Anda di halaman 1dari 39

MARASMUS

DEFINISI

KEP
Keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.

MARASMUS
Bentuk malnutrisi energi protein yang terutama disebabkan
kekurangan kalori berat dalam jangka waktu lama
Ditandai dengan retardasi pertumbuhan dan pengurangan lemak
bawah kulit dan otot secara progresif
KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP
Klasifikasi menurut Gomez
Gomez ( 1956 ) merupakan orang pertama yang mempublikasikan cara pengelompokan
kasus KEP.
Berdasarkan atas berat badan individu dibandingkan dengan berat badan yang
diharapakan pada anak sehat yang seumur.
Sebagai baku patokan dipakai persentil 50 baku Harvard (Stuart dan Stevenson, 1945).

Derajat KEP Berat Badan %


dari baku*

0 = normal 90 %
1 = ringan 89-75 %
2 = sedang 74-60 %
3 = berat < 60 %

Tabel.1. Klasifikasi KEP menurut Gomez


Klasifikasi KEP menurut Bengoa
Bengoa pada tahun 1970 mengadakan modifikasi pada klasifikasi Gomez,
yang hanya didasarkan pada defisit berat badan saja.
Penderita KEP dengan edema, tanpa melihat defisit berat badannya
digolongkan oleh Bengoa dalam derajat III.
Penderita kwashiorkor, berat badannya jarang menurun hingga kurang dari
60% disebabkan oleh adanya edema, sedangkan lemak tubuh dan otot-
ototnya tidak mengurang sebanyak seperti pada keadaan marasmus. Padahal
kwarshiorkor merupakan penyakit yang serius dengan angka kematian tinggi.

Derajat KEP Berat badan/usia (%)


KEP I 90-76
KEP II 75-61
KEP III Semua penderita edema

Tabel 2. Klasifikasi KEP menurut Bengoa


Klasifikasi KEP berdasarkan WHO-NCHS
KEP Ringan
(BB/U) 70-80 % dan/atau (BB/TB) 80-90% baku
median WHO-NCHS.
KEP Sedang
BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau
BB/TB 70-80% baku median WHO-NCHS.
KEP Berat
BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau
BB/TB <70% baku median WHO-NCHS

Klasifikasi KEP menurut Depkes RI th 2000


Departemen kesehatan RI (2000),
merekomendasikan baku WHO NCHS untuk
digunakan sebagai baku antropometris di
Indonesia.

Tabel 3. Klasifikasi KEP menurut Depkes RI th 2000


MenurutWHO-UNICEF Tahun 2009, kriteria malnutrisi akut berat
(MAB) yaitu
Terlihat sangat kurus
Edema nutrisional
BB/TB <-3 SD
Lingkar Lengan Atas (LILA) < 115 mm
Klasifikasi menurut tipe (Klasifikasi Kualitatif)
menggolongkan KEP menurut tipenya: gizi kurang, marasmus,
kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor

Klasifikasi kualitatif menurutWellcome Trust


Cara WellcomeTrust dapat dipraktekan dengan mudah, tidak
ditemukan penentuan gejala klinis maupun laboratories, dan dapat
dilakukan oleh para tenaga medis setelah diberi latihan seperlunya
Berat badan % dari baku* Edema

Tidak ada Ada

>60% Gizi kurang Kwarshiorkor

<60% Marasmus Marasmic-Kwarshiorkor

Tabel 4. Klasifikasi Kualitatif KEP menurut Wellcome Trust


Klasifikasi Kualitatif menurut McLaren Gejala klinis/laboratoris Angka
Edema 3
McLaren mengklasifikasikan golongan KEP
Dermatosis 2
berat dalam 3 kelompok menurut tipenya. Edema disertai dermatosis 6
Gejala klinis edema, dermatosis, edema Perubahan pada rambut 1
disertai dermatosis, perubahan pada rambut, Hepatomegali 1
dan pembesaran hati diberi angka bersama- Albumin serum atau protein total
sama dengan menurunnya kadar albumin atau serum/g %
total protein serum. < 1.00 < 3.25 7
1.00 1.49 3.25 3.99
Cara seperti ini dikenal sebagai scoring system 6
1.50 1.99 4.00 4.75 5
McLaren
2.00 2.49 4.75 5.49 4
Penentuan tipe didasarkan atas jumlah angka yang 2.50 2.99 5.50 6.24 3
dapat dikumpulkan dari tiap penderita: 3.00 3.49 6.25 6.99 2
SKOR 0 3 = marasmus 3.50 3.99 7.00 7.74 1

SKOR 4 8 angka = marasmic-kwarshiorkor >4.00 > 7.75 0

Tabel 5. Cara Pemberian Angka menurut McLaren


SKOR 9 15 angka = kwarshirkor

Cara demikian dapat mengurangi kesalahan jika


dibandingkan dengan cara Wellcome Trust, akan
tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan
bantuan laboratorium
Klasifikasi KEP menurut Waterlow 3
Waterlow (1973) membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan
menahun.
Beliau berpendapat, bahwa defisit berat badan terhadap tinggi badan
mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting
(kurus-kering), sedangkan defisit tinggi badan menurut umur merupakan
akibat kekurangan gizi yang berlangsung sangat lama.
Akibat tersebut dapat mengganggu laju pertumbuhan tinggi badan, sehingga
anak menjadi pendek (stunting) untuk umurnya.
Waterlow membagi keadaan wasting dan stunting dalam 3 kategori

Gangguan Derajat Stunting Wasting


(tinggi menurut umur) (berat terhadap tinggi)

0 > 95 % > 90 %
1 95-90 % 90-80 %
2 89-85 % 80-70 %
3 < 85 % < 70%

Tabel. 6. Klasifikasi KEP menurutWaterlow


ETIOLOGI
Penyebab kurang gizi menurut kerangka konseptual UNICEF dapat dibedakan menjadi penyebab

langsung, penyebab tidak langsung dan penyebab dasar.


Dampak KURANG GIZI

Penyebab Makan
Penyakit Infeksi
langsung Tidak Seimbang

Sanitasi dan Air


Penyebab Tidak Cukup Pola Asuh Anak Bersih/Pelayanan
Tidak langsung Persediaan Pangan Tidak Memadai Kesehatan Dasar
Tidak Memadai

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Pokok Masalah Kurang pemberdayaan wanita


di Masyarakat dan keluarga, kurang pemanfaatan
sumberdaya masyarakat

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Akar Masalah Krisis Ekonomi, Politik,


(nasional)
dan Sosial
Penyebab Langsung
Diet
Tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang terutama dalam segi
protein dan karbohidratnya.
Pola makan yang salah seperti pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
usia.
penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan
yang kurang.
pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup.
Selain itu mitos atau kepercayaan di masyarakat atau keluarga dalam
pemberian makanan seperti berpantang makanan tertentu akan memberikan
andil terjadinya gizi buruk pada anak.
Peranan penyakit atau infeksi
Kaitan antara infeksi dan kurang gizi sangat sukar diputuskan,
karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.

Berikut ini adalah contoh-contoh penyakit dan infeksi yang sering


menyebabkan malnutrisi:
Infeksi yang berat dan lama, terutama infeksi enteral misalnya tuberculossis,
infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis
kongenital.
Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis
pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.
Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus.
Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan
Penyebab tidak langsung
Ketersediaan pangan rumah tangga.
Kurangnya pendidikan, pengetahuan, keterampilan Pola asuh
anak tidak memadai.
Sanitasi dan air bersih, pemukiman yang tidak sehat.
Pelayanan kesehatan dasar tidak memadai.
Ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan.

Penyebab Dasar
Kondisi sosial, politik dan ekonomi negara.
PATOGENESIS
MARASMUS
Compensated malnutrition atau sebuah mekanisme adaptasi tubuh terhadap
kekurangan energi (kalori) dalam waktu yang lama
Keadaan kekurangan asupan kalori tubuh memakai cadangan makanan yang tersedia
untuk menghasilkan energi atau kalori.
Pemakaian cadangan makanan ini dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat,
bila karbohidrat habis, maka tubuh akan menggunakan cadangan lemak, jaringan lemak
akan dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Terakhir tubuh akan
menggunakan cadangan protein setelah cadangan lemak habis.
Pemecahan cadangan gula otot (glikogen) menjadi glukosa di hati, katabolisme protein
menghasilkan asam amino yang segera diubah menjadi glukosa di hepar dan di ginjal
Pada marasmus ketersediaan asam amino, yang merupakan hasil katabolisme
protein, biasanya jumlahnya masih dalam batas normal, sehingga hati masih dapat
untuk membentuk albumin
Sehingga, pada marasmus, kondisi klinisnya yg mencolok pertumbuhan yang kurang
atau terhenti disertai atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit, namun tidak
disertai edema pitting
Kwashiorkor

Pada kwashiorkor yang klasik, gangguan metabolisme dan perubahan


sel menyebabkan edema dan perlemakan hati.
Tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat berlebihan.
Kekurangan protein dalam diet kekurangan berbagai asam amino
esensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin.
Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi
insulin akan meningkat dan sebagian asam amino dari dalam serum
yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan ke otot.
Berkurangnya asam amino dalam serum kurangnya pembentukan
albumin oleh hati hipoalbuminemia sehingga edema.
Gangguan pembentukan lipoprotein beta transport lemak dari hati
ke depot lemak juga terganggu terjadi akumulasi lemak dalam hati
perlemakan hati hepatomegali
Gambaran Klinis
MARASMUS
Tampak sangat kurus, hanya tulang berbungkus kulit.
Pertumbuhan terhenti.
Rambut mudah dicabut, kusam, kemerahan namun tidak
seberat kwashiorkor.
Wajah seperti orang tua (old man face).
Cengeng, rewel.
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit
sampai tidak ada, pada bagian bokong baggy pants.
Perut cekung, iga gambang.
Sering disertai penyakit infeksi kronis berulang, diare
kronik, atau susah buang air besar.
Tidak ada oedem.
Gambaran Klinis
KWASHIORKOR
Billateral Pitting Edema, dimulai dari kaki dan tungkai bawah, dapat
menjadi edema seluruh tubuh ke tangan, lengan, wajah.
Wajah bulat dan sembab (moon face).
Berkurangnya jaringan lemak dan otot yang tertutupi oleh edema.
Kulit kering, hiperpigmentasi dan bersisik. Terdapat lesi di kulit
berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi
cokelat kehitaman dan terkelupas terutama pada bagian tubuh yang
mendapat tekanan (crazy pavement dermatosis), yang mengakibatkan
rentan terkena infeksi.
Perubahan pada warna rambut menjadi kemerahan seperti warna
rambut jagung, rambut menjadi tipis, kering, mudah dicabut tanpa
rasa sakit, rontok.
Perubahan status mental menjadi apatis, letargi, iritabel.
Pembesaran hati.
Sering disertai penyakit infeksi, anemia, diare.
Defisiensi vitamin A:
Buta senja (hemeralopia)
Sklera kering
Kornea kering
Ulkus kornea
Bitot spot
Keratomalasia
Gambaran Klinis
MARASMIK-KWASHIORKOR
Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan energi untuk pertumbuhan yang
normal.
Memperlihatkan gejala dan tanda klinis campuran antara marasmus dan kwarshiorkor.
Dengan BB/U < 60% / BB/TB < -3 SD baku median WHO-NCHS disertai edema yang
tidak mencolok, hanya pada kedua anggota gerak bawah, biasanya pada punggung kaki dan
tungkai bawah.
Penatalaksanaan

Tatalaksana Perawatan
Pada saat masuk rumah sakit :
Anak dipisahkan dari pasien infeksi
Ditempatkan di ruangan yang hangat (25-300C, bebas dari angin)
Dipantau secara rutin
Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera dikeringkan

Demi keberhasilan tata laksana diperlukan :


Fasilitas dan staf yang professional (Tim Asuhan Gizi)
Timbangan badan yang akurat
Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar
Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga kemajuan selama
perawatan dapat dievaluasi
Keterlibatan orang tua
Tata Laksana Umum
Menurut buku panduan tatalaksana anak gizi buruk yang diterbitkan oleh kementrian
kesehatan Tahun 2000, disusun berdasarkan buku management of severe malnutrition
WHO (1999), terdapat 10 langkah penting tatalaksana rutin KEP berat/ gizi buruk,
yaitu meliputi:
1. Atasi/cegah hipoglikemia.
2. Atasi/cegah hipotermia.
3. Atasi/cegah dehidrasi.
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.
5. Obati/cegah infeksi.
6. Koreksi defisiensi nutrient mikro.
7. Mulai pemberian makanan awal (Initial Refeeding).
8. Fasilitasi tumbuh kejar (Catch-up Growth).
9. Lakukan stimulasi sensorik dan emosional.
10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut pasca perbaikan.
Terdapat 4 fase, yaitu fase stabilisasi (hari 1-2), fase transisi (hari 3-7), fase rehabilitasi
(minggu ke 2-6), fase tindak lanjut (minggu ke 7-26).
Digunakan pada semua penderita KEP berat/gizi buruk (marasmus, kwashiorkor,
marasmik-kwashiorkor).
Langkah 1. Atasi/ Cegah Hipoglikemia
Semua anak gizi buruk berisiko untuk terjadi hipoglikemia (kadar gula darah < 3
mmol/dl atau < 54 mg/dl), yang seringkali merupakan penyebab kematian pada 2
hari pertama perawatan.
Hipoglikemia dan hipotermia seringkali terjadi bersamaan dan biasanya merupakan
pertanda adanya infeksi.
Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah, maka
semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani
sesaui panduan.

Tatalaksana
Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya memungkinkan.
Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml larutan
glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air) secara oral atau
melalui NGT.
Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2-3 jam, siang dan malam selama minimal dua hari.
Bila masih mendapat ASI, teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian F-75.
Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena (bolus)
sebanyak 5 ml/kgBB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml dengan NGT.
Beri antibiotik spektrum luas.
Pemantauan
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula
darah setelah 30 menit.
Jika kada gula darah di bawah 3 mmol/L (<54 mg/dl), ulangi
pemberian larutan glukosa atau gula 10%.
Jika suhu rektal < 35,50C atau bila kesadaran memburuk,
mungkin hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi
pengukuran kadar gula darah dan tangani sesuai keadaan
(hipotermia dan hipoglikemia).
Pencegahan
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin,
atau jika perlu lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
Pemberian makanan harus teratur setiap 2-3 jam, siang malam.
Langkah 2. Atasi/ Cegah Hipotermia
Diagnosis: Jika suhu aksila < 35,0 0C, suhu rektal <35,50C.

Tatalaksana
Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi dulu)
Hangatkan anak.
Beri antibiotik sesuai pedoman.

Pemantauan
Ukur suhu aksillar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,50C atau lebih.
Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada malam hari.
Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia.

Pencegahan
Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas angin dan pastikan anak
selalu tertutup pakaian/ selimut.
Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap kering.
Hindarkan anak dari suasana dingin (misal sewaktu dan setelah mandi, atau selama pemeriksaan
medis).
Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di malam hari.
Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin, sepanjang hari, siang
dan malam.
Langkah 3. Atasi/ Cegah Dehidrasi
Pada anak gizi buruk, keadaan dehidrasi walaupun ringan dapat menimbulkan komplikasi
lain (hipoglikemia, letargi) sehingga memperberat kondisi klinis.
Diagnosis pasti adanya dehidrasi adalah dengan pengukuran berat jenis urin (>1.030),
selain tanda dan gejala klinis khas bila ada, antara lain rasa haus dan mukosa mulut
kering.

Tatalakasana
Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat dengan syok.
Sulit untuk memperkirakan status rehidrasi dengan melihat klinis saja pada anak
malnutrisi berat. Maka asumsikan bahwa setiap anak dengan diare cair dapat mengalami
dehidrasi.
Beri ReSoMal (rehidration solution for malnutrition), secara oral atau melalui NGT, lakukan
lebih lambat dibandingkan jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.
Setelah 2 jam, beri ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang seling dengan F-75 dengan jumlah yang
sama, setiap jam selama 10 jam.
Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 Thn: 50-100 ml setiap
buang air besar, usia 1 Tahun: 100-200 ml setiap buang air besar.
Langkah 4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit 8,9
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan
magnesium yang mungkin membutuhkan waktu 2 Minggu atau lebih
untuk memperbaikinya.
Terdapat kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium
serum mungkin rendah.

Tatalaksana
Untuk mengatasi gangguan elektrolit, diberikan kalium dan
magnesium, yang sudah terkandung di dalam larutan mineral-mix yang
ditambahkan ke dalam F-75, F-100, atau ReSoMal.
Ekstra kalium 3-4 mmol/kg/hari
Ekstra magnesium 0,4 0,6 mmol/kg/hari
Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi.
Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).
Langkah 5. Obati/ Cegah Infeksi 8,9
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam,
seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering
terjadi.
Oleh karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi
saat mereka datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik.
Tatalaksana
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
Antibiotik spektrum luas
Vaksin campak jika anak berumur 6 Bulan dan belum pernah mendapatkannya,
atau jika anak berumur > 9 Bulan dab sudah pernah diberi vaksin sebelum
berumur 9 Bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.
Pilihan antibiotik spektrum luas:
Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri kotrimoksazol per oral (25
mg SMZ + 5 mg TMP/ kgBB setiap 12 jam) selama 5 hari.
Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis atau tampak
sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
Ampicillin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan dengan
amoksisillin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) atau, jika tidak tersedia
amoksisillin, beri ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama hari)
sehingga total selama 7 hari, ditambah gentamisin (7,5 mg/kgBB/hari IM/IV)
setiap hari selama 7 hari.
Jika anak tidak membaik dalam 48 jam, tambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB
IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari.
Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan obati dengan
kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari.
Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (pneumonia, tuberkulosis, malaria, disentri,
infeksi kulit atau jaringan lunak), beri antibiotik yang sesuai.
Langkah 6. Koreksi Defisiensi Mikronutrien
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun sering
ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi tunggu sampai anak
mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat badannya (biasanya
pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah
infeksi.
Tatalaksana
Suplemen multivitamin
Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
Zinc 2 mg/kgBB/hari
Tembaga 0,3 mg/kgBB/hari
Ferosulfat 3 mg/kg/hari setelah berat badan naik (mulai pada fase rehabilitasi)
Vitamin A; diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan sebelum
dirujuk), dengan dosis:
< 6 Bulan 50.000 (1/2 kapsul biru)
6-12 Bulan 100.000 (1 kapsul biru)
1-5 Tahun 200.000 (1 kapsul merah).
Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam tiga bulan
terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai usia umur, pada hari ke 1, 2, dan 15.
Langkah 7. Pemberian Makanan Awal (initial feeding)
Pada fase stabilisasi diperlukan pendekatan yang hati-hati karena kondisi
fisiologis anak yang rapuh dan berkurangnya kapasitas homeostasis.
Pemberian makan sebaiknya dimulai sesegera mungkin setelah pasien
masuk

Hal-hal penting dalam pemberian makan pada fase stabilisasi adalah


sebagai berikut:
Pemberian makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering, rendah
osmolaritas, rendah laktosa.
Berikan secara oral atau melalu NGT, hindari penggunaan parenteral
Energi : 100 kkal/kgBB/hari
Protein: 1-1,5 g/ kgBB/ hari
Cairan: 130 ml/ kgBB/ hari, bila edema berat 100 ml/kgBB/ hari.
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa
jumlah F-75 yang ditentukan harus dipenuhi
Langkah 8. Mencapai Kejar-Tumbuh
Pada fase rehabilitasi perlu pendekatan yang baik untuk pemberian makan
dalam pencapaian asupan yang tinggi dan kenaikan berat badan yang cepat
(>10 g/kg/hari).
Formula yang dianjurkan pada fase ini adalah F100 yang mengandung 100
kkal/100 ml dan 2,9 g protein/ 100 ml.
Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah
kembalinya nafsu makan, edema minimal atau hilang (pada kwashiorkor).

Tatalaksana
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula
tumbuh-kejar (F-100) (fase transisi):
Ganti F-75 dengan F-100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75 selama
2 hari berurutan.
Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian
sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit.
Setelah transisi bertahap, beri anak:
Pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai
kemampuan anak).
Energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
Protein: 4-6/ kgBB/ hari.
Langkah 9. Memberikan stimuli fisik, sensorik, dan dukungan emosional

Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,


karenannya, berikan:
Ungkapan kasih sayang
Ciptakan lingkungan yang menyenangkan, ceria
Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 30 menit/hari
Rencanakan aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
Tingkatkan ketelibatan ibu (menghibur, memberi makan, memandikan,
bermain, dll)
Langkah 10. Pemulangan dan tindak lanjut
Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan > 80%) dapat dianggap anak
telah sembuh.
Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak berperawakan
pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap
dilanjutkan di rumah.
Tunjukkan kepada orang tua atau pengasuh bagaimana:
Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta frekuensi
pemberian makan yang sering.
Terapi bermain yang terstruktur.
Sarankan :
Membawa anak kontrol secara teratur.
Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan.
Mengikuti program pemberian vitamin A setiap 6 Bulan.
KOMPLIKASI
Gangguan Mental
Noma (stomatitis gangrenosa)
Xeroftalmia
Kematian

Gambar 5. Noma.
Prognosis

Malnutrisi yang berat mempunyai angka kematian sekitar 20-


30%.
Kematian sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak
dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena
malnutrisi sendiri.
Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai
dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya
pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif, kematian tidak
dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang
irreversibel dari sel-sel tubuh akibat gizi buruk/KEP berat
Ringkasan

Empat masalah utama gizi di Indonesia yaitu kekurangan energi protein (KEP),
gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), anemia defisiensi besi, dan
defisiensi vitamin A.
Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan keadaan kurang gizi yang
disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari
sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.
Penyebab malnutrisi dapat dibedakan menjadi penyebab langsung, penyebab
tidak langsung dan penyebab dasar.
Klasifikasi KEP dibagi menjadi KEP ringan, sedang, berat.
KEP berat secara klinis terdapat tiga tipe, yaitu marasmus, kwashiorkor,
marasmik-kwashiorkor.
Tatalaksana gizi buruk secara umum, khusunya pada fase stabilisasi, tetap
mengikuti panduan Kementrian Kesehatan RI yang mengacu pada panduan
WHO, yaitu berupa sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk.
Komplikasi gizi buruk diantaranya adalah gangguan perkembangan mental,
noma, xeroftalmia, kematian.
Gizi buruk mempunyai angka kematian sekitar 20-30%, kematian sering
disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian
karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri.
Daftar Pustaka
1. Depkes RI-Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD)
KLB-Gizi Buruk. Surveilans KLB-Gizi Buruk. Gizi-Depkes RI; 2010. Available
at http://suyantitno.blog.undip.ac.id/files/2010/04/surveilans-KLB-Gizi-
Buruk.pdf. Diakses tanggal 7 Juli 2013.
2. Atmarita, Tatang S. Analisa Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Depkes RI-
Direktorat Gizi Masyarakat; 2004. Available at
http://gizi.depkes.go.id/kep/download/makalah-wnpg8.doc. Diakses
tanggal 7 Juli 2013.
3. Pudjiadi S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu Gizi Klinis. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2000.
4. UNICEF. Acute Malnutrition. Tracking Progress on Child and Maternal Nutrition.
UNICEF: 2009. Available at
http://www.unicef.org/nutrition/training/2.3/contents.html. Diakses
tanggal 7 Juli 2013.
5. Evawany Aritonang. Kurang Energi Protein. Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat
FK USU; 2004. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3741/1/fkmgizi-
evawany.pdf. Diakses tanggal 7 Juli 2013.
6. Depkes RI. Pedoman Tatalaksana Kekurangan Energi Protein Pada
Anak di Rumah Sakit Kabupaten/ Kodya. Jakarta: Depkes; 2000.
7. Israr YA., Putra CA., Julianti R., Tambunan R., Hasriani A. Gizi Buruk
(severe malnutriotion). 2009. Available at
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/08/giziburukseverem
alnutriotion_files_of_drsmed.pdf. Diakses tanggal 7 Juli 2013.
8. World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam Pedoman Pelayanan
Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten; alihbahasa, Tim Adaptasi Indonesia. Jakarta: WHO
Indonesia; 2009. 193-218.
9. J.C. Susanto., Maria M., Sri S. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi
Berbasis Komunitas. Dalam Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metabolik. Editor: Damayanti R., Endang DL., Maria M., Sri SN.
Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2011. 128-45.
10. Ricardo U., Eva Hertrampf. Nutritional Deficiency and Imbalances. The
Role of Food, Agriculture, Forestry and Fisheries in Human
Nutrition. EOLS:Vol IV; 2008.

Anda mungkin juga menyukai