PENDAHULUAN
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi yang dihadapi oleh
dunia dan kebanyakan masalah malnutrisi berasal dari negara berkembang, salah satunya adalah
Indonesia. Bersumber pada data WHO tahun 1999 menyatakan terdapat kematian 10,5 juta anak
usia kurang dari 5 tahun dan 99% diantaranya tinggal di negara berkembang. Penyebab
kematiannya antara lain 54% adalah karena malnutrisi, disusul dengan kondisi perinatal yang
kurang baik, pneumonia, diare, DI dan lainnya.1
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi kesehatan masyarakat
dan masih menjadi maslaah utama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. KEP
dimanifestasikan secara primer akibat kurangnya asupan diet yang mengandung energi dan
protein secara tidak adekuat, baik karena kurangnya asupan kedua nutrisi ini yang seharusnya
digunakan untuk pertumbuhan normal, maupun karena kebutuhan tubuh akan kedua nutrisi
tersebut yang meningkat yang tidak sesuai dengan asupan yang tersedia. Namun, karena KEP
hamper selalu disertai dengan kekurangan nutrisi-nutrisi lain, istilah „Kurang Gizi Berat Pada
Anak-Anak‟ atau „Severe Childhood Undernutrition‟ (SCU), lebih tepat menggambarkan
keadaan tersebut. SCU, baik primer maupun sekunder, merupakan spectrum yang memiliki
rentang dari kekurangan gizi ringan yang ditandai dengan berkurangnya rasio tinggi badan dan
berat badan sesuai umur, hingga kekurangan gizi yang berat yang ditandai dengan berkurangnya
rasio tinggi badan dan berat badan yang signifikan sesuai umur disertai dengan „wasting‟/
pengurangan atau kehilangan massa otot (bertambah kurus), yaitu penurunan rasio berat badan
sesuai tinggi badan normal. SCU dibedakan secara klinis menjadi 3, yaitu : 1
1
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun pemerintah Indonesia telah
berupaya untuk menanggulanginya. Data Dusenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U
< -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992
dan mencapai puncaknya 11,6% pada tahun 1995. Upaya pemerintah antara lain melalui
pemberian makanan tambahan dalam jaringan pengamanan social (JPS) dan peningkatan
pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi buruk kepada tenaga kesehatan,
berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada tahun 198, 8,1% pada tahun 1999,
dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali 7% dan pada tahun
2003 menjadi 8,15%.2
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen Kesehatan-Unicef
tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di Indonesia penderita gizi buruk sebanyak 169
kabupaten/kota tergolong prevalensi sangat tinggi dan 257 kabupaten/kota lainnya prevalensi
tinggi. Dari data Depkes juga terungkap masalah gizi di Indonesia ternyata lebih serius dari yang
kita bayangkan selama ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita anak balita, tetapi
semua kelompok umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping anak-anak. Sekitar 4
juta ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya kekurangan energi
kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap tahun lahir 350.000 bayi lahir dengan
kekurangan berat badan (berat badan rendah).2
Kasus kematian akibat gizi buruk di Indonesia bukan karena faktor kelaparan, melainkan
penyakit penyerta, seperti infeksi saluran penapasan, kelainan jantung, dan diare berat. Kasus
gizi buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 18 Oktober 2012 lalu contohnya, merupakan
masalah serius karena sampai menyebabkan kematian 21 balita. Untuk itu, petugas kesehatan di
NTB diminta memberikan penanganan yang tepat pada balita gizi buruk, terutama meningkatkan
daya tahan tubuh mereka. Sedangkan menurut Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi ada
faktor lain yang dapat mengakibatkan kasus gizi buruk masih ada, kasus gizi buruk yang muncul
belakangan ini tidak semata-mata diakibatkan ketidakmampuan ekonomi keluarga, tetapi lebih
pada faktor kelalaian orangtua. “Contohnya, ada penderita gizi buruk yang ibunya justru
memiliki gelang emas dan bapaknya merokok dengan santai. Orangtua, kalau makan, lebih
mementingkan diri sendiri daripada anaknya,” kata Zainul Majdi.
2
BAB II
MARASMUS KWASHIORKOR
2.1 DEFINISI
Marasmus-Kwashiorkor adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat yang gejala
klinisnya merupakan gabungan dari marasmus, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya
asupan energi, dan kwashiorkor, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya asupan protein
sehingga gejalanya disertai edema.1
3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan
laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami gizi buruk dan data
Susenas tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005
telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi
di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei
2005, Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang
terjadi di NTT sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan edaran tanggal 27 Mei
tahun 2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang penanganan KLB gizi buruk di propinsi NTB.4
2.3 ETIOLOGI
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa faktor yang
bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain faktor diet, faktor
social, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain.2
A. Peranan diet
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein akan
menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor, sedangkan diet kurang energi
walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita
marasmus. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasnya (1971)
terlihat bahwa dengan diet yang kurang-lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-
gejala kwashiorkor, sedangkan pada beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala
marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa diet bukan merupakan faktor yang
penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat menjelaskan
timbulknya gejala tersebut.2
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit KEP. Adakalanya pantangan tersebut didasarkan pada
4
keagamaan, tetapi ada pula yang merupakan tradisi yang turun-temurun. Jika pantangan
itu didasarkan pada keagamaan, maka akan sulit diubah. Tetapi jika pantangan tersebut
berlangsung karena kebiasaan, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan
terus-menerus hal tersebut masih dapat diatasi. Faktor-faktor sosial lain yang dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit KEP adalah2 :
a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai banyak anak
dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah tunggal;
b) Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak, sehingga
dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat member cukup makan pada anggota
keluarganya yang besar itu;
c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada
musim panen mereka pergi memotong padi para pemilik sawah yang letak
sawahnya jauh dari tempat tinggal para ibu tersebut. Anak-anak terpaksa
ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian
dan pengobatan semestinya;
d) Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian, bayi tersebut
tidak mendapat ASI sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan
tambahan tidak dilakukan dengan semestinya.
Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah dikemukakan bahwa meningkatnya
jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan bahan
makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan
kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan
makanan yang bergizi baik di samping kuantitasnya. 2
McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak
jika suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan keadaan hygiene yang buruk,
misalnya, di kota-kota dengan kemungkinan pertambahan penduduk yang sangat cepat;
5
sedangkan kwashiorkor akan terdapat dalam jumlah yang banyak di desa-desa dengan
penduduk yang mempunyai kebiasaan untuk member makanan tambahan berupa tepung,
terutama pada anak-anak yang tidak atau tidak cukup mendapat ASI. 2
D. Peranan infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi antara malnutrisi dan infeksi. Indeksi derajat
apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun masih ringan,
mempunyai pengaruh negative pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini
sinergistis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi
yang lebih besar daripada sendiri-sendiri. 2
E. Peranan kemiskinan
2.4. PATOFISIOLOGI
6
rendah. Setelah deposit lemk habis, katabolisme protein harus menyediakan substrat yang
berkelanjutan untuk menjaga metabolisme basal.
Alasan mengapa ada anak yang menderita edema dan ada yang tidak mengalami
edema pada KEP masih belum diketahui. Meskipun tidak ada faktor spesifik yang
ditemukan, beberapa kemungkinan dapat dipikirkan. Salah satu pemikiran adalah
variabilitas antara bayi yang satu dengan yang lainnya dalam kebutuhan nutrisi dan
komposisi cairan tubuh saat kekurangan asupan terjadi. Hal ini juga telah
dipertimbangkan bahwa pemberian karbohidrat berlebih pada anak-anak dengan non-
edematous KEP membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein rendah, sehingga
deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis albumin menurun, sehingga
terjadi hipoalbuminemia dengan edema. Fatty liver juga berkembang secara sekunder,
mungkin, untuk lipogenesis dari asupan karbohidrat berlebih dan mengurangi sintesis
apoliprotein. Penyebab lain KEP edematous adalah keracunan aflatoksin serta diare,
gangguan fungsi ginjal dan penurunan aktivitas NA K ATPase. Akhirnya, kerusakan
radikal bebas telah diusulkan sebagai faktor penting dalam munculnya KEP edematous.
Kejadian ini didukung dengan konsentrasi plasma yang rendah akan metionin, suatu
precrusor dari sistein, yang diperlukan untuk sintesis dari faktor antioksidan major,
glutathione. Kemungkinan ini juga didukung oleh tingkat yang lebih rendah dari sintesis
glutathione pada anak-anak dengan pembengkakan dibandingkan dengan non-edematous
KEP. 1
2.5 KLASIFIKASI
7
A. Klasifikasi menurut Gomez (1956)
Klasifikasi tersebut didasarkan atas berat badan individu dibandingkan dengan
berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur. Sebagai baku patokan dipakai
persentil 50 baku Harvard (Stuart dan Stevenson,1954). Gomez mengelompokkan
KEP dalam KEP-ringan, sedang, dan berat. Tabel di bawah memperlihatkan cara
yang dilakukan oleh Gomez.2
8
2. Klasifikasi menurut tipe (klasifikasi kualitatif)
Klasifikasi ini menggolongkan KEP dalam kelompok menurut tipenya : gizi –kurang,
marasmus, kwashiorkor, dan kwashiorkor marasmik.
9
pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total
protein serum. Cara demikian dikenal dengan scoring system McLaren dan tabel di
bawah memperlihatkan cara pemberian angka
Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita:
0-3 angka = marasmus
4-8 angka = marasmic-kwashiorkor
9-15 angka = kwashiorkor
10
Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan dengan cara
Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan
laboratorium.2
Gejala klinis KEP berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan
energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh adanya kekurangan vitamin dan
mineral yang menyertainya. Pada KEP ringan yang ditemukan hanya pertumbuhan yang
kurang, seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat. Keadaan
KEP yang berat memberi gejala yang kadang-kadang berlainan, tergantung dari dietnya,
fluktuasi musim, keadaan sanitasi, kepadatan penduduk, dan sebagainya.2
12
Gambar 1. Manifestasi klinis anak dengan kwashiorkor
Penampilan
Gangguan Pertumbuhan
Pertumbuhan terganggu, berat badan di bawah 80% dari baku Harvard persentil 50
walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya terutama jika KEP sudah
berlangsung lama. 2
13
Perubahan Mental
Edema
Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian besar penderita
kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat mengiringi edema. 2
Atrofi otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring terus-menerus,
walaupun sebelum menderita penyakit demikian sudah dapat berjalan. 2
Sistem gastro-intestinum
Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia yang berat
penderita menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya
dapat diberikan melalui sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar
penderita, dengan feses yang cair dan mengandung banyak asam laktak karena
14
mengurangnya produksi lactase dan enzim disakaridase lain. Adakalanya diare
demikian disebabkan pula oleh cacing dan parasit lain. 2
Perubahan rambut
Perubahan kulit
Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang melaporkan
adanya penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy pavement dermatosis merupakan
kelainan kulit yang khas bagi penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai
dengan titik-titik merah menyerupai ptechiae, berpadu menjadi bercak yang lambat-
laun menghitam. Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat bagian-bagian
yang merah dikelilingi oleh batas-batas yag masih hitam. Bagian tubuh yang sering
membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus
mendapat tekanan merupakan predileksi crazy pavement dermatosis,seperti di
punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lainnya seperti
kulit kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang mendalam tanpa tanda-
tanda inflamasi. Kadang-kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui petechiae
tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si penderita. 2
Pembesaran hati
15
pada rabahan dengan permukaan yang lici dan pinggir yang tajam. Sediaan hati
demikian jika dilihat dibawah mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi
dengan lemak. Pada kwashiorkor yang relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat
terutama di segi taga Kirnan, lebih berat penyakitnya lebih banyak sel hati yang
terisi dengan lemak, sedangkan pada yang sangat berat perlemakan terdapat pada
hamper semua sel hati. Adakalanya terlihat juga adanya fibrosis dan nekrosis hati. 2
Anemia
Ada hipotesis mengatakan bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh tidak dapat
beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh kekurangan protein
maupun energi. Oleh sebab itu banyak perubahan biokimiawi dapat ditemukan pada
penderita kwashiorkor, misalnya:
o Albumin serum
16
Albumin serum yang merendah merupakan kelainan yang sering dianggap
spesifik dan sudah ditemukan pada tingkat dini, maka McLarena member angka
(skor) untuk membedakan kwashiorkor dan marasmus. Lebih rendah kadar
albumin serum, lebih tinggi pemberian angkanya. 2
o Globulin serum
Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi
yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering
diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain, seperti
infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorbsi, gangguan
17
metabolic, penyakit ginjal menahun, dan juga pada gangguan saraf pusar. Perhaian ibu
dan pengasuh yang berlebihan sehingga anak dipaksa menghabiskan makanan yang
disediakan, walaupun jumlahnya jauh melampaui kebutuhannya, dapat menyebabkan
anak kehilangan nafsu makannya, atau muntah begitu melihat makanan atau formula
yang akan diberikannya. Adakalanya anak demikian menolak segala macam makanan
hingga pertumbuhannya terganggu. 2
Penampilan
Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua. Anak terlihat
sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-
ototnya. 2
Perubahan mental
18
Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih merasa lapar.
Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat. 2
Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan kehilangan banyak lemak
dibawah kulit serta otot-ototnya. 2
Otot-otot
Saluran pencernaan
Jantung
Tekanan darah
Pada umummnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan dengan anak
sehat seumur. 2
19
Saluran nafas
Sistem darah
20
Gambar 4. Manifestasi klinis Marasmus-Kwashiorkor
2.7. DIAGNOSIS
Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada kedua kaki
atau adanya severe wasing (BB/TB < 70 % atau < -3SD), atau ada gejala klinis gizi buruk
(kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor). Walaupun kondisi klinis pada
kwashiorkor, marasmus, dan marasmus kwashiorkor berbeda tetapi tatalaksananya
sama.5,6
A. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak
didiagnosis gizi buruk apabila :
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak
di bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantan dan paha; tulang iga terlihat
jelas, dengan atau tanpa adanya edema. 5,6
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak
tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak
membutuhkan perawatan di rumah sakit, keciali jika ditemukan penyakit lain yang
berat. 5,6
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis
terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan. 5,6
21
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
dan/atau syok, serta harus diatasi segera. 5,6
Anamnesis lanjutan
Pemeriksaan fisik
22
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan
status dehidrasi pada gizi buruk)
Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang melambat, nadi lemah
dan cepat) kesadaran menurun.
Demam (suku aksilar ≥ 37,50C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35,50C)
Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung
Sangat pucat
Pembesaran hati dan ikterus
Adakah perut kembung, bising usu melemah/meninggi, tanda asites, atau adanya
suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
Tanda defisiensi vitamin A pada mata :
23
o Deskuamasi
o Ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)
o Lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seingkali dengan infkesi
sekunder (termasuk jamur)
Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir)
Tanda dan gejala HIV
Catatan :
KEP berat/Gizi buruk secara klinis terdapat dalam 3 (tiga) tipe yaitu kwashiorkor,
marasmus, dan marasmik-kwashiorkor sehingga perlu dibedakan dari masing-masing
gejala yang telah dijelaskan sebelumnya di atas.
2.9. PENATALAKSANAAN
24
Gambar 6. Alur pemeriksaan anak gizi buruk
25
Keterlibatan orang tua
Tatalaksana umum
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dilakukan dengan tatalaksana syok pada anak
dengan gizi buruk :
26
Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak letargis atau idak
sadar.
Pastikan anak menderita gizi buruk dan benar-benar menunjukkan tanda syok.
Timbang anak untuk menghitung volume cairan yang harus diberikan
Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium gawat darurat)
Masukkan larutan Ringer Laktat dengan dekstrose5% (RLD5%) atau Ringer
Laktat atau Garam Normal – pastikan aliran infus berjalan lancer. Bila gula darah
tinggi maka berikan Ringer Laktat (tanpa dekstrose) atau Garam Normal.
Alirkan cairan infus 10ml/kgBB selama 30 menit
Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama kali pemberian
cairan dan setiap 5-10menit
Jika ada perbaikan tapi belum adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas
anak melambat, dan capillary refill >3 detik):
Jika ada perbaikan dan sudah adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas
anak melambat, dan capillary refill < 2 detik):
o Transfusi darah 10ml/kgBB selama 1 jam (bila ada perdarahan nyata yang
signifikan dan darah tersedia)
27
o Bila kondisi stabil rujuk ke rumah sakit dengan kemampuan lebih tinggi.
Jika kondisi anak menurun selama diberikan cairan infus (napas anak meningkat 5
kali/menit atau denyut nadi 15 kali/menit), hentikan infus karena cairan infus dapar
memperburuk kondisi anak. Alihkan ke terapi oral atau menggunakan pipa
nasogastrik dengan ReSoMal, 10 ml/kgBB/jam hingga 10 jam.6
Selama proses triase, semua anak dengan gizi buruk akan diidentifikasi sebagai
anak dengan tanda prioritas, artinya mereka memerlukan pemeriksaan dan
penanganan segera.
Pada saat penilaian triase, akan ditemukan sebagian kecil anak gizi buruk dengan
tanda kegawatdaruratan.
28
Gambar 8. Klasifikasi tanda bahaya atau tanda kegawatdaruratan
Anak dengan tanda dehidrasi berat tapi tidak mengalami syok tidak boleh
dilakukan rehidrasi dengan infus. Hal ini karena diagnosis dehidrasi berat pada
anak dengan gizi buruk sulit dilakukan dan sering terjadi salah diagnosis. Bila
diinfus berarti menempatkan anak ini dalam resiko over-hidrasi dan kematian
karena gagal jantung. Dengan demikian, anak ini harus diberi perawatan
29
rehidrasi secara oral (melalui mulut) dengan larutan rehidrasi khusus untuk gizi
buruk (ReSoMal). 6
Anak dengan tanda syok dinilai untuk tanda lainnya (letargis atau tidak sadar).
Pada gizi buruk, tanda gawat darurat umum yang biasa terjadi pada anak syok
mungkin timbul walaupun anak tidak mengalami syok.
o Jika anak letargis atau tidak sadar, jaga agar tetap hangat dan berikan
cairan infus dan glukosa 10% 5ml/kgBB iv.
o Jika anak sadar (tidak syok) jaga agar tetap hangat dan berikan glukosa
10% 10ml/kgBB lewat mulut atau pipa nasogastrik dan lakukan segera
penilaian menyeluruh dan pengobatan lebih lanjut. 6
Catatan : ketika memberikan cairan infus untuk anak syok, pemberian cairan
infus tersebut berbeda dengan anak yang dalam kondisi gizi baik. Syok yang
terjadi karena dehidrasi dan sepsis mungkin dapat terjadi secara bersamaan dan
hal ini sulit untuk dibedakan dengan tampilan klinis semata. Anak dengan
dehidrasi memberikan reaksi yang baik pada pemberian cairan infus (napas dan
denyut nadi lebih lambat, capillary refill lebih cepat). Anak yang mengalami
syok sepsis dan tidak dehidrasi, tidak akan memberikan reaksi. Jumlah cairan
yang diberikan harus melihat reaksi anak. Hindari terjadi over-hidrasi. Pantau
denyut nadi dan pernapasan pada saat infus dimulai dari tiap 5-10 menit untuk
melihat kondisi anak mengalami perbaikan atau tidak. Ingat bahwa jumlah dan
kecepatan aliran cairan infus berbeda pada gizi buruk. 6
Semua anak dengan gizi buruk membutuhkan penilaian dan pengobatan segera
untuk mengatasi masalah serius seperti hipoglikemi, hipotermi, infeksi berat,
anemia berat dan kemungkinan besar kebutaan pada mata. Penting juga
melakukan pencegahan timbulnya maslah tersebut bila belum terjadi pada saat
anak dibawa ke rumah sakit. 6
30
Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi.Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan perbandingan 1:1
(RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana II,
dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak
50ml
3. 2 jam pertama
berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB setiap
pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana III, dengan
tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB setiap
pemberian
31
catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak
50ml
3. 2 jam pertama
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat
badan (NGT)
catat nadi, frekuensi nafas
Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas
Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:7
32
33
Gambar 9. Bagan Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk7
Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase yang harus
dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14), faserehabilitasi
(Minggu ke 3 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26). Dimana tindakan pelayanan
terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:7
35
Pemantauan6 :
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30
menit.
Jika kadar gula darah < 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian larutan glukosa
atau gula 10%.
Jika suhu rectal <35,50C atau bila kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia
disebabkan oleh hiponatremia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan tangani
sesuai keadaan (hiponatremia dan hipoglikemia).
Pencegahan6 :
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu,
lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang
malam.
36
Suhu tubuh 36-370C 8
Keadaan ini pada anak gizi buruk dapat dengan mudah jatuh pada hiponatremia, cara
untuk mempertahankan (pencegahan) agar tidak hipotermia adalah :
1. Tutuplah tubuh anak termasuk kepalanya
2. Hindari adanya hembusan angin dalam ruang perawatan
3. Petahankan suhu ruangan sekitar 25-300C.
4. Jangan membiarkan anak tanpa baju terlalu lama pada saat tindakan pemeriksaan
dan penimbangan.
5. Usahakan tangan dari pemberi perawatan pada saat menangani anak gizi buruk
dalam keadaan hangat.
6. Segeralah ganti baju atau peralatan tidur yang basah oleh karena air kencing atau
keringat atau sebab-sebab yang lain.
7. Bila anak baru saja dibersihkan tubuhnya dengan air, segera keringkan dengan
sebaik-baiknya.
8. Jangan menghangati anak dengan air panas dalam botol, hal ini untuk menghindari
ibu anak/pengasuh lupa membungkus botol dengan kain akan menyebabkan kulit
anak terbakar.
37
3. Pemanasan tubuh anak juga dapat dilakukan dengan menggunakan lampu. Lampu
harus diletakkan 50cm dari tubuh anak.
4. Suhu tubuh harus dimonitor setiap 30 menit untuk memastikan bahwa suhu tubuh
anak tidak terlalu tinggi akibat pemanasan.
5. Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah mencapai 370C.
Pemantauan6 :
1. Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,50C atau
lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan
bila suhu mencapai 36,50C.
2. Patikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada malam
hari.
3. Periksa kadar gula darah bila ditemukan hiponatremi.
Tatalaksana6
1. Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, keciali pada kasus dehidrasi berat
dengan/tanpa syok.
2. Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika
melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
Beri 5ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.
Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 ml.kgBB/jam berselang-seling dengan F-
75 dengan jumlah yang sama setiap jam selama 10 jam.
38
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang
keluar, dan apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan mempunyai
kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan yang lebih tepat adalah
ReSoMal.
Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia <1th: 50-100ml
setiap buang air besar, usia ≥ 1 thL 100-200ml setiap buang air besar.
Resep ReSoMal
ReSoMal mengandung 37,5 mmol Na, 40 mmol K, 3 mmol Mg per liter
Bahan Jumlah
Oralit WHO* 1 sachet (200ml)
Gula pasir 10 gr
Larutan mineral-mix** 8 ml
Ditambah air sampai menjadi 400
*2,6 g NaCl; 2,9 g trisodium citrate dehydrate, 1.5 g KCl, 13.5 g glukosa dalam 1L
**Lihat resep larutan mineral mix
Bila larutan mineral mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal dapat dibuat
larutan sebagai berikut:
Bahan Jumlah
Oralit 1 sachet (200ml)
Gula pasir 10 g
Bubuk Kcl 0,8 g
Ditambah air sampai menjadi 400 ml
Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka dapat
diberikan makanan yang merupakan sumber mineral tersebut. Dapat pula diberikan
MgSO4 40% IM 1x/hari dengan dosis 0,3 ml.kgBB, maksimum 2 ml/hari.
39
Larutan Mineral-mix
Larutan ini digunakan pada pembuatan F-75, F-100 dan ReSoMal.
Jika tidak tersedia larutan mineral-mix siap pakai, buatlah larutan dengan
menggunakan bahan berikut ini :
Bahan Jumlah (g)
Kalium klorida (KCL) 89,5
Tripotassium citrate 32,4
Magnesium klorida (MgCl2, 6H2O) 30,5
Seng asetat (Zn asetat, 2H2O) 3,3
Tembaga sulfat (CuSO4, 5H2O) 0,56
Air tambahkan menjadi 1000 ml
Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap setengah jam
selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Waspada
terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bias mengakibatkan gagal
jantung dan kematian.6
Periksalah
Frekuensi napas
Frekuensi nadi
Frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
Frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai ada
dieresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel berkurang serta
turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk
seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi,
sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.6
40
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan
frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan lakukan
penilaian ulang setelah 1 jam.6
Pencegahan
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada anak
dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan oralit
standar.
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
Pemberian F-75 sesegera mungkin
Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati
edema dengan pemberian diuretikum)9
Berikan :
- Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)
- Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2 /kgBB/hari)
- Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
- Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.
41
Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat/gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi seperti
demam seringkali tidak tampak.9
Karenanya pada semua KEP berat/gizi buruk beri secara rutin :
- Antibiotik spektrum luas
- Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah diimunisasi (tunda
bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik.9
Catatan:
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7 hari)
sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat perbaikan mucosa
usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat
pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.9
42
Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia: hipotermia,
infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :
Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan dengan
Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari. Bila amoksisilin
tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam secara oral.
Dan
Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.
Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol 25
mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.
Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai.
Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif.9
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula
khusus awal ke formula khusus lanjutan9 :
- Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml)
dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml)
dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan
asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
- Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa,
biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari).
Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam
pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula. Setelah
normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.9
44
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:
- Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
- Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
- Protein 4-6 gram/kgBB/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena energi
dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.9
45
Energi Kkal 750 750 1000
Protein gram 9 11 29
Laktosa gram 13 13 42
Kalium mmol 40 42 63
Natrium mmol 6 6 19
Magnesium mmol 4.3 4.6 7.3
Seng mg 20 20 23
Tembaga mg 2.5 2.5 2.5
% energi protein - 5 6 12
% energi lemak - 32 32 53
Osmolaritas mOsm/l 413 334 419
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang
sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme
basal.9
46
Formula khusus seperti F-75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus
disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas: (lihat tabel 2
halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan
dengan sendok / pipet.9
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian makanan
pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap
tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa
formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada
fase stabilisasi ini.9
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi pada
penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya
edema, baru kemudian BB mulai naik.9
47
Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah
Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat
dikatakan anak sembuh.
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah
penderita dipulangkan.9
Sarankan:
- Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:
bulan I : 1x/minggu
bulan II : 1x/2 minggu
bulan III : 1x/bulan
- Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
- Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.
48
Bitot saja (tidak
ada gejala mata
yang lain)
Nanah atau Beri tetes mata kloramfenikol atau tetrasiklin (1%)
peradangan
Kekeruhan pada Tetes mata kloramfenikol 0,25%-1% atau tetes
kornea tetrasiklin (1%); 1 tetes, 4x sehari, selama 7-10 hari
Ulkus pada Tetes mata atropine (1%); 1 tetes, 3x sehari, selama 3-
kornea 5 hari.
Jika perlu, kedua jenis obat tetes mata tersebut dapat
diberikan secara bersamaan
Catatan :
Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia sehingga selalu
menutup matanya. Penting untuk memeriksa mata dengan hati-hati untuk
menghindari rupture kornea.6
2. Anemia berat
49
Transfusi darah diperlukan jika:
Hb < 4 g/dl
Hb 4-6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda gagal
jantung.
Pada anak gizi burukm transfuse harus diberikan secara lebih lambat dan
dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat. Beri :
Darah utuk (whole blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam,
Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfuse dimulai.
Bila terdapat gejala gagal jantung, berikan komponen sel darah merah (packed
red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwashiorkor mengalami redistribusi
cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan
transfuse. Hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT selama anak
ditransfusi.5,6
Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfuse. Jika
terjadi peningkatan (frekuensi napas meningkat 5x/menit atau nadi
25x/menit), perlambat transfuse.5,6
Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfuse, jangan ulangi transfuse dalam
4 hari. 5,6
50
4. Diare persisten
Tatalaksana
Giardiasis dan kerusakan mukosa usus
Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskopis atas specimen feses.
Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia, beri Metronidazol
7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari).
Intoleransi laktosa
Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana intoleransi
laktosa hanya diberikan jika diare terus menerus ini menghambat perbaikan
secara umum. Perlu diingat bahwa F-75 sudah merupakan formula rendah
laktosa. 5,6
Pada kasus tertentu :
Ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa.
Pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu diberikan kembali
secara bertahap.
Diare osmotic
Diare osmotic perlu diduga jika diare makin memburuk pada pemberian F-75
yang hiperosmolar dan akan berhenti jika kandungan gula dan osmolaritasnya
dikurangi. 5,6
Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia dengan
osmolaritas yang lebih rendah.
Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.
5. Tuberkulosis
Jika anak diduga kuat menderita tuberkulosis,lakukan: 5,6
Tes Mantoux (walaupun seingkali negative palsu)
Foto thoraks, bila mungkin
51
Untuk diagnosis dan tatalaksana sesuai dosis pengobatan TB pada anak
2.9. KOMPLIKASI
Gizi buruk atau KEP berat seperti marasmus-kwashiorkor memiliki komplikasi-
komplikasi yaitu :
Perkembangan mental
Mwnurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada masa dini
perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA, dengan akibat
terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang walaupun besarnya otak normal. Jika
KEP terjadi setelah masa divisi otak berhenti, hambatan sintesis protein akan
53
menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal namun dengan ukuran yang lebih
kecil. Dari hasil penelitian Karyadi (1975) terhadap 90 anak yang pernah menderita
KEP bahwa terdapat deifisit IQ pada anak-anak tersebut, deficit tersebut meningkat
pada penderita KEP lebih dini. Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang
abnormal mencapai 30 persen pada pemeriksaan setelah 5 tahun lalu meningkat
hinggal 65 persen pada pemeriksaan ulang 5 tahun setelahnya.2
Noma
Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa mulut yang
bersifat prograsif hingga dapat menembus pipi, bibir, dan dagu, biasanya disertai
nekrosis sebagian tulang rahang yang berdekatan dengan lokasi noma tersebut. Noma
merupakan salah satu penyakit yang menyertai KEP berat akibat imunitas tubuh yang
menurun, noma timbul umumnya pada tipe kwashiorkor. 2
Xeroftalmia
Merupakan penyakit penyerta KEP berat yang sering ditemui akibat defisiensi dari
vitamin A umumnya pada tipe kwashiorkor namun dapat juga terjadi pada marasmus.
Penyakit ini perlu diwaspadai pada penderita KEP berat karena ditakutkan akan
mengalami kebutaan.2
Kematian
Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada umumnya penderita
KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain,
disentri, dan sebagainya. Tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit gizi
lainnya. Maka dapat dimengerti mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi.
Daya tahan tubuh pada penderita KEP berat akan semakin menurun jika disertai
dengan infeksi, sehingga perjalanan penyakit infeksi juga akan semakin berat.2
2.10. PENCEGAHAN
54
Tindakan pencegahan penyakit KEP bertujuan untuk mengurangi insidensi KEP dan
menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Akan tetapi tujuan yang lebih luas dalam
pencegahan KEP ialah memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak-
anak Indonesia sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat bekerja baik
dan memiliki kecerdasan yang cukup. Ada berbagai macam cara intervensi gizi, masing-
masing untuk mengatasi satu atau lebih dari satu faktor dasar penyebab KEP (Austin,
1981), yaitu :2
55
2.11. PROGNOSIS
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian dari
penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi prognosisnya dapat
dikatakan baik apabila malnutrisi ditangani secara tepat dan cepat. Kematian dapat
dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis
atau hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak
yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik
dengan psikomotor anak yang mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut
umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan
cenderung mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna dibandingkan
dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama. Hanya
saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi marasmus in
cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak
dan pertambahanan berat anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak
berada dalam batas yang normal.1,2
56
BAB III
PENUTUP
3.1. RANGKUMAN
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu
klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmik-kwashiorkor, yang diakibatkan defisiensi
protein berat dan pemasukan kalori yang sedikit atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
gizi.
Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain hambatan
pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot, perubahan tekstur dan warna
rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang tegas dalam, pembesaran hati, anemia,
anoreksia, edema, dan lain-lain.
Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (gejala
klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan laboratorium yang
memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol, glukosa, gangguan keseimbangan
elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi mikronutrien yang penting bagi tubuh.
Penatalaksanaan gizi buruk secara umum memiliki 10 prinsip yang harus dilakukan yaitu
mengatasi/mencegah hipoglikemia, mengatasi/mencegah hiponatremia, mengatasi/mencegah
dehidrasi, koreksi gangguan keseimbangan elektrolit, obati/cegah infeksi, mulai pemberian
makanan, fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”), koreksi defisiensi nutrient mikro,
stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental, persiapkan dan rencanakan tindak lanjut
setelah sembuh.
57
3.2. SARAN
58
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.18th
Edition. United States of America : Sunders Elsevier Inc.2007. Hal : 229-232.
2. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada Anak.
Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. Jakarta. 2005 : 95-137.
3. Emedicine. Protein Energy Malnutrition. Diunduh pada tanggal 25 November 2012 dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview#a0101
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2008.
5. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Management of the Child
with Serious Infection or Severe Malnutrition : Guidelines for Care at the First-Refferal
Level in Developing Countries.United States of America : World Health Organization. 2000.
Hal : 80-91.
6. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku : Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman
Bagi Rumah Sakit Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta : Departemen Kesehatan dan
WHO. 2009. Hal : 193-221.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen
Kesehatan RI, 2011.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2011.
9. Indonesian Nutrition Network. Pedoman Tata Laksana KEP pada Anak di Rumah Sakit
Kabupaten/Kota. Diunduh tanggal 30 November 2012 dari :
http://gizi.depkes.go.id/pedoman-gizi/pd-kep-kab-kota.shtml
59