LP HF
LP HF
Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisanendosteal dan lapisan meningeal.4 Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat
pada permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, makaterdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater danarachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinussagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam darikranium (ruang epidural). Adanya
fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang palingsering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosatemporalis (fosa media).
Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruangpotensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis.4 Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3 Pia
mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masukkedalam sulci yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak danmenyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otakjuga diliputi oleh pia mater.6
Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat
padaorangdewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian
yaitu; proensefalon (otakdepan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) danrhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata danserebellum retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalamfungsi
koordinasi dan keseimbangan.
Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media)
dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior
otak dan membentuksirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot didalamdindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke
dalam sinus venosus cranialis.
C. Etiologi
1. Trauma tumpul
Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil
Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul
2. Trauma tembus
Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya
3. Jatuh dari ketinggian
4. Cedera akibat kekerasan
5. Cedera otak primer
Adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari
trauma. Dapat terjadi memar otak dan laserasi
6. Cedera otak sekunder
Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia metabolisme,
fisiologi yang timbul setelah trauma(Tarwoto, 2007).
D. Klasifikasi
Cedera kepala dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS, (Glasgow Coma
Scale) yaitu :
1) 1.Cedera kepala ringan : Nilai GCS-nya 13-15, kehilangan kesadaran
kurang dari 30 menit. Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak
ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematoma.
2) Cedera kepala sedang : Nilai GCS-nya 9-12, kehilangan kesadaran
antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi
ringan (bingung).
3) Cedera kepala berat : Nilai GCS-nya 3-8, hilang kesadaran lebih dari
24 jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral
(Hudack dan Gallo, 2009).
E. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 – 60 ml /
menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia,
fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar (Tarwoto, 2007).
F. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik cedera otak sedang meliputi :
1) Gangguan kesadaran
2) Konfusi
3) Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
4) Tiba-tiba defisit neurologik
5) Perubahan TTV
6) Gangguan penglihatan
7) Disfungsi sensorik
8) Lemah otak
(Oman, 2008).
1. Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma
langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa
hipoventilasi alveolar, dangkal.
2. Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
3. Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan
peningkatan TIK.
4. Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang
sama sekali.
5. Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan
disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.
(Smeltzer, 2010).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan (dengan/ tanpa kontras), mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Aniografi Cerebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray, mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang
(fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/ edema).
4. AGD (Analisa Gas Darah), mendeteksi ventilasi atau masalah
pernapsan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan intrakranial.
5. Elektrolit, untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
6. Hemoglobiin, sebagai salah satu pertanda adanya perdarahan yang
hebat.
7. Leukosit, merupakan salah satu indikator berat ringannya cidera kepala
yang terjadi.
8. Ventrikulografi udara.
9. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL).
H. Penatalaksanaan Medis
1. Airways dan Breathing
Perhatian adanya apnoe
Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita
mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan
dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis
dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah
berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg.
2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka
tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan
pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab
hipotensi dicari.
3. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya
kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon
terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera
tekanan darahnya normal.
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya
pupil.
Konservatif: Bedrest total, Pemberian obat-obatan, Observasi tanda-
tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
Obat-obatan :
Pembedahan : Trepanasi
a) Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator.
Head-up kurang lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala).
Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal
bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan
maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
b) Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon:
desinfektan, menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga
pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek
steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak
dengan meja operasi
c) Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya
sudah benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis
rambut untuk kosmetik, sinus untuk menghindari perdarahan, sutura
untuk mengetahui lokasi, zygoma sebagai batas basis cranii, jalannya N
VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus
lateralis orbita)
d) Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan
Adrenalin 1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan
operasi dengan doek steril.
e) Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari
ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60
derajat.
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres
dengan kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya
pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala).
Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati
dengan rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji
kemudian dan rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom
sesuai gambar CT scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s
Brace) kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor)
bila sudah menembus tabula interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax.
Tutup lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang
boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai
menembus lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan
dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak
dengan cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah
dilindungi dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada
saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang
dengan spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari
tulang dapat dihentikan dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4
buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara
gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan
diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang
merembes tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut kalau perlu
tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari
bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk
mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl
3.0 secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah
tidak ada lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi
langkah salanjutnya adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda
(bentuk U) berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait
dengan pengait dura, kemudian bagian yang terangkat disayat
dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila
sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat).
Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah
duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas
ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada lapisan
tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip
khusus. Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah
dibandingkan untuk pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan
otak dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun
vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di
permukaan di ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada
jaringan otak dibawahnya tak ada darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi
bagian otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin
jaringan otak bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan
otak, idealnya dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan
kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak gunakan pinset
anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan
dikembalikan/tidaknya tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan
ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan lapangan operasi dapat
ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:
Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0
menembus keluar kulit.
Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
Pasang drain subgaleal.
Jahit galea dengan vicryl 2.0.
Jahit kulit dengan silk 3.0.
Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
f) Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang,
pertama pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura
ditengah tulang yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space.
Buat lubang pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi
yang akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan
untuk teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0,
selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti diatas.
g) Komplikasi Post Operasi
Edema cerebral.
Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
Hypovolemik syok.
Hydrocephalus.
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes
Insipidus).
Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari
setelahoperasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas
dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai
emboli ke paru-paru, hati,dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu
latihan kaki post operasi, ambulatif dini
Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah
stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus
mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang
paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik
dan antiseptik
I. Komplikasi Cedera Kepala Sedang
Komplikasi dan akibat cedera kepala :
1. Gejala sisa cedera kepala berat
Bahkan setelah cedera kepala berat kebanyakan pasien dapat kembali
mandiri. Akan tetapi, beberapa pasien dapat mengalami ketidakmampuan baik
secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf kranial) dan mental (gangguan
kognitif, perubahan kepribadian).
2. Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan antara
rongga subaraknoid dan telinga tengah sinus paranasal akibat fraktur basis
hanya kecil dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan
pasien mungkin mengalami meningitis dikemudian hari.
3. Epilepsi pascatrauma
Terutama terjadi pada pasien yng mengalami kejang awal (dalam minggu
pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam),
fraktur depresi kranium, atau hematoma intrakranial.
4. Sindrom pascakonkusi
Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap
bahkan setelah cidera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera
vestibular.
5. Hematoma subdural kronik
Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala ringan)
(Ginsberg. 2007).
A. Definisi ICH
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi,
pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan
operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah,
Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi.
Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari
tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-
faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural. (Paula, 2009)
Intra Cerebral Hematom adalah perdarahan kedalam substansi otak .Hemorragi
ini biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil dapat terjadi
pada luka tembak ,cidera tumpul. (Suharyanto, 2009)
Intra secerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri. Hal
ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala terbuka
.intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik akibat melebarnya
pembuluh nadi. (Corwin, 2009)
B. Etiologi
Etiologi dari Intracerebral Hematom menurut Suyono (2011) adalah :
a. Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala
b. Fraktur depresi tulang tengkorak
c. Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba
d. Cedera penetrasi peluru
e. Jatuh
f. Kecelakaan kendaraan bermotor
g. Hipertensi
h. Malformasi Arteri Venosa
i. Aneurisma
j. Distrasia darah
k. Obat
l. Merokok
C. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria serebri
yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari pembuluh darah
didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau didekatnya, sehingga jaringan
yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan. Darah yang keluar dari pembuluh
darah sangat mengiritasi otak, sehingga mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar
perdarahan, spasme ini dapat menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi,
perdarahan aneorisma-aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang
menonjol pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan
kadang-kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang
dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak. Bila
aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan menjadi
penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala
ini masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari
darah, otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat
tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan
terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang
tidak putih lagi (ireversibel) dan kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan
tekanan intrakranial dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan,
sehingga dapat berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun
lokal. Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa
menit, jam bahkan beberapa hari. (Corwin, 2009)
D. Pathways
Trauma kepala, Fraktur depresi tulang tengkorak, , Hipertensi, Malformasi Arteri Venosa,
Aneurisma, Distrasia darah, Obat, Merokok
Resiko infeksi
Peningkatan Tekanan
Intracranial
Gangguan pemenuhan
Somasensori korteks kebutuhan ADL
otak : nyeri
dipersepsikan
Nyeri
(Corwin, 2009)
E. Manifestasi Klinik
Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang,
hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun begitu,
pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada. Dugaan gejala
terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana peluasan pendarahaan.
Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa,
seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa
berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu atau hilang. Mata
bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak
normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa
dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit. Menurut Corwin (2009)
manifestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu :
a. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan
membesarnya hematom.
b. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
d. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
e. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
f. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan
tekanan intra cranium.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari Intra Cerebral Hematom menurut Sudoyo (2006)
adalah sebagai berikut :
a. Angiografi
b. Ct scanning
c. Lumbal pungsi
d. MRI
e. Thorax photo
f. Laboratorium
g. EKG
G. Penatalaksanaan
Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke
ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada orang
yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah orang yang
mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari. Mereka yang bertahan
hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak bersamaan dengan waktu.
Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh seluruhnya fungsi otak yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic.
Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-obatan
antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan makin buruk.
Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang mengeluarkan darah,
mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu penggumpalan darah seperti :
a. Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
b. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan
pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
c. Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah
yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan di
dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang dilakukan karena
operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan penumpukan darah bisa
memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak menimbulkan kecacatan yang
parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan efektif untuk pendarahan pada kelenjar
pituitary atau pada cerebellum. Pada beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah
mungkin.
Menurut Corwin (2009) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral
Hematom adalah sebagai berikut :
a. Observasi dan tirah baring terlalu lama.
b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom
secara bedah.
c. Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
d. Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian
diuretik dan obat anti inflamasi.
f. Pemeriksaan Laboratorium seperti : CT-Scan, Thorax foto, dan laboratorium
lainnya yang menunjang.
SUBDURAL HEMATOM (SDH)
A. Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam
bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-
vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.1
B. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Hematoma subdural akut dapat terjadi pada:1
Trauma kapitis
Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin, hemophilia,
kelainan hepar, trombositopeni)
Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma serebral,
malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural.
Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal,
lumboperitoneal shunt)
Child abuse atau shaken baby sybdrome
Spontan atau tidak diketahui
Gambar 2.6. CT scan Kepala pada Pasien dengan Progresif Hemiplegi Kiri dan Penurunan
Kesadaran.
Demonstratingan acute-on-chronic subdural hematoma. History revealed that the patient sustained a fall 4 weeks
before presentation. Arrowheads outline the hematoma. The acute component is slightly denser and is seen as
the hyperdense area in the dependent portion.
F. Penatalaksanaan
1. Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi
terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH kronis dengan
kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala neurologis
masih merupakan hal yang controversial.
Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm pada CT
scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat GCS pasien.
(surgical guideline)
Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9)
harus dilakukan monitor tekanan intracranial.
Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan
midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot jika skor GCS
berkurang dan/atau pasien menunjukkan pupil yang anisokor dan/atau ICP yang
lebih dari 20mmHg.22
Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai
terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat dibawah
anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan untuk pasien yang
terutama memiliki polimorbid dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk.
Sebuah sistem drainase tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan
drainase yang kontinyu dan memberikan brain expansion setelah operasi.23TDC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC
sangat efektif pada kasus dimana hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada
membrane yang menyelubungi.24
Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering
digunakan untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi
SDH secaracepat dengan lokal anestesi. BHC dilakukan dengan membuat lubang
kecil berukuran 30mm pada tengkorak.25 Pada saat akut tindakan ini sulit untuk
dibenarkan karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan
hematoma yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup
besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma
lebih dari 200 ml.18
Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga memberikan
dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi yang luas. Metoda ini
juga merupakan metoda yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi,
besarnya jumlah darah yang keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi.
Sebagian besar dokter bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya
jika terdapat rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi,
kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang subdural, atau terdapat
membran yang tebal.25,26 Pada craniostomy dibuat sebagian tulang tengkorak akan
diangkat (>30mm) lalu dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi
diganti dan mejadikan suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga
dilakukan craniectomy, dimana bagian tengkorak yang dianagkat akan ditanam
pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu
ditanam kembali ke lokasi asalnya.26
Subtemporal decompressive craniectomy
Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural grafting.
G. Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang
asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang memiliki
resiko tinggi untuk dilakukan operasi.25 Meskipun metoda drainase operatif
menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi beberapa kasus dapat
terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.25
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan
menentukan terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis
yang muncul seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada
tidaknya tanda – tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial seperti
abnormalitas pada pupil, memberikan tanda kepada tenaga medis untuk
mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain itu pertimbangan
terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur memberikan perbedaan
hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga secara umum terapi konservatif
dapat diberikan pada pasien dengan:27
Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan cepat
Umur pasien kurang dari 40 tahun.
Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume tersebut
meningkat, maka volume lain akan terdesak dan akhirnya tekanan intrakranial
akan segera meningkat. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan meningkatkan
CVR(Cerebro Vascular Resistant) sehingga akan mengurangi Cerebral Blood
Flow. Rendahnya aliran darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral
perfusion pressure dan tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan Cushing
response.29
A. Definisi
B. Etiologi / Penyebab
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan
yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla)
sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf
spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan
medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi
pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan
ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari,
penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafa
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari
hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi
pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan
mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah
pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang
mendasar
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia
diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang
bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah
beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.
C. Klasifikasi
D. Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah
gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah
terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema
dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik
struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan
memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul
kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana
terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan
terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi,
cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia
mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan
tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang
dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opioid. Pnemonia atau
dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta
tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
3. Gejala Disertai
F. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium
b) Radiologi
1. Rontgen toraks membantu mengidentifikasi kemungkinan penyebab
gagal nafas seperti atelectasis dan pneumonia.
c) EKG dan Echocardiografi : jika gagal nafas akut disebabkan oleh cardiac
d) Uji faal paru : sangat berguna untuk evaluasi gagal nafas kronik (volume tidal
< 500ml, FVC (kapasitas vital paksa) menurun, ventilasi semenit (Ve) menurun
(Lewis, 2011)
G. Penatalaksanaan medis
2. Dapat digunakan tekanan positif seperti CPAP, BiPAP dan PEEP. Perbaiki
elektrolit, balance PH, barotrauma, infeksi dan komplikasi iatrogenic. Gangguan
pH dikoreksi pada hiperapnue akut dengan asidosis, perbaiki ventilasi alveolar
dengan memberikan bantuan ventilasi mekanis, memasang dan mempertahankan
jalan nafas adekuat, mengatasi bronkospasmae dan mengontrol gagal jantung,
demam dan sepsis.
A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a) Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b) Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus
dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara
nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c) Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi
urin.
d) Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e) Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
2. Pengkajian Sekunder
a) Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar
dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital.
b) Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
c) Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
d) Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan
jantung, pemantauan EKG
e) Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma
tumpul abdomen
B. Diagnosa
1) Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke
serebral, edema serebral
2) Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada
pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
3) Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap
otot pernafasan
4) Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan
nafas
5) Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan
6) Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
b.d penurunan kesadaran
7) Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
8) Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada
kandung kemih
C. Intervensi
Intervensi :
intervensi :
intervensi :
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi,
ronchi
- Kaji frekuensi pernafasan
- Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
- Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
- Kolaburasi : monitor AGD
5. Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur
refleksif
intervensi :
Intervensi :
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto, George et.al.2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta :EGC
Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan; alih bahasa Indah Retno; editor
amalia safitri dan Rina Astikawati. Jakarta : Erlangga
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Oman, Kathlen et.al.2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi; alih bahasa, Andry
Hartono; editor edisi bahasa indonesia, Nur Meity Sulistya Ayu. Jakarta : EGC
Smeltzer, Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth, Edisi 8.
Jakarta : EGC
Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
CV.Sagung Seto