Anda di halaman 1dari 61

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PUSKESMAS
2.1.1 Definisi Puskesmas
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Upaya Kesehatan Masyarakat yang
selanjutnya disingkat UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya
masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Upaya Kesehatan Perseorangan yang selanjutnya disingkat UKP adalah
suatu kegiatan dan atau atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan
yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan
perseorangan (Kemenkes, 2014).

2.1.2 Fungsi Puskesmas


Puskesmas menyelenggarakan fungsi:
1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; Dalam
menyelenggarakan fungsi tersebut, puskesmas berwenang untuk:
a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah
kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang
diperlukan;
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan;
d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat
perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain
terkait;
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan
upaya kesehatan berbasis masyarakat;
f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia
Puskesmas;
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan
kesehatan;
h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
akses, mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan; dan
i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat,
termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon
penanggulangan penyakit.
2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya; Dalam
menyelenggarakan fungsi tersebut, puskesmas berwenang untuk:
a. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara
komprehensif, berkesinambungan dan bermutu;
b. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan
upaya promotif dan preventif;
c. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat;
d. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan
keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;
e. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip
koordinatif dan kerja sama inter dan antar profesi;
f. Melaksanakan rekam medis;
g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu
dan akses Pelayanan Kesehatan;
h. Melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;
i. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
j. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis
dan Sistem Rujukan.
Selain menjalankan fungsi tersebut, Puskesmas dapat berfungsi sebagai
wahana pendidikan Tenaga Kesehatan (Kemenkes, 2014).

2.1.3 Kegiatan Pokok Puskesmas


Kegiatan-kegiatan pokok puskesmas yang diselenggarakan oleh
puskesmas sejak berdirinya semakin berkembang, mulai dari 7 usaha
pokok kesehatan, 12 usaha pokok kesehatan, 13 usaha pokok kesehatan
dan sekarang meningkat menjadi 20 usaha pokok kesehatan yang dapat
dilaksanakan oleh puskesmas sesuai dengan kemampuan yang ada dari
tiap-tiap puskesmas baik dari segi tenaga, fasilitas, dan biaya atau
anggaran yang tersedia. Berdasarkan buku pedoman kerja puskesmas
yang terbaru ada 20 usaha pokok kesehatan yang dapat dilakukan oleh
puskesmas, itu pun sangat tergantung kepada faktor tenaga, sarana, dan
prasarana serta biaya yang tersedia berikut kemampuan manajemen dari
tiap-tiap puskesmas.
Dua puluh kegiatan pokok puskesmas adalah (Depkes, 2015)
1. Upaya kesehatan ibu dan anak
a. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil, melahirkan dan menyusui serta
bayi anak balita dan anak prasekolah
b. Memberikan nasehat tentang makanan guna mencegah gizi buruk
c. Pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara
stimulasinya.
d. Imunisasi tetanus toksoid dua kali pada ibu hamil dan BCG, DPT 3
kali, polio 3 kali dan campak 1 kali pada bayi
e. Penyuluhan kesehatan dalam mencapai program KIA
f. Pelayanan keluarga berencana
g. Pengobatan bagi ibu, bayi anak balita dan anak prasekolah untuk
macam-macam penyakit ringan
h. Kunjungan rumah untuk mencari ibu dan anak yang memerlukan
pemeliharaan memberikan penerangan dan pendidikan tentang
kesehatan
i. Pengawasan dan bimbingan kepada taman kanak-kanak
dan para dukun bayi

2. Upaya keluarga berencana


a. Mengadakan kursus keluarga berencana unutk para ibu dan calon
ibu yang mengunjungi KIA
b. Mengadakan kursus keluarga berencana kepada dukun yang
kemudian akan bekerja sebagai penggerak calon peserta keluarga
berencana
c. Mengadakan pembicaraan –pembicaraan tentang keluarga
berencana kapan saja ada kesempatan
d. Memasang IUD, cara – cara penggunaan pil kondom, dan cara-
cara lain denngan memberi sarananya.
e. Melanjutkan mengamati mereka yang menggunakan sarana
pencegahan kehamilan

3. Upaya peningkatan gizi


a. Mengenali penderita-penderita kekurangan gizi dan mengobati
mereka
b. Mempelajari keadaan gizi masyarakat dan mengembangkan
program perbaikan gizi
c. Memberikan pendidikan gizi kepada masyarakat terutama dalam
rangka program KIA
d. Melaksanakan program-program:
• Program perbaikan gizi keluarga melalui posyandu
• Memberikan makanan tambahan yang mengandung protein
dan kalori kepada balita dan ibu menyusui
• Memberikan vitamin A kepada balita umur dibawah 5 tahun
4. Upaya kesehatan lingkungan
Kegiatan – kegiatan utama kesehatan lingkungan yang dilakukan staf
puskesmas adalah:
a. Penyehatan air bersih
b. Penyehatan pembuangan kotoran
c. Penyehatan lingkungan perumahan
d. Penyehatan limbah
e. Pengawasan sanitasi tempat umum
f. Penyehatan makanan dan minuman
g. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan

5. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular


a. Mengumpulkan dan menganalisa data penyakit
b. Melaporkan kasus penyakit menular
c. Menyelidiki di lapangan untuk melihat benar atau tidaknya laporan
yang masuk, untuk menemukan kasus - kasus baru dan untuk
mengetahui sumber penularan.
d. Tindakan permulaan untuk menahan penularan penyakit
e. Menyembuhkan penderita, hingga ia tidak lagi menjadi sumber
infeksi
f. Pemberian imunisasi
g. Pemberantasan vector
h. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat

6. Upaya pengobatan
a. Melaksanakan diagnose sedini mungkin melalui:
• Mendapatkan riwayat penyakit
• Mengadaan pemeriksaan fisik
• Mengadaan pemeriksaan labolatorium
• Membuat diagnosa
b. Melaksanakan tindakan pengobatan
c. Melakukan upaya rujukan bila dipandang perlu, rujukan tersebut
dapat berupa:
• Rujukan diagnostik
• Rujukan pengobatan atau rehabilitasi
• Rujukan lain

7. Upaya penyuluhan
a. Penyuluhan kesehatan masyarakat merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari tiap-tiap program puskesmas. Kegiatan
penyuluhan kesehatan dilakukan pada setiap kesempatan oleh
petugas, apakah di klinik, rumah dan kelompok-kelompok
masyarakat.
b. Di tingkat puskesmas tidak ada penyuluhan tersendiri, tetapi
ditingkat kabupaten diadakan tenaga-tenaga coordinator
penyuluhan kesehatan. Koordinator membantu para petugas
puskesmas dalam mengembangkan teknik dan materi penyuluhan
di Puskesmas.

8. Upaya kesehatan sekolah


a. Membina sarana keteladanan di sekolah, berupa sarana
keteladanan gizi berupa kantin dan sarana keteladanan kebersihan
lingkungan.
b. Membina kebersihan perseorangan peserta didik
c. Mengembangkan kemampuasn peserta didik untuk berperan
secara aktif dalam pelayanan kesehatan melalui kegiatan dokter
kecil
d. Penjaringan kesehatan peserta didik kelas I
e. Pemeriksaan kesehatan periodic sekali setahun untuk kelas II
sampai IV dan guru berupa pemeriksaan kesehatan sederhanan
f. Immunisasi peserta didik kelas I sampai VI
g. Pengawasan terhadap keadaan air
h. Pengobatan ringan pertolongan pertama
i. Rujukan medik
j. Penanganan kasus anemia gizi
k. Pembinaan teknis dan pengawasan di sekolah
l. Pencatatan dan pelaporan

9. Upaya kesehatan olah raga


a. Pemeriksaan kesehatan berkala
b. Penentuan takaran latihan
c. Pengobatan dengan teknik latihan dan rehabilitasi
d. Pengobatan akibat cidera latihan
e. Pengawasan selama pemusatan latihan

10. Upaya perawatan kesehatan masyarakat


a. Asuhan perawatan kepada individu di puskesmas maupun di rumah
dengan berbagai tingkat umur, kondisi kesehatan, tumbuh
kembang dan jenis kelamin
b. Asuhan perawatan yang diarahkan kepada keluarga sebagai unit
terkecil dari masyarakat (keluarga binaan)
c. Pelayanan perawatan kepada kelompok khusus diantaranya: ibu
hamil, anak balita, usia lanjut dansebagainya
d. Pelayanan keperawatan pada tingkat masyarakat

11. Upaya peningkatan kesehatan kerja


a. Identifikasi masalah, meliputi:
• Pemeriksaan kesehatan dari awal dan berkala untuk para pekerja
• Pemeriksaan kasus terhadap pekerja yang dating berobat ke
puskesmas
• Peninjauan tempat kerja untuk menentukan bahaya akibat kerja
b. Kegiatan peningkatan kesehatan tenaga kerja melalui peningkatan
gizi pekerja, lingkungan kerja, dan kegiatan peningkatan
kesejahteraan
c. Kegiatan pencegahan kecelakaan akibat kerja, meliputi:
• Penyuluhan kesehatan
• Kegiatan ergonomik, yaitu kegiatan untuk mencapai kesesuaian
antara alat kerja agar tidak terjadi stres fisik terhadap pekerja
• Kegiatan monitoring bahaya akibat kerja
• Pemakaian alat pelindung
d. Kegiatan pengobatan kasus penyakit akibat kerja
e. Kegiatan pemulihan kesehatan bagi pekerja yang sakit
f. Kegiatan rujukan medic dan kesehatan terhadap pekerja yang sakit

12. Upaya kesehatan gigi dan mulut


a. Pembinaan atau pengembangan kemampuan peran serta
masyarakat dalam upaya pemeliharaan diri dalam wadah program
UKGM
b. Pelayanan asuhan pada kelompok rawan, meliputi:
• Anak sekolah
• Kelompok ibu hamil, menyususi dan anak pra sekolah
c. Pelayanan medik dokter gigi dasar, meliputi:
• Pengobatan gigi pada penderita yang berobat maupun yang
dirujuk
• Merujuk kasus-kasus yang tidak dapat ditanggulangi kesasaran
yang lebih mampu
• Memberikan penyuluhan secara individu atau kelompok
• Memelihara kebersihan (hygiene klinik)
• Memelihara atau merawat peralatan atau obat- obatan
d. Pencatatan dan pelaporan

13. Upaya kesehatan jiwa


a. Kegiatan kesehatan jiwa yang terpadu dengan kegiatan pokok
puskesmas
b. Penanganan pasien dengan gangguan jiwa
c. Kegiatan dalam bentuk penyuluhan serta pembinaan peran serta
masyarakat
d. Pengembangan upaya kesehatan jiwa di puskesmas melalui
pengembangan peran serta masyarakat dan pelayanan melalui
kesehatan masyarakat
e. Pencatatan dan pelaporan

14. Upaya kesehatan mata


a. Upaya kesehatan mata, pencegaahan kesehatan dasar yang
terpadu dengan kegiatan pokok lainnya
b. Upaya kesehatan mata:
• Anamnesa
• Pemeriksaan virus dan mata luar, tes buta warna, tes tekan bola
mata, tes saluran air mata, tes lapangan pandang, funduskopi
dan pemeriksaan labolatorium
• Pengobatan dan pemberiaan kacamata
• Operasi katarak dan glukoma akut yang dilakukan oleh tim
rujukan rumah sakit
• Perawatan pos operasi katarak dan glukoma akut
• Merujuk kasus yang tak dapat diatasi
• Pemberian protesa mata
c. Peningkatan peran serta masyarakat dalam bentuk penyuluhan
kesehatan, serta menciptakan kemandirian masyarakat dalam
pemeliharaan kesehatan mata mereka
d. Pengembangan kesehatan mata masyarakat
e. Pencatatan dan pelaporan

15. Laboratorium kesehatan


a. Di ruangan laboratorium
• Penerimaan pasien
• Pengambilan spesimen
• Penanganan spesimen
• Pelaksanaan spesimen
• Penanganan sisa spesimen
• Pencatatan hasil pemeriksaan
• Pengecekan hasil pemeriksaan
• Penyampaian hasil pemeriksaan
b. Terhadap spesimen yang akan dirujuk
• Pengambilan spesimen
• Penanganan spesimen
• Pengemasan spesimen
• Pengiriman spesimen
• Pengambilan hasil pemeriksaan
• Pencatatan hasil pemeriksaan
• Penyampaian hasil pemeriksaan
c. Di ruang klinik dilakukan oleh perawat atau bidan, meliputi:
• Persiapan pasien
• Pengambilan spesimen
• Menyerahkan spesimen untuk diperiksa
d. Di luar gedung, meliputi:
• Melakukan tes skrining Hb
• Pengambilan spesimen untuk kemudian dikirim ke laboratorium
puskesmas
• Memberikan penyuluhan
• Pencatatan dan pelaporan

16. Upaya pencatatan dan pelaporan


a. Dilakukan oleh semua puskesmas (pembina, pembantu dan
keliling)
b. Pencatatan dan pelaporan mencakup:
• Data umum dan demografi wilayah kerja puskesmas
• Data ketenagaan di puskesmas
• Data kegiatan pokok puskesmas yang dilakukan baik di dalam
maupun di luar gedung puskesmas
c. Laporan dilakukan secara periodik (bulan, triwulan enam bulan dan
tahunan)

17. Upaya pembinaan peran serta masyarakat


Upaya pembinaan peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui:
a. Penggalangan dukungan penentu kebijaksanaan, pimpinan
wilayah, lintas sektoral dan berbagai organisasi kesehatan, yang
dilakukan melalui dialog, seminar dan lokakarya, dalam rangka
komunikasi, informasi dan motivasi dengan memanfaatkan media
masa dan system informasi kesehatan
b. Persiapan petugas penyelenggaraan melalui latihan, orientasi dan
sarasehan kepemimpinan dibidang kesehatan
c. Persiapan masyarakat, melalui rangkaian kegiatan untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengenal dan
memecahkan masalah kesehatan, dengan mengenali dan
menggerakkan sumber daya yang dimilikinya, melalui rangkaian
kegiatan:
• Pendekatan kepada tokoh masyarakat
• Survey mawas diri masyarakat untuk mengenali masalah
kesehatannya
• Musyawarah masyarakat desa untuk penentuan bersama rencana
pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi
d. Pelaksanaan kegiatan kesehatan oleh dan untuk masyarakat
melalui kader yang terlatih
e. Pengembangan dan pelestarian kegiatan oleh masyarakat

18. Upaya pembinaan pengobatan tradisional


a. Melestarikan bahan-bahan tanaman yang digunakan untuk
pengobatan tradisional
b. Pengembangan dan pelestarian terhadap cara-cara pengobatan
tradisional

19. Upaya kesehatan remaja


20. Dana sehat (Depkes, 2015)

2.1.4 Wilayah Kerja Puskesmas


Puskesmas harus bertanggung jawab untuk setiap masalah yang
terjadi di wilayah kerjanya, meskipun masalah tersebut lokasinya berkilo-
kilo meter dari puskesmas. Dengan asas inilah puskesmas dituntut untuk
lebih mengutamakan tindakan pencegahan penyakit, dan bukan tindakan
untuk pengobatan penyakit. Dengan demikian puskesmas harus secara
aktif terjun ke masyarakat dan bukan menantikan masyarakat datang ke
puskesmas (Depkes, 2011).
Wilayah kerja puskesmas, bisa kecamatan, faktor kepadatan
penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur
lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja
puskesmas (Depkes, 2011).
Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah Tingkat II,
sehingga pembagian wilayah kerja puskesmas ditetapkan oleh bupati KDH,
mendengar saran teknis di Kantor Wilayah Departemen Kesehatan
Provinsi. Untuk kota besar wilayah kerja puskesmas bisa satu kelurahan,
sedangkan puskesmas di ibukota kecamatan merupakan puskesmas
rujukan, yang berfungsi sebagai pusat rujukan dari puskesmas kelurahan
yang juga mempunyai fungsi koordinasi. Sasaran penduduk yang
dilaksanakan oleh sebuah puskesmas rata-rata 30.000 penduduk. Luas
wilayah yang masih efektif untuk sebuah puskesmas di daerah pedesaan
adalah suatu area dengan jari-jari 5 km, sedangkan luas wilayah kerja yang
dipandang optimal adalah area dengan jari-jari 3 km (Depkes, 2011).
2.1.4.1 Kategori Puskesmas
a. Puskesmas Kawasan Perkotaan
Merupakan puskesmas yang wilayah kerjanya meliputi
kawasan yang memenuhi paling sedikit 3 (tiga) dari 4 (empat)
kriteria kawasan perkotaan sebagai berikut:
a.1 Aktivitas lebih dari 50% (lima puluh persen) penduduknya pada
sektor non agraris, terutama industri, perdagangan dan jasa.
a.2 Memiliki fasilitas perkotaan antara lain sekolah radius 2,5 km,
pasar radius 2 km, memiliki rumah sakit radius kurang dari 5
km, bioskop, atau hotel.
a.3 Lebih dari 90% (sembilan puluh persen) rumah tangga memiliki
listrik.
a.4 Terdapat akses jalan raya dan transportasi menuju fasilitas
perkotaan sebagaimana dimaksud pada huruf a.2

Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan oleh Puskesmas


kawasan perkotaan memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Memprioritaskan pelayanan UKM
• Pelayanan UKM dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi
masyarakat
• Pelayanan UKP dilaksanakan oleh Puskesmas dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau masyarakat
• Optimalisasi dan peningkatan kemampuan jaringan pelayanan
Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan;
• Pendekatan pelayanan yang diberikan berdasarkan kebutuhan
dan permasalahan yang sesuai dengan pola kehidupan
masyarakat perkotaan
b. Puskesmas Kawasan Pedesaan
Merupakan puskesmas yang wilayah kerjanya meliputi
kawasan yang memenuhi paling sedikit 3 (tiga) dari 4 (empat)
kriteria kawasan pedesaan sebagai berikut:
b.1 Aktivitas lebih dari 50% (lima puluh persen) penduduknya pada
sektor agraris
b.2 Memiliki fasilitas antara lain sekolah radius lebih dari 2,5 km,
pasar dan perkotaan radius lebih dari 2 km, rumah sakit radius
lebih dari 5 km, tidak memiliki fasilitas berupa bioskop atau
hotel
b.3 Rumah tangga dengan listrik kurang dari 90% (sembilan puluh
persen)
b.4 Terdapat akses jalan dan transportasi menuju fasilitas
sebagaimana dimaksud pada huruf b.2

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh Puskesmas


kawasan pedesaan memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Pelayanan UKM dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi
masyarakat;
• Pelayanan UKP dilaksanakan oleh Puskesmas dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat
• Optimalisasi dan peningkatan kemampuan jaringan pelayanan
Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan
• Pendekatan pelayanan yang diberikan menyesuaikan dengan
pola kehidupan masyarakat perdesaan

c. Puskesmas Kawasan Terpecil dan Sangat Terpencil


Merupakan puskesmas yang wilayah kerjanya meliputi
kawasan dengan karakteristik sebagai berikut:
c.1 Berada di wilayah yang sulit dijangkau atau rawan bencana,
pulau kecil, gugus pulau, atau pesisir
c.2 Akses transportasi umum rutin 1 kali dalam 1 minggu, jarak
tempuh pulang pergi dari ibukota kabupaten memerlukan waktu
lebih dari 6 jam, dan transportasi yang ada sewaktu-waktu
dapat terhalang iklim atau cuaca
c.3 Kesulitan pemenuhan bahan pokok dan kondisi keamanan
yang tidak stabil

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh Puskesmas


kawasan terpencil dan sangat terpencil memiliki karakteristik
sebagai berikut:
• Memberikan pelayanan UKM dan UKP dengan penambahan
kompetensi tenaga kesehatan
• Dalam pelayanan UKP dapat dilakukan penambahan
kompetensi dan kewenangan tertentu bagi dokter, perawat, dan
bidan
• Pelayanan UKM diselenggarakan dengan memperhatikan
kearifan lokal
• Pendekatan pelayanan yang diberikan menyesuaikan dengan
pola kehidupan masyarakat di kawasan terpencil dan sangat
terpencil
• Optimalisasi dan peningkatan kemampuan jaringan pelayanan
Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan
• Pelayanan UKM dan UKP dapat dilaksanakan dengan pola
gugus pulau/cluster dan/atau pelayanan kesehatan bergerak
untuk meningkatkan aksesibilitas (Permenkes no.75, 2014).

2.1.4.2 Kategori Puskesmas berdasarkan Kemampuan


Penyelenggaraan
1. Puskesmas Non Rawat Inap
Puskesmas yang tidak menyelenggarakan pelayanan
rawat inap, kecuali pertolongan persalinan normal.
2. Puskesmas Rawat Inap
Puskesmas yang diberi tambahan sumber daya untuk
meenyelenggarakan pelayanan rawat inap, sesuai
pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan (Permenkes
no.75, 2014).

2.1.4.3 Kedudukan Puskesmas


1. Kedudukan dalam bidang administrasi
Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah
Tingkat II dan bertanggung jawab langsung baik teknis maupun
administratif kepada Kepala Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II
(Depkes RI, 2004).
2. Kedudukan dalam hirarki pelayanan kesehatan
Dalam urutan hirarki pelayanan kesehatan sesuai dengan
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) maka puskesmas
berkedudukan pada tingkat fasilitas kesehatan pertama (Depkes
RI, 2004).

2.1.4.4 Satuan Penunjang


Sesuai dengan keadaan geografi, luas wilayah, sarana perhubungan
serta kepadatan penduduk dalam wilayah kerja puskesmas, tidak semua
penduduk dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan puskesmas. Agar
jangkauan pelayanan puskesmas lebih merata dan meluas, perlu ditunjang
dengan puskesmas pembantu, penempatan bidan di desa-desa yang
belum terjangkau oleh pelayanan yang ada di puskesmas keliling.
Disamping itu, penggerakan peran serta masyarakat untuk mengelola
posyandu dan membina desa wisma akan dapat menunjang jangkauan
pelayanan kesehatan. Demi pemerataan dan perluasan jangkauan
pelayanan kesehatan maka puskesmas perlu ditunjang dengan unit
pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut puskesmas
pembantu dan puskesmas keliling (Depkes RI, 2014).
2.1.4.5 Puskesmas Pembantu
Puskesmas pembantu adalah unit pelayanan kesehatan yang
sederhana dan berfungsi menunjang dan membantu melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan puskesmas dalam ruang lingkup
wilayah yang lebih kecil.
Dalam Repelita V wilayah kerja puskesmas pembantu diperkirakan
meliputi 2 sampai 3 desa, dengan sasaran penduduk antara 2500 orang (di
luar Jawa dan Bali) sampai 10.000 orang (di perkotaan Jawa dan Bali)
(Depkes RI, 2004). Puskesmas pembantu merupakan bagian integral dari
puskesmas, dengan lain perkataan satu puskesmas meliputi juga seluruh
puskesmas pembantu yang ada di wilayah kerjanya (Depkes RI, 2004).

2.1.4.6 Puskesmas Keliling


Puskesmas keliling merupakan unit pelayanan kesehatan keliling
yang dilengkapi dengan kendaraan bermotor roda 4 atau perahu bermotor
dan peralatan kesehatan, peralatan komunikasi serta sejumlah tenaga yang
berasal dari puskesmas. Puskesmas keliling berfungsi menunjang dan
membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan puskesmas dalam wilayah
kerjanya yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Kegiatan-
kegiatan puskesmas keliling adalah:
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di daerah
terpencil yang tidak terjangkau oleh pelayanan puskesmas atau
puskesmas pembantu, 4 hari dalam 1 minggu
2. Melakukan penyelidikan tentang kejadian luar biasa
3. Dapat dipergunakan sebagai alat transportasi penderita dalam
rangka rujukan bagi kasus gawat darurat
4. Melakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan alat audio
visual
2.1.4.7 Bidan yang Bertugas di Desa
Pada setiap desa yang belum ada fasilitas pelayanan kesehatan,
akan ditempatkan seorang bidan yang bertempat tinggal di desa tersebut
dan bertanggung jawab langsung kepada kepala puskesmas. Wilayah kerja
bidan tersebut adalah satu desa denga jumlah penduduk rata-rata 3000
orang, dengan tugas utamanya adalah membina peran serta masyarakat
melalui pembinaan posyandu yang membina pimpinan kelompok
persepuluhan, selain memberikan pelayanan langsung di posyandu dan
pertolongan persalinan di rumah-rumah. Disamping itu juga menerima
rujukan anggota keluarga persepuluhan untuk diberi pelayanan seperlunya
atau ditunjuk lebih lanjut ke puskesmas atau fasilitas kesehatan yang lebih
mampu dan terjangkau secara tradisional (Kuntjoro, 2005).

2.1.5 Struktur Organisasi dan Tata Kerja Puskesmas


Struktur organisasi puskesmas dalam permenkes 75 tahun 2014 dibagi
menjadi 3 (tiga) macam sesuai dengan kategori puskesmas. Walaupun
secara umum memiliki kesamaan, namun terdapat beberapa bagian yang
berbeda dari masing-masing kategori puskesmas.
a. Kepala Puskesmas
Kriteria Kepala Puskesmas yaitu tenaga kesehatan dengan tingkat
pendidikan paling rendah sarjana, memiliki kompetensi manajemen
kesehatan masyarakat, masa kerja di Puskesmas minimal 2 (dua) tahun,
dan telah mengikuti pelatihan manajemen Puskesmas.
b. Kasubag Tata Usaha
Membawahi beberapa kegiatan diantaranya Sistem Informasi
Puskesmas, kepegawaian, rumah tangga, dan keuangan.
c. Penanggungjawab UKM esensial dan keperawatan kesehatan
masyarakat. Membawahi:
• pelayanan promosi kesehatan termasuk UKS 28
• pelayanan kesehatan lingkungan
• pelayanan KIA-KB yang bersifat UKM
• pelayanan gizi yang bersifat UKM
• pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
• pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat
d. Penanggungjawab UKM Pengembangan
Membawahi upaya pengembangan yang dilakukan Puskesmas, antara
lain:
• pelayanan kesehatan jiwa
• pelayanan kesehatan gigi masyarakat
• pelayanan kesehatan tradisional komplementer
• pelayanan kesehatan olahraga
• pelayanan kesehatan indera
• pelayanan kesehatan lansia
• pelayanan kesehatan kerja
• pelayanan kesehatan lainnya
e. Penanggungjawab UKP, kefarmasian, dan laboratorium. Membawahi
beberapa kegiatan, yaitu:
• pelayanan pemeriksaan umum
• pelayanan kesehatan gigi dan mulut
• pelayanan KIA-KB yang bersifat UKP
• pelayanan gawat darurat
• pelayanan gizi yang bersifat UKP 29
• pelayanan persalinan
• pelayanan rawat inap untuk Puskesmas yang menyediakan
pelayanan rawat inap
• pelayanan kefarmasian
• pelayanan laboratorium
f. Penanggungjawab jaringan pelayanan Puskesmas dan jejaring fasilitas
pelayanan kesehatan. Membawahi:
• Puskesmas Pembantu
• Puskesmas Keliling
• Bidan Desa
• Jejaring fasilitas pelayanan kesehatan
2.2 KONSEP MANAJEMEN PUSKESMAS
Manajemen adalah serangkaian proses yang terdiri atas
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol (Planning,
Organizing, Actuating, Controling) untuk mencapai sasaran/tujuan secara
efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa tujuan yang diharapkan dapat
dicapai melalui proses penyelenggaraan yang dilaksanakan dengan baik
dan benar serta bermutu, berdasarkan atas hasil analisis situasi yang
didukung dengan data dan informasi yang akurat (evidence based).
Sedangkan efisien berarti bagaimana Puskesmas memanfaatkan sumber
daya yang tersedia untuk dapat melaksanakan upaya kesehatan sesuai
standar yang baik dan benar, sehingga dapat mewujudkan target kinerja
yang telah ditetapkan (Permenkes no. 44, 2016).
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Puskesmas tersebut,
Puskesmas harus melaksanakan manajemen Puskesmas secara efektif
dan efisien. Siklus manajemen Puskesmas yang berkualitas merupakan
rangkaian kegiatan rutin berkesinambungan, yang dilaksanakan dalam
penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan secara bermutu, yang harus
selalu dipantau secara berkala dan teratur, diawasi dan dikendalikan
sepanjang waktu, agar kinerjanya dapat diperbaiki dan ditingkatkan dalam
satu siklus “Plan-Do-Check-Action (P-D-C-A)” (Permenkes no. 44, 2016).
Untuk menjamin bahwa siklus manajemen Puskesmas yang
berkualitas berjalan secara efektif dan efisien, ditetapkan Tim Manajemen
Puskesmas yang juga dapat berfungsi sebagai penanggungjawab
manajemen mutu di Puskesmas. Tim terdiri atas penanggungjawab upaya
kesehatan di Puskesmas dan didukung sepenuhnya oleh jajaran
pelaksananya masing-masing. Tim ini bertanggung jawab terhadap
tercapainya target kinerja Puskesmas, melalui pelaksanaan upaya
kesehatan yang bermutu (Permenkes no. 44, 2016).
Untuk terselenggaranya upaya kesehatan bermutu bagi masyarakat
di wilayah kerjanya, maka Tim Manajemen Puskesmas harus mampu
bekerja dengan baik dan profesional, dibawah koordinasi dan supervisi
kepala Puskesmas yang menjalankan fungsi kepemimpinannya yang baik
dan tepat sesuai situasi dan kondisi. Upaya kesehatan yang diberikan harus
selalu memperhatikan kepentingan, kebutuhan dan harapan masyarakat
sebagai konsumen eksternal, kepentingan dan kepuasan dari seluruh staf
Puskesmas sebagai konsumen internal, serta pemerintah daerah
kabupaten/kota sebagai pemilik/owner (Permenkes no. 44, 2016).
Upaya kesehatan Puskesmas yang dilaksanakan secara merata dan
bermutu sesuai standar, diwujudkan dengan bukti adanya perbaikan dan
peningkatan pencapaian target indikator kesehatan masyarakat dan
perseorangan. Seperti menurunnya angka-angka kesakitan penyakit yang
menjadi prioritas untuk ditangani, menurunnya angka kematian balita,
angka gizi kurang dan atau gizi buruk balita dan maternal, menurunnya
jumlah kematian maternal, teratasinya masalah-masalah kesehatan
masyarakat dalam wilayah kerjanya, dan lainnya (Permenkes no. 44, 2016).
Diperlukan dukungan sumber daya yang memadai baik dalam jenis,
jumlah, maupun fungsi dan kompetensinya sesuai standar yang ditetapkan,
dan tersedia tepat waktu pada saat akan digunakan. Dalam kondisi
ketersediaan sumber daya yang terbatas, maka sumber yang tersedia
dikelola dengan sebaik-baiknya, dapat tersedia saat akan digunakan
sehingga tidak menghambat jalannya pelayanan yang akan dilaksanakan.
Manajemen sumber daya dan mutu merupakan satu kesatuan sistem
pengelolaan Puskesmas yang tidak terpisah satu dengan lainnya, yang
harus dikuasai sepenuhnya oleh tim manajemen Puskesmas dibawah
kepemimpinan kepala Puskesmas, dalam upaya mewujudkan kinerja
Puskesmas yang bermutu, mendukung tercapainya sasaran dan tujuan
penyelenggaraan upaya kesehatan di Puskesmas, agar dapat mengatasi
masalah-masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat di wilayah kerjanya
(Permenkes no. 44, 2016).
Manajemen Puskesmas akan mengintegrasikan seluruh manajemen
yang ada (sumber daya, program, pemberdayaan masyarakat, sistem
informasi Puskesmas, dan mutu) didalam menyelesaikan masalah prioritas
kesehatan di wilayah kerjanya (Permenkes no. 44, 2016).
Dalam menyusun perencanaan 5 (lima) tahun Puskesmas, selain
mengacu pada Rencama Lima Tahunan dinas kesehatan kabupaten/kota,
Puskesmas juga harus memperhatikan dan mengacu pada Rencama Lima
TahunanKementrian Kesehatan. Apabila Puskesmas sebelumnya telah
menyusun rencana 5 (lima) tahunan dan rencana tahunan, maka dengan
keluarnya kebijakan baru yang berkaitan dengan kesehatan, Puskesmas
perlu menelaah kembali rencana 5 (lima) tahun Puskesmas yang telah
disusun sebelumnya untuk dapat disesuaikan dengan hal-hal yang sangat
prinsip dan prioritas. Gambar berikut menguraikan contoh siklus
manajemen Puskesmas yang berkualitas (Permenkes no. 44, 2016).

2.2.1 Perencanaan
Perencanaan yang disusun melalui pengenalan pernasalahan
secara tepat berdasarkan data yang akurat, serta diperoleh dengan cara
dan dalam waktu yang tepat, maka akan dapat mengarahkan upaya
kesehatan yang dilaksanakan Puskesmas dalam mencapai sasaran dan
tujuannya. Dalam upaya mencakup seluas mungkin sasaran masyarakat
yang harus dilayani, serta mengingat ketersediaan sumber daya yang
terbatas, maka pelayanan kesehatan harus dapat dilaksanakan secara
terintegrasi baik lintas program maupun lintas sektor. Kepala puskesmas
harus mampu membangun kerjasama dan mengkoordinasikan program di
internal Puskesmas dan di eksternal dengan mitra lintas sektor. Koordinasi
dengan lintas sektor sangat diperlukan, karena faktor penyebab dan latar
belakang masalah kesehatan tertentu kemungkinan hanya dapat
diselesaikan oleh mitra lintas sektor (Permenkes no. 44, 2016).
Peran pemerintah daerah sangat besar dalam menyelesaikan
permasalahan kesehatan di masyarakat, oleh karenanya Puskesmas perlu
mencari dukungan dari pemerintah daerah yang dimulai dari tingkat
desa/keluarahan, kecamatan dan kabupaten/kota. Proses perencanaan
Puskesmas harus terintegrasi kedalam sistem perencanaan daerah melalui
forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang
disusun secara top down dan bottom-up (Permenkes no. 44, 2016).
Proses perencanaan Puskesmas akan mengikuti siklus
perencanaan pembangunan daerah, dimulai dari tingkat desa/kelurahan,
selanjutnya disusun pada tingkat kecamatan dan kemudian diusulkan ke
dinas kesehatan kabupaten/kota. Perencanaan Puskesmas yang
diperlukan terintegrasi dengan lintas sektor kecamatan, akan diusulkan
melalui kecamatan ke pemerintah daerah kabupaten/kota (Permenkes no.
44, 2016).
Puskesmas akan menyusun rencana 5 (lima) tahunan dan rincian
rencana tahunannya berdasarkan pada hasil evaluasi tahun sebelumnya
dan mengacu pada kebijakan kesehatan dari tingkat administrasi diatasnya,
baik kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Untuk kepentingan penyusunan
perencanaan Puskesmas, perlu diselaraskan dengan program Indonesia
Sehat dengan Pendekatan Keluarga dan program kesehatan nasional
lainnya (Permenkes no. 44, 2016).

2.2.2 Penyusunan Rencana Tahunan


Penyusunan Rencana Tahunan Puskesmas harus dilengkapi
dengan usulan pembiayaan untuk kebutuhan rutin, sarana, prasarana, dan
operasional Puskesmas. Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan (RUK)
untuk tahun mendatang (N+1) disusun pada bulan Januari tahun berjalan
(N) berdasarkan hasial kajian pencapaian kegiatan tahun sebelumnya (N-
1), dan diharapkan proses penyusunan RUK telah selesai dilaksanakan di
Puskesmas pada akhir bulan Januari tahun berjalan (N). Adapun tahapan
penyusunan Rencana Tahunan Puskesmas seperti tahapan penyusunan
Rencana Lima Tahunan Puskesmas, yaitu:
1. Persiapan Langkah-langkah
Dalam tahapan persiapan dilaksanakan seperti tahap persiapan pada
penyusunan Rencana Lima Tahunan Puskesmas. Pada tahap ini tim
mempelajari:
a) Rencana Lima Tahunan Puskesmas
b) Penjabaran tahunan rencana capaian target Standar Pelayanan
Minimal tingkat kabupaten/kota
c) Target yang disepakati bersama Dinas Kesehatan kabupaten kota,
yang menjadi tanggung jawab Puskesmas
d) Pedoman Umum Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga
e) Penguatan Manajemen Puskesmas melalui Pendekatan Keluarga
f) NSPK lainnya yang dianggap perlu untuk diketahui oleh tim di
dalam penyusunan perencanaan Puskesmas (Permenkes no. 44,
2016).

2. Analisis Situasi
a) Mengumpulkan data kinerja Puskesmas
Puskesmas mengumpulkan dan mempelajari data kinerja dan
gambaran status kesehatan masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas di tahun (N-2) untuk setiap desa/kelurahan. N
menunjukkan tahun yang akan disusun, sehingga untuk menyusun
perencanaan tahunan (sebagai contoh tahun 2017), maka data
kinerja yang dikumpulkan dan dipelajari adalah data tahun 2015.
Data diperoleh dari Sistem Informasi Puskesmas (Permenkes no.
44, 2016).
b) Analisis Data
Hasil analisis data harus bisa menggambarkan:
1) Kecenderungan pencapaian status kesehatan masyarakat dan
hasil kinerja Puskesmas pada tahun (N-3) dan tahun (N-2).
Status kesehatan keluarga dan masyarakat dapat dilihat dari
hasil indeks Keluarga Sehat yang diperoleh dari pelaksanaan
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga
2) Hasil kinerja dan mutu penyelenggaraan kesehatan di tahun
(N-2)
3) Prediksi status kesehatan dan tingkat kinerja Puskesmas di
tahun N, baik prediksi untuk pencapaian target kinerja dan
status kesehatan masyarakatnya maupun untuk kesenjangan
pencapaian hasilnya serta antisipasi yang perlu diperhatikan
terhadap kemungkinan penyebab dan hambatan yang ada
serta yang mungkin akan terjadi
4) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung kemungkinan
adanya suatu perubahan yang signifikan terjadi, baik
perubahan ke arah yang lebih baik dan perubahan kearah yang
buruk, dan memanfaatkan pengalaman tersebut untuk
mengadakan perbaikan pelayanan kesehatan
5) Ketersediaan dan kemampuan sumber daya Puskesmas
c) Analisis masalah dari sisi pandang masyarakat, yang dilakukan
melalui Survey Mawas Diri/Community Self Survey (SMD/CSS)
(Permenkes no. 44, 2016)

3. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dilaksanakan seperti pada Penyusunan Rencana
Lima Tahunan Puskesmas (Permenkes no. 44, 2016).

4. Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan (RUK)


Penyusunan RUK diformulasikan setelah melalui tahapan diatas,
bersama dengan lintas sektor terkait dan didampingi oleh dinas
kesehatan kabupaten/kota. Penyusunan RUK terintegrasi kedalam
sistem perencanaan daerah dan dalam tataran target pencapaian
akses, targer kualitas pelayanan, target pencapaian output dan
outcome, serta menghilangkan kondisi yang dapat menyebabkan
kehilangan peluang dari sasaran program untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang seharusnya dapat dilaksanakan secara
terintegrasi dalam satu pelaksanaan (missed opportunity). Seperti
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN) dengan cakupan
Inisiasi Menyusui Dini (IMD), Cakupan kunjungan neonatal pertama
(KN1) dengan cakupan imunisasi HB0, cakupan kunjungan neonatal 1
(KN1) dengan cakupan kunjungan nifas pertama (KF1), dan lain
sebagainya. Rencana usulan kegiatan dibuat sesuai contoh pada
formulir 4 terlampir (Permenkes no. 44, 2016).
5. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)
Tahap penyusunan RPK dilaksanakan melalui pendekatan
keterpaduan lintas program dan lintas sektor dalam lingkup siklus
kehidupan. Keterpaduan penting untuk dilaksanakan mengingat
adanya keterbatasan sumber daya di Puskesmas. Dengan
keterpaduan tidak akan terjadi missed opportunity, kegiatan
Puskesmas dapat terselenggara secara efisien, efektif, bermutu, dan
target prioritas yang ditetapkan pada perencanaan lima tahunan dapat
tercapai. Penyusunan RPK teritegrasi kedalam sistem perencanaan di
daerah, dengan tahapan:
a. Mempelajari alokasi kegiatan dan biaya yang sudah disetujui
b. Membandingkan alokasi kegiatan yang disetujui dengan RUK yang
diusulkan dan situasi pada saat penyusunan RPK
c. Menyusun rancangan awal, rincian dan volume kegiatan yang akan
dilaksanakan serta sumber daya pendukung menurut bulan dan
lokasi pelaksanaan
d. Mengadakan Lokakarya Mini Bulanan Pertama untuk membahas
kesepakatan RPK
e. Membuat RPK tahunan yang telah disusun dalam bentuk matriks.
Renacana Pelaksanaan Kegiatan tahunan dibuat sesuai cotoh
pada formulir 5 terlampir
f. RPK dirinci menjadi RPK bulanan bersama dengan target
pencapaiannya, dan direncanakan kegiatan pengawsan dan
pengendaliannya. Rencana Pelaksanaan Kegiatan bulanan dibuat
sesuai contoh format 6 terlampir
g. RPK dimjngkinakan untuk dirubah/disesuaikan dengan kebuuthan
saat itu apabila dalam hasil analisis pengawasan dan pengendalian
kegiatan bulanan dijumpai kondisi tertentu (bencana alam, konflik,
Kejadian Luar Biasa, perubahan kebijakan mendesak, dll) yang
harus dituangkan kedalam RPK. Perubahan RPK dilakukan dengan
pendampingan dinas kesehatan kab/kota, dan tidak mengubah
pagu anggaran yang ada
h. Untuk semua kegiatan yang akan dilaksanakan, agar dapat
dipertanggungjawabkan dengan baik, perlu didukung dokumen
yang relevan. Dengan tuntunan dokumen yang dibuat, dipastikan
bahwa kegiatan yang dimaksud dapat diselesaikan, sehingga
sasaran dan tujuan akan tercapai. Dokumen tersebut antara lain
berupa:
1) Peraturan/keputusan Kepala Puskesmas
2) Kerangka Acuan Kegiatan
3) Standar Operasional Prosedur, dan
4) Dokumen lain yang dibutuhkan

Pada Puskesmas yang telah melaksanakan pola pengelolaan


keuangan BLUD, format untuk formulir perencanaan lima tahunan
Puskesmas dan perencanaan tahunan Puskesmas, disesuaikan
dengan peraturan pola pengelolaan BLUD yang berlaku (Permenkes
no. 44, 2016).

2.2.3 Penilaian Kinerja Puskesmas


Penilaian kinerja Puskesmas adalah suatu proses yang obyektif dan
sistematis dalam mengumpulkan, menganalisis dan menggunakan
informasi untuk menentukan seberapa efektif dan efisien pelayanan
Puskesmas disediakan, serta sasaran yang dicapai sebagai penilaian hasil
kerja/prestasi Puskesmas. Penilaian kinerja Puskesmas dilaksanakan oleh
Puskesmas dan kemudian hasil penilaiannya akan diverifikasi oleh dinas
kesehatan kabupaten/kota. Tujuan dilaksanakannya penilaian kinerja
adalah agar Puskesmas:
1. Mendapatkan gambaran tingkat kinerja Puskesmas (hasil cakupan
kegiatan, mutu kegiatan, dan manajemen Puskesmas) pada akhir
tahun kegiatan
2. Mendapatkan masukan untuk penyusunan rencana kegiatan di tahun
yang akan datang
3. Dapat melakukan identifikasi dan analisis masalah, mencari penyebab
dan latar belakang serta hambatan masalah kesehatan di wilayah
kerjanya berdasarkan adanya kesenjangan pencapaian kinerja
4. Mengetahui dan sekaligus dapat melengkapi dokumen untuk
persyaratan akreditasi Puskesmas
5. Dapat menetapkan tingkat urgensi suatu kegiatan untuk dilaksanakan
segera pada tahun yang akan datang berdasarkan prioritasnya

Adapun aspek penilaian meliputi hasil pencapaian


pelaksanaanpelayanan kesehatan dan manajemen Puskesmas.
Berdasarkan hasil verifikasi, dinas kesehatan kabupaten/kota menetapkan
Puskesmas kedalam kelompoknya sesuai dengan pencapaian kinerjanya
(Permenkes no. 44, 2016).

2.2.4 Ruang Lingkup Penilaian Kinerja Puskesmas


a. Pencapaian cakupan pelayanan kesehatan meliputi:
1) UKM esensial yang berupa pelayanan promosi kesehatan,
pelayanan kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan ibu,
anak dan keluarga berencana, pelayanan gizi, dan pelayanan
pencegahan dan pengendalian penyakit
2) UKM pengembangan, dilaksanakan setelah Puskesmas
mampu melaksanakan UKM esensial secara optimal,
mengingat keterbatasan sumber daya dan adanya prioritas
masalah kesehatan
3) UKP, yang berupa rawat jalan, pelayanan gawat darurat,
pelayanan satu hari (one day care), home care; dan/atau
rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan
kesehatan
b. Pelaksanaan manajemen Puskesmas dalam penyelenggaraan
kegiatan, meliputi:
1) Proses penyusunan perencanaan, penggerakkan
pelaksanaan dan pelaksanaan penilaian kinerja;
2) Manajemen sumber daya termasuk manajemen sarana,
prasarana, alat, obat, sumber daya manusia dan lain-lain;
3) Manajemen keuangan dan Barang Milik Negara/Daerah
4) Manajemen pemberdayaan masyarakat;
5) Manajemen data dan infromasi; dan
6) Manajemen program, termasuk program Indonesia Sehat
dengan Pendekatan Keluarga
7) Mutu pelayanan Puskesmas, meliputi:
• Penilaian input pelayanan berdasarkan standar yang
ditetapkan
• Penilaian proses pelayanan dengan menilai tingkat
kepatuhannya terhadap standar pelayanan yang telah
ditetapkan
• Penilaian output pelayanan berdasarkan upaya
kesehatan yang diselenggarakan, dimana masing-masing
program/kegiatan mempunyai indikator mutu sendiri yang
disebut Standar Mutu Pelayanan (SMP). Sebagai contoh:
Angka Drop Out Pengobatan pada pengobatan TB Paru
• Penilaian outcome pelayanan antara lain melalui
pengukuran tingkat kepuasan pengguna jasa pelayanan
Puskesmas dan pencapaian target indikator outcome
pelayanan

Selanjutnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan


Puskesmas, Puskesmas wajib diakreditasi oleh lembaga
independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh
Menteri, secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali
(Permenkes no. 44, 2016).
2.2.5 Pelaksanaan Penilaian Kinerja Puskesmas
a. Di tingkat Puskesmas:
1) Kepala Puskesmas membentuk tim kecil Puskesmas untuk
melakukan kompilasi hasil pencapaian
2) Masing-masing penanggung jawab kegiatan melakukan
pengumpulan data pencapaian, dengan memperhitungkan
cakupan hasil (output) kegiatan dan mutu bila hal tersebut
memungkinkan
3) Hasill kegiatan yang diperhitungkan adalah hasil kegiatan
pada periode waktu tertentu. Penetapan peridoe waktu
penilaian ini dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota
bersama Puskesmas. Sebagai contoh peridoe waktu
penilaian adalah bulan Januari sampai dengan bulan
Desember
4) Data untuk menghitung hasil kegiatan diperoleh dari Sistem
Informasi Puskesmas, yang mencakup pencatatan dan
pelaporan kegiatan Puskesmas dan jaringannya; survei
lapangan; laporan lintas sektor terkait; dan laporan jejaring
fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya
5) Penanggung jawab kegiatan melakukan analisis terhadap
hasil yang telah dicapai dibandingkan dengan target yang
ditetapkan, identifikasi kendala/hambatan, mencari penyebab
dan latar belakangnya, mengenali faktor-faktor pendukung
dan penghambat
6) Bersama-sama tim kecil Puskesmas, menyusun rencana
pemecahannya dengan mempertimbangkan kecenderungan
timbulnya masalah (ancaman) ataupun kecenderungan untuk
perbaikan (peluang)
7) Dari hasil analisa dan tindak lanjut rencana pemecahannya,
dijadikan dasar dalam penyusunan Rencana Usulan Kegiatan
untuk tahun (N+2). N adalah tahun berjalan
8) Hasil perhitungan, analisis data dan usulan rencana
pemecahannya disampaikan ke dinas kesehatan
kabupaten/kota yang selanjutnya akan diberi umpan balik
oleh dinas kesehatan
b. Di tingkat kabupaten/kota:
1) Menerima rujukan/konsultasi dari Puskesmas dalam
melakukan perhitungan hasil kegiatan, menganalisis data dan
membuat pemecahan masalah
2) Memantau dan melakukan pembinaan secara integrasi lintas
program sepanjang tahun pelaksanaan kegiatan Puskesmas
berdasarkan uruta prioritas masalah
3) Melakukan verifikasi hasil penilaian kinerja Puskesmas dan
menetapkan kelompok peringkat kinerja Puskesmas
4) Melakukan verifikasi analisis data dan pemecahan masalah
yang telah dibuat Puskesmas dan mendampingi Puskesmas
dalam pembuatan rencana usulan kegiatan
5) Mengirim umpan balik ke Puskesmas dalam bentuk
penetapan kelompk tingkat kinerja Puskesmas
6) Penetapan target dan dukungan sumber daya masing-masing
Puskesmas berdasarkan evaluasi hasil kinerja Puskesmas
dan rencana usulan kegiatan tahun depan
2.2.5.1 Penyajian
Pengelompokkan Puskesmas berdasarkan hasil penilaian
kinerjanya ditetapkan, setelah ada verifikasi dari dinas kesehatan
kabupaten/kota, terhadap hasil penilaian kinerja Puskesmas yang telah
disampaikan. Berdasarkan hasil penilaian kinerjanya, Puskesmas
dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:
a. Kelompok I: Puskesmas dengan tingkat kinerja baik:
1) Cakupan hasil pelayanan kesehatan dengan tingkat pencapaian
hasil > 91%
2) Cakupan hasil manajemen dengan tingkat pencapaian hasil ³ 8,5
b. Kelompok II: Puskesmas dengan tingakt kinerja cukup:
1) Cakupan hasil pelayanan kesehatan dengan tingkat pencapaian
hasil 81-90%
2) Cakupan hasil manajemen dengan tingkat pencapaian hasil 5,5-8,4
c. Kelompok III: Puskesmas dengan tingkat inerja kurang:
1) Cakupan hasil peayanan kesehatan dengan tingkat pencapaian
hasil ≤ 80%
2) Cakupan hasil manajemen dengan tingkat pencapaian hasil < 5,5

2.3 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN


2.3.1 Definisi Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang
merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap warga
Negara secara minimal (Permenkes no. 43, 2016).

2.3.2 Fungsi Standar Pelayanan Minimal (SPM)


a. Memfasilitasi Pemda untuk melakukan pelayanan publik yang tepat
bagi masyarakat
b. Sebagai instrumen bagi masyarakat dalam melakukan kontrol
terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik bidang
kesehatan
c. Sebagai instrumen untuk memperkuat pelaksanaan Performance
Based Budgeting (Permenkes no. 43, 2016).

2.3.3 Konsep Standar Pelayanan Minimal (SPM)


Kinerja Pemda yang memiliki konsekuensi reward dan punishment,
sehingga Pemda diharapkan untuk memastikan tersedianya sumber daya
(sarana, prasarana, alat, tenaga dan uang/biaya) yang cukup agar proses
penerapan SPM berjalan adekuat (Permenkes no. 43, 2016).
2.3.4 Jenis Layanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Kesehatan di Kabupaten atau Kota
2.4 PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR
Prioritas penyakit menular masih tertuju pada penyakit HIV/AIDS,
tuberkulosis, malaria, demam berdarah, influenza dan flu burung. Indonesia
juga belum sepenuhnya berhasil mengendalikan penyakit neglected
diseases seperti kusta, filariasis, leptospirosis, dan lain-lain. Angka
kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit menular yang dapat
dicegah dengan imunisasi seperti polio, campak, difteri, pertusis, hepatitis
B, dan tetanus baik pada maternal maupun neonatal sudah sangat
menurun. Indonesia telah dinyatakan bebas polio pada tahun 2014
(Permenkes no. 39, 2016).

2.4.1 Upaya Pengendalian Penyakit Menular


Dalam rangka mengendalikan penyakit menular, khususnya HIV-
AIDS, tuberkulosis, dan malaria, dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai
berikut:
a. HIV-AIDS:
1) Peningkatan konseling dan tes pada ibu hamil
2) Diagnosis dini pada bayi dan balita
3) Konseling dan tes pada populasi kunci, pasien infeksi menular
seksual (IMS), dan pasien tuberkulosis (TB) anak usia sekolah, usia
kerja, dan usia lanjut
4) Terapi anti retro-viral (ARV) pada anak dan orang dengan HIV-
AIDS (ODHA) dewasa
5) Intervensi pada kelompok berisiko
6) Pemberian profilaksis kotrimoksasol pada anak dan ODHA dewasa
b. Tuberkulosis:
1) Identifikasi terduga TB di antara anggota keluarga, termasuk anak
dan ibu hamil
2) Memfasilitasi terduga TB atau pasien TB untuk mengakses
pelayanan TB yang sesuai standar
3) Pemberian informasi terkait pengendalian infeksi TB kepada
anggota keluarga, untuk mencegah penularan TB di dalam
keluarga dan masyarakat
4) Pengawasan kepatuhan pengobatan TB melalui Pengawas
Menelan Obat (PMO)
c. Malaria:
1) Skrining ibu hamil pada daerah berisiko
2) Pembagian kelambu untuk ibu hamil dan balita
3) Pemeriksaan balita sakit di wilayah timur Indonesia (Permenkes no.
39, 2016).

2.5 TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT


2.5.1 Definisi Tuberkulosis Resistan Obat
Tuberkulosis resistan obat adalah keadaan dimana kuman M.
tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT).
Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT, yaitu:
1. Monoresistance: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan
isoniazid (H)
2. Polyresistance: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan
etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid etambutol dan
streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan streptomisin (RES)
3. Multi Drug Resistance (MDR): resistan terhadap isoniazid dan
rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya
resistan HR, HRE, HRES
4. Extensively Drug Resistance (XDR): TB MDR disertai resistansi
terhadap salah satu obat golongan fluorokuiolon dan salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
5. TB Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap rifampisin
(monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan
OAT lainnya (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
2.6 Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat
(MTPTRO)
Pada tahun 2013, WHO memperkirakan terdapat 6800 kasus baru
TB MDR di Indonesia setiap tahunnya. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru
dan 12% dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR.
Indonesia telah memulai program MTPTRO sejak tahun 2009 dan
dikembangkan bertahap ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga seluruh
pasien TB MDR dapat mengakses penatalaksanaan TB MDR yang
terstandar dan cepat (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
2014).

2.6.1 Tujuan dan Kebijakan MTPTRO


1. Tujuan
Tujuan program MTPTRO adalah mengurangi angka kesakitan
dan kematian akibat TB MDR dan memutus rantai penularannya
di masyarakat dengan cara menemukan dan mengobati sampai
sembuh semua pasien TB MDR.
2. Kebijakan
a. Pengendalian TB Resistan Obat di Indonesia dilaksanakan
sesuai tatalaksana Pengendalian TB yang berlaku saat ini
dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara
fasilitas pelayanan kesehatan
b. Penerapan MTPTRO menggunakan kerangka kerja yang
sama dengan strategi DOTS, untuk saat ini upaya
penanganannya lebih diutamakan pada kasus TB Resistan
Rifampisin dan TB MDR
c. Penguatan MTPTRO dan pengembangannya ditujukan
terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses
untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB
XDR (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
d. Pengembangan wilayah sisesuaikan dengan rencana
pengembangan MTPTRO yang ada dalam Stranas TB dan
Rencana Aksi Nasional (RAN) PMDT, dilakukan secara
bertahap sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat
mempunyai akses terhadap pelayanan TB resistan obat yang
bermutu.
e. Laboratorium TB merupakan unit yang terdepan dalam
diagnosis dan evaluasi penatalaksanaan pasien TB resistan
obat sehingga kemampuan dan mutu laboratorium harus
sesuai standar internasional dan selalu dipertahankan
kualitasnya untuk biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis
f. Pemerintah menyediakan OAT lini kedua yang berkualitas
dan logistik lainnya untuk pasien TB resistan obat.
g. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam
jumlah yang memadai untuk meingkatkan dan
mempertahankan kinerja program
h. Meningkatkan dukungan keluarga dan masyarakat bagi
pasien TB MDR
i. Pencatatan dan pelaporan MTPTRO menggunakan
gabungan “paper based” dan “web based” menggunakan eTB
manager
Pemantauan dan evaluasi MTPTRO dilakukan secara berkala
menggunakan indikator baku (Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, 2014).

2.6.2 Pengorganisasian MTPTRO


1. Organisasi Pelaksana
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)
merupakan bagian dari upaya Pengendalian TB Nasional.
Organisasi pelaksana MTPTRO di tingkat Nasional, Provinsi,
Kabupaten/Kota dilaksanakan mengikuti kerangka kerja
pengendalian TB nasional yang sudah berjalan selama ini
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Terdapat 3 jenjang fasyankes pelaksana MTPTRO dengan fungsi
dan tanggung jawab masing-masing yang melekat pada sistem
yang sudah berlaku pada program TB Nasional

Pelaksanaan kegiatan MTPTRO di setiap jenjang fasyankes


memerlukan fasilitas dan sumber daya yang memadai sesuai dengan tugas
dan tanggung jawab masing-masing fasyankes (Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
2.6.3 Diagnosis TB Resistan Obat
a. Kriteria Terduga TB Resistan Obat
Terduga TB resistan obat adalah semua orang yang mempunyai
gejala TB yang memenuhi satu atau lebih kriteria terduga/suspek
di bawah ini:
1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah
3 bulan pengobatan
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang
tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini
kedua minimal selama 1 bulan
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3
bulan pengobatan
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan
pasien TB MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap
pemberian OAT

b. Alur Diagnosis TB Resistan Obat


Diagnosis TB Resistan obat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan uji kepekaan M. tuberkulosis dengan metode
standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode tes cepat (rapid
test) dan metode konvensional. Saat ini ada 2 metode tes cepat
yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji
kepekaan untuk Rifampisin) dan LPA (uji kepekaan untuk
Rifampisin dan Isoniasid). Sedangkan metode konvensional yang
digunakan adalah Lowenstein Jensen/LJ dan MGIT.
Dengan tersedianya alat diagnosis TB Resistan Obat dengan
metode cepat, maka alur diagnosis TB Resistan obat yang berlaku
di Indonesia adalah sebagai berikut:

Keterangan dan tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:


a) Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3
spesimen dahak, 1 (satu) spesimen dahak untuk pemeriksaan
GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2 spesimen
dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan
sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan
b) Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan
investigasi terhadap kemungkinan lain. Bila pasien sedang
dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai
selesai. Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara
klinis terdapat kecurigaan kuat terhadap TB MDR (misalnya
pasien gagal pengobatan kategori 2), ulangi pemeriksaan
GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi
mendahak yang memenuhi kualitas pemeriksaan. Jika
terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang
terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.
c) Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb sensitif Rifampisin, mulai
atau lanjutkan tatalaksana pengobatan TB kategori 1 atau
kategori 2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.
d) Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin,
mulai pengobatan standar TB MDR. Pasien akan dicatat
sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan
biakan dan identifikasi kuman Mtb.
e) Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif
Mycobacterium tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan
pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua
sekaligus. Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas
pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2, makan lakukan uji
kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika
laboratorium rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk
melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji kepekaan
dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan
untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi
untuk mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.
f) Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert
dengan hasil pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil
pemeriksaan dengan GeneXpert mejadi dasar penegakan
diagnosis.
g) Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR
(hasil uji kepekaan menunjukkan adanya tambahan resistan
terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan
pengobatan TB MDR-nya.
h) Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR
(hasil uji kepekaan menunjukkan adanya resistan terhadap
ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan paduan
pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR
standar menjadi paduan pengobatan TB XDR), dan catat
sebagai pasien TB XDR.

Catatan:
Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9
kriteria terduga TB rsistan obat), jika pemeriksaan GeneXpert
memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangi pemeriksaan
GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru.
Jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil
pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan untuk tindak
lanjut berikutnya (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
2014).

2.6.4 Pengobatan TB MDR


1. Prinsip Pengobatan TB MDR
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB MDR
mengacu kepada strategi DOTS.
a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah
paduen standar yang mengandung OAT lini kedua dan lini
pertama
b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan
hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang
ditetapkan oleh TAK
c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB
MDR serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT
MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan dari tim
terapeutik
d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan
pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal

Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB


RR/TB MDR harus dieksklusi dari pengobatan, namun ada
beberapa kondisi khusus yang harus diperhatikan oleh TAK
sebelum memulai pengobatan TB RR/TB MDR misalnya pasien
dengan penyakit penyerta yang berat seperti kelainan fungsi
ginjal, kelainan fungsi hati, epilepsy, psikosis, dan ibu hamil.

Sebelum memulai pengbatan harus dilakukan persiapan awal


termasuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.
Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah:
a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan
terdapatnya riwayat dan kecenderungan alergi obat tertentu,
riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis, diabetes mellitus,
gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan
sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer), dll
b. Pemeriksaan: penimbangan berat badan, fungsi penglihatan,
fungsi pendengaran
c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan
d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan
terekam dalam sistem pencatatan yang digunakan (eTB
manager dan pencatatan manual)
e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah
untuk memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga
untuk mendukung pengobatan melalui kerjasama jejaring
eksternal

Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan meliputi:


a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Pemeriksaan kimia darah:
• Faal ginjal: ureum, kreatinin
• Faal hati: SGOT, SGPT
• Serum elektrolit (kalium, natrium, chlorida)
• Asam urat
• Gula darah (sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
c. Pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormon (TSH)
d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
e. Foto toraks
f. Tes pendengaran (pemeriksaan audiometri)
g. Pemeriksaan EKG
Tes HIV (bila status HIV belum dikethaui) (Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, 2014)

2. Paduan OAT MDR di Indonesia


Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar
(standardized treatment), yang pada permulaan pengobatan akan
diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR
a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:
Km - Lfx - Eto - Cs - Z - (E) / Lfx - Eto - Cs - Z - (E)
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah
sebagai berikut:
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin,
maka paduan standar dalah sebagai berikut:
Cm - Lfx - Eto - Cs - Z - (E) / Lfx - Eto - Cs - Z - (E)
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon
maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Km–Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E)/Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan


fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah
sebagai berikut:
Cm–Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E)/Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E)

b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah


terkonfirmasi TB RR/MDR secara laboratoris
c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap
awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian
obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau
4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahapan lanjutan
adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan
d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah
terjadi konversi biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24
bulan

3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR


Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara
ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek
samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB
menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan
pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan
indikator respons pengobatan. Definisi konversi biakan adalah
pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan
30 hari menunjukkan hasil negatif. Pemantauan yang dilakukan
selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan
pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut:
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)

2.6.5 Evaluasi Akhir Pengobatan TB MDR


1. Sembuh
a. Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
pedoman pengobatan TB MDR tanpa bukti terdapat
kegagalan, dan
b. Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan
jarak pemeriksaan minimal 30 hari selama fase lanjutan
2. Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman
pengobatan TB MDR tetapi tidak memenuhi definisi sembuh
maupun gagal.
3. Meninggal
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa
pengobatan TB MDR.
4. Gagal
Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan
paduan pengobatan TB MDR yaitu ³ 2 obat TB MDR yang
disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi dibawah ini
yaitu:
a. Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8
pengobatan
b. Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya
konversi)
c. Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR
golongan kuinolon atau obat injeksi lini kedua
d. Terjadi efek samping obat yang berat
5. Lost to Follow-up
Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut
atau lebih.
6. Tidak di Evaluasi
Pasien yang tidak mempunyai/tidak diketahui hasil akhir
pengobatan TB MDR termasuk pasien TB MDR yang pindah ke
fasyankes di daerah lain dan hasil akhir pengobatan TB MDR nya
tidak diketahui.
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)

2.6.6 Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan


Lengkap
Pemantauan juga dilakukan meskipun pasien sudah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dengan tujuan untuk
mengevaluasi kondisi pasien pasca pengobatan. Pemeriksaan yang
dilakukan meliputi pemeriksaan fisis, pemeriksaan dahak, biakan
dan foto toraks, dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun
kecuali timbul gejala dan keluhan TB (Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
2.7 Fish Bone
2.7.1 Definisi Fish Bone
Diagram Fish Bone disebut juga sebagai diagram Sebab Akibat
(diagran Cause and Effect) adalah alat yang membantu mengidentifikasi,
memilah, dan menampilkan berbagai penyebab yang mungkin dari suatu
masalah atau karakteristik kualitas tertentu (Bilsel, 2012). Diagram ini
menggambarkan hubungan antara masalah dengan semua faktor
penyebab yang mempengaruhi masalah tersebut.
Jika diagram ini kadang-kadang disebut diagram “Ishikawa” karena
ditemukan oleh Kaoru Ishikawa, atau diagram “fishbone” atau “tulang ikan”
karena tampak mirip dengan tulang ikan (Bilsel, 2012).

2.7.2 Fungsi Diagram Fish Bone


1. Mengenali akar penyebab masalah atau sebab mendasar dari
akibat, masalah atau kondisi tertentu
2. Memilah dan menguraikan pengaruh timbal balik antara berbagai
faktor yang mempengaruhi akibat atau proses tertentu
3. Menganalisa masalah yang ada sehingga tindakan yang tepat
dapat diambil (Bilsel, 2012).

2.7.3 Manfaat Diagram Fish Bone


1. Membantu menentukan akar penyebab masalah dengan
pendekatan yang terstruktur
2. Mendorong kelompok untuk berpartisipasi dan memanfaatkan
pengetahuan kelompok tentang proses yang dianalisis
3. Menunjukkan penyebab yang mungkin dari variasi atau
perbedaan yang terjadi dalam suatu proses
4. Meningkatkan pengetahuan tentang proses yang dianalisis
dengan membantu setiap orang untuk mempelajari lebih lanjut
berbagai faktor kerja dan bagaimana faktor-faktor tersebut saling
berhubungan
5. Mengenali area dimana data seharusnya dikumpulkan untuk
pengkajian lebih lanjut (Bilsel, 2012).

2.7.4 Cara Menggunakan Diagram Fish Bone


Cara menggunakan diagram fishbone: ketika anda menggunakan
diagram ini, sebenarnya anda sedang menyusun sebuah tampilan
bergambar yang terstruktur dari daftar penyebab yang terorganisir untuk
meunujukkan hubungannya terhadap sebuah akibat tertentu. Langkah-
langkah untuk menyusun dan menganalisa diagram fishbone sebagai
berikut:
1. Identifikasi dan definisikan dengan jelas hasil atau akibat yang akan
dianalisis
• Hasil atau akibat adalah karakteristik dari kualitas tertentu,
permasalahan yang terjadi pada kerja, tujuan perencanaan, dan
sebagainya
• Gunakan definisi yang bersifat operasional untuk hasil atau akibat
agar mudah dipahami
• Hasil atau akibat dapat berupa positif (suatu tujuan, hasil) atau
negatif (suatu masalah, akibat). Hasil atau akibat yang negatif yaitu
berupa masalah biasanya lebih mudah untuk dikerjakan. Lebih
mudah bagi kita untuk memahami sesuatu yang sudah terjadi
(kesalahan) daripada menentukan sesuatu yang belum terjadi
(hasil yang diharapkan)
• Kita bisa menggunakan diagram pareto untuk membantu
menentukan hasil atau akibat yang akan dianalisis
2. Gambar garis panah horisontal ke kanan yang akan menjadi tulang
belakang
• Disebelah kana garis panah, tulis despkripsi singkat hasil atau
akibat yang dihasilkan oleh proses yang akan dianalisis
• Buat kotak yang mengelilingi hasil atau akibat tersebut
3. Identifikasi penyebab-penyebab utama yang mempengaruhi hasil atau
akibat
Penyebab ini akan menjadi label cabang utama diagram yang menjadi
kategori yang akan berisi berbagai penyebab yang menyebabkan
penyebab utama.
Untuk menentukan penyebab utama seringkali merupakan
pekerjaan yang tidak mudah. Untuk itu kita dapat mencoba memulai
dengan menulis daftar seluruh penyebab yang mungkin. Kemudian
penyebab-penyebab tersebut dikelompokkan berdasarkan
hubungannya satu sama lain. Untuk membantu mengelompokkan atau
mengkategorikan penyebab ini ada beberapa pedoman yang dapat
digunakan. Berikut ini bebrapa panduan yang sering digunakan;
• Industri jasa, biasanya menggunakan pengkategorian 4S, yaitu:
surrounding, supplier, system, skill
• Di bidang administrasi dan pemasaran, biasanya menggunakan
8P, yaitu: product atau service, price, people, place, promotion,
procedures, process, policies
• Industri manufaktur, biasanya menggunakan 6M, yaitu:
- Man (pelatihan, manajemen, sertifikasi, dan sejenisnya)
- Machine (perawatan, pemeriksaan, pemrograman, pengujian,
update perangkat lunak dan keras)
- Material (bahan mentah, barang konsumsi, dan informasi)
- Method (pemrosesan, pengujian, pengendalian, perancangan,
instruksi)
- Measurement (kalibrasi)
- Mother Nature (kondisi lingkungan seperti bising, kelembabab,
temperatur)
4. Untuk setiap penyebab utama, identifikasi faktor-faktor yang menjadi
penyebab dari penyebab utama. Identifikasi sebanyak mungkin faktor
penyebab dan tulis sebagai sub cabang utama. Jika penyebab-
penyebab minor menjadi penyebab dari lebih dari saty penyebab
utama, tuliskan pada semua penyebab utama tersebut.
5. Identifikasi lebih detail lagi secara bertingkat berbagai penyebab dan
lanjutkan mengorganisasikannya dibawah kategori atau penyebab
yang berhubungan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengajukan
serangkaian pertanyaan “mengapa”
6. Menganalisis diagram analisis membantu kita mengidentifikasi
penyebab yang menjamin pemeriksaan lebih lanjut. Diagram fishbone
ini hanya mengidentifikasi kemungkinan penyebab. Diagram pareto
dapat digunakan untuk membantu kita menentukan penyebab yang
akan pertama kita fokuskan.
• Lihat keseimbangan diagram:
- Jika ada kelompok dengan banyak item pada suatu area dapat
mengindikasikan perlunya pengkajian lebih lanjut
- Jika ada kategori utama dengan sedkit penyebab minor dapat
mengindikasikan perlunya identifikasi lagi penyebab minornya
- Jika ada beberapa cabang kategori utama hanya memiliki
sedkit sub cabang, mungkin kita perlu mengkombinasikannya
dalam satu kategori
• Cari penyebab yang muncul berulang, mungkin penyebab ini
adalah penyebab akar
• Cari apa yang bisa diukur dari setiap penyebab sehingga kita dapat
mengkuatitaskan hasil atau akibat dari setiap perubahan yang kita
lakukan
• Dan yang terpenting, identifikasi penyebab-penyebab yang dapat
diambil tindakan (Bilsel, 2012).

2.8 USG
2.8.1 Metode USG (Urgency, Seriousness, Growth)
Urgency, Seriousness, Growth (USG) adalah salah satu alat untuk
menyusun urutan prioritas isu yang harus diselesaikan. Caranya dengan
menentukan tingkat urgensi, keseriusan, dan perkembangan isu dengan
menentukan skala nilai 1 – 5 atau 1 – 10. Isu yang memiliki total skor
tertinggi merupakan isu prioritas. Untuk lebih jelasnya, dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Urgency
Seberapa mendesak isu tersebut harus dibahas dikaitkan dengan
waktu yang tersedia dan seberapa keras tekanan waktu tersebut untuk
memecahkan masalah yang menyebabkan isu tadi. Urgency dilihat dari
tersedianya waktu, mendesak atau tidak masalah tersebut
diselesaikan.
2) Seriousness
Seberapa serius isu tersebut perlu dibahas dikaitkan dengan akibat
yang timbul dengan penundaan pemecahan masalah yang
menimbulkan isu tersebut atau akibat yang menimbulkan masalah-
masalah lain kalau masalah penyebab isu tidak dipecahkan. Perlu
dimengerti bahwa dalam keadaan yang sama, suatu masalah yang
dapat menimbulkan masalah lain adalah lebih serius bila dibandingkan
dengan suatu masalah lain yang berdiri sendiri. Seriousness dilihat dari
dampak masalah tersebut terhadap produktifitas kerja, pengaruh
terhadap keberhasilan, dan membahayakan sistem atau tidak.
3) Growth
Seberapa kemungkinannya isu tersebut menjadi berkembang dikaitkan
kemungkinan masalah penyebab isu akan makin memburuk kalau
dibiarkan.

Data atau informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan metode USG,


yakni sebagai berikut:
(1) Hasil analisa situasi
(2) Informasi tentang sumber daya yang dimiliki
(3) Dokumen tentang perundang-undangan, peraturan, serta kebijakan
pemerintah yang berlaku (Permenkes no. 44, 2016).
2.9 CARL (Capability, Accessibility, Readiness, Leverage)
2.9.1 Metode CARL
Metode CARL merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan
untuk menentukan prioritas masalah jika data yang tersedia adalah data
kualitatif (Supriyanto, 2007).

2.9.2 Kriteria Metode CARL

Metode ini dilakukan dengan menentukan skor atas criteria tertentu,


seperti kemampuan (capability), kemudahan (accessibility), kesiapan
(readiness), serta pengungkit (leverage) (Supriyanto, 2007). Semakin besar
skor semakin besar masalahnya, sehingga semakin tinggi letaknya pada
urutan prioritas. Penggunaan metode CARL untuk menetapkan prioritas
masalah dilakukan apabila pengelola program menghadapi hambatan
keterbatasan dalam menyelesaikan maslah.
Penggunaan metode ini menekankan pada kemampuan pengelola
program (Supriyanto, 2007). Tidak semua masalah kesehatan akan mampu
diatasi oleh Puskesmas maupun Dinas Kesehatan Kabupaten. Untuk itu
perlu dilakukan penentuan prioritas masalah dengan menggunakan salah
satu dari berbagai cara yang biasanya digunakan. Salah satu cara yang
biasanya digunakan adalah Metode CARL (Supriyanto, 2007). Metode
CARL merupakan metode yang cukup baru di kesehatan. Metode CARL
juga didasarkan pada serangkaian kriteria yang harus diberi skor 0-10.
Kriteria CARL tersebut mempunyai arti :
• C = Capability yaitu ketersediaan sumber daya (dana, sarana dan
prasarana)
• A = Accesibility yaitu kemudahan, masalah yang ada mudah diatasi
atau tidak. Kemudahan dapat didasarkan pada ketersediaan metode/
cara/ teknologi serta penunjang seperti peraturan atau juklak.
• R = Readiness yaitu kesiapan dari tenaga pelaksana maupun kesiapan
sasaran, seperti keahlian atau kemampuan dan motivasi
• L = Leverage yaitu seberapa besar pengaruh kriteria yang satu dengan
yang lain dalam pemecahan masalah yang dibahas.
Setelah masalah atau alternatif pemecahan masalah diidentifikasi,
kemudian dibuat tabel kriteria CARL dan diisi skornya. Bila ada beberapa
pendapat tentang nilai skor yang diambil adalah rerata (Supriyanto, 2007)
Nilai total merupakan hasil perkalian: C x A x R x L. Contoh pemakain
metode CARL adalah sebagai berikut:

2.9.3 Kelebihan Metode CARL


Dengan masalah (solusi) yang relatif banyak, bisa ditentukan
peringkat atas masing-masing masalah sehingga bisa diperoleh prioritas
masalah (Supriyanto, 2007).

2.9.4 Kekurangan Metode CARL


1. Penentuan skor sangat subyektif, sehingga sulit untuk
distandarisasi
2. Penilaian atas masing-masing kriteria terhadap yang di skor perlu
kesepakatan agar diperoleh hasil yang maksimal dalam
penentuan peringkat
3. Obyektifitas hasil peringkat masalah (solusi) kurang bisa
dipertanggungjawabkan karena penentuan skor atas kriteria yang
ada (Supriyanto, 2007).

2.10 Survei Mawas Diri (SMD)


2.10.1 Definisi Survei Mawas Diri (SMD)
Survei Mawas Diri adalah kegiatan untuk mengenali keadaan dan
masalah yang dihadapi masyarakat, serta potensi yang dimiliki masyarakat
untuk mengatasi masalah tersebut. Potensi yang dimiliki antara lain
ketersediaan sumber daya, serta peluang-peluang yang dapat dimobilisasi.
Hal ini penting untuk diidentifikasi oleh masyarakat sendiri, agar selanjutnya
masyarakat dapat digerakkan untuk berperan serta aktif memperkuat
upaya-upaya perbaikannya, sesuai batas kewenangannya (Permenkes no.
44, 2016).
2.10.2 Tujuan Survei Mawas Diri (SMD)
a. Dilaksanakannya pengumpulan data, masalah kesehatan,
lingkungan dan perilaku
b. Mengkaji dan menganalisis masalah kesehatan, lingkungan dan
perilaku yang paling menonjol di masyarakat
c. Menginvetarisasi sumber daya masyarakat yang dapat
mendukung upaya mengatasi masalah kesehatan
d. Diperolehnya dukungan kepala desa dan pemuka masyarakat
dalam pelaksanaan penggerakan dan pemberdayaan masyarakt
di Desa Siaga (Permenkes no. 44, 2016).

2.10.3 Pentingnya Pelaksanaan Survei Mawas Diri (SMD)


a. Agar masyarakat menjadi sadar akan adanya masalah, karena
mereka sendiri yang melakukan pengumpulan fakta & data
b. Untuk mengetahui besarnya masalah yang ada di lingkungannya
sendiri
c. Untuk menggali sumber daya yang ada atau dimiliki desa
d. Hasil SMD dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun
pemecahan masalah yang dihadapi (Permenkes no. 44, 2016).

2.10.4 Sasaran Survei Mawas Diri (SMD)


Sasaran SMD adalah semua rumah yang ada di desa atau kelurahan
atau menetapkan sampel rumah di lokasi tertentu (± 450 rumah) yang dapat
menggambarkan kondisi masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku pada
umumnya di desa atau kelurahan (Permenkes no. 44, 2016).

2.10.5 Pelaksana Survei Mawas Diri (SMD)


a. Kader yang telah dilatih tentang apa itu SMD, cara pengumpulan
data (menyusun daftar pertanyaan sederhana), cara pengamatan,
cara pengolahan atau analisa data sederhana & cara penyajian
b. Tokoh masyarakat di desa (Permenkes no. 44, 2016).
2.10.6 Cara Pelaksanaan Survei Mawas Diri (SMD)
a. Petugas Puskesmas, Bidan di desa dan kader atau kelompok
warga yang ditugaskan untuk melaksanakan SMD dengan
kegiatan meliputi:
• Pengenalan instrumen (daftar pertanyaan) yang akan
dipergunakan dalam pengumpulan data dan informasi
masalah kesehatan
• Penentuan sasaran baik jumlah KK ataupun lokasinya
• Penentuan cara memperoleh informasi masalah kesehatan
dengan cara wawancara yang menggunakan daftar
pertanyaan (Permenkes no. 44, 2016).
b. Pelaksana SMD
Kader, tokoh masyarakat dan kelompok warga yang telah ditunjuk
melaksanakan SMD dengan bimbingn petugas Puskesmas dan
bidan di desa mengumpulkan informasi masalah kesehatan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Permenkes no. 44,
2016).
c. Pengolahan Data
Kader, tokoh masyarakat dan kelompok warga yang telah ditunjuk
mengolah data SMD dengan bimbingan petugas Puskesmas dan
bidan di desa, sehingga dapat diperolah perumusan masalah
kesehatan untuk selanjutnya merumuskan prioritas masalah
kesehatan, lingkungan dan perilaku di desa atau kelurahan yang
bersangkutan (Permenkes no. 44, 2016).

2.10.7 Cara Melaksanakan Survei Mawas Diri (SMD)


Pengamatan langsung dengan cara:
• Observasi partisipatif: melakukan koordinasi dengan pengurus RW
siaga tentang rencana survei mawas diri terkait dengan tujuan, metode
dan strategi pelaksanaanya
• Berjalan bersama masyarakat mengkaji lapangan (transection walk)
• Wawancara dengan kunjungan rumah, bersama kader dasar wisma
melakukan pendataan dari rumah ke rumah dengan metode tanya
jawab, pengisian formulir, observasi dan pemeriksaan fisik rumah dan
anggotanya
• Wawancara mendalam (DKT atau FGD) secara kelompok (Permenkes
no. 44, 2016).

2.10.8 Langkah-langkah Survei Mawas Diri (SMD)


a. Persiapan
• Menyusun daftar pertanyaan:
1) Berdasarkan prioritas masalah yang ditemui di
Puskesmas & Desa (data sekunder)
2) Dipergunakan untuk memandu pengumpulan data
3) Pertanyaan harus jelas, singkat, padat & tidak bersifat
mempengaruhi responden
4) Kombinasi pertanyaan terbuka, tertutup dan menjaring
5) Menampung juga harapan masyarakat
• Menyusun lembar observasi (pengamatan) untuk
mengobservasi rumah, halaman rumah, lingkungan
sekitarnya
• Menentukan kriteria responden, termasuk cakupan wilayah &
jumlah KK
b. Pelaksanaan
• Pelaksanaan interview atau wawancara terhadap responden
• Pengamatan terhadap rumah tangga & lingkungan
c. Tindak lanjut
• Meninjau kembali pelaksanaan SMD
• Merangkum, mengolah & menganalisis data yang telah
dikumpulkan
• Menyusun laporan SMD, sebagai bahan untuk MMD
d. Pengolahan data
Setelah data diolah, sebaiknya disepakati;
• Masalah yang dirasakan oleh masyarakat
• Prioritas masalah
• Kesediaan masyarakat untuk ikut berperan serta aktif dalam
pemecahan masalah (Permenkas no. 44, 2016).
2.10.9 Cara Penyajian Data Survei Mawas Diri (SMD)
Ada 3 cara penyajian, yaitu:
1. Secara Tekstular (menggunakan kalimat)
adalah penyajian data hasil penelitian menggunakan kalimat
2. Secara Tabular (menggunakan tabel)
Merupakan penyajian data dalam bentuk kumpulan angka yang
disusun menurut kategori-kategori tertentu, dalam suatu daftar.
Dalam tabel, disusun dengan cara alfabetis, geografis, menurut
besarnya angka, historis, atau menurut kelas-kelas yang lazim
3. Secara Grafikal (menggunakan grafik)
adalah gambar-gambar yang menunjukkan secara visual data
berupa angka atau simbol-simbol yang biasanya dibuat
berdasarkan dari data tabel yang telah dibuat (Permenkes no.
44, 2016).

2.11 Musyawarah Masyarakat Desa (MMD)


2.11.1 Definisi Musyawarah Masyarakat Desa
Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) adalah pertemuan seluruh
warga desa untuk membahas hasil Survei Mawas Diri dan merencanakan
penanggulangan masalah kesehatan yang diperoleh dari Survei Mawas Diri
(Depkes RI, 2007).

2.11.2 Tujuan dari MMD


• Masyarakat mengenal masalah kesehatan di wilayahnya
• Masyarakat sepakat untuk menanggulangi masalah kesehatan
• Masyarakat menyusun rencana kerja untuk menanggulangi
masalah kesehatan (Efendi, 2009).
2.11.3 Beberapa Hal yang Harus Diperhatikan dalam Pelaksanaan
MMD
• Musyawarah Masyaraat Desa harus dihadiri oleh pemuka
masyarakat desa, petugas puskesmas, dan sektor terkait
kecamatan (seksi pemerintahan dan pembangunan, BKKBN,
pertanian, agama, dll)
• Musyawarah Masyarakat Desa dilaksanakan di balai desa atau
tempat pertemuan lain yang ada di desa
• Musyawarah Masyarakat Desa dilaksanakan segera setelah
SMD dilaksanakan (Efendi, 2009).

2.11.4 Cara Pelaksnaan Musyawarah Masyarakat Desa


• Pembukaan dengan menguraikan maksud dan tujuan MMD
dipimpin oleh kepala desa
• Pengenalan masalah kesehatan oleh masyarakat sendiri melalui
curah pendapat dengan mempergunakan alat peraga, poster, dll
dengan dipimpin oleh ibu desa
• Penyajian hasil SMD
• Perumusan dan penentuan prioritas masalah kesehatan atas
dasar pengenalan masalah dan hasil SMD, dilanjutkan dengan
rekomendasi teknis dari petugas kesehatan di desa atau perawat
komunitas
• Penyusunan rencana penanggulangan masalah kesehatan
dengan dipimpin oleh kepala desa
• Penutup (Efendi, 2009)

2.11.5 Pelaksanaan Pengembangan Masyarakat


a. Tahap Persiapan
Dengan dilakukan pemilihan daerah yang menjadi prioritas
menentukan cara untuk berhubungan dengan masyarakat,
mempelajari dan bekerjasama dengan masyarakat
b. Tahap Pengorganisasian
Dengan persiapan pembentukan kelompom kerja kesehatan
untuk menumbuhkan kepedulian terhadap kesehatan dalam
mesyarakat. Kelompok kerja kesehatan (Pokjakes) adalah suatu
wadah kegiatan yang dibentuk oleh masyarakat secara
bergotong royong untuk mendorong diri mereka sendiri dalam
mengenal dan memecahkan masalah atau kebutuhan
kesehatan dan kesejahteraan, meningkatkan kemampuan
masyarakat berperan serta dalam pembangunan kesehatan di
wilayahnya.
c. Tahap Pendidikan dan Pelatihan
1. Kegiatan pertemuan teratur dengan kelompok masyarakat
2. Melakukan pengkajian
3. Membuat program berdasarkan masalah atau diagnose
keperawatan
4. Melatih kader
5. Keperawatan langsung terhadap individu, keluarga dan
masyarakat
d. Tahap Formasi Kepemimpinan
e. Tahap Koordinasi Intersektoral
f. Tahap Akhir (Efendi, 2009)

Dengan melakukan supervise atau kunjungan bertahap


untuk mengevaluasi serta memberikan umpan balik untuk perbaikan
kegiatan kelompok kerja kesehatan lebih lanjut. Untuk lebih
singkatnya perencanaan dapat diperoleh dengan tahapan sebagai
berikut:
1. Pendidikan kesehatan tentang gangguan nutrisi
2. Demonstrasi pengolahan dan pemilihan makanan yang baik
3. Melakukan deteksi dini tanda-tanda gangguan kurang gizi
melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium
4. Bekerjasama dengan aparat pemda setempat untuk
mengamankan lingkungan atau komunitas bila stressor dari
lingkungan
5. Rujukan ke rumah sakit bila diperlukan (Efendi, 2009)

Anda mungkin juga menyukai