Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA SEDANG (CKS) + ICH + SDH + RESPIRATORY FAILURE

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi
a) Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin
atau kulit,connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau
galeaaponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar
danpericranium.

Gambar 2.2. Anatomi Lapisan Pembungkus Otak


b) Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal,
temporal danoksipital.Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis,
namun di sinidilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak
rata sehingga dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi.Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagianbawah batang otak dan serebelum
c) Meningen.
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari
3lapisan yaitu:

 Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisanendosteal dan lapisan meningeal.4 Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat
pada permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, makaterdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater danarachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinussagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam darikranium (ruang epidural). Adanya
fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang palingsering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosatemporalis (fosa media).
 Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruangpotensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis.4 Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
 Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3 Pia
mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masukkedalam sulci yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak danmenyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otakjuga diliputi oleh pia mater.6

 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat
padaorangdewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian
yaitu; proensefalon (otakdepan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) danrhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata danserebellum retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalamfungsi
koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 2.3. Lobus Otak


 Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.

 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media)
dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
 Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior
otak dan membentuksirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot didalamdindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke
dalam sinus venosus cranialis.

B. Definisi Cedera Kepala Sedang


Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya
trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder
dari trauma yang terjadi. Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan
atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2010).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala (Tarwoto, 2007).
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien
yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan TIK (Oman, 2008).

C. Etiologi
1. Trauma tumpul
 Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil
 Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul
2. Trauma tembus
 Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya
3. Jatuh dari ketinggian
4. Cedera akibat kekerasan
5. Cedera otak primer
 Adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari
trauma. Dapat terjadi memar otak dan laserasi
6. Cedera otak sekunder
 Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia metabolisme,
fisiologi yang timbul setelah trauma(Tarwoto, 2007).

D. Klasifikasi
Cedera kepala dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS, (Glasgow Coma
Scale) yaitu :
1) 1.Cedera kepala ringan : Nilai GCS-nya 13-15, kehilangan kesadaran
kurang dari 30 menit. Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak
ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematoma.
2) Cedera kepala sedang : Nilai GCS-nya 9-12, kehilangan kesadaran
antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi
ringan (bingung).
3) Cedera kepala berat : Nilai GCS-nya 3-8, hilang kesadaran lebih dari
24 jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral
(Hudack dan Gallo, 2009).

Reaksi membuka mata Nilai


Membuka mata spontan 4
Buka mata dengan rangsangan suara 3
Buka mata dengan rangsangan nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

Reaksi Verbal Nilai


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3
Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2
Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1
Reaksi Motorik Nilai
Mengikuti perintah 6
Melokalisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Cidera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan


mekanisme,keparahan dan morfologi cidera.antara lain :

1) Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater


a) Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan mobil),kecepatan
rendah (terjatuh atau dipukul)
b) Trauma tembus (luka tembus peluru dan luka tembus lainya)
2) Keparahan cidera
a) Ringan
 GCS 13 – 15
 Tidak ada kehilangan kesadaran
 Tidak ada infoksikasi alkohol atau obat terlarang
 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma
kulit kepala
 Tidak adanya kriteria cedera sedang berat.
b) Sedang
 GCS 9 – 12
 Amnesia pasca trauma
 Muntah
 Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun,
hematimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
 Kejang.
c) Berat
 GCS 3 – 8
 Penurunan derajat kesadaran secara progresif
 Tanda neurologis fokal
 Cedera kepala penetrasi atau teraba farktur depresi
kronium

E. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 – 60 ml /
menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia,
fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar (Tarwoto, 2007).
F. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik cedera otak sedang meliputi :
1) Gangguan kesadaran
2) Konfusi
3) Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
4) Tiba-tiba defisit neurologik
5) Perubahan TTV
6) Gangguan penglihatan
7) Disfungsi sensorik
8) Lemah otak
(Oman, 2008).

1. Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma
langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa
hipoventilasi alveolar, dangkal.
2. Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
3. Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan
peningkatan TIK.
4. Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang
sama sekali.
5. Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan
disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.
(Smeltzer, 2010).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan (dengan/ tanpa kontras), mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Aniografi Cerebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray, mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang
(fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/ edema).
4. AGD (Analisa Gas Darah), mendeteksi ventilasi atau masalah
pernapsan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan intrakranial.
5. Elektrolit, untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
6. Hemoglobiin, sebagai salah satu pertanda adanya perdarahan yang
hebat.
7. Leukosit, merupakan salah satu indikator berat ringannya cidera kepala
yang terjadi.
8. Ventrikulografi udara.
9. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL).

H. Penatalaksanaan Medis
1. Airways dan Breathing
 Perhatian adanya apnoe
 Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita
mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan
dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
 Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis
dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah
berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg.
2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka
tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan
pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab
hipotensi dicari.
3. Disability (pemeriksaan neurologis)
 Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya
kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon
terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera
tekanan darahnya normal.
 Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya
pupil.
 Konservatif: Bedrest total, Pemberian obat-obatan, Observasi tanda-
tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
 Obat-obatan :

Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema


serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya traumTerapi hiperventilasi
(trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi. Pengobatan anti
edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 %
atau gliserol 10 %.

Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau


untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.

Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah


tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian
diberikan makanan lunak.

Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita


mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan
elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan.
Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 %
8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan
diberikan melalui nasogastric tube (2500–3000 TKTP). Pemberian protein
tergantung nilai ure nitrogen

 Pembedahan : Trepanasi

Trepanasi atau craniotomy adalah operasi untuk membuka


tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan
memperbaiki kerusakan otak. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan
membuka tulang kepala yangbertujuan mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitif.
1) Indikasi
a) Pengangkatan jaringan abnormal
b) Mengurangi tekanan intracranial
c) Mengevaluasi bekuan darah
d) Mengontrol bekuan darah
e) Pembenahan organ-organ intracranial
f) Tumor otak
g) Perdarahan
h) Peradangan dalam otak
i) Trauma pada tengkorak
2) Tehnik Operasi

a) Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator.
Head-up kurang lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala).
Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal
bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan
maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
b) Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon:
desinfektan, menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga
pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek
steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak
dengan meja operasi
c) Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya
sudah benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis
rambut untuk kosmetik, sinus untuk menghindari perdarahan, sutura
untuk mengetahui lokasi, zygoma sebagai batas basis cranii, jalannya N
VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus
lateralis orbita)
d) Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan
Adrenalin 1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan
operasi dengan doek steril.

e) Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari
ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60
derajat.
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres
dengan kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya
pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala).
Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati
dengan rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji
kemudian dan rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom
sesuai gambar CT scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s
Brace) kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor)
bila sudah menembus tabula interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax.
Tutup lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang
boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai
menembus lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan
dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak
dengan cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah
dilindungi dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada
saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang
dengan spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari
tulang dapat dihentikan dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4
buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara
gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan
diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang
merembes tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut kalau perlu
tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari
bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk
mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl
3.0 secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah
tidak ada lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi
langkah salanjutnya adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda
(bentuk U) berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait
dengan pengait dura, kemudian bagian yang terangkat disayat
dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila
sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat).
Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah
duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas
ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada lapisan
tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip
khusus. Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah
dibandingkan untuk pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan
otak dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun
vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di
permukaan di ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada
jaringan otak dibawahnya tak ada darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi
bagian otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin
jaringan otak bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan
otak, idealnya dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan
kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak gunakan pinset
anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan
dikembalikan/tidaknya tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan
ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan lapangan operasi dapat
ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:
 Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0
menembus keluar kulit.
 Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
 Pasang drain subgaleal.
 Jahit galea dengan vicryl 2.0.
 Jahit kulit dengan silk 3.0.
 Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
f) Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang,
pertama pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura
ditengah tulang yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space.
Buat lubang pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi
yang akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan
untuk teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0,
selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti diatas.
g) Komplikasi Post Operasi
 Edema cerebral.
 Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
 Hypovolemik syok.
 Hydrocephalus.
 Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes
Insipidus).
 Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
 Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari
setelahoperasi.
 Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas
dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai
emboli ke paru-paru, hati,dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu
latihan kaki post operasi, ambulatif dini
 Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah
stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus
mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang
paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik
dan antiseptik
I. Komplikasi Cedera Kepala Sedang
Komplikasi dan akibat cedera kepala :
1. Gejala sisa cedera kepala berat
Bahkan setelah cedera kepala berat kebanyakan pasien dapat kembali
mandiri. Akan tetapi, beberapa pasien dapat mengalami ketidakmampuan baik
secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf kranial) dan mental (gangguan
kognitif, perubahan kepribadian).
2. Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan antara
rongga subaraknoid dan telinga tengah sinus paranasal akibat fraktur basis
hanya kecil dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan
pasien mungkin mengalami meningitis dikemudian hari.
3. Epilepsi pascatrauma
Terutama terjadi pada pasien yng mengalami kejang awal (dalam minggu
pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam),
fraktur depresi kranium, atau hematoma intrakranial.
4. Sindrom pascakonkusi
Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap
bahkan setelah cidera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera
vestibular.
5. Hematoma subdural kronik
Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala ringan)
(Ginsberg. 2007).

INTRACEREBRAL HEMATOMA (ICH)

A. Definisi ICH
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi,
pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan
operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah,
Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi.
Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari
tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-
faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural. (Paula, 2009)
Intra Cerebral Hematom adalah perdarahan kedalam substansi otak .Hemorragi
ini biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil dapat terjadi
pada luka tembak ,cidera tumpul. (Suharyanto, 2009)
Intra secerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri. Hal
ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala terbuka
.intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik akibat melebarnya
pembuluh nadi. (Corwin, 2009)

B. Etiologi
Etiologi dari Intracerebral Hematom menurut Suyono (2011) adalah :
a. Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala
b. Fraktur depresi tulang tengkorak
c. Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba
d. Cedera penetrasi peluru
e. Jatuh
f. Kecelakaan kendaraan bermotor
g. Hipertensi
h. Malformasi Arteri Venosa
i. Aneurisma
j. Distrasia darah
k. Obat
l. Merokok
C. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria serebri
yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari pembuluh darah
didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau didekatnya, sehingga jaringan
yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan. Darah yang keluar dari pembuluh
darah sangat mengiritasi otak, sehingga mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar
perdarahan, spasme ini dapat menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi,
perdarahan aneorisma-aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang
menonjol pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan
kadang-kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang
dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak. Bila
aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan menjadi
penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala
ini masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari
darah, otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat
tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan
terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang
tidak putih lagi (ireversibel) dan kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan
tekanan intrakranial dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan,
sehingga dapat berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun
lokal. Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa
menit, jam bahkan beberapa hari. (Corwin, 2009)
D. Pathways

Trauma kepala, Fraktur depresi tulang tengkorak, , Hipertensi, Malformasi Arteri Venosa,
Aneurisma, Distrasia darah, Obat, Merokok

Pecahnya pembuluh darah


otak (perdarahan intracranial)

Darah masuk ke dalam


jaringan otak

Penatalaksanaan : Darah membentuk massa


Kraniotomi atau hematoma

Luka insisi Port d’entri


Penekanan pada jaringan
pembedahan Mikroorganisme
otak

Resiko infeksi
Peningkatan Tekanan
Intracranial

Metabolisme Gangguan aliran darah


Sel melepaskan Fungsi otak menurun
anaerob dan oksigen ke otak Fungsi otak menurun
mediator nyeri :
prostaglandin, Refleks menelan
sitokinin Ketidakefektifan Kerusakan
Vasodilatasi menurun
perfusi jaringan neuromotorik
pembuluh darah
cerebral
Kelemahan otot Anoreksia
Impuls ke pusat
nyeri di otak progresif
(thalamus) Ketidakseimbangan
kebutuhan nutrisi
ADL dibantu Kerusakan mobilitas
Impuls ke pusat fisik
nyeri di otak

Gangguan pemenuhan
Somasensori korteks kebutuhan ADL
otak : nyeri
dipersepsikan

Nyeri

(Corwin, 2009)
E. Manifestasi Klinik
Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang,
hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun begitu,
pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada. Dugaan gejala
terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana peluasan pendarahaan.
Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa,
seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa
berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu atau hilang. Mata
bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak
normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa
dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit. Menurut Corwin (2009)
manifestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu :
a. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan
membesarnya hematom.
b. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
d. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
e. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
f. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan
tekanan intra cranium.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari Intra Cerebral Hematom menurut Sudoyo (2006)
adalah sebagai berikut :
a. Angiografi
b. Ct scanning
c. Lumbal pungsi
d. MRI
e. Thorax photo
f. Laboratorium
g. EKG

G. Penatalaksanaan
Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke
ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada orang
yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah orang yang
mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari. Mereka yang bertahan
hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak bersamaan dengan waktu.
Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh seluruhnya fungsi otak yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic.
Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-obatan
antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan makin buruk.
Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang mengeluarkan darah,
mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu penggumpalan darah seperti :
a. Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
b. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan
pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
c. Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah
yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan di
dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang dilakukan karena
operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan penumpukan darah bisa
memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak menimbulkan kecacatan yang
parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan efektif untuk pendarahan pada kelenjar
pituitary atau pada cerebellum. Pada beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah
mungkin.
Menurut Corwin (2009) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral
Hematom adalah sebagai berikut :
a. Observasi dan tirah baring terlalu lama.
b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom
secara bedah.
c. Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
d. Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian
diuretik dan obat anti inflamasi.
f. Pemeriksaan Laboratorium seperti : CT-Scan, Thorax foto, dan laboratorium
lainnya yang menunjang.
SUBDURAL HEMATOM (SDH)

A. Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam
bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-
vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.1

Gambar 2.1. Hematoma Subdural

B. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Hematoma subdural akut dapat terjadi pada:1
• Trauma kapitis
• Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin, hemophilia,
kelainan hepar, trombositopeni)
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma serebral,
malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural.
• Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
• Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal,
lumboperitoneal shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome
• Spontan atau tidak diketahui

Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :


• Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral atrofi
• Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
• Spontan atau idiopatik
• Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan alkohol
kronis, epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan (termasuk
aspirin), penyakit kardiovaskular (hipertensi, arteriosklerosis), trombositopenia,
dan diabetes mellitus.

Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan


pembekuan, dan terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid
lebih banyak ditemukan pada pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia
dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih tua, penyakit kardiovaskular dan
hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien dengan hematoma subdural
kronik dalam terapi aspirin.
C. Klasifikasi
a) Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang dari 48
jam setelah trauma. Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat sehingga
dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien, serta baik
kesadaran maupun tanda vital sudah terganggu. Perdarahan dapat kurang dari
5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi
hiperdens.

b) Hematoma Subdural Subakut


Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari, sekitar 2
sampai 14 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak
sadar, kemudian mengalami perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun,
setelah jangka waktu tertentu penderita akan memperlihatkan tanda-tanda
status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan
intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap
rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom
herniasi dan menekan batang otak. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi
isodens atau hipodens. Lesi isodens ini diakibatkan oleh terjadinya lisis dari
sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 8,10,11
c) Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah
trauma atau lebih. Gejala umumnya muncul dalam waktu berminggu-minggu
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas.
Bahkan karena benturan ringanpun dapat mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan
darah. Pada perdarahan subdural kronik, hematoma atau perdarahan yang
terjadi lama kelamaan dapat membesar secara perlahan-lahan, yang pada
akhirnya mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada hematoma subdural kronik, terdapat kapsula jaringan ikat yang
terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang lebih baru, kapsula
jaringan ikat masih belum terbentuk atau dalam ukuran yang masih tipis di
daerah permukaan arachnoid. Kapsula ini mengandung pembuluh darah
dengan dinding yang tipis, terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang
tipis ini protein dari plasma darah dapat menembus dinding ini dan
meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan
menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan meningkatnya volume
hematoma. 8,10,11
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subarachnoid. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran CT scan didapatkan lesi hipodens.
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang
terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume hematoma.
Penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak
difus yang menybabkan pasien tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang
otak. Penderita dengan hematoma subdural yang lebih ringan akan sadar kembali
pada derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat
terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh
kecepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita
dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu
terjadinya trauma. Terdapatnya hematoma subdural dan lesi massa intrakranial
lainnya yang dapat membesar harus dicurigai bila ditemukan penurunan
kesadaran setelah terjadinya trauma.9,11
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat
cedera otak primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan defisit
motorik adalah gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma
baik hematoma atau lesi parenkim otak umumnya terletak ipsilateral terhadap
pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi,
gambaran pupil dan gambaran defisit motorik tidak merupakan indikator yang
mutlak dalam menentukan letak hematoma. Gejala defisit motorik dapat tidak
sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap hematoma
subdural atau karena terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada
tepi bebas tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak
pada saat terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap
trauma. Perubahan diamater pupil ini lebih dipercaya sebagai indikator letak
hematoma subdural.
Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran pada hematoma subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera
neuronal primer, kecuali apabila terdapat efek massa atau lesi lainnya. Gejala
yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari peningkatan tekanan
intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia
akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya.

 Hematoma Subdural Akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam pasca trauma. Keadaan ini berkaitan erat dengan trauma otak
berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan
tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya
pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. 9,12,13
 Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah trauma. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun dalam jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan
intrakranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
 Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah
satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi,
darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik
yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah
dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan
perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, trauma yang terjadi dianggap ringan, sehingga selama beberapa
minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar
karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang
kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis seperti:
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 aphasia
 perubahan ingatan
 kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.
E. Pemeriksaan Penunjang
Setelah memeriksa riwayat pasien, termasuk riwayat jatuh
sebelumnya,cedera kepala minor, onset dan perjalanan gejala klinis, penyakit
kardiovaskular, gangguan pendarahan, pengobatan,penggunaan alkohol atau obat-
obatan terlarang; pemeriksaan fisik; dan pemeriksaan darah; imaging otak perlu
dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti. CT-scan (Computed Tomography
scan) adalah modalitas imaging yang paling baik untuk evaluasi awal cSDH.19,20
Sesuai dengan teori, sebagai kelanjutan dari traumatic brain injury,
kontusio pada otak disertai dengan LCS dan darah yang mengalir keluar ke
dalam ruang subdural dari ruang subarachnoid pada korban cedera kepala sedang,
sedangkan robekan arachnoid disekitar bridging vein menyebabkan akumulasi
sedikit cairan LCS dan darah pada korban dengan cedera kepala ringan pada
subdural.Pada CT scan kepala, klot terlihat berwarna cerah atau densitas yang
bercampur, berbentuk blan sabut (lunate),memiliki batas yang jelas, dan tidak
melewati garis tengah karena terdapat falx cerebri. Sebagian besar SDH terjadi
pada permukaan hemisfer otak, tetapi terkadang dapat juga muncul antara
hemisphere atau lapisan diatas tentorium.Densitas hematoma bervariasi
tergantung dari stadium evolusi hematoma. Sebuah SDH akut (< 3 hari;
gambaran hiperden pada CT -scan polos), berlanjut hingga sekitar 3 minggu
menjadi SDH subakut (3- 3minggu; gambaran isoden pada CT scan polos), dan
akhirnya menjadi SDH kronis (>3 minggu; gambaran hipoden pada CT scan
polos).
Terkadang dapat juga ditemukan SDH campuran dimana terdapat
gambaran SDH akut, subakut, dan kronis(Gambar 2.6). Perhatian khusus pada
gambaran isoden dari SDH subakut karenadapat terlewat saat awal pemindaian.
Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki tingkat keakuratan lebih baik
daripada CT scan; ketebalan hematoma dapat diukur secara tepatsehingga
gambaran isoden dan SDH kronis yang kecil lebih mudah dikenali. Pada hampir
semua kasus, membran hematoma dapat dideteksi oada MRI, tetapi hanya 27%
dapat ditemukanpada CT scan.20
Meskipun begitu CTscan tetap pilihan yang paling sering digunakan
dalam menegakkan diagnosis SDH karena harganya yang lebih murah, mudah di
akses, dan lebih cepat. Ketika menggunakan MRI, pemeriksaan ini berfungsi
untuk menggambarkan batas SDH kronis dan menentukkan struktur yang
terdapat didalam hematoma.20
Gambar 2.5. Gambaran CT scan pada Hematoma Subdural Akut.
Less 3 days old, hyperdens (A); subacute SDH, 3 days to 3 weeks old, isodens (B), and SDH more than 3 weeks
old, hypodens (C).

Gambar 2.6. CT scan Kepala pada Pasien dengan Progresif Hemiplegi Kiri dan Penurunan
Kesadaran.
Demonstratingan acute-on-chronic subdural hematoma. History revealed that the patient sustained a fall 4 weeks
before presentation. Arrowheads outline the hematoma. The acute component is slightly denser and is seen as
the hyperdense area in the dependent portion.

F. Penatalaksanaan
1. Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi
terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH kronis dengan
kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala neurologis
masih merupakan hal yang controversial.
 Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm pada CT
scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat GCS pasien.
(surgical guideline)
 Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9)
harus dilakukan monitor tekanan intracranial.
 Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan
midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot jika skor GCS
berkurang dan/atau pasien menunjukkan pupil yang anisokor dan/atau ICP yang
lebih dari 20mmHg.22

Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai
terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
 Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat dibawah
anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan untuk pasien yang
terutama memiliki polimorbid dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk.
Sebuah sistem drainase tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan
drainase yang kontinyu dan memberikan brain expansion setelah operasi.23TDC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC
sangat efektif pada kasus dimana hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada
membrane yang menyelubungi.24
 Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering
digunakan untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi
SDH secaracepat dengan lokal anestesi. BHC dilakukan dengan membuat lubang
kecil berukuran 30mm pada tengkorak.25 Pada saat akut tindakan ini sulit untuk
dibenarkan karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan
hematoma yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup
besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma
lebih dari 200 ml.18
 Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga memberikan
dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi yang luas. Metoda ini
juga merupakan metoda yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi,
besarnya jumlah darah yang keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi.
Sebagian besar dokter bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya
jika terdapat rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi,
kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang subdural, atau terdapat
membran yang tebal.25,26 Pada craniostomy dibuat sebagian tulang tengkorak akan
diangkat (>30mm) lalu dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi
diganti dan mejadikan suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga
dilakukan craniectomy, dimana bagian tengkorak yang dianagkat akan ditanam
pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu
ditanam kembali ke lokasi asalnya.26
 Subtemporal decompressive craniectomy
 Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural grafting.

Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian,keterampilan, dan


elvauasi yang dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi tertentu.

G. Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang
asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang memiliki
resiko tinggi untuk dilakukan operasi.25 Meskipun metoda drainase operatif
menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi beberapa kasus dapat
terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.25
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan
menentukan terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis
yang muncul seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada
tidaknya tanda – tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial seperti
abnormalitas pada pupil, memberikan tanda kepada tenaga medis untuk
mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain itu pertimbangan
terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur memberikan perbedaan
hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga secara umum terapi konservatif
dapat diberikan pada pasien dengan:27
 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan cepat
 Umur pasien kurang dari 40 tahun.

Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:


 Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan koagulopati dan
memerlukan suatu penyesuaian kembali profil koagulasinya.28 Perbaikan terhadap
faal hemostasis sangatlah penting pada semua psien dengan subdural hematoma.
Semua pasien yang sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan
penggunaan antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus
dilakukan pemeriksaan serial PT (Prothrombin Time), PTT (partial
thromboplastin time), INR, dan level platelet dan fibrinogen.
 Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi faktor
penting dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti : Tissue
plasminogen activator, Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor inflamasi dan
angiogenesis ini terbukti dihambat oleh kortikosteroid.25
 Penatalaksanaan tekanan intrakranial
Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh tulang yang
terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat dijelaskan
menggunakan doktrin Monroe-Kellie yang menyatakan hubungan antara volume
otak, cairan likuor cerebrospinal, dan aliran darah dikepala sebagai pembentuk
volume intrakranial.

Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume tersebut
meningkat, maka volume lain akan terdesak dan akhirnya tekanan intrakranial
akan segera meningkat. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan meningkatkan
CVR(Cerebro Vascular Resistant) sehingga akan mengurangi Cerebral Blood
Flow. Rendahnya aliran darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral
perfusion pressure dan tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan Cushing
response.29

CPP (Cerebral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arterial Pressure) - ICP


(Intracranial Pressure)

Sesuai dengan Cushing response, maka tubuh akan berusaha mempertahankan


tekanan perfusi dengan meningkatkan MAP, sehingga tekanan darah akan
meningkat disetai dengan bradikardia, dan bradipnea. Oleh karena itu untuk
mempertahankan aliran darah ke otak yang adekuat diperlukan suatu keadaan
dimana tekanan perfusi otak bernilai sekita 60-70 mmHg dan tekanan intrakranial
<20mmHg.30Beberapa upaya yang bisa di lakukan untuk mencegah dan
mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dengan:30
 Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse tredelenberg jika
terdapat intsabilitas spinal
 Hiperventilasi hingga Pco2 berkisar 30-35 mmHg (dapat dimonitor
dengan analisis gas darah serial)31
 Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kg BB,
untuk membalikkan gradient osmotic intravascular, sehingga beban cairan
akan ditarik masuk kedalam ruang intravaskular. Sebelum memilih
menggunakan manitol perlu untuk mengetahui fungsi ginjal pasien.
 Pada pasien yang gelisah dan agitasi akan meningkatkan tekanan
intrakranial,oleh karena itu pemberian obat-obatan sedasi atau analgesia
akanmengurangi kecemasan , ketakutan dan respon terhadap nyeri berupa
postural spontan yang merupakan factor yang mempengaruhi peningkatan
tekanan intrakranial. Hal ini dapat ditangani dengan menggunakan morphine
2-5 mg/kg/jam dan vecuronium 10 mg/jam
 Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.32
 Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang dengan
phenytoin 18 mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.33
 Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk menururnkan
TIK, dengan metoda operatif ventriculostomy (burr hole).
(Respiratory failure)

A. Definisi

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan


oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang
adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 2009)
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan
gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2010)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang
dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari
45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2010)
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi

B. Etiologi / Penyebab
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan
yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla)
sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf
spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan
medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi
pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan
ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari,
penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafa
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari
hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi
pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan
mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah
pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang
mendasar
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia
diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang
bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah
beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.

C. Klasifikasi

1. Gagal nafas akut


Gagal nafas yang timbul pada pasien yang paru-parunya normal secara
structural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul
2. Gagal ginjal kronis
Terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronchitis kronik
empisema dan penyakit paru hitam

D. Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah
gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah
terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema
dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik
struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.

Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan
memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul
kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana
terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan
terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi,
cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia
mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan
tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang
dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opioid. Pnemonia atau
dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

Pathway gagal nafas


E. Tanda Dan Gejala
1. Gagal nafas total
 Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.

 Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta
tidak ada pengembangan dada pada inspirasi

 Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan

2. Gagal nafas parsial

 Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.

 Ada retraksi dada

3. Gejala Disertai

 Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)

 Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)

F. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium

1. Analisis gas darah (pH meningkat, HCO3 meningkat, PaCO2


meningkat, PaO2 menurun) dan kadar elektrolit (Kalium).

2. Pemeriksaan darah lengkap : anemia bisa meneyebabkan hipoksia


jaringan polisitemia bisa terjadi bila hipoksia tidak diobati dengan cepat.

3. Fungsi ginjal dan hati : untuk mencari etiologi atau ientifikasi


komplikasi yang berhubungan dengan gagal nafas.

4. Serum kreatinin kinase dan troponin : untuk menyingkirkan infark


miocard akut

b) Radiologi
1. Rontgen toraks membantu mengidentifikasi kemungkinan penyebab
gagal nafas seperti atelectasis dan pneumonia.
c) EKG dan Echocardiografi : jika gagal nafas akut disebabkan oleh cardiac
d) Uji faal paru : sangat berguna untuk evaluasi gagal nafas kronik (volume tidal
< 500ml, FVC (kapasitas vital paksa) menurun, ventilasi semenit (Ve) menurun
(Lewis, 2011)

G. Penatalaksanaan medis

1. Pemberian oksigen yang adekuat dengan meningkatkan fraksi o2 akan


memperbaikai PaO2 sampai sekitar 60-80 mmHg cukup untuk oksigenasi jaringan
dan pencegahan hipertensi pulmonal akibat hipoksemia yang terjadi. Pemberian
FiO2 < 40% menggunakan kanul nasal atau masker. Pemberian oksigen yang
berlebihan akan memperberat keadaan hiperanue. Menurunkan kebutuhan oksigen
dengan memperbaiki dan mengobati febris, agitasi, infeksi, sepsis dll usahakan Hb
sekitar 10-12 g/dl.

2. Dapat digunakan tekanan positif seperti CPAP, BiPAP dan PEEP. Perbaiki
elektrolit, balance PH, barotrauma, infeksi dan komplikasi iatrogenic. Gangguan
pH dikoreksi pada hiperapnue akut dengan asidosis, perbaiki ventilasi alveolar
dengan memberikan bantuan ventilasi mekanis, memasang dan mempertahankan
jalan nafas adekuat, mengatasi bronkospasmae dan mengontrol gagal jantung,
demam dan sepsis.

3. Atasi atau cegah terjadinya atelectasis, overload cairan, bronkospasmae, secret


trakeobronkial yang meningkat dan infeksi.

4. Kortikosteroid jangan digunakan secara rutin. Kortikosteroid


methylprednisolone bisa digunakan bersama dengan bronkodilator ketika terjadi
bronkospasmae dan inflamasi. Ketika penggunaan IV kortikosteroid mempunyai
reaksi onset cepat. Kortikosteroid dengan inhalasi memerlukan 4-5 hari untuk efek
optimal therapy dan tidak digunakan untuk gagal nafas akut. Hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan IV kortikosteroid , monitor tingkat kalium yang
memperburuk hypokalemia yang disebabkan diuretic. Penggunaan jangka panjang
menyebabkan insufisiensi adrenalin

5. Perubahan posisi dari posisi tiduran menjadi posisi tegak meningkatkan


volume paru yang ekuivalen dengan 5-12 cm H2O PEEP.
6. Drainase secret trakeobronkial yang kental dilakukan dengan pemberian
mukolitik, hidrasi cukup, humidifikasi udara yang dihirup perkusi vibrasi dada
dan latihan batuk efektif.

7. Pemberian antibiotic apabila timbul bronkospasmae

8. Bronkodilator diberikan apabila timbul bronkospasmae

9. Penggunaan intubasi dan ventilator apabila terjjadi asidemia, hipoksemia dan


disfungsi sirkulasi yang prospektif (Lewis, 2011)

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a) Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b) Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus
dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara
nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c) Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi
urin.
d) Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e) Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
2. Pengkajian Sekunder
a) Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar
dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital.
b) Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
c) Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
d) Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan
jantung, pemantauan EKG
e) Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma
tumpul abdomen

f) Pelvis dan ekstremitas


Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma,
memar dan cedera yang lain

B. Diagnosa
1) Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke
serebral, edema serebral
2) Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada
pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
3) Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap
otot pernafasan
4) Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan
nafas
5) Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan
6) Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
b.d penurunan kesadaran
7) Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
8) Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada
kandung kemih

C. Intervensi

1. Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran


darah ke serebral, edema serebral
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan
sensorik

Intervensi :

- Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK


- Monitor status neurologis
- Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK
- Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya
- Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk
mencegah peningkatan TIK
- Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan
cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi
2. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler
(cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
Tujuan : pola nafas pasien efektif
Intervensi :

- Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu


nafas
- Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas
- Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi
secara berkala
- Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15
detik
- Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan
bunyi tambahan(ronchi, wheezing)
- Catat pengembangan dada
- Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui
kanula/ masker sesuai dengan indikasi
- Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedatif
- Lakukan program medik

3. Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer


terhadap otot pernafasan
tujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuat

intervensi :

- Kaji irama atau pola nafas


- Kaji bunyi nafas
- Evaluasi nilai AGD
- Pantau saturasi oksigen
4. Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret,
obstruksi jalan nafas
Tujuan : mempertahankan potensi jalan nafas

intervensi :

- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi,
ronchi
- Kaji frekuensi pernafasan
- Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
- Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
- Kolaburasi : monitor AGD
5. Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur
refleksif

intervensi :

- Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah


- Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang
tempat tidur
- Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu
- Pasang pagar tempat tidur
- Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah
bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan
memaksa membuka rahang
- Pertahankan tirah baring
6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
b.d penurunan kesadaran
Tujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi

Intervensi :

- Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung


setiap akan memberikan makanan
- Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk
mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi
- Catat makanan yang masuk
- Kaji cairan gaster, muntahan
- Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan
kondisi pasien
- Laksanakan program medik
7. Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter
pada kandung kemih
tujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin
intervensi :

- Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis


- Periksa residu kandung kemih setelah berkemih
- Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama
pemasangan untuk mencegah infeksi

DAFTAR PUSTAKA

Dewanto, George et.al.2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta :EGC

Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan; alih bahasa Indah Retno; editor
amalia safitri dan Rina Astikawati. Jakarta : Erlangga

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika

Nanda international. 2012. Nursing Diagnoses Definitions And Classification 2012-2014.


Oxford : wiley-blackwell

Oman, Kathlen et.al.2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi; alih bahasa, Andry
Hartono; editor edisi bahasa indonesia, Nur Meity Sulistya Ayu. Jakarta : EGC

Smeltzer, Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth, Edisi 8.
Jakarta : EGC
Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
CV.Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai