atas
saringan halus. Limbah cair yang keluar dari saringan dialirkan menuju tangki
pencampuran dan penyimpanan, sedangkan limbah padat yang terbuang
ditampung pada tempat penampungan.

Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki
pengenda- pan/sedimentasi. Endapan Lumpur padatan organik dipompa ke

RPH 79 CIKAMPEK
penampung lumpur yang lebih padat. Limbah cair yang sudah dipisahkan akan
dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reactor pengolahan limbah cair anaerobik
melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan anaerobik ini ada- lah untuk
mendegradasi bahan organik di limbah cair dan merubah bahan organik yang
terdegra- dasi menjadi biogas.

Bagan 1. Skema Diagram Alir dari Limbah Cair dan Limbah Padat ( Indriyati,
2004)

Selama final acceptance test debit air limbah yang masuk ke dalam sistem
adalah berkisar rata-rata antara 59-140 m³/hari dengan kandungan COD terlarut
rata-rata setelah beberapa tahap penyaringan dan pengendapan sebesar 1967
mg/l. Setelah proses degradasi dicapai COD terlarut effluent sebesar 583 mg/l.

Berdasarkan hasil pengukuran kinerja alat pengolah limbah secara anaerobik


tersebut ternyata mampu menurunkan kadar COD hingga lebih 80 % yaitu dari
7.797 mg/l menjadi 813 mg/l ( Padmono, 2003). Lebih lanjut menurut Padmono,
(2003), menyatakan bahwa hal tersebut dapat dikurangi dengan penambahan
reaktor yang bekerja secara aerobic.

RPH 80 CIKAMPEK
Dalam upaya menurunkan kadar pencemar organic yang terkandung di dalam
limbah cair RPH perlu penambahan melalui proses kimia, salah satu cara
pengolahan limbah cair dengan proses kimia adalah dengan cara fotokatalitik
yang berarti pengolahan dengan cara penambahan katalis dan cahaya pada
limbah tersebut dengan proses fotokatalitik limbah organik akan terde- gradasi
menjadi CO2 dan H2O sehingga diharapkan dapat mereduksi kandungan
Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) , pH
dan daya hantar listrik yang merupakan tolok ukur pencemaran oleh zat-zat
organik.

Proses fotokatalitik dengan menggunakan semikonduktor, merupakan teknologi


yang di- harapkan dapat digunakan untuk mendegradasi zat berbahaya yang
mencemari lingkungan. Banyak semikonduktor oksida dan sulfida yang
memiliki energi celah cukup untuk digunakan dalam proses fotokatalitik, seperti
TiO2 (energi celah = 3,2 eV), CdS (energi celah = 2,5 eV), SrTiO3 (energi
celah 2 eV) dan lain-lain. (Linsebigler et al 1995).

Sifat listrik zat padat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam berdasarkan
daya hantar listriknya (σ), yaitu konduktor, isolator, dan semikonduktor.
Kondukor merupakan bahan yang dapat dengan mudah menghantarkan arus
listrik dengan nilai σ sebesar 104 – 106 ohm-1cm-1. Isolator adalah bahan
dengan daya hantar listrik sangat lemah atau tidak sama sekali, dengan nilai σ <
10-15 ohm-1cm-1. Semikonduktor adalah suatu bahan dengan daya hantar arus
listrik be- rada di antara konduktor dan isolator, dengan nilai σ sebesar 10-5 –
103 ohm-1cm-1 ( Kamat,1993) (Hubeey 1993)

Proses fotokatalitik dengan menggunakan semikonduktor, merupakan teknologi


yang diha- rapkan dapat digunakan untuk mendegradasi zat berbahaya yang
mencemari lingkungan. Ba- nyak semikonduktor oksida dan sulfida yang
memiliki energi celah cukup untuk digunakan da- lam proses fotokatalitik,
seperti TiO2 (energi celah = 3,2 eV), CdS (energi celah = 2,5 eV), SrTiO3
(energi celah 2 eV) dan lain-lain. (Linsebigler et al 1995)

Hampir semua material oksida, sulfida, dan material yang dapat digunakan
dalam reaksi fotokatalitik. Namun beberapa semikonduktor tersebut kurang
cocok digunakan sebagai katalis karena sifatnya yang kurang menguntungkan.
Logam sulfida mudah mengalami korosi. ZnO tidak stabil secara kimia, karena
mudah larut dalam air membentuk Zn(OH)2 pada permukaan partikel ZnO,
sehingga pemakaian dengan waktu lama menyebabkan inaktivasi katalis ZnO.
Semikonduktor TiO2 merupakan katalis yang banyak dipilih untuk proses
fotokatalitik, karena TiO2 bersifat inert secara biologi dan kimia, stabil
terhadap korosi akibat foton, stabil terhadap korosi akibat kimia, tidak beracun,
dan harganya relatif murah. (Mills dan Le Hunte 1997)

RPH 81 CIKAMPEK
Katalisis merupakan suatu proses yang dipercepat dengan penambahan suatu
substansi/katalis. Suatu reaksi yang dipengaruhi oleh cahaya dan katalis secara
bersama-sama dinamakan reaksi fotokatalitik. Katalis ini dapat mempercepat
fotoreaksi melalui interaksinya dengan substrat, baik dalam keadaan dasar
maupun keadaan tereksitasi dan atau produk utamanya, tergantung pada
mekanisme fotoreaksinya. (Mills dan Le Hunte 1997)

Fotokatalitik dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu fotokatalitik homogen


dan fotokatalitik heterogen. Fotokatalitik homogen adalah proses fotokatalitik
dengan bantuan zat pengoksidasi seperti ozon dan hidrogen peroksida,
sedangkan fotokatalitik heterogen dilakukan dengan bantuan semikonduktor
yang diiradiasi dengan sinar UV. Contoh semikonduktor yang dapat digunakan
untuk proses fotokatalitik heterogen adalah: titanium dioksida (TiO2), seng
oksida (ZnO), dan kadmium sulfida (CdS). (Peratitus et al 2004)

Jika suatu semikonduktor menyerap energi sebesar atau lebih besar dari energi
celahnya, maka elektron (e-) pada pita valensi (VB) akan tereksitasi ke pita
konduksi (CB), dengan meninggalkan lubang positif (h+). Hal ini merupakan
awal dari proses fotokatalitik.( Hoffmann et al 1995 )

RPH 82 CIKAMPEK
Lubang positif (hole) pada pita valensi mempunyai sifat pengoksidasi yang
sangat kuat (+1,0 sampai +3,5 V relatif terhadap elektroda hidrogen Nernst),

RPH 83 CIKAMPEK
sedangkan elektron pada pita konduksi mempunyai sifat pereduksi yang juga
sangat kuat (+0,5 sampai -1,5 V relatif terhadap elektroda hidrogen Nernst).
Reaksi degradasi fotokatalitik untuk sebagian besar senyawa organik, dapat
terjadi oleh hole. Reaksi fotodegradasi secara tidak langsung terjadi melalui
radikal hidroksil (•OH) yang dihasilkan akibat interaksi hole dengan air (H2O)
atau dengan ion hidroksil (OH-). Radikal hidroksil juga dapat terbentuk
melalui reaksi reduksi molekul oksigen oleh elektron pada pita konduksi.
Reaksi pembentukan radikal hidroksil dapat dituliskan sebagai berikut:

untuk membentuk ion superoksida (O2•-) yang selanjutnya membentuk


radikal hidroksil Elektron-elektron pada pita konduksi kemungkinan bereaksi
dengan molekul oksigen (•OH). Radikal hidroksil sangat reaktif menyerang
molekul-molekul organik dan mendegradasinya menjadi CO2 dan H2O (dan
ion-ion halida jika molekul organik mengandung atom-atom halogen).

Zat organik terdegradasi baik secara langsung oleh lubang positif (hole) maupun
tidak langsung oleh radikal hidroksil. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi
berantai, sehingga zat organik terdegradasi secara sempurna menjadi CO2 dan
H2O. Proses fotokatalitik heterogen dapat terjadi dalam media yang bervariasi:
media fasa gas, fasa cairan organik, atau fasa larutan aqueous. Seperti halnya
proses katalitik heterogen, tahapan proses keseluruhan fotokatalitik heterogen
terbagi menjadi 7 tahap, yaitu: (Fujishima, et al.1999)

1. Transfer massa reaktan dari fasa fluida ke permukaan eksternal katalis;

2. Diffusi reaktan dari permukaan eksternal ke permukaan internal;

3. Adsorpsi reaktan ke permukaan katalis;

4. Reaksi pada permukaan katalis (fasa teradsorpsi);

5. Desorpsi produk;

RPH 84 CIKAMPEK
6. Diffusi produk dari permukaan internal ke permukaan ekternal katalis;

7. Transfer massa produk dari permukaan eksternal ke fasa fluida.

Tahapan proses katalitik heterogen di atas, dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Tahapan reaksi katalitik heterogen (Ray & Beenacker, 1998).


Reaksi fotokatalitik terjadi dalam fasa teradsobsi (tahap 4). Perbadaan antara
proses katalitik heterogen dan fotokatalitik heterogen, adalah hanya dalam hal
aktivasi katalis. Pada proses katalitik konvensional, aktivasi katalis dilakukan
dengan menggunakan panas, sedangkan pada fotokatalitik aktivasi, dilakukan
menggunakan foton . (Cabrera ,et al .1994 )

Fotokatalitik heterogen merupakan suatu metode baru dalam pemurnian air


limbah yang termasuk dalam kelompok teknologi oksidasi. Dalam teknik ini,
semikonduktor TiO2 diiradiasi dengan sinar UV ( λ, 413 nm) dan menghasilkan
pasangan elektron-hole, yang kemudian dapat membentuk Radikal hidroksil
yang terbentuk dapat mendegradasi berbagai macam polutan organic seperti
herbisida pestisida, aromatik, alifatik, pewarna, biopolymer (protein,
karbohidrat, lemak, dsb) dan jenis polutan organik lainnya. (Mill A & Le Hunte,
1997).

Pengolahan air limbah organik secara fotokatalitik heterogen telah diteliti


semenjak tahun 1970-an, tetapi aplikasi secara komersial belum dikembangkan.
Pada tahun 1990-an sebuah te- robosan mengenai rancangan reaktor
fotokatalitik mulai dikembangkan. Dalam rancangan reak- tor fotokatalitik
diperlukan beberapa parameter penting, seperti: konfigurasi katalis TiO2, laju
transfer massa, efisiensi cahaya, dan sumber sinar UV.

RPH 85 CIKAMPEK
Dari sisi konfigurasi katalis, ada 2 (dua) model yang digunakan untuk
fotoreaktor pengolahan limbah, yaitu: katalis TiO2 dalam sistem suspensi dan
katalis TiO2 dalam sistem imobilisasi.

sistem suspensi dilakukan dengan mencampurkan serbuk TiO2 ke dalam larutan


uji atau larutan limbah yang akan didegradasi, campuran yang dihasilkan akan
membentuk suatu suspensi TiO2 dengan ukuran partikel micrometer . Sistem
imobilisasi dilakukan dengan melapiskan larutan TiO2 pada bermacam-macam
material pendukung, di antaranya fiber, gelas, silika,dan pelattitanium(Byrene et
al, 1998). Penjelasan konfigurasi katalis TiO2 seperti yang dijelaskan oleh
Fujishima et al ,2000 seperti pada Gambar 3 di bawah ini:

Bila dibandingkan, sistem suspensi mempunyai efisiensi yang lebih tinggi


dibandingkan sistem imobilisasi. Penggunaan TiO2 dalam sistem suspensi,
dengan partikel katalis yang sangat halus, menghasilkan proses fotokatalitik
yang tidak dibatasi oleh transfer massa, karena jarak difusi maksimum molekul
organik dengan permukaan katalis sangat kecil (Dingwang et al, 2001). Tetapi
untuk aplikasi pengolahan limbah dalam skala besar, sistem suspensi memiliki
banyak kelemahan-kelemahan. Kelemahan utama yang dilaporkan di antaranya
adalah, (i) pemisahan partikel TiO2 dari larutan setelah dipakai memerlukan
waktu yang lama dan memerlukan biaya yang sangat mahal, dan (ii) daya
tembus sinar UV yang terbatas karena absorbsi yang kuat oleh TiO2 dan spesi
organik terlarut. Untuk mengatasi masalah ini, banyak peneliti telah mencoba
untuk mengurangi masalah yang timbul dengan cara mengimobilisasikan katalis
TiO2 pada material pendukung yang sesuai.

Dengan imobilisasi ini mempunyai dua keuntungan, yang pertama mengurangi


masalah pemisahan partikel katalis, sehingga dapat digunakan dalam sistem
kontinyu. Keuntungan yang kedua, katalis TiO2 dalam bentuk lapisan tipis
mempunyai porous yang dapat memberikan luas permukaan yang lebih besar
untuk degradasi molekul polutan. Beberapa contoh pengembangan reaktor
fotokatalitik sistem imobilisasi dapat dilihat pada Tabel 1.( Dijkstra, et al, 2001).

RPH 86 CIKAMPEK
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel limbah rumah potong
hewan (RPH) Cakung, perak sulfat (Merck, 98%), merkuri sulfat (Merck 98%),
ferro amonium sulfat (Merck, 98%), 1.10-fenantrolin(BDH, 98%), ferro sulfat
(Merck,98%),asam sulfamat (Merck, 98%), kalium hydrogen phtalate (Merck,
98%), asam sulfat (Merck, 98%). Sedangkan Peralatan yang digunakan selama
penelitian adalah pH meter Copenhagen, konduktometer Hanna EC-215,

RPH 87 CIKAMPEK
Reaktor fotokatalitik , pompa sirkulasi, tempat penampung sampel (reservoir),
dan kran.
Untuk mengolah limbah Rumah Potong Hewan menjadi biogas untuk
membangkitkan tenaga listrik, diperluikan Langkah-langkah sebagai berikut:

1. Penyiapan reaktor fotokatalitik


Reaktor fotokatalitik yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 5 (hasil pengembangan Jarnuzi dkk, FMIPA-UI). Satu unit reaktor
meliputi satu buah lam- pu black light (Gold Star T18, 20 W) dan tujuh belas
buah kolom gelas (id. 2 mm, l. 50 cm). Pada bagian dalam dinding setiap
kolom tersebut diimobilisasikan lapisan tipis TiO2 (selanjutnya disebut TiO2
inner wall of a glass column tube, dan disingkat sebagai TiO2 –IWGCT).
Beberapa TiO2 –IWGCT disusun melingkar mengelilingi lampu dan
dihubungkan dengan selang silikon. Larutan sampel disirkulasi dari reservoir
melalui kolom gelas (TiO2 –IWGCT) dengan menggunakan pompa sirkulasi.

RPH 88 CIKAMPEK
Gambar 4. Skematik reaktor fotokatalitik TiO2-IWGCT (Jarnuzi dkk).
Sistem yang digunakan dalam reaktor ini adalah sestem imobilisasi, dimana
katalis TiO2 dilapiskan pada bagian dalam kolom gelas. Sampel uji atau limbah
organik cair dialirkan dari reservoar ke bagian dalam kolom gelas yang sudah
disinari dengan lampu UV dan kemudian larutan uji yang ke luar dari kolom
gelas ditampung kembali dalam reservoar, proses sirkulasi ini dilakukan secara
kontinyu dengan variasi waktu penyinaran.

2. Pengujian aktivitas reaktor fotokatalitik


Pengujian aktivitas reaktor fotokatalitik pada penelitian ini, dilakukan
dengan menggunakan 3 (tiga) buah unit reaktor dan laju alir 50 mL/menit.
Kinerja aktivitas reaktor fotokatalitik diuji untuk mendegradasi limbah cair
rumah potong hewan (RPH). Limbah cair RPH banyak mengandung zat-zat
organik, darah, lemak, dan protein yang akan mengakibatkan pencemaran jika
dibuang langsung ke perairan umum. Dalam pengujian kinerja reaktor
fotokatalitik terhadap degradasi limbah cair RPH ini, dilakukan pengamatan
pengaruh waktu kontak terhadap nilai BOD, COD , pH dan nilai Daya hantar
listrik . Limbah cair RPH yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
keluaran akhir dari proses pengolahan limbah cair RPH Cakung Jakarta. Proses
degradasi limbah cair RPH ini dilakukan dalam skala laboratorium, dimana
limbah RPH yang digunakan dalam satu kali proses sebanyak 800 mL.

3. Uji Aktivitas Untuk Penentuan Pengaruh Waktu Iradiasi


Larutan sampel RPH sebanyak 800 mL ditempatkan dalam reservoir.
Kemudian larutan sampel disirkulasikan melewati unit reaktor, pengujian ini
dilakukan dengan variasi waktu penyinaran selama 0, 2, 4, 6, dan 8 jam untuk
setiap sampel.

4. Penentuan Nilai BOD

RPH 89 CIKAMPEK
Penentuan nilai BOD dengan waktu inkubasi 5 hari dan suhu inkubasi 20oC
(BOD5) dilakukan terhadap sampel RPH yang telah disirkulasikan melewati
reaktor fotokatalitik dengan variasi waktu penyinaran. Prosedur penentuan
nilai BOD menggunakan metode titrimetri.

5. Penentuan Nilai COD


Penentuan nilai COD dilakukan terhadap sampel RPH yang telah disirkulasikan
melewati reaktor fotokatalitik dengan variasi waktu penyinaran. Prosedur
penentuan nilai COD menggunakan metode titrimetri.
 Dipipet sebanyak 25 mL larutan sampel RPH, kemudian dimasukkan
ke dalam labu didih yang berisi batu didih.
 Ditambahkan 400 mg HgSO4, 5 mL H2SO4 pekat dan didinginkan,
kemudian tambahkan 25 mL K2Cr2O7 0,25 N.
 Alat refluks disiapkan dengan memasang kondensor pada labu didih.
 Ditambahkan 30 mL H2SO4 pekat dari ujung kondensor dan diaduk sampai
bercampur sempurna, kemudian dipanaskan selam 2 jam.
 Setelah dingin, ditambahkan 50 mL aquades dan 3 tetes indikator ferroin.
 Dititrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat 0,25 N sampai terjadi
perubahan warna dari hikau-biru menjadi tepat berwarna merah-coklat.

Dengan cara yang sama, dilakukan pula refluks dan titrasi terhadap air destilasi
dengan volume yang sama dengan sampel yang dianalisis, cara ini dilakukan
untuk menentukan nilai blanko.

6. Penentuan Nilai pH dan Daya Hantar Listrik (DHL)


Nilai pH sampel diukur menggunakan alat pH meter Copenhagen model PHM
201 dan daya hantar listrik diukur dengan menggunakan alat konduktometer
Hanna model EC-215.

Menurut Indriyati (2004), Proses pendayagunaan limbah cair RPH Cakung


dilakukan secara biologi dengan sistim anaerobik menggunakan reactor tipe
Fixed Bed. Proses dimulai dengan pemisahan limbah padat yang kasar dengan
menggunakan penyaring otomatis dengan tujuan un- tuk melindungi pompa dari
padatan kasar yang mungkin akan menyumbat pompa. Limbah cair yang keluar
dari saringan kasar dialirkan langsung menuju penampung dan selanjutnya
dialirkan ke atas saringan halus.

Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki
pengenda- pan/sedimentasi. Endapan Lumpur padatan organik dipompa ke
penampung lumpur yang lebih padat. Limbah cair yang sudah dipisahkan akan
dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reactor pengolahan limbah cair anaerobik
melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan anaerobik ini ada- lah untuk
mendegradasi bahan organik di limbah cair dan merubah bahan organik yang
terdegra- dasi menjadi biogas.

RPH 90 CIKAMPEK
Pengolahan limbah RPH Cakung masih terbatas pada penggunaan sistim
anaerobic, namun den- gan sistim yang lebih terpadu dalam sebuah reactor yang
mampu menghasilkan biogas sebagai pembangkit tenaga listrik. Sebelum masuk
ke reactor anaerobik terlebih dahulu dilakukan berba- gai penyaringan,
pemompaan dan pengendapan untuk memisahkan air limbah dengan berbagai
padatan ( Padmono, 2003).

Limbah cair RPH Cakung yang digunakan selama penelitian sebagai nilai
blanko sebesar BOD5 17,74 mg/l, COD 200 mg/l , pH 6,89 dan Konduktifitas
2.09 mS/cm.

4.6.1 Proses Fotokatalitik untuk Pengolahan Limbah Cair Organik


Fotokatalitik heterogen merupakan suatu metode baru dalam pemurnian air
limbah yang termasuk dalam kelompok teknologi oksidasi. Dalam teknik ini,
semikonduktor TiO2 diiradiasi dengan sinar UV ( λ, 413 nm) dan menghasilkan
pasangan elektron-hole, yang kemudian dapat membentuk radikal hidroksil.
Radikal hidroksil yang terbentuk dapat mendegradasi berbagai macam polutan
organik, seperti herbisida, pestisida, aromatik, alifatik, pewarna, biopolimer
(protein, karbohidrat, lemak, dsb) dan jenis polutan organik lainnya. Reaktor
Fotokatalitik TiO2-IWGCT.

Reaktor TiO2 - inner wall of a glass column tube, dan disingkat sebagai TiO2 –
IWGCT), adalah reaktor fotokatalitik skala laboratorium yang dikembangkan di
Departemen Kimia FMI- PA-UI untuk mendegradasi polutan organik ( Gambar5
). Sistim yang digunakan dalam reaktor ini adalah sestem imobilisasi, dimana
katalis TiO2 dilapiskan pada bagian dalam kolom gelas. Sampel uji atau limbah
organik cair dialirkan dari reservoar ke bagian dalam kolom gelas yang sudah
disinari dengan lampu UV dan kemudian larutan uji yang ke luar dari
kolom gelas ditampung kembali dalam reservoar, proses sirkulasi ini
dilakukan secara kontinyu dengan variasi waktu penyinaran. Menurut Jarnuzi,
et al ( 2001) , reaksi degradasi limbah organik secara fotokatalitik terjadi pada
bagian dalam kolom gelas, yang digambarkan sebagai berikut:

Gambar 5. Mekanisme fotokatalitik pada bagian dalam kolom gelas.

RPH 91 CIKAMPEK
Hole (h+) dan radikal hidroksil (•OH) yang dihasilkan pada permukaan katalis
akan bereaksi dengan polutan organik yang diikuti dengan proses dekomposisi
polutan organik menjadi CO2, H2O dan asam-asam mineral. Lubang positif
(hole) pada pita valensi mempunyai sifat pengoksidasi yang sangat kuat
(+1,0 sampai +3,5 V relatif terhadap elektroda hidrogen Nernst), sedangkan
elektron pada pita konduksi mempunyai sifat pereduksi yang juga sangat kuat
(+0,5 sampai -1,5 V relatif terhadap elektroda hidrogen Nernst). Reaksi
degradasi fotokatalitik untuk sebagian besar senyawa organik, dapat terjadi
oleh hole. Reaksi fotodegradasi secara tidak langsung terjadi melalui radikal
hidroksil (•OH) yang dihasilkan akibat interaksi hole dengan air (H2O) atau
dengan ion hidroksil (OH-). Radikal hidroksil juga dapat terbentuk melalui
reaksi reduksi molekul oksigen oleh elektron pada pita konduksi ( Linsebigler et
al, 1995) (Fujishima et al, 1999) Reaksi keseluruhan dekomposisi limbah
organik secara fotokatalitik sebagai berikut:

Efisiensi reaktor alir TiO2-IWGCT sangat dipengaruhi oleh parameter


ketebalan lapisan TiO2, laju alir larutan yang akan diuji, waktu penyinaran , dan
jumlah kolom gelas yang diguna- kan ( Zhang et al, 2004 ).

4.6.2 Ketebalan lapisan TiO2


Dalam proses fotokatalitik dengan reaktor IWGCT-TiO2, ketebalan lapisan
TiO2 memain- kan peranan penting terhadap degradasi limbah organik, karena
datangnya sinar UV berasal dari bagian luar kolom gelas/penyangga. Ketika
lapisan film TiO2 terlalu tipis energi foton yang mengenai lapisan tidak
semuanya diabsorbsi (efisiensi rendah), sehingga konsekwensinya radik- al •OH
yang terbentuk menjadi lebih sedikit. Bila ketebalan lapisan film TiO2
ditingkatkan, ma- ka energi foton yang akan terabsorb semakin banyak (efisiensi
meningkat), sehingga dapat lebih mengaktifkan katalis untuk menghasilkan
radikal •OH yang lebih banyak. Tetapi ketika lapisan film terlalu tebal, maka
bagian sisi katalis yang kontak dengan larutan sampel tidak mendapat penetrasi
foton yang optimal (kurang teraktifkan) dan kemungkinan juga akan terjadi
rekombina- si elektron dan hole sebelum sampai pada permukaan (Dingwang et
al, 2001). Keadaan ini akan meyebabkan menurunnya laju degradasi limbah
organik..

Secara ilustrasi, hubungan antara ketebalan katalis TiO2 dan aktivasi


fotokatalitik dengan sinar UV yang datang dari bagian luar penyangga,
dijelaskan oleh Dingwang , et al. 2001 , se- perti terlihat pada Gambar 6 di
bawah ini:

RPH 92 CIKAMPEK
Gambar 6. Profil konsentrasi dan intensitas UV dalam sistem immobilisasi
TiO2 dengan sinar UV berasal dari bagian luar penyangga (q=kapasitas
adsorpsi, I= intensitas cahaya, H=ketebalan katalis, I0= intensitas cahaya awal,
dan Cb=konsentrasi polutan pada bulk). Ketebalan optimum lapisan TiO2 untuk
reaktor TiO2-IWGCT adalah antara 1,626 μm sampai dengan 1,906 μm.
(Surahman, H, 2004).

4.6.3 Pengaruh Laju Alir Limbah Organik


Aktivitas fotokatalitik TiO2 dalam sistem immobilisasi, dibatasi oleh proses
transfer mas- sa, yaitu suatu proses dimana molekul-molekul polutan organik
bermigrasi dan berinteraksi dengan permukaan katalis. Untuk mendapatkan
transfer massa yang optimum telah dilaku- kan berbagai macam usaha, yaitu
dengan cara meningkatkan laju alir untuk sistem reaktor mengalir (Zhang et al,
2004), bubling dengan udara untuk reaktor sistem batch dan mengalir (Harper et
al 2001), dan pengadukan larutan sampel untuk reaktor sistem batch
(Mc.Murrayet al, 2004) Untuk reaktor alir TiO2-IWGCT, laju alir memegang
peranan penting dalam me- ningkatkan transfer massa limbah organik ke
permukaan katalis. Semakin cepat laju alir yang digunakan akan meningkatkan
proses turbulensi larutan uji dengan permukaan bagian dalam kolom gelas
sehingga transfer massa yang terjadi akan semakin besar. Maka dengan
demikian laju degradasi limbah organik akan semakin cepat.

4.6.4 Jumlah Kolom TiO2


Semakin banyak jumlah kolom TiO2 , maka luas penampang permukaan
katalis yang kontak dengan limbah organik akan semakin besar, sehingga waktu
kontak antara larutan limbah dengan katalis semakin lama, dan semakin banyak
limbah yang terdegradasi. . Dalam sistem reaktor TiO2 - IWGCT waktu kontak
memainkan peranan penting dalam meningkatkan aktivasi fotokatalitik.

RPH 93 CIKAMPEK
Meningkatnya waktu kontak seiring dengan bertambahnya jumlah kolom TiO2
akan meningkatkan persentasi limbah organik yang terdegradasi.

4.6.5 Pengujian Aktivitas Reaktor Fotokatalitik TiO2-IWGCT


Pengujian aktivitas reaktor fotokatalitik pada penelitian ini, dilakukan dengan
menggunakan 3 (tiga) buah unit reaktor dan laju alir 50 mL/menit. Kinerja
aktivitas reaktor fotokatalitik diuji untuk mendegradasi limbah cair rumah
potong hewan (RPH). Limbah cair RPH banyak mengandung zat-zat organik,
darah, lemak, dan protein yang akan mengakibatkan pencemaran jika dibuang
langsung ke perairan umum. Dalam pengujian kinerja reaktor fotokatalitik
terhadap degradasi limah cair RPH ini, dilakukan pengamatan pengaruh waktu
penyinaran sinar UV terhadap nilai BOD5, COD , pH dan nilai konduktivitas.
Limbah cair RPH yang digunakan dalam penelitian ini merupakan keluaran
akhir dari proses pengolahan limbah cair RPH Cakung Jakarta. Proses degradasi
limbah cair RPH ini dilakukan dalam skala laboratorium, dimana limbah RPH
yang digunakan dalam satu kali proses sebanyak 800 mL.

4.6.6 Pengaruh Waktu Penyinaran Terhadap Nilai BOD5 Limbah Cair RPH
Pengaruh waktu penyinaran sinar UV dengan variasi penyinaran 0, 2, 4, 6, dan 8
jam ter- hadap nilai BOD5 limbah cair RPH menggunakan reaktor fotokatalisis
TiO2-IWGCT telah dipe- lajari. Grafik 1 memperlihatkan hubungan antara
variasi waktu penyinaran dengan nilai BOD5 limbah cair RPH, yaitu
kecenderungan menaiknya nilai BOD5 terhadap kenaikan waktu penyi- naran
sinar UV.

RPH 94 CIKAMPEK
Nilai BOD5 menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan mikroorganisme
untuk men- guraikan bahan organik terlarut dan sebagian bahan organik yang
tersuspensi di dalam air . BOD5 merupakan salah satu parameter yang paling
umum digunakan untuk mengetahui beban pencemaran dari suatu air buangan
atau air limbah , ukuran beban bagi suatu unit pengolahan air limbah dan juga
ukuran bagi efesiensi untuk pengolahan air limbah tersebut . Besarnya nilai
BOD5 dalam limbah cair ditentukan oleh komposisi kandungan organik yang
bersifat biodegrad- able ( mudah terurai secara biologi) dan nonbiodegradable
(sulit terurai secara biologi). Limbah cair yang mengandung bahan organik
biodegradable akan menghasilkan nilai BOD5 yang lebih tinggi dibandingkan
dengan limbah cair yang mengandung bahan organik nonbiodegradable.

Pada Grafik 1 memperlihatkan kenaikan nilai BOD5 dari 17,74 mg/l menjadi
62,38 mg/l setelah dilakukan penyinaran selama 8 jam. Kenaikan nilai BOD5
seiring bertambahnya waktu penyina- ran mengindikasikan terjadinya
penguraian bahan organik nonbiodegradable menjadi bahan organik
biodegradable secara fotokatalisis. Semakin lama waktu penyinaran akan
semakin banyak bahan organik biodegradable yang terbentuk ditandai dengan
semakin tingginya nilai BOD5 da- lam limbah cair. Hu Chun dan Wang
Yizhong (1999), menyatakan bahwa proses fotokatalisis TiO2 mengakibatkan
meningkatnya nilai BOD5.

4.6.7 Pengaruh Waktu Penyinaran Terhadap Nilai COD Limbah Cair RPH.
Pengaruh waktu penyinaran sinar UV dengan variasi penyinaran 0, 2, 4, 6, dan 8
jam ter- hadap nilai COD limbah cair RPH menggunakan reaktor fotokatalisis
TiO2-IWGCT telah dipela- jari. Grafik 2 memperlihatkan hubungan antara
variasi waktu penyinaran dengan nilai COD limbah cair RPH. yaitu
kecenderungan menurunnya nilai COD terhadap kenaikan waktu penyi- naran
sinar UV.

RPH 95 CIKAMPEK
Nilai COD merupakan salah satu parameter untuk mengetahui beban
pencemaran dari suatu air buangan atau air limbah. Tinggi rendahnya nilai
COD dalam suatu air limbah ditentu- kan dengan kandungan bahan-bahan
organik yang terlarut. Semakin tinggi kandungan bahan organik maka semakin
tinggi nilai COD nya dan sebaliknya, semakin rendah kandungan bahan
organiknya maka semakin rendah nilai COD nya. Pada Grafik 2 .
memperlihatkan penurunan nilai COD sebesar 42,8 % setelah dilakukan
penyinaran selama 8 jam. Penurunan nilai COD mengindikasikan turunnya
kandungan bahan-bahan organik yang terdapat dalam limbah cair RPH seperti
darah, protein, lemak, dan zat-zat organik lainnya secara reaksi
fotokatalisis. Andrew Mills dan Stephen Le Hunte (1997), telah melaporkan
beberapa contoh proses fotokata- lisis untuk mendegradasi beberapa senyawa
organik termasuk senyawa-senyawa biomassa seperti karbohidrat, urine, dan
protein. Secara umum reaksi-reaksi fotokatalisis untuk mendegradasi senyawa
organik dapat dituliskan sebagai berikut:

Untuk senyawa organik yang mengandung unsur halogen (Cl, I, F,


dan Br), reaksi fotokatalisisnya menurut persamaan (4.3) di bawah ini:

Untuk senyawa organik yang mengandung unsur sulfur, reaksi


fotokatalisisnya menurut persamaan (4.4) di bawah ini:

Untuk senyawa organik yang mengandung unsur nitrogen, reaksi


fotokatalisisnya menurut persamaan (4.5) di bawah ini:

Hubungan antara waktu penyinaran dan waktu kontak reaktor TiO2-IWCGT.


Variasi waktu penyinaran sinar UV dalam proses fotokatalisis berhubungan
dengan lamanya kontak antara larutan uji dengan katalis TiO2 yang sudah
teraktifkan. Semakin lama waktu penyinaran yang dilakukan maka waktu kontak
antara larutan uji dengan katalis TiO2 akan semakin lama. Dalam sistem reaktor
alir TiO2-IWGCT waktu kontak antara larutan uji dengan katalis TiO2
ditentukan oleh kecepatan laju alir larutan uji, jumlah tabung gelas, dan volume
larutan uji yang digunakan. Dari data percobaan dan perhitungan diperoleh
hubungan antara waktu penyinaran dan waktu kontak seperti dalam Tabel 2 di
bawah ini:
Tabel 2. Hubungan antara waktu penyinaran dan waktu kontak reaktor TiO2-
IWCGT.

RPH 96 CIKAMPEK
Dengan semakin lamanya waktu kontak antara limbah cair RPH dengan katalis
TiO2 dalam tabung gelas maka proses degradasi limbah cair RPH secara
fotokatalisis akan mengakibatkan kenaikan nilai BOD5 . Pada Grafik 3,
memperlihatkan kenaikan nilai BOD5 yang terdegradasi secara fotokatalisis.
Kenaikan nilai BOD5 yang terdegradasi memperlihatkan kenaikan secara linier
sampai dengan waktu kontak 48,76 menit. Fenomena ini dapat dijelaskan
sebagai berikut. Reaksi degradasi fotokatalitik pada lapisan tipis TiO2 ini
merupakan suatu sistem heterogen , yang mengakibatkan banyaknya bahan
organik yang sulit terdegradasi secara biologi menjadi bahan organik yang
mudah terdegradasi secara biologi sehingga kebutuhan oksigen akan meningkat.

RPH 97 CIKAMPEK
4.6.8 Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Nilai COD Limbah Cair RPH.
Dengan semakin lamanya waktu kontak antara limbah cair RPH dengan katalis
TiO2 dalam tabung gelas maka proses degradasi limbah cair RPH secara
fotokatalisis akan semakin baik, hal ini dapat dilihat seperti pada Grafik 4.

Pada Grafik 4 memperlihatkan penurunan nilai COD yang terdegradasi secara


fotokatalisis. Penurunan nilai COD yang terdegradasi memperlihatkan
penurunan secara linier sampai pada jam ke 4 (waktu kontak 24,38 menit).
Setelah waktu penyinaran di atas 4 jam penurunan COD sudah mulai jenuh,
Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Reaksi degradasi
fotokatalitik pada lapisan tipis TiO2 ini merupakan suatu sistem heterogen.
Untuk terjadinya proses degradasi, maka polutan harus bermigrasi dari
larutan ke permukaan katalis, dan kemudian terdifusi ke dalam katalis
tersebut. Beberapa studi juga mengemukakan bahwa degradasi fotokatalitik
dapat terjadi melalui proses adsorpsi polutan organik ke permukaan katalis.
Apabila konsentrasi polutan organik dalam larutan itu sangat kecil, maka
transfer massa dari larutan ke permukaan katalis akan menjadi sedikit. Hasil
serupa juga dikemukakan oleh Cunningham dan Alsayed (di kutip dari Hedi) ,
yang menyatakan bahwa laju degradasi menjadi lebih cepat, apabila konsentrasi
polutan lebih besar pula, karena dengan semakin tinggi konsentrasi polutan,
maka akan semakin banyak konsentrasi polutan yang teradsorpsi ke permukaan
katalis dan semakin banyak yang akan terdegradasi. Semakin tingginya
polutan organik dalam limbah cair RPH digambarkan dengan semakin tingginya
nilai COD dan semakin cepatnya laju degradasi polutan organik digambarkan
dengan semakin banyaknya persentasi

RPH 98 CIKAMPEK
Al Ekabi dan Nick Serpone (1988), serta Bahnemann et al. (1995) , menyatakan
bahwa kecenderungan tidak lagi menaiknya laju degradasi polutan organik
terutama disebabkan oleh kejenuhan fraksi pelingkupan permukaan aktif TiO2
(θ) yang disebabkan oleh berkompetisinya senyawa organik awal dan senyawa
organik intermediet (hasil degradasi belum sempurna) untuk teradsorpsi pada
permukaan katalis TiO2. Mills at al , 1997, mendiskripsikan pembentukan
senyawa intermediet selam proses fotokatalisis seperti pada Gambar 7 di bawah
ini:

Proses degradasi limbah cair RPH secara fotokatalisis menggunakan reaktor alir
TiO2- IWGCT dapat menurunkan nilai COD dari 200 mg/L menjadi 114 mg/L
selama 8 jam penyinaran atau setara dengan 48,76 menit waktu kontak antara
limbah cair RPH dengan katalis TiO2. Ditinjau dari baku mutu air limbah
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Nomor Kep.02/MENKLH/I/1988 tentang pedoman penetapan baku mutu
lingkungan, kualitas limbah cair RPH hasil proses fotokatalisis mengalami
kenaikan dilihat dari parameter COD yaitu dari mutu air limbah golongan III
menjadi mutu air limbah golongan II, Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor KEP 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair
Kegiatan Industri mengalami kenaikan dari Golongan baku II menjadi golongan
I dan masih memenuhi baku mutu air limbah RPH berdasarkan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.2 Tahun 2006.

4.6.9 Analisis Perbandingan BOD5 dengan COD


Analisis perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik biokimia
dalam hal ini tingkat kemudahan pengolahan secara biologis dari limbah
cair RPH tersebut. Tingkat kemudahan ini akan lebih besar sesuai dengan
angka perbandingan BOD5 / COD limbah cair yang bertambah besar
(mendekati 1) sebaliknya tingkat kemudahan pengolahan biologis akan
bertambah kecil dengan angka perbandingan BOD5 / COD yang relatif kecil
(mendekati 0) .

RPH 99 CIKAMPEK
Berdasarkan kualitas limbah cair, pegolahan secara biologis biasanya dilakukan
jika nilai kandungan BOD5 dibandingkan nilai COD berada diantara 0,4 – 0,6.
Mempertimbangkan hasil pemeriksaan karakteristik limbah cair RPH Cakung
(tabel 3) dan kandungan zat organik yang tinggi serta bersifat biodegradabel,
maka pengolahan secara biologis lebih dapat diterapkan jika dibandingkan
dengan proses kimia. Tabel 3. Perbandingan BOD/COD .

Dari tabel 3. terlihat seiring dengan bertambahnya waktu kontak meyebabkan


kenaikan BOD5 dan menurunkan nilai COD. Hal ini memperlihatkam bahwa
bagian yang dapat diuraikan secara biologi pada limbah cair RPH Cakung relatif
lebih besar dari bagian yang tidak dapat diuraikan secara biologi, berarti tingkat
kemudahan pengolahan secara biologi lebih besar.

Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Nilai pH dan Nilai Konduktivitas Limbah


Cair RPH.

Pengaruh waktu penyinaran sinar UV dengan variasi penyinaran 0, 2, 4, 6, dan 8


jam yang setara dengan 0; 12,19; 24,38; 36,57; dan 48,76 menit waktu kontak
terhadap nilai pH dan nilai konduktivitas limbah cair RPH menggunakan reaktor
fotokatalisis telah dipelajari. Grafik 5 memperlihatkan hubungan antara variasi
waktu kontak larutan uji dengan katalis TiO2 dengan nilai pH limbah cair RPH.
Pada Grafik 5. memperlihatkan kecenderungan menurunnya nilai pH terhadap
kenaikan waktu kontak.

RPH 100 CIKAMPEK


Dari Grafik 5. terlihat bahwa sebelum disinari, larutan mempunyai pH awal
6.89. Sete- lah dilakukan proses fotokatalisis nilai pH limbah cair RPH
mengalami penurunan hingga men- capai 6.05. Penurunan nilai pH
menunjukkan terjadinya reaksi degradasi fotokatalisis senyawa- senyawa
organik yang terdapat dalam limbah cair RPH yang menghasilkan spesi ion
hidrogen (H+) ataupun senyawa-senyawa yang bersifat asam, seperti yang
dijelaskan pada persamaan (4.3)-persamaan (4.5).

Fakta ini didukung oleh data hasil pengukuran konduktivitas (Grafik 6) yang
semakin meningkat dengan bertambahnya waktu kontak. Sementara itu menurut
Winarti 2001, meningkatnya keasaman larutan hasil degradasi senyawa organik
terjadi karena terbentuknya senyawa intermediet berupa asam organik, seperti
asam asetat dan asam oksalat. Menurunnya nilai pH dari 6,89 sampai 6,05
masih memenuhi Baku Mutu Air Limbah berdasarkan Keputusan Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor Kep. 02/Men KLH/I/1988 dan
masih memenuhi baku mutu air limbah RPH berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No.2 Tahun 2006.

Hasil pengukuran nilai konduktivitas pada larutan sebelum dan sesudah


disinari, dapat dilihat pada Grafik 6. Konduktivitas menjelaskan nilai daya
hantar listrik dari suatu larutan yang sangat ditentukan oleh banyaknya ion
terlarut dalam larutan tersebut. Pada Grafik 6 . terlihat, bahwa pada awalnya

RPH 101 CIKAMPEK


konduktivitas dari limbah cair RPH sebelum disinari nilainya sekitar 2,09
mS/cm. Setelah dilakukan penyinaran nilai konduktivitas mengalami kenaikan.

Bertambahnya nilai konduktivitas merupakan indikasi bahwa selama proses


fotokatalitik terben- tuk ion-ion hasil proses degradasi senyawa-senyawa
organik yang terdapat dalam limbah cair RPH . Ion-ion yang terbentuk selama
proses fotokatalisis diperkirakan adalah ion- ion hidrogen (H+), nitrat (NO3-)
dan ion posfat (PO43-). Ion nitrat dan ion posfat berasal dari oksidasi unsur
nitrogen dan unsur posfor yang banyak terdapat dalam biomassa protein ataupun
urin.

4.6.10 Prospek Fotokatalisis Sebagai Pengolah Limbah Cair RPH


Proses fotokatalisis dengan menggunakan semikonduktor TiO2 merupakan
teknologi yang diharapkan dapat digunakan untuk mendegradasi zat berbahaya
yang mencemari lingkungan. Katalis TiO2 dengan energi celah pita sebesar 3.0
– 3,2 eV, mempunyai daya oksidasi yang san- gat kuat jika diaktifkan oleh sinar
UV. Dengan daya oksidasi yang sangat besar maka proses fo- tokatalisis TiO2
dapat mendegradasi hampir semua polutan organik menjadi CO2 dan H2O.
Tek- nologi fotokatalisis merupakan teknologi alternatif yang mempunyai
prospek sangat baik untuk mengolah limbah organik. Untuk mengaktifkan
katalis TiO2 dibutuhkan energi foton dengan panjang gelombang lebih kecil
atau sama dengan 413 nm. Energi foton ini dapat diperoleh dari energi sinar
matahari yang sampai ke Bumi. Dari hasil penelitian diperoeleh data bahwa
hampir 10 % sinar matahari yang sampai ke Bumi dapat digunakan sebagai
sumber energi foton untuk mengaktifkan katalis TiO2x. Spektrum sinar

RPH 102 CIKAMPEK


matahari yang sampai ke bumi dapat dilihat dalam Gambar 8. (Linsebigler, A.L,
et al,1995). Dilihat dari fakta tersebut teknologi fotokatalisis merupakan
teknologi yang ramah lingkungan dan murah sehingga mempunyai prospek
menjanjikan karena selain mempunyai range potensial oksidasi yang besar untuk
mendegradasi polutan-polutan organik, katalis TiO2 juga bersifat inert secara
kimia maupun biologi, non toksik, dan tidak mahal.

Gambar 8. Spektrum sinar matahari yang sampai ke Bumi

Dari hasil degradasi buangan akhir limbah cair RPH rumah potong hewan
diperoleh data penurunan nilai COD sebesar 42% selama 48,76 menit dan
kenaikan BOD5. Data ini memberikan hasil yang positif dalam penggunaan
teknologi fotokatalisis sebagai pengolah limbah cair RPH. Penurunan nilai
COD limbah cair RPH menggunakan reaktor TiO2-IWGCT dapat ditingkatkan
dengan menambahkan unit reaktor dan mempercepat laju alir larutan limbah cair
RPH. Penambahan unit reaktor akan meningkatkan waktu kontak antara larutan
uji dengan katalis TiO2, sehingga proses degradasi limbah cair RPH akan
semakin cepat. Penambahan laju alir larutan uji akan meningkatkan turbulensi
larutan limbah cair RPH di dalam tabung. Dengan meningkatnya turbulensi
larutan uji di dalam tabung maka proses transfer massa atau berpindahnya massa
polutan organik ke permukaan katalis TiO2 akan semakin besar, sehingga
proses degradasi fotokatalisis limbah cair RPH akan semakin cepat.(perhitungan
terlampir).

Secara umum proses fotokatalisis TiO2 dibatasi oleh partikel-partikel


terlarut dalam larutan uji. Partikel-partikel atau pengotor terlarut dapat

RPH 103 CIKAMPEK


menghalangi jalannya sinar UV sehingga tidak sampai secara sempurna ke
permukaan katalis dan dapat menutupi permukaan katalis TiO2 sehingga katalis
TiO2 tidak dapat kontak secara sempurna dengan larutan uji. Untuk
menghindari masalah-masalah tersebut, pengolahan limbah secara fotokatalisis
dapat digabung dengan proses pengolahan limbah lainnya.

Untuk kasus pengolahan limbah cair RPH secara fotokatalisis, limbah cair harus
melewati beberapa proses pengolahan limbah pendahuluan sebelum diproses
secara fotokatalisis. Seperti halnya pengolahan limbah cair di rumah potong
hewan Cakung yang melewati beberapa tahap pengolahan. Proses dimulai
dengan pemisahan limbah padat yang kasar dengan menggunakan penyaringan.
Limbah cair yang keluar dari saringan dialirkan langsung menuju tangki
pencampuran dan penyimpanan.

Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki
pengendapan/sedimentasi. Endapan lumpur padatan organik dipompa ke
penampung lumpur yang lebih padat, Limbah cair yang sudah dipisahkan akan
dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reaktor pengolahan limbah cair
anaerobik melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan anaerobik ini adalah untuk
mendegradasi bahan organik di limbah cair dan merubah bahan organik yang
terdegradasi menjadi biogas. Setelah proses anaerobik limbah cair dibuang ke
perairan umum.

Dari hasil penelitian ini diusulkan, sebelum dibuang ke perairan umum


dilakukan lagi proses pengolahan limbah secara fotokatalisis, sehingga akan
lebih meningkatkan kualitas air buangan. Usulan ini merupakan ide baru dalam
proses pengolahan limbah cair RPH yang diharapkan dapat membantu
penerapan teknologi produksi bersih yaitu teknologi yang menerapkan
strategi lingkungan yang berkesinambungan, terintegrasi dan bersifat preventif
terhadap proses, produk dan pelayanan untuk meningkatkan efisiensi. Misalnya
untuk proses, yang meliputi konservasi bahan baku dan energi, mengurangi
bahan baku berbahaya, mengurangi kuantitas dan kualitas emisi dan limbah
sebelum meninggalkan proses. Skema diagram alir pengolahan limbah cair
secara fotokatalisis yang diusulkan dapat dilihat pada Bagan 2 di bawah ini:

RPH 104 CIKAMPEK


4.6 Hasil dari Pengolahan Limbah
Pendayagunaan limbah adalah teknik pengelolaan limbah hasil proses industri
dengan cara memanfaatkan hasil produk atau hasil sampingnya dalam berbagai
bentuk/cara seperti limbah di gunakan sebagai bahan baku proses produksi lain
menjadi suatu produk yang bermanfaat. RPH pada umunya dalam
pendayagunaan limbah cair dan limbah padatnya menggunakan cara biologi,
karena diharapkan akan adanya pemanfaatan limbah cair yang dapat digunakan
sebagai energi alternatif serta dihasilkannya kompos dari proses limbah padat.
Proses pendayagunaan limbah cair RPH dilakukan secara biologi dengan
sistem anaerobik menggunakan reaktor tipe Fixed Bed. Proses dimulai dimulai
dengan pemisahan limbah padat yang kasar dengan menggunakan penyaring
otomatis dengan tujuan untuk melindungi pompa dari padatan kasar yang
mungkin akan menyumbat pompa. Limbah cair yang keluar dari saringan kasar
dialirkan langsung menuju penampung dan selanjutnya dialirkan ke atas
saringan halus. Limbah cair yang keluar dari saringan dialirankan menuju tangki
pencampuran dan penyimpanan, sedangkan limbah padat yang terbuang
ditampung pada tempat penampungan.

Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki
pengendapan/sedimentasi. Endapan lumpur padatan organik dipompa ke
penampung lumpur yang lebih padat Limbah cair yang sudah dipisahkan akan
dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reaktor pengolahan limbah cair

RPH 105 CIKAMPEK


anaerobik melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan anaerobik ini adalah untuk
mendegradasi bahan organik di limbah cair dan merubah bahan organik yang
terdegradasi menjadi biogas. Kemudian gas yang dihasilkan oleh proses reaktor
anaerobik disimpan dalam penampungan gas, pengisian gas akan dilakukan
secara otomatis dengan sistim tekanan yang kemudian dialirkan untuk
menjalankan generator dengan tenaga listrik kurang lebih 70 KW, diperkirakan
akan dihasilkan gas sebanyak 757 m3 per hari dengan kandungan gas metana
76,5 %. Energi yang dihasilkan dalam bentuk biogas akan digunakan energi
listrik untuk menjalankan keseluruhan proses pendayagunaan limbah cair dan
limbah padat.

Gambar 2. Skema Diagram Alir dari Limbah Cair dan Limbah Padat.

RPH 106 CIKAMPEK


Gambar 3. Tangki pencampuran dan sedimentasi awal sebelum limbah cair
dimasukkan ke reaktor anaerobik.

Biogas yang dihasilkan dari Fixed Bed digester digunakan untuk memproduksi
listrik dengan menggunakan generator. Mesin tersebut berjalan bersamaan
dengan jaringan listrik PLN. Kapasitas maksimum adalah 45 kW, generator di
atur menjadi 35 kW pada saat tes dilakukan. Mesin yang digunakan adalah Gas
Otto Engine yang hanya dijalankan menggunakan biogas tanpa menggunakan
bahan baker disel.

Sedangkan untuk limbah padat yang berasal dari penampung isi rumen
dimasukkan kedalam screw press untuk dikurangi airnya, kemudian padatannya
dibawa oleh wheel loader menuju tempat penampungan sementara, sedangkan
limbah padat yang berasal dari kandang yang berupa kotoran dan sisa pakan
dikumpulkan untuk dibawa ke tempat penampung sementara.

Demikian pula dengan lumpur hasil proses limbah cair dibawa ketempat
penampungan sementara dan didiamkan selama 7 hari, dari tempat
penampungan sementara limbah padat tersebut dibawa ke ruang pengkomposan
untuk diproses selama 35 hari dengan proses pembalikan dua kali setiap
minggumya. Hasil proses pengkomposan selama kurang lebih 42 hari kemudian
dibawa ke tempat penyaringan untuk dilakukan proses penyaringan sehingga
dihasilkan kompos halus dan kompos kasar yang kemudian dikemas sesuai
ukuran kantong dan dibawa menuju gudang kompos.

RPH 107 CIKAMPEK


Kompos yang dihasil dari RPH diperkirakan akan menghasilkan sebanyak 7 ton
per harinya dengan jumlah 70 % kompos halus dan 30 % kompos kasar. Produk
yang dihasilkan berupa kompos yang berkualitas tinggi dan bernilai ekonomis,
karena mengandung unsur hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kompos
sejenisnya, bebas bibit gulma, bebas dari bahan beracun dan berbahaya, tersedia
dalam berbagai ukuran dan siap pakai.

Bilamana lumpur limbah tidak dapat dimanfaatkan untuk membuat kompos,


maka lumpur yang dipadatkan dikembalikan ketempat pengeringan Lumpur,
sedangkan air rembesan dialirkan kembali ke tangki air limbah didepan.
Pengolahan limbah padat menjadi kompos menggunakan sistem Open Windraw,
pada minggu pertama dilakukan pengumpulan dan proses pembusukan
pendahuluan di interim store . Setelah 6 (enam) sampai 7 (tujuh) minggu dalam
proses pengomposan dengan penambahan sludge dari proses pengolahan limbah
cair, kompos dapat dianggap sudah matang. Hasil kompos yang telah matang
kemudian disaring dengan saringan 10, 15 dan 25 mm. Selama proses
pengomposan dilakukan pembalikan 2(dua) kali dalam semimggu, selain itu
temperature akan naik mencapai 60 oC dan waktu tinggal temperature yang agak
lama akan menginaktifkan bakteri pathogen, parasit dan mematikan bibit
rumput. Hasil produksi pupuk dari pengolahan limbah padat adalah 744
ton/tahun.

4.10 Digester (bio reaktor)


Bahan yang dapat digunakan untuk membuat digester, alat atau bejana pembuat
dan penampung biogas, juga tidak perlu dari bahan yang mahal atau sukar untuk
didapatkannya. Drum bekas asal masih kuat, merupakan bahan yang paling
umum dipergunakan. Digester bentuk bejana dari tembok juga sering digunakan
untuk proses pembuatan biogas yang lebih besar kapasitasnya. Bahan plastik
juga bias dijadikan digester tapi sebaiknya memakai plastik polyotilen. Bahan-
bahan yang lain juga bisa dipakai asal kedap udara.

Membuat biogas bukan semata-mata tergantung kepada bahan yang


dipergunakan, kepada alat atau bejana yang digunakan, tetapi juga masih ada
faktor-faktor lain yang menyertainya, yang langsung ataupun tidak langsung
akan berpengaruh terhadap hasil.

Misalnya kita sudah memasukkan bahan-bahan yang diperlukan dalam bejana


pembuat yang disertai dengan starter yang dibutuhkan. Tetapi ternyata beberapa
hari kemudian, tekanan bejana penampung hasil tidak naik-naik. Kalau hal ini
terjadi ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama bejana penampung hasil
bocor, hingga secepatnya harus dicari dan ditambal atau proses pembuatan
biogas tidak berjalan.

RPH 108 CIKAMPEK


Berikut adalah gambar rangkaian alat penghasil biogas yang lebih modern.

Gambar 4 Rangkaian Alat Pembuatan Biogas Modern

Keamanan
Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat tinggi dan
cepat daya nyalanya. Karenanya sejak biogas berada pada bejana pembuatnya
sampai digunakan untuk penerangan ataupun memasak, harus selalu dihindari
kehadirannya dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan. Hal ini
berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kebocoran pada peralatan yang
tidak diketahui.

Sifat cepat menyala biogas, juga merupakan masalah tersendiri. Artinya dari
segi keselamatan pengguna. Sehingga tempat pembuatan atau penampungan
biogas harus selalu berada jauh dari sumber api yang kemungkinan dapat
menyebabkan ledakan kalau tekanannya besar. Untuk mengatasi masalah ini,
sebaiknya setiap digester atau penampung gas metan dilengkapi dengan
pengukur tekanan sehingga dapat memperkecil resiko terjadinya kecelakaan atau
ledakan.

Biogas dapat dipergunakan dengan cara yang sama seperti gas-gas mudah
terbakar yang lain. Pembakaran biogas dilakukan dengan mencampurnya
dengan sebagian oksigen (O2). Namun demikian, untuk mendapatkan hasil
pembakaran yangoptimal, perlu dilakukan pra kondisi sebelum biogas dibakar
yaitu melalui proses pemurnian /penyaringan karena biogas mengandung
beberapa gas lain yang tidakmenguntungkan. Sebagai salah satu contoh,
kandungan gas hidrogen sulfida yang tinggi dalam biogas, jika dicampur dengan
oksigen dengan perbandingan 1:20, makaakan menghasilkan gas yang sangat

RPH 109 CIKAMPEK


mudah meledak. Tetapi sejauh ini belum pernah dilaporkan terjadinya ledakan
pada sistem biogas sederhana.

Limbah Biogas
Limbah biogas, yaitu kotoran Rumah Potong Hewan yang telah hilang gasnya
(slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang
dibutuhkan olehtanaman. Bahkan, unsur-unsur tertentu seperti protein, selulose,
lignin, dan lain-lain tidak bisa digantikan oleh pupuk kimia. Bahan pembuat
biogas juga merupakan bahan organik berkandungan nitrogen tinggi. Selama
proses pembuatan kompos yang akan keluar dan tergunakan adalah unsur-unsur
C, H, dan 0 dalam bentuk CH4 dan CO2. Karenanya nitrogen yang ada akan
tetap bertahan dalam sisa bahan, kelak menjadi sumber pupuk organik.

Pupuk organik yang dihasilkan dari memiliki kualitas yang baik, yang
merupakan sisa proses fermentasi untuk mendapatkan biogas, dikarenakan
bakteri patogen dan biji tanaman gulma dalam kotoran Rumah Potong Hewan
menjadi mati selama proses fermentasi, dan pupuk kandang tersebut langsung
dapat digunakan sebagai pupuk terhadap tanaman.

Kandungan zat organik yang tinggi di dalam limbah cair RPH adalah bahan
pencemar yang dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan biota perairan
dan kehidupan manusia.

Kesimpulan
1. Limbah Rumah Potong Hewan dapat mencemari lingkungan dan
menimbulkan wabah penyakit apabila tidak ditangani dengan baik dan
benar.
2. Perlu dibangun sistem pengolahan limbah Rumah Potong Hewan.
3. Penanganan limbah Rumah Potong Hewan perlu dibuat Instalasi Pengolahan
Air Limbah (IPAL).
4. Penanganan limbah Rumah Potong Hewan dengan menggunakan teknologi
tepat guna, akan menghasilkan biogas dan pupuk organic.
5. Biogas dapat dipergunakan untuk pembangkit listri dan untuk keperluan
dapur.

RPH 110 CIKAMPEK


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebutuhan Rumah Potong Hewan yang representative dan Higienis, merupakan
kebutuhan yang mendesak dan tidak boleh dituinda-tunda. Hal ini disebabkan
kebutuhan masyarakat terhadap daging semakin hari semakin meningkat.
Penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (bagi masyarakat penganut
agama Islam) adalah hal pokok yang menjadi tuntutan masyarakat. Pengelolaan
penyediaan daging sebagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut
merupakan tugas yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, baik Pemerintah
Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.

Penyediaan daging yang sesuai dengan permintaan masyarakat dapat


diwujudkan salah satunya dengan pengelolaan yang tepat terhadap Rumah
Potong Hewan. Rumah Potong Hewan atau yang biasa dikenal dengan sebutan
RPH (sesuai penjelasan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan) adalah suatu bangunan atau
kompleks bangunan beserta peralatannya dengan desain yang memenuhi
persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain sapi, kerbau,
kambing, domba, babi dan unggas bagi konsumsi masyarakat.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan


Masyarakat Veteriner menyebutkan bahwa:
(1) Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan diperiksa
kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
(2) Jenis-jenis hewan potong ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
(3) Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di Rumah Pemotongan
Hewan atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat
yang berwenang.
(4) Pemotongan hewan potong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan
keagamaan serta penyembelihan hewan potong secara darurat dapat
dilaksanakan menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) Pasal ini, dengan mendapat izin terlebih dahulu dari
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau
pejabat yang ditunjuk.
(5) Syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, pelaksanaan
pemotongan, dan cara pemeriksaan kesehatan dan pemotongan harus
memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.

Ketentuan Pasal 2 ayat (3) di atas mengatur bahwa pemotongan hewan harus
dilakukan di RPH. Berkenaan dengan hal tersebut, maka proses produksi
daging di RPH harus memenuhi persyaratan teknis, baik fisik, sumber daya
manusia maupun prosedur pelaksaannya.

RPH 111 CIKAMPEK


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan kesehatan hewan mengamanatkan dalam Pasal 61, Pasal 62 dan
Pasal 63 sebagai berikut:
Pasal 61
(1) Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus:
a. dilakukan di rumah potong; dan
b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan
masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.
(2) Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memerhatikan
kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.
(3) Menteri menetapkan persyaratan rumah potong dan tata cara pemotonga n
hewan yang baik.
(4) Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar
keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.

Pasal 62
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan
yang memenuhi persyaratan teknis.
(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diusahakan oleh setiap orang setelah memiliki izin usaha dari
bupati/walikota.
(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang
pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.

Pasal 63
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib
menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi.
(2) Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan:
a. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah
pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat
pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan rnesin
produk hewan;
b. surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau
cemaran kimia; dan
c. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan
aktivitas tersebut.
(3) Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat
veteriner.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan sanitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

RPH 112 CIKAMPEK


Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Potong Hewan Diatur Dalam
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
13/Permentan/Ot.140/1/2010 Tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan
Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant) Bab II
Persyaratan Rumah Potong Hewan Bagian Kesatu Persyaratan Teknis RPH
mengamanatkan sebagai berikut:

Pasal 4
RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang
aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk
melaksanakan:
a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection)
dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk
mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan
pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna
pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan
zoonosis di daerah asal hewan.

Pasal 5
(1) Untuk mendirikan rumah potong wajib memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan peraturan perundangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lokasi;
b. sarana pendukung;
c. konstruksi dasar dan disain bangunan;
d. peralatan.

Bagian Keempat Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi Pasal 8


(1) Kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah
untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging
(2) Bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi:
a. bangunan utama;
b. area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang
penampungan/kandang istirahat hewan;
c. kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif;
d. kandang isolasi;
e. ruang pelayuan berpendingin (chilling room);
f. area pemuatan (loading) karkas/daging;
g. kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan;

RPH 113 CIKAMPEK


h. kantin dan mushola;
i. ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi
(locker)/ruang ganti pakaian;
j. kamar mandi dan WC;
k. fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat
dimanfaatkan atau insinerator;
l. sarana penanganan limbah;
m. rumah jaga.
(3) Dalam kompleks RPH yang menghasilkan produk akhir daging segar
dingin (chilled) atau beku (frozen) harus dilengkapi dengan:
a. ruang pelepasan daging (deboning room) dan pemotongan daging
(cutting room);
b. ruang pengemasan daging (wrapping and packing);
c. fasilitas chiller;
d. fasilitas freezer dan blast freezer;
e. gudang dingin (cold storage)
(4) RPH berorientasi ekspor dilengkapi dengan laboratorium sederhana.

Pasal 9
(1) Bangunan utama RPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
huruf a harus memiliki daerah kotor yang terpisah secara fisik dari daerah
bersih.
(2) Daerah kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. area pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area
pengeluaran darah;
b. area penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat
kaki sampai metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi
dada dan isi perut);
c. ruang untuk jeroan hijau;
d. ruang untuk jeroan merah;
e. ruang untuk kepala dan kaki;
f. ruang untuk kulit; dan
g. pengeluaran (loading) jeroan.
(3) Daerah bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi area untuk:
a. pemeriksaan post-mortem;
b. penimbangan karkas;
c. pengeluaran (loading) karkas/daging.

Pasal 10
Disain dan konstruksi dasar seluruh bangunan dan peralatan RPH harus dapat
memfasilitasi penerapan cara produksi yang baik dan mencegah terjadinya
kontaminasi.

Pasal 11
Bangunan utama RPH harus memenuhi persyaratan:

RPH 114 CIKAMPEK


a. tata ruang didisain sedemikian rupa agar searah dengan alur proses serta
memiliki ruang yang cukup, sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan
dapat berjalan baik dan higienis, dan besarnya ruangan disesuaikan dengan
kapasitas pemotongan;
b. adanya pemisahan ruangan yang jelas secara fisik antara “daerah bersih”
dan “daerah kotor”;
c. memiliki area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaan
postmortem;
d. lampu penerangan harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan
mempunyai intensitas cahaya 540 luks untuk area pemeriksaan post-
mortem, dan 220 luks untuk area pengerjaan proses pemotongan;
e. dinding bagian dalam berwarna terang dan paling kurang setinggi 3 meter
terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan
terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak
mudah mengelupas;
f. dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan
dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;
g. lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak
toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan landai ke arah saluran
pembuangan;
h. permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah atau
lubang, jika lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat
mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan kedap air;
i. lubang ke arah saluran pembuangan pada permukaan lantai dilengkapi
dengan penyaring;
j. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 75 mm;
k. sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 25 mm;
l. di daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus didisain agar darah
dapat tertampung;
m. langit-langit didisain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi
dalam ruangan, harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air,
tidak mudah mengelupas, kuat, mudah dibersihkan, tidak ada lubang atau
celah terbuka pada langit-langit;
n. ventilasi pintu dan jendela harus dilengkapi dengan kawat kasa untuk
mencegah masuknya serangga atau dengan menggunakan metode
pencegahan serangga lainnya;
o. konstruksi bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah
tikus atau rodensia, serangga dan burung masuk dan bersarang dalam
bangunan;
p. pertukaran udara dalam bangunan harus baik;
q. kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat
dari kayu, dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan
benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya

RPH 115 CIKAMPEK


harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk;
r. kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang
memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.

Pasal 12
(1) Area penurunan (unloading) ruminansia harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. dilengkapi dengan fasilitas untuk menurunkan ternak (unloading)
dari atas kendaraan angkut ternak yang didisain sedemikian rupa
sehingga ternak tidak cedera akibat melompat atau tergelincir;
b. ketinggian tempat penurunan/penaikan sapi harus disesuaikan dengan
ketinggian kendaraan angkut hewan;
c. lantai sejak dari tempat penurunan hewan sampai kandang
penampungan harus tidak licin dan dapat meminimalisasi terjadinya
kecelakaan;
d. harus memenuhi aspek kesejahteraan hewan.
(2) Kandang penampung dan istirahat hewan harus memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a. bangunan kandang penampungan sementara atau kandang istirahat
paling kurang berjarak 10 meter dari bangunan utama;
b. memiliki daya tampung 1,5 kali dari rata-rata jumlah pemotongan
hewan setiap hari;
c. ventilasi (pertukaran udara) dan penerangan harus baik;
d. tersedia tempat air minum untuk hewan potong yang didisain landai
ke arah saluran pembuangan sehingga mudah dibersihkan;
e. lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras),
kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta
mudah dibersihkan dan didesinfeksi;
f. saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat
mengalir lancar;
g. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi
hewan dengan baik dari panas dan hujan;
h. terdapat jalur penggiringan hewan (gang way) dari kandang menuju
tempat penyembelihan, dilengkapi dengan pagar yang kuat di kedua
sisinya dan lebarnya hanya cukup untuk satu ekor sehingga hewan
tidak dapat kembali ke kandang;
i. jalur penggiringan hewan yang berhubungan langsung dengan
bangunan utama didisain sehingga tidak terjadi kontras warna dan
cahaya yang dapat menyebabkan hewan yang akan dipotong menjadi
stres dan takut.

Pasal 14
Kandang isolasi harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. terletak pada jarak terjauh dari kandang penampung dan bangunan utama,
serta dibangun di bagian yang lebih rendah dari bangunan lain;

RPH 116 CIKAMPEK


b. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
c. dilengkapi dengan tempat air minum yang didisain landai ke arah saluran
pembuangan sehingga mudah dibersihkan;
d. lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap
air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah
dibersihkan dan didesinfeksi;
e. saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat mengalir
lancar;
f. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi
hewan dengan baik dari panas dan hujan.

Pasal 15
Ruang pendingin/pelayuan (chilling room) harus memenuhi persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
a. ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih;
b. besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan dengan
mempertimbangkan jarak antar karkas paling kurang 10 cm, jarak antara
karkas dengan dinding paling kurang 30 cm, jarak antara karkas dengan
lantai paling kurang 50 cm, dan jarak antar baris paling kurang 1 meter;
c. konstruksi bangunan harus memenuhi persyaratan:
1. tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan karkas
minimal 3 meter;
2. dinding bagian dalam berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap
air, memiliki insulasi yang baik, tidak mudah korosif, tidak toksik,
tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi
serta tidak mudah mengelupas;
3. lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak
toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;
4. lantai tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan;
5. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 75 mm;
6. sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 25 mm;
7. langit-langit harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air,
memiliki insulasi yang baik, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah
dibersihkan;
8. intensitas cahaya dalam ruang 220 luks.
d. bangunan dan tata letak pendingin/pelayuan harus mengikuti persyaratan
seperti bangunan utama;
e. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang pendingin/pelayuan;
f. ruang dilengkapi dengan alat penggantung karkas yang didisain agar
karkas tidak menyentuh lantai dan dinding;
g. ruang mempunyai fasilitas pendingin dengan suhu ruang – 4 oC sampai +

RPH 117 CIKAMPEK


4oC, kelembaban relatif 85-90% dengan kecepatan udara 1 sampai 4
meter perdetik;
h. suhu ruang dapat menjamin agar suhu bagian dalam daging maksimum +8
oC;
i. suhu ruang dapat menjamin agar suhu bagian dalam jeroan maksimum +4
oC.

Pasal 16
Area pemuatan (loading) karkas dan/atau daging ke dalam kendaraan angkut
karkas dan/atau daging harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dapat meminimalisasi terjadinya kontaminasi silang pada karkas dan/atau
daging;
b. ketinggian lantai harus disesuaikan dengan ketinggian kendaraan angkut
karkas dan/atau daging;
c. dilengkapi dengan fasilitas pengendalian serangga, seperti pemasangan
lem serangga;
d. memiliki fasilitas pencucian tangan.

Pasal 17
Kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan harus memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. luas kantor administrasi disesuaikan dengan jumlah karyawan, didisain
untuk keselamatan dan kenyamanan kerja, serta dilengkapi dengan ruang
pertemuan;
c. kantor Dokter Hewan harus terpisah dengan kantor administrasi.

Pasal 18
Kantin dan mushola harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. luas ruang disesuaikan dengan jumlah karyawan;
c. kantin didisain agar mudah dibersihkan, dirawat dan memenuhi persyaratan
kesehatan lingkungan.

Pasal 19
Ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi/ruang ganti
pakaian (locker) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. terletak di bagian masuk karyawan atau pengunjung;
c. tempat istirahat karyawan harus dilengkapi dengan lemari untuk setiap
karyawan yang dilengkapi kunci untuk menyimpan barang-barang pribadi;
d. locker untuk pekerja ruang kotor harus terpisah dari locker pekerja bersih.

RPH 118 CIKAMPEK


Pasal 20
Kamar mandi dan WC harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. masing-masing daerah kotor dan daerah bersih memiliki paling kurang satu
unit kamar mandi dan WC;
c. saluran pembuangan dari kamar mandi dan WC dibuat khusus ke arah
“septic tank”, terpisah dari saluran pembuangan limbah proses
pemotongan;
d. dinding bagian dalam dan lantai harus terbuat dari bahan yang kedap air,
tidak mudah korosif, mudah dirawat serta mudah dibersihkan dan
didesinfeksi;
e. jumlah kamar mandi dan WC disesuaikan dengan jumlah karyawan,
minimal1 unit untuk 25 karyawan.

Pasal 21
Fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan
atau insinerator harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. dibangun dekat dengan kandang isolasi;
b. dapat memusnahkan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat
dimanfaatkan secara efektif tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan;
c. didisain agar mudah diawasi dan mudah dirawat serta memenuhi
persyaratan kesehatan lingkungan.

Pasal 22
Sarana penanganan limbah harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki kapasitas sesuai dengan volume limbah yang dihasilkan;
b. didisain agar mudah diawasi, mudah dirawat, tidak menimbulkan bau dan
memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan;
c. sesuai dengan rekomendasi upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dari
Dinas yang membidangi fungsi kesehatan lingkungan.

Pasal 23
Rumah jaga harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. dibangun masing-masing di pintu masuk dan di pintu keluar kompleks
RPH;
b. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
c. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi
petugas dari panas dan hujan;
d. didisain agar memenuhi persyaratan keamananan dan keselamatan kerja,
serta memungkinkan petugas jaga dapat mengawasi dengan leluasa keadaan
di sekitar RPH dari dalam rumah jaga.

Pasal 24

RPH 119 CIKAMPEK


Ruang pelepasan daging (deboning room) dan pembagian/pemotongan daging
(cutting room) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, harus
memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan daging dan ruang pembagian/
pemotongan daging harus dapat memfasilitasi proses pembersihan dan
desinfeksi dengan efektif;
b. memiliki ventilasi dan penerangan yang cukup;
c. didisain untuk dapat mencegah masuk dan bersarangnya serangga, burung,
rodensia, dan binatang pengganggu lainnya di dalam ruang produksi;
d. lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik,
tahan terhadap benturan keras, tidak berlubang, tidak licin dan landai ke
arah saluran pembuangan, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, tidak
mudah mengelupas, serta apabila lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar
ubin diatur sedekat mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan
bahan kedap air;
e. dinding terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak
toksik, memiliki insulasi yang baik, dan berwarna terang, dan dinding
bagian dalam dilapisi bahan kedap air setinggi minimal 3 meter dengan
permukaan rata, tidak ada celah/lubang, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;
f. dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan
dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;
g. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 75 mm, dan sudut pertemuan antara dinding dan
dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25 mm;
h. langit-langit harus dibuat sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya
akumulasi debu dan kotoran, meminimalisasi terjadinya kondensasi,
pertumbuhan jamur, dan terjadinya keretakan, serta mudah dibersihkan;
i. jendela dan ventilasi harus didisain untuk menghindari terjadinya akumulasi
debu dan kotoran, mudah dibersihkan dan selalu terawat dengan baik; kusen
pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari
kayu, dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan
keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus
dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk;
j. kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang
memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;
k. pintu dilengkapi dengan tirai plastik untuk mencegah terjadinya variasi
temperatur dan didisain dapat menutup secara otomatis;
l. selama proses produksi berlangsung temperatur ruangan harus
dipertahankan lebih kecil atau sama dengan 15 oC.

Pasal 25
Disain dan konstruksi dasar ruang pengemasan daging harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan
pembagian/pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

RPH 120 CIKAMPEK


Pasal 26
Disain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat (blast freezer) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kapasitas ruangan disesuaikan dengan jumlah produk yang akan dibekukan;
b. disain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian/
pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
c. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang pembeku;
d. ruang dilengkapi dengan alat pendingin yang memiliki kipas (blast freezer)
yang mampu mencapai dan mempertahankan temperatur ruangan di bawah
- 18oC dengan kecepatan udara minimum 2 meter per detik.

Pasal 27
Ruang penyimpanan beku (cold storage) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. kapasitas ruang disesuaikan dengan jumlah produk beku yang disimpan;
b. disain dan konstruksi dasar ruang penyimpanan beku harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian/
pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
c. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang penyimpanan beku;
d. dilengkapi dengan fasilitas pendingin sebagai berikut:
1. memiliki ruang penyimpanan berpendingin yang mampu mencapai dan
mempertahankan secara konstan temperatur daging pada +4 oC hingga –
4 oC (chilled meat); - 2 oC hingga - 8oC (frozen meat) -18oC
(deep frozen), serta kapasitas ruangan harus mempertimbangkan sirkulasi
udara dapat bergerak bebas;
2. ruang penyimpanan berpendingin dilengkapi dengan thermometer atau
display suhu yang diletakkan pada tempat yang mudah dilihat.

Pasal 28
(1) RPH berorientasi ekspor harus mempunyai fasilitas laboratorium sederhana
untuk pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian produk, peralatan, air,
petugas dan lingkungan produksi yang diperlukan dalam rangka monitoring
penerapan praktek higiene di RPH.
(2) RPH berorientasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
RPH yang telah memperoleh Sertifikat NKV Level I.
(3) Jenis pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pemeriksaan organoleptik, pengujian kimiawi sederhana, seperti
uji awal pembusukan daging dan uji kesempurnaan pengeluaran darah,
pengujian cemaran mikroba seperti Total Plate Count (TPC), Coliform, E.
coli, Staphylococcus sp., Salmonella sp., serta pengujian parasit.

RPH 121 CIKAMPEK


(4) Laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. letak laboratorium berdekatan dengan kantor dokter hewan;
b. tata ruang dan peralatan laboratorium harus mempertimbangkan faktor
keselamatan dan kenyamanan kerja;
c. konstruksi lantai, dinding dan langit-langit harus memenuhi persyaratan
paling kurang tertutup dengan enamel berkualitas baik atau dengan cat
epoksi, ataupun bahan lainnya yang memiliki permukaan yang halus,
kedap air, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah
perawatannya;
d. penerangan dalam laboratorium memiliki intensitas cahaya 540 luks dan
dilengkapi dengan lampu berpelindung;
e. ventilasi di dalam ruang harus baik, dilengkapi dengan alat pendingin
(air conditioner) ruangan untuk mengurangi jumlah partikel yang
terdapat dalam udara dan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya
variasi temperatur;
f. untuk keselamatan kerja petugas, laboratorium dilengkapi dengan alat
pemadam kebakaran, alarm (tanda bahaya) dan sarana P3K;
g. memiliki ruang dan fasilitas khusus masing-masing untuk penyimpanan
sampel, peralatan dan media;
h. dilengkapi dengan sarana pencuci tangan.

Bagian Kelima
Persyaratan Peralatan
Pasal 29
(1) Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di RPH harus terbuat dari
bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta
mudah dirawat.
(2) Seluruh peralatan dan permukaan yang kontak dengan daging dan jeroan
tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik,
misalnya seng, polyvinyl chloride/ PVC tidak mudah korosif, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
(3) Seluruh peralatan logam yang kontak dengan daging dan jeroan harus
terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif (terbuat dari
stainless steel atau logam yang digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah
dibersihkan dan mudah didesinfeksi serta mudah dirawat.
(4) Pelumas untuk peralatan yang kontak dengan daging dan jeroan harus food
grade (aman untuk pangan).
(5) Sarana pencucian tangan harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak
kontak dengan telapak tangan, dilengkapi dengan fasilitas seperti sabun cair
dan pengering, dan apabila menggunakan tissue harus tersedia tempat
sampah.
(6) Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan
harus tersedia dalam jumlah cukup sehingga proses pembersihan dan
desinfeksi bangunan dan peralatan dapat dilakukan secara baik dan efektif.

RPH 122 CIKAMPEK


(7) Bangunan utama paling kurang harus dilengkapi dengan:
a. alat untuk memfiksasi hewan (Restraining box);
b. alat untuk menempatkan hewan setelah disembelih (Cradle);
c. alat pengerek karkas (Hoist);
d. rel dan alat penggantung karkas yang didisain agar karkas tidak
e. menyentuh lantai dan dinding;
f. fasilitas dan peralatan pemeriksaan post-mortem, meliputi:
1. meja pemeriksaan hati, paru, limpa dan jantung;
2. alat penggantung kepala.
g. peralatan untuk kegiatan pembersihan dan desinfeksi;
h. timbangan hewan, karkas dan daging.
(8) Ruang jeroan paling kurang harus dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan
untuk:
a. mengeluarkan isi jeroan;
b. mencuci jeroan;
c. menangani dan memproses jeroan.
(9) Ruang pelepasan daging dan pemotongan karkas dan/atau daging paling
kurang dilengkapi dengan:
a. meja stainless steel;
b. talenan dari bahan polivinyl;
c. mesin gergaji karkas dan/atau daging (bone saw electric);
d. mesin pengiris daging (slicer);
e. mesin penggiling daging (mincer/grinder);
f. pisau yang terdiri dari pisau trimming dan pisau cutting;
g. fasilitas untuk mensterilkan pisau yang dilengkapi dengan air panas;
h. metal detector.
(10) Untuk mendukung pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat
veteriner di RPH, dokter hewan penanggung jawab di RPH dan/atau
petugas pemeriksa harus disediakan peralatan paling kurang terdiri dari:
a. pakaian pelindung diri;
b. pisau yang tajam dan pengasah pisau;
c. stempel karkas.
(11) Perlengkapan standar untuk pekerja pada proses pemotongan meliputi
pakaian kerja khusus, apron plastik, tutup kepala dan sepatu boot yang
harus disediakan paling kurang 2 (dua) set untuk setiap pekerja.
(12) Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus dilengkapi dengan
peralatan untuk mencuci tangan yang dilengkapi dengan sabun,
desinfektan, foot dip dan sikat sepatu, dengan jumlah disesuaikan dengan
jumlah pekerja.
(13) Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan
harus tersedia dalam jumlah cukup agar dapat dipastikan bahwa seluruh
proses pembersihan dan desinfeksi dapat dilakukan secara baik dan
efektif.

RPH 123 CIKAMPEK


Dalam pengelolaan Rumah potong Hewan, diperlukan adanya standarisasi
Manajemen dan pembuatan Standar Operating Prosedur (SOP) , hal ini
dimaksudkan agar pelayanan terhadap masyarakat menjadi optimal dan
mempermudah melakukan kontrol.

Dalam Islam, penyembelihan hewan ternak sebelum dikonsumsi merupakan


salah satu hal yang sangat penting, karena binatang yang disembelih bukan
atas nama Allah SWT menjadi haram hukumnya untuk dimakan. Karena
pentingnya makanan dan sembelihan bagi manusia, maka hendaknya kita selalu
memberikan perhatian penuh pada makanan dari sumber hewani yang akan kita
konsumsi, terutama bagaimana proses penyembelihan dan pengolahannya.

(3)

Diharamkan bagimu ( memakan ) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)


yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya, dan ( diharamkan bagimu ) yang disembelih untuk
berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu ) adalah kefasikan. Pada h ari ini
orang- orang kafir telah putus asa untuk ( mengalahkan ) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada- Ku. Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku- cukupkan
kepadamu nikmat- Ku, dan telah Ku- ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( 3 ).

Agar tidak menimbulkan dampak negative akibat limbah Rumah Potong


Hewan, maka diperlukan dilakukan penatakelolaan limbah Rumah Potong
Hewan melalui Instalasi pengolahan Air Limbah (IPAL). Pengolahan Air
Limbah apabila dilakukan dengan baik dan benar, bukan saja tidak mencemari
lingkungan, melainkan dapat dimanfaatkan untuk instalasi listrik biogas sekali
mini.
1. Proses degradasi limbah cair RPH secara fotokatalisis menggunakan
reaktor alir TiO2- IWGCT secara laboratorium selama 8 jam penyinaran
atau setara dengan 48 menit waktu kontak antara limbah cair RPH dengan

RPH 124 CIKAMPEK


katalis TiO2 menghasilkan:
a. menurunkan nilai COD dari 200 mg/L menjadi 114 mg/L
b. menurunkan nilai pH dari 6,89 menjadi 6,05
c. meningkatkan nilai konduktivitas dari 2,09 mS/cm menjadi 2,38mS/cm d.
meningkatkan nilai BOD5 dari 17,74 mg/L menjadi 62,38 mg/ L.
2. Proses fotokatalisis dengan menggunakan semikonduktor TiO2 merupakan
teknologi yang diharapkan dapat digunakan untuk mendegradasi zat
berbahaya yang mencemari lingkungan.
3. Pengolahan limbah secara fotokatalisis dengan menggunakan
semikonduktor TiO2 dapat diterapkan apabila limbah tersebut telah
mengalami proses pengolahan fisik dan biologi.

B. Saran
1. Karena merupakan Kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk membangun
Rumah Potong Hewan, Hendaknya Pemerintah kabupaten Karawang
melaksanakan kewajiban tersebut.
2. Dalam membangun Rumah Potong Hewan, hendaknya Pemerintah
Kabupaten Karawang tidak asal sekedar menggugurkan kewajiban,
melainkan membangun Rumah Potong Hedwan berorientasi kepada
kemaslahatan umat.
3. Untuk Pihak Dinas Rumah Potong Hewanan Sebagai instansi pemerintahan
yang turut dan berkewajiban dalam melindungi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha pemotongan hewan, seharusnya rumah potong milik
pemerintahan Kabupaten Karawang tersebut memiliki RPH yang baik,
baik dalam segi pengelolaan limbah, baik dalam hal pengelolaan rumah
potong bahkan memiliki fasilitas dan sarana penanganan daging yang sesuai
dengan aturan yang telah di atur dalam Undang-Undang. Diharpkan
nantinya RPH yang telah disediakan oleh pemerintah Kabupaten Karawang
tak menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sesuai dengan
persyaratan teknis, higiene dan sanitasi yang baik, sehingga produk yang
dihasilkan memiliki kualitas yang baik di konsumsi bagi masyarakat dan
juga tetap menjaga kualitas lingkungan hidup di sekitar area rumah potong
hewan tersebut.
4. Kepada Pengelola Rumah Potong Hewan Pasar Cikampek
Sebagai RPH yang di kelola oleh pemerintah Kabupaten Karawang.
Seharusnya RPH Pasar Cikampek Kabupaten Karawang dapat memberikan
contoh bagai mana pengelolaan limbah yang benar, baik limbah padat,
limbah cair, maupun limbah gas/bau. Sehingga apabila dalam pengelolaan
limbah tersebut berjalan sesuai yang telah di tetapkan oleh Undang-
Undang ataupun upaya pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup
yang dikeluarkan oleh Bapedalda Kabupaten Karawang sehingga limbah
yang dihasilkan tak merusak lingkungan sekitar area RPH tersebut.

RPH 125 CIKAMPEK


DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Standarisasi Nasional (1999); SNI tentang Rumah Potong


Hewan No. 01-6159-1999. Pusat Standarisasi LIPI Jakarta
2. Kementrian Pertanian (2010), Peraturan Menteri Pertanian No.
13/Permentan/ OT.140/1/2010 Tentang Persyaratan rumah potong
hewan ruminansia dan Unit penanganan daging (meat cutting plant).
Berita Negara RI No. 60/2010.
3. Kementrian Pertanian (2005), Peraturan Menteri Pertanian
No.381/Kpts/OT.140/10/2005 Tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol
Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan.
4. Tawaf, R (2006) Rancangan Teknis Rinci Meat Business Centre
Di Kabupaten Bandung, Fakultas Peternakan Unpad.
5. Dayan, Anto, (1989). Pengantar Metode Statistik. LP3ES. Jakarta
6. Djamin, Zulkarnain, (1984). Perencanaan dan Analisis Proyek. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
7. Gittinger, J.Price. Adler, Hans A., (1990). Evaluasi Proyek, Terjemahan
Soemarsono SR. Rineka Cipta. Jakarta
8. Husnan, Suad, (1984). Studi Kelayakan Proyek. BPFE. Yogyakarta
9. Ibrahim, Yacob H.M. Drs. M.M., (2003). Studi Kelayakan Bisnis, Edisi
Revisi, Cetakan Kedua, Jakarta, Rineka Cipta.
10. Anonim, 2006. Standar Naasional Indonesia Sub Sektor
Peternakan.http://www.mailarchive.com/agromania@yahoogroups.com/i
nfo.html.Diakses pada tanggal 07 Oktober 2009, pada pukul 11.03 WIB.
11. Anonim, 2009. Rumah Potong Hewan Bagi Kesehatan
Masyarakat.http://www.timorexpress.com/index.php. Diakses pada
tanggal 07 Oktober 2009, pada pukul 11.03 WIB.
12. Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The Science of Animal Husbandry.
Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
13. Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan
Veterinary Hygine Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah
Seminar Ternak Potong, Jakarta.
14. Lestari, P.T.B.A., 1994. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di
Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.
15. Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat
Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen
Pertanian, Jakarta.
16. Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan
Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi
Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
17. Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual
for Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts.
18. Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-1. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

RPH 126 CIKAMPEK


19. Swatland, H. J., 1984. Structure and Development of Meat Animals.
Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
20. Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan
Veterinary Hygine Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah
Seminar Ternak Potong, Jakarta.
21. Lestari, P.T.B.A., 1994a. Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia
Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.
22. Lestari, P.T.B.A., 1994b. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di
Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.
23. Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat
Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen
Pertanian, Jakarta.
24. Daryanto. A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB
Press. Bogor
25. Herdiawan. D. 2012. Ketahanan Pangan dan Radikalisme. Repblika.
Jakarta
26. Jafar. H.M. 2009. Membangun Pertanian Sejahtera, Demokratis dan
Berkelanjutan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
27. Kharoen. H. 2012. Politik Ekonomi Pangan Menggapai Kemandirian
Mewukudkan Kesejahteraan. Cidesindo. Jakarta.
28. Krisnamurti, Azumardi, dkk. 2009. Revitalisasi Pertanian dan Dialog
Peradaban. Kompas. Jakarta
29. Kuncoro. M. 2009. Ekonomika Industri Indonesia. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
30. Nainggolan.K. 2008. Melawan Kemiskinan dan Kelaparan Abad ke-21,
Kekal Prees. Jakarta.
31. Kesmavet, Manual. 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat
Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta :
Departemen Pertanian.
32. Sugiharto. 1987. Dasar – dasar Pengelolaan Air Limbah, Cetakan
Pertama. Jakarta : UI Press
33. Fardiaz, S., 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
34. Winarno, F.G., S. Farsiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi
Pangan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
35. Jenie, B.S.L dan W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Idustri
Pangan. Jakarta : Kanisius
36. Scahill, Jeremy. 2007. Blackwater: The Rise of The World’s Most
Powerful Mercenery Army. New York: Nations Book.
37. Roihatin. A dan Rizqi A. K. 2007 Pengolahan Air Limbah Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) dengan Cara Elektrokoagulasi Aliran
Kontinyu. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro, Semarang.
38. Kusnoputranto H. 1996. Toksikologi Lingkungan Logam Toksik
dan B3. Jakarta: UI-Press.

RPH 127 CIKAMPEK


39. Tjiptadi, W. 1990. Pengendalian Limbah Pertanian. Makalah pada
Perdidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Bagi Wydiasnara
Sespa, Sepadya, Sepala dan Sespa Antar Departemen. Jakarta.
40. Bewick.M.W.M. 1980. Handbook of Organic Waste Convertion Litton
Educational Publishing, Inc. New York.
41. D.J. Batstone, J. Keller, R.B. Newell, dan M. Newland. Modelling
anaerobic degradation of complex wastewater. I: model development,
Bioresource Technology, 75(2000), Pages 67-74
42. Sanjaya, A.W. Sudarwanto, M. Pribadi, E.S. 1996. Pengelolaan Limbah
Cair Rumah Potong Hewan di Kabupaten Dati 11 Bogor. Media
Veteriner Vol. III (2). Depok-Bogor.
43. Kabinawa, I. N. K., dan N. W. S. Agustini. 2005. Aplikasi Chlorella
Pyrenoidosa Strain Lokal (INK) dalam Penanggulangan Limbah Cair
Agroindustri. Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI, Bogor.
44. Limbah cair rumah potong hewan (RPH) terdiri dari air bekas pencucian
yang tercampur dengan feces, darah, urine, dan lemak hewan, sehingga
limbah cair RPH mengandung protein, lemak dan karbohidrat dengan
materi organik terlarut dan tersuspensi relatif tinggi. (Setyobudiarso,
2012)
45. Setyobudiarso, Hery, 2012. Penurunan COD,TSS dan Warna Limbah
Cair Rumah Potong Hewan (RPH) Menggunakan Anaerobic Baffled
Reactor (ABR). FTSP ITN-MALANG.
46. Hayati, Nurul, 2013. Biodegradasi Protein, Lemak dan Karbohidrat.
Kimia Organik 2.
47. Anonim, 2006, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02
Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah
Pemotongan Hewan, Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
48. Awaluddin, N, 2007, Teknologi Pengolahan Air Tanah Sebagai Sumber
Air Minum Pada Skala Rumah Tangga, Pekan Apresiasi Mahasiswa
LEMFTSP UII Seminar ”Peran Mahasiswa Dalam Aplikasi Keteknikan
Menuju Globalisasi Teknologi”, Universitas Islam.
49. Alfi. R, 2013, Evaluasi Pengolahan Air Limbah Rumah Potong Hewan
Di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli, Tugas Akhir,
Fakultas Teknik USU, Sumatra.
50. Bennefield, L.D; Randall, C.W, 1980, Biological Process Design for
Wastewater Treatment, Prentice-Hall, Inc, Englewwod Cliffs, NJ 07632.
51. BAPPEDA TK I Jawa Timur, 1995, Panduan Pelatihan Manajemen
Laboratorium, Surabaya.
52. Budi Kamulyan, 1997, Teknik Penyehatan, Bagian A1 : Teknik
Pengolahan Air, Bahan Kuliah, Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil,
UGM, Yogyakarta.
53. Budiyono, Nyoman. I, dan Sunarso, 2007, Perkembangan Teknologi
Pengolahan Air Limbah Rumah PemotonganHewan (RPH) : Overview,
Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik kimia, ITS,
Surabaya.

RPH 128 CIKAMPEK


54. Degreemont, 1991, Water Treatment Handbook, Sixth Edition, Mc Graw
Hill, Inc.
55. Droste, R L, 1997, Theory and Practice of Water and Wastewater
Treatment, Canada: John Wiley & Sons, Inc.
56. Djoko Padmono, 2005, Alternatif Pengolahan Limbah Rumah Potong
Hewan Cakung (Suatu Studi Kasus), Jurnal Teknik Lingkungan P3TL-
BPPT.6. (1) :303-310, Jakarta.
57. Ginting, P., 2007, Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri,
Yrama Widya, Bandung
58. Hindarko, S. 2003. Mengolah Air Limbah. Supaya tidak Mencemari
Orang Lain, Penerbit ESHA, Jakarta.
59. Jenie. B.S.L., dan W.P. Rahayu, 1993, Penanganan Limbah Industri
Pangan, Kanisius, Yogyakarta.
60. Metcalf and Eddy. 1979. Waste water Enginering Treatment Disposal
Reuse.Mc. Graw-Hill New York.
61. Mahida, U.N, 1986, Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri,
C.V. Rajawali, Jakarta.
62. Nasir, M., 2004, Evaluasi Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Bantul di Kabupaten Bantul, Tesis S2, Magister
Pengelolaan Lingkungan, UGM, Yogyakarta.
63. Program Pasca Sarjana UGM, 2003, Petunjuk Penulisan Usulan
Penelitian dan Tesis. UGM, Yogyakarta.
64. Sugiharto, 1987, Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah, Jakarta.
65. Suharto, 2010, Limbah Kimia Dalam Pencemaran Air dan Udara, Andi,
Yogyakarta
66. Sri P. Saraswati, 2000, Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah, Bahan
Kuliah Teknik Lingkungan I, UGM, Yogyakarta.
67. Siregar, S.A., 2005, Instalasi Pengolahan Air Limbah, Kanisius,
Yogyakarta.
68. Wardhana, W.A., 2004, Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset,
Yogyakarta.
69. Zimmermann, C. & Eggersgluess, H., 1986, Experience With Ruminal
Manure Pressure, Die Fleischwirt-schaft, 66(1) 155-160.
70. Anonim, 2011. Penerapan Tegnologi Bersih di Rumah Potong Hewan.
http://produksibersih.wordpress.com/tag/rumah-potong-hewan/ . diakses:
19 Oktober 2011 Pukul 15.00 WIB.
71. Kusnoputranto, H. 1985. Kesehatan Lingkungan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Jakarta.
72. Said, Nusa Idaman. 2007. Instalansi Pengolahan Limbah Rumah Potong
Hewan Kapasitas 400 M3 per Hari. Direktorat Tegnologi Lingkungan.
Jakarta.
73. Feasibility Study On A Full Scale System For Treatment Of Liquid and
Solid Slaughterhouse Wastes.Weiland . P. Development of Anaerobic

RPH 129 CIKAMPEK


Filters for Treatment of High Strength Agro Industrial Waste Waters. Bio
Process Engineering 2 Springer-Verlag. 1987.
74. Anonymous, 1987. Peraturan Perundang-undangan Kesehatan Hewan
Edisi III Direktorat Kesehatan Hewan, Direktur Jenderal Peternakan,
Departemen Pertanian Jakarta.
75. Al-Ekabi, H., & Serpone, N. 1988. Kinetic Studies in Heterogeneous
Photocatalysis, 1.
76. Photocatalytic Degradation of Chlorinated Phenols in Aerated Aqueous
Solutions over TiO2 Supported on a Glass Matrix, J. Phys. Chem, 92,
5726-5731.
77. Alaerts ,G dan S. Santika, 1987. Metode Penelitian Air. Usaha
Nasional. Surabaya
78. Andayani, W. 2001. Degradasi Pentaklorofenol dalam Air secara
Fotokatalitik dengan TiO2 yang Diimobilisasikan pada Logam
Titanium: Evolusi Senyawa Intermediet, Tesis Magister Sain, Ilmu
Kimia Program Pascasarjana, FMIPA, UI.
79. Byrene, J.A, Eggins, B.R, Brown, N.M.D, Mc Kinney, & Ronse, M.
1988, Immobilisation of TiO2 Powder for The Treatment of Polluted
Water, App. Cat. B: Environmental, 17, 25-36.
80. Cabrera, M.I., Alpano, O.M., and Cassano, A.E.,1994. Novel Reactor for
Photocatalytic.
81. Kinetic Studies, Ind. Eng. Chem. Res, 33, 3031-3042.
82. Dijkstra, M.F.J, Buwalda, H., De Jong, A.W.F, Meliorien, A.,
Wilkenman, J.G.M, & Beenackers, A.A.C.M. 2001. Experimental
Comparison of Three Reactor Designs for Photocatalytic Water
Purification, Chem. Engin. Sci., 56, 547-555.
83. Dingwang, C., Fengmei, L., & Ray, A.K. 2001. External and Internal
Mass Transfer
84. Effect on Photocatalytic Degradation, Cat. Today, 66, 475-485.
85. Dijkstra, M.F.J., Ponneman, H.J., Wilkenman, J.G.M., Kelly, J.J., &
Beenackers, A.A.C.M.,2002.Modeling The Photocatalytic Degradation
of Formic Acid in A Reactor with Immobi- lized Catalyst, Chem. Engin.
Sci., 57, 4895-4907.
86. Djajadiningrat S.T. dan H.H. Amir., 1991. Penilaian Secara Cepat
Sumber-sumber pencemaran Air, Tanah , Udara . Gajah Mada University
Press. Jogjakarta.
87. Ensminger ,1991. M.E Animal Science , 9 th Ed. Interstate Publisher
Inc. Danvill, Illinois. USA
88. Fujishima, A., Hashimoto, K., & Watanabe, T. 1999. TiO2
Photocatalysis Fundamentals and Applications, BKC, Inc, Japan,
89. Fujishima, A., Rao, T.N, and Tryk, D.A. 2000. Titanium Dioxide
Photocatalysis, Journal of Photochemistry and Photobiology C:
Photochem. Rev. 1, 1-21.

RPH 130 CIKAMPEK


90. Harper, J.C., Christensen, P.A., Egerton, T.A., & Scott, K. 2001. Mass
Transport Characterization of a Novel Gas Sparged Photoelectrochemical
Reactor, J. App. Electrochem., 31, 267-273
91. Hoffmann, M.R., Martin, S.T., Choi, W., & Bahnemann, D.W.1995,
Environmental Application of Semiconductor Photocatalysis, Chem.
Rev, 95, 69-96.
92. Hu Chun and Wang Yizhong, 1999. Decolorization and
Biodegradability of Fotocatalytic treated Azo Dyes and Wool Textile
Wastewater. Chinese Academy of Sciences, Beijing, P.R. China
93. Huheey, J.E, Keiter, E.A, & Keiter, R.L.1993. Inorganic Chemistry:
Principles of Structure and Reactivity, 4th ed., HarperCollins College
Publishers, New York, , p. 272-276.
94. Indriyati, 2004. Penerapan Teknologi Produksi Bersih di RPH Cakung.
Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan. BPPT. Jakarta.
95. Jenie, B.S.L. Dan W.R Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri
Pangan. Kanisius. Jogjakar- ta.
96. Kamat, P.V. 1993. Photochemistry on Nonreactive and Reactive
(Semiconductor) Surface,Chem.Rev, 93, 267-300.
97. Linsebigler, A.L, Guangquan, L. & Yates, J.T. 1995. Photocatalysis on
TiO2 Surface: Priciples, Mechanisms, and Selected Results, Chem. Rev,
95, 735-758.
98. Metcalf & Eddy. Inc.1991.(Revised by Tchobanoglous, G. & F.L.
Burton). Wastewater Engineering. Treatment, Disposal and Reuse. Third
Edition. Mc Graw Hill Inc. New York
99. Mc Murray, T.A., Byrne, J.A., Dunlop, P.S.M., Winkelman, J.G.M.,
Eggins, B.R., & Mc Adams, E.T.2004. Intrinsic Kinetics of
Photocatalytic Oxidation of Formic Acid and Oxalic Acid on
Immobilised TiO2 Films, App. Catal. A: General, 262,105-110.
100. Mills, A., & Le Hunte, S. 1997. An Overview of Semiconductor
Photocatalysis, J.Photochem. Photobiol. A: Chemistry, 108, 1-35.
101. Padmono, D. and K. Wulfert, 2003. Minimization of Waste and Waste
Water Treatment in Cakung Slaughter House. PD. Dharma Jaya.
102. Pera-Titus, M., Garcia-Molina, V., Banos, M.A., Gimenez, J., and
Esplugas, S. 2004. Degrada- tion of Chlorophenol by Means of Advance
Oxidation Prosesses: a General Review, App. Cat. B: Environmental, 47,
219-256.
103. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 2 Tahun 2006 tentang
Baku Mutu Air Limbah bagi Kegiatan Rumah Potong Hewan.
104. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2009
tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan /atau Kegiatan
Peternakan Sapi dan Babi.
105. Rialuszaman dan Ismoyo ,1994. Kamus Istilah Lingkungan PT. Bina
Rena Pariwara. Jakarta.
106. Ray, A.K., & Beenackers, A.A.C.M., 1998. Development of a New
Photocatalytic Reactor for Water Purification, Cat. Today, 40, 73-83.

RPH 131 CIKAMPEK


107. Soemantojo, R.W. 1994. Minimisasi Limbah Dengan Jalan Daur Ulang
dan Kriteria Penyajiannya Dalam Sistim Pengelolaan Air Limbah
Terpadu diKawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta. Disertasi. Program
Pasca Sarjana IPB . Bogor
108. Sugiharto ,1987. Dasar-dasar Pengolahan air Limbah. UI Press. Jakarta
109. Surahman, H.. 2004. Studi Pengembangan Reaktor Fotokatalitik dengan
TiO2 yang Diimobilisasi pada Bagian Dalam Kolom Gelas: Optimasi
Reaktor Alir dan Uji Kemampuannya Terhadap Degradasi 4-Klorofenol ,
Tesis Magister Sain, Ilmu Kimia Program Pascasarjana, FMIPA, UI.
110. Sutamiharja ,R.T.M, 1994. Kualitas dan Pengelolaan Pencemaran
Lingkungan. Sekolah Pasca Sarjana Jurusan Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan . Institut Pertanian Bogor, Bogor
111. Wisnuprapto,1990. Teknologi yang tersedia dalam pengolahan air
buangan indutri serta Berbagai kendala yang dihadapi. Makalah Dampak
Pembangunan Industri Pada Masyarakat Dan Penanganannya dalam
menghadapi Era Industrialisasi. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
112. Zhang, Z., Anderson, W.A., & Moo-Young, M. 2004. Experimental
Analysis of a corrugated Plate Photocatalytic Reactor, Chem. Engin. J.,
99, (2004), 145-152.
113. Statistik Peternakan 2012 Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
114. Sumber Artikel : http://septinalove.blogspot.com/
----------- (2004) Identifikasi Rumah Potong Hewan (MBC).
Dinas Peternakan Perikanan Kabupaten Bandung – Fapet Unpad.
115. ------------ (2006) Detail Engenering Design Meat Business Center;
Kerjasama Dinas Peternakan Perikanan Kab. Bandung dengan Fakultas
Peternakan Unpad
116. ------------ (2012) Kontribusi Usaha Penggemukan Sapi Potong
Dalam Penyediaan Daging Sapi Di Jawa Barat; Seminar
Pembangunan Jawa Barat diselenggarakan oleh Jaringan Peneliti
Jawa Barat bekerjasama dengan LPPM Unpad, Jatinangor tangal 12-13
Juni 2012
117. ------------ (2012). Mewujudkan Pengelolaan RPH Indonesia
yang Berprinsip Kesrawan, seminar diselenggarakan oleh PB ISPI-
PDHI pada Pameran Indolivestock, Jakarta 5 Juli 2012.
118. ------------ (2012). Dampak Penerapan Kesrawan Terhadap Peningkatan
Produktivitas Sapi Potong, Traveling Seminar di Bandung, Jakarta,
Lampung dan Medan, kerjasama PB ISPI – PB PDHI - Meat
Livestock Australia. Februari – Maret 2012.

RPH 132 CIKAMPEK


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2009
TENTANG
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa mempunyai
peranan penting dalam penyediaan pangan asal hewan dan hasil hewan lainnya
serta jasa bagi manusia yang pemanfataannya perlu diarahkan untuk kesejahteraan
masyarakat;
b. bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu diselenggarakan kesehatan hewan
yang melindungi kesehatan manusia dan hewan beserta ekosistemnya sebagai
prasyarat terselenggaranya peternakan yang maju, berdaya saing, dan
berkelanjutan serta penyediaan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal
sehingga perlu didayagunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
c. bahwa dengan perkembangan keadaan tuntutan otonomi daerah dan globalisasi,
peraturan perundang- undangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang
berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan;

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih,
bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen,
pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya.
2. Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan,
pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan
penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat
hewan dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan.
3. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.

RPH 133 CIKAMPEK


4. Hewan peliharaan adalah hewan yang kehid upannya untuk sebagian atau seluruhnya
bergantung pada manusia untuk maksud tertentu.
5. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil
pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan
pertanian.
6. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih
mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
7. Sumber daya genetik adalah material tumbuhan, binatang, atau jasad renik yang
menga ndung unit- unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang
bernilai aktual maupun potensial untuk menciptakan galur, rumpun, atau spesies baru.
8. Benih hewan yang selanjutnya disebut benih adalah bahan reproduksi hewan yang
dapat berupa semen, sperma, ova, telur tertunas, dan embrio.
9. Benih jasad renik adalah mikroba yang dapat digunakan untuk kepentingan industri
pakan dan/atau industri biomedik veteriner.
10. Bibit hewan yang selanjutnya disebut bibit adalah hewan yang mempunyai sifat
unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk
dikembangbiakkan.
11. Rumpun hewan yang selanjutnya disebut rumpun adalah segolongan hewan dari suatu
spesies yang mempunyai ciri-ciri fenotipe yang khas dan dapat diwariskan pada
keturunannya.
12. Bakalan hewan yang selanjutnya disebut bakalan adalah hewan bukan bibit yang
mempunyai sifat unggul untuk dipelihara guna tujuan produksi.
13. Produk hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masih segar
dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika,
pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan
manusia.
14. Peternak adalah perorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang melakukan
usaha peternakan.
15. Perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk
badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha
peternakan dengan kriteria dan skala tertentu.
16. Usaha di bidang peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang
menunjang usaha budi daya ternak.
17. Kastrasi adalah tindakan mencegah berfungsinya testis dengan jalan menghilangkan
atau menghambat fungsinya.
18. Inseminasi buatan adalah teknik memasukkan mani atau semen ke dalam alat
reproduksi ternak betina sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan
alat inseminasi dengan tujuan agar ternak bunting.
19. Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada
sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu.
20. Ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah
dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi
pada lingkungan dan/atau manajemen setempat.
21. Usaha di bidang kesehatan hewan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan
jasa yang menunjang upaya dalam mewujudkan kesehatan hewan.
22. Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang
tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi,
dan berkembang biak.
23. Bahan pakan adalah bahan hasil pertanian, perikanan, peternakan, atau bahan lainnya
yang layak dipergunakan sebagai pakan, baik yang telah diolah maupun yang belum
diolah.
24. Kawasan penggembalaan umum adalah lahan Negara atau yang disediakan
Pemerintah atau yang dihibahkan oleh perseorangan atau perusahaan yang
diperuntukkan bagi penggembalaan ternak masyarakat skala kecil sehingga ternak
dapat leluasa berkembang biak.

RPH 134 CIKAMPEK


25. Setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum, yang melakukan kegiatan di bidang peternakan
dan kesehatan hewan.
26. Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan dan penyakit hewan.
27. Medik veteriner adalah penyelenggaraan kegiatan praktik kedokteran hewan.
28. Otoritas veteriner adalah kelembagaan Pemerintah dan/atau kelembagaan yang
dibentuk Pemerintah dalam pengambilan keputusan tertinggi ya ng bersifat teknis
kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan dengan
mengerahkan semua lini kemampuan profesi mulai dari mengindentifikasikan
masalah, menentukan kebijakan, mengoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai
dengan mengendalikan teknis operasional di lapangan.
29. Dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran hewan,
sertifikat kompetensi, dan kewenangan medik veteriner dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan hewan.
30. Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur,
atau bupati atau walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas
pelayanannya dalam rangka penyelenggaraan kesehatan hewan.
31. Medik reproduksi adalah penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan
kesehatan hewan di bidang reproduksi hewan.
32. Medik konservasi adalah penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan
kesehatan hewan di bidang konservasi satwa liar.
33. Biomedik adalah penyelenggaraan medik veteriner di bidang biologi farmasi,
pengembangan sains kedokteran, atau industri biologi untuk kesehatan dan
kesejahteraan manusia.
34. Penyakit hewan adalah gangguan kesehatan pada hewan yang antara lain, disebabkan
oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan,
infestasi parasit, dan infeksi mikroorganisme pathogen seperti virus, bakteri,
cendawan, dan ricketsia.
35. Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan hewan;
hewan dan manusia; serta hewan dan media pembawa penyakit hewan lainnya
melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti
air, udara, tanah, pakan, peralatan, dan manusia; atau dengan media perantara biologis
seperti virus, bakteri, amuba, atau jamur.
36. Penyakit hewan strategis adalah penyakit hewan yang dapat menimbulkan kerugian
ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau kematian hewan yang tinggi.
37. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya.
38. Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan
hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi
kesehatan manusia.
39. Obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan,
membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi
sediaan biologik, farmakoseutika, premiks, dan sediaan alami.
40. Alat dan mesin peternakan adalah semua peralatan yang digunakan berkaitan dengan
kegiatan peternakan dan kesehatan hewan, baik yang dioperasikan dengan motor
penggerak maupun tanpa motor penggerak.
41. Alat dan mesin kesehatan hewan adalah peralatan kedokteran hewan yang disiapkan
dan digunakan untuk hewan sebagai alat bantu dalam pelayanan kesehatan hewan.
42. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik
dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan
ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak
terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
43. Tenaga kesehatan hewan adalah orang yang menjalankan aktivitas di bidang
kesehatan hewan berdasarkan kompetensi dan kewenangan medik veteriner yang
hierarkis sesuai dengan pendidikan formal dan/atau pelatihan kesehatan hewan
bersertifikat.

RPH 135 CIKAMPEK


44. Teknologi kesehatan hewan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
pengembangan dan penerapan ilmu, teknik, rekayasa, dan industri di bidang
kesehatan hewan.
45. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
46. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peternakan dan
kesehatan hewan.
47. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
48. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
49. Sistem kesehatan hewan nasional yang selanjutnya disebut Siskeswanas adalah
tatanan unsur kesehatan hewan yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk totalitas yang berlaku secara nasional.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui
integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan,
kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait.
(2) Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan kemanfaatan dan
keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan
keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan.

Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan bertujuan untuk:
a. mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertanggung jawab, dan
berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
b. mencukupi kebutuhan pangan, barang, dan jasa asal hewan secara mandiri, berdaya
saing, dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat
menuju pencapaian ketahanan pangan nasional;
c. melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia,
hewan, tumbuhan, dan lingkungan;
d. mengembangkan sumber daya hewan bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat;
dan
e. memberi kepastian hukum dan kepastian berusaha dalam bidang peternakan dan
kesehatan hewan.

BAB III
SUMBER DAYA

Bagian Kesatu
Lahan

Pasal 4
Untuk menjamin kepastian terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan
penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis peternakan dan kesehatan hewan.

RPH 136 CIKAMPEK


Pasal 5
(1) Penyediaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dimasukkan ke dalam tata
ruang wilayah sesuai dengan ketentua n peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah yang mengakibatkan perubahan
peruntukan lahan peternakan dan kesehatan hewan, lahan pengganti harus disediakan
terlebih dahulu di tempat lain yang sesuai dengan persyaratan peternakan dan
kesehatan hewan dan agroekosistem.
(3) Ketentuan mengenai perubahan tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan bagi lahan peternakan dan kesehatan hewan untuk kegiatan pendidikan
dan/ atau penelitian dan pengembangan.

Pasal 6
(1) Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum harus
dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan.
(2) Kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai:
a. penghasil tumbuhan pakan;
b. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan inseminasi buatan;
c. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau
d. tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi peternakan dan
kesehatan hewan.
(3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai persediaan lahan
yang memungkinkan dan memprioritaskan budi daya ternak skala kecil diwajibkan
menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum.
(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara pengusahaan
peternakan dan pengusahaan tanaman pangan, hortikultura, perikanan, perkebunan,
dan kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut
sebagai sumber pakan ternak murah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan kawasan
penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
peraturan daerah kabupaten/kota.

Bagian Kedua
Air

Pasal 7
(1) Air yang dipergunakan untuk kepentingan peternakan dan kesehatan hewan harus
memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai dengan peruntukannya.
(2) Apabila ketersediaan air terbatas pada suatu waktu dan kawasan, kebutuhan air untuk
hewan perlu diprioritaskan setelah kebutuhan masyarakat terpenuhi.

Bagian Ketiga
Sumber Daya Genetik

Pasal 8
(1) Sumber daya genetik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang dikuasai oleh
Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan Negara atas sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, atau pemerintahan
daerah kabupaten/kota berdasarkan sebaran asli geografis sumber daya genetik yang
bersangkutan.
(3) Sumber daya genetik dikelola melalui kegiatan pemanfaatan dan pelestarian.
(4) Pemanfaatan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
melalui pembudidayaan dan pemuliaan.
(5) Pelestarian sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
melalui konservasi di dalam habitatnya dan/atau di luar habitatnya serta upaya
lainnya.

RPH 137 CIKAMPEK


(6) Pengelolaan sumber daya genetik tumbuhan pakan mengikuti peraturan perundang-
undangan di bidang sistem budi daya tanaman.

Pasal 9
(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya genetik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) wajib membuat perjanjian dengan pelaksana
penguasaan negara atas sumber daya genetik yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan, antara lain,
pembagian keuntungan dari hasil pemanfaatan sumber daya genetik yang
bersangk utan dan pemberdayaan masyarakat sekitar dalam pemanfaatannya.
(3) Pemanfaatan sumber daya genetik hewan asal satwa liar mengikuti peraturan
perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.

Pasal 10
(1) Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4)
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota, masyarakat, dan/atau korporasi.
(2) Pemerintah wajib melindungi usaha Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mengoptimalkan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan pelestarian sumber daya
genetik asli Indonesia.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
setiap orang yang melakukan pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).

Pasal 11
(1) Setiap orang atau lembaga nasional yang melakukan pemasukan dan/atau
pengeluaran sumber daya genetik ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib memperoleh izin dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi lembaga
internasional yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran sumber daya genetik
ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga asing yang akan
melakukan pemasukan dan pengeluaran sumber daya genetik, terlebih dahulu harus
memiliki perjanjian dengan Pemerintah di bidang transfer material genetik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 12
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya genetik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetik
termasuk sumber daya genetik hewan dan rekayasa genetik diatur dengan undang-
undang.

RPH 138 CIKAMPEK


BAB IV
PETERNAKAN

Bagian Kesatu
Benih, Bibit, dan Bakalan

Pasal 13
(1) Penyediaan dan pengembangan benih, bibit, dan/atau bakalan dilakukan dengan
mengutamakan produksi dalam negeri dan kemampuan ekonomi kerakyatan.
(2) Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/
atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin
ketersediaan benih, bibit, dan/atau bakalan.
(3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum
berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan.
(4) Setiap benih atau bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak benih atau bibit
yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu.
(5) Sertifikat layak benih atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan
oleh lembaga sertifikasi benih atau bibit yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh
Menteri.

Pasal 14
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan perbibitan nasional untuk mendorong ketersediaan
benih dan/atau bibit yang bersertifikat dan melakukan pengawasan dalam pengadaan
dan peredarannya secara berkelanjutan.
(2) Pemerintah membina pembentukan wilayah sumber bibit pada wilayah yang
berpotensi menghasilkan suatu rumpun ternak dengan mutu dan keragaman jenis
yang tinggi untuk sifat produksi dan/atau reproduksi.
(3) Wilayah sumber bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri
dengan mempertimbangkan jenis dan rumpun ternak, agroklimat, kepadatan
penduduk, sosial ekonomi, budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan perbibitan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15
(1) Dalam keadaan tertentu pemasukan benih dan/atau bibit dari luar negeri dapat
dilakukan untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. mengatasi kekurangan benih atau bibit di dalam negeri; dan/atau
d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
(2) Pemasukan benih dan/atau bibit wajib memenuhi persyaratan mutu dan kesehatan
hewan dan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan serta
memerhatikan kebijakan pewilayahan bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(3) Setiap orang yang melakukan pemasukan benih dan/atau bibit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan
perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan mutu dan kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 16
(1) Pengeluaran benih, bibit, dan/atau bakalan dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah
terpenuhi dan kelestarian ternak lokal terjamin.
(2) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan perdagangan setelah
mendapat rekomendasi dari Menteri.

RPH 139 CIKAMPEK


Pasal 17
(1) Perbaikan kualitas benih dan/atau bibit dilakukan dengan pembentukan galur murni
dan/ atau pembentukan rumpun baru melalui persilangan dan/atau aplikasi
bioteknologi modern.
(2) Aplikasi bioteknologi modern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah agama dan tidak merugikan
keanekaragaman hayati; kesehatan manusia, lingkungan, dan masyarakat; serta
kesejahteraan hewan.
(3) Aplikasi bioteknologi modern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan
khusus untuk menghasilkan ternak hasil rekayasa genetik harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan peraturan perundang-undangan di bidang
keamanan hayati produk rekayasa genetik.

Pasal 18
(1) Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, ternak ruminansia betina produktif
diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia betina tidak produktif
disingkirkan untuk dijadikan ternak potong.
(2) Ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil
ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian
dan penanggulangan penyakit hewan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/ kota menyediakan dana untuk
menjaring ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan
menampung ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan
penangkaran dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeleksian dan penyingkiran sebagaimana pada
ayat (1) dan penjaringan ternak ruminansia betina produktif sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pakan

Pasal 19
(1) Setiap orang yang melakukan budi daya ternak wajib mencukupi kebutuhan pakan
dan kesehatan ternaknya.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah membina pelaku usaha peternakan untuk
mencukupi dan memenuhi kebutuhan pakan yang baik untuk ternaknya.
(3) Untuk memenuhi kebutuhan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah membina pengembangan industri premiks dalam negeri.

Pasal 20
(1) Pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran bahan pakan dan tumbuhan atau
tanaman pakan yang tergolong bahan pangan dilakukan secara terkoordinasi
antarinstansi atau departemen.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan lahan untuk
keperluan budi daya tanaman pakan, pengadaan pakan di dalam negeri, dan
pemasukan pakan dari luar negeri.
(3) Pengadaan dan/atau pembudidayaan tanaman pakan dilakukan melalui system
pertanaman monokultur dan/atau terpadu dengan jenis tanaman lain dengan tetap
mempertimbangkan ekosistem sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang sis tem budi daya tanaman.
(4) Dalam rangka pengadaan pakan dan/atau bahan pakan yang tergolong bahan pangan,
Pemerintah mengutamakan bahan baku pakan lokal.
(5) Pengadaan dan penggunaan pakan dan/atau bahan pakan yang berasal dari organisme
transgenik harus memenuhi persyaratan keamanan hayati.

RPH 140 CIKAMPEK


Pasal 21
Menteri menetapkan batas tertinggi kandungan bahan pencemar fisik, kimia, dan biologis
pada pakan dan/atau bahan pakan.

Pasal 22
(1) Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau bahan pakan untuk diedarkan secara
komersial wajib memperoleh izin usaha.
(2) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau
persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara
pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berlabel sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4) Setiap orang dilarang:
a. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;
b. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan ruminansia yang mengandung bahan
pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau
c. menggunakan pakan yang dicampur hormone tertentu dan/atau antibiotik
imbuhan pakan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c ditetapkan
dengan Peratur an Menteri.

Pasal 23
Setiap pakan dan/atau bahan pakan yang dimasukkan dari luar negeri atau dikeluarkan
dari dalam negeri harus memenuhi ketentuan persyaratan teknis kesehatan hewan dan
peraturan perundang-undangan di bidang karantina.

Bagian Ketiga
Alat dan Mesin Peternakan

Pasal 24
(1) Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin peternakan yang
peredarannya perlu diawasi.
(2) Alat dan mesin peternakan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus mengutamakan keselamatan dan
keamanan pemakainya.
(3) Alat dan mesin peternakan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
peredarannya perlu diawasi wajib diuji sebelum diedarkan.

Pasal 25
(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan alat dan mesin peternakan dari
luar negeri untuk diedarkan wajib menyediakan suku cadang.
(2) Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri alat dan mesin
peternakan dalam negeri.
(3) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengadaan dan
peredaran alat dan mesin peternakan.
(4) Alat dan mesin peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan
mengandung suku cadang lokal dan melibatkan masyarakat dala m alih teknologi.

Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai alat dan mesin peternakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

RPH 141 CIKAMPEK


Bagian Keempat
Budi Daya

Pasal 27
(1) Budi daya merupakan usaha untuk menghasilkan hewan peliharaan dan produk
hewan.
(2) Pengembangan budi daya dapat dilakukan dalam suatu kawasan budi daya sesuai
dengan ketentuan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Penetapan suatu kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
berdasarkan Peraturan Menteri dengan berpedoman pada peraturan perundang-
undangan di bidang penataan ruang.
(4) Pelaksanaan budi daya dengan memanfaatkan satwa liar dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.

Pasal 28
(1) Pemerintah menetapkan hewan hasil budi daya yang memanfaatkan satwa liar sebagai
ternak sepanjang populasinya telah mengalami kestabilan genetik tanpa bergantung
lagi pada populasi jenis tersebut di habitat alam.
(2) Satwa liar baik dari habitat alam maupun hasil penangkaran dapat dimanfaatkan di
dalam budi daya untuk menghasilkan hewan peliharaan sepanjang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan tentang konservasi satwa liar.
(3) Satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk satwa liar
yang seluruh dan/atau sebagian daur hidupnya berada di air.

Pasal 29
(1) Budi daya ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, serta
pihak tertentu untuk kepentingan khusus.
(2) Peternak yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah ternak di bawah
skala usaha tertentu diberikan tanda daftar usaha peternakan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
(3) Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah
ternak di atas skala usaha tertentu wajib memiliki izin usaha peternakan dari
pemerintah daerah kabupaten / kota.
(4) Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang mengusahakan ternak
dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya ternak yang baik
dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang ditetapkan
oleh Menteri.
(5) Pemerintah berkewajiban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari
persaingan tidak sehat di antara pelaku pasar.

Pasal 30
(1) Budi daya hanya dapat diselenggarakan oleh perorangan warga Negara Indonesia atau
korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum Indonesia.
(2) Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan pihak asing sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait.

Pasal 31
(1) Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak berdasarkan
perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan serta
berkeadilan.
(2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
a. antarpeternak;
b. antara peternak dan perusahaan peternakan;
c. antara peternak dan perusahaan di bidang lain; dan

RPH 142 CIKAMPEK


d. antara perusahaan peternakan dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan kemitraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang kemitraan usaha.

Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengupayakan agar sebanyak mungkin warga
masyarakat menyelenggarakan budi daya ternak.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan membina pengembangan budi
daya yang dilakukan oleh peternak dan pihak tertentu yang mempunyai kepentingan
khusus.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan memberikan fasilitas untuk
pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan badan usaha di bidang peternakan.

Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 32 diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kelima
Panen, Pascapanen, Pemasaran, dan
Industri Pengolahan Hasil Peternakan

Pasal 34
(1) Peternak dan perusahaan peternakan melakukan tata cara panen yang baik untuk
mendapatkan hasil produksi dengan jumlah dan mutu yang tinggi.
(2) Pelaksanaan panen hasil budi daya harus mengikuti syarat kesehatan hewan,
keamanan hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika.

Pasal 35
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengembangan unit pascapanen
produk hewan skala kecil dan menengah.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi berkembangnya unit usaha
pascapanen yang memanfaatkan produk hewan sebagai bahan baku pangan, pakan,
farmasi, dan industri.

Pasal 36
(1) Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan
pemasaran hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri maupun ke luar
negeri.
(2) Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk membina
peningkatan produksi dan konsumsi protein hewani dalam mewujudkan ketersediaan
pangan bergizi seimbang bagi masyarakat dengan tetap meningkatkan kesejahteraan
pelaku usaha peternakan.
(3) Pengeluaran hewan atau ternak dan produk hewan ke luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah
mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
(4) Pemasukan hewan atau ternak dan produk hewan dari luar negeri dilakukan apabila
produksi dan pasokan hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri belum
mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
(5) Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi hewan atau
ternak dan produk hewan.

Pasal 37
(1) Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan produk
hewan dengan mengutamakan penggunaan bahan baku dari dalam negeri.

RPH 143 CIKAMPEK


(2) Pemerintah membina terselenggaranya kemitraan yang sehat antara industri
pengolahan dan peternak dan/atau koperasi yang menghasilkan produk hewan yang
digunakan sebagai bahan baku industri.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang industri, kecuali untuk hal- hal yang diatur
dalam Undang-Undang ini.

Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai panen, pascapanen, pemasaran, dan industri pengolahan
hasil peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37, kecuali
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang industri, diatur
dengan Peraturan Menteri.

BAB V
KESEHATAN HEWAN

Bagian Kesatu
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan

Pasal 39
(1) Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan merupakan penyelenggaraan
kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan dalam bentuk pengamatan dan
pengidentifikasian, pencegahan, pengamanan, pemberantasan, dan/atau pengobatan.
(2) Urusan kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
(3) Dalam rangka mengefektifkan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melalui berbagai pendekatan dalam urusan
kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mengembangkan
kebijakan kesehatan hewan nasional untuk menjamin keterpaduan dan
kesinambungan penyelenggaraan kesehatan hewan di berbagai lingkungan ekosistem.

Pasal 40
(1) Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (1) dilakukan melalui kegiatan surveilans dan pemetaan, penyidikan dan
peringatan dini, pemeriksaan dan pengujian, serta pelaporan.
(2) Menteri menetapkan jenis penyakit hewan, peta dan status situasi penyakit hewan,
serta penyakit eksotik yang mengancam kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan
berdasarkan hasil pengamatan dan pengidentifikasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan dilakukan oleh laboratorium
veteriner yang terakreditasi.
(4) Dalam hal laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum ada, Menteri
menetapkan laboratorium untuk melakukan pengamatan dan pengidentifikasian
penyakit hewan.
(5) Menteri menetapkan pedoman pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 41
Pencegahan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan.

Pasal 42
(1) Pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
dilaksanakan melalui:
a. penetapan penyakit hewan menular strategis;

RPH 144 CIKAMPEK


b. penetapan kawasan pengamanan penyakit hewan;
c. penerapan prosedur biosafety dan biosecurity;
d. pengebalan hewan;
e. pengawasan lalu lintas hewan, produk hewan, dan media pembawa penyakit
hewan lainnya di luar wilayah kerja karantina;
f. pelaksanaan kesiagaan darurat veteriner; dan/atau
g. penerapan kewaspadaan dini.
(2) Ketentuan lebih la njut mengenai pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(3) Dalam rangka pengamanan terhadap penyakit hewan pada sentra-sentra hewan
produktif dan/atau satwa liar, Menteri menetapkan kawasan pengamanan bebas
penyakit hewan.
(4) Pemerintah membangun dan mengelola sistem informasi veteriner dalam rangka
terselenggaranya pengawasan dan tersedianya data dan informasi penyakit hewan.
(5) Setiap orang yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran hewan, produk
hewan, dan/atau media pembawa penyakit wajib memenuhi persyaratan teknis
kesehatan hewan.
(6) Menteri menetapkan manajemen kesiagaan darurat veteriner untuk mengantisipasi
terjadinya penyakit hewan menular terutama penyakit eksotik.

Pasal 43
(1) Menteri menetapkan jenis penyakit hewan menular strategis dalam rangka
pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
huruf a.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan
pengamanan terhadap penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Pengamanan terhadap jenis penyakit hewan selain penyakit hewan menular strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh masyarakat.
(4) Setiap orang yang memelihara dan/ atau mengusahakan hewan wajib melakukan
pengamanan terhadap penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

Pasal 44
(1) Pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 meliputi
penutupan daerah, pembatasan lalu lintas hewan, pengebalan hewan, pengisolasian
hewan sakit atau terduga sakit, penanganan hewan sakit, pemusnahan bangkai,
pengeradikasian penyakit hewan, dan pendepopulasian hewan.
(2) Pendepopulasian hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memerhatikan status konservasi hewan dan/atau status mutu genetik hewan.
(3) Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan
depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang berdasarkan pedoman
pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberantasan penyakit hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 45
(1) Setiap orang, termasuk peternak, pemilik hewan, dan perusahaan peternakan yang
berusaha di bidang peternakan yang mengetahui terjadinya penyakit hewan menular
wajib melaporkan kejadian tersebut kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
dokter hewan berwenang setempat.
(2) Menteri menetapkan status daerah sebagai daerah tertular, daerah terduga, dan daerah
bebas penyakit hewan menular, serta pedoman pemberantasannya.
(3) Pemerintah daerah provinsi mengawasi penerapan pedoman pemberantasan penyakit
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

RPH 145 CIKAMPEK


(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan pedoman pemberantasan penyakit
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 46
(1) Menteri menyatakan dan mengumumkan kepada masyarakat luas kejadian wabah
penyakit hewan menular di suatu wilayah berdasarkan laporan gubernur dan/atau
bupati/walikota setelah memperoleh hasil investigasi laboratorium veteriner dari
pejabat otoritas veteriner di wilayah setempat.
(2) Dalam hal suatu wilayah dinyatakan sebagai daerah wabah, pemerintah daerah
provinsi atau pemerintah daerah kabupaten atau kota wajib menutup daerah tertular,
melakukan pengamanan, pemberantasan, dan pengobatan hewan, serta pengalokasian
dana yang memadai di samping dana Pemerintah.
(3) Dalam hal wabah penyakit hewan menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan penyakit hewan menular eksotik, tindakan pemusnahan harus dilakukan
terhadap seluruh hewan yang tertular dengan memerhatikan status konservasi hewan
yang bersangkutan.
(4) Tindakan pemusnahan hewan langka dan/atau yang dilindungi dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
(5) Setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan,
dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah
tertular dan/ atau terduga ke daerah bebas.
(6) Ketentuan pemberantasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemusnaan
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi bibit ternak yang
diproduksi oleh perusahaan peternakan di bidang pembibitan yang dinyatakan bebas
oleh otoritas veteriner.
(7) Pernyataan bebas penyakit menular pada perusahaan peternakan di bidang pembibitan
oleh otoritas veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 47
(1) Pengobatan hewan menjadi tanggung jawab pemilik hewan, peternak, atau
perusahaan peternakan, baik sendiri maupun dengan bantuan tenaga kesehatan
hewan.
(2) Pengobatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menggunakan obat
keras dan/atau obat yang diberikan secara parenteral harus dilakukan di bawah
pengawasan dokter hewan.
(3) Hewan atau kelompok hewan yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
berdasarkan visum dokter hewan harus dieutanasia dan/atau dimusnahkan oleh tenaga
kesehatan hewan dengan memerhatikan ketentuan kesejahteraan hewan.
(4) Hewan atau kelompok hewan yang menderita penyakit menular dan tidak dapat
disembuhkan berdasarkan visum dokter hewan berwenang serta membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan harus dimusnahkan atas permintaan pemilik
hewan, peternak, perusahaan peternakan, Pemerintah, dan/atau Pemerintah Daerah.
(5) Pemerintah tidak memberikan kompensasi bagi hewan yang berdasarkan pedoman
pemberantasan wabah penyakit hewan harus dimusnahkan.
(6) Pengeutanasiaan atau pemusnahan hewan atau kelompok hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh dokter hewan dan/atau tenaga
kesehatan hewan di bawah pengawasan dokter hewan dengan memerhatikan
ketentuan kesejahteraan hewan.

Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamatan, pengamanan, pemberantasan penyakit
hewan, pengobatan, maupun persyaratan teknis kesehatan hewan, termasuk pemberian
kompensasi sebaga imana dimaksud dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 47 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

RPH 146 CIKAMPEK


Bagian Kedua
Obat Hewan

Pasal 49
(1) Berdasarkan sediaannya, obat hewan dapat digolongkan ke dalam sediaan biologik,
farmakoseutika, premiks, dan obat alami.
(2) Berdasarkan tingkat bahaya dalam pemakaian dan akibatnya, obat hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menjadi obat keras, obat bebas
terbatas, dan obat bebas.
(3) Untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutan sediaan biologik, biang isolat lokal
disimpan di laboratorium dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan veteriner.
(4) Untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutan sediaan premiks dalam
pengembangan peternakan skala kecil dan menengah, Pemerintah memfasilitasi
distribusi sediaan premiks dalam negeri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai distribusi sediaan premiks sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 50
(1) Obat hewan yang dibuat dan disediakan dengan maksud untuk diedarkan harus
memiliki nomor pendaftaran.
(2) Untuk memperoleh nomor pendaftaran, setiap obat hewan harus didaftarkan, dinilai,
diuji, dan diberikan sertifikat mutu setelah lulus penilaian dan pengujian.
(3) Pembuatan, penyediaan, peredaran, dan pengujian obat hewan harus dilakukan di
bawah pengawasan otoritas veteriner.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan
pengawasan atas pembuatan, penyediaan, dan peredaran obat hewan.

Pasal 51
(1) Obat keras yang digunakan untuk pengamanan penyakit hewan dan/atau pengobatan
hewan sakit hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan.
(2) Pemakaian obat keras harus dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga kesehatan
hewan di bawah pengawasan dokter hewan.
(3) Setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya
untuk konsumsi manusia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan menggunakan obat hewan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 52
(1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan, penyediaan, dan/atau peredaran
obat hewan wajib memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan
yang:
a. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia;
b. tidak memiliki nomor pendaftaran;
c. tidak diberi label dan tanda; dan
d. tidak memenuhi standar mutu.

Pasal 53
(1) Pembuatan sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia yang bertujuan
untuk melindungi kepentingan nasional dan membantu pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan di negara lain wajib memenuhi persyaratan
keamanan hayati yang tinggi.
(2) Pembuatan sediaan biologik yang biang isolatnya tidak ada di Indonesia yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional dan membantu pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan di negara lain wajib memenuhi persyaratan
keamanan hayati yang tinggi.

RPH 147 CIKAMPEK


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan sediaan biologik yang penyakit dan/atau
biang isolatnya tidak ada di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 54
(1) Penyediaan obat hewan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri.
(2) Dalam hal obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat diproduksi
atau belum mencukupi kebutuhan dalam negeri, penyediaannya dapat dipenuhi
melalui produk luar negeri.
(3) Pemasukan obat hewan untuk diedarkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus memenuhi persyaratan peredaran obat hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) dan peraturan perundang- undangan di bidang karantina.
(4) Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar negeri harus mengutamakan
kepentingan nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan pengeluaran dari dan ke luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Bagian Ketiga
Alat dan Mesin Kesehatan Hewan

Pasal 55
(1) Pemerintah menetapkan jenis dan standar mutu alat dan mesin kesehatan hewan yang
pengadaan dan peredarannya perlu dilakukan pengawasan.
(2) Alat dan mesin kesehatan hewan yang dibuat atau dimasukkan untuk diedarkan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi standar mutu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Setiap orang yang membuat, memasukkan, dan mengedarkan alat dan mesin
kesehatan hewan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan pelayanan purnajual dan alih teknologi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai alat dan mesin kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN
KESEJAHTERAAN HEWAN

Bagian kesatu
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Pasal 56
Kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam
bentuk:
a. pengendalian dan penanggulangan zoonosis;
b. penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan;
c. penjaminan higiene dan sanitasi;
d. pengembangan kedokteran perbandingan; dan
e. penanganan bencana.

Pasal 57
(1) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan kesehatan menetapkan jenis
zoonosis yang memerlukan prioritas pengendalian dan penanggulangan.
(2) Pengendalian dan penanggulangan zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara mutatis mutandis mengikuti ketentuan dalam Pasal 40 sampai
dengan Pasal 47.

RPH 148 CIKAMPEK


(3) Di samping ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengendalian dan
penanggulangan zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
secara terkoordinasi dengan menteri terkait.

Pasal 58
(1) Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan,
pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.
(2) Pengawasan dan pemeriksaan produk hewan berturut-turut dilakukan di tempat
produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu
dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah
pengawetan.
(3) Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan dilakukan terhadap produk
hewan yang diproduksi di dan/ atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat
halal.
(5) Produk hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh negara
pengimpor.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Menteri.
(7) Untuk pangan olahan asal hewan, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pangan.

Pasal 59
(1) Setiap orang yang akan memasukkan produk hewan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia wajib memperoleh izin pemasukan dari menteri yang
terkait di bidang perdagangan setelah memperoleh rekomendasi:
a. untuk produk hewan segar dari Menteri; atau
b. untuk produk hewan olahan dari pimpinan instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengawasan obat dan makanan dan/atau Menteri.
(2) Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha
produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi
persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.
(3) Produk hewan olahan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang masih
mempunyai risiko penyebaran zoonosis yang dapat mengancam kesehatan manusia,
hewan, dan lingkungan budi daya, harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri
sebelum dikeluarkannya rekomendasi dari pimpinan instansi yang bertanggung jawab
di bidang pengawasan obat dan makanan.
(4) Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasiona l yang berbasis analisis risiko di
bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan
kepentingan nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan
kedalam wilayah Negara Kesatuan Repub lik Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

RPH 149 CIKAMPEK


Pasal 60
(1) Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan
permohonan untuk memperoleh nomor control veteriner kepada pemerintah daerah
provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan unit usaha yang
memproduksi dan/ atau mengedarkan produk hewan yang dihasilkan oleh unit usaha
skala rumah tangga yang belum memenuhi persyaratan nomor control veteriner.

Pasal 61
(1) Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus:
a. dilakukan di rumah potong; dan
b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat
veteriner dan kesejahteraan hewan.
(2) Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memerhatikan kaidah agama dan
unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.
(3) Menteri menetapkan persyaratan rumah potong dan tata cara pemotonga n hewan yang
baik.
(4) Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara
adat, dan pemotongan darurat.

Pasal 62
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang
memenuhi persyaratan teknis.
(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh
setiap orang setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota.
(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di
bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan
masyarakat veteriner.

Pasal 63
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib
menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi.
(2) Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan:
a. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah pemotongan
hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan tempat
penjualan atau penjajaan serta alat dan rnesin produk hewan;
b. surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau cemaran
kimia; dan
c. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas tersebut.
(3) Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 64
Pemerintah dan pemerintah daerah mengantisipasi ancaman terhadap kesehatan
masyarakat yang ditimbulkan oleh hewan dan/atau perubahan lingkungan sebagai
dampak bencana alam yang memerlukan kesiagaan dan cara penanggulangan terhadap
zoonosis, masalah higiene, dan sanitasi lingkungan.

Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasah, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, dan
sertifikasi produk hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), tata cara
pemasukan produk hewan olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b,

RPH 150 CIKAMPEK


penetapan negara dan/atau zona, unit usaha produk hewan, dan tata cara pemasukan
produk hewan segar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), serta kesiagaan dan
cara penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Kesejahteraan Hewan

Pasal 66
(1) Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan
penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan
perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan
pengayoman yang wajar terhadap hewan.
(2) Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara manusiawi yang meliputi:
a. penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan- undangan di bidang konservasi;
b. penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga
memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya;
c. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan
dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit,
penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;
d. pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas
dari rasa takut dan tertekan serta bebas dari penganiayaan;
e. penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga
hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan;
f. pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga
hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiyaan, dan
penyalahgunaan; dan
g. perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan
penyalahgunaan.
(3) Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan diberlakukan
bagi semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak
bertulang belakang yang dapat merasa sakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 67
Penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat.

BAB VII
OTORITAS VETERINER

Pasal 68
(1) Penyelenggaraan kesehatan hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia memerlukan otoritas veteriner.
(2) Dalam rangka pelaksanaan otoritas veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah menetapkan Siskeswanas.
(3) Dalam pelaksanaan Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya menetapkan dokter hewan
berwenang, meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan penyelenggaraan kesehatan
hewan, serta melaksanakan koordinasi dengan memerhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah.
(4) Dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri dapat melimpahkan kewenangannya
kepada otoritas veteriner.

RPH 151 CIKAMPEK


(5) Otoritas veteriner bersama organisasi profesi kedokteran hewan melaksanakan
Siskeswanas dengan memberdayakan potensi tenaga kesehatan hewan dan membina
pelaksanaan praktik kedokteran hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(6) Di samping melaksanakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan,
kesehatan masyarakat veteriner, dan/atau kesejahteraan hewan, otoritas veteriner juga
melakukan pelayanan kesehatan hewan, pengaturan tenaga kesehatan hewan,
pelaksanaan medik reproduksi, medik konservasi, forensik veteriner, dan
pengembangan kedokteran hewan perbandingan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner,
pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa
medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan atau pos kesehatan
hewan.
(2) Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin usaha dari bupati/walikota.

Pasal 70
(1) Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan hewan, Pemerintah mengatur
penyediaan dan penempatan tenaga kesehatan hewan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan kebutuhan.
(2) Tenaga kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga
medik veteriner, sarjana kedokteran hewan, dan tenaga paramedik veteriner.
(3) Tenaga medik veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas dokter
hewan dan dokter hewan spesialis.
(4) Tenaga paramedik veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki diploma
kesehatan hewan dan/atau ijazah sekolah kejuruan kesehatan hewan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tenaga kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 71
(1) Tenaga medik veteriner melaksanakan segala urusan kesehatan hewan berdasarkan
kompetensi medik veteriner yang diperolehnya dalam pendidikan kedokteran hewan.
(2) Tenaga paramedik veteriner dan sarjana kedokteran hewan melaksanakan urusan
kesehatan hewan yang menjadi kompetensinya dan dilakukan di bawah penyeliaan
dokter hewan.
(3) Dokter hewan spesialis dan/atau dokter hewan yang memperoleh sertifikat
kompetensi dari organisasi profesi kedokteran hewan dan/atau sertifikat yang diakui
oleh Pemerintah dapat melaksanakan urusan kesehatan hewan.
(4) Dalam menjalankan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tenaga
kesehatan hewan wajib mematuhi kode etik dan memegang teguh sumpah atau janji
profesinya.

Pasal 72
(1) Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib
memiliki surat izin praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh bupati/walikota.
(2) Untuk mendapatkan surat izin praktik kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tenaga kesehatan hewan yang bersangkutan mengajukan surat permohonan
untuk memperoleh surat izin praktik kepada bupati/walikota disertai dengan sertifikat
kompetensi dari organisasi profesi kedokteran hewan.
(3) Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan praktik pelayanan kesehatan hewan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau
multilateral antara pihak Indonesia dan negara atau lembaga asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.

RPH 152 CIKAMPEK


Pasal 73
(1) Pemerintah wajib membina dan memfasilitasi terselenggaranya medik reproduksi,
medik konservasi, dan forensik veteriner.
(2) Medik reproduksi, medik konservasi, dan forensik veteriner sepanjang berkaitan
dengan satwa liar dan/atau hewan yang hidup di air diselenggarakan secara
terkoordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74
(1) Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan hewan sebagai hewan laboratorium dan
hewan model penelitian dan/atau pemanfaatan organ hewan untuk kesejahteraan
manusia diterapkan ilmu kedokteran perbandingan.
(2) Penerapan ilmu kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan:
a. di bawah penyeliaan dokter hewan yang kompeten;
b. berdasarkan etika hewan dan etika kedokteran hewan; dan
c. dengan mempertimbangkan kesejahteraan hewan.

Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 sampai dengan Pasal 74 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PEMBERDAYAAN PETERNAK DAN USAHA
DI BIDANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Pasal 76
(1) Pemberdayaan peternak, usaha di bidang peternakan, dan usaha di bidang kesehatan
hewan dilakukan dengan memberikan kemudahan bagi kemajuan usaha di bidang
peternakan dan kesehatan hewan serta peningkatan daya saing.
(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta informasi;
b. pelayanan peternakan, pelayanan kesehatan hewan, dan bantuan teknik;
c. penghindaran pengenaan biaya yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi;
d. pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi antarpelaku usaha;
e. penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau meningkatan kewirausahaan;
f. pengutamaan pemanfaatan sumber daya peternakan dan kesehatan hewan dalam
negeri;
g. pemfasilitasan terbentuknya kawasan pengembangan usaha peternakan;
h. pemfasilitasan pelaksanaan promosi dan pemasaran; dan/atau
i. perlindungan harga dan produk hewan dari luar negeri.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan di bidang
peternakan dan kesehatan hewan melakukan pemberdayaan peternak guna
meningkatkan kesejahteraan peternak.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong dan memfasilitasi pengembangan
produk hewan yang ditetapkan sebagai bahan pangan pokok strategis dalam
mewujudkan ketahanan pangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 77
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melindungi peternak dari perbuatan yang
mengandung unsur pemerasan oleh pihak lain untuk memperoleh pendapatan yang
layak.

RPH 153 CIKAMPEK


(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mencegah penyalahgunaan kebijakan di bidang
permodalan dan/atau fiskal yang ditujukan untuk pemberdayaan peternak, perusahaan
peternakan, dan usaha kesehatan hewan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah mencegah penyelenggaraan kemitraan usaha di
bidang peternakan dan kesehatan hewan yang menyebabkan terjadinya eksploitasi
yang merugikan peternak dan masyarakat.

BAB IX
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

Pasal 78
(1) Sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan meliputi aparat
Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan semua pihak yang terkait dengan
bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(2) Sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) perlu ditingkatkan dan dikembangkan kualitasnya untuk lebih
meningkatkan keterampilan, keprofesionalan, kemandirian, dedikasi, dan akhlak
mulia.
(3) Pengembangan kualitas sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan
hewan dilaksanakan dengan cara:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. penyuluhan; dan/atau
c. pengembangan lainnya dengan memerhatikan kebutuhan kompetensi kerja,
budaya masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah melalui institusi pendidikan dan dunia usaha
memfasilitasi dan mengembangkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang
berkaitan dengan penyediaan sumber daya manusia yang kompeten di bidang
peternakan dan kesehatan hewan.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan penyuluhan peternakan dan
kesehatan hewan serta mendorong dan membina peran serta masyarakat untuk
melaksanakan peternakan dan kesehatan hewan yang baik.
(6) Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan
publik di bidang peternakan dan kesehatan hewan melalui upaya peningkatan
kesadaran gizi masyarakat dalam mengonsumsi produk hewan yang aman, sehat,
utuh, dan halal.
(7) Pemerintah mengembangkan dan memfasilitasi berbagai cara pengembangan sumber
daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan he wan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai cara pengembangan kualitas sumber daya manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.

BABX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 79
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan peternakan dan kesehatan hewan.
(2) Penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan dapat
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, institusi pendidikan, perorangan,
lembaga swadaya masyarakat, atau dunia usaha, baik secara sendiri-sendiri maupun
bekerja sama.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan mengembangkan adanya kerja sama
yang baik antarpenyelenggara penelitian dan pengembangan di bidang peternakan
dan kesehatan hewan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

RPH 154 CIKAMPEK


Pasal 80
(1) Perorangan warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang melakukan
penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan wajib
mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi pemerintah yang berwenang di bidang
penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Perorangan warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam melakukan penelitian harus bekerja sama dengan peneliti atau
lembaga penelitian dalam negeri.

Pasal 81
Negara memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual hasil aplikasi ilmu
pengetahuan dan invensi teknologi di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Pasal 82
Penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan rekayasa genetik di bidang
peternakan dan kesehatan hewan dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan
kaidah agama; kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan; kesejahteraan
hewan; serta tidak merugikan keanekaragaman hayati.

Pasal 83
Ketentuan mengenai pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang peternakan dan kesehatan hewan mengikuti
ketentuan peraturan perundang- undangan.

BAB XI
PENYIDIKAN

Pasal 84
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya meliputi
peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang sehubungan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti
pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang peternakan dan kesehatan hewan; dan/atau
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum sesuai Kitab Undang-Undang Huk um Acara Pidana.

RPH 155 CIKAMPEK


BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 85
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19
ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1),
Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3),
Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat
(5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3),
Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin,
atau produk hewan dari peredaran;
d. pencabutan izin; atau
e. pengenaan denda.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(4) Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada huruf e dikenakan kepada setiap orang
yang:
a. menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif paling sedikit sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah);
b. menyembelih ternak ruminansia besar betina produktif paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah); dan
c. melanggar selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(5) Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditambah 1/3 (sepertiga) dari
denda tersebut jika pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pejabat yang berwenang atau korporasi.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 86
Setiap orang yang menyembelih:
a. ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6
(enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rup iah) dan
paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan
b. ternak ruminansia besar betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9
(sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan
paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 87
Setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(4) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9
(sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta
rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

RPH 156 CIKAMPEK


Pasal 88
Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan alat dan mesin tanpa
mengutamakan keselamatan dan keamanan bagi pemakai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (2) dan/atau belum diuji berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 89
(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran atas tindakan mengeluarkan dan/atau
memasukkan hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya
dari dan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (5), Pasal 58 ayat (5), dan Pasal 59 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, atau
media pembawa penyakit hewan lainnya ke dalam wilayah bebas dari wilayah tertular
atau terduga tertular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5), Pasal 59 ayat
(3), dan Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

Pasal 90
Setiap orang yang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk
konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) dipidana dengan
pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 91
Setiap orang yang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.800.000.000,00 (satu
miliar delapan ratus juta rupiah).

Pasal 92
(1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi atau pejabat yang berwenang,
pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3
(sepertiga) dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 sampai dengan
Pasal 91.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi atau pejabat
yang berwenang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, status
badan hukum, atau status kepegawaian dari pejabat yang berwenang.

Pasal 93
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 90,
dan Pasal 91 merupakan pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 merupakan kejahatan.

RPH 157 CIKAMPEK


BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 94
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. nomor pendaftaran obat hewan, pakan, alat dan mesin peternakan dan kesehatan
hewan, pangan asal hewan, dan usaha pemotongan dinyatakan tetap berlaku sampai
habis masa berlakunya untuk selanjutnya di sesuaikan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya;
b. permohonan untuk memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang diajukan dan sedang dalam proses diselesaikan berdasarkan ketentuan
peraturan pelaksanaan di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
c. izin usaha peternakan, izin usaha obat hewan, izin usaha pemotongan hewan, izin
pelayanan kesehatan hewan, dan izin praktik dokter hewan dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum dicabut dengan Undang-Undang ini;
dan/atau
d. permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada huruf c yang
diajukan dan sedang dalam proses diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan dan peraturan pelaksanaannya.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 95
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang peternakan
dan kesehatan hewan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang
baru yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 96
Ketentuan praktik kedokteran hewan dan ketentuah veteriner yang belum cukup diatur
dalam Undang-Undang ini akan diatur tersendiri dengan undang-undang.

Pasal 97
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini:
a. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden harus telah ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan;
b. Peraturan atau Keputusan Menteri harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan; dan
c. Peraturan Pemerintah Daerah harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak
peraturan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b ditetapkan.

Pasal 98
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1967 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2824);
2. Ketentuan yang mengatur kehewanan yang tercantum dalam:
a. peninjauan kembali ketentuan mengenai pengawasan praktik dokter hewan dan
kebijakan kehewanan (Herziening van de bepalingen omtrent het
Veeartsnijkundige staatstoezicht en de Veeartsnijkundige politie, Staatsblad
Tahun 1912 Nomor 432);
b. desentralisasi dari wewenang pusat sesuai dengan ketentuan dalam Staatsblad
Tahun 1914 Nomor 486, membuka kemungkinan pelimpahan pelaksanaan kepada
tiap-tiap kepala daerah untuk penanggulangan penyakit hewan menular pada
hewan ternak dan gedung yang menjadi sarang tikus (Decenstralisatie

RPH 158 CIKAMPEK


gemeenteraden. Besmettelijke ziekten. Pestgevaarlijke gebouwen. Openstejling
van de mogelijkheid om aan de gemednteraden over te dragen de uitvoering van
de bij de ordonnantie in Staatsblad Tahun 1914 nomor 486 vastgestelde regelen,
Staatsblad Tahun 1916 Nomor 656); (cek dg Engelbrecht);
c. perubahan dan tambahan atas tambahan pada Staatsblad Tahun 1912 nomor 432
yang mengatur tentang polisi khusus dinas kedokteran hewan (Nadere wijziging
en aanvulling van het reglementen op het veeartsnijkundige staatstoezicht en de
veeartsnijkundige politie in Nederlandsch-Indie (staatsblad Tahun 1912 Nomor
432), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 163);
d. ketentuan baru mengenai pengenalan dan pemberantasan mewabahnya rabies
(Nieuwe bepalingen tervoorkeming en bestrijding van hondolsheids (rabies) in
Nederlandsch Indie (Hondolsheids Ordonnantie 1926), Staatsblad Tahun 1926
Nomor 451);
e. pelimpahan sebagian kegiatan pemerintah pusat kepada provinsi mengenai dinas
kehewanan sipil dan polisi khusus kehewanan (Overdracht van een deel der
overheidsbemoeienis met den burgelijke veeartsnijkundige dienst provincien,
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 569);
f. tambahan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1926 Nomor 452
mengenai pemberantasan atau pembasmian penyakit anjing gila (rabies)
(Veeartsnijkundige. Dienst. Politie. Reglementen, Staatsblad Tahun 1928 Nomor
52);
g. untuk polisi khusus kehewanan, petunjuk mengenai pemotongan hewan,
pemotongan hewan besar betina bertanduk yang tercantum dalam peraturan
pemerintah tahun 1936 mengenai hewan besar betina bertanduk (Wijziging van de
bepalingen inzake het slachten op doen slachten van vrouwelijk groothoornvee
("Slacht Ordonantie Vroutvelijke Groothoornvee 1936”), Staatsblad Tahun 1936
Nomor 614);
h. perubahan terhadap peraturan mengenai campur tangan pemerintah dalam dinas
kehewanan, polisi kehewanan, dan ordonansi tentang penyakit anjing gila (rabies)
(Wijziging van het reglement op de veeartsnijkundige overheidsbemoeienis en de
veeartsnijkundige politie en van de hondolsheid ordonnantie, Staatsblad Tahun
1936 Nomor 715);
i. desentralisasi untuk dinas kehewanan di daerah seberang (Decentralisatie.
Veeartsnijkundige dientst. Buitengewesten, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 512);
dan
j. perubahan terhadap peraturan mengenai campur tangan pemerintah pada dinas
kehewanan dan polisi kehewanan, (Wijziging van het reglement op de
veeartsnijkundige overheidsbemoienis en de veeartsnijkundige politie, Staatsblad
Tahun 1937 Nomor 513); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 99
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

RPH 159 CIKAMPEK


ttd.
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 84

RPH 160 CIKAMPEK


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2009
TENTANG
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

I. UMUM
Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan
keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya
hewan dan tumbuhan, sebagai anugerah sekaligus amanah Tuhan Yang Maha Esa.
Kekayaan tersebut perlu dimanfaatkan dan dilestarikan dalam mewujudkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam rangka memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati tersebut
diselenggarakan peternakan dan kesehatan hewan secara sendiri maupun terintegrasi
dengan budi daya tanaman pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan; dengan
pendekatan sistem agrobisnis peternakan dan sistem kesehatan hewan; serta
penerapan asas kemanfaatan dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan
dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan
keprofesionalan.
Kedua hal tersebut harus diselenggarakan secara sinergis untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas sumber daya hewan; menyediakan pangan yang aman, sehat,
utuh, dan halal; meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan;
menyediakan jasa dan bahan baku industri; mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi; meningkatkan pendapatan dan devisa negara; memperluas kesempatan
berusaha dan kesempatan kerja; serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peternakan perlu dikembangkan wawasan
dan paradigma baru di bidang peternakan agar investasi, inovasi, dan pemberdayaan
di bidang peternakan terus berlanjut dan meningkat sehingga meningkatkan daya
saing bangsa dan kesetaraan dengan bangsa lain yang lebih maju.
Untuk menunjang keberhasilan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan
diatur juga mengenai pemberdayaan peternak, perusahaan peternakan dan pelayanan
kesehatan hewan, pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan
pengembangan, serta sumber daya permodalan.
Disadari bahwa pengaturan dalam Undang-Undang ini belum sepenuhnya mencakup
aspek kehewanan dalam arti luas. Jangkauan pengaturan baru pada hewan budi daya,
yaitu ternak, hewan kesayangan, dan hewan laboratorium. Untuk itulah diperlukan
suatu undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai aspek kehewanan secara
komprehensif termasuk pengaturan praktik kedokteran hewan (veteriner).
Selain upaya tersebut, dalam menciptakan suasana yang kondusif dalam
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, dikembangkan sistem jaminan
penegakan hukum berupa pengenaan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi
pidana, terhadap perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian negara atau
kepentingan orang banyak.
Pembentukan Undang-Undang ini juga mempertimbangkan komitmen Indonesia
untuk melakukan penyesuaian dan penyetaraan peraturan perundang-undangan
dengan ketentuan konvensi internasional. Misalnya, General Agreement on Trade
and Tariffs (GATT), khususnya tentang Agreement on the Application of Sanitary
and Phytosanitary Measures (SPS) yang mengatur tentang impor dan ekspor produk
hewan dan perlindungan terhadap kehidupan atau kesehatan manusia, hewan,
tanaman, dan lingkungan.
Di samping itu, dalam menyusun Undang-Undang ini dipertimbangkan pula semua
produk undang- undang yang telah diundangkan meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;

RPH 161 CIKAMPEK


3. Undang Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Covention on
Biological Diversity (CBD);
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Estabilishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juncto Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004;
12. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
13. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kartagena;
14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
15. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
16. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
17. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan; dan
18. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Sejalan dengan hal tersebut di atas dan untuk melakukan unifikasi hukum khususnya
yang terkait dengan peternakan dan kesehatan hewan serta untuk menjawab
kebutuhan dan perkembangan zaman, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan berbagai
Ordonnantie peninggalan Pemerintah Hindia Belanda perlu diganti dengan undang-
undang yang baru di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang dapat memberikan
kepastian hukum, keadilan, dan ketenteraman batin masyarakat dalam
penyelenggaraan semua kegiatan yang berkaitan dengan peternakan dan kesehatan
hewan.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan asas "kemanfaatan dan keberlanjutan" adalah
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dapat meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan mengupayakan kelestarian
fungsi lingkungan hidup dan memerhatikan kondisi sosial budaya.
Yang dimaksud dengan asas "keamanan dan kesehatan" adalah
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan harus menjamin produknya
aman, layak untuk dikonsumsi, dan menjamin ketenteraman batin masyarakat.
Yang dimaksud dengan asas "kerakyatan dan keadilan" adalah
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan memberikan peluang dan
kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai
dengan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh
rakyat. Oleh karena itu, dalam memberikan izin harus dicegah terjadinya
praktik monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.
Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan dan keterpaduan" adalah
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan
memerhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan ketersediaan
informasi yang dapat diakses oleh masyarakat serta dilaksanakan secara

RPH 162 CIKAMPEK


terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya meningkatkan efisiensi dan
produktivitasnya.
Yang dimaksud dengan asas "kemandirian" adalah penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan mengutamakan
penggunaan bahan, sarana produksi, dan sarana pendukung lainnya dari dalam
negeri untuk mencapai penyediaan ternak dan produk hewan bagi masyarakat.
Yang dimaksud dengan asas "kemitraan" adalah penyelenggaraan peternakan
dan kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan kekuatan jejaring pelaku
usaha dan sumber daya yang mempertimbangkan aspek kesetaraan dalam
berusaha secara proporsional.
Yang dimaksud dengan asas "keprofesionalan" adalah penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan dilakukan melalui pendekatan kompetensi
dan berorientasi pada kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pangan" adalah produk hewan yang dapat
dikonsumsi, diantaranya, telur, daging, susu, madu beserta turunannya.
Yang dimaksud dengan "barang" adalah produk hewan yang digunakan untuk
bahan baku industri, di antaranya, kulit, tanduk, tulang, kuku, bulu, darah,
serta kotoran ternak atau feses beserta turunannya.
Yang dimaksud dengan "jasa" adalah penggunaan tenaga ternak untuk
kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya, di antaranya, kegiatan usaha tani,
pariwisata, olahraga, hobi.
Yang dimaksud dengan "menuju pencapaian ketahanan pangan nasional"
adalah peningkatan komitmen pelaku di bidang peternakan dan kesehatan
hewan yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "ancaman" antara lain yaitu penyakit hewan, cemaran
biologik, kimiawi, fisik, maupun salah kelola (missmanagement) dan salah
urus (missconduct) dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan "lahan yang memenuhi persyaratan teknis" adalah
hamparan tanah yang sesuai dengan keperluan budi daya ternak, antara lain,
tersedianya sumber air, topografi, agroklimat, dan bebas dari bakteri patogen yang
membahayakan ternak.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan" adala h kegiatan yang terkait dengan peningkatan
pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
inovasi di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "mempertahankan keberadaan dan kemanfataannya
secara keberlanjutan" adalah upaya yang perlu dilakukan oleh kabupaten/kota
untuk memasukkan kawasan penggembalaan dalam program pembangunan
daerah.

RPH 163 CIKAMPEK


Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kastrasi" adalah tindakan mencegah berfungsinya
testis dengan jalan menghilangkannya atau menghambat fungsinya.
Yang dimaksud dengan "Inseminasi buatan" adalah teknik memasukkan
mani atau semen ke dalam alat reproduksi ternak betina sehat untuk dapat
membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi denga n tujuan
agar ternak bunting.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "penetapan lahan sebagai kawasan penggembalaan
umum" yaitu upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota untuk menyediakan lahan pengge mbalaan umum, antara lain,
misalnya tanah pangonan, tanah titisara atau tanah kas desa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Ketentuan persyaratan baku mutu air dimaksudkan untuk menjamin mutu,
keamanan pangan asal hewan dan kesehatan ternak yang dibudidayakan, serta
menghindari cemaran mikroba dan bahan kimia pada produk hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" adalah Negara sebagai badan
hukum publik mempunyai kewenangan untuk mengatur pemanfaatan dan
pelestarian sumber daya genetik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "konservasi dalam habitatnya" (in situ) adalah semua
kegiatan untuk mempertahankan populasi hewan di dalam habitatnya.
Yang dimaksud dengan "konservasi diluar habitatnya" (ex situ) adalah semua
kegiatan untuk mempertahankan populasi hewan di luar habitatnya dalam
berbagai bentuk yaitu hewan hidup, gen, DNA, genom, mani, sel telur, embrio
atau jaringan, yang dapat digunakan untuk membentuk genotipe baru.
Yang dimaksud dengan "upaya lain dari pelestarian sumber daya genetik"
adalah kegiatan pelestarian yang dilakukan, antara lain, melalui penyimpanan
dingin (cryo conservation).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pemanfaatan sumber daya genetik" yaitu penggunaan
material genetik hewan, seperti Deoxyrebose Nucleic Acid (DNA) dan

RPH 164 CIKAMPEK


molekul lainnya (bukan hewan itu sendiri) untuk menghasilkan produk yang
bernilai ekonomis tinggi (bioprospecting).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penggunaan bagian keuntungan dari hasil
pemanfaatan sumber daya genetik" adalah upaya dalam menunjang konservasi
sumber daya genetik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang
membudidayakan sumber daya genetik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "masyarakat" yaitu peternak, kelompok peternak, atau
gabungan kelompok peternak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "wajib melindungi" adalah menjamin keberlanjutan
usaha, terutama usaha peternakan skala kecil dan menengah yang berbasis
sumber daya lokal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "mengutamakan produksi dalam negeri” adalah upaya
pemanfaatan sumber daya genetik asli Indonesia, misalnya ternak rumpun
murni dan silangan, baik dalam bentuk ternak komposit maupun hibrida.
Yang dimaksud dengan "mengutamakan kemampuan ekonomi kerakyatan"
yaitu upaya pembibitan, pembenihan, produksi bakalan yang dilakukan secara
langsung dan/atau tidak langsung oleh rakyat, misalnya, pusat pembibitan
perdesaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "melibatkan peran serta masyarakat" adalah upaya.
untuk memberikan peluang berusaha dalam penyediaan benih, bibit, dan/atau
bakalan yang bersertifikat.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "unit pembenihan atau pembibitan" antara lain, Balai
Pembibitan Ternak Unggul, Balai Inseminasi Buatan, dan Balai Embrio
Ternak.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "ciri-ciri keunggulan tertentu" adalah antara lain
memiliki kemampuan produksi dan reproduksi yang tinggi dan tahan terhadap
penyakit.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "wilayah sumber bibit ternak" adalah wilayah
kecamatan, kabupaten, provinsi atau pulau, tergantung pada rumpun, jumlah,
dan sebaran bibit serta kondisi wilayah.
Ayat (3)
Cukup jelas.

RPH 165 CIKAMPEK


Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah kondisi yang
mendesak bagi negara untuk melakukan tindakan yang sifatnya prioritas dan
terbatas.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mutu genetik" adalah ekspresi keunggulan
sifat individu ternak.
Yang dimaksud dengan "keragaman genetik" adalah ekspresi
keunggulan variasi genetik antarindividu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kekurangan benih atau bibit” adalah suatu
kondisi populasi ternak yang tidak aman, yaitu apabila dalam waktu
beberapa tahun mendatang diprediksi populasi jumlah ternak dewasa
menurun, penurunan tersebut rnengganggu ketersediaan benih atau
bibit di dalam negeri.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukupjelas,
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat(1)
Pengeluaran benih dan/atau bibit dari wilayah Indonesia ke luar negeri
dilakukan sepanjang tidak menganggu kelestarian ternak lokal yang dalam
bahaya kepunahan dan yang dilindungi.
Ayat (2)
Cukupjelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bioteknologi modern" adalah aplikasi dari teknik
perekayasaan genetik yang, antara lain, meliputi teknik asam nukleat invitro
dan fusi sel dari dua jenis atau lebih organisme di luar kekerabatan
taksonomis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ternak ruminansia betina produktif adalah
ruminansia besar, yaitu sapi dan kerbau yang melahirkan kurang dari 5 kali
atau berumur di bawah 8 tahun dan ruminansia kecil, yaitu kambing dan
domba yang melahirkan kurang dari 5 kali atau berumur di bawah 4 tahun 6
bulan.
Penentuan ternak ruminansia betina tidak produktif ditentukan oleh tenaga
kesehatan hewan.
Ayat (2)

RPH 166 CIKAMPEK


Kebijakan ini dimaksudkan untuk mempertahankan populasi ternak
ruminansia betina produktif guna memenuhi kecukupan kebutuhan konsumsi
protein hewani dalam negeri.
Ayat (3)
Cukupjelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pakan" meliputi bahan pakan, pakan konsentrat,
tumbuhan pakan, imbuhan pakan, pelengkap pakan, pakan olahan, dan bahan
lain yang dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Yang dimaksud dengan "pakan konsentrat" adalah pakan yang kaya sumber
protein dan atau sumber energi serta dapat mengandung pelengkap pakan dan
atau imbuhan pakan.
Yang dimaksud dengan "tumbuhan pakan" adalah tumbuhan yang tidak
dibudidayakan maupun yang dibudidayakan (tanaman pakan), baik yang
diolah maupun tidak diolah yang dapat dijadikan pakan, seperti rumput dan
legume.
Yang dimaksud dengan "imbuhan pakan (feed additive)" adalah bahan baku
pakan yang tidak mengandung zat gizi atau nutrisi (nutrien), yang tujuan
pemakaiannya terutama untuk tujuan tertentu, seperti xantophyl (untuk
manipulasi warna kuning telur).
Yang dimaksud dengan "pelengkap pakan (feed supplement)" adalah zat yang
secara alami sudah terkandung dalam pakan tetapi jumlahnya perlu
ditingkatkan dengan menambahkannya dalam pakan, seperti asam amino,
vitamin, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan "pakan olahan" adalah pakan yang telah mengalami
proses fisik, kimia atau biologi baik tunggal maupun campuran, seperti silase
dan ransum jadi untuk unggas.
Yang dimaksud dengan "bahan lain" adalah bahan penolong untuk mengolah
bahan baku menjadi pakan, seperti: bahan pengikat dalam pembuatan pelet.
Yang dimaksud dengan "bahan pakan" adalah bahan hasil pertanian,
perikanan, dan peternakan atau bahan lain yang layak digunakan sebagai
pakan baik yang diolah maupun yang belum diolah, seperti: dedak, jagung,
tepung ikan, tepung tulang non ruminansia, dan tepung darah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pakan yang baik" adalah, antara lain, meliputi serat,
karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral baik yang berasal dari
tumbuhan, hewan, jasad renik, dan bahan anorganik dalam bentuk premiks.
Ayat (3)
Premiks merupakan imbuhan pakan atau pelengkap pakan yang pemberiannya
dicampurkan ke dalam pakan atau air minum.
Pasal 20
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar kebijakan ketersediaan pakan menjadi
tanggung jawab bersama antara instansi pertanian, perindustrian,
perdagangan, bea cukai, pengawasan obat dan makanan, dan instansi terkait
lainnya.
Penyediaan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dan pemasukan dari
luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas,
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

RPH 167 CIKAMPEK


Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cara pembuatan pakan yang baik, misalnya dalam hal proses produksi, dan
pembuatan pakan harus menjamin pakan mengandung cemaran biologi, fisik,
kimia di atas ambang batas maksimal yang diperbolehkan, serta
memperhatikan dampak sosial akibat buangan bahan baku dan bahan ikutan
yang digunakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pakan yang dilarang untuk diedarkan yaitu pakan
yang:
1. tidak berlabel;
2. kedaluwarsa;
3. kemasannya rusak, fisiknya rusak, berbau, berubah warna; dan/atau
4. palsu, yaitu tidak memiliki nomor pendaftaran, isi tidak sesuai dengan
label, menggunakan merek orang lain.
Huruf b.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya penyakit sapi gila
(bovine spongiform encephalopathy) atau scrapie pada domba/kambing.
Yang dimaksud dengan ruminansia adalah hewan yang memamah biak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "hormon tertentu" adalah hormon sintetik.
Yang dimaksud dengan "antibiotik", antara lain, chloramphenicol dan
tetracyclin.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar alat dan mesin peternakan memenuhi
persyaratan teknis dari aspek produksi, reproduksi, peningkatan mutu genetik,
termasuk kesehatan masyarakat veteriner, kehalalan, dan kesejahteraan
hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pengujian alat dan mesin peternakan sebelum diedarkan
dimaksudkan untuk memastikan bahwa alat dan mesin tersebut memenuhi
spesifikasi teknis.
Pasal 25
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar pembeli alat dan mesin peternakan tidak
menderita kerugian karena ketiadaan suku cadang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)

RPH 168 CIKAMPEK


Yang dimaksud dengan "diutamakan mengandung suku cadang lokal dan
melibatkan masyarakat dalam alih teknologi" adalah upaya untuk
meningkatkan daya guna dan produktifitas sumber daya lokal serta
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di Indonesia.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan "menghasilkan hewan peliharaan", antara lain,
mendomestikasikan satwa liar menjadi ternak, hewan jasa, hewan
laboratorium, dan hewan kesayangan.
Yang dimaksud dengan "hewan jasa", antara lain, adalah hewan yang
dipelihara untuk memberi jasa kepada manusia untuk menjaga rumah,
melacak tindakan kriminal, membantu melacak korban kecelakaan, dan
sebagai hewan tarik atau hewan beban.
Yang dimaksud dengan "hewan laboratorium" adalah hewan yang dipelihara
khusus sebagai hewan percobaan, penelitian, pengujian, pengajaran, dan
penghasil bahan biomedik ataupun dikembangkan menjadi hewan model
untuk penyakit manusia.
Yang dimaksud dengan "hewan kesayangan" adalah hewan yang dipelihara
khusus sebagai hewan olah raga, kesenangan, dan keindahan.
Ayat (2)
"Kawasan budidaya peternakan" adalah lokasi pengusahaan ternak dalam
suatu wilayah kabupaten/kota yang ditetapkan berdasarkan kesesuaian
agroklimat, ketersediaan sarana dan prasarana, potensi wilayah, dan potensi
pasar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak tertentu", antara lain, Tentara Nasional
Indonesia, kepolisian, lembaga kepabeanan, lembaga penelitian, dan lembaga
pendidikan.
Yang dimaksud dengan "kepentingan khusus", antara lain, kuda untuk
kavaleri, anjing untuk hewan pelacak pelaku kriminal, kelinci untuk
penelitian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Izin usaha peternakan untuk jenis dan jumlah ternak mulai skala tertentu
dimaksudkan untuk pembinaan dan pengawasan usaha peternakan agar sesuai
dengan persyaratan usaha peternakan yang baik dan kesehatan hewan serta
kesehatan masyarakat veteriner.
Ayat 4)
Yang dimaksud dengan "tidak mengganggu ketertiban umum" adalah kegiatan
budi daya ternak dilakukan dengan memerhatikan kaidah agama dan/atau
kepercayaan serta sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat, seperti
harus memenuhi ketentuan Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonnantie).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31

RPH 169 CIKAMPEK


Ayat (1)
Kemitraan usaha tersebut meliputi, antara lain bagi hasil (gaduhan), sewa,
kontrak farming, sumba kontrak, maro bati, inti plasma, atau bentuk lain
sesuai dengan budaya lokal, dan kebiasaan masyarakat setempat.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perusahaan di bidang lain" adalah perusahaan
yang bergerak di sektor hulu, misalnya, usaha pembibitan; atau di sektor
hilir, misalnya, usaha pengolahan hasil ternak seperti industri susu.
Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah semua pihak di luar bidang
peternakan dan kesehatan hewan misalnya perkebunan, perikanan, dan
kehutanan.
Hurufd
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai syarat keamanan hayati hanya berlaku untuk produk
hasil rekayasa genetik.
Yang dimaksud dengan "kaidah etika" dalam pelaksanaan panen hasil budi
daya adalah kesadaran untuk menerapkan asas-asas moral, misalnya
penyortiran anak ayam umur sehari yang tidak memenuhi kriteria tetap
diperlakukan dengan memperhatikan kaidah kesejahteraan hewan.
Yang dimaksud dengan "kaidah estetika" dalam pelaksanaan panen hasil budi
daya adalah kesadaran, untuk menerapkan asas-asas kesesuaian dan
keharmonisan dalam melakukan pemanenan hasil budi daya, misalnya
kesesuaian antara wadah susu dengan susu yang dipanen.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pangan bergizi seimbang" adalah kondisi pangan
yang komposisi protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, dan serat kasar
dalam satu-kesatuan asupan konsumsi sesuai dengan umur, jenis, dan
kebutuhan untuk aktivitas tubuh.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "menciptakan iklim usaha yang sehat", antara lain,
memberikan informasi pasar, serta melakukan survei dan kajian terhadap
monopoli usaha peternakan secara horizontal/vertikal yang dapat
membahayakan kepentingan nasional.

RPH 170 CIKAMPEK


Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Industri pengolahan produk hewan" adalah kegiatan
penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil peternakan yang
ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, dengan
memperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal (asuh).
Yang dimaksud dengan "mengutamakan bahan baku dari dalam negeri",
misalnya, dalam industri pengolahan susu sedapat mungkin menggunakan
susu dari hasil pemerahan sapi perah dalam negeri.
Ayat (2)
Nilai tambah dari kegiatan industri pengolahan hasil peternakan harus dapat
dinikmati secara berkeadilan oleh semua pihak yang terlibat dalam usaha
peternakan, termasuk peternak yang bergerak di bidang budi daya peternakan
melalui berbagai pola kemitraan usaha industri pengolahan hasil peternakan,
misalnya, kemitraan industri pengolahan susu dengan peternak sapi perah
dalam bentuk koperasi dan inti plasma serta kemitraan dengan kalangan
pendidikan untuk meningkatkan usaha dan gizi.
Ayat (3)
Termasuk ketentuan yang diatur adalah keberpihakan industri untuk
menggunakan bahan baku lokal (dalam negeri).
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan "pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan"
adalah tindakan untuk memantau ada tidaknya suatu penyakit hewan tertentu
di suatu pulau atau kawasan pengamanan hayati hewan sebagai langkah awal
dalam rangka kewaspadaan dini.
Yang dimaksud dengan "pencegahan penyakit hewan" adalah tindakan
karantina yang dilakukan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan
dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia atau dari suatu
area ke area lain di dalarn negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan "pengamanan penyakit hewan" adalah tindakan yang
dilakukan dalam upaya perlindungan hewan dan lingkungannya dari penyakit
hewan.
Yang dimaksud dengan "pemberantasan penyakit hewan" adalah tindakan
untuk membebaskan suatu wilayah dan/atau kawasan pengamanan hayati
dan/atau pulau dari penyakit hewan menular yang meliputi usaha penutupan
daerah tertentu terhadap keluar- masuk dan lalu- lintas hewan dan produk
hewan, penanganan hewan tertula r dan bangkai, serta tindakan penanganan
wabah yang meliputi eradikasi penyakit hewan dan depopulasi hewan.
Yang dimaksud dengan "pengobatan penyakit hewan" adalah tindakan untuk
menghilangkan rasa sakit, penyebab sakit, mengoptimalkan kebugaran dan
ketaha nan hewan melalui usaha perbaikan gizi, tindakan transaksi terapetik,
penyediaan dan pemakaian obat hewan, penyediaan sarana dan prasarana,
pengawasan dan pemeriksaan, serta pemantauan dan evaluasi pasca
pengobatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kebijakan kesehatan hewan nasional" adalah
berbagai keputusan otoritas veteriner dan prinsip tindakan yang berbasis pada
keragaman jenis hewan dan lingkungan ekosistem dalam rangka
penyelenggaraan kesehatan hewan.
Pasal 40
Ayat (1)

RPH 171 CIKAMPEK


Yang dimaksud dengan "kegiatan surveilans" adalah pengumpulan data
penyakit berdasarkan pengambilan sampel atau spesimen di lapangan dalam
rangka mengamati penyebaran atau perluasan dan keganasan penyakit. Untuk
melaksanakan kegiatan surveilans dan penyidikan ini diperlukan
pengidentifikasian hewan.
Yang dimaksud dengan "penyidikan" adalah kegiatan untuk menelusuri asal,
sumber, dan penyebab penyakit hewan dalam kaitannya dengan hubungan
antara induk semang dan lingkungan.
Ayat (2)
Menteri dalam menetapkan jenis, peta, dan status situasi penyakit hewan
didasarkan pada kajian epidemiologis dan analisis risiko yang dilakukan oleh
otoritas veteriner.
Yang dimaksud dengan "penyakit eksotik" adalah penyakit yang belum
pernah ada di wilayah atau daerah tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Menteri dalam menetapkan laboratorium berdasarkan pada kriteria:
a. keberadaan sumber daya manusia yang kompeten;
b. sarana dan prasarana laboratorium yang memadai; dan
c. metodologi yang sahih.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Yang dimaksud dengan "karantina hewan" adalah tindakan sebagai upaya
pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan dari luar negeri dan
dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
Pasal 42
Ayat(1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "biosafety" adalah kondisi dan upaya untuk
melindungi personel atau operator serta lingkungan laboratorium dan
sekitarnya dari agen penyakit hewan dengan cara menyusun protokol
khusus, menggunakan peralatan pendukung, dan menyusun desain fasilitas
pendukung.
Yang dimaksud dengan "biosecurity" adalah kondisi dan upaya untuk
memutuskan rantai masuknya agen penyakit ke induk semang dan/atau
untuk menjaga agen penyakit yang disimpan dan diisolasi dalam suatu
laboratorium tidak mengontaminasi atau tidak disalahgunakan, misalnya,
untuk tujuan bioterorisme.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pengebalan hewan" adalah vaksinasi, imunisasi
(pemberian antisera), peningkatan status gizi dan hal lain ya ng mampu
meningkatkan kekebalan hewan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "di luar wilayah kerja karantina" adalah pelabuhan
laut, sungai, dan perbatasan negara yang belum menjadi wilayah kerja
karantina dan dapat berpotensi sebagai tempat pemasukan dan
pengeluaran lalu lintas hewan dan produk hewan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "kesiagaan darurat veteriner" adalah tindakan
antisipatif dalam menghadapi ancaman penyakit hewan menular eksotik.

RPH 172 CIKAMPEK


Huruf g
Yang dimaksud dengan "kewaspadaan dini" adalah tindakan pengamatan
penyakit secara cepat (early detection), pelaporan terjadinya tanda
munculnya penyakit secara cepat (early reporting), dan pengamanan
secara awal (early response) termasuk membangun kesadaran masyarakat.
Ayat (2)
Pedoman pengamanan penyakit hewan mencakup seluruh ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Menteri dalam mengatur pengamanan terhadap penyakit hewan memerhatikan
ketentuan yang mengatur karantina hewan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kawasan pengamanan bebas penyakit hewan" adalah
kawasan sentra produksi dan/atau konservasi yang telah dinyatakan bebas
oleh Menteri dan perlu diamankan atau dipertahankan sebagai kawasan bebas
penyakit hewan.
Dalam menetapkan kawasan pengamanan hayati hewan juga dijelaskan
bentuk atau pola manajemen kawasan ya ng akan dilaksanakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan persyaratan teknis kesehatan hewan dimaksudkan untuk dapat
menelusuri kegiatan pengamanan dalam rangka pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar peternak, pemilik hewan, dan perusahaan
peternakan menyadari bahwa pencegahan penyakit hewan menular yang tidak
strategis menjadi tanggung jawab masyarakat.
Pengamanan terhadap penyakit hewan selain penyakit hewan menular
strategis yang dilakukan oleh masyarakat dimaksudkan untuk efisiensi dan
efektivitas.
Ayat (4)
Sudah sewajarnya peternak, pemilik hewan, atau perusahaan peternakan
dibebani kewajiban untuk mencegah penyakit hewan karena kesehatan
menjadi tangung jawabnya. Tugas pemerintah sifatnya membantu dan
memfasilitasi.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penutupan daerah" adalah penetapan daerah wabah
sebagai kawasan karantina.
Yang dimaksud dengan "pengeradikasian penyakit hewan" adalah tindakan
pembasmian penyakit hewan, seperti pembakaran, penyemprotan desinfektan,
dan penggunaan bahan kimia lainnya untuk menghilangkan sumber penyakit.
Yang dimaksud dengan "pendepopulasian hewan" adalah tindakan
mengurangi dan/atau meniadakan jumlah hewan dalam rangka mengendalikan
dan penanggulangan penyakit hewan, menjaga keseimbangan rasio hewan
jantan dan betina, dan menjaga daya dukung habitat. Depopulasi meliputi
kegiatan (a) pemotongan terhadap hewan yang tidak lolos seleksi teknis
kesehatan hewan, (b) pemotongan hewan bersyarat (test and slaughter), (c)
pemusnahan populasi hewan di areal tertentu (stamping-out), (d)
pengeliminasian hewan yang terjangkit dan/atau tersangka pembawa penyakit

RPH 173 CIKAMPEK


hewan, dan (e) pengeutanasian hewan yang tidak mungkin disembuhkan dari
penyakit untuk mengurangi penderitaannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "status konservasi hewan" adalah kondisi populasi
jenis hewan tertentu yang terancam punah sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya serta Convention in Trade of Wild Fauna and Flora of
Endangered Species (CITES).
Tindakan pemusnahan hewan langka dan/atau yang dilindungi yang tertular
oleh penyakit hewan menular eksotik dilakukan oleh otoritas veteriner melalui
koordinasi dengan instansi yang berwenang di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya. Pengecualian dapat diberikan untuk
menghindari kepunahan spesies hewan tersebut di satu pihak dan dilakukan
dengan cara yang menjamin penyakit hewan menular eksotik tersebut tidak
akan menyebar ke hewan lainnya di lain pihak.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "tidak memberikan kompensasi" ditujukan kepada
hewan yang tertular penyakit hewan menular eksotik.
Ketentuan ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui bahwa
pendepopulasian hewan yang positif terinfeksi penyakit hewan menular
strategis tidak mendapatkan kompensasi rnengingat hewan tersebut dipastikan
akan mati.
Ayat (4)
Yang maksud dengan "pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan
sehat" adalah jika penyakit tersebut bukan penyakit hewan menular eksotik,
contohnya dalam pemberantasan brucellosis dan anthrax.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat(1)
Penyakit hewan menular yang wajib dilaporkan antara lain antraks,
Septicemia Epizoties (SE), Brucelosis, Avian Influenza (AI), tetelo (New
Castle Disease), Hog Cholera, Rabies.
Ayat (2)
Dalam menyusun pedoman pemberantasan penyakit hewan menular, Menteri
bersama otoritas veteriner memerhatikan: (a) ketentuan dari Organisasi Dunia
untuk Kesehatan Hewan (World Organization For Animal Health); (b)
perkembangan penyakit hewan menular yang terjadi di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau dengan; (c) perbandingan langkah-
langkah dan harmonisasi penanganan penyakit hewan menular oleh negara
lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Ketentuan wilayah meliputi wilayah administrasi (desa, kelurahan, kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi, dan negara), wilayah kepulauan, dan zonasi populasi
hewan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "ketentuan penutupan daerah" adalah penutupan dari
lalu lintas hewan dan produk hewan yang menjadi media pembawa penyakit
hewan dimaksud.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)

RPH 174 CIKAMPEK


Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pelarangan pemasukan atau pengeluaran hewan, produk hewan dan media
pembawa penyakit hewan lainnya didasarkan pada jenis penyakit dan jenis
hewan yang tertular; misalnya, pada daerah wabah antraks dapat dilakukan
pemasukan dan pengeluaran unggas, atau sebaliknya.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Pasal ini dimaksudkan agar pemilik hewan, peternak, atau perusahaan
peternakan benar-benar bertanggung jawab atas hewan yang sakit; misalnya
dalam pembiayaan pengobatan hewan sakit.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "menggunakan obat keras" contohnya adalah obat
yang termasuk dalam obat berbahaya daftar G (Gevaarlijk) dan/atau obat
keras diperingatkan daftar W (Warschuwing).
Yang dimaksud dengan "pengobatan secara parenteral" adalah pemberian obat
menggunakan, antara lain, alat sunt ik, infus, sonde (selang yang dimasukan
melalui mulut atau hidung) dan/atau trokar (alat pelubang perut).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "visum" adalah keterangan tertulis yang menyatakan
kondisi, diagnosis, dan prognosis penyakit hewan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan "sediaan biologik" adalah obat hewan yang dihasilkan
melalui proses biologik pada hewan atau jaringan hewan untuk menimbulkan
kekebalan, mendiagnosis suatu penyakit atau menyembuhkan penyakit
melalui proses imunologik, antara lain berupa vaksin, sera (antisera), hasil
rekayasa genetika, dan bahan diagnostika biologik.
Yang dimaksud dengan "sediaan farmakoseutika" adalah obat hewan yang
dihasilkan melalui proses nonbiologik, antara lain, vitamin, hormon, enzim,
antibiotik, dan kemoterapetik lainnya, antihistamin, antipiretik, dan anestetik
yang dipakai berdasarkan daya kerja farmakologi.
Yang dimaksud dengan "sediaan premiks" adalah obat hewan yang dijadikan
imbuhan pakan atau pelengkap pakan hewan yang pemberiannya dicampurkan
ke dalam pakan atau air minum hewan.
Yang dimaksud dengan "sediaan obat alami" adalah bahan atau ramuan bahan
alami yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang digunakan sebagai obat
hewan. Golongan obat alami meliputi obat asli Indonesia maupun obat asli
dari negara lain untuk hewan yang tidak mengandung zat kimia sintetis dan
belum ada data klinis serta tidak termasuk narkotika atau obat keras dan
khasiat serta kegunaannya diketahui secara empirik.
Ayat (2)

RPH 175 CIKAMPEK


Yang dimaksud dengan "obat keras" adalah obat hewan yang bila
pemakaiannya tidak sesuai dengan ketentuan dapat menimbulkan bahaya bagi
hewan dan/atau manus ia yang mengonsumsi produk hewan tersebut.
Yang dimaksud dengan "obat bebas terbatas" adalah obat keras untuk hewan
yang diberlakukan sebagai obat bebas untuk jenis hewan tertentu dengan
ketentuan disediakan dalam jumlah, aturan dosis, bentuk sediaan dan cara
pemakaian tertentu serta diberi tanda peringatan khusus.
Yang dimaksud dengan "obat bebas" adalah obat hewan yang dapat dipakai
pada hewan secara bebas tanpa resep dokter hewan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "biang isolat (master seed)" adalah mikroorganisme
patogen yang disimpan dan digunakan sebagai bibit induk (biang) untuk
pembuatan obat hewan sedian biologik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "obat hewan tertentu" adalah obat hewan yang
mengakibatkan terjadinya residu pada produk hewan dan mengakibatkan
gangguan kesehatan pada orang yang mengonsumsi produk hewan tersebut,
contohnya adalah Chlorampenicol, Dihydro-streptomycin (DHS), dan
Dietilstilbestrol (DES).
Ayat (4)
Dalam menetapkan Peraturan Menteri mengenai jenis obat hewan tertentu,
pembuatan, penyediaan, penggunaan, peredaran, dan pengawasan obat hewan
terutama klasifikasi obat keras harus memperhatikan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang obat keras.
Pasal 52
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "tidak memenuhi standar mutu", yaitu, antara lain,
kedaluwarsa dan/atau telah rusak atau mengalami perubahan fisik,
kimiawi, dan biologik.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)

RPH 176 CIKAMPEK


Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "kepentingan nasional" yaitu kecukupan kebutuhan
dalam negeri dalam rangka pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
serta pelayanan kesehatan hewan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Pengawasan alat dan mesin kesehatan hewan dimaksudkan untuk menjamin
keamanan dan mutu pembuatan, produksi, penyediaan, peredaran, dan
penggunaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud "pelayanan purnajual", adalah pelayanan perbaikan,
penyediaan suku cadang, dan/atau pelatihan.
Yang dimaksud "alih teknologi" adalah proses transformasi ilmu pengetahuan
dan teknologi dari inventor atau produsen kepada tenaga kesehatan hewan
atau konsumen.
Ayat (4)
Dalam menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai jenis obat hewan tertentu,
pembuatan, penyediaan, penggunaan, peredaran, dan pengawasan obat hewan
terutama klasifikasi obat keras harus memperhatikan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang obat keras.
Pasal 56
Huruf a
Yang dimaksud dengan "zoonosis", jenisnya, antara lain, rabies, antrakss,
avian influenza, salmonellosis, leptospirosis, dan toksoplasmosis.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan
kehalalan produk hewan" adalah serangkaian tindakan dan kegiatan untuk
mewujudkan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan.
Yang dimaksud dengan "produk hewan" antara lain, yaitu daging, susu, telur,
serta produk olahannya dan produk hewan lainnya misalnya kulit, bulu,
tulang, tanduk, kuku, serta bahan baku pakan asal hewan.
Yang dimaksud dengan "penjaminan keamanan produk hewan" adalah
pengupayaan dan pengondisian produk hewan yang tidak mengandung bahaya
biologi, kimiawi, dan fisik yang dapat mengganggu kesehatan manusia,
hewan, dan/atau fungsi lingkungan.
Yang dimaksud dengan "penjaminan kesehatan produk hewan" adalah
pengupayaan dan pengond isian pangan asal hewan yang memenuhi
persyaratan nutrisi yang diperlukan untuk kesehatan manusia dan tidak
mengandung bibit penyakit.
Yang dimaksud dengan "penjaminan keutuhan produk hewan" adalah
pengupayaan dan pengondisian pangan asal hewan yang tidak bercampur
dengan produk lain yang tidak sejenis.
Yang dimaksud dengan "penjaminan kehalalan produk hewan" adalah
pengupayaan dan pengondisian produk hewan yang diperoleh sesuai dengan
syariat agama Islam.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penjaminan higiene dan sanitasi" adalah
pengupayaan dan pengondisian untuk mewujudkan lingkungan yang sehat
bagi manusia, hewan, dan produk hewan.
Yang dimaksud dengan "higiene" adalah kondisi lingkungan yang bersih yang
dilakukan dengan cara mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik

RPH 177 CIKAMPEK


patogen dan mengurangi jasad renik lainnya untuk menjaga kesehatan
manusia.
Yang dimaksud dengan "sanitasi" adalah tindakan yang dilakukan terhadap
lingkungan untuk mendukung upaya kesehatan manusia dan hewan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "kedokteran perbandingan (comparative medicine)"
adalah disiplin ilmu kedokteran yang membandingkan persamaan dan
perbedaan hal-hal yang berkaitan dengan proses biologi, fisiologi, patologi,
dan perkembangan penyakit (patogenesis), termasuk respons dari proses
tersebut akibat pengaruh lingkungan, berbagai bentuk perlakuan alamiah
dan/atau perlakuan buatan, yang terjadi pada manusia dan hewan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "penanganan bencana" adalah tindakan terhadap
timbul dan/atau akibat zoonosis yang meluas pada masyarakat dan
mengancam kesejahteraan hewan.
Pasal 57
Ayat (1)
Penetapan prioritas didasarkan pada, antara lain, eksternalitas (tingkat
penularan), morbiditas (angka kesakitan), dan/atau mortalitas (angka
kematian).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "sertiflkat veteriner" adalah surat keterangan yang
dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang yang menyatakan bahwa produk
hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, dan keutuhan.
Yang dimaksud dengan "sertifikat halal" adalah surat keterangan yang
dikeluarkan oleh lembaga penjamin produk halal di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "produk hewan segar" adalah semua bahan yang
berasal dari hewan yang belum diolah untuk keperluan konsumsi,
farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan
kebutuhan dan kemaslahatan manusia, misalnya, daging, telur, susu, dan
tulang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "produk hewan olahan" adalah semua bahan yang
berasal dari hewan yang telah diolah untuk keperluan konsumsi,
farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan

RPH 178 CIKAMPEK


kebutuhan dan kemaslahatan manusia, misalnya, bakso, nugget, dan
daging dalam kaleng.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "zona dalam suatu negara" adalah bagian dari suatu
negara yang mempunyai batas alam, status kesehatan populasi hewan, status
epidemiologik penyakit hewan menular dan efektivitas daya kendali
pelaksanaan otoritas veteriner yang jelas.
Yang dimaksud dengan "memenuhi persyaratan", antara lain, memiliki:
1. hasil analisis risiko penyakit hewan menular, terutama penyakit eksotik
pada negara atau zo na suatu negara, sebagai jaminan keamanan produk
hewan yang akan diekspor ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Analisis risiko juga dapat diterapkan pada rencana pemasukkan hewan.
2. nomor registrasi {establishment numberf untuk unit usaha yang
mengekspor produk hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3. rekomendasi dari otoritas veteriner bahwa importasi produk hewan
dinyatakan aman bagi konsumen, sumber daya hewan, dan lingkungan,
serta tidak mengganggu kepentingan nasional.
4. kesesuaian dengan ketentuan internasional yang relevan, antara lain, dari
badan kesehatan hewan dunia (World Organization for Animal Health,
WOAH) dan/atau Codex Alimentarius Commission (CAC)
Yang dimaksud dengan "tata cara pemasukan produk hewan" adalah
memenuhi ketentuan teknis kesehatan hewan dan peraturan perundang-
undangan di bidang karantina hewan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Persyaratan dan tata cara pemasukkan produk hewan dari luar negeri
didasarkan pada kepentingan nasional dan risiko kemungk inan terbawanya
agen penyakit hewan menular melalui produk hewan dengan tujuan untuk
menjamin produk hewan yang masuk dapat memenuhi kriteria aman, sehat,
utuh, dan halal. Selain itu, juga harus diperhatikan ketentuan Internasional,
antara lain, Badan Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) dan/atau Codex
Alimentarius Comission (CAC).
Yang dimaksud dengan "analisis risiko" adalah proses pengambilan keputusan
teknis kesehatan hewan yang didasarkan pada kaidah ilmiah dan kaidah
keterbukaan publik melalui serangkaian tahapan kegiatan, meliputi,
identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko dan komunikasi
(sosialisasi) risiko.
Ayat (5)
Cukupjelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "nomor kontrol veteriner (NKV)" adalah nomor
registrasi unit usaha produk hewan sebagai bukti telah dipenuhinya
persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan
produk hewan.
Bagi unit usaha produk hewan yang mengedarkan produk hewan segar di
seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memasukkan dari dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau mengeluarkan ke luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki NKV.
Ayat (2)
Cukupjelas.
Pasal 61
Ayat (1)

RPH 179 CIKAMPEK


Yang dimaksud dengan “dagingnya diedarkan” adalah mendistribusikan
daging untuk kepentingan komersial dan nonkomersial seperti pemberian
bantuan kepada warga masyarakat yang membutuhkan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "rumah potong" adalah suatu bangunan atau
kompleks bangunan beserta peralatannya dengan desain yang memenuhi
persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain, sapi, kerbau,
kambing, domba, babi, dan unggas bagi konsumsi masyarakat.
Keharusan memotong hewan di rumah potong dimaksudkan untuk
mencegah zoonosis.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "menjamin ketenteraman batin masyarakat" adalah
pengupayaan dan pengondisian dalam rangka pemenuhan syarat hewan yang
halal untuk dikonsumsi dan tata cara pemotongan hewan tersebut sesuai
dengan syariat agama Islam.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam upaya pencegahan penyakit hewan menular dan/atau zoonosis,
penanganan produk secara higienis dan kaidah kesejahteraan hewan,
pemotongan hewan di luar rumah pemotongan hewan untuk kepentingan hari
besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat harus tetap
memerhatikan kaidah kesehatan masyarakat veteriner.
Pasal 62
Ayat (1)
Kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki rumah potong hewan
dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam
penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan/atau halal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Usaha pemotongan hewan yang diwajibkan memiliki izin usaha dari bupati
atau walikota dapat bersifat milik sendiri atau menyewa rumah potong hewan
milik orang lain.
Pasal 63
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "residu" adalah akumulasi obat atau bahan kimia
dan/ atau metabolitnya dalam jaringan dan organ hewan setelah
pemakaian obat atau bahan kimia secara sengaja untuk pencegahan/
pengobatan, sebagai imbuhan pakan atau secara tidak sengaja
terkontaminasi senyawa tersebut.
Yang dimaksud dengan "cemaran" adalah masuknya atau kejadian adanya
suatu bahaya (hazard) kimia dan/atau mikrobiologi termasuk mikroba
pada produk hewan dan pakan hewan baik langsung maupun tidak
langsung yang dapat menyebabkan produk hewan dan pakan hewan tidak
utuh, sehingga dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan, dan/atau
lingkungan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)

RPH 180 CIKAMPEK


Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas,
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "manusiawi" adalah tindakan yang merujuk pada
etika dan nilai kemanusiaan, seperti tidak melakukan penyiksaan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penganiayaan" adalah tindakan untuk memeroleh
kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memerlakukan hewan
di luar batas kemampuan biologis dan fisiologis hewan, misalnya
pengglonggongan sapi.
Yang dimaksud dengan "penyalahgunaan" adalah tindakan untuk
memeroleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan
memerlakukan hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan
peruntukan atau kegunaan hewan tersebut, misalnya pencabutan kuku
kucing.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan sanksi kepada setiap orang
yang melakukan tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan hewan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hewan yang tidak bertulang belakang yang bisa
merasakan sakit", antara lain, adalah kepiting. Pada dasarnya hewan yang
merasakan sakit adalah hewan yang memiliki susunan saraf pusat dan perifer,
yaitu semua hewan bertulang belakang. Namun, kalangan masyarakat dunia
yang peduli terhadap kesejahteraan hewan memasukkan hewan yang tidak
memiliki tulang belakang, tetapi mempunyai rasa sakit sebagai hewan yang
perlu diperhatikan kesejahteraannya.
Ayat (4)
Termasuk dalam ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri, antara lain,
adalah pengembangan Komite Kesejahteraan Hewan Nasional untuk membina
komisi kesejahteraan hewan laboratorium di berbagai instansi dalam rangka
pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan.
Pasal 67
Penyelenggaraan kesejahteraan hewan dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bersama masyarakat agar disadari bahwa masalah kesejahteraan hewan
merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, pelaksanaan kesejahteraan
hewan diutamakan pada upaya peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat
melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan hewan, masyarakat dapat membentuk kelembagaan yang relevan.

RPH 181 CIKAMPEK


Contohnya, penggunaan hewan laboratorium untuk pendidikan, pelatihan,
penelitian dan pengembangan.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan siskeswanas dimaksudkan agar terwujud totalitas pelaksanaan
otoritas veteriner di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
sebagai wujud bela negara.
Ciri totalitas pelaksanaan siskeswanas dalam otoritas veteriner, antara lain,
mengedepankan mutu, kecepatan, keserentakan, keberlanjutan, ketuntasan,
keselamatan, serta kepentingan nasional.
Pendekatan untuk mencapai totalitas veteriner, antara lain, meliputi
penguatan: (a) kepemimpinan dan manajemen, (b) sumber daya, (c) peran dan
fungsi kelembagaan, (d) jejaring informasi dan komunikasi vertikal-
horisontal, (e) pola hierarki perintah dan rentang-kendali dari pusat sampai ke
daerah, (f) akuntabilitas pengambilan keputusan, (g) relevansi dan program,
(h) keprofesian dan pelayanan, serta (i) dukungan masyarakat luas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan
kesehatan hewan" adalah pemberian kewenangan dalam penyusunan
kebijakan dan pengambilan keputusan tertinggi teknis kesehatan hewan di
instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau instansi lainnya yang
terkait.
Dalam menetapkan dokter hewan berwenang, jika di daerah tersebut tidak
terdapat dokter hewan untuk ditetapkan sebagai dokter hewan berwenang,
Pemerintah Daerah tersebut dapat merekrut dokter hewan berwenang dari dan
melalui koordinasi dengan Pemerintah Daerah lain yang terdekat.
Ayat (4)
Pelimpahan kewenangan Menteri kepada otoritas veteriner dimaksudkan
untuk dapat menerapkan kewenangan tertinggi dalam pengambilan keputusan
di bidang kesehatan hewan yang bersifat nasional dan/atau internasional.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "memberdayakan potensi tenaga kesehatan hewan",
antara lain, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dalam pengendalian
dan penanggulangan penyakit hewan dan zoonosis; penanganan bencana;
pemeriksaan hewan kurban; serta pelayanan masyarakat.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan hewan" yaitu serangkaian
tindakan yang diperlukan, antara lain, untuk:
a. melakukan prognosis dan diagnosis penyakit secara klinis, patologis,
laboratoris, dan/atau epidemiologis;
b. melakukan tindakan transaksi terapeutik berupa konsultasi dan/atau
informasi awal (prior informed-consent) kepada pemilik hewan yang
dilanjutkan dengan beberapa kemungkinan tindakan preventif, koperatif,
kuratif, rehabilitatif, dan promotif dengan menghindari tindakan
malpraktik;
c. melakukan pemeriksaan dan pehgujian keamanan, kesehatan, keutuhan,
dan kehalalan produk hewan;
d. melakukan konfirmasi kepada unit pelayanan kesehatan hewan rujukan
jika diperlukan;

RPH 182 CIKAMPEK


e. menyampaikan data penyakit dan kegiatan pelayanan kepada otoritas
veteriner;
f. menindaklanjuti keputusan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang
berkaitan dengan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
dan/atau kesehatan masyarakat veteriner; dan
g. melakukan pendidikan klien dan/atau pendidikan masyarakat sehubungan
dengan paradigma sehat dan penerapan kaidah kesejahteraan hewan.
Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium veteriner" adalah
layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka
pelayanan kesehatan hewan.
Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan
pengujian veteriner" adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan
pengembangan dalam rangka pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan atau zoonosis, pelaksanaan kesehatan masyarakat veteriner, dan/atau
pengujian mutu obat, residu/cemaran, mutu pakan, mutu bibit/ benih, dan/atau
mutu produk hewan.
Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa medik veteriner" adalah layanan jasa
yang berkaitan dengan kompetensi dokter hewan yang diberikan kepada
masyarakat dalam rangka praktik kedokteran hewan, seperti rumah sakit
hewan, klinik hewan, klinik praktik bersama, klinik rehabilitasi reproduksi
hewan, ambulatori, praktik dokter hewan, dan praktik konsultasi kesehatan
hewan.
Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan
(puskeswan)" adalah layanan jasa medik veteriner yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah. Pelayanan ini dapat bersifat rujukan dan/atau terintegrasi
dengan laboratorium veteriner dan/atau laboratorium pemeriksaan dan
pengujian veteriner.
Ayat (2)
Pemberian izin usaha dari bupati/walikota, selain untuk memenuhi syarat
legalitas dan standar pelayanan minimal, dimaksudkan untuk mensinergikan
pelayanan kesehatan hewan di daerah tersebut dengan siskeswanas melalui
pembinaan otoritas veteriner bekerja sama dengan organisasi profesi
kedokteran hewan setempat.
Apabila cakupan pelayanan kesehatan hewan tersebut meliputi wilayah
provinsi dan/atau lintas provinsi, pemberian izin usaha dari bupati/walikota
tersebut perlu dikonfirmasikan kepada otoritas veteriner tingkat provinsi yang
dimaksud.
Adapun kualifikasi pemberian izin tersebut antara lain pemberian izin:
a. Rumah Sakit Hewan;
b. Praktik Kedokteran Hewan; dan
c. Laboratorium Keswan dan laboratorium Kesmavet yang diselenggarakan
oleh swasta.
Pasal 70
Ayat.(1)
Yang dimaksud dengan "memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan hewan"
adalah tersedianya satu kesatuan adanya tenaga medik veteriner (dokter
hewan dan/atau dokter hewan spesialis) dan berbagai tingkatan kompetensi
tenaga paramedik veteriner yang dibutuhkan di setiap provinsi,
kabupaten/kota, sampai tingkat kecamatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

RPH 183 CIKAMPEK


Pasal71
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kompetensi medik veteriner" adalah kecerdasan
bertindak dan kemampuan mengambil keputusan di bidang kesehatan hewan
dengan mengacu pada perkembangan ilmu kedokteran hewan terkini;
kepentingan tertinggi, klien, pasien masyarakat luas, dan lingkungan; serta
keluhuran sumpah atau janji dan kode etik profesi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di bawah penyeliaan dokter hewan" adalah
pengawasan dokter hewan secara berkelanjutan kepada kinerja tenaga para
medik veteriner dan/atau sarjana kedokteran hewan dalam melaksanakan
urusan kesehatan hewan yang dilakukan berdasarkan acuan otoritas veteriner
dan/atau kesepakatan bersama antara kedua belah pihak dengan
memperhatikan batas-batas kemampuan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "sertifikat kompetensi" adalah keterangan tertulis
yang menjelaskan tingkat penguasaan kemampuan tenaga kesehatan hewan
dalam melaksanakan urusan kesehatan hewan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "kode etik profesi" adalah prinsip moral dan sikap
keprofesionalan yang selalu dijaga oleh tenaga kesehatan hewan ketika
berinteraksi dengan pasien, klien, sesama tenaga kesehatan hewan,
masyarakat, otoritas veteriner, pemerintahan, dan/atau lingkungannya.
Yang dimaksud dengan "sumpah atau janji profesi" adalah pernyataan
sungguh-sungguh dokter hewan di depan pemuka agama, organisasi profesi
kedokteran hewan dan saksi lainnya untuk memegang teguh prinsip moral dan
sikap keprofesionalan selama menjalankan profesinya.
Masing- masing strata tenaga kesehatan hewan memiliki kode etik profesi,
sedangkan sumpah atau janji profesi berlaku hanya untuk dokter hewan.
Pasal 72
Ayat (1)
Surat ijin praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh bupati/walikota
adalah berupa Surat Tanda Registrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk ketentuan surat ijin praktik kesehatan hewan untuk tenaga
kesehatan hewan asing, antara lain, adalah penguasaan terhadap kemampuan
berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dan kemampuan menguasai
penyakit hewan tropika.
Pasal 73
Ayat (1)
Ketentuan tentang medik reproduksi dimaksudkan untuk mempercepat
peningkatan kualitas dan populasi hewan melalui intervensi kedokteran
reproduksi, penanganan kebidanan, pencegahan dan penanggulangan kasus-
kasus kemajiran, serta pengaturan perkembangan dan keseimbangan populasi
hewan.
Ketentuan tentang medik konservasi dimaksudkan. Untuk mempercepat
peningkatan upaya pelestarian jenis, populasi dan habitat satwa liar Indonesia
melalui intervensi medik veteriner, memetakan status medik konservasi dan
epidemiologik satwa liar Indonesia, mengantisipasi munculnya penyakit
hewan baru yang berasal dari satwa liar Indonesia, serta memantapkan
manajemen medik konservasi pada lembaga-lembaga konservasi.
Ketentuan tentang forensik veteriner dimaksudkan untuk mengantisipasi
penanganan kasus kejahatan yang berkaitan dengan hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

RPH 184 CIKAMPEK


Pasal 74
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukupjelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "etika hewan" sebagai terjemahan dari kata
bioethic, adalah penerapan prinsip moral, keintelektualan dan
keprofesionalan dalam memperlakukan entitas hewan baik secara utuh,
secara holisitik dengan lingkungannya, maupun secara sebagian, seperti
sel, jaringan, atau organ.
Yang dimaksud dengan "etika kedokteran hewan" adalali penerapan
prinsip moral, keintelektualan, keprofesionalan dan prinsip medis dalam
mengaplikasikan ilmu dan teknologi kedokteran hewan.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan "aparat" adalah pegawai negeri baik struktural
maupun fungsional, pusat maupun daerah, termasuk penyuluh peternakan dan
kesehatan hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "metode pengembangan lainnya" antara lain,
permagangan dan sekolah lapang.
Pengembangan sumber daya manusia peternakan bertujuan, antara lain,
untuk meningkatkan keterampilan, profesionalisme, kewirausahaan,
kerjasama, dan meningkatkan dedikasi.
Yang dimaksud dengan "memperhatikan budaya masyarakat" adalah
menghargai kearifan tradisional dan budaya lokal sehingga peningkatan
kualitas sumber daya manusia berikut penerapan teknologi untuk
pengembangan usaha peternakan dan kesehatan hewan di suatu wilayah
dapat bersinergi dengan kebiasaan, tradisi, adat, agama, dan budaya
setempat sehingga dapat diterima oleh masyarakat agar mencapai hasil
yang optimal.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "institusi pendidikan" antara lain, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, dan perorangan.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "penyuluhan peternakan dan kesehatan hewan" adalah
salah satu upaya pemberdayaan peternak yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan mengubah sikap serta perilakunya yang
dilaksanakan, antara lain, melalui pendidikan nonformal.

RPH 185 CIKAMPEK


Pasal 82
Yang dimaksud dengan "rekayasa genetik" adalah segala upaya untuk
mengadakan perubahan secara sengaja pada genom mahluk hidup dengan
menambah, mengurangi, dan/atau mengubah susunan asli genom dengan
menggunakan teknik asam nukleat deoksiribose (Deoxyribose Nucleic Acid/DNA)
rekombinan.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5015

RPH 186 CIKAMPEK


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 95 TAHUN 2012012
TENTANG
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 65 dan untuk memberikan
pengaturan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan
Hewan;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT
VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


1. Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan
dengan Hewan dan produk Hewan yang secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
2. Kesejahteraan Hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan
keadaan fisik dan mental Hewan menurut ukuran perilaku alami Hewan
yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi Hewan dari
perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap Hewan yang
dimanfaatkan manusia.
3. Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan Hewan dan
penyakit Hewan.
4. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus
hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara
maupun yang di habitatnya.
5. Halal adalah suatu kondisi produk Hewan atau tindakan yang telah
dinyatakan Halal sesuai dengan syariat Islam.
6. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari Hewan kepada manusia
atau sebaliknya.
7. Dokter Hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran
Hewan, sertifikat kompetensi, dan kewenangan medik Veteriner dalam
melaksanakan penyelenggaraan kesehatan Hewan.
8. Dokter Hewan Berwenang adalah Dokter Hewan pemerintah yang ditunjuk
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka
penyelenggaraan kesehatan Hewan.
9. Unit Usaha adalah suatu tempat untuk menjalankan kegiatan
memproduksi, menangani, mengedarkan, menyimpan, menjual,

RPH 187 CIKAMPEK


menjajakan, memasukkan dan/atau mengeluarkan Hewan dan produk
Hewan secara teratur dan terus menerus untuk tujuan komersial.
10. Higiene adalah seluruh kondisi atau tindakan untuk meningkatkan
kesehatan.
11. Sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan
atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai
perpindahan penyakit tersebut.
12. Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis adalah serangkaian upaya
yang meliputi penetapan Zoonosis prioritas, manajemen risiko, kesiagaan
darurat, Pemberantasan Zoonosis, dan partisipasi masyarakat dengan
memperhatikan kesehatan lingkungan dan Kesejahteraan Hewan.
13. Pengawasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menjamin
dan memelihara penyelenggaraan Kesehatan Masyarakat Veteriner yang
terkendali.
14. Pemotongan Hewan adalah serangkaian kegiatan di rumah potong Hewan
yang meliputi penerimaan Hewan, pengistirahatan, pemeriksaan kesehatan
Hewan sebelum dipotong, pemotongan/penyembelihan, pemeriksaan
kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan dipotong, dengan
memperhatikan Higiene dan Sanitasi, Kesejahteraan Hewan, serta
kehalalan bagi yang dipersyaratkan.
15. Otoritas Veteriner adalah kelembagaan Pemerintah dan/atau kelembagaan
yang dibentuk Pemerintah untuk mengambil keputusan tertinggi yang
bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesionalan dokter
hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi mulai dari
mengindentifikasikan masalah, menentukan kebijakan,
mengkoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan
teknis operasional di lapangan.
16. Sertifikat Nomor Kontrol Veteriner yang selanjutnya disebut Nomor Kontrol
Veteriner adalah sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah
dipenuhinya persyaratan Higiene dan Sanitasi sebagai jaminan keamanan
produk Hewan pada Unit Usaha produk Hewan.
17. Peredaran Produk Hewan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan dalam rangka penyaluran produk Hewan yang diproduksi di
dalam negeri atau asal Pemasukan dari luar negeri kepada masyarakat,
untuk tujuan komersial dan nonkomersial.
18. Pengujian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menguji
keamanan dan mutu produk Hewan terhadap unsur bahaya (hazards) dan
cemaran.
19. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, dan
merevisi standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan
semua pihak.
20. Sertifikasi Produk Hewan adalah serangkaian kegiatan penerbitan sertifikat
terhadap produk Hewan sebagai jaminan bahwa produk Hewan telah
memenuhi persyaratan Higiene dan Sanitasi dan keamanan produk
Hewan.
21. Registrasi adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh nomor
Registrasi produk Hewan berupa pangan segar asal Hewan yang dikemas
untuk diedarkan serta telah memenuhi persyaratan administrasi dan
teknis.
22. Pemasukan adalah kegiatan memasukkan produk Hewan dari luar negeri
ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
23. Pengeluaran adalah kegiatan mengeluarkan produk Hewan ke luar negeri
dari dalam wilayah negara Republik Indonesia.
24. Sertifikat Veteriner adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh Otoritas
Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner atau laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner terakreditasi untuk menyatakan produk
Hewan telah memenuhi persyaratan Higiene dan Sanitasi serta keamanan
produk Hewan.
25. Pangan Olahan Asal Hewan adalah makanan atau minuman yang berasal
dari produk Hewan yang diproses dengan cara atau metode tertentu
dengan atau tanpa bahan tambahan.

RPH 188 CIKAMPEK


26. Satwa Liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau
udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun
yang dipelihara oleh manusia.
27. Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah Dokter Hewan
Berwenang yang telah mengikuti pelatihan di bidang Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan ditugaskan sebagai Pengawas Kesehatan
Masyarakat Veteriner.
28. Laboratorium Veteriner adalah laboratorium yang mempunyai tugas dan
fungsi pelayanan dalam bidang pengendalian dan penanggulangan
penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.
29. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk
tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak
yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan,
keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman perkembangan masa kini
dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya.
30. Pemberantasan Zoonosis adalah tindakan membebaskan suatu daerah dari
Zoonosis yang telah ditetapkan.
31. Pengamatan Zoonosis adalah pemantauan yang dilakukan secara terus
menerus untuk mendapatkan status dan situasi Zoonosis di suatu daerah.
32. Wabah Zoonosis adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit zoonotik
pada populasi Hewan dan/atau masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu atau munculnya kasus penyakit zoonotik baru
di daerah bebas.
33. Bencana Alam adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa karena
perubahan iklim global, gempa bumi, banjir, tsunami, kekeringan,
dan/atau gunung meletus yang mengakibatkan kerugian bagi peternak.
34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.
35. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.

Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
a. Kesehatan Masyarakat Veteriner;
b. Kesejahteraan Hewan; dan
c. penanganan Hewan akibat Bencana Alam.

BAB II
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3
(1) Kesehatan Masyarakat Veteriner meliputi:
a. penjaminan Higiene dan Sanitasi;
b. penjaminan produk Hewan; dan
c. Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.
(2) Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. produk pangan asal Hewan;
b. produk Hewan nonpangan yang berpotensi membawa risiko Zoonosis
secara langsung kepada manusia; dan
c. produk Hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit ke Hewan
dan lingkungan.
(3) Produk Hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit ke Hewan
dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersendiri.

RPH 189 CIKAMPEK


Bagian Kedua
Penjaminan Higiene dan Sanitasi

Paragraf 1
Umum

Pasal 4
(1) Penjaminan Higiene dan Sanitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan menerapkan cara yang baik pada
rantai produksi produk Hewan.
(2) Cara yang baik pada rantai produksi produk Hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi cara yang baik:
a. di tempat budidaya;
b. di tempat produksi pangan asal Hewan;
c. di tempat produksi produk Hewan nonpangan;
d. di rumah potong Hewan;
e. di tempat pengumpulan dan penjualan; dan
f. dalam pengangkutan.
(3) Unit Usaha produk Hewan yang telah menerapkan cara yang baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara terus menerus, diberikan
Nomor Kontrol Veteriner.

Paragraf 2
Cara yang Baik di Tempat Budidaya

Pasal 5
(1) Cara yang baik di tempat budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf a dilakukan untuk:
a. Hewan potong;
b. Hewan perah; dan
c. unggas petelur.
(2) Cara yang baik untuk Hewan potong sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan dengan:
a. pemisahan Hewan baru dari Hewan lama dan Hewan sakit dari Hewan
sehat;
b. penjaminan kebersihan kandang, peralatan, dan lingkungannya;
c. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
d. pemberian obat Hewan di bawah Pengawasan Dokter Hewan; dan
e. pemberian pakan yang aman dan sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.
(3) Cara yang baik untuk Hewan perah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan kandang, peralatan, dan lingkungannya;
b. penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan terutama ambing;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
d. pemisahan Hewan baru dari Hewan lama dan Hewan sakit dari Hewan
sehat;
e. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
f. pemberian obat Hewan di bawah Pengawasan Dokter Hewan; dan
g. pemberian pakan yang aman dan sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.
(4) Cara yang baik untuk unggas petelur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan kandang, peralatan, dan lingkungannya;
b. penjaminan kesehatan dan kebersihan unggas;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
d. pencegahan tercemarnya telur oleh bahaya biologis, kimiawi, dan fisik;
e. pemisahan unggas baru dari unggas lama dan unggas sakit dari unggas
sehat;
f. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
g. pemberian obat Hewan di bawah Pengawasan Dokter Hewan; dan

RPH 190 CIKAMPEK


h. pemberian pakan yang aman dan sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.

Paragraf 3
Cara yang Baik di Tempat Produksi Pangan Asal Hewan

Pasal 6
Cara yang baik di tempat produksi pangan asal Hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya;
b. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel; dan
d. pencegahan tercemarnya pangan asal Hewan oleh bahaya biologis, kimiawi,
dan fisik.

Paragraf 4
Cara yang Baik di Tempat Produksi Produk Hewan Nonpangan

Pasal 7
Cara yang baik di tempat produksi produk Hewan nonpangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya;
b. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel; dan
d. pencegahan tercemarnya produk Hewan nonpangan oleh bahaya biologis,
kimiawi, dan fisik.

Paragraf 5
Cara yang Baik di Rumah Potong Hewan

Pasal 8
(1) Pemotongan Hewan potong yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di
rumah potong Hewan yang:
a. memenuhi persyaratan teknis yang diatur oleh Menteri; dan
b. menerapkan cara yang baik.
(2) Pendirian rumah potong Hewan harus memenuhi persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.

(3) Cara yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
dengan:
a. pemeriksaan kesehatan Hewan potong sebelum dipotong;
b. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan
lingkungannya;
c. penjaminan kecukupan air bersih;
d. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
e. pengurangan penderitaan Hewan potong ketika dipotong;
f. penjaminan penyembelihan yang Halal bagi yang dipersyaratkan dan
bersih;
g. pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan potong
dipotong; dan
h. pencegahan tercemarnya karkas, daging, dan jeroan dari bahaya
biologis, kimiawi, dan fisik.
(4) Pemeriksaan kesehatan Hewan potong sebelum dipotong dan pemeriksaan
kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan potong dipotong sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf g harus dilakukan oleh Dokter
Hewan di rumah potong Hewan atau paramedik Veteriner di bawah
Pengawasan Dokter Hewan Berwenang.

RPH 191 CIKAMPEK


Pasal 9
(1) Pemeriksaan kesehatan Hewan potong sebelum dipotong sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dilakukan untuk memastikan
bahwa Hewan potong yang akan dipotong sehat dan layak untuk dipotong.
(2) Hewan potong yang layak untuk dipotong harus memenuhi kriteria paling
sedikit:
a. tidak memperlihatkan gejala penyakit Hewan menular dan/atau
Zoonosis;
b. bukan ruminansia besar betina anakan dan betina produktif;
c. tidak dalam keadaan bunting; dan
d. bukan Hewan yang dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Hewan potong yang telah diperiksa kesehatannya diberi tanda:
a. “SL” untuk Hewan potong yang sehat dan layak untuk dipotong; dan
b. “TSL” untuk Hewan potong yang tidak sehat dan/atau tidak layak untuk
dipotong.

Pasal 10
(1) Pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf g dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan insisi.
(2) Hasil pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang aman dan layak dikonsumsi dinyatakan dalam bentuk:
a. pemberian stempel pada karkas dan label pada jeroan yang bertuliskan
“telah diperiksa oleh Dokter Hewan”; dan
b. surat keterangan kesehatan daging.
(3) Jeroan dan karkas yang berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak aman dan tidak
layak dikonsumsi wajib dimusnahkan di rumah potong Hewan.

Pasal 11
Pemotongan Hewan potong dapat dilakukan di luar rumah potong Hewan
dalam hal untuk:
a. upacara keagamaan;
b. upacara adat; atau
c. pemotongan darurat.

Pasal 12
Pemotongan Hewan potong untuk keperluan upacara keagamaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf a hanya dapat dilakukan apabila di suatu
kabupaten/kota:
a. belum memiliki rumah potong Hewan; atau
b. kapasitas pemotongan di rumah potong Hewan yang ada tidak memadai.

Pasal 13
Pemotongan Hewan potong untuk keperluan upacara adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf b hanya dapat dilakukan dalam rangka
upacara pemakaman atau pernikahan pada masyarakat tertentu.

Pasal 14
Pemotongan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c hanya
dapat dilakukan pada Hewan potong dalam kondisi:
a. mengalami kecelakaan; atau
b. korban Bencana Alam yang bersifat nonbiologi yang mengancam jiwanya.

Pasal 15
(1) Pelaksanaan pemotongan Hewan potong untuk keperluan upacara
keagamaan dan upacara adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf
a dan huruf b paling sedikit harus memenuhi persyaratan cara yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf
g.

RPH 192 CIKAMPEK


(2) Pelaksanaan pemotongan Hewan potong sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan setelah pemilik atau penanggung jawab Hewan terlebih
dahulu melapor kepada Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat
Veteriner kabupaten/kota.

Pasal 16
(1) Pelaksanaan pemotongan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf c paling sedikit harus memenuhi persyaratan cara yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf g.
(2) Pelaksanaan pemotongan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah pemilik atau penanggung jawab Hewan terlebih dahulu
melapor kepada Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat
Veteriner kabupaten/kota.

Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan kriteria Hewan potong serta
persyaratan cara yang baik di rumah potong diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 6
Cara yang Baik di Tempat Pengumpulan dan Penjualan

Pasal 18
(1) Cara yang baik di tempat pengumpulan dan penjualan produk Hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e dilakukan dengan:
a. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan
lingkungannya;
b. pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
c. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
d. pencegahan tercemarnya produk Hewan oleh bahaya biologis, kimiawi,
dan fisik yang berasal dari petugas, alat, dan proses produksi;
e. pemisahan produk Hewan yang Halal dari produk Hewan atau produk
lain yang tidak Halal;
f. penjaminan suhu ruang tempat pengumpulan dan penjualan produk
Hewan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme;
dan
g. pemisahan produk Hewan dari Hewan dan komoditas selain produk
Hewan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai cara yang baik di tempat pengumpulan
dan penjualan produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 7
Cara yang Baik Dalam Pengangkutan

Pasal 19
Cara yang baik dalam pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf f dilakukan untuk:
a. Hewan potong, Hewan perah, unggas petelur; dan
b. produk Hewan.

Pasal 20
Cara yang baik dalam pengangkutan Hewan potong, Hewan perah, dan unggas
petelur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dilakukan dengan
penjaminan:
a. kebersihan alat angkut;
b. kesehatan dan kebersihan Hewan; dan
c. kesehatan dan kebersihan personel.

Pasal 21
Cara yang baik dalam pengangkutan produk Hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf b dilakukan dengan:

RPH 193 CIKAMPEK


a. penjaminan kebersihan alat angkut;
b. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
c. pencegahan tercemarnya produk Hewan dari bahaya biologis, kimiawi, dan
fisik;
d. pemisahan produk Hewan yang Halal dari produk Hewan atau produk lain
yang tidak Halal;
e. penjaminan suhu ruang alat angkut produk Hewan yang dapat
menghambat perkembangbiakan mikroorganisme; dan
f. pemisahan produk Hewan dari Hewan dalam pengangkutannya.

Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai cara yang baik dalam pengangkutan diatur
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 8
Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner

Pasal 23

(1) Setiap Unit Usaha produk Hewan wajib mengajukan permohonan untuk
memperoleh Nomor Kontrol Veteriner kepada pemerintah provinsi
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) diberikan Nomor
Kontrol Veteriner.
(3) Pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan kepada Unit Usaha
yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3).
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Dalam hal setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Unit
Usaha belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3), pemerintah kabupaten/kota wajib mencabut izin usaha Unit
Usaha yang bersangkutan.

Pasal 24
(1) Nomor Kontrol Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
diberikan dalam bentuk sertifikat Nomor Kontrol Veteriner oleh Otoritas
Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner di provinsi atas nama
gubernur.
(2) Nomor Kontrol Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan pada label dan kemasan produk Hewan.

Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner
diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Penjaminan Produk Hewan

Paragraf 1
Umum

Pasal 26

(1) Penjaminan produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf b dilakukan melalui:
a. pengaturan Peredaran Produk Hewan;
b. Pengawasan Unit Usaha produk Hewan;
c. Pengawasan produk Hewan;
d. pemeriksaan dan Pengujian produk Hewan;

RPH 194 CIKAMPEK


e. Standardisasi produk Hewan;
f. Sertifikasi Produk Hewan; dan
g. Registrasi produk Hewan.
(2) Produk Hewan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang diedarkan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.

Paragraf 2
Pengaturan Peredaran Produk Hewan

Pasal 27
Peredaran Produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf a meliputi peredaran:
a. hasil produksi dalam negeri;
b. yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia; dan
c. yang dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 28
Produk Hewan hasil produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf a hanya dapat diedarkan apabila berasal dari:
a. Unit Usaha yang telah memiliki Nomor Kontrol Veteriner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); atau
b. Unit Usaha yang sedang dalam pembinaan penerapan cara yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).

Pasal 29
Produk Hewan yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b harus berasal dari negara dan
Unit Usaha yang telah disetujui oleh Menteri.

Pasal 30
(1) Untuk memperoleh persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29, negara asal produk Hewan harus mengajukan permohonan
kepada Menteri.
(2) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri harus mempertimbangkan:
a. status penyakit Hewan menular di negara asal; dan
b. hasil analisis risiko rencana Pemasukan produk Hewan dari luar negeri.
(3) Analisis risiko rencana Pemasukan produk Hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
a. pemeriksaan dokumen sistem penyelenggaraan kesehatan Hewan dan
jaminan keamanan produk Hewan di negara asal;
b. pemeriksaan dokumen sistem jaminan keamanan produk Hewan di Unit
Usaha di negara asal;
c. verifikasi sistem penyelenggaraan kesehatan Hewan dan jaminan
keamanan produk Hewan di negara asal;
d. audit pemenuhan sistem jaminan keamanan produk Hewan di Unit
Usaha di negara asal; dan
e. penetapan tingkat perlindungan yang dapat diterima.
(4) Analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Otoritas
Veteriner Kementerian.
(5) Dalam hal hasil analisis risiko negara asal dan/atau Unit Usaha tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri
mengeluarkan surat penolakan.
(6) Dalam hal hasil analisis risiko negara asal dan Unit Usaha memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri mengeluarkan
surat persetujuan.
(7) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dicabut jika di negara
yang bersangkutan terjadi wabah. ]

RPH 195 CIKAMPEK


(8) Pencabutan persetujuan Pemasukan diberitahukan oleh Menteri kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan paling lama 2 (dua) hari kerja sejak ditetapkannya
pencabutan persetujuan negara asal.

Pasal 31
Setiap produk Hewan dari negara yang telah memperoleh persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6) wajib memiliki:
a. Sertifikat Veteriner dari Otoritas Veteriner di negara asal; dan
b. sertifikat Halal bagi yang dipersyaratkan.

Pasal 32
(1) Setiap pelaku usaha yang memasukkan produk Hewan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia dari negara dan Unit Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 harus mendapatkan:
a. rekomendasi teknis; dan
b. izin pemasukan.
(2) Rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikeluarkan oleh:
a. kepala lembaga pemerintahan non kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, untuk
pangan olahan asal Hewan yang tidak berpotensi membawa risiko
Zoonosis; dan
b. Menteri, untuk produk Hewan selain pangan olahan asal Hewan yang
tidak berpotensi membawa risiko Zoonosis, dengan mencantumkan
Nomor Kontrol Veteriner.
(3) Izin pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikeluarkan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan berdasarkan rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Izin pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melampirkan
rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 33
(1) Izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b
harus dicabut oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang perdagangan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak
diterimanya pemberitahuan pencabutan persetujuan negara asal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (8).
(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan menyampaikan pemberitahuan pencabutan persetujuan
negara asal kepada pelaku usaha paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung
sejak pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pelaku usaha wajib mereekspor produk Hewan paling lama 3 (tiga) hari
kerja terhitung sejak memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) pelaku usaha belum melakukan reekspor, produk Hewan yang
bersangkutan wajib dimusnahkan.
(5) Pemusnahan produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
dilakukan oleh pelaku usaha paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak berakhirnya jangka waktu reekspor produk Hewan.
(6) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) pelaku usaha belum melakukan pemusnahan, Menteri
melakukan pemusnahan.
(7) Segala biaya yang berkaitan dengan reekspor atau pemusnahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), atau ayat (6) dibebankan
kepada pelaku usaha.

RPH 196 CIKAMPEK


Pasal 34
(1) Pengeluaran produk Hewan ke luar wilayah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c harus:
a. disertai dengan Sertifikat Veteriner yang diterbitkan oleh Otoritas
Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian; dan
b. memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan.
(2) Dalam hal produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
pangan olahan asal Hewan, Sertifikat Veteriner hanya dapat dikeluarkan
setelah memperoleh izin dari lembaga pemerintahan non kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
(3) Dalam hal produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari
Satwa Liar, Sertifikat Veteriner hanya dapat dikeluarkan setelah
memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang konservasi sumber daya alam hayati.

Pasal 35
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
memfasilitasi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan Pengeluaran produk
Hewan ke luar wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai Peredaran Produk Hewan diatur dengan
Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Pengawasan Unit Usaha Produk Hewan

Pasal 37

(1) Pengawasan Unit Usaha produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 26 ayat (1) huruf b dilakukan pada:
a. rumah potong Hewan; dan
b. Unit Usaha produk Hewan selain rumah potong Hewan.
(2) Unit Usaha produk Hewan selain rumah potong Hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi tempat pemerahan, tempat
produksi telur, tempat produksi pangan asal Hewan lainnya, tempat
produksi produk Hewan nonpangan, serta tempat pengumpulan dan
penjualan.
(3) Unit Usaha produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
menghasilkan produk Hewan segar untuk pangan dan nonpangan
dan/atau produk Hewan olahan untuk pangan dan nonpangan.

Pasal 38
Pengawasan rumah potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf a dilakukan terhadap penerapan cara yang baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).

Pasal 39
Pengawasan rumah potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf a dilakukan oleh Dokter Hewan Berwenang yang memiliki
kompetensi sebagai Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengawasan rumah potong Hewan
diatur dengan Peraturan Menteri.

RPH 197 CIKAMPEK


Pasal 41
Pengawasan Unit Usaha produk Hewan selain rumah potong Hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b dilakukan terhadap
penerapan cara yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 18, dan Pasal 19.

Pasal 42
Pengawasan Unit Usaha produk Hewan selain rumah potong Hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b dilakukan oleh:
a. Dokter Hewan Berwenang yang memiliki kompetensi sebagai Pengawas
Kesehatan Masyarakat Veteriner untuk Unit Usaha yang menghasilkan:
1. pangan segar asal Hewan;
2. produk Hewan olahan untuk pangan yang berpotensi membawa risiko
Zoonosis; dan
3. produk Hewan nonpangan baik segar maupun olahan, dan
b. lembaga pemerintahan non kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan untuk Unit Usaha
yang menghasilkan pangan olahan asal Hewan.

Pasal 43
(1) Dalam melaksanakan Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
dan Pasal 42 pengawas berwenang untuk:
a. memasuki setiap Unit Usaha produk Hewan;
b. menunda atau menghentikan proses produksi;
c. memeriksa produk Hewan yang dicurigai membawa atau mengandung
bahaya biologis, kimiawi, dan/atau fisik;
d. memeriksa dokumen atau catatan terkait dengan proses produksi; dan
e. menunda atau menghentikan alat angkut produk Hewan yang dicurigai
membawa atau mengandung bahaya biologis, kimiawi, dan/atau fisik.
(2) Dalam melaksanakan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dan Pasal 42 huruf a ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 44
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengawasan Unit Usaha yang
menghasilkan pangan olahan asal Hewan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 huruf b yang tidak berpotensi membawa risiko Zoonosis diatur
dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan/kepala lembaga pemerintahan non kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengawasan Unit Usaha produk
Hewan selain pangan olahan asal Hewan yang tidak berpotensi membawa
risiko Zoonosis diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4
Pengawasan Produk Hewan

Pasal 45
Pengawasan produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf c dilakukan terhadap produk Hewan yang:
a. diproduksi di dalam negeri; dan
b. dimasukkan dari luar negeri.

Pasal 46
(1) Pengawasan produk Hewan yang diproduksi di dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 huruf a harus dilakukan terhadap produk Hewan
sejak diproduksi sampai dengan diedarkan.

RPH 198 CIKAMPEK


(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dokter
Hewan Berwenang yang memiliki kompetensi sebagai Pengawas Kesehatan
Masyarakat Veteriner pada Kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota
sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 47
(1) Pengawasan terhadap Pemasukan produk Hewan dari luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b dilakukan pada:
a. negara dan Unit Usaha asal;
b. tempat Pemasukan; dan
c. peredaran.
(2) Pengawasan terhadap Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilaksanakan oleh Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan
Masyarakat Veteriner Kementerian.
(3) Pengawasan terhadap Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan oleh Otoritas Veteriner di bidang karantina Hewan di
tempat Pemasukan yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(4) Pengawasan terhadap peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilakukan oleh Dokter Hewan Berwenang yang memiliki kompetensi
sebagai Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Kementerian,
provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 48
Pengawasan produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
serta Pasal 47 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan melalui pemeriksaan:
a. kondisi fisik produk Hewan;
b. dokumen; dan/atau
c. label.

Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengawasan produk Hewan diatur
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Pemeriksaan dan Pengujian Produk Hewan

Pasal 50

(1) Pemeriksaan dan Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf d dilakukan terhadap produk Hewan yang:
a. akan diedarkan; dan
b. dalam peredaran.
(2) Pemeriksaan dan Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan di Laboratorium Veteriner milik Pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau laboratorium milik swasta yang
terakreditasi.
(3) Pemeriksaan dan Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan di Laboratorium Veteriner milik Pemerintah, pemerintah
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota yang terakreditasi.

Pasal 51
(1) Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengembangan kompetensi
Laboratorium Veteriner milik pemerintah kabupaten/kota.
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengembangan kompetensi
Laboratorium Veteriner milik pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.
(3) Menteri melakukan pembinaan dan pengembangan kompetensi
Laboratorium Veteriner milik Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.

RPH 199 CIKAMPEK


(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilakukan untuk memperoleh akreditasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilakukan untuk meningkatkan kapasitas laboratorium.
(6) Kegiatan pembinaan dan pengembangan kompetensi laboratorium
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dibebankan
pada anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota, anggaran
pendapatan dan belanja daerah provinsi, dan anggaran pendapatan dan
belanja negara.

Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan Pengujian produk
Hewan diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 6
Standardisasi Produk Hewan

Pasal 53
(1) Standardisasi produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1) huruf e dilakukan terhadap produk Hewan yang diedarkan di dalam
wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Standardisasi produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Menteri menetapkan Standar wajib bagi produk Hewan segar.
(4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
melakukan pembinaan kepada pelaku usaha agar produk Hewan yang
dihasilkan memenuhi Standar Nasional Indonesia.

Paragraf 7
Sertifikasi Produk Hewan

Pasal 54
(1) Sertifikasi Produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf f dilakukan terhadap produk Hewan yang diedarkan di dan
dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Sertifikasi Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Sertifikat Veteriner; dan
b. sertifikat Halal bagi yang dipersyaratkan.

(3) Sertifikat Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk
produk Hewan yang diedarkan di wilayah negara Republik Indonesia
diterbitkan oleh Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat
Veteriner pada pemerintah kabupaten/kota.
(4) Sertifikat Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk
produk Hewan yang dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
diterbitkan oleh Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat
Veteriner Kementerian.
(5) Sertifikat Halal bagi yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dilakukan oleh institusi yang berwenang di bidang sertifikasi
Halal.

Pasal 55
(1) Untuk memperoleh Sertifikat Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 ayat (2) huruf a, pelaku usaha harus mengajukan permohonan kepada
Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) atau ayat
(4).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan:
a. Nomor Kontrol Veteriner;
b. sertifikat hasil pemeriksaan dan Pengujian; dan/atau

RPH 200 CIKAMPEK


c. surat keterangan kesehatan daging.

Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Sertifikat Veteriner
diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 8
Registrasi Produk Hewan

Pasal 57

(1) Registrasi produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf g dilakukan terhadap produk Hewan berupa pangan segar asal
Hewan yang dikemas untuk diedarkan.
(2) Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi produk
Hewan yang diproduksi di dalam negeri, dimasukkan ke dan dikeluarkan
dari wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Registrasi produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Menteri dalam bentuk pemberian nomor Registrasi.

Pasal 58
(1) Nomor Registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) wajib
dicantumkan pada label dan kemasan produk Hewan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Registrasi produk
Hewan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis

Paragraf 1
Umum

Pasal 59
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
a. penetapan Zoonosis prioritas;
b. manajemen risiko;
c. kesiagaan darurat;
d. Pemberantasan Zoonosis; dan
e. partisipasi masyarakat.

Paragraf 2
Penetapan Zoonosis Prioritas

Pasal 60
(1) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan menetapkan jenis Zoonosis yang memerlukan prioritas
pengendalian dan penanggulangan.
(2) Dalam hal terdapat Zoonosis yang bersumber dari Satwa Liar, penetapan
jenis Zoonosis yang memerlukan prioritas pengendalian dan
penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
konservasi sumber daya alam hayati.
(3) Dalam hal terdapat Zoonosis yang bersumber dari Hewan yang seluruh
atau sebagian siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan,
penetapan jenis Zoonosis yang memerlukan prioritas pengendalian dan
penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan
dan perikanan.

RPH 201 CIKAMPEK


Pasal 61
(1) Penetapan Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dilakukan
berdasarkan hasil analisis risiko Zoonosis.
(2) Analisis risiko Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan informasi:
a. hasil Pengamatan Zoonosis pada Hewan dan produk Hewan yang
dilakukan oleh Otoritas Veteriner di kementerian, provinsi, dan
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya;
b. hasil Pengamatan Zoonosis pada manusia yang dilakukan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan;
c. hasil penelitian Zoonosis yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan
pengembangan; dan/atau
d. situasi Zoonosis yang diperoleh dari badan kesehatan Hewan dunia.
(3) Pengamatan Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling
sedikit dilakukan terhadap tingkat:
a. kesakitan Hewan;
b. kematian Hewan; dan
c. keberadaan mikroorganisme patogen yang bersifat Zoonosis pada
produk Hewan.
(4) Pengamatan Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling
sedikit dilakukan terhadap tingkat:
a. kesakitan dan kematian pada manusia; dan
b. keberadaan mikroorganisme patogen yang bersifat Zoonosis pada tubuh
manusia.

Pasal 62
(1) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a
meliputi:
a. Otoritas Veteriner di bidang penyelenggaraan kesehatan Hewan untuk:
1. produk Hewan; dan
2. Hewan selain Satwa Liar dan Hewan yang seluruh atau sebagian
siklus hidupnya di lingkungan perairan,
b. Otoritas Veteriner di bidang konservasi sumber daya alam hayati untuk
Satwa Liar; dan
c. Otoritas Veteriner di bidang kelautan dan perikanan untuk Hewan yang
seluruh atau sebagian siklus hidupnya di lingkungan perairan.
(2) Dalam hal Otoritas Veteriner di bidang konservasi sumber daya alam hayati
untuk Satwa Liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b belum ada,
pengamatan atau kegiatan lain terkait Zoonosis dilakukan oleh Otoritas
Veteriner Kementerian berkoordinasi dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang konservasi sumber daya
alam hayati.
(3) Dalam hal Otoritas Veteriner di bidang kelautan dan perikanan untuk
Hewan yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya di lingkungan perairan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c belum ada, pengamatan atau
kegiatan lain terkait dengan Zoonosis dilakukan oleh Otoritas Veteriner
Kementerian berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.

Pasal 63
(1) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a
melaporkan hasil Pengamatan Zoonosis kepada Menteri dengan tembusan
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
(2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan menginformasikan hasil Pengamatan Zoonosis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf b kepada Menteri.
(3) Hasil Pengamatan Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3)
yang berkaitan dengan tingkat kesakitan Hewan, tingkat kematian Hewan,

RPH 202 CIKAMPEK


dan tingkat keberadaan mikroorganisme patogen yang bersifat zoonotik
pada produk Hewan digunakan untuk penyusunan analisis risiko.
(4) Hasil Pengamatan Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
berkaitan dengan tingkat kesakitan Hewan dan tingkat kematian Hewan
digunakan untuk penetapan status Zoonosis suatu daerah.
(5) Hasil Pengamatan Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
berkaitan dengan tingkat kesakitan dan kematian manusia, keberadaan
mikroorganisme patogen yang bersifat Zoonosis pada tubuh manusia
digunakan untuk menentukan langkah-langkah penanggulangan penyakit
pada manusia.

Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengamatan Zoonosis pada Hewan
dan produk Hewan diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 65
(1) Setiap penelitian Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2)
huruf c pada Hewan dan produk Hewan wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada Menteri.
(2) Menteri menetapkan syarat dan tata cara penelitian dan pengembangan
tentang pengendalian dan Pemberantasan Zoonosis.
(3) Menteri melakukan Pengawasan penggunaan agen penyebab Zoonosis dan
kemungkinan penyalahgunaan agen penyebab Zoonosis untuk tujuan di
luar Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.
(4) Dalam melakukan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan dan keamanan, kesehatan, dan/atau
lingkungan hidup.

Pasal 66
(1) Analisis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dilakukan
oleh Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan, konservasi sumber daya alam hayati,
dan/atau kelautan dan perikanan.
(2) Dalam hal Menteri dan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyepakati hasil analisis risiko Zoonosis, Menteri menetapkan Peraturan
Menteri tentang Zoonosis yang diprioritaskan pengendalian dan
penanggulangannya.
(3) Dalam hal Zoonosis yang diprioritaskan pengendalian dan
penanggulangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi wabah,
kejadian wabah tersebut harus diumumkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya kepada masyarakat.

Pasal 67
(1) Penetapan status Zoonosis daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (4) dilakukan oleh bupati/walikota, gubernur, atau Menteri sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan sebaran geografis Zoonosis.
(2) Status Zoonosis daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. daerah wabah;
b. daerah tertular;
c. daerah penyangga; dan
d. daerah bebas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria status Zoonosis daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

RPH 203 CIKAMPEK


Paragraf 3
Manajemen Risiko

Pasal 68
Berdasarkan penetapan Zoonosis prioritas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (2), Menteri menetapkan manajemen risiko Zoonosis sesuai
dengan status Zoonosis daerah.

Pasal 69
(1) Manajemen risiko pada daerah wabah dan daerah tertular paling sedikit
dilakukan melalui:
a. penutupan daerah wabah;
b. penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan rentan serta lingkungan;
c. penjaminan kebersihan kandang dan peralatan;
d. pemusnahan Hewan sakit;
e. pengendalian vektor;
f. pengendalian populasi Hewan rentan;
g. pembatasan keluarnya Hewan;
h. penghentian produksi dan Peredaran Produk Hewan;
i. vaksinasi Hewan rentan;
j. kesiagaan dini; dan
k. komunikasi, informasi, dan edukasi masyarakat.
(2) Penutupan daerah wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya atas rekomendasi Otoritas Veteriner provinsi atau
kabupaten/kota.

Pasal 70
Manajemen risiko pada daerah penyangga paling sedikit dilakukan melalui:
a. penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan rentan serta lingkungan;
b. penjaminan kebersihan kandang dan peralatan;
c. pengisolasian atau pengobatan Hewan terduga sakit;
d. pemusnahan Hewan sakit;
e. pengendalian vektor;
f. pengendalian populasi Hewan rentan;
g. pembatasan perpindahan Hewan dan Peredaran Produk Hewan;
h. vaksinasi Hewan rentan;
i. kesiagaan dini; dan
j. komunikasi, informasi, dan edukasi masyarakat.

Pasal 71
(1) Manajemen risiko pada daerah bebas paling sedikit dilakukan melalui:
a. penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan rentan serta lingkungan;
b. penjaminan kebersihan kandang dan peralatan;
c. pengendalian perpindahan Hewan dan Peredaran Produk Hewan dari
daerah tertular atau wabah;
d. vaksinasi Hewan rentan;
e. pemusnahan Hewan terduga sakit;
f. kesiagaan dini; dan
g. komunikasi, informasi, dan edukasi masyarakat.
(2) Dalam hal Hewan terduga sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e merupakan Satwa Liar, pemusnahannya dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber
daya alam hayati.

Pasal 72
Manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal
71 dilakukan oleh Otoritas Veteriner di kabupaten/kota, provinsi, dan
kementerian sesuai dengan kewenangannya.

RPH 204 CIKAMPEK


Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan manajemen risiko diatur
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4
Kesiagaan Darurat

Pasal 74
(1) Kesiagaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c
dituangkan dalam bentuk pedoman kesiagaan darurat.
(2) Pedoman kesiagaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
oleh Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan, konservasi sumber daya alam hayati,
kelautan dan perikanan, serta institusi terkait.
(3) Pedoman yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(4) Pedoman yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disosialisasikan dan disimulasikan oleh Menteri kepada pemangku
kepentingan.

Pasal 75
Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) dievaluasi sesuai
dengan kebutuhan.

Paragraf 5
Pemberantasan Zoonosis

Pasal 76
(1) Pemberantasan Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf d
dilakukan terhadap Zoonosis yang telah ditetapkan sebagai Zoonosis
prioritas.
(2) Dalam keadaan tertentu Pemberantasan Zoonosis dapat dilakukan
terhadap Wabah Zoonosis selain Zoonosis prioritas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan wabah
yang dinyatakan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(4) Pernyataan Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
diumumkan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya kepada masyarakat.

Pasal 77
(1) Pemberantasan Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Otoritas Veteriner di Kementerian,
provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dalam hal Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber pada Satwa Liar, pemberantasannya dilakukan berkoordinasi
dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati.
(3) Dalam hal Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber pada Hewan yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya
berada di lingkungan perairan, pemberantasannya dilakukan berkoordinasi
dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kelautan dan perikanan.
(4) Dalam hal Wabah Zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber pada Hewan untuk keperluan khusus Tentara Nasional
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepabeanan,
pemberantasannya dilakukan berkoordinasi dengan Panglima Tentara
Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau

RPH 205 CIKAMPEK


menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kepabeanan.

Pasal 78
Dana yang diperlukan untuk pelaksanaan Pemberantasan Zoonosis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah
provinsi, dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.

Pasal 79
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemberantasan Zoonosis diatur
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 6
Partisipasi Masyarakat

Pasal 80
Setiap orang yang memiliki atau memelihara Hewan wajib menjaga dan
mengamati kesehatan Hewan dan kebersihan serta kesehatan lingkungannya.

Pasal 81
Setiap orang yang mengetahui terjadinya kasus Zoonosis pada Hewan
dan/atau manusia wajib melaporkan kepada perangkat kelurahan/desa atau
nama lain, kecamatan, Otoritas Veteriner, dan/atau otoritas kesehatan
setempat.

Pasal 82
(1) Kementerian, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota harus
mengikutsertakan masyarakat dalam Pengendalian dan Penanggulangan
Zoonosis.
(2) Keikutsertaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk pemantauan dan tindakan cepat kejadian Zoonosis.
(3) Untuk melakukan pemantauan dan tindakan cepat kejadian Zoonosis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota membentuk kader pemantauan dan tindakan cepat
kejadian Zoonosis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara partisipasi masyarakat dalam
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis diatur dengan Peraturan
Menteri.

BAB III
KESEJAHTERAAN HEWAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 83
(1) Kesejahteraan Hewan diterapkan terhadap setiap jenis Hewan yang
kelangsungan hidupnya tergantung pada manusia yang meliputi Hewan
bertulang belakang dan Hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat
merasa sakit.
(2) Kesejahteraan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara menerapkan prinsip kebebasan Hewan yang meliputi bebas:
a. dari rasa lapar dan haus;
b. dari rasa sakit, cidera, dan penyakit;
c. dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan;
d. dari rasa takut dan tertekan; dan
e. untuk mengekspresikan perilaku alaminya.
(3) Prinsip kebebasan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan
pada kegiatan:
a. penangkapan dan penanganan;

RPH 206 CIKAMPEK


b. penempatan dan pengandangan;
c. pemeliharaan dan perawatan;
d. pengangkutan;
e. penggunaan dan pemanfaatan;
f. perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap Hewan;
g. g. pemotongan dan pembunuhan; dan
h. h. praktik kedokteran perbandingan.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan oleh orang
yang memiliki kompetensi di bidang Kesejahteraan Hewan.

Pasal 84

(1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


83 wajib dilakukan oleh:
a. pemilik Hewan;
b. orang yang menangani Hewan sebagai bagian dari pekerjaannya; dan
c. pemilik fasilitas pemeliharaan Hewan.
(2) Pemilik fasilitas pemeliharaan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c wajib memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh bupati/walikota.
(3) Menteri menetapkan jenis dan kriteria fasilitas pemeliharaan Hewan yang
memerlukan izin usaha.

Pasal 85
Pemilik fasilitas pemeliharaan Hewan yang tidak menerapkan prinsip
kebebasan Hewan pada kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat
(3) dikenai sanksi pencabutan izin usahanya oleh bupati/walikota.

Bagian Kedua
Penangkapan dan Penanganan

Pasal 86
Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada penangkapan dan penanganan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf a paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan
stres; dan
b. menggunakan sarana dan peralatan yang tidak menyakiti, tidak melukai,
dan/atau tidak mengakibatkan stres.

Bagian Ketiga
Penempatan dan Pengandangan

Pasal 87
Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada penempatan dan pengandangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf b paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan
stres;
b. menggunakan sarana dan peralatan yang tidak menyakiti, tidak melukai,
dan/atau tidak mengakibatkan stres;
c. memisahkan antara Hewan yang bersifat superior dari yang bersifat
inferior;
d. menggunakan kandang yang bersih dan memungkinkan Hewan leluasa
bergerak, dapat melindungi Hewan dari predator dan Hewan pengganggu,
serta melindungi dari panas matahari dan hujan; dan
e. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.

RPH 207 CIKAMPEK


Bagian Keempat
Pemeliharaan dan Perawatan

Pasal 88
(1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pemeliharaan dan perawatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf c paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak
mengakibatkan stres;
b. menggunakan sarana, prasarana, dan peralatan yang bersih dan tidak
menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan stres;
c. menggunakan kandang yang memungkinkan Hewan leluasa bergerak,
dapat melindungi Hewan dari predator dan Hewan pengganggu, serta
melindungi dari panas matahari dan hujan; dan
d. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.
(2) Dalam hal pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam rangka pemulihan kesehatan fisik dan/atau mental
Hewan pasca tindakan medik atau Bencana Alam, penerapan prinsip
kebebasan Hewan harus di bawah penyeliaan Dokter Hewan.

Bagian Kelima
Pengangkutan

Pasal 89
(1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pengangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf d paling sedikit harus dilakukan
dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, melukai, dan/atau mengakibatkan stres;
b. menggunakan alat angkut yang layak, bersih, sesuai dengan kapasitas
alat angkut, tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak
mengakibatkan stres; dan
c. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.
(2) Dalam hal pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan kandang, kandang harus memungkinkan Hewan dapat
bergerak leluasa, bebas dari predator dan Hewan pengganggu, serta
terlindung dari panas matahari dan hujan.
(3) Pengangkutan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan di bawah penyeliaan dan/atau setelah mendapat rekomendasi
dari Dokter Hewan Berwenang.

Bagian Keenam
Penggunaan dan Pemanfaatan

Pasal 90
Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada penggunaan dan pemanfaatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf e paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti dan tidak mengakibatkan stres; dan
b. menyediakan sarana dan peralatan yang bersih.

Pasal 91
Penggunaan bagian tubuh dan organ dalam Hewan untuk tujuan medis harus
dilakukan oleh Dokter Hewan yang memiliki izin layanan.

Pasal 92
Setiap orang dilarang untuk:
a. menggunakan dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan kodratnya
yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan, keselamatan, atau
menyebabkan kematian Hewan;

RPH 208 CIKAMPEK


b. memberikan bahan pemacu atau perangsang fungsi kerja organ Hewan di
luar batas fisiologis normal yang dapat membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau menyebabkan kematian Hewan;
c. menerapkan bioteknologi modern untuk menghasilkan Hewan atau produk
Hewan transgenik yang membahayakan kelestarian sumber daya Hewan,
keselamatan dan ketenteraman bathin masyarakat, dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup;
d. memanfaatkan kekuatan fisik Hewan di luar batas kemampuannya; dan
e. memanfaatkan bagian tubuh atau organ Hewan untuk tujuan selain medis.

Bagian Ketujuh
Perlakuan dan Pengayoman yang Wajar Terhadap Hewan

Pasal 93
Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada perlakuan dan pengayoman yang
wajar terhadap Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf f
paling sedikit harus dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak mengakibatkan stres, dan/atau mati; dan
b. menggunakan sarana, prasarana, dan peralatan yang bersih.

Pasal 94
(1) Gubernur dan bupati/walikota melakukan pembinaan perlakuan dan
pengayoman yang wajar terhadap Hewan kepada pemilik Hewan, orang
yang menangani Hewan sebagai bagian dari pekerjaannya, dan pemilik
serta pengelola fasilitas pemeliharaan Hewan.
(2) Pembinaan perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap Hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyediaan sarana,
sosialisasi, dan edukasi.

Bagian Kedelapan
Pemotongan dan Pembunuhan

Pasal 95
(1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pemotongan dan pembunuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf g paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak mengakibatkan ketakutan, dan stres
pada saat penanganan Hewan sebelum dipotong atau dibunuh;
b. cara yang tidak mengakibatkan ketakutan dan stres, serta dapat
mengakhiri penderitaan Hewan sesegera mungkin pada saat
pemotongan atau pembunuhan;
c. menggunakan sarana dan peralatan yang bersih; dan

d. memastikan Hewan mati sempurna sebelum penanganan selanjutnya.


(2) Dalam hal pemotongan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menggunakan pemingsanan, dilarang menggunakan cara yang
mengakibatkan Hewan menderita, stres, dan/atau mati.

Pasal 96
Dalam hal pemotongan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
95 dilakukan untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit Hewan
menular dan Zoonosis atau mengurangi penderitaan Hewan yang tidak
mungkin diselamatkan jiwanya, pemotongan dan pembunuhan Hewan harus
berdasarkan pertimbangan medis dari Dokter Hewan.

Bagian Kesembilan
Praktik Kedokteran Perbandingan

Pasal 97
(1) Praktik kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83
ayat (3) huruf h dilakukan terhadap Hewan laboratorium.

RPH 209 CIKAMPEK


(2) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada praktik kedokteran
perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus
dilakukan dengan:
a. mengutamakan cara yang tidak menyakiti dan tidak mengakibatkan
stres;
b. menggunakan sarana, prasarana, dan peralatan yang bersih, tidak
menyakiti, dan tidak mengakibatkan stres; dan
c. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis
Hewan.

Pasal 98
(1) Praktik kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
harus dilakukan oleh atau di bawah penyeliaan Dokter Hewan.
(2) Dokter Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mematuhi kode
etik profesi Dokter Hewan.

Pasal 99
(1) Setiap orang dilarang:
a. melakukan kegiatan yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu
terjadi bagi Hewan;
b. memutilasi tubuh Hewan;
c. memberi bahan yang mengakibatkan keracunan, cacat, cidera,
dan/atau kematian pada Hewan; dan
d. mengadu Hewan yang mengakibatkan Hewan mengalami ketakutan,
kesakitan, cacat permanen, dan/atau kematian.
(2) Untuk membuktikan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan uji forensik oleh
Dokter Hewan.

BAB IV
PENANGANAN HEWAN AKIBAT BENCANA ALAM

Pasal 100
Dalam hal terjadi Bencana Alam, penanganan Hewan dilakukan melalui:
a. evakuasi Hewan;
b. penanganan Hewan mati;
c. penampungan sementara;
d. pemotongan dan pembunuhan Hewan; dan/atau
e. pengendalian Hewan sumber penyakit dan vektor.

Pasal 101
(1) Evakuasi Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a
dilakukan terhadap Hewan sehat dan Hewan sakit yang masih mungkin
disembuhkan yang berada pada lokasi Bencana Alam yang tidak
memungkinkan untuk kelangsungan hidup Hewan.
(2) Pelaksanaan evakuasi Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan prinsip kebebasan Hewan.
(3) Hewan dievakuasi ke tempat penampungan sementara yang ditetapkan
oleh bupati/walikota.
(4) Evakuasi Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah
Pengawasan Dokter Hewan atau orang yang memiliki kompetensi di bidang
Kesejahteraan Hewan.

Pasal 102
(1) Penanganan Hewan mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf b
dilakukan dengan penguburan atau pembakaran.
(2) Penanganan Hewan mati akibat Bencana Alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di bawah Pengawasan Dokter Hewan.

RPH 210 CIKAMPEK


Pasal 103
(1) Penampungan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf c
dilakukan dengan memperhatikan prinsip kebebasan Hewan.
(2) Tempat penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus:
a. di lokasi yang aman;
b. tersedia fasilitas air bersih, pakan, dan obat-obatan;
c. tersedia tempat penampungan untuk Hewan sehat yang terpisah dari
Hewan sakit atau cidera; dan
d. mudah diakses oleh tenaga relawan dan tenaga kesehatan Hewan.

Pasal 104
(1) Pemotongan dan pembunuhan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
100 huruf d dilakukan terhadap Hewan yang:
a. tidak mungkin diselamatkan jiwanya; dan
b. perlu dihentikan penderitaannya.
(2) Pemotongan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap Hewan yang dagingnya dapat dimanfaatkan untuk konsumsi
manusia.
(3) Pembunuhan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap Hewan yang dagingnya tidak dikonsumsi.
(4) Pemotongan dan pembunuhan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di bawah Pengawasan Dokter Hewan.

Pasal 105
(1) Pengendalian Hewan sumber penyakit dan vektor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 100 huruf e harus dilakukan di lokasi Bencana Alam dan
wilayah sekitar yang terkena dampak.
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. penerapan sanitasi lingkungan; dan
b. pemusnahan vektor.

Pasal 106
Penanganan Hewan akibat Bencana Alam dilakukan oleh Menteri, menteri
atau kepala lembaga pemerintahan non kementerian, gubernur, dan
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Hewan akibat Bencana
Alam diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 108
Dalam hal Laboratorium Veteriner terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (3) belum tersedia, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
dapat menunjuk laboratorium untuk melakukan pemeriksaan dan Pengujian
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.

Pasal 109
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pemilik fasilitas
pemeliharaan Hewan yang belum memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (2) wajib memiliki izin usaha paling lambat 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

RPH 211 CIKAMPEK


BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 110
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan
dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 111
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 112
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 214

RPH 212 CIKAMPEK


PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005

TENTANG

PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER


UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa untuk menjamin pangan asal hewan yang


aman, sehat, utuh dan halal dalam rangka
mewujudkan kesehatan dan ketenteraman batin
masyarakat, setiap unit usaha pangan asal hewan
wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi
pangan asal hewan;
b. bahwa bagi setiap unit usaha pangan asal hewan
yang telah memenuhi persyaratan higiene dan
sanitasi perlu diberi sertifikat kontrol veteriner;
c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan untuk
melaksanakan ketentuan keamanan, mutu, dan gizi
pangan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner, dipandang perlu menetapkan
Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Pada Unit
Usaha Pangan Asal Hewan dalam Peraturan Menteri
Pertanian;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2824);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821);

RPH 213 CIKAMPEK


4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4437);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara
Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3253);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan lembaran Negara Nomor
3982);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4424);
8. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
9. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara
Republik Indonesia;
10. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementrian Negara
Republik Indonesia;
11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/
TN.240/9/1986 tentang Syarat-syarat Rumah
Pemotongan Hewan dan Ijin Usaha Pemotongan
Hewan;
12. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 557/Kpts/
TN.520/9/1987 tentang Syarat-syarat Rumah
Pemotongan Unggas dan Ijin Usaha Pemotongan
Unggas;
13. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 295/Kpts/
TN.240/5/1989 tentang Pemotongan Babi dan
Penanganan Daging Babi serta Hasil Ikutannya;
14. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/
TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong
dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya;

RPH 214 CIKAMPEK


15. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 745/Kpts/
TN.240/12/1992 tentang Persyaratan Pengawasan
Pemasukan Daging dari Luar Negeri;
16. Keputusan Menteri Pertanian No.306/Kpts/TN.330/
4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan
Daging Unggas serta Hasil Ikutannya;
17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/
Kp.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Pertanian.

Memperhatikan : Terrestrial Animal Health Code 2004 Office


Internationale des Epizooties (OIE) yang mengatur
pelaksanaan ekspor–impor pangan asal hewan antar
negara.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER


UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang


selanjutnya disebut Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat
sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higiene-
sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan
pada unit usaha pangan asal hewan.
2. Higiene adalah segala upaya yang berhubungan dengan masalah
kesehatan, serta berbagai usaha untuk mempertahankan atau untuk
memperbaiki kesehatan.
3. Sanitasi pangan asal hewan adalah upaya pencegahan terhadap
kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik pembusuk
dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang
dapat merusak pangan asal hewan dan membahayakan kesehatan
manusia.
4. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap
unit usaha pangan asal hewan yang telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
5. Kesehatan Masyarakat Veteriner selanjutnya disingkat Kesmavet
adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-

RPH 215 CIKAMPEK


bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
6. Pangan Asal Hewan adalah pangan yang berasal dari hewan berupa
daging, susu dan telur.
7. Unit Usaha Pangan Asal Hewan adalah unit usaha yang dijalankan
secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat untuk tujuan
komersial yang meliputi Rumah Pemotongan Hewan, Rumah
Pemotongan Unggas, Rumah Pemotongan Babi, usaha budidaya unggas
petelur, usaha pemasukan/pengeluaran, distributor, ritel, dan atau
pengolahan pangan asal hewan.
8. Rumah Pemotongan Hewan yang selanjutnya disingkat RPH adalah
suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain dan syarat
tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas
bagi konsumsi masyarakat.
9. Rumah Pemotongan Unggas yang selanjutnya disingkat RPU adalah
suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain dan syarat
tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong unggas bagi
konsumsi masyarakat.
10. Usaha Pemasukan (importir) Pangan Asal Hewan adalah suatu usaha
yang kegiatannya melakukan pemasukan pangan asal hewan dari luar
negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
11. Usaha Pengeluaran (eksportir) Pangan Asal Hewan adalah usaha yang
kegiatannya melakukan pengeluaran pangan asal hewan ke luar wilayah
negara Republik Indonesia.
12. Usaha Distribusi Pangan Asal Hewan adalah suatu usaha yang
kegiatannya mengumpulkan pangan asal hewan untuk selanjutnya
dijual kepada usaha ritel dan atau usaha pengolahan pangan asal
hewan.
13. Usaha Ritel (pengecer) Pangan Asal Hewan adalah suatu usaha yang
kegiatannya menjual pangan asal hewan kepada konsumen umum.
14. Usaha Pengolahan Pangan Asal Hewan adalah suatu usaha yang
kegiatannya melakukan pengolahan pangan asal hewan dengan cara
pemanasan (perebusan, pengasapan, penggorengan, pasteurisasi),
fermentasi, dengan atau tanpa penambahan bahan pengawet.
15. Dinas Propinsi adalah unit kerja propinsi yang membidangi fungsi
Kesmavet.
16. Dinas Kabupaten/Kota adalah unit kerja kabupaten/kota yang
membidangi fungsi Kesmavet.
17. Pengawas Kesmavet adalah dokter hewan atau tenaga paramedik
pemerintah yang telah mengikuti pelatihan dan mendapatkan sertifikat
pengawas kesmavet serta ditunjuk oleh Kepala Dinas Propinsi atas
nama Gubernur atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota atas nama
Bupati/Walikota untuk melaksanakan pengawasan Kesmavet.
18. Dokter Hewan Penanggung Jawab Kesmavet adalah dokter hewan yang
diserahi tugas sebagai penanggung jawab keamanan dan mutu di unit
usaha pangan asal hewan termasuk pemeriksaan antemortem dan
postmortem di RPH/RPU.

RPH 216 CIKAMPEK


19. Auditor NKV adalah petugas pemerintah dengan latar belakang
pendidikan dokter hewan, sarjana peternakan, sarjana lain di bidang
pangan dan gizi atau paramedik veteriner yang telah mengikuti
pelatihan auditor NKV dan memiliki sertifikat auditor NKV.
20. Surveilans adalah kegiatan audit berkala oleh Tim Auditor Dinas
Propinsi yang dilakukan berdasarkan hasil keterangan audit dan atau
audit sewaktu-waktu oleh Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan.
21. Verifikasi adalah evaluasi metode, sistem, prosedur, pengujian dan
penilaian penerapan higiene-sanitasi yang dilaksanakan oleh Dinas
Propinsi pada unit usaha pangan asal hewan.

Pasal 2

(1) Peraturan ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman:


a. bagi Pengawas Kesmavet untuk menyelenggarakan pengawasan
higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar sistem jaminan keamanan
dan mutu pangan;
b. bagi pelaku usaha di bidang pangan asal hewan dalam menerapkan
higiene- sanitasi sebagai persyaratan kelayakan dasar sistem
jaminan keamanan dan mutu pangan.

(2) Peraturan ini bertujuan untuk:


a. mewujudkan jaminan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh,
dan halal;
b. mewujudkan jaminan pangan asal hewan yang aman, sehat, dan
utuh untuk pangan asal babi.

Pasal 3

Ruang lingkup Peraturan ini meliputi pelaku usaha pangan asal hewan
yang wajib memiliki NKV, persyaratan untuk memperoleh NKV, tata cara
memperoleh NKV, kewajiban pencantuman NKV, masa berlaku, perubahan
dan pencabutan NKV, pembinaan, serta pengawasan.

BAB II
PELAKU USAHA PANGAN ASAL HEWAN YANG WAJIB MEMILIKI NKV

Pasal 4

(1) Pelaku usaha pangan asal hewan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat
(1) huruf b dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia
atau badan hukum Indonesia yang berusaha di bidang:
a. Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah
Pemotongan Babi;
b. Usaha budidaya unggas petelur;
c. Usaha pemasukan, usaha pengeluaran;
d. Usaha distribusi;

RPH 217 CIKAMPEK


e. Usaha ritel; dan atau
f. Usaha pengolahan pangan asal hewan.

(2) Pelaku usaha distribusi dan atau usaha ritel pangan asal hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d meliputi:
a. pelaku usaha yang mengelola gudang pendingin (cold storage), dan
toko/kios daging (meat shop);
b. pelaku usaha yang mengelola unit pendingin susu (milk cooling
centre), dan gudang pendingin susu;
c. pelaku usaha yang mengemas dan melabel telur.

Pasal 5

(1) Setiap unit usaha pangan asal hewan wajib memiliki NKV.
(2) Untuk mendapatkan NKV, unit usaha pangan asal hewan harus
memenuhi persyaratan higiene-sanitasi.
(3) NKV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pelaku
usaha yang bertanggung jawab terhadap manajemen usaha secara
keseluruhan, meliputi prasarana dan sarana, personil, serta cara
produksi dan penanganan.
(4) Terhadap penambahan sarana usaha baru untuk kegiatan usaha sejenis
yang berada dalam lokasi yang sama diberikan NKV perubahan
terhadap NKV yang sudah dimiliki.
(5) Terhadap penambahan sarana usaha baru untuk kegiatan usaha sejenis
di lokasi yang berbeda diwajibkan untuk memiliki NKV baru.

BAB III
PERSYARATAN UNTUK MEMPEROLEH NKV

Pasal 6

(1) Untuk memperoleh NKV, setiap pelaku usaha sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 wajib memenuhi persyaratan administrasi dan
persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memiliki Kartu Tanda Penduduk/Akte Pendirian;
b. memiliki Surat Keterangan Domisili;
c. memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
e. memiliki Surat Izin HO (Hinder Ordonnantie)
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/ Upaya
Pengendalian Lingkungan (UPL) yang khusus dipersyaratkan bagi
unit usaha RPH, RPU, dan Unit Pengolahan Pangan Asal Hewan;
b. memiliki bangunan, prasarana dan sarana usaha yang memenuhi
persyaratan teknis higiene-sanitasi;

RPH 218 CIKAMPEK


c. memiliki tenaga kerja teknis dan atau penanggung jawab teknis yang
mempunyai keahlian/keterampilan di bidang Kesehatan Masyarakat
Veteriner;
d. menerapkan proses penanganan dan atau pengolahan yang higienis
(Good Hygienic Practices);
e. menerapkan cara budidaya unggas petelur yang baik (Good Farming
Practices).

Pasal 7

Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, untuk usaha


Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, dan Rumah
Pemotongan Babi yang akan melakukan kegiatan usaha pengeluaran daging
dan atau produk olahannya wajib memenuhi persyaratan teknis sesuai
ketentuan SNI RPH (SNI 01-6159-1999) dan SNI RPU (SNI 01-6160-1999).

BAB IV
TATA CARA MEMPEROLEH NKV

Pasal 8

Setiap pelaku usaha yang wajib memiliki NKV sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat (1) mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
Propinsi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan
melampirkan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6.

Pasal 9

(1) Kepala Dinas Propinsi setelah menerima permohonan NKV sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 secara lengkap, selambat-lambatnya dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan
tersebut telah selesai melakukan pemeriksaan persyaratan.
(2) Apabila permohonan belum memenuhi persyaratan, kepada pemohon
diminta untuk melengkapi kekurangan persyaratan yang dimaksud.
(3) Apabila permohonan sudah memenuhi persyaratan, Kepala Dinas
Propinsi memberitahukan kepada pemohon bahwa akan dilakukan
penilaian di unit usaha dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
terpenuhinya persyaratan dimaksud.

Pasal 10

(1) Penilaian pemenuhan persyaratan unit usaha sebagaimana dimaksud


pada Pasal 9 ayat (3) dilakukan oleh Tim Auditor NKV yang ditunjuk
oleh Kepala Dinas Propinsi atas nama Gubernur.

RPH 219 CIKAMPEK


(2) Tim Auditor NKV terdiri dari 1 (satu) orang Ketua yang berpendidikan
dokter hewan dan 2 (dua) orang Anggota.
(3) Tim Auditor mempunyai tugas:
a. menilai pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi suatu unit usaha
pangan asal hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan dan menggunakan daftar penilaian
(audit chek list) sebagaimana tercantum pada Lampiran-I Peraturan
ini.
b. melaporkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam pada huruf
a berikut rekomendasi hasil penilaian kepada Kepala Dinas Propinsi
paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal
penugasan.
(4) Berdasarkan rekomendasi Tim Auditor sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf (b), Kepala Dinas Propinsi dapat menyetujui atau
menunda penerbitan NKV sampai dipenuhinya tindakan koreksi
dimaksud oleh pemohon, atau menolak penerbitan NKV.
(5) Dalam hal telah disetujui atau telah dipenuhinya tindakan koreksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Dinas Propinsi paling
lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja menerbitkan NKV
dalam bentuk sertifikat seperti contoh dalam Lampiran-II dan
keterangan hasil penilaian seperti contoh dalam Lampiran III kepada
pelaku usaha.
(6) Dalam hal penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala
Dinas Propinsi paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja
menolak penerbitan NKV dengan disertai alasan penolakan.
(7) Kepala Dinas Propinsi menyampaikan foto copy sertifikat dan
keterangan hasil penilaian kepada Direktur Jenderal Peternakan, paling
lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah penerbitan
NKV.

BAB V
KEWAJIBAN PENCANTUMAN NKV

Pasal 11

(1) Setiap pelaku usaha yang telah memperoleh NKV wajib mencantumkan
nomor yang tercantum pada NKV tersebut:
a. untuk daging diberikan stempel pada daging dan atau label pada
kemasannya;
b. untuk telur diberikan stempel pada kerabang dan atau label pada
kemasannya;
c. untuk susu diberikan label pada kemasannya.

(2) Penulisan NKV terdiri dari rangkaian angka yang menunjukkan jenis,
lokasi dan nomor urut registrasi unit usaha bersangkutan.

RPH 220 CIKAMPEK


(3) Tata cara penulisan NKV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti
tercantum pada Lampiran-IV Peraturan ini.

BAB VI
MASA BERLAKU, PERUBAHAN, DAN PENCABUTAN NKV

Pasal 12

NKV berlaku untuk jangka waktu selama unit usaha melakukan kegiatan
proses produksi, penanganan dan atau pengolahan sepanjang masih
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Pasal 13

(1) Perubahan NKV dilakukan apabila terjadi perubahan pengelola usaha


dan nama unit usaha.
(2) Perubahan lokasi tempat usaha sepanjang masih berada dalam wilayah
propinsi yang sama wajib memperoleh NKV baru.
(3) Perubahan NKV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembaruan
NKV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan
permohonan pengelola unit usaha kepada Kepala Dinas Propinsi dan
selanjutnya diproses sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 14

NKV dapat dicabut oleh Kepala Dinas Propinsi dalam hal:


a. permintaan pemohon;
b. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
c. ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan proses produksi,
penanganan dan atau pengolahan;
d. unit usaha tidak lagi melakukan kegiatan usahanya selama 6 (enam)
bulan berturut-turut;
e. unit usaha dinyatakan pailit;
f. berpindahnya lokasi unit usaha ke wilayah propinsi yang berbeda;
g. adanya rekomendasi dari Direktur Jenderal Peternakan berdasarkan
hasil verifikasi dan surveilans Tim Auditor Direktorat Jenderal
Peternakan.

Pasal 15

(1) Pencabutan NKV dengan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 14 huruf


b, huruf c, dan huruf d dilakukan setelah diberi peringatan tertulis 3
(tiga) kali berturut-turut selang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada
laporan tertulis yang dibuat oleh Tim Auditor yang melakukan
surveilans.

RPH 221 CIKAMPEK


(3) Pencabutan NKV dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah peringatan tertulis terakhir sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
(4) Pencabutan NKV dengan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 13 huruf
g dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diberi
peringatan tertulis .
(5) Unit usaha yang dicabut NKV nya diumumkan dalam media massa.

Pasal 16

Pengelola unit usaha pangan asal hewan yang akan memindahkan kegiatan
usahanya ke wilayah propinsi yang berbeda wajib menyerahkan NKVnya
kepada Kepala Dinas Propinsi setempat dan wajib memperoleh NKV baru
dari Kepala Dinas Propinsi di tempat yang baru.

BAB VII
PEMBINAAN

Pasal 17

(1) Terhadap pelaku usaha yang belum dapat diberikan NKV dilakukan
pembinaan paling lama 5 (lima) tahun oleh Dinas Kabupaten/Kota
sampai terpenuhinya persyaratan higiene-sanitasi, selanjutnya wajib
memiliki NKV.
(2) Dinas Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan mengikuti
ketentuan dalam Pedoman Pembinaan seperti tercantum pada
Lampiran – IV Peraturan ini.

BAB VIII
PENGAWASAN

Pasal 18

Pengawasan terhadap penerapan NKV dilakukan melalui sistem pelaporan,


surveilans dan verifikasi.

Pasal 19

(1) Dalam rangka surveilans, Tim Auditor Propinsi melakukan pemeriksaan


penerapan NKV dan melaporkan hasil surveilans beserta saran kepada
Kepala Dinas Propinsi.
(2) Berdasarkan laporan hasil surveilans, Kepala Dinas Propinsi :
a. dalam hal terjadi penyimpangan terhadap penerapan NKV,
memberikan peringatan dan atau pencabutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14;

RPH 222 CIKAMPEK


b. dalam hal terjadi pemindahan lokasi unit usaha di wilayah propinsi
yang sama, melakukan perubahan NKV sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2);
c. dalam hal terjadi pemindahan lokasi unit usaha ke wilayah propinsi
yang berbeda, melakukan pencabutan NKV sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.

Pasal 20

(1) Dalam rangka menjamin penerapan sertifikasi NKV yang baik, Dinas
Propinsi melakukan surveilans dan evaluasi.
(2) Dalam rangka menjamin penerapan sistem NKV yang baik, Tim Auditor
Direktorat Jenderal Peternakan melakukan verifikasi terhadap
penerapan sertifikasi NKV oleh Dinas Propinsi, dan melaporkan hasil
verifikasi kepada Direktur Jenderal Peternakan.
(3) Berdasarkan laporan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Direktur Jenderal Peternakan meminta Kepala Dinas Propinsi untuk
melakukan tindakan koreksi terhadap ketidaksesuaian penerapan
pelaksanaan sertifikasi NKV.
(4) Pelaksanaan verifikasi oleh Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan
dapat dilakukan pada unit usaha pangan asal hewan bersama dengan
Tim Auditor Propinsi.
(5) Apabila hasil surveilans dan verifikasi pada unit usaha pangan asal
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menunjukkan adanya
ketidaksesuaian yang menyebabkan produk menjadi sangat berisiko
terhadap keamanan pangan, maka Direktur Jenderal Peternakan
merekomendasikan kepada Kepala Dinas Propinsi untuk mencabut NKV
unit usaha dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g.
(6) Apabila ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
disebabkan oleh adanya kelalaian dari Tim Auditor Propinsi, maka
Direktur Jenderal Peternakan merekomendasikan kepada Kepala Dinas
Propinsi untuk memberikan sanksi kepada Tim Auditor Propinsi
bersangkutan.

Pasal 21

Apabila unit usaha pangan asal hewan bermaksud melakukan usaha


pengeluaran, Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan dapat melakukan
verifikasi dalam rangka harmonisasi standar jaminan keamanan pangan
asal hewan di tingkat regional maupun internasional.

RPH 223 CIKAMPEK


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22

NKV yang telah diberikan oleh Direktur Jenderal Peternakan wajib


diperbarui mengikuti ketentuan Peraturan ini selambat-lambatnya 1 (satu)
tahun sejak ditetapkan.

Pasal 23

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 19 Oktober 2005

MENTERI PERTANIAN,

ttd.

ANTON APRIYANTONO

Salinan Peraturan ini disampaikan Kepada Yth.:


1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Dalam Negeri;
3. Menteri Kesehatan;
4. Menteri Perindustrian;
5. Menteri Perdagangan;
6. Kepala Badan POM;
7. Gubernur Propinsi Seluruh Indonesia;
8. Bupati/Walikota Seluruh Indonesia.

RPH 224 CIKAMPEK


DAFTAR LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005
TANGGAL : 19 Oktober 2005
TENTANG : PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT
USAHA PANGAN ASAL HEWAN

DAFTAR LAMPIRAN

NO NAMA DOKUMEN KETERANGAN


.

I Pedoman Penilaian Kontrol Veteriner Unit Usaha


Pangan Asal Hewan

II Format Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha


Pangan Asal Hewan

III Format Keterangan Hasil Penilaian

IV Tata Cara Penulisan Nomor Kontrol Veteriner


Unit Usaha Pangan Asal Hewan

V Pedoman Pembinaan Teknis Higiene-Sanitasi Unit


Usaha Pangan Asal Hewan

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 19 Oktober 2005

MENTERI PERTANIAN,

ttd.

ANTON APRIYANTONO

RPH 225 CIKAMPEK


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1983
TENTANG
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan penting dalam


mencegah penularan zoonosa dan pengamanan produksi bahan makanan asal
hewan dan bahan asal hewan lainnya, untuk kepentingan kesehatan masyarakat;
b. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 19 dan Pasal 21 Undang-undang Nomor 6 Tahun
1967 dipandang perlu mengatur kesehatan masyarakat veteriner dengan Peraturan
Pemerintah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun1967 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3037);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1973 tentang Pembuatan, Persediaan,
Peredaran dan Pemakaian Vaksinasi, Sera dan Bahan-bahan Diagnostika Biologis
untuk Hewan (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 23);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan,
Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3101);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan
(Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3102);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT


VETERINER.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 226 CIKAMPEK
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan


a. Pengujian adalah kegiatan pemeriksaan kesehatan bahan makanan asal hewan dan bahan asal
hewan untuk mengetahui bahwa bahan-bahan tersebut layak, sehat dan aman bagi manusia;
b. Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih atau dibunuh dan lazim dimakan
manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan;
c. Susu adalah cairan yang diperoleh dari ambing ternak perah sehat, dengan cara pemerahan
yang benar, terus menerus dan tidak dikurangi sesuatu dan/atau ditambahkan ke dalamnya
sesuatu bahan lain;
d. Usaha pemotongan hewan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perorangan
dan/atau badan yang melaksanakan pemotongan hewan di rumah potong hewan milik sendiri
atau milik pihak ketiga atau menjual jasa pemotongan hewan;
e. Telur adalah telur unggas;
f. Zoonosa adalah penyakit yang dapat berjangkit dari hewan kepada manusia atau sebaliknya;
g. Pengawetan adalah usaha atau kegiatan tertentu untuk mengendalikan, menghambat reaksi
enzyma dan mikro-organisme pembusuk, sehingga bahan makanan tersebut dapat digunakan
dengan aman dalam jangka waktu yang lebih lama;
h. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan masyarakat
veteriner.

BAB II
PENGAWASAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

Pasal 2

(1) Setiap hewan potong yang akan dipotong harus Sehat dan telah diperiksa kesehatannya oleh
petugas pemeriksa yang berwenang.
(2) Jenis-jenis hewan potong ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
(3) Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah pemotongan hewan atau tempat
pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
(4) Pemotongan hewan potong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta
penyembelihan hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan menyimpang dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini, dengan mendapat izin terlebih dahulu dari
Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang
ditunjuknya.
(5) Syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, pelaksanaan pemotongan, dan cara
pemeriksaan kesehatan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh Menteri.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 227 CIKAMPEK
Pasal 3

(1) Setiap orang atau badan yang melaksanakan


a. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Propinsi dan
ekspor harus memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan dari Menteri atau pejabat
yang ditunjuknya;
b. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam suatu Daerah Tingkat I harus
memperoleh surat izin pemotongan hewan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang
bersangkutan;
c. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II harus memperoleh surat izin usaha
pemotongan hewan dari Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
(2) Tata cara untuk memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan ditetapkan oleh :
a. Menteri sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging
kebutuhan antar Propinsi dan ekspor;
b. Gubernur Daerah Tingkat I, sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan untuk
penyediaan daging kebutuhan antar Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II,
dalam suatu Daerah Tingkat I yang bersangkutan;
c. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sepanjang mengenai usaha
pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan suatu Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperiksa kesehatannya oleh petugas
pemeriksa yang berwenang.
(2) Daging yang lulus dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, baru
dapat diedarkan setelah terlebih dahulu dibubuhi cap atau stempel oleh petugas pemeriksa
yang berwenang.
(3) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) Pasal ini, dan cara
penanganan serta syarat kelayakan tempat penjualan daging diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(4) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan daging yang tidak berasal dari pemotongan
hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini, kecuali
daging yang berasal dari pemotongan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
Peraturan Pemerintah ini.
(5) Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat.

Pasal 5

(1) Setiap perusahaan susu harus memenuhi persyaratan tentang kesehatan sapi perah,
perkandangan, kesehatan lingkungan, kamar susu, tempat penampungan susu, dan alat-alat
serta keadaan air yang dipergunakan dalam kaitannya dengan produksi susu.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 228 CIKAMPEK
(2) Persyaratan usaha peternakan susu rakyat diatur tersendiri oleh Menteri.
(3) Tenaga kerja yang menangani produksi susu, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a. berbadan sehat;
b. berpakaian bersih;
c. diperiksa kesehatannya secara berkala oleh Dinas Kesehatan setempat;
d. tidak berbuat hal-hal yang dapat mencemarkan susu;
e. syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 6

Pemerahan dan penanganan susu harus:


a. dilakukan secara higienis;
b. mengikuti cara-cara pemerahan yang baik;
c. memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 7

(1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan susu yang tidak memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan susu harus mengikuti cara penanganan,
penyimpanan, pengangkutan, dan penjualan susu yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Menteri menerapkan syarat kelayakan tempat usaha dan tempat penjualan susu.

Pasal 8

Setiap usaha peternakan babi harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat veteriner
dari ternak babi, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang ditetapkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 9

Setiap usaha peternakan unggas harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat
veteriner dari ternak unggas, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 10

(1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan telur yang tidak memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan telur harus mengikuti cara penyimpanan dan
pengangkutan telur yang ditetapkan oleh Menteri.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 229 CIKAMPEK
Pasal 11

Setiap usaha atau kegiatan pengawetan bahan makanan asal hewan dan hasil usaha atau kegiatan
tersebut harus memenuhi syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 12

Menteri menetapkan batas maksimum kandungan residu bahan hayati, anti biotika, dan obat
lainnya di dalam bahan makanan asal hewan.

Pasal 13

Setiap usaha pengumpulan, penampungan, penyimpanan, dan pengawetan bahan asal hewan harus
memenuhi ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 14

(1) Pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner atas pemotongan hewan,


perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi, daging, susu dan telur, pengawetan
bahan makanan asal hewan, bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan bahan asal
hewan dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, kecuali usaha
pemotongan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b
Peraturan Pemerintah ini.
(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menetapkan tata cara pelaksanaan
pengawasan kesehatan masyarakat veteriner dengan memperhatikan ketentuan Menteri.
(3) Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner yang menyangkut bidang teknis hegiene dan
sanitasi dilakukan oleh Dokter Hewan Pemerintah.
(4) Dokter Hewan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini ditunjuk oleh
Menteri.

Pasal 15

(1) Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang


menyangkut kepentingan suatu Daerah Tingkat II dan antar Daerah Tingkat II dalam suatu
Daerah Tingkat I, dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan
atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
(2) Pengawasan pelaksanaan ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang
menyangkut kepentingan antar Propinsi atau Daerah Tingkat I dan keperluan ekspor
dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 230 CIKAMPEK
BAB III
PENGUJIAN

Pasal 16

(1) Dalam rangka pengawasan daging, telur, bahan makanan asal hewan yang diawetkan, dan
bahan asal hewan apabila dipandang perlu dapat dilakukan pengujian.
(2) Dalam rangka pengawasan terhadap kesehatan susu, pengujiannya dapat dilakukan setiap
waktu.

Pasal 17

Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya menetapkan petunjuk teknis pengujian.

Pasal 18

(1) Pengujian daging, susu, dan telur serta bahan asal hewan lainnya dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II.
(2) Pemerintah Daerah Tingkat II mengatur lebih lanjut pelaksanaan pengujian bahan makanan
asal hewan dan bahan asal hewan yang beredar di daerah kewenangannya masing-masing.
(3) Dalam melakukan kewenangan tersebut Pemerintah Daerah harus mengindahkan petunjuk
teknis pengujian yang dikeluarkan oleh Menteri.

Pasal 19

Menteri mengatur pengujian bahan makanan yang berasal dari hewan yang diawetkan.

Pasal 20

(1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal, 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini,
dilakukan di laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah Tingkat
II setempat.
(2) Apabila pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, tidak dapat dilaksanakan
oleh laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah Tingkat II
setempat, Menteri menunjuk lembaga atau laboratorium yang berwenang melakukan
pengujian.

BAB IV
PEMBERANTASAN RABIES

Pasal 21

Menteri menetapkan daerah-daerah tertentu di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, sebagai
daerah bebas rabies.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 231 CIKAMPEK
Pasal 22

(1) Untuk mempertahankan daerah bebas rabies, setiap orang atau badan hukum dilarang
memasukkan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan
rabies :
a. dari Negara atau bagian Negara lain yang belum diakui sebagai Negara atau bagian
Negara yang bebas rabies ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang telah
dinyatakan sebagai daerah bebas rabies;
b. dari daerah yang belum dinyatakan oleh Menteri sebagai daerah bebas rabies ke daerah
lain di wilayah Negara Republik Indonesia yang telah dinyatakan sebagai daerah bebas
rabies.
(2) Menteri dapat memberikan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) Pasal ini hanya untuk kepentingan umum, ketertiban umum dan pertahanan-keamanan.

Pasal 23

Menteri mengatur syarat-syarat dan tata cara tentang :


a. pemasukan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat manularkan rabies
dari Negara lain ke wilayah Negara Republik Indonesia;
b. pengeluaran anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan
rabies dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar negeri;
c. pemasukan dan pengeluaran anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat
menularkan rabies antar daerah di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

Pasal 24

(1) Pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya
yang diduga dapat menularkan rabies diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(2) Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarakan dengan kerja sama
dengan Instansi lain.

Pasal 25

Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Peraturan Pemerintah ini,
pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing di bawah kewenangan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dilakukan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan.

BAB V
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN ZOONOSA LAINNYA

Pasal 26

Menteri menetapkan jenis-jenis zoonosa yang harus diadakan pencegahan dan pemberantasan.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 232 CIKAMPEK
Pasal 27

(1) Pencegahan dan pemberantasan zoonosa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan


Pemerintah ini merupakan kewajiban Pemerintah dan dilaksanakan bersama antara Instansi-
instansi yang langsung atau tidak langsung berkepentingan dengan kesejahteraan dan
kepentingan umum.
(2) Menteri menetapkan petunjuk-petunjuk pelaksanaan pemberantasan zoonosa.

BAB VI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 28

(1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5),Pasal 3 ayat (1),
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 5 ayat (1),Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000, (Lima puluh ribu rupiah).
(2) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (5), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1)
Peraturan Pemerintah ini dipidana berdasarkan' ketentuan Perundang-undangan Yang
berlaku.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 29

(1) Hal-hal Yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
(2) Peraturan Yang mengatur masalah kesehatan masyarakat veteriner yang sudah ada dan
berlaku sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini, masih tetap berlaku sebelum
peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 233 CIKAMPEK
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 28

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 234 CIKAMPEK
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1983
TENTANG
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

A.UMUM

Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan
dan bahan-bahan yang berasal dari hewan, yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kesehatan manusia.
Oleh karena itu kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan yang penting dalam
mencegah penularan penyakit kepada manusia baik melalui hewan maupun bahan makanan
asal hewan atau bahan asal hewan lainnya, dan ikut serta memelihara dan mengamankan
produksi bahan makanan asal hewan dari pencemaran dan kerusakan akibat penanganan
yang kurang higienis.
Fungsi kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pemerintah
ini, antara lain untuk melindungi konsumen-konsumen dari bahaya yang dapat
mengganggu kesehatan ("foodborne disease") akibat menggunakan baik untuk dipakai
atau dimakan bahan makanan asal hewan, melindungi dan menjamin ketentraman baik
masyarakat dari kemungkinan-kemungkinan penularan zoonosa yang sumbernya berasal
dari kerugian-kerugian sebagai akibat penurunan nilai dan kualitas bahan makanan asal
hewan yang diproduksi. Dengan demikian kiranya dapat dipahami tentang pentingnya
kesehatan masyarakat veteriner, karena menyangkut aspek kesehatan dan secara tidak
langsung mempengaruhi aspek ekonomi yang satu dengan lainnya mempunyai pengaruh
timbal balik.
Mengingat pengaruh-pengaruh itu, maka perlu bidang kesehatan masyarakat veteriner ini
diatur dengan sebaik-baiknya. Pengaturan di bidang kesehatan masyarakat veteriner di
Indonesia pada saat sekarang yang meliputi atau mencakup usaha-usaha yang berhubungan
dengan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan serta pencegahan atau
pemberantasan zoonosa belum lengkap sebagaimana yang diharapkan.
Keadaan ini mempersulit dalam pembinaan teknis pelaksanaan yang dapat berakibat
kurangnya pengawasan sehingga menyebabkan timbulnya kerugian baik pada konsumen
maupun produsen.
Dalam usaha penanganan, pembinaan dan pengembangan bidang kesehatan masyarakat
veteriner, serta mengingat atau memperhatikan kemajuan teknologi di bidang lain maka
bidang kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapat perhatian bagi pengembangannya.
Untuk maksud tersebut diperlukan adanya Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner yang dapat memberikan kepastian dan jaminan hukum baik bagi
Pemerintah maupun masyarakat.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 235 CIKAMPEK
Sebagaimana diketahui bahwa bahan makanan asal hewan atau bahan asal hewan lainnya
berhubung dengan sifatnya yang mudah rusak dan dapat menjadi sumber penularan
penyakit hewan kepada manusia, maka setiap usaha yang bergerak dan berhubungan
dengan bahan-bahan tersebut harus memenuhi syarat kesehatan masyarakat veteriner agar
bahan-bahan tersebut tetap sehat dan dapat dikonsumsi manusia (memenuhi persyaratan
kesehatan).
Dalam pelaksanaannya diperlukan adanya pengawasan Pemerintah terhadap usaha-usaha
tersebut agar syarat-syarat yang telah ditetapkan ditaati. Disamping itu diperlukan pula
pengujian-pengujian terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diketahui apakah
bahan-bahan tersebut benar-benar memenuhi persyaratan kesehatan.
Mengenai perusahaan susu, perusahaan unggas, dan perusahaan babi, sehubungan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan di Indonesia yaitu
dalam rangka usaha pembangunan dan pengembangan peternakan umumnya, maka dalam
pembinaan dan penerapan peraturan mengenai bidang peternakan tersebut di atas,
kepentingan-kepentingan/masalah kesehatan masyarakat veteriner wajib diperhatikan.
Dengan demikian hal-hal yang menyangkut perizinan usaha peternakan harus disyaratkan
sebelumnya agar syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dapat dipenuhi.
Usaha pemotongan hewan juga termasuk ruang lingkup bidang kesehatan masyarakat
veteriner dan dapat merupakan suatu unit usaha yang sifatnya terpadu dengan rumah
potong hewan dan pengawetan daging atau bahan asal hewan.
Keadaan ini sama halnya dengan usaha peternakan sapi perah atau perusahaan susu yang
membutuhkan unit untuk pengerjaan atau penampungan susu (kamar susu).
Pengujian merupakan bagian daripada kegiatan pengawasan, baik pengujian terhadap
bahan segar, bahan hasil pengawetan dan bahan asal hewan lain. Untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan pengujian ini diperlukan adanya tenaga-tenaga trampil, sarana dan
peralatan yang memadai dan beaya operasional. Dengan melaksanakan pengawasan dan
pengujian ini, maka semua produk bahan asal hewan yang disampaikan kepada pihak
konsumen dapat dijamin kebersihan dan keamanannya, sehingga tidak menimbulkan
bahaya-bahaya yang tidak diinginkan bila dikonsumsi atau digunakan oleh para konsumen.
Bidang pengujian ini cukup luas, pada pokoknya akan mencakup pengujian secara fisis,
khemis dan bakteriologis dan dapat diperinci lebih lanjut tergantung pada macam atau
kondisi bahan yang akan diuji dan apa yang perlu diperiksa.
Pengujian bahan makanan asal hewan (daging, susu, dan telur) dan bahan asal hewan
lainnya, menjadi tanggungjawab Pemerintah.
Khusus mengenai rabies yang merupakan zoonosa terpenting yang berbahaya bagi
keselamatan jiwa manusia, perlu diatur usaha penolakan, pencegahan dan
pemberantasannya di Indonesia dengan sebaik-baiknya. Dalam rangka penolakan rabies ke
dalam wilayah atau daerah-daerah di Indonesia maka diadakan larangan untuk
memasukkan anjing, kucing atau kera, dan satwa liar lainnya ke dalam wilayah atau
daerah-daerah tertentu.
Pengecualian terhadap larangan tersebut dapat diberikan kepada rombongan sirkus atau
badan lain yang sama sifatnya.
Daerah-daerah tersebut diatas dikenal sebagai daerah bebas rabies.Daerah bebas rabies
tersebut kita pertahankan agar tetap bebas.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 236 CIKAMPEK
B.PASAL DEMI PASAL

Pasal 2
Ayat (1)
Pemeriksaan hewan sebelum dipotong adalah untuk memperoleh daging sehat
untuk konsumsi manusia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk memperoleh daging yang sehat pada dasarnya pemotongan hewan harus
dilakukan di rumah pemotongan hewan. Namun demikian mengingat belum semua
daerah mempunyai rumah pemotongan hewan maka pemotongan hewan dapat
dilakukan di tempat pemotongan hewan lain yang ditunjuk oleh Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setempat.
Ayat (4)
Pemotongan hewan yang dilakukan menyimpang dari ketentuan ayat (3) Pasal ini,
semata-mata hanya untuk keperluan keluarga, agama, adat, dan bukan untuk mata
pencaharian atau diperdagangkan.
Ayat (5)
Pekerja yang dimaksud dalam ayat ini adalah tenaga-tenaga yang langsung terlibat
dalam pemotongan hewan (orang yang menyembelih, orang yang menguliti dan
lain-lain).

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
yang dimaksud penanganan dalam ayat ini antara lain pemotongan bagian-bagian
daging, pengangkutan, penyimpanan, dan menjajakan daging pada saat penjualan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 237 CIKAMPEK
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 6
Yang dimaksud penanganan dalam Pasal ini antara lain pendinginan, pasteurisasi, dan
sterilisasi susu.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 8
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya
gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya dan
kesehatan ternak babinya sendiri.

Pasal 9
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya
gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya dan
kesehatan ternak unggasnya sendiri.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 11
Maksud dan tujuan pengawetan dalam Pasal ini adalah semua usaha/ kegiatan untuk
mengendalikan,menghambat reaksi enzyma dan mikro-organisme pembusuk. Sehingga
bahan makanan tersebut dapat digunakan dengan aman dalam jangka waktu yang lebih
lama. Dalam usaha/kegiatan pengawetan ini termasuk : penggunaan suhu rendah, suhu
tinggi, proses pengeringan, dan bahan-bahan kimiawi dan zat tambahan lainnya. Syarat-
syarat kesehatan masyarakat veteriner dalam Pasal ini adalah syarat-syarat kesehatan
tentang : bahan baku, bahan pengawet, bahan tambahan lainnya, sarana dan cara
pengawetan serta cara pengepakan, penyimpanan dan pengangkutan hasil usaha/kegiatan
pengawetan.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 238 CIKAMPEK
Pasal 12
Penggunaan bahan hayati, anti biotika dan obat-obat lainnya pada hewan dapat
meningkatkan residu dalam bahan makanan asal hewan yang bersangkutan, yang pada
tingkat tertentu dapat membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu ditetapkan
batas maksimum residu yang dapat diizinkan dalam bahan makanan asal hewan.

Pasal 13
Syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dalam Pasal ini adalah syarat-syarat
kesehatan tentang :
- tempat atau lokasi pengumpulan dan penampungan serta lingkungannya.
- cara-cara pengawetan dan penyimpanan serta keterangan asal dari bahan asal
hewan tersebut.

Pasal 14
Ayat (1)
Bahwa tugas-tugas bidang kesehatan masyarakat veteriner sesuai dengan maksud
Peraturan Pemerintah ini merupakan tugas pembantuan (medebewind) kepada
Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Dengan demikian hanya
pelaksanaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah sedangkan pembinaan dan
hal-hal yang menyangkut masalah teknis tetap menjadi tanggung jawab dan
sepenuhnya ditangan Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal pelaksanaan pengawasan yang nyata-nyata menyangkut bidang teknis
higiene dan sanitasi akan dilakukan oleh Dokter Hewan yang ditunjuk dan
dianggap cakap dalam bidang ini.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 16
Ayat (1)
Pengujian terhadap daging, telur, bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan
bahan asal hewan dapat dilakukan bila hasil penentuan sebelumnya belum dapat
memberikan keyakinan tentang kesehatan dari bahan-bahan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 239 CIKAMPEK
Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah
Tingkat II setempat tidak tersedia perlengkapan yang memadai atau Dinas
Peternakan setempat tidak memiliki laboratorium sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) Pasal ini,maka pelaksanaan pengujian dapat dilakukan di laboratorium lain
yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Ayat (1)
Daerah bebas rabies dalam wilayah Negara Republik Indonesia ditetapkan dengan
Keputusan Menteri. Untuk daerah tersebut dilarang memasukkan anjing, kucing,
kera, dan satwa liar lainnya yang dapat menularkan rabies.
Ayat (2)
Izin pengecualian untuk memasukkan anjing, kucing, kera dari daerah rabies untuk
keperluan umum dan pertahanan keamanan diberikan oleh Menteri atas dasar
permohonan dari yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan
kepentingan pertahanan dan keamanan misalnya anjing-anjing pelacak untuk
pengamanan operasi/obyek-obyek militer, anjing-anjing pelacak untuk operasi-
operasi kepolisian, dan petugas/Instansi Bea dan Cukai misalnya operasi narkotika
dan lain-lain. Sedangkan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya untuk
kepentingan pribadi dari anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak
termasuk didalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) ini.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 240 CIKAMPEK
Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarakan dengan kerja
sama dengan Instansi lain, karena disamping rabies mempunyai akibat negatif
terhadap manusia yang terjangkit dan masyarakat sekitarnya, juga pelaksanaan
pencegahan dan pemberantasan rabies tersebut dapat disertai dengan suatu
tindakan pemusnahan terhadap milik orang lain.

Pasal 25
Anjing yang ada di bawah kewenangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia antara
lain ialah anjing-anjing pelacak dalam satuan Brigade Anjing dalam Dinas Provoost
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, anjing pelacak yang merupakan bagian dari
Satuan Satwa POLRI. Untuk usaha pencegahan adanya rabies pada anjing-anjing tersebut
termasuk pelaksanaan vaksinasi dilakukan oleh unsur Departmen Pertahanan dan
Keamanan. Dalam hal-hal tertentu Departemen Pertahanan-Kemanan dapat minta bantuan
kepada Dinas Peternakan bilamana tenaga teknis untuk maksud tersebut belum dapat
dipenuhi.

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3253

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 241 CIKAMPEK
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.60, 2010 Kementerian Pertanian. Rumah Potong Hewan.
Unit Penanganan Daging.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 13/Permentan/OT.140/1/2010
TENTANG
PERSYARATAN RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA DAN
UNIT PENANGANAN DAGING (MEAT CUTTING PLANT)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjamin pangan asal hewan


khususnya karkas, daging, dan jeroan ruminansia yang
aman, sehat, utuh dan halal diperlukan Rumah Potong
Hewan yang memenuhi persyaratan;
b. bahwa kegiatan pemotongan hewan ruminansia
mempunyai risiko penyebaran dan/atau penularan
penyakit hewan menular termasuk penyakit zoonotik
dan/atau penyakit yang ditularkan melalui daging (meat
borne disease) yang mengancam kesehatan manusia,
hewan, dan lingkungan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b tersebut di atas dan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 61 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 242 CIKAMPEK
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dipandang perlu
menetapkan Persyaratan Rumah Potong Hewan
Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting
Plant) dengan Peraturan Menteri Pertanian;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3656);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5015);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara
Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3253);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang
Standardisasi Nasional Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4020);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4424);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 243 CIKAMPEK
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4761);
11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
12. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang
Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen;
13. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
14. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/
OT.210/3/2005 tentang Pelaksanaan Standardisasi
Nasional di Bidang Pertanian;
15. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/Kp.140/
7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Pertanian, jis Peraturan Menteri Pertanian Nomor
11/Permentan/OT.140/2/ 2007 dan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 22/Permentan/ OT.140/4/2008;
16. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/Kp.140/
9/2005 Tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Pertanian juncto Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;
17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/
10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG
PERSYARATAN RUMAH POTONG HEWAN
RUMINANSIA DAN UNIT PENANGANAN DAGING
(MEAT CUTTING PLANT).

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 244 CIKAMPEK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Ruminansia besar adalah ternak memamah biak yang terdiri dari ternak
ruminansia besar, seperti sapi dan kerbau, serta ternak ruminansia kecil,
seperti kambing dan domba.
2. Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat
umum.
3. Unit Penanganan Daging (meat cutting plant) yang selanjutnya disebut
dengan UPD adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan
disain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan
pembagian karkas, pemisahan daging dari tulang, dan pemotongan daging
sesuai topografi karkas untuk menghasilkan daging untuk konsumsi
masyarakat umum.
4. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus
hidupnya berada di darat, air dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun
yang dihabitatnya.
5. Karkas ruminansia adalah bagian dari tubuh ternak ruminansia sehat yang
telah disembelih secara halal, dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan
kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan
ambing, ekor serta lemak yang berlebih, dapat berupa karkas segar hangat
(hot carcass), segar dingin (chilled carcass) atau karkas beku (frozen
carcass).
6. Daging adalah bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak
dikonsumsi oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang dan
daging tanpa tulang, dapat berupa daging segar hangat, segar dingin
(chilled) atau karkas beku (frozen).
7. Karkas atau daging segar dingin (chilled) adalah karkas atau daging yang
mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan sehingga temperatur
bagian dalam karkas atau daging antara 0ºC dan 4ºC.
8. Karkas atau daging segar beku (frozen) adalah karkas atau daging yang
sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan
temperatur internal karkas atau daging minimum minus18ºC.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 245 CIKAMPEK
9. Jeroan (edible offal) adalah isi rongga perut dan rongga dada dari ternak
ruminansia yang disembelih secara halal dan benar sehingga aman, lazim,
dan layak dikonsumsi oleh manusia dapat berupa jeroan dingin atau beku.
10. Pemeriksaan ante-mortem (ante-mortem inspection) adalah pemeriksaan
kesehatan hewan potong sebelum disembelih yang dilakukan oleh petugas
pemeriksa berwenang.
11. Pemeriksaan post-mortem (post-mortem inspection) adalah pemeriksaan
kesehatan jeroan dan karkas setelah disembelih yang dilakukan oleh
petugas pemeriksa berwenang.
12. Pemotongan hewan adalah kegiatan untuk menghasilkan daging hewan
yang terdiri dari pemeriksaan ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian
penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem.
13. Penyembelihan hewan adalah kegiatan mematikan hewan hingga tercapai
kematian sempurna dengan cara menyembelih yang mengacu kepada
kaidah kesejahteraan hewan dan syariah agama Islam.
14. Penanganan daging hewan adalah kegiatan yang meliputi pelayuan,
pembagian karkas, pembagian potongan daging, pembekuan, pendinginan,
pengangkutan, penyimpanan dan kegiatan lain untuk penjualan daging.
15. Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan pemerintah yang ditunjuk
oleh Gubernur/Bupati/Walikota untuk melakukan pengawasan di bidang
kesehatan masyarakat veteriner di RPH dan/atau UPD.
16. Dokter hewan penanggungjawab teknis adalah dokter hewan yang ditunjuk
oleh Manajemen RPH dan/atau UPD berdasarkan rekomendasi dari
Gubernur/Bupati/ Walikota yang bertanggungjawab dalam pemeriksaan
ante-mortem dan post-mortem serta pengawasan di bidang kesehatan
masyarakat veteriner di RPH dan/atau UPD.
17. Daerah kotor adalah daerah dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi
dan fisik yang tinggi.
18. Daerah bersih adalah daerah dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi
dan fisik yang rendah.
19. Desinfeksi adalah penerapan bahan kimia dan/atau tindakan fisik untuk
mengurangi/menghilangkan mikroorganisme.
20. Kandang penampung adalah kandang yang digunakan untuk menampung
hewan potong sebelum pemotongan dan tempat dilakukannya pemeriksaan
ante-mortem.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 246 CIKAMPEK
21. Kandang isolasi adalah kandang yang digunakan untuk mengisolasi hewan
potong yang ditunda pemotongannya karena menderita atau dicurigai
menderita penyakit tertentu.
22. Zoonosis adalah suatu penyakit infeksi yang secara alami ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya.
23. Kesehatan Masyarakat Veteriner yang selanjutnya disingkat Kesmavet
adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan
yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan
manusia.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan dan dasar hukum bagi setiap
orang dan pemerintah daerah dalam membangun dan mengembangkan RPH
dan UPD.
Pasal 3
Ruang lingkup peraturan ini meliputi Persyaratan RPH; Persyaratan UPD;
Persyaratan Higiene-sanitasi; Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner;
Izin RPH, Izin dan Jenis Usaha Usaha Pemotongan Hewan; Sumber Daya
Manusia; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.
BAB II
PERSYARATAN RUMAH POTONG HEWAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Teknis RPH
Pasal 4
RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang
aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk
melaksanakan:
a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection)
dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk
mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan
pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna
pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan
zoonosis di daerah asal hewan.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 247 CIKAMPEK
Pasal 5
(1) Untuk mendirikan rumah potong wajib memenuhi persyaratan administratif
dan persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan peraturan perundangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lokasi;
b. sarana pendukung;
c. konstruksi dasar dan disain bangunan;
d. peralatan.
Bagian Kedua
Persyaratan Lokasi
Pasal 6
(1) Lokasi RPH harus sesuai dengan dengan Rencana Umum Tata Ruang
Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD) atau
daerah yang diperuntukkan sebagai area agribisnis.
(2) Lokasi RPH harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan
kontaminan lainnya;
b. tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan;
c. letaknya lebih rendah dari pemukiman;
d. mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan
hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi;
e. tidak berada dekat industri logam dan kimia;
f. mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH;
g. terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi
dengan pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk
mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar rumah potong.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 248 CIKAMPEK
agian Ketiga
Persyaratan Sarana Pendukung
Pasal 7
RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung paling kurang
meliputi:
a. akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut
hewan potong dan kendaraan daging;
b. sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah
cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari;
c. sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus;
d. fasilitas penanganan limbah padat dan cair.
Bagian Keempat
Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi
Pasal 8
(1) Kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah
untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging
(2) Bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi:
a. bangunan utama;
b. area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang
penampungan/kandang istirahat hewan;
c. kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif;
d. kandang isolasi;
e. ruang pelayuan berpendingin (chilling room);
f. area pemuatan (loading) karkas/daging;
g. kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan;
h. kantin dan mushola;
i. ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi
(locker)/ruang ganti pakaian;
j. kamar mandi dan WC;
k. fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat
dimanfaatkan atau insinerator;
l. sarana penanganan limbah;
m. rumah jaga.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 249 CIKAMPEK
(3) Dalam kompleks RPH yang menghasilkan produk akhir daging segar
dingin (chilled) atau beku (frozen) harus dilengkapi dengan:
a. ruang pelepasan daging (deboning room) dan pemotongan daging
(cutting room);
b. ruang pengemasan daging (wrapping and packing);
e. fasilitas chiller;
f. fasilitas freezer dan blast freezer;
g. gudang dingin (cold storage).
(4) RPH berorientasi ekspor dilengkapi dengan laboratorium sederhana.
Pasal 9
(1) Bangunan utama RPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf
a harus memiliki daerah kotor yang terpisah secara fisik dari daerah bersih.
(2) Daerah kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. area pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area
pengeluaran darah;
b. area penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat
kaki sampai metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi
dada dan isi perut);
c. ruang untuk jeroan hijau;
d. ruang untuk jeroan merah;
e. ruang untuk kepala dan kaki;
f. ruang untuk kulit; dan
g. pengeluaran (loading) jeroan.
Daerah bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi area
untuk:
a. pemeriksaan post-mortem;
b. penimbangan karkas;
c. pengeluaran (loading) karkas/daging.
Pasal 10
Disain dan konstruksi dasar seluruh bangunan dan peralatan RPH harus dapat
memfasilitasi penerapan cara produksi yang baik dan mencegah terjadinya
kontaminasi.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 250 CIKAMPEK
Pasal 11
Bangunan utama RPH harus memenuhi persyaratan:
a. tata ruang didisain sedemikian rupa agar searah dengan alur proses serta
memiliki ruang yang cukup, sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan
dapat berjalan baik dan higienis, dan besarnya ruangan disesuaikan dengan
kapasitas pemotongan;
b. adanya pemisahan ruangan yang jelas secara fisik antara “daerah bersih” dan
“daerah kotor”;
c. memiliki area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaan post-
mortem;
d. lampu penerangan harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan
mempunyai intensitas cahaya 540 luks untuk area pemeriksaan post-mortem,
dan 220 luks untuk area pengerjaan proses pemotongan;
e. dinding bagian dalam berwarna terang dan paling kurang setinggi 3 meter
terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan
terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak
mudah mengelupas;
f. dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan
dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;
g. lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak
toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan landai ke arah saluran
pembuangan;
h. permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah atau
lubang, jika lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat
mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan kedap air;
i. lubang ke arah saluran pembuangan pada permukaan lantai dilengkapi
dengan penyaring;
j. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan
jari-jari sekitar 75 mm;
k. sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 25 mm;
l. di daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus didisain agar darah dapat
tertampung;

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 251 CIKAMPEK
m. langit-langit didisain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi
dalam ruangan, harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air,
tidak mudah mengelupas, kuat, mudah dibersihkan, tidak ada lubang atau
celah terbuka pada langit-langit;
n. ventilasi pintu dan jendela harus dilengkapi dengan kawat kasa untuk
mencegah masuknya serangga atau dengan menggunakan metode
pencegahan serangga lainnya;
o. konstruksi bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah
tikus atau rodensia, serangga dan burung masuk dan bersarang dalam
bangunan;
p. pertukaran udara dalam bangunan harus baik;
q. kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari
kayu, dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan
keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat
menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk;
r. kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang
memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.
Pasal 12
(1) Area penurunan (unloading) ruminansia harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. dilengkapi dengan fasilitas untuk menurunkan ternak (unloading) dari
atas kendaraan angkut ternak yang didisain sedemikian rupa sehingga
ternak tidak cedera akibat melompat atau tergelincir;
b. ketinggian tempat penurunan/penaikan sapi harus disesuaikan dengan
ketinggian kendaraan angkut hewan;
c. lantai sejak dari tempat penurunan hewan sampai kandang
penampungan harus tidak licin dan dapat meminimalisasi terjadinya
kecelakaan;
d. harus memenuhi aspek kesejahteraan hewan.
(2) Kandang penampung dan istirahat hewan harus memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a. bangunan kandang penampungan sementara atau kandang istirahat
paling kurang berjarak 10 meter dari bangunan utama;
b. memiliki daya tampung 1,5 kali dari rata-rata jumlah pemotongan
hewan setiap hari;

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 252 CIKAMPEK
c. ventilasi (pertukaran udara) dan penerangan harus baik;
d. tersedia tempat air minum untuk hewan potong yang didisain landai ke
arah saluran pembuangan sehingga mudah dibersihkan;
e. lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras),
kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta
mudah dibersihkan dan didesinfeksi;
f. saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat
mengalir lancar;
g. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi
hewan dengan baik dari panas dan hujan;
h. terdapat jalur penggiringan hewan (gang way) dari kandang menuju
tempat penyembelihan, dilengkapi dengan pagar yang kuat di kedua
sisinya dan lebarnya hanya cukup untuk satu ekor sehingga hewan tidak
dapat kembali ke kandang;
i. jalur penggiringan hewan yang berhubungan langsung dengan bangunan
utama didisain sehingga tidak terjadi kontras warna dan cahaya yang
dapat menyebabkan hewan yang akan dipotong menjadi stres dan takut.
Pasal 13
(1) Untuk melindungi populasi ternak ruminansia betina produktif, harus
dilakukan pencegahan pemotongan ternak ruminansia betina produktif di
RPH.
(2) Ternak ruminansia betina yang berdasarkan pemeriksaan ante-mortem
sebagai ternak betina produktif harus ditampung dalam kandang khusus
yang memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. kandang penampung ternak ruminansia betina produktif dapat
merupakan kandang penampung yang terpisah atau merupakan bagian
kandang penampungan hewan, tetapi memiliki batas yang jelas;
b. fungsi kandang penampungan untuk menampung ternak ruminansia
betina produktif hasil seleksi hewan yang akan dipotong di RPH,
sekaligus sebagai tempat isolasi untuk ternak yang tidak boleh dipotong;
c. syarat kandang penampungan ternak ruminansia betina produktif harus
sama dengan syarat kandang penampungan ternak;
d. dilengkapi dengan kandang jepit untuk pemeriksaan status reproduksi.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 253 CIKAMPEK
Pasal 14
Kandang isolasi harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. terletak pada jarak terjauh dari kandang penampung dan bangunan utama,
serta dibangun di bagian yang lebih rendah dari bangunan lain;
b. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
c. dilengkapi dengan tempat air minum yang didisain landai ke arah saluran
pembuangan sehingga mudah dibersihkan;
d. lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap
air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah
dibersihkan dan didesinfeksi;
e. saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat mengalir
lancar;
f. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan
dengan baik dari panas dan hujan.
Pasal 15
Ruang pendingin/pelayuan (chilling room) harus memenuhi persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
a. ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih;
b. besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan dengan
mempertimbangkan jarak antar karkas paling kurang 10 cm, jarak antara
karkas dengan dinding paling kurang 30 cm, jarak antara karkas dengan
lantai paling kurang 50 cm, dan jarak antar baris paling kurang 1 meter;
c. konstruksi bangunan harus memenuhi persyaratan:
1. tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan karkas
minimal 3 meter;
2. dinding bagian dalam berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air,
memiliki insulasi yang baik, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan
terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak
mudah mengelupas;
3. lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak
toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;
4. lantai tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan;
5. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 75 mm;

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 254 CIKAMPEK
6. sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung
dengan jari-jari sekitar 25 mm;
7. langit-langit harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air,
memiliki insulasi yang baik, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah
dibersihkan;
8. intensitas cahaya dalam ruang 220 luks.
d. bangunan dan tata letak pendingin/pelayuan harus mengikuti persyaratan
seperti bangunan utama;
e. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang pendingin/pelayuan;
f. ruang dilengkapi dengan alat penggantung karkas yang didisain agar karkas
tidak menyentuh lantai dan dinding;
g. ruang mempunyai fasilitas pendingin dengan suhu ruang – 4 oC sampai + 4
o
C, kelembaban relatif 85-90% dengan kecepatan udara 1 sampai 4 meter per
detik;
h. suhu ruang dapat menjamin agar suhu bagian dalam daging maksimum +8 oC;
i. suhu ruang dapat menjamin agar suhu bagian dalam jeroan maksimum +4 oC.
Pasal 16
Area pemuatan (loading) karkas dan/atau daging ke dalam kendaraan angkut
karkas dan/atau daging harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dapat meminimalisasi terjadinya kontaminasi silang pada karkas dan/atau
daging;
b. ketinggian lantai harus disesuaikan dengan ketinggian kendaraan angkut
karkas dan/atau daging;
c. dilengkapi dengan fasilitas pengendalian serangga, seperti pemasangan lem
serangga;
d. memiliki fasilitas pencucian tangan.
Pasal 17
Kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan harus memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. luas kantor administrasi disesuaikan dengan jumlah karyawan, didisain
untuk keselamatan dan kenyamanan kerja, serta dilengkapi dengan ruang
pertemuan;
c. kantor Dokter Hewan harus terpisah dengan kantor administrasi.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 255 CIKAMPEK
Pasal 18
Kantin dan mushola harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. luas ruang disesuaikan dengan jumlah karyawan;
c. kantin didisain agar mudah dibersihkan, dirawat dan memenuhi persyaratan
kesehatan lingkungan.
Pasal 19
Ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi/ruang ganti
pakaian (locker) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. terletak di bagian masuk karyawan atau pengunjung;
c. tempat istirahat karyawan harus dilengkapi dengan lemari untuk setiap
karyawan yang dilengkapi kunci untuk menyimpan barang-barang pribadi;
d. locker untuk pekerja ruang kotor harus terpisah dari locker pekerja bersih.
Pasal 20
Kamar mandi dan WC harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
b. masing-masing daerah kotor dan daerah bersih memiliki paling kurang satu
unit kamar mandi dan WC;
c. saluran pembuangan dari kamar mandi dan WC dibuat khusus ke arah
“septic tank”, terpisah dari saluran pembuangan limbah proses pemotongan;
d. dinding bagian dalam dan lantai harus terbuat dari bahan yang kedap air,
tidak mudah korosif, mudah dirawat serta mudah dibersihkan dan
didesinfeksi;
e. jumlah kamar mandi dan WC disesuaikan dengan jumlah karyawan, minimal
1 unit untuk 25 karyawan.
Pasal 21
Fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan
atau insinerator harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. dibangun dekat dengan kandang isolasi;
b. dapat memusnahkan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan
secara efektif tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan;

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 256 CIKAMPEK
c. didisain agar mudah diawasi dan mudah dirawat serta memenuhi persyaratan
kesehatan lingkungan.
Pasal 22
Sarana penanganan limbah harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki kapasitas sesuai dengan volume limbah yang dihasilkan;
b. didisain agar mudah diawasi, mudah dirawat, tidak menimbulkan bau dan
memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan;
c. sesuai dengan rekomendasi upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dari Dinas
yang membidangi fungsi kesehatan lingkungan.
Pasal 23
Rumah jaga harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. dibangun masing-masing di pintu masuk dan di pintu keluar kompleks RPH;
b. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;
c. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi petugas
dari panas dan hujan;
d. didisain agar memenuhi persyaratan keamananan dan keselamatan kerja,
serta memungkinkan petugas jaga dapat mengawasi dengan leluasa keadaan
di sekitar RPH dari dalam rumah jaga.
Pasal 24
Ruang pelepasan daging (deboning room) dan pembagian/pemotongan daging
(cutting room) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, harus
memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan daging dan ruang pembagian/
pemotongan daging harus dapat memfasilitasi proses pembersihan dan
desinfeksi dengan efektif;
b. memiliki ventilasi dan penerangan yang cukup;
c. didisain untuk dapat mencegah masuk dan bersarangnya serangga, burung,
rodensia, dan binatang pengganggu lainnya di dalam ruang produksi;
d. lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik,
tahan terhadap benturan keras, tidak berlubang, tidak licin dan landai ke arah
saluran pembuangan, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, tidak mudah
mengelupas, serta apabila lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin
diatur sedekat mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan
kedap air;

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 257 CIKAMPEK
e. dinding terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik,
memiliki insulasi yang baik, dan berwarna terang, dan dinding bagian dalam
dilapisi bahan kedap air setinggi minimal 3 meter dengan permukaan rata,
tidak ada celah/lubang, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak
mudah mengelupas;
f. dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan
dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;
g. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan
jari-jari sekitar 75 mm, dan sudut pertemuan antara dinding dan dinding
harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25 mm;
h. langit-langit harus dibuat sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya
akumulasi debu dan kotoran, meminimalisasi terjadinya kondensasi,
pertumbuhan jamur, dan terjadinya keretakan, serta mudah dibersihkan;
i. jendela dan ventilasi harus didisain untuk menghindari terjadinya akumulasi
debu dan kotoran, mudah dibersihkan dan selalu terawat dengan baik;
j. kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari
kayu, dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan
keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat
menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk;
k. kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang
memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;
l. pintu dilengkapi dengan tirai plastik untuk mencegah terjadinya variasi
temperatur dan didisain dapat menutup secara otomatis;
m. selama proses produksi berlangsung temperatur ruangan harus dipertahankan
≤ 15 oC.
Pasal 25
Disain dan konstruksi dasar ruang pengemasan daging harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan
pembagian/pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 26
Disain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat (blast freezer) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kapasitas ruangan disesuaikan dengan jumlah produk yang akan dibekukan;
b. disain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian/
pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 258 CIKAMPEK
c. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang pembeku;
d. ruang dilengkapi dengan alat pendingin yang memiliki kipas (blast freezer)
yang mampu mencapai dan mempertahankan temperatur ruangan di bawah -
18oC dengan kecepatan udara minimum 2 meter per detik.
Pasal 27
Ruang penyimpanan beku (cold storage) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. kapasitas ruang disesuaikan dengan jumlah produk beku yang disimpan;
b. disain dan konstruksi dasar ruang penyimpanan beku harus sama dengan
persyaratan disain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian/
pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
c. ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang
lain yang masuk ke dalam ruang penyimpanan beku;
d. dilengkapi dengan fasilitas pendingin sebagai berikut:
1. memiliki ruang penyimpanan berpendingin yang mampu mencapai dan
mempertahankan secara konstan temperatur daging pada +4 oC hingga - 4
o
C (chilled meat); - 2 oC hingga - 8oC (frozen meat); atau ≤-18oC (deep
frozen), serta kapasitas ruangan harus mempertimbangkan sirkulasi udara
dapat bergerak bebas;
2. ruang penyimpanan berpendingin dilengkapi dengan thermometer atau
display suhu yang diletakkan pada tempat yang mudah dilihat.
Pasal 28
(1) RPH berorientasi ekspor harus mempunyai fasilitas laboratorium sederhana
untuk pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian produk, peralatan, air,
petugas dan lingkungan produksi yang diperlukan dalam rangka monitoring
penerapan praktek higiene di RPH.
(2) RPH berorientasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
RPH yang telah memperoleh Sertifikat NKV Level I.
(3) Jenis pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pemeriksaan organoleptik, pengujian kimiawi sederhana, seperti
uji awal pembusukan daging dan uji kesempurnaan pengeluaran darah,
pengujian cemaran mikroba seperti Total Plate Count (TPC), Coliform, E.
coli, Staphylococcus sp., Salmonella sp., serta pengujian parasit.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 259 CIKAMPEK
(4) Laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. letak laboratorium berdekatan dengan kantor dokter hewan;
b. tata ruang dan peralatan laboratorium harus mempertimbangkan faktor
keselamatan dan kenyamanan kerja;
c. konstruksi lantai, dinding dan langit-langit harus memenuhi
persyaratan paling kurang tertutup dengan enamel berkualitas baik
atau dengan cat epoksi, ataupun bahan lainnya yang memiliki
permukaan yang halus, kedap air, mudah dibersihkan dan didesinfeksi
serta mudah perawatannya;
d. penerangan dalam laboratorium memiliki intensitas cahaya 540 luks
dan dilengkapi dengan lampu berpelindung;
e. ventilasi di dalam ruang harus baik, dilengkapi dengan alat pendingin
(air conditioner) ruangan untuk mengurangi jumlah partikel yang
terdapat dalam udara dan untuk meminimalkan kemungkinan
terjadinya variasi temperatur;
f. untuk keselamatan kerja petugas, laboratorium dilengkapi dengan alat
pemadam kebakaran, alarm (tanda bahaya) dan sarana P3K;
g. memiliki ruang dan fasilitas khusus masing-masing untuk
penyimpanan sampel, peralatan dan media;
h. dilengkapi dengan sarana pencuci tangan.
Bagian Kelima
Persyaratan Peralatan
Pasal 29
(1) Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di RPH harus terbuat dari
bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta
mudah dirawat.
(2) Seluruh peralatan dan permukaan yang kontak dengan daging dan jeroan
tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik,
misalnya seng, polyvinyl chloride/ PVC tidak mudah korosif, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
(3) Seluruh peralatan logam yang kontak dengan daging dan jeroan harus
terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif (terbuat dari
stainless steel atau logam yang digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah
dibersihkan dan mudah didesinfeksi serta mudah dirawat.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 260 CIKAMPEK
(4) Pelumas untuk peralatan yang kontak dengan daging dan jeroan harus food
grade (aman untuk pangan).
(5) Sarana pencucian tangan harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak
kontak dengan telapak tangan, dilengkapi dengan fasilitas seperti sabun
cair dan pengering, dan apabila menggunakan tissue harus tersedia tempat
sampah.
(6) Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan
harus tersedia dalam jumlah cukup sehingga proses pembersihan dan
desinfeksi bangunan dan peralatan dapat dilakukan secara baik dan efektif.
(7) Bangunan utama paling kurang harus dilengkapi dengan:
a. alat untuk memfiksasi hewan (Restraining box);
b. alat untuk menempatkan hewan setelah disembelih (Cradle);
c. alat pengerek karkas (Hoist);
d. rel dan alat penggantung karkas yang didisain agar karkas tidak
menyentuh lantai dan dinding;
e. fasilitas dan peralatan pemeriksaan post-mortem, meliputi:
1. meja pemeriksaan hati, paru, limpa dan jantung;
2. alat penggantung kepala.
f. peralatan untuk kegiatan pembersihan dan desinfeksi;
g. timbangan hewan, karkas dan daging.
(8) Ruang jeroan paling kurang harus dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan
untuk:
a. mengeluarkan isi jeroan;
b. mencuci jeroan;
c. menangani dan memproses jeroan.
(9) Ruang pelepasan daging dan pemotongan karkas dan/atau daging paling
kurang dilengkapi dengan:
a. meja stainless steel;
b. talenan dari bahan polivinyl;
c. mesin gergaji karkas dan/atau daging (bone saw electric);
d. mesin pengiris daging (slicer);

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 261 CIKAMPEK
e. mesin penggiling daging (mincer/grinder);
f. pisau yang terdiri dari pisau trimming dan pisau cutting;
g. fasilitas untuk mensterilkan pisau yang dilengkapi dengan air panas;
h. metal detector.
(10) Untuk mendukung pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat
veteriner di RPH, dokter hewan penanggung jawab di RPH dan/atau
petugas pemeriksa harus disediakan peralatan paling kurang terdiri dari:
a. pakaian pelindung diri;
b. pisau yang tajam dan pengasah pisau;
c. stempel karkas.
(11) Perlengkapan standar untuk pekerja pada proses pemotongan meliputi
pakaian kerja khusus, apron plastik, tutup kepala dan sepatu boot yang
harus disediakan paling kurang 2 (dua) set untuk setiap pekerja.
(12) Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus dilengkapi dengan
peralatan untuk mencuci tangan yang dilengkapi dengan sabun,
desinfektan, foot dip dan sikat sepatu, dengan jumlah disesuaikan dengan
jumlah pekerja.
(13) Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan
harus tersedia dalam jumlah cukup agar dapat dipastikan bahwa seluruh
proses pembersihan dan desinfeksi dapat dilakukan secara baik dan efektif.
BAB III
PERSYARATAN UNIT PENANGANAN DAGING
(MEAT CUTTING PLANT)
Bagian Kesatu
Persyaratan Teknis Unit Penanganan Daging
Pasal 30
(1) UPD wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
persyaratan:
a. lokasi;
b. sarana pendukung;
c. konstruksi dasar dan disain bangunan;
d. peralatan.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 262 CIKAMPEK
Bagian Kedua
Persyaratan Lokasi
Pasal 31
(1) Lokasi UPD harus sesuai dengan dengan Rencana Umum Tata Ruang
Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD) atau
lokasi yang diperuntukkan sebagai area agribisnis.
(2) Lokasi UPD harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu, dan
kontaminan lainnya;
b. tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan;
c. letaknya lebih rendah dari pemukiman;
d. memiliki akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan penanganan
daging dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi;
e. tidak berada dekat industri logam dan kimia.
Bagian Ketiga
Persyaratan Sarana Pendukung
Pasal 32
UPD harus dilengkapi dengan sarana pendukung paling kurang meliputi:
a. sarana jalan yang baik menuju UPD yang dapat dilalui kendaraan
pengangkut daging;
b. suplai air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah
cukup dan terus menerus;
c. sumber tenaga listrik yang cukup;
d. sarana penanganan limbah dan sistem saluran pembuangan limbah yang
didisain agar aliran limbah mengalir dengan lancar, mudah diawasi dan
mudah dirawat, tidak mencemari tanah, tidak menimbulkan bau dan dijaga
agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia.
Bagian Keempat
Persyaratan Tata Letak, Konstruksi Dasar, dan Disain
Pasal 33
(1) Persyaratan bangunan dan tata letak dalam kompleks UPD paling kurang
meliputi:
a. bangunan utama
1) ruang pelepasan daging (deboning) dan pembagian/pemotongan
daging (meat cutting);
2) ruang pengemasan;

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 263 CIKAMPEK
3) ruang pembekuan cepat (blast freezer);
4) ruang penyimpanan dingin (cold storage).
b. area penurunan (loading) karkas dan pemuatan (unloading) daging ke
dalam alat angkut;
c. kantor administrasi dan kantor dokter hewan;
d. kantin dan mushola;
e. ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi/ruang
ganti pakaian (locker) kamar mandi dan wc;
f. rumah jaga;
g. sarana penanganan limbah.
(2) Kompleks UPD harus dipagar untuk memudahkan penjagaan dan
keamanan.
(3) Disain dan konstruksi dasar bangunan utama UPD harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan
Pasal 27.
(4) Disain dan konstruksi dasar ruang kantor administrasi dan kantor Dokter
Hewan pada UPD harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17.
(5) Disain dan konstruksi dasar kantin dan mushola pada UPD harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(6) Disain dan konstruksi dasar ruang penyimpanan barang pribadi
(locker)/ruang ganti pakaian pada UPD harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(7) Disain dan konstruksi dasar kamar mandi dan WC pada UPD harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Bagian Kelima
Persyaratan Peralatan
Pasal 34
(1) Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di UPD harus terbuat dari
bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta
mudah dirawat.
(2) Seluruh peralatan dan permukaan yang kontak dengan daging dan jeroan
tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik (misal:

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 264 CIKAMPEK
seng, polyvinyl chloride/ PVC), tidak mudah korosif, mudah dibersihkan
dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
(3) Seluruh peralatan logam yang kontak dengan daging dan jeroan harus
terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif (terbuat dari
stainless steel atau logam yang digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah
dibersihkan dan mudah didesinfeksi serta mudah dirawat.
(4) Pelumas untuk peralatan yang kontak dengan daging dan jeroan harus food
grade (aman untuk pangan).
(5) Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan
harus tersedia dalam jumlah cukup sehingga proses pembersihan dan
desinfeksi bangunan dan peralatan dapat dilakukan secara baik dan efektif.
(6) Ruang penanganan dan pemotongan karkas dan/atau daging paling kurang
dilengkapi dengan mesin dan peralatan:
a. meja stainless steel;
b. talenan dari bahan polivinyl;
c. mesin gergaji karkas/daging (bone saw electric);
d. mesin pengiris daging (slicer);
e. mesin penggiling daging (mincer/grinder);
f. pisau yang terdiri dari pisau trimming dan pisau cutting;
g. fasilitas untuk mensterilkan pisau yang dilengkapi dengan air panas;
h. metal detector.
(7) Perlengkapan standar untuk pekerja di ruang penanganan dan pemotongan
karkas dan/atau daging meliputi pakaian kerja khusus, apron plastik,
penutup kepala, penutup mulut, sarung tangan, dan sepatu boot yang harus
disediakan paling kurang 2 (dua) set untuk setiap pekerja.
BAB IV
PERSYARATAN HIGIENE DAN SANITASI
Pasal 35
(1) Pada RPH dan UPD harus dilengkapi dengan fasilitas higiene-sanitasi yang
dapat memastikan bahwa cara produksi karkas, daging, dan jeroan dapat
diterapkan dengan baik dan konsisten.
(2) Fasilitas higiene-sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mampu menjamin bahwa proses pembersihan dan sanitasi bangunan,

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 265 CIKAMPEK
lingkungan produksi, peralatan, dan baju kerja karyawan dapat diterapkan
secara efektif.
(3) Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus memiliki fasilitas untuk
mencuci sepatu boot yang dilengkapi dengan sikat sepatu, dan fasilitas
untuk mensucihamakan sepatu boot yang dilengkapi desinfektan (foot
dipping).
(4) RPH dan/atau UPD harus memiliki fasilitas cuci tangan yang dilengkapi
dengan air hangat, sabun dan desinfektan serta didisain tidak dioperasikan
menggunakan tangan atau tidak kontak langsung dengan telapak tangan.
(5) Fasilitas cuci tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilengkapi
dengan fasilitas pengering tangan, apabila menggunakan tisue maka harus
disediakan tempat sampah bertutup dan tidak dioperasikan dengan tangan.
(6) Untuk mensucihamakan pisau dan peralatan yang digunakan, harus
memiliki air bertemperatur tidak kurang dari 82oC yang memenuhi
persyaratan baku mutu air bersih, atau metoda sterilisasi lain yang efektif.
(7) Tidak menggunakan bahan kimia berbahaya yang tidak diperbolehkan
digunakan untuk pangan.
(8) Setiap kali selesai proses pemotongan dan produksi karkas, daging, dan
jeroan, harus dilakukan proses pembersihan dan desinfeksi secara
menyeluruh.
(9) Kebersihan lingkungan di sekitar bangunan utama dalam area komplek
RPH dan/atau UPD harus dipelihara secara berkala, dengan cara:
a. menjaga kebersihan lingkungan dari sampah, kotoran dan sisa pakan;
b. memelihara rumput atau pepohonan sehingga tetap terawat;
c. menyediakan fasilitas tempat pembuangan sampah sementara di tempat-
tempat tertentu.
Pasal 36
(1) Higiene personal harus diterapkan pada setiap RPH dan/atau UPD.
(2) Seluruh pekerja yang menangani karkas, daging, dan/atau jeroan harus
menerapkan praktek higiene meliputi:
a. pekerja yang menangani daging harus dalam kondisi sehat, terutama
dari penyakit pernafasan dan penyakit menular seperti TBC, hepatitis a,
tipus, dll;

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 266 CIKAMPEK
b. harus menggunakan alat pelindung diri (hair net, sepatu bot dan pakaian
kerja);
c. selalu mencuci tangan menggunakan sabun dan/atau sanitaiser sebelum
dan sesudah menangani produk dan setelah keluar dari toilet;
d. tidak melakukan tindakan yang dapat mengkontaminasi produk (bersin,
merokok, meludah, dll) di dalam bangunan utama rumah potong.
BAB V
PENGAWASAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Pasal 37
(1) Dalam rangka menjamin karkas, daging, dan jeroan yang dihasilkan oleh
RPH atau UPD (UPD) memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal
(ASUH) perlu dilakukan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di
RPH dan UPD oleh Dokter Hewan Berwenang atau Dokter Hewan
Penanggung Jawab Perusahaan yang disupervisi oleh Dokter Hewan
Berwenang.
(2) Kegiatan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penerapan kesehatan hewan di RPH;
b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih (ante-mortem
inspection);
c. pemeriksaan kesempurnaan proses pemingsanan (stunning);
d. pemeriksaan kesehatan jeroan dan/atau karkas (post- mortem
inspection);
e. pemeriksaan pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses
produksi.
(3) Dokter Hewan Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
hak dan akses untuk memasuki ruang produksi, melakukan pengawasan,
pengambilan sampel, penyidikan, pemeriksaan dokumen, memusnahkan
(condemn) hewan/bangkai, karkas, daging, dan jeroan yang tidak
memenuhi syarat dan dianggap membahayakan kesehatan konsumen.
(4) Dokter Hewan Penanggung Jawab Perusahaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki hak untuk memasuki ruang produksi, melakukan
pengawasan, pengambilan sampel, pemeriksaan dokumen, memusnahkan
(condemn) hewan/bangkai, karkas, daging, dan/atau jeroan yang tidak
memenuhi syarat dan dianggap membahayakan kesehatan konsumen.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 267 CIKAMPEK
(5) Pemeriksaan ante-mortem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dilakukan di kandang penampungan sementara atau peristirahatan hewan,
kecuali apabila atas pertimbangan dokter hewan berwenang dan/atau dokter
hewan penanggung jawab perusahaan, pemeriksaan tersebut harus
dilakukan di dalam kandang isolasi, kendaraan pengangkut atau alat
pengangkut lain.
(6) Pemeriksaan post-mortem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
dilakukan segera setelah penyelesaian penyembelihan, dan pemeriksaan
dilakukan terhadap kepala, karkas dan/atau jeroan.
(7) Pemeriksaan pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan terhadap
pemeliharaan sanitasi bangunan, lingkungan produksi, peralatan, proses
produksi dan higiene personal.
(8) Karkas, daging, dan/atau jeroan yang telah lulus pemeriksaan ante-mortem
dan post-mortem harus distempel oleh Dokter Hewan Penanggung Jawab
RPH yang berisi informasi tentang “Di Bawah Pengawasan Dokter
Hewan” dan Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
(9) Kesimpulan hasil pengawasan kesehatan masyarakat veteriner yang
menyatakan karkas, daging, dan/atau jeroan tersebut aman, sehat, dan utuh
dinyatakan dalam Surat Keterangan Kesehatan Daging (SKKD) yang
ditandatangani oleh Dokter Hewan Berwenang di RPH atau di UPD dengan
format SKKD, seperti format model 1.
(10) Surat Keterangan Kesehatan Daging sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
harus disertakan pada peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan.
(11) Dokter Hewan Penanggung Jawab Perusahaan memiliki kewajiban untuk
membuat laporan hasil pengawasan kesmavet sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) kepada Dokter Hewan Berwenang.
(12) Dokter Hewan Berwenang wajib membuat laporan hasil pengawasan
kesmavet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 268 CIKAMPEK
BAB VI
IZIN MENDIRIKAN RUMAH POTONG HEWAN DAN
IZIN USAHA PEMOTONGAN HEWAN
Bagian Kesatu
Izin Mendirikan Rumah Potong Hewan
Pasal 38
(1) Setiap orang atau badan usaha yang akan mendirikan RPH harus memiliki
izin mendirikan RPH.
(2) Izin mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Bupati/Walikota.
(3) Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam memberikan
izin mendirikan RPH harus memperhatikan persyaratan teknis RPH.
(4) Izin mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dipindah tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain tanpa
persetujuan tertulis dari pemberi izin.
Bagian Kedua
Izin Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging
Pasal 39
(1) Setiap orang atau badan usaha yang melakukan usaha pemotongan hewan
dan/atau penanganan daging harus memiliki izin usaha dari
Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Bupati/Walikota dalam memberikan izin usaha pemotongan hewan
dan/atau penanganan daging harus memperhatikan persyaratan teknis tata
cara pemotongan dan penanganan daging ternak ruminansia sesuai dengan
peraturan perundangan.
(3) Izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging tidak dapat
dipindah tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain.
(4) Izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging dapat dicabut,
apabila:
a. kegiatan pemotongan dan/atau penanganan daging dilakukan di RPH
atau UPD yang tidak memiliki izin mendirikan RPH;

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 269 CIKAMPEK
b. melanggar persyaratan teknis tata cara pemotongan dan/atau
penanganan daging ternak ruminansia sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan;
c. tidak melakukan kegiatan pemotongan hewan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan berturut-turut setelah izin diberikan;
d. tidak memiliki NKV, setelah jangka waktu yang ditentukan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
(1) Berdasarkan pola pengelolaannya, usaha pemotongan hewan dan/atau
penanganan daging dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis:
a. Jenis I : RPH dan/atau milik pemerintah daerah yang dikelola oleh
pemerintah daerah dan sebagai jasa pelayanan umum;
b. Jenis II : RPH dan/atau UPD milik swasta yang dikelola sendiri atau
dikerjasamakan dengan swasta lain;
c. Jenis III : RPH dan/atau UPD milik pemerintah daerah yang dikelola
bersama antara pemerintah daerah dan swasta.
(2) RPH dan/atau UPD dengan pola pengelolaan Jenis II dan Jenis III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, selain
menyelenggarakan kegiatan pemotongan ternak milik sendiri harus
memberikan jasa pelayanan pemotongan dan/atau penanganan daging bagi
masyarakat yang membutuhkan.
(3) Berdasarkan kelengkapan fasilitas proses pelayuan (aging) karkas, usaha
pemotongan hewan dibedakan menjadi 2 (dua) kategori:
a. Kategori I : usaha pemotongan hewan di RPH tanpa fasilitas
pelayuan karkas, untuk menghasilkan karkas hangat;
b. Kategori II : usaha pemotongan hewan di RPH dengan fasilitas
pelayuan karkas, untuk menghasilkan karkas dingin
(chilled) dan/atau beku (frozen).
(4) Bagi usaha pemotongan kategori II sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b harus dilengkapi dengan fasilitas rantai dingin hingga ke tingkat
konsumen.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 270 CIKAMPEK
BAB VII
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 41
(1) Setiap RPH dan/atau UPD harus dibawah pengawasan dokter hewan
berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang ditunjuk oleh
Bupati/Walikota.
(2) Setiap RPH harus mempekerjakan paling kurang satu orang dokter hewan
sebagai pelaksana dan penanggung jawab teknis pengawasan kesehatan
masyarakat veteriner di RPH.
(3) Dokter hewan penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) melaksanakan tugas di RPH sesuai dengan kewenangan yang
dilimpahkan oleh dokter hewan berwenang.
(4) Dokter hewan penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) bertanggung jawab terhadap dokter hewan berwenang di bidang
kesehatan masyarakat veteriner.
(5) Setiap RPH selain mempekerjakan dokter hewan penanggung jawab teknis
dapat mempekerjakan paling kurang satu orang tenaga pemeriksa daging
(keurmaster) dibawah pengawasan dokter hewan penanggung jawab teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Setiap RPH wajib mempekerjakan paling kurang satu orang juru sembelih
halal.
(7) UPD wajib mempekerjakan paling kurang:
a. satu orang petugas sebagai penanggung jawab teknis;
b. satu orang tenaga ahli pemotong daging berdasarkan topografi karkas
(butcher).
(8) Dokter hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
memenuhi persyaratan paling kurang:
a. mempunyai keahlian di bidang meat inspector yang diakui oleh
organisasi profesi dokter hewan dan diverifikasi oleh Otoritas Veteriner;
b. mempunyai keahlian di bidang reproduksi yang diakui oleh organisasi
profesi dokter hewan dan diverifikasi oleh Otoritas Veteriner.
(9) Petugas penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
huruf a harus memenuhi persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat
pelatihan sistem jaminan keamanan pangan.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 271 CIKAMPEK
(10) Tenaga pemeriksa daging sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b harus
memenuhi persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat sebagai juru uji
daging yang mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Otoritas
Veteriner.
(11) Juru sembelih halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus
memenuhi persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat sebagai juru
sembelih halal yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang.
(12) Tenaga ahli pemotong daging paling kurang harus mempunyai sertifikat
sebagai tenaga ahli pemotong daging yang dikeluarkan oleh lembaga
berwenang.
Pasal 42
(1) Pelatihan penyegaran kompetensi bagi seluruh SDM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 dapat diselenggarakan oleh manajemen RPH atau
Gubernur atau Menteri Pertanian.
(2) Penyelengaraan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu
kepada Pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan
bekerjasama dengan Badan Sumberdaya Manusia, Kementerian Pertanian.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1) RPH dan/atau UPD yang pada waktu dikeluarkannya Peraturan ini belum
memenuhi persyaratan yang yang diatur dalam Peraturan ini, harus
menyesuaikan dengan Peraturan ini paling lama 5 (lima) tahun terhitung
sejak Peraturan ini ditetapkan.
(2) Dengan ditetapkannya Peraturan ini, Keputusan Menteri Pertanian Nomor
555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan
dan Usaha Pemotongan Hewan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Peraturan ini mulai berlakukan pada tanggal diundangkan.

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 272 CIKAMPEK
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Januari 2010
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA,

SUSWONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA

PATRIALIS AKBAR

www.djpp.depkumham.go.id
RPH 273 CIKAMPEK
RPH 274 CIKAMPEK
RPH 275 CIKAMPEK
RPH 276 CIKAMPEK
RPH 277 CIKAMPEK
RPH 278 CIKAMPEK
RPH 279 CIKAMPEK
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 02 TAHUN 2006
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH
BAGI KEGIATAN RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang


Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3501);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber


Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377);

RPH 281 CIKAMPEK


4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang


Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang


Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3445);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3838);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4161);

RPH 282 CIKAMPEK


MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN
RUMAH PEMOTONGAN HEWAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Rumah Pemotongan Hewan yang selanjutnya disebut RPH adalah


suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan
konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis
tertentu serta digunakan sebagai tempat pemotongan hewan;

2. Usaha dan/atau kegiatan RPH meliputi: pemotongan, pembersihan


lantai tempat pemotongan, pembersihan kandang penampung,
pembersihan kandang isolasi, dan/atau pembersihan isi perut dan
air sisa perendaman;

3. Air limbah RPH adalah sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan RPH
yang berwujud cair;

4. Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH adalah ukuran batas atau
kadar maksimum unsur pencemar dan/atau jumlah pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam air limbah kegiatan RPH yang akan
dibuang atau dilepas ke media lingkungan;

5. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang


lingkungan hidup.

RPH 283 CIKAMPEK


Pasal 2

Baku mutu air limbah dalam Peraturan Menteri ini berlaku untuk kegiatan
RPH:
a. Sapi;
b. Kerbau;
c. Babi;
d. Kuda;
e. Kambing dan/atau;
f. Domba.

Pasal 3

Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH ditetapkan dengan tujuan:
a. menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup;
b. menurunkan beban pencemaran lingkungan melalui upaya
pengendalian pencemaran dari kegiatan RPH.

Pasal 4

Sasaran penetapan baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH dimaksudkan
untuk mendorong penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH
mengolah air limbah sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Pasal 5

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran A dan Lampiran B Peraturan Menteri ini.

(2) Bagi RPH yang:


a. beroperasi sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, berlaku
baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran A
Peraturan Menteri ini dan wajib memenuhi baku mutu air limbah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran B Peraturan Menteri ini
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2011;

RPH 284 CIKAMPEK


b. beroperasi setelah diberlakukannya Peraturan Menteri ini, berlaku
baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran B
Peraturan Menteri ini.

Pasal 6

Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau


hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan RPH mensyaratkan baku mutu air
limbah lebih ketat dari Lampiran Peraturan Menteri ini, maka diberlakukan
baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH sebagaimana yang dipersyaratkan
oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.

Pasal 7

Gubernur dan Bupati/Walikota, sesuai dengan kewenangan masing-


masing, dapat menetapkan baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH daerah
dengan ketentuan lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal 8

Apabila baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH daerah telah ditetapkan
sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka dalam hal baku mutu
air limbah daerah:
a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, maka dinyatakan tetap
berlaku;
b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini wajib disesuaikan dengan baku mutu air
limbah bagi kegiatan RPH sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Peraturan Menteri ini selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah
ditetapkannya Peraturan Menteri ini.

RPH 285 CIKAMPEK


Pasal 9

(1) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH wajib:


a. melakukan pengolahan air limbah sehingga mutu air limbah yang
dibuang atau dilepas ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air
limbah RPH;
b. membuat sistem saluran air limbah yang kedap air dan tertutup agar
tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan, dilengkapi
dengan alat penyaring untuk memudahkan pembersihan dan
perawatan;
c. memisahkan saluran pembuangan air limbah dengan saluran
limpasan air hujan;
d. memasang alat ukur debit atau laju alir limbah dan melakukan
pencatatan debit air limbah harian;
e. melakukan pencatatan jumlah dan jenis hewan yang dipotong per
hari;
f. memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini secara periodik
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan di laboratorium
yang terakreditasi;
g. menyampaikan laporan tentang catatan debit air limbah harian,
jumlah dan jenis hewan yang dipotong perhari dan kadar parameter
baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam huruf d, huruf
e, dan huruf f sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada
Gubernur dan Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan
kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup dan instansi yang
membidangi kegiatan RPH serta instansi lain yang dianggap perlu.

(2) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH dilarang


melakukan pengenceran air limbah dari kegiatannya.

RPH 286 CIKAMPEK


Pasal 10

Pemberi izin wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan Menteri ini kedalam Izin Pembuangan
Air Limbah bagi kegiatan RPH.

Pasal 11

Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini semua peraturan perundang-


undangan yang berkaitan dengan baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH
yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Menteri ini.

Pasal 12

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2006

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,

Hoetomo, MPA.

RPH 287 CIKAMPEK


Lampiran A
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 02 Tahun 2006
Tanggal : 20 April 2006

Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan

Parameter Satuan Kadar Maksimum

BOD mg/L 150

COD mg/L 400

TSS mg/L 300

Minyak dan Lemak mg/L 25

pH - 6-9

Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau dan kuda : 2.0 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0.2 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0.9 m3/ekor/hari

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd
Ir. Rachmat Witoelar
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,

Hoetomo, MPA.

RPH 288 CIKAMPEK


Lampiran B
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 02 Tahun 2006
Tanggal : 20 April 2006

Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan

Parameter Satuan Kadar Maksimum

BOD mg/L 100

COD mg/L 200

TSS mg/L 100

Minyak dan Lemak mg/L 15

NH3-N mg/L 25

pH - 6-9

Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau dan kuda : 1.5 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0.15 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0.65 m3/ekor/hari

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,

Hoetomo, MPA.

RPH 289 CIKAMPEK


RPH 290 CIKAMPEK
RPH 291 CIKAMPEK
RPH 292 CIKAMPEK
RPH 293 CIKAMPEK

Anda mungkin juga menyukai