Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS PROSES BERPIKIR REFLEKTIF MATEMATIS SISWA DALAM

MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA

PROPOSAL TESIS

Oleh :

Fitratur Rahmah
170311861528

PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
MARET 2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan berpikir matematis, khususnya kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi (high-order thinking) sangat dibutuhkan siswa guna memecahkan masalah yang

dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Sumarmo (2005), pembelajaran matematika

tingkat tinggi diarahkan untuk mengembangkan (1) kemampuan berpikir matematis yang

meliputi: memahami masalah, pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, dan koneksi

matematis; (2) kemampuan berpikir kritis, serta sikap terbuka dan obyektif; serta (3) disposisi

matematis atau kebiasaan, dan sikap belajar berkualitas tinggi. Begitu pula menurut NCTM

(2000) pembelajaran matematika meliputi pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian,

komunikasi, koneksi, dan representasi yang menunjukkan proses berpikir tingkat tinggi.

Selain kemamampuan berpikir di atas, menurut Anderson, dkk. (2005), pembelajaran

matematika working mathematically menyertakan lima proses yang saling berhubungan yang

salah satunya adalah kegiatan reflektif (reflecting), yang merupakan bagian dari proses berpikir

kritis. (Dewey, 1933). Berpikir reflektif adalah proses mental yang kompleks yang menjadikan

subjek berpikir sebagai objek berpikir (PISA, 2000). Menurut PISA, kemampuan berpikir

reflektif penting untuk dilatihkan kepada siswa karena merupakan jantung dari kunci kompetensi

siswa. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir reflektif terbiasa mempertanyakan efektivitas

dan validitas keputusan atau tindakan yang dilakukan. Artinya, ketika siswa menerapkan metode

berpikir reflektif, siswa meninjau kembali metode yang dipilihnya, mengasimilasi dan

mengaitkan dengan sejumlah aspek berdasarkan informasi yang telah dimiliki untuk mengubah

atau mengadaptasi metode tersebut agar menjadi lebih efektif dan mutakhir. Berdasarkan
penjelasan di atas, berpikir reflektif adalah proses berpikir kritis dalam melakukan rangkaian

justifikasi metode dan proses berpikir kreatif dalam aktivitas menciptakan metode yang lebih

efektif dan mutakhir.

Siswa yang berpikir secara reflektif dapat menyadari dan mengendalikan pembelajaran

mereka secara aktif mengakses apa yang mereka ketahui, dan bagaimana mereka menjembatani

antara yang mereka ketahui dan yang perlu mereka ketahui (Sezer, 2008). Peran penting

pemikiran reflektif adalah bertindak sebagai alat untuk mendorong pemikir selama situasi

pemecahan masalah karena ini memberi kesempatan untuk melangkah mundur dan memikirkan

strategi terbaik untuk mencapai tujuan (Rudd, 2007). Dengan kata lain, pembelajaran matematika

di kelas perlu menyentuh juga aspek pemecahan masalah dan dilakukan secara sengaja dan

terencana. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan dalam menyelesaikan

permasalahan dengan memepertimbangkan berbagai aspek yang mungkin terjadi. Kemampuan

ini memiliki tahapan pemikiran sebelum sampai pada kesimpulan bahwa panyelesaian yang

digunakan adalah penyelesaian yang tepat. Misalnya dalam pemecahan masalah, langkah

looking back dari Polya (1975) adalah suatu tahap dimana siswa memperoleh kesempatan

berpikir reflektif, yaitu secara sengaja belajar dari pengalaman, apa yang sudah dilakukan dan

apa yang masih dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pekerjaannya..

Menurut Skemp (1982) bahwa proses berpikir reflektif (reflective thinking) dapat

digambarkan sebagai berikut: (a) informasi atau data yang digunakan untuk merespon, berasal

dari dalam diri (internal), (b) bisa menjelaskan apa yang telah dilakukan, (c) menyadari

kesalahan dan memperbaikinya, dan (d) mengkomunikasikan ide dengan simbol atau gambar

bukan dengan objek langsung. Dengan melakukan refleksi, siswa dapat mengembangkan
kemampuan berpikir dengan menghubungkan pengetahuan yang diperolehnya serta pemahaman

terdahulu untuk menyelesaikan permasalahan yang baru.

Namun kegiatan berpikir reflektif ini sering tidak dilakukan secara efektif diperkenalkan

pada orang (Mason, 2002). Hal ini dapat terlihat bahwa pada kenyataannya dalam suatu

pemecahan masalah tidak semua siswa dapat dengan cepat menemukan solusi, dan jika solusi

tersebut ditemukan, siswa cenderung merasa puas dan mengakhiri proses belajarnya, yang sering

meyakini bahwa penyelesaian yang didapatkan adalah benar. Selama ini kecenderungan siswa

dalam mempelajari matematika fokus pada masalah hafalan rumus dalam menyelesaikan

masalah.

Sedangkan menurut Nindiasari (2014) terhadap sejumlah siswa SMA di Tanggerang

memperoleh beberapa temuan di antaranya: Dalam mengajarnya, guru lebih banyak memberikan

rumus dan konsep matematika yang sudah jadi dan tidak mengajak siswa berpikir untuk

menemukan rumus dan konsep matematika yang dipelajarinya; Hampir lebih dari 60% siswa

belum mampu menyelesaikan tugas-tugas berpikir reflektif matematis, misalnya tugas

menginterpretasi, mengaitkan, dan mengevaluasi. Hal ini menjadikan siswa terbebani dan tidak

nyaman dalam mempelajari matenatika, dan banyak dari siswa merasa bahwa pelajaran

matematika adalah pelajaran yang sangat sulit untuk dipahami. Oleh karena itu, berpikir refketif

matematis sangat dibutuhkan dalam proses pemecahan masalah matematika

Berdasarkan paparan di atas, untuk mengetahui seberapa besar kemampuan berpikir

reflektif siswa, maka seorang pendidik harus melakukan serangkaian aktivitas yang bisa

membuat siswa menunjukkan kemampuan berpikir reflektif siswa. Salah satu aktivitas tersebut

adalah memecahkan masalah matematika. Pemecahan masalah merupakan bagian terpenting


dalam matematika, bahkan termasuk dalam bagian kurikulum matematika. Hal ini dikarenakan

dalam proses pembelajaran diperlukan pemecahan dalam setiap masalah yang ada14.

Menurut Noer (2008) mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan

lingkungan yang mendukung terciptanya kemamupan berpikir reflektif. Pemecahan masalah

dapat memacu fungsi otak untuk mengembangkan daya pikir siswa secara kreatif dalam

mengenali permasalahan dan mencari alternatif dalam pemecahannya. Tujuan dari belajar

memecahkan masalah adalah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif secara

rasional, lugas, dan tuntas. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian yang berjudul

“Analisis Proses Berpikir Reflektif Matematis Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah

Matematika”.

B. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan tingkat berpikir reflektif siswa dalam memecahkan masalah matematika

materi.
2. Mendeskripsikan strategi siswa dalam menyelesaikan permasalahan berkaitan dengan
materi.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Berpikir Reflektif


1. Pengertian Berpikir
Menurut Sunaryo (2011) berpikir berasal dari kata “pikir” yang berarti akal budi, ingatan,
angan-angan. Berpikir artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan. Menurut Wijaya (2010) dalam
Gilhooly berpikir mengacu pada serentetan proses-proses kegiatan merakit, menggunakan,
dan memperbaiki model-model simbolik internal. Ross berpendapat bahwa berpikir
merupakan aktivitas mental dalam aspek teori dasar mengenai objek psikologis. Sedangkan
menurut Sunaryo (2010) dalam Gilmer berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan
proses penggunaan gagasan atau lambang-lambang pengganti suatu aktivitas yang tampak
secara fisik.

Berpikir merupakan proses yang menghasilkan representasi mental yang baru melalui
transformasi informasi yang melibatkan informasi yang kompleks antara berbagai proses
mental, seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka berpikir merupakan sebuah proses dan
aktivitas sehingga individu atau siswa bersifat aktif.

Tujuan dari berpikir merupakan suatu proses yang penting dalam pendidikan, belajar, dan
pembelajaran. Proses berpikir pada siswa merupakan wujud keseriusannya dalam belajar.
Berpikir membantu siswa untuk menghadapi persoalan atau masalah dalam proses
pembelajaran, ujian, dan kegiatan pendidikan lain seperti eksperimen, observasi, dan praktik
lapangan lainnya. Proses berpikir dalam pelaksanaan belajar mengajar para siswa bertujuan
untuk membangun dan membentuk kebiasaan siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi dengan baik, benar, efektif dan efisien. Menurut Imam (2003) Tujuan akhirnya
adalah berharap siswa akan menggunakan keterampilan-keterampilan berpikirnya untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat

Dengan demikian, berpikir merupakan suatu istilah yang digunakan dalam


menggambarkan aktivitas mental, baik yang berupa tindakan yang disadari maupun tidak
disadari dalam kejadian sehari-hari. Namun dalam prosesnya, memerlukan perhatian
langsung untuk bertindak ke arah lebih sadar, secara sengaja dan refleksi atau membawa ke
aspek-aspek tertentu atas dasar pengalaman. Berpikir secara umum dilandasi oleh asumsi
aktivitas mental atau intelektual yang melibatkan kesadaran dan subjektivitas individu.

2. Pengertian Berpikir Reflektif


Krulik menyatakan bahwa berpikir dapat dibagi menjadi empat kategori, seperti
ditinjukkan pada gambar di bawah ini.

King berpendapat bahwa “Higher order thinking skill include critical, logical, reflective
thingking, metacognitive, and creative thinking”. Yang termasuk dalam kemampuan berpikir
tingkat tinggi adalah kritis, logis, berpikir reflektif, metakognitif, dan berpikir kreatif. Salah
satu keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah berpikir reflektif. Lauren Resnick
mendefinisikan berfikir tingkat tinggi sebagai berikut:

a. Berfikir tingkat tinggi bersifat non-algoritmik. Artinya, urutan tindakan itu tidak dapat
sepenuhnya ditetapkan terlebih dahulu.
b. Berpikir tingkat tinggi cenderung kompleks. Urutan atau langkah-langkah keseluruhan
itu tidak dapat “dilihat” hanya dari satu sisi pandangan tertentu.
c. Berpikir tingkat tinggi sering menghasilkan multisolusi, setiap solusi memiliki
kekurangan dan kelebihan.
d. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pertimbangan yang seksama dan interpretasi.
e. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penerapan multikriteria, sehingga kadang-kadang
terjadi konflik kriteria yang satu dengan yang lain.
f. Berpikir tingkat tinggi sering melibatkan ketidakpastian. Tidak semua hal yang
berhubungan dengan tugas yang sedang ditangani dapat dipahami sepenuhnya.
g. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pengaturan diri dalam proses berpikir. Seorang
individu tidak dapat dipandang berpikir tingkat tinggi apabila ada orang lain yang
membantu di setiap tahap.
h. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penggalian makna, dan penemuan pola dalam
ketidakberaturan.
i. Berpikir tingkat tinggi merupakan upaya sekuat tenaga dan kerja keras.Berpikir tingkat
tinggi melibatkan kerja mental besar-besaran yang diperlukan dalam elaborasi dan
pemberian pertimbangan
Dewey mengemukakan suatu bagian dari metode penelitiannya yang dikenal dengan
berpikir reflektif (reflective thinking). Dewey berpendapat bahwa pendidikan merupakan
proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang (terutama anak-anak) diajak
ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Sedangkan tujuan dari pendidikan adalah memberikan
kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang melalui pengalaman dan
pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif.

Selanjutnya Dewey, definisi mengenai berpikir reflektif adalah: “active, persistent, and
careful consideration of any belief or supposed from of knowledge in the light of the grounds
that support it and the conclusion to which it tends”. Jadi, berpikir reflektif adalah aktif, terus
menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang
dipercaya kebenarannya atau format tentang pengetahuan dengan alasan yang
mendukungnya dan menuju pada suatu kesimpulan.

Sezer menyatakan bahwa berpikir reflektif merupakan kesadaran tentang apa yang
diketahui dan apa yang dibutuhkan. Dalam hal ini diperlukan untuk menjembatani
kesenjangan situasi belajar. Sedangkan menurut Gurol definisi dari berpikir reflektif adalah
proses terarah dan tepat dimana individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi,
mendapatkan makna mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang tepat

Dewey juga mengemukakan kembali bahwa berpikir reflektif adalah suatu proses mental
tertentu yang memfokuskan dan mengendalikan pola pikiran, ia juga menjelaskan bahwa
dalam hal proses yang dilakukan tidak hanya berupa urutan dari gagasan-gagasan, tetapi
suatu proses sedemikian sehingga masing-masing ide mengacu pada ide terdahulu untuk
menentukan langkah berikutnya. Dengan demikian, semua langkah yang berurutan saling
terhubung dan saling mendukung satu sama lain, untuk menuju suatu perubahan yang
berkelanjutan yang bersifat umum. Berpikir reflektif sebagai mata rantai pemikiran
intelektual, melalui penyelidikan untuk menyimpulkan.

Kesimpulan peneliti mengenai pengertian berpikir reflektif dari beberapa pendapat ahli di
atas adalah siswa harus aktif dan hati-hati dalam memahami permasalahan, mengaitkan
permasalahan dengan pengetahuan yang pernah diperolehnya dan mempertimbangkan dengan
seksama dalam menyelesaikan permasalahannya.

3. Karakteristik Berpikir Reflektif


Boody, Hamilton dan Schon menjelaskan tentang karakteristik dari dari berpikir reflektif
sebagai berikut:

a. Refleksi sebagai analisis retrospektif atau mengingat kembali (kemampuan untuk


menilai diri sendiri). Dimana pendekatan ini siswa maupun guru merefleksikan
pemikirannya untuk menggabungkan dari pengalaman sebelumnya dan bagaimana
dari pengalaman tersebut berpengaruh dalam prakteknya.

b. Refleksi sebagai proses pemecahan masalah (kesadaran tentang bagaimana seseorang


belajar). Diperlukannya mengambil langkah-langkah untuk menganalisis dan
menjelaskan masalah sebelum mengambil tindakan.

c. Refleksi kritis pada diri (mengembangkan perbaikan diri secara terus menerus).
Refleksi kritis dapat dianggap sebagai proses analisis, mempertimbangkan kembali
dan mempertanyakan pengalaman dalam konteks yang luas dari suatu permasalahan.

d. Refleksi pada keyakinan dan keberhasilan diri. Keyakinan lebih efektif dibandingkan
dengan pengetahuan dalam mempengaruhi seseorang pada saat menyelesaikan tugas
maupun masalah. Selain itu, keberhasilan merupakan peran yang sangat penting dalam
menentukan praktik dari kemampuan berpikir reflektif.

Len dan Kember mengungkapkan berdasarkan Mezirow’s theorical framework bahwa berpikir
reflektif dapat digolongkan ke dalam 4 tahap yaitu :

1. Habitual Action (Tindakan Biasa) atau tindakan biasa merupakan kegiatan yang
dilakukan dengan sedikit pemikiran yang sengaja.
2. Understanding (Pemahaman) yang dimaksud dengan pemahaman di sini adalah siswa
belajar memahami situasi yang terjadi tanpa menghubungkannya dengan situasi lain.
3. Reflection (Refleksi) yaitu aktif, terus-menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan
seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya yang berkisar pada
kesadaran siswa.
4. Critical Thinking (Berpikir Kritis) merupakan tingkatan tertinggi dari proses berpikir
reflektif yang melibatkan siswa, dengan mengetahui secara mendalam alasan seseorang
untuk merasakan berbagai hal. Pada tahap ini siswa mampu memutuskan dan
memecahkan penyelesaian.
B. Memecahkan Masalah Matematika
1. Pemecahan Masalah
Masalah merupakan suatu hal yag harus dipecahkan. Masalah merupakan suatu
situasi atau sejenisnya yang dihadapi seseorng atau kelompok yang menghendaki
keputusan dan mencari jalan untuk mendapat pemecahan. Mayer mendifinisikan
pemecahan masalah sebagai suatu proses banyak langkah untuk menemukan hubungan
antara pengalaman yang pernah didapatkannya dengan masalah yang dihadapinya
sekarang kemudian bertindak untuk menyelesaikannya.
Dalam suatu masalah biasanya ada situasi yang mendorong seseorang untuk
menyelesaikannya, akan tetapi tidak tahu dalam menyelesaikannya dapat dikerjakan
secara langsung atau tidak. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang anak dan anak
tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai masalah Sehingga pemecahan masalah dapat didefinisikan
sebagai proses mencari pemecahan terhadap masalah yang menantang dan belum atau
tidak serta merta pemecahannya diperoleh yang melibatkan proses berpikir dan
penalaran.
Menurut peneliti pemecahan masalah adalah menyelesaikan suatu persoalan
dengan sungguh-sungguh dengan cara yang diyakini berdasarkan pengetahuan yang
diperolehnya.

2. Pemecahan Masalah Matematika


Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat
penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa
dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan
yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin.
Pemecahan masalah dapat dianggap sebagai metode pembelajaran dimana siswa berlatih
memecahkan persoalan. Persoalan tersebut dapat datang dari guru maupun suatu
fenomena atau persoalan sehari-hari yang dijumpai siswa. Pemecahan masalah mengacu
pada fungsi otak anak, mengembangkan daya pikir secara kreatif untuk mengenali
masalah dan mencari alternatif pemecahannya.
Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-
metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti. Tujuannya ialah
untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah
secara rasional, lugas, dan tuntas. Sehingga kemampuan siswa dalam menguasai konsep-
konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi serta insight (tilikan akal) sangat diperlukan.
Dalam hal ini, hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana belajar pemecahkan
masalah. Untuk keperluan ini, guru (khususnya yang mengajar eksakta, seperti
matematika dan IPA) sangat dianjurkan menggunakan model dan strategi mengajar yang
berorientasi pada cara pemecahan masalah.
Dalam pembelajaran matematika, permasalahan matematika sering diartikan
sebagai suatu pertanyaan atau soal yang memerlukan solusi atau jawaban. Dimana yang
dimaksudkan suatu pertanyaan atau soal yang memerlukan solusi atau jawaban adalah
yang memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Pertanyaan yang dihadapkan kepada siswa haruslah dapat dimengerti, namun
pertanyaan tersebut harus merupakan tantangan bagi siswa untuk
menjawabnya.
2. Pertanyaan tersebut tak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah
diketahui siswa.
Jadi suatu pertanyaan atau soal yang diajukan kepada siswa merupakan masalah
baginya, jika pertanyaan atau soal itu tidak dapat diselesaikan oleh siswa secara langsung
sesuai dengan prosedur rutin. Namun, apabila rangsangan dan tantangan itu tidak
diterima oleh siswa, maka pertanyaan itu bukan menjadi masalah baginya. Oleh karena
itu, pemecahan masalah didefinisikan sebagai proses mencari pemecahan terhadap
masalah yang menantang, yang belum atau tidak serta merta pemecahannya diperoleh,
dan melibatkan proses berpikir dan penalaran dalam memperoleh pemecahannya.
Disadari atau tidak, setiap hari kita harus menyelesaikan berbagai masalah yang
ada. Dalam penyelesaian suatu masalah, seringkali dihadapkan pada suatu hal yang pelik
dan terkadang pemecahannya tidak dapat diperoleh dengan segera. Tidak bisa
dipungkiri bahwa masalah yang biasa dihadapi sehari-hari tidak selamanya bersifat
matematis. Dengan demikian, tugas utama dari guru adalah untuk membantu siswa
menyelesaikan berbagai masalah dengan spektrum yang luas yakni membantu mereka
untuk dapat memahami makna kata-kata atau istilah yang muncul dalam suatu masalah.
Memperoleh kemampuan dalam pemecahan masalah, seseorang harus memiliki
banyak pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah. Dari berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak yang diberi banyak latihan pemecahan masalah memiliki nilai
lebih tinggi dalam tes pemecahan masalah dibandingkan anak yang latihannya lebih
sedikit. Pentingnya pemecahan masalah ditegaskan dalam National Council of Teacher
Matematics yang menetapkan bahwa terdapat 5 standar proses yang perlu dimiliki siswa
dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) Pemecahan masalah (Problem Solving), (b)
Penalaran dan pembuktian (Reasoning and Proff), (c) Komunikasi (Communication), (d)
Koneksi (Connection), dan (e) Representasi (Representation).
Menurut beberapa ahli, pemecahan masalah dianggap sebagai aktivitas dan tujuan
yang penting dalam pembelajaran matematika, namun pemecahan masalah masih diakui
sebagai tugas yang sulit, hal ini didukung oleh pernyataan Suryadi. Tentu saja diperlukan
suatu pembelajaran secara khusus dan latihan yang secara mendalam, mengenai hal
tersebut baik oleh siswa maupun oleh seorang guru harus mempelajarinya secara
mendalam mengenai pemecahan masalah matematika. Meskipun dalam pembelajaran
dan latihan tersebut terdapat kesulitan maupun faktor lain yang menjadi penghabat
seorang siswa untuk melatih diri dalam memecahkan permasalahan terutama dalam
pembelajaran matematika.
Menurut Polya, metode dalam pemecahan masalah memuat empat langkah dalam
penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan
masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah
yang telah dikerjakan.
a. Pada fase pertama, siswa akan mampu menyelesaikan masalah jika siswa
tersebut telah mampu memahami masalah. Meminta siswa mengulangi
pertanyaan dan siswa seharusnya menjawab dengan tepat, menjelaskan bagian
terpenting dari pertanyaan tersebut meliputi: apa yang ditanyakan, apa yang
diketahui dan bagaimana hubungan antara yang diketahui dengan yang
ditanyakan.
b. Selanjutnya siswa harus mampu menyusun rencana dalam penyelesaian
masalah. Kemampuan pada fase kedua ini sangat tergantung pada
pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Tentu didukung dengan
aktifnya siswa dalam mencari informasi dan membaca buku yang relevan.
Serta ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana
penyelesaian suatu masalah. Peneliti dapat meminta siswa untuk
memperhatikan masalah yang ditanyakan, dan meminta siswa untuk
menjelaskan apakah soal yang diberikan pernah mereka jumpai sebelumnya
dengan soal yang hampir sama atau mirip.
c. Kemudian dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang
dianggap paling tepat. Peneliti dapat memberikan pertanyaan kepada siswa
tentang setiap langkah dalam pengerjaannya apakah sudah tepat atau belum.
d. Dan langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah melakukan
pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari fase pertama sampai fase
penyelesaian ketiga, sehingga kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi
kembali. Dengan itu siswa dapat menguatkan pengetahuannya dan
mengembangkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Siswa
harus mempunyai alasan yang tepat dan yakin akan jawabannya. Kesalahan
mungkin saja terjadi sehingga diperlukannya pemeriksaan kembali. Sehingga
peneliti menanyakannya kepada siswa untuk mengecek kembali hasil dan
argumennya.
Tingkat kesulitan soal pemecahan masalah harus disesuaikan dengan tingkat
kemampuan anak. Berdasarkan hasil penelitian Driscoll, pada anak usia sekolah dasar
erat sekali hubungannya dengan kemampuan pemecahan masalah, sehingga perlu
memperhatikan tingkat kesulitan dan tingkat kemampuan anak. Sedangkan pada anak
yang lebih dewasa, misalkan untuk siswa sekolah menengah kaitan antar kedua hal
tersebut sangat kecil.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif

deskriptif. Pendekatan ini dipilih karena peneliti berusaha mengungkapkan secara mendalam

tentang berpikir reflektif siswa dalam memecahkan masalah. Selain itu pendekatan ini

dipilih karena penelitian ini memenuhi karakteristik penelitian kualitatif sebagaimana

dikemukakan oleh Moleong (1995) yaitu (1) mempunyai latar alamiah atau kondisi objek

penelitian alamiah, (2) peneliti sebagai instrumen utama, (3) analisis data secara induktif, (4)

teori dari dasar (grounded theory), (5) kaya akan data yang bersifat deskriptif, (6) lebih

mementingkan “proses” daripada hasil, (7) adanya batasan permasalahan yang ditentukan
oleh fokus penelitian, (8) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, (9) desain penelitian

yang bersifat sementara, dan (10) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.

Pada penelitian ini peneliti ingin memaparkan suatu kasus maupun kejadian yang

sistematis sehingga subjek penelitian menjadi lebih jelas. Tujuannya adalah mendeskripsikan

kemampuan berpikir reflektif siswa dalam memecahkan masalah garis singggung lingkaran.

Sesuai dengan tujuan tersebut, melalui pendekatan kualitatif peneliti ingin mengungkapkan

fakta secara lisan maupun tulisan dari berbagai sumber data yang didapatkan dari partisipan

yang akan diuraikan dengan jelas dan seringkas mungkin sehingga benar-benar menjawab

permasalahan pada penelitian ini. Hal ini sejalan dengan tujuan penelitian dan jenis

penelitian yang telah dipilih.

B. Kehadiran Peneliti
Sesuai dengan pendekatan dan jenis penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya,

maka kehadiran peneliti di lapangan akan sangat diutamakan karena peneliti bertindak

sebagai instrumen dan sekaligus sebagagai pengumpul data. Kehadiran peneliti di lokasi

penelitian akan dilakukan secara terbuka. Secara terbuka maksudnya adalah bahwa status,

tujuan, dan kegiatan peneliti diketahui oleh kepala sekolah, semua guru, dan siswa – siswi

SMA 10 Padang.
C. Lokasi dan Subyek Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA 10 Padang. Pemilihan lokasi ini

berdasarkan pengalaman peneliti yang memliki saudara yang sedang menempuh

pembelajaran di SMA 10 Padang. Sebagai subjek penelitian diambil sebanyak 6 orang siswa

yaitu siswa yang telah mendapatkan materi, subjek penelitian ditetapkan dengan rincian 2

siswa tinggi, sedang , rendah. Penetapan kategori kemampuan matematika siswa akan
didasarkan pada skor hasil uji pendahuluan dan juga mempertimbangkan kemungkinan

kelancaran komunikasi siswa dalam mengemukakan gagasan berdasarkan masukan guru

pengajar.
D. Data dan Sumber Data
Menurut Lofland sumber data utama (data primer) dalam penelitian dengan

pendekatan kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan (data

sekunder) seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan penelitian ini, akan dijelaskan

mengenai sumber data sebagai tanda bukti terhadap penelitian yang dilakukan

1. Data
Data yang sebenarnya terjadi sebagaimana adanya, bukan data yang sekedar

terlihat dan terucap, tetapi data yang mengandung makna di balik yang terlihat dan

terucap. Data dalam penelitian ini berasal dari hasil pengamatan (observasi), hasil tes,

wawancara yang diolah sedemikian sehingga dapat diketahui mengenai kemampuan

siswa dalam berpikir reflektif dalam memecahkan masalah matematika materi. Sehingga

dari penelitian tersebut, data yang terkumpul berupa:


a. Jawaban tertulis dari siswa dalam bentuk penyelesaian soal-soal materi garis

singgung lingkaran.
b. Pernyataan siswa dalam bentuk lisan dari hasil wawancara secara mendalam.
c. Hasil pengamatan (observasi) terhadap siswa selama penelitian berlangsung,

meliputi: proses belajar mengajar, aktivitas siswa dalam belajar, sampai

pelaksanaan tes tertulis.


2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.

Sumber data terbagi atas dua yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber primer

adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data seperti

hasil observasi, hasil tes, hasil wawancara guru dan siswa, beck up hasil wawancara,

transkip wawancara, dan foto kegiatan. Sedangkan sumber sekunder merupakan sumber
data yang tidak secara langsung memberikan data kepada peneliti, seperti dokumen

identitas sekolah, biodata siswa yang akan diteliti, nama-nama yang memvalidasi

instrumen, dan lain-lain. Adapun yang akan menjadi sumber data dalam penelitian ini

adalah siswa kelas XI SMA 10 Padang


E. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan prosedur sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi akan dilakukan untuk mengetahui kegiatan siswa, yang akan

memperoleh gambaran siswa tentang kemampuannya dalam menyelesaikan masalah

matematika bentuk cerita.


2. Metode Tes
Metode Tes akan digunakan untuk mengetahui kesalahan dalam menyelesaikan

soal cerita siswa SMA 10 Padang. Menurut Sumadi Suryoboto yang dikutip oleh

Sugihartono (2006) mengemukakan tes adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus

dijawab dan perintah-perintah yang harus dijalankan, didasarkan atas jawaban peserta tes

terhadap pertanyaan-pertanyaan atau melakukan perintah itu penyelidik mengambil

kesimpulan dengan cara membandingkan dengan standar atau peserta tes yang lain. Pada

penelitian ini tes yang akan digunakan berbentuk tes essay (uraian). Tes essay dipilih

karena dalam menjawab soal matematika siswa dituntut untuk menyusun jawaban secara

terurai. Jawaban tersebut tidak cukup hanya dengan satu atau dua kata saja, tetapi

memerlukan uraian yang lengkap dan jelas. Selain harus menguasai materi yang dujikan,

siswa akan dituntut untuk bisa mengungkapkan dalam kalimat matematika dengan baik.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh E.T Ruseffendi (1992: 337) salah satu kelebihan tes

berbentuk essay yaitu dalam menjawab soal, siswa dituntut untuk menjawab secara rinci

sehingga dalam proses berpikir, ketelitian, sistematika penyusunan dapat dievaluasi.

3. Wawancara
Kegiatan wawancara dalam penelitian ini akan direkam dengan menggunakan

tape recorder ataupun alat perekam lainnya. Hal ini dilakukan agar terjamin kesahihan

datanya. Teknik wawancara ini akan digunakan untuk menggali informasi dari siswa

yang menjadi subjek penelitian tentang pemahaman mereka yang spesifik dan mendalam

dalam menyelesaikan masalah matematika. Wawancara akan dilakukan setelah

dilakukan tes. Pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara ini tidak dibuat secara

terstruktur. Dengan kata lain pertanyaan-pertanyaan itu sangat tergantung pada hasil

pekerjaan siswa dalam menyelesaikan masalah bentuk cerita.


4. Dokumentasi

Dokumentasi dalam penelitian ini akan berupa gambar/ foto hasil penyelesaian

soal cerita siswa selama observasi maupun pada saat dilakukan tes.

F. Analisis Data
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan

kualitatif, maka teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

kualitatif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992: 16) meliputi: (1) reduksi

data adalah proses pemilihan hal – hal pokok, penyederhanaan, dan memfokuskan pada hal-

hal yang penting. Dalam hal ini peneliti mencatat hasil wawancara serta mengumpulkan data

tes dan dokumentasi dari informan yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam

menyelesaikan soal, (2) penyajian data berupa informasi dalam bentuk teks naratif yang

disusun, diringkas, dan diatur agar mudah dipahami dan merencanakan kerja penelitian

selanjutnya. Peneliti menyusun data yang relevan sehingga menjadi informasi yang dapat

disimpulkan dan memiliki makna tertentu, (3) penarikan kesimpulan adalah tahap analisis

data yang telah disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mengetahui persentase kesalahan-
kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika bentuk cerita

maka digunakan rumus sebagai berikut :


P=
∑ s ×100
∑ s+ ∑ b
Keterangan:

P : Persentase kesalahan yang dicari

∑s : Jumlah soal yang dijawab salah dari total semua soal

∑b : Jumlah soal yang dijawab benar dari total semua soal

G. Pengecekan Keabsahan Data


Uji keabsahan data dalam penelitian ini melalui uji validitas dan reliabilitas. Soal tes

diujicobakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas yang nantinya akan menentukan

layak atau tidaknya soal tersebut digunakan dalam pengambilan data penelitian. Untuk

menguji validitas item soal digunakan rumus korelasi produk momen ( r xy ¿ . Setelah

diperoleh r xy kemudian dikonsultasikan dengan r tabel produk momen. Apabila

r xy > r tabel maka dikatakan butir soal tersebut valid.


Suatu instrumen disebut reliabel apabila hasil pengukuran dengan alat tersebut adalah

sama atau hampir sama. Untuk mencari reabilitas soal keseluruhan perlu dilakukan analisis

tiap butir soal dengan menggunakan rumus Alpha ( r 10 ). Untuk menentukan reliabilitas

soal tes maka harga r 10 yang diperoleh dari rumus Alpha diinterpretasikan dengan indek

korelasi yaitu :
0 ≤ r 10 <20 = Sangat rendah
20 ≤ r 10< 40 = Rendah
40 ≤ r 10 <60 = Sedang
60 ≤ r 10< 80 = Tinggi
80 ≤ r 10 <100 = Sangat tinggi
DAFTAR RUJUKAN

Anderson, J. dan Bobis, J. (2005). In Chick, H. L. & Vincent, J. L. (Eds.). Reform Oriented
Teaching Practices: A Survey Of Primary School Teachers: Proceedings of the 29th
Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol.
2, pp. 65-72. Melbourne: Australia.

Choy, S. Chee dan Pou San Oo. 2012.Reflective Thinking and Teaching Practice. Malaysia
International Journal of Instruction Vol. 5, No.1.

Dewey, J. (1933). How we think: A restatement of the Relation of Reflective Thinking to the
Educative Process. Boston: Houghton Mifflin.

Imam, Muhammad, dan Novan Ardy Wiyani.2013.Psikologi Pendidikan.Jogjakarta: Ar-Ruzz


Media.

Kurniawati, Lia.2011.Developing Mathematical Reflektif Thing Skills Through Problem Based


Learning (Jurnal).Yogyakarta: Departement of Mathematics Education Yogyakarta State
University.

Mason,J. (2002). Researching your own Practice; The discipline of Noticing. Routlege Falmer,
New York.

Maskur, Moch. dan Abdul Halim Fathani.2007.Mathematical Intelligence.Jogjakarta: Ar-Ruzz


Media.

Miles dan Huberman. 1992. Analisis data Kualitatif. Jakarta : UI press.


Moleong, Lexy. (1995). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards for school
mathematics. Reston, VA: Author

Nindiasari, H., Kusumah, Y., Sumarmo, U., & Sabandar, J. (2014). Pendekatan Metakognitif
Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis Siswa SMA. Jurnal Ilmu
Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 1, 80-90.

Noer, S.H. 2008. Problem-Based Learning dan Kemampuan Berpikir Reflektif dalaPembelajaran
Matematika. In Prociding Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika. Yogyakarta.

PISA. (2005). The Definition and Selection of Key Competencies: Executive Summary. [online]
Tersedia di: www.oecd.org/pisa/35070367.pdf . Diakses tanggal 9 Maret 2015.
Phan, H. P.2008.Achievment Goals, The Classroom Environtment, and Reflective Thinking: A
Conceptual Framework. dalam Electronic Jurnal of Reserch in Education Psychology, Vol 6
No. 3.

Polya, G. (1975). How to Solve it. Princeton.New Jersey.

Rudd, R. D. (2007). Defining Critical Thinking. Techniques, 82(7), 46-49.

Sezer, R. (2008). Integration of Critical Thinking Skills into Elementary School Teacher
Education Courses in Mathematics. Education, 128(3), 349-362.

Skemp, R, 1982. The Psychology of Learning Mathematics.USA. Peguin Books.

Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU
serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan
Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun Ketiga. UPI Bandung

Wijaya, Cece.2010.Pendidikan Remidial.Bandung: Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai