Anda di halaman 1dari 42

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kurang Energi Protein (KEP)

2.1.1 Definisi

KEP (Kurang Energi Protein) merupakan salah satu penyakit gangguan

gizi yang penting di Indonesia maupun di negara yang sedang berkembang

lainnya. Prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak balita, ibu yang sedang

mengandung dan menyusui. Penderita KEP memiliki berbagai macam

keadaan patologis yang disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein

dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat kekurangan tersebut timbul

keadaan KEP pada derajat yang ringan sampai yang berat8.

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP

1) Klasifikasi KEP berdasarkan WHO-NCHS 6

Menurut baku median WHO – NCHS, KEP dibagi menjadi:

 KEP Ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80 % dan/atau

berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-90% baku median WHO-NCHS.

 KEP Sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau

BB/TB 70-80% baku median WHO-NCHS.

 KEP Berat bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB

<70% baku median WHO-NCHS.

2) Klasifikasi KEP menurut Depkes RI th 2000 6


Departemen kesehatan RI (2000), merekomendasikan baku WHO – NCHS untuk

digunakan sebagai baku antropometris di Indonesia. Klasifikasi KEP menurut

Depkes 2000 adalah:

Tabel 1. Klasifikasi KEP menurut Depkes RI th 2000 6

Klasifikasi menurut tipe (Klasifikasi Kualitatif)

Klasifikasi ini menggolongkan KEP menurut tipenya: gizi kurang, marasmus,

kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.

1) Klasifikasi kualitatif menurut Wellcome Trust (FAO/WHO

Exp.Comm.,1971)6.

Cara Wellcome Trust dapat dipraktekan dengan mudah, tidak ditemukan

penentuan gejala klinis maupun laboratories, dan dapat dilakukan oleh para tenaga

medis setelah diberi latihan seperlunya. Cara ini dapat digunakan untuk survei

lapangan, namun apabila dilakukan pada penderita yang sudah mengalami


perawatan dan pengobatan selama beberapa hari dapat membuat diagnosa

menjadi salah. Misalnya pada penderita kwarshiorkor dengan berat badan > 60%,

jika dirawat selama 1 minggu maka edema akan hilang dan berat badan menjadi <

60% walaupun gejala lainnya masih ada. Dengan berat badan < 60% dan tidak ada

edema, maka penderita tersebut dapat didiagnosa sebagai marasmus dengan

menggunakan metode Wellcome Trust.

Tabel 2. Klasifikasi Kualitatif KEP menurut Wellcome Trust 6

Berat badan % dari baku* Edema


Tidak ada Ada
>60% Gizi kurang Kwarshiorkor
<60% Marasmus Marasmic-Kwarshiorkor

2). Klasifikasi Kualitatif menurut McLaren, dkk (1967) 6.

McLaren mengklasifikasikan golongan KEP berat dalam 3 kelompok

menurut tipenya. Gejala klinis edema, dermatosis, edema disertai dermatosis,

perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi angka bersama-sama dengan

menurunnya kadar albumin atau total protein serum. Cara seperti ini dikenal

sebagai scoring system McLaren.

Tabel 3. Cara Pemberian Angka menurut McLaren 6

Gejala klinis/laboratories Angka


Edema 3
Dermatosis 2
Edema disertai dermatosis 6
Perubahan pada rambut 1
Hepatomegali 1
Albumin serum atau protein total serum/g %

< 1.00 < 3.25 7


1.00 – 1.49 3.25 – 3.99 6
1.50 – 1.99 4.00 – 4.75 5
2.00 – 2.49 4.75 – 5.49 4
2.50 – 2.99 5.50 – 6.24 3
3.00 – 3.49 6.25 – 6.99 2
3.50 – 3.99 7.00 – 7.74 1
>4.00 > 7.75 0

Penentuan tipe didasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan dari tiap

penderita:

0 – 3 angka = marasmus

4 – 8 angka = marasmic-kwarshiorkor

9 – 15 angka = kwarshiorkor

Cara demikian dapat mengurangi kesalahan jika dibandingkan dengan cara

Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan

laboratorium.

3). Klasifikasi KEP menurut Waterlow 6

Waterlow (1973) membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan

menahun. Beliau berpendapat, bahwa defisit berat badan terhadap tinggi badan

mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting

(kurus-kering), sedangkan defisit tinggi badan menurut umur merupakan akibat


kekurangan gizi yang berlangsung sangat lama. Akibat tersebut dapat

mengganggu laju pertumbuhan tinggi badan, sehingga anak menjadi pendek

(stunting) untuk umurnya. Waterlow membagi keadaan wasting dan stunting

dalam 3 kategori.

Tabel. 4. Klasifikasi KEP menurut Waterlow 6

Gangguan Derajat Stunting Wasting


(tinggi menurut umur) (berat terhadap tinggi)
0 > 95 % > 90 %
1 95-90 % 90-80 %
2 89-85 % 80-70 %
3 < 85 % < 70%

2.2 Marasmus

2.2.1 Definisi

Marasmus adalah bentuk malnutrisi energi protein yang terutama

disebabkan kekurangan kalori berat dalam jangka waktu lama, terutama terjadi

selama tahun pertama kehidupan, yang ditandai dengan retardasi pertumbuhan

dan pengurangan lemak bawah kulit dan otot secara progresif tetapi biasanya

masih ada nafsu makan dan kesadaran mental.6

2.2.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, marasmus jarang terlihat, terutama pada anak-anak.

Pada tahun 1995, hanya ada 228 kematian yang disebabkan oleh marasmus di AS,

dimana hanya 3 di antaranya adalah anak-anak. Pada tahun 2016, prevalensi

marasmus di Amerika Serikat adalah 0,5%. Prevalensi lebih tinggi pada anak-
anak yang dirawat di rumah sakit, terutama pada anak dengan penyakit kronis,

namun kejadian pasti dari marasmus nonfatal tidak diketahui. Hal ini karena

marasmus tidak dilaporkan sebagai diagnosis masuk atau keluar9. Ada berbagai

bentuk malnutrisi dan sekitar 1/3 dari populasi dunia saat ini mengalaminya satu

atau lebih. Ada sekitar 50 juta anak di bawah usia 5 tahun yang mengalami

malnutrisi energi protein. Dari populasi anak-anak yang kekurangan gizi di dunia,

80% tinggal di Asia, 15% di Afrika, dan 5% di Amerika Latin. Diperkirakan

prevalensi malnutrisi akut di Jerman, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat

menjadi 6,1-14%. Di Turki, prevalensinya setinggi 32%10.

Berdasarkan Riskesdas 2013, kecenderungan prevalensi status gizi anak

balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB, terlihat prevalensi gizi

buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi

sangat pendek turun 0,8% dari tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik

1,2% dari tahun 2007. Prevalensi sangat kurus turun 0,9% tahun 2007.

Prevalensi kurus turun 0,6% dari tahun 2007. Prevalensi gemuk turun 2,1%

dari tahun 2010 dan turun 0,3% dari tahun 200711.

Tidak ada predisposisi rasial yang berhubungan dengan malnutrisi.

Sebaliknya, terdapat hubungan yang kuat dengan distribusi geografis kemiskinan.

Marasmus lebih sering terlihat pada anak-anak di bawah usia 5 tahun karena

rentang usia tersebut ditandai dengan peningkatan kebutuhan energi dan

kerentanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Organisasi Kesehatan Dunia juga

mengidentifikasi lansia sebagai populasi lain yang rentan terhadap malnutrisi.


Karena kebutuhan nutrisinya tidak ditentukan dengan baik, upaya untuk memberi

mereka nutrisi yang diperlukan menjadi sulit12,13.

2.2.3 Etiologi

Penyebab marasmus adalah total asupan kalori yang tidak

mencukupi. Namun, penting untuk memahami apa yang menjadi penurunan kalori

pada seseorang yang menderita marasmus. Selain itu, penyebab pencetus dari

penurunan kalori dapat bervariasi antara orang dewasa dan anak-anak. Namun,

penyebab marasmus pada orang dewasa dan anak-anak secara luas dapat dibagi

menjadi penyebab sosial dan biologis1,2.

Faktor Pencetus pada Anak

Penyebab sosial yang mendasari marasmus pada anak-anak adalah

kemiskinan. Kemiskinan dapat terjadi sebagai akibat dari status rendahnya dan

pendidikan ibu yang tidak memadai sesuai dengan perang, bencana alam, dan

ketidakstabilan sipil. Kemiskinan yang mempengaruhi kemampuan rumah tangga

untuk mendapatkan sumber makanan yang dapat diandalkan untuk anak-anak

yang menyebabkan pasokan kalori yang tidak mencukupi. Pengasuhan anak yang

tidak stabil dan tidak dapat diandalkan dapat terjadi pada ibu yang tidak dapat

merawat anak-anak mereka akibat pengungsian, bersama lingkungan yang tidak

higienis; ini berkontribusi pada frekuensi infeksi yang lebih tinggi seperti diare.

Secara khusus, epidemi HIV / AIDS terbukti menimbulkan beban penyakit yang

signifikan pada rumah tangga di Afrika Selatan yang menyebabkan

kelangsungannya kelangsungan mata pencaharian agraria14,15,16.


Pendidikan ibu merupakan faktor kunci lain dalam kemungkinan kejadian

malnutrisi pada masa kanak-kanak. Ibu-ibu di Nairobi dengan tingkat pendidikan

dasar telah terbukti 94% lebih rendah kemungkinannya mengalami stunting

dibandingkan dengan ibu yang tidak berpendidikan. Penyebab biologis malnutrisi

pada anak antara lain HIV / AIDS dan penyakit menular lainnya, seperti yang

sebelumnya. Anak-anak yang telah terinfeksi HIV memiliki hasil gizi yang buruk

dibandingkan dengan mereka yang tidak. Ibu menyusui yang terinfeksi HIV juga

cenderung memiliki simpanan protein dan mikronutrien yang buruk dibandingkan

dengan ibu yang tidak terinfeksi HIV. Malaria pertumbuhan yang buruk dan

stunting pada anak-anak di bawah usia 2 tahun tetapi tidak terkait dengan

kekurangan energi protein17,18.

Faktor Pencetus pada Orang Dewasa

Marasmus biasanya menyerang anak-anak; namun, ada situasi di mana orang

dewasa juga mungkin. Kebiasaan pola bertambah makanan bertambah seiring

bertambahnya usia, biasanya menurun sebesar 30% pada pria dan 20% pada

wanita, atau dikenal sebagai anoreksia fisiologis karena penuaan 19. Diperkirakan

bahwa anoreksia fisiologis akibat penuaan terjadi sebagai akibat dari

penurunannya kepuasan yang berhubungan dengan makanan, yang terjadi karena

penurunan kemampuan rasa dan penciuman. Selanjutnya, seiring bertambahnya

usia, kecepatan makanan yang dicerna mencapai antrum meningkat seiring

dengan penurunan pengosongan lambung. Kombinasi waktu transit yang

berkurang ke antrum dan penurunan pengosongan lambung menyebabkan rasa

kenyang lebih awal. Depresi adalah penyebab umum anoreksia pada orang tua,
terutama mereka yang tinggal di panti jompo. Malabsorpsi dapat terjadi pada

orang dewasa. Penyebab khas malabsorpsi pada orang dewasa termasuk penyakit

celiac dan insufisiensi pankreas20,21.

Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut6,7:

1. Masukan makanan yang kurang.

Marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit,pemberian makanan

yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si

anak; misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.

2. Infeksi

Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi

enteral misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephritis dan

sifilis kongenital.

3. Kelainan struktur bawaan

Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschprung, deformitas

palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosispilorus, hiatus hernia, hidrosefalus,

cystic fibrosis pancreas.

4. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus

Pada keadaan-keadaan tersebut pemberian ASI yang kurang.

5. Pemberian ASI

Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan

yang cukup.

6. Gangguan metabolik
Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose

intolerance.

7. Tumor hypothalamus

Jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab marasmus yang lain

telah disingkirkan.

8. Penyapihan

Penyapihan yang terlalu dini disertai dengan pemberian makanan yang

kurang akan menimbulkan marasmus.

9. Urbanisasi

Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya

marasmus; meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan

penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu

yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu; dan bila diserta idengan

infeksi berulang, terutama gastro enteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam

marasmus.

2.2.4 Patofisiologi

Perubahan patofisiologis yang terkait dengan defisit nutrisi dan energi

dapat digambarkan sebagai (1) perubahan komposisi tubuh, (2) perubahan

metabolik, dan (3) perubahan anatomi22.

Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor.

Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh sendiri

(host), agent (kuman penyebab), environment (lingkungan). Memang faktor diet


(makanan) memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut menentukan.

Marasmus adalah compensated malnutrition atau sebuah mekanisme adaptasi

tubuh terhadap kekurangan energi dalam waktu yang lama. Dalam keadaan

kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan

memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk

mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat

penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai

oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk

menyimpan karbohidrat sangat sedikit. Akibatnya katabolisme protein terjadi

setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi

karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama kurangnya intake makanan, jaringan

lemak akan dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Setelah lemak

tidak dapat mencukupi kebutuhan energi, maka otot dapat mempergunakan asam

lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan. Pada

akhirnya setelah semua tidak dapat memenuhi kebutuhan akan energi lagi, protein

akan dipecah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal tubuh. Proses ini

berjalan menahun, dan merupakan respon adaptasi terhadap ketidak cukupan

asupan energi dan protein3.

2.2.5 Gejala Klinis

Pada kasus malnutrisi yang berat, gejala klinis terbagi menjadi dua bagian

besar, yaitu kwashiokor dan marasmus. Pada kenyataannya jarang sekali

ditemukan suatu kasus yang hanya menggambarkan salah satu dari bagian tertentu

saja. Sering kali pada kebanyakan anak-anak penderita gizi buruk, yang
ditemukan merupakan perpaduan gejala dan tanda dari kedua bentuk malnutrisi

berat tersebut. Marasmus lebih sering ditemukan pada anak-anak dibawah usia

satu tahun, sedangkan insiden pada anak-anak dengan kwashiokor terjadi pada

usia satu hingga enam tahun. Pada beberapa negara seperti di Asia dan Afrika,

marasmus juga didapatkan pada anak yang lebih dewasa dari usia satu tahun

(toddlers), sedangkan di Chili, marasmus terjadi pada bulan pertama kehidupan

anak tersebutnya3,4.

Gejala pertama dari malnutrisi tipe marasmus adalah kegagalan tumbuh

kembang. Pada kasus yang lebih berat, pertumbuhan bahkan dapat terhenti sama

sekali. Selain itu didapatkan penurunan aktifias fisik dan keterlambatan

perkembangan psikomotorik. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, akan

ditemukan suara tangisan anak yang monoton, lemah, dan tanpa air mata, lemak

subkutan menghilang dan lemak pada telapak kaki juga menghilang sehingga

memberikan kesan tapak kaki seperti orang dewasa. Kulit anak menjadi tipis dan

halus, mudah terjadi luka tergantung adanya defisiensi nutrisi lain yang ikut

menyertai keadaan marasmus. Kaki dan tangan menjadi kurus karena otot-otot

lengan serta tungkai mengalami atrofi disertai lemak subkutan yang turut

menghilang. Pada pemeriksaan protein serum, ditemukan hasil yang normal atau

sedikit meningkat. Selain itu keadaan yang terlihat mencolok adalah hilangnya

lemak subkutan pada wajah. Akibatnya ialah wajah anak menjadi lonjong,

berkeriput dan tampak lebih tua (old man face). Tulang rusuk tampak lebih jelas.

Dinding perut hipotonus dan kulitnya longgar. Berat badan turun menjadi kurang

dari 60% berat badan menurut usianya. Suhu tubuh bisa rendah karena lapisan
penahan panas hilang. Cengeng dan rewel serta lebih sering disertai diare kronik

atau konstipasi, serta penyakit kronik. Tekanan darah, detak jantung dan

pernafasan menjadi berkurang4,5.

2.2.6 Diagnosis

Penegakkan Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri4 :

 BB/TB < -3 SD atau 70% dari median (marasmus)

 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor:

BB/TB > -3 SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB < -3 SD)

 Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa

anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan

lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang

iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema. Anak-anak dengan BB/U <

60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak tersebut pendek, sehingga

tidak terlihat sangat kurus.

 Pengukuran LILA (lingkar lengan atas)

LILA merupakan indikator nutrisi paling unggul untuk seleksi kasus

penderita gizi buruk dibandingkan antropometri lain. Jika didapatkan LILA

berada di bagian pita berwarna merah (LILA < 115 mm) disebut gizi buruk akut .

Kekurangan LILA hanya dapat digunakan pada u sia 6-59 Bulan dan

mempunyai PB atau TB antara 65-110 cm, karena pada kondisi tersebut nilai

LILA relatif sama.


Penilaian Awal Anak Gizi Buruk

Pada setiap anak gizi buruk, lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis

terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.

Anamnesis awal (untuk kedaruratan)

 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah

dan diare (encer/darah/lendir)

 Kapan terakhir berkemih

 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin

Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi

dan/atau syok, serta harus diatasi segera.

Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tata laksana

selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan ditangani)

 Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit

 Riwayat pemberian ASI

 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir

 Hilangnya nafsu makan

 Kontak dengan pasien campak atau TB paru

 Pernah sakit campak dalam 3 Bulan terakhir

 Batuk kronik

 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

 Berat badan lahir

 Riwayat tumbuh kembang : duduk, berdiri, bicara dan lain-lain


 Riwayat imunisasi

 Apakah ditimbang setiap bulan

 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)

 Diketahui atau tersangka infeksi HIV

Pemeriksaan Fisik

 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah ada edema. Tentukan status

gizi menggunakan BB/TB-PB

 Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor kulit buruk

 Adakah tanda syok (tangan kaki dingin, capillary refill time yang lambat,

nadi lemah dan cepat), kesadaran menurun

 Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 0C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35,50C)

 Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung

 Pucat

 Pembesaran hati dan ikterus

 Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites,

tanda defisiensi vitamin A pada mata : konjungtiva atau kornea yang kering,

bercak bitot; ulkus kornea; keratomalasia

 Ulkus pada mulut

 Fokus infeksi: telinga, tenggorokan, paru, kulit

 Lesi kulit pada kwashiorkor: Dermatosis

 Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir)

 Tanda dan gejala infeksi HIV.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis

normositik normokrom karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat

hipoplasia kronis sumsum tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang

dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Selain itu dapat

ditemukan kadar albumin serum yang menurun. Pada pemeriksaan darah

dilakukan pengukuran kadar zat gizi dan bahan-bahan yang tergantung kepada

kadar zat gizi (misalnya hemoglogbin, hormon tiroid dan transferin). Pemeriksaan

radiologis juga perlu dilakukan untuk menemukan adanya kelainan pada paru.

Pemeriksaan Laboratorium WHO merekomendasikan tes laboratorium

berikut :

 Glukosa darah

 Pemeriksaan Pap darah dengan mikroskop atau pengujian deteksi langsung

 Hemoglobin

 Pemeriksaan urine pemeriksaan dan kultur

 Pemeriksaan tinja dengan mikroskop untuk telur dan parasit

 Serum albumin

 Tes HIV (Tes ini harus disertai dengan konseling orang tua anak)

 Elektrolit

Diagnosis marasmus dibuat berdasarkan gambaran klinis, tetapi untuk

mengetahui penyebab harus dilakukan anamnesis makanan dan kebiasaan makan

anak serta riwayat penyakit yang lalu. Pada awalnya, terjadi kegagalan menaikkan

berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan sampai berakibat kurus,

dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut dan longgar
karena lemak subkutan hilang. Lemak pada daerah pipih adalah bagian terakhir

yang hilang sehingga untuk beberapa waktu muka bayi tampak relative normal

sampai nantinya menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat kembung atau datar

dan gambaran usus dapat dengan mudah dilihat. Terjadi atrofi otot dengan akibat

hipotoni. Suhu biasanya subnormal, nadi mungkin lambat, dan angka metabolism

basal cenderung menurun. Mula-mula bayi mungkin rewel, tetapi kemudian

menjadi lesu dan nafsu makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat

muncul diare dengan buang air besar sering, tinja berisi mucus dan sedikit5,6.

Ciri dari marasmus antara lain:5,6

- Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus

- Perubahan mental

- Kulit kering, dingin dan kendur

- Rambut kering, tipis dan mudah rontok

- Lemak subkutan menghilang sehingga turgor kulit berkurang

- Otot atrofi sehingga tulang terlihat jelas

- Sering diare atau konstipasi

- Kadang terdapat bradikardi

- Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya

- Kadang frekuensi pernafasan menurun

2.2.7 Tatalaksana

Tatalaksana Perawatan

Pada saat masuk rumah sakit 5:


 Anak dipisahkan dari pasien infeksi

 Ditempatkan di ruangan yang hangat (25-300C, bebas dari angin)

 Dipantau secara rutin

 Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera

dikeringkan

Demi keberhasilan tata laksana diperlukan 5:

 Fasilitas dan staf yang professional (Tim Asuhan Gizi)

 Timbangan badan yang akurat

 Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar

 Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga kemajuan

selama perawatan dapat dievaluasi

 Keterlibatan orang tua

Tata Laksana Umum

Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan tata laksana syok pada anak

dengan gizi buruk. Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes

mata kloramfenikol/tetrasiklin dan atropin; tutup mata dengan kassa yang telah

dibasahi dengan larutan garam normal, dan dibalut. Jangan beri obat mata yang

mengandung steroid. Jika terdapat anemia berat, diperlukan penanganan segera 8.

Menurut buku panduan tatalaksana anak gizi buruk yang diterbitkan oleh

kementrian kesehatan Tahun 2000, disusun berdasarkan buku management of

severe malnutrition WHO (1999), terdapat 10 langkah penting tatalaksana rutin

KEP berat/ gizi buruk, yaitu meliputi 23:

1. Atasi/cegah hipoglikemia.
2. Atasi/cegah hipotermia.

3. Atasi/cegah dehidrasi.

4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.

5. Obati/cegah infeksi.

6. Koreksi defisiensi nutrient mikro.

7. Mulai pemberian makanan awal (Initial Refeeding).

8. Fasilitasi tumbuh kejar (“Catch-up Growth”).

9. Lakukan stimulasi sensorik dan emosional.

10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut pasca perbaikan.

Dalam proses pengobatan KEP berat/ gizi buruk, terdapat 4 fase, yaitu fase

stabilisasi (hari 1-7), fase transisi (hari 8-14), fase rehabilitasi (minggu ke 3-6),

fase tindak lanjut (minggu ke 7-26). Tatalaksana ini digunakan pada semua

penderita KEP berat/gizi buruk (marasmus, kwashiorkor, marasmik-kwashiorkor)


6,8,9
.
Gambar 1. Sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk dan perkiraan waktu setiap fase

Langkah 1. Atasi/ Cegah Hipoglikemia

Semua anak gizi buruk berisiko untuk terjadi hipoglikemia (kadar gula darah < 3

mmol/dl atau < 54 mg/dl), yang seringkali merupakan penyebab kematian pada 2

hari pertama perawatan.

Hipoglikemia dapat terjadi karena adanya infeksi berat atau anak tidak

mendapat makanan selama 4-6 jam. Hipoglikemia dan hipotermia seringkali

terjadi bersamaan dan biasanya merupakan pertanda adanya infeksi. Pemberian

makanan dengan frekuensi sering (setiap 2-3 jam) sangat penting dalam mencegah

dua kondisi tersebut. Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk

memeriksa kadar gula darah, maka semua anak gizi buruk harus dianggap

menderita hipoglikemia dan segera ditangani sesaui panduan.

Tatalaksana
 Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya

memungkinkan.

 Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml

larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air)

secara oral atau melalui NGT.

 Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2-3 jam, siang dan malam selama

minimal dua hari.

 Bila masih mendapat ASI, teruskan pemberian ASI di luar jadwal

pemberian F-75.

 Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara

intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kgBB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50

ml dengan NGT.

 Beri antibiotik spektrum luas.

Pemantauan

Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30

menit.

 Jika kada gula darah di bawah 3 mmol/L (<54 mg/dl), ulangi pemberian

larutan glukosa atau gula 10%.

 Jika suhu rektal < 35,50C atau bila kesadaran memburuk, mungkin

hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula darah

dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia).

Pencegahan
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin, atau jika perlu

lakukan rehidrasi terlebih dahulu. Pemberian makanan harus teratur setiap 2-3

jam, siang malam.

Langkah 2. Atasi/ Cegah Hipotermia

Diagnosis: Jika suhu aksila < 35,0 0C, suhu rektal <35,50C.

Tatalaksana

 Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi dulu)

 Hangatkan anak. Pastikan anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup

dengan selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada

anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada ibunya (dari

kulit ke kulit: metode kangguru). Bila menggunakan lampu listrik, letakkan lampu

pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh anak.

 Beri antibiotik sesuai pedoman.

Pemantauan

 Ukur suhu aksillar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi

36,50C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu setiap setengah jam.

Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36,5oC.

 Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada

malam hari.

 Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia.

Pencegahan

 Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas

angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/ selimut.


 Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap

kering.

 Hindarkan anak dari suasana dingin (misal sewaktu dan setelah mandi,

atau selama pemeriksaan medis).

 Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat,

terutama di malam hari.

 Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera

mungkin, sepanjang hari, siang dan malam.

Langkah 3. Atasi/ Cegah Dehidrasi

Tidak mudah menentukan adanya dehidrasi pada anak gizi buruk karena tanda dan

gejala dehidrasi seperti turgor kulit dan mata cekung sering didapati pada gizi

buruk walaupun tidak dehidrasi. Disisi lain, pada anak gizi buruk, keadaan

dehidrasi walaupun ringan dapat menimbulkan komplikasi lain (hipoglikemia,

letargi) sehingga memperberat kondisi klinis. Karenanya perlu diantisipasi

terjadinya dehidrasi pada anak gizi buruk dengan riwayat diare atau muntah dan

melakukan tindakan pencegahan. Diagnosis pasti adanya dehidrasi adalah dengan

pengukuran berat jenis urin (>1.030), selain tanda dan gejala klinis khas bila ada,

antara lain rasa haus dan mukosa mulut kering. Hipovolemia dapat terjadi

bersamaan dengan edema.

Tatalakasana

 Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat

dengan syok.
 Sulit untuk memperkirakan status rehidrasi dengan melihat klinis saja pada

anak malnutrisi berat. Maka asumsikan bahwa setiap anak dengan diare cair dapat

mengalami dehidrasi.

 Beri ReSoMal (rehidration solution for malnutrition), secara oral atau

melalui NGT, lakukan lebih lambat dibandingkan jika melakukan rehidrasi pada

anak dengan gizi baik.

o Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.

o Setelah 2 jam, beri ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang seling dengan

F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.

 Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.

 Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 Thn: 50-

100 ml setiap buang air besar, usia ≥1 Tahun: 100-200 ml setiap buang air besar.

Pemantauan

Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap setengah

jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya.

Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan dapat

mengakibatkan gagal jantung dan kematian. Periksa: frekuensi napas, frekuensi

nadi, frekuensi miksi dan jumlah produksi urin, frekuensi buang air besar dan

muntah.

Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai ada

diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel berkurang

serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi
buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut, walaupun rehidrasi penuh

telah terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.

Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan

frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ ReSoMal segera dan

lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.

Pencegahan

Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada anak

gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sbagai pengganti larutan oralit

standar.

 Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI.

 Pemberian F-75 sesegera mungkin.

 Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.

Langkah 4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium yang

mungkin membutuhkan waktu 2 Minggu atau lebih untuk memperbaikinya.

Terdapat keleibihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium serum

mungkin rendah. Edema dapat diakibatkan oleh keadaan ini. Jangan obati edema

dengan diuretikum. Memberikan natrium berlebihan dapat menyebabkan

kematian.

Tatalaksana

 Untuk mengatasi gangguan elektrolit, diberikan kalium dan magnesium,

yang sudah terkandung di dalam larutan mineral-mix yang ditambahkan ke dalam

F-75, F-100, atau ReSoMal.


 Ekstra kalium 3-4 mmol/kg/hari

 Ekstra magnesium 0,4 – 0,6 mmol/kg/hari

 Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi.

 Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).

Langkah 5. Obati/ Cegah Infeksi

Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam, seringkali

tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh karena

itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka

datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan

hipotermia merupakan tanda infeksi berat.

Tatalaksana

Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:

 Antibiotik spektrum luas

 Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 Bulan dan belum pernah

mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 Bulan dab sudah pernah diberi

vaksin sebelum berumur 9 Bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.

Pilihan antibiotik spektrum luas:

 Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri kotrimoksazol

per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/ kgBB setiap 12 jam) selama 5 hari.

 Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis

atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:

 Ampicillin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan

dengan amoksisillin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) atau, jika tidak
tersedia amoksisillin, beri ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama

hari) sehingga total selama 7 hari, ditambah gentamisin (7,5 mg/kgBB/hari

IM/IV) setiap hari selama 7 hari.

 Jika anak tidak membaik dalam 48 jam, tambahkan kloramfenikol (25

mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari.

 Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan

obati dengan kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari.

 Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (pneumonia, tuberkulosis, malaria,

disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), beri antibiotik yang sesuai.

Pengobatan terhadap parasit cacing:

Jika terdapat bukti adanya infeksi cacing, beri mebendazol (100 mg/hari) selama 3

hari atau albendazol (20 mg/kgBB dosis tunggal). Beri mebendazol setelah 7 hari

perawatan, walaupun belum terbukti adanya investasi cacing.

Pemantauan

Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas, lanjutkan pengobatan

sampai seluruhnya 10 hari penuh. Jika nafsu makan belum membaik, lakukan

penilaian ulang menyeluruh pada anak. Periksa fokal infeksi dan organisme

potensial untuk resisten dan pastikan bahwa suplemen vitamin dan mineral telah

diberikan secara benar.

Langkah 6. Koreksi Defisiensi Mikronutrien

Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun

sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi tunggu

sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat
badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi

dapat memperparah infeksi.

Tatalaksana

 Suplemen multivitamin

 Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)

 Zinc 2 mg/kgBB/hari

 Tembaga 0,3 mg/kgBB/hari

 Ferosulfat 3 mg/kg/hari setelah berat badan naik (mulai pada fase

rehabilitasi)

 Vitamin A; diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah

diberikan sebelum dirujuk), dengan dosis:

o < 6 Bulan  50.000 (1/2 kapsul biru)

o 6-12 Bulan  100.000 (1 kapsul biru)

o 1-5 Tahun  200.000 (1 kapsul merah).

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam tiga bulan

terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai usia umur, pada hari ke 1, 2, dan 15.

Langkah 7. Pemberian Makanan Awal (initial feeding)

Pada fase stabilisasi diperlukan pendekatan yang hati-hati karena kondisi

fisiologis anak yang rapuh dan berkurangnya kapasitas homeostasis. Pemberian

makan sebaiknya dimulai sesegera mungkin setelah pasien masuk dan harus

dirancang untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein secukupnya untuk

mempertahankan proses fisiologi dasar.


Hal-hal penting dalam pemberian makan pada fase stabilisasi adalah sebagai

berikut:

a) Pemberian makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering, rendah

osmolaritas, rendah laktosa.

b) Berikan secara oral atau melalu NGT, hindari penggunaan parenteral

c) Energi : 100 kkal/kgBB/hari

d) Protein: 1-1,5 g/ kgBB/ hari

e) Cairan: 130 ml/ kgBB/ hari, bila edema berat  100 ml/kgBB/ hari.

f) Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah F-

75 yang ditentukan harus dipenuhi.

Formula F-75 mengandung 75 kkal/100 ml dan 0,9 gram protein/100 ml, cukup

memenuhi kebutuhan bagi sebagian besar anak. Berikan dengan menggunakan

cangkir atau sendok. Anak yang sangat lemah mungkin perlu diberikan dengan

sendok atau secara drop atau dengan spuit.

Jadwal yang direkomendasikan, dimana volume secara bertahap ditingkatkan dan

frekuensi secara bertahap dikurangi, adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Pemberian F-75

Hari ke- Frekuensi Vlume/kgBB/Pemberia Volume/kgBB/Hari

n
1-2 Setiap 2 jam 11 ml 130 ml
3-5 Setiap 3 jam 16 ml 130 ml
6 dst Setiap 4 jam 22 ml 130 ml
Perubahan frekuensi makan dari tiap 2 jam menjadi 3 jam dan 4 jam dilakukan

bila anak mampu menghabiskan porsinya. Untuk anak dengan nafsu makan yang

baik dan tanpa edema, jadwal ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari (contoh: 24
jam untuk tiap tahap). Jika jumlah petugas terbatas, beri prioritas untuk memberi

makan setiap 2 jam hanya pada kasus yang keadaan klinisnya paling berat, dan

bila terpaksa upayakan paling tidak 3 jam pada fase permulaan. Libatkan dan ajari

orang tua atau penunggu pasien. Pemberian makan sepanjang malam hari sangat

penting agar anak tidak terlalu lama tanpa pemberian makan (puasa dapat

meningkatkan risiko kematian).

Pemantauan

Pantau dan catat setiap hari:

 Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan

 Muntah

 Frekuensi defekasi dan konsistensi feses

 Berat badan

Langkah 8. Mencapai Kejar-Tumbuh

Pada fase rehabilitasi perlu pendekatan yang baik untuk pemberian makan dalam

pencapaian asupan yang tinggi dan kenaikan berat badan yang cepat (>10

g/kg/hari). Formula yang dianjurkan pada fase ini adalah F100 yang mengandung

100 kkal/100 ml dan 2,9 g protein/ 100 ml.

Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah kembalinya

nafsu makan, edema minimal atau hilang (pada kwashiorkor).

Tatalaksana

Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh-

kejar (F-100) (fase transisi):


 Ganti F-75 dengan F-100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75

selama 2 hari berurutan.

 Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian

sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal ini

terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/ kgBB/ hari. Dapat pula

digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi sehingga

kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100.

 Setelah transisi bertahap, beri anak:

o Pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai

kemampuan anak).

o Energi: 150-220 kkal/kgBB/hari

o Protein: 4-6/ kgBB/ hari.

Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak

sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup

energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to

use therapeutic food = RUTF), yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/

sachet 92 gram, dapat digunakan pada fase rehabilitasi.

Pemantauan

 Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung (nadi

cepat dan napas cepat). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan

naik 5x/menit dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali

pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda

bahaya (cari penyebabnya).


Lakukan segera:

 Kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari menjadi 24 jam

 Kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:

o 115 ml/kgBB/ hari selama 24 jam berikutnya

o 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya

o Selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml sebagaimana

dijelaskan berikutnya.

o Atasi penyebab

Penilaian kemajuan

Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap transisi

dan mendapat F-100:

 Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan.

 Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari.

Jika kenaikan berat badan:

Kurang (< 5 gram/kgBB/hari), anak membutuhnkan penilaian lengkap.

Sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau

mungkin ada infeksi yang tidak terdteksi.

Baik (>10 g/ kgBB hari).

Langkah 9. Memberikan stimuli fisik, sensorik, dan dukungan emosional

Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,

karenannya diberikan:

 Ungkapan kasih sayang


 Ciptakan lingkungan yang menyenangkan, ceria

 Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari

 Rencanakan aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat

 Tingkatkan ketelibatan ibu (menghibur, memberi makan, memandikan,

bermain, dll)

Langkah 10. Pemulangan dan tindak lanjut

Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan > 80%) dapat dianggap anak

telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak

berperawakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap

dilanjutkan di rumah.

Tunjukkan kepada orang tua atau pengasuh bagaimana:

 Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta

frekuensi pemberian makan yang sering.

 Terapi bermain yang terstruktur.

Sarankan :

 Membawa anak kontrol secara teratur.

 Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan.

 Mengikuti program pemberian vitamin A setiap 6 Bulan.

Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh. Waktu

untuk pemulangan harus mempertimbangan manfaat dan faktor risiko. Faktor

sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan

melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk mencegah

kekambuhan.
Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil:

Anak seharusnya:

 Telah menyelesaikan program antibiotik

 Mempunyai nafsu makan baik

 Menunjukkan kenaikan berat badan yang baik

 Edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang

Ibu atau pengasuh seharusnya:

 Mempunyai waktu untuk mengasuh anak

 Memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis,

jumlah dan frekuensi)

 Mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak mungkin,

nasihati tentang dukungan yang tersedia.

Penting untuk mempersiapkan orang tua dalam perawatan di rumah. Hal ini

mencakup:

 Pemberian makanan seimbang dengan bahan lokal yang terjangkau

 Pemberian makanan minimal 5 kali sehari termasuk makanan selingan

tinggi kalori di antara waktu makan (misal: susu, pisangm roti, biskuit). Bila ada,

RUTF dapat diberikan pada anak di atas 6 Bulan.

 Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan makanannya.

 Beri anak makanan tersendiri/ terpisah, sehingga asupan makan anak dapat

dicek.

 Beri suplemen mikronutrien dan elektrolit.

 ASI diteruskan sebagai tambahan.


Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebelum sembuh

Jika anak dipulangkan lebih awal, buat rencana untuk tindak lanjut sampai anak

sembuh:

 Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan lokal

untuk melakukan supervisi dan pendampingan.

 Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan

kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi penurunan

berat badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit.

I. Penanganan Kondisi Penyerta

1. Masalah pada mata

Jika anak mempunyai gejala defisiensi vitamin A, lakukan hal seperti di bawah

ini:

Tabel 6. Penanganan Masalah Penyerta Pada Mata

Gejala Tindakan
Hanya bercak Bitot saja (tidak ada Tidak memerlukan obat tetes mata
gejala mata yang lain)

Nanah atau peradangan Beri tetes mata kloramfenikol atau


tetrasiklin (1%)

Kekeruhan pada kornea  Tetes mata kloramfenikol


Ulkus pada kornea 0,25% - 1% atau tetes tertasiklin (1%);
1 tetes, 4x sehari, selama 7-10 hari.
 Tetes mata atropin (1%); 1
tetes, 3x sehari, selama 3-5 hari jika
perlu, kedua jenis obat tetes mata
tersebut dapat diberikan secara
bersamaan
 Beri Vitamin A

Diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan sebelum

dirujuk), dengan dosis:

o < 6 Bulan  50.000 (1/2 kapsul biru)

o 6-12 Bulan  100.000 (1 kapsul biru)

o 1-5 Tahun  200.000 (1 kapsul merah).

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam tiga bulan

terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai usia umur, pada hari ke 1, 2, dan 15.

2. Anemia Berat

Transfusi darah diperlukan jika Hb < 4 g/dl, Hb 4-6 g/dl dan anak mengalami

gangguan pernapasan atau tanda gagal jantung.

Pada anak gizi buruk, transfusi harus diberikan secara lebih lambat dan dalam

volume lebih kecil dibanding anak sehat. Beri:

 Darah utuh (Whole Blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam.

 Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfusi dimulai.

Bila terdapat gejala gagal jantung, berikan komponen sel darah merah (PRC) 10

ml/kgBB. Anak dengan kwashiorkor mengalami redistribusi cairan, sehingga

terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan transfusi

3. Dermatosis

 Kompres dengan larutan KMnO4 0,01% selama 10 menit/hari

 Beri salep/krim (Zn dengan minyak kastor) pada daerah yang kasar, dan

bubuhi gentian violet (atau jika tersedia salep nistatin) pada lesi kulit yang pecah-

pecah
 Usahakan daerah perineum tetap kering.

 Umumnya terdapat defisiensi seng: beri preparat Zn per oral

4. Parasit/cacing

Jika terbukti adanya infestasi cacing, beri Mebendazole 100 mg/kgBB selama 3 hr

atau albendazol (20 mg/kgBB dosis tunggal). Beri mebendazol setelah 7 hari

perawatan, walau belum terbukti adanya infestasi cacing.

5. Diare persisten

a. Giardiasis dan kerusakan mukosa usus:

Sering kerusakan mukosa usus dan Giardiasis merupakan penyebab melanjutnya

diare. Jika mungkin lakukan pemeriksaan mikroskopis atas specimen feses. Jika

ditemukan kista atau trofozoit Giardia lamblia beri Metronidazol 7,5 mg/kgBB

setiap 8 jam selama 7 hari.

b. Intoleransi laktosa:

Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana ini hanya

diberikan jika diare terus-menerus ini mnghambat perbaikan secara umum.

Formula F-75 sudah merupakan formula rendah laktosa. Pada kasus tertentu ganti

formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa, dan pada fase

rehabilitasi formula yang mengandung susu diberikan kembali secara bertahap.

c. Diare osmotik:

Jika diare makin memburuk pada pemberian F-75 maka gunakan F-75 berbahan

dasar serealia yang osmolaritasnya lebih rendah. Kemudian berikan F-100 untuk

tumbuh kejar secara bertahap.


5. TBC

Lakukan tes Tuberkulin dan Roentgen foto thorax. Bila positif atau

sangat mungkin TB, obati sesuai pedoman pengobatan TB.

2.2.8 Diagnosa Banding

1. Kwashiorkor

Perbedaan utama marasmus adalah kwashiorkor. Nama kwashiorkor

berasal dari bahasa Ga dari Ghana dan digunakan untuk menggambarkan penyakit

yang terjadi pada anak setelah disapih. Ini mengakibatkan anak-anak menderita

diet dengan asupan kalori yang cukup tetapi asupan protein yang tidak

mencukupi. Ini terkait dengan diet dengan jagung, beras, atau singkong dalam

jumlah besar. Seorang anak yang menderita kwashiorkor akan memiliki berat

badan normal untuk tinggi badan yang terkait dengan edema umum dan

dermatosis. Perubahan kulit terjadi pada area dengan gesekan atau tekanan tinggi,

seperti perineum, tungkai, telinga, dan ketiak, yang menjadi hiperpigmentasi dan

kemudian menjadi deskuamasi. Edema menyebabkan penampilan 'wajah bulat'

yang khas dan perut kembung. Kwashiorkor dapat dibedakan dari marasmus

dengan adanya edema yang jelas24,25.

2. Marasmus Kwashiorkor

Marasmus kwashiorkor hadir dengan fitur marasmus dan

kwashiorkor. Anak akan mengalami stunting yang berhubungan dengan wasting

dan edema. Perubahan rambut dan kulit yang terkait dengan kwashiorkor


marasmik biasanya tidak separah kwashiorkor. Distensi abdomen dapat terjadi

akibat edema dan perlemakan hati yang membesar24.

3. Sindrom Wasting HIV

Sindrom wasting HIV mengacu pada penurunan berat badan yang tidak

terlihat lebih dari 10% dari baseline yang terkait dengan diare kronis atau

kelemahan pada seseorang yang menderita HIV tanpa penyebab penurunan berat

badan lain yang dapat menyatakan. Sindrom wasting HIV diperkirakan terjadi

sebagai akibat dari malabsorpsi, hipermetabolisme, disfungsi endokrin, dan

penurunan nafsu makan yang menyebabkan penurunan oral26.

2.2.9 Komplikasi

Keadaan malnutrisi marasmus dapat menyebabkan anak mendapatkan

penyakit penyerta yang terkadang tidak ringan apabila penatalaksanaan marasmus

tidak segera dilakukan. Beberapa keadaan tersebut ialah5,7:

1. Noma

Noma merupakan penyakit yang kadang-kadang menyertai malnutrisi tipe

marasmus-kwashiokor. Noma atau stomatitis gangraenosa merupakan

pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat menembus

pipi. Noma terjadi pada malnutrisi berat karena adanya penurunan daya tahan

tubuh. Penyakit ini mempunyai bau yang khas dan tercium dari jarak beberapa

meter. Noma dapat sembuh tetapi menimbulkan bekas luka yang tidak dapat

hilang seperti lenyapnya hidung atau tidak dapat menutupnya mata karena proses

fibrosis.

2. Xeroftalmia
Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada

tipe marasmus-kwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini vitamin A serum sangat

rendah sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu setiap anak dengan

malnutrisi sebaiknya diberikan vitamin A baik secara parenteral maupun oral,

ditambah dengan diet yang cukup mengandung vitamin A.

3. Tuberkulosis

Pada anak dengan keadaan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan

kekebalan tubuh yang akan berdampak mudahnya terinfeksi kuman. Salah satunya

adalah mudahnya anak dengan malnutrisi berat terinfeksi kuman mycobacterium

tuberculosis yang menyebabkan penyakit tuberkulosis.

4. Sirosis hepatis

Sirosis hepatis terjadi karena timbulnya perlemakan dan penimbunan

lemak pada saluran portal hingga seluruh parenkim hepar tertimbun lemak.

Penimbunan lemak ini juga disertai adanya infeksi pada hepar seperti hepatitis

yang menimbulkan penyakit sirosis hepatis pada anak dengan malnutrisi berat.

5. Hipotermia

Hipotermia merupakan komplikasi serius pada malnutrisi berat tipe

marasmus. Hipotermia terjadi karena tubuh tidak menghasilkan energi yang akan

diubah menjadi energi panas sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain itu lemak

subkutan yang tipis bahkan menghilang akan menyebabkan suhu lingkungan

sangat mempengaruhi suhu tubuh penderita.

6. Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat terjadi pada hari-hari pertama perawatan anak dengan

malnutrisi berat. Kadar gula darah yang sangat rendah ini sangat mempengaruhi

tingkat kesadaran anak dengan malnutrisi berat sehingga dapat membahayakan

penderitanya.

7. Infeksi traktus urinarius

Infeksi traktus urinarius merupakan infeksi yang sering terjadi pada anak

bergantung kepada tingkat kekebalan tubuh anak. Anak dengan malnutrisi berat

mempunyai daya tahan tubuh yang sangat menurun sehingga dapat

mempermudah terjadinya infeksi tersebut.

8. Penurunan kecerdasan

Pada anak dengan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan perkembangan

organ tubuhnya. Organ penting yang paling terkena pengaruh salah satunya ialah

otak. Otak akan terhambat perkembangannya yang diakibatkan karena kurangnya

asupan nutrisi untuk pembentukan sel-sel neuron otak. Keadaan ini akan

berpengaruh pada kecerdasan seorang anak yang membuat fungsi afektif dan

kognitif menurun, terutama dalam hal daya tangkap, analisa, dan memori.

2.2.10 Prognosis

Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian

dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi

prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi tipe marasmus ini ditangani

secara cepat dan tepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan

penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan

terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak yang mendapatkan malnutrisi
pada usia yang lebih muda, akan terjadi penurunan tingkat kecerdasan yang lebih

besar dan irreversibel dibanding dengan anak yang mendapat keadaan malnutrisi

pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak

yang mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang

lebih muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan cenderung

mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna dibandingkan dengan

anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama. Hanya

saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi

marasmus ini cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal

pertumbuhan tinggi badan anak dan pertambahan berat anak, walaupun jika dilihat

secara ratio berat dan tinggi anak berada dalam batas yang normal2,5,8.

Anda mungkin juga menyukai