Kelompo 9 Type 1 Theories and Type 2 Theories From Behaviorism To Constructivism
Kelompo 9 Type 1 Theories and Type 2 Theories From Behaviorism To Constructivism
Disusun oleh
Yuni Ashari Rachmawati (21070785010)
Jayanti Munthahana (21070785011)
Noeri Itsnaniyah (21070785015)
G. TEACHING EXPERIMENTS
Teori Klasik Piaget banyak mempertimbangkan fungsi pengajaran. Dalam konteks
Pendidikan, bagaimanapun hubungan antara pengajaran dan pembelajaran seiring dengan sifat
dan kualitas pembelajaran merupakan salah satu bidang utama yang menjadi perhatian.
Sehingga tidak mengherankan bahwa beberapa peneliti mendasarkan penyelidikannya pada
metodologi pengajaran eksperimen, diantaranya adalah kaum konstruktivis.
Tingkatan 6 prinsip konstruktivisme diberikan oleh Steffe, Richards, dan von
Glassersfeldst (1979).
Pengetahuan dipandang sebagai keterkaitan dengan invarians dalam pengalaman organisme
hidup daripada kesatuan, struktur, dan peristiwa di dunia yang ada secara independent. Operasi
mental adalah bagian dari struktur total dan struktur yang terlihat dalam organisasi operasi.
Perbedaan latar perilaku dari seorang anak dapat diinterpretasikan sebagai kemunculan struktur
kognitif yang sama. Struktur lingkungan belajar harus dipertimbangkan dalam 2 kerangka
acuan. Di satu sisi adalah sistem operasional yang mengendalikan pengalaman anak dan sisi
lain ada konten yang harus dipelajari. Konsep, struktur, keterampilan, atau apapun yang
dianggap ‘pengetahuan’ tidak dapat disampaikan secara instan dari guru ke siswa atau dari
pengirim ke penerima. Mereka harus dibangun, bagian demi bagian, selain elemen yang harus
ada pada subjek.
Ketika pertama kali membaca makalah darimana kutipan ini dikutip, saya menemukan
diri saya dalam posisi karakter Moliere dalam Le Bourgois Gentilhomme, seseorang yang
berbicara prosa sepanjang hidupnya tanpa menyadarinya. Dalam kasus saya sendiri, saya telah
menjadi seorang konstruktivis sejak awal tahun 1960 (Skemp, 1962). Meskipun saya belum
menemukan istilah konstruktivis sampai pertengahan tahun 1970 (Skemp, 1985).
Metodologi ini dapat dianggap sebagai perluasan dari wawancara diagnostic, dimana
tujuannya adalah untuk membuat dan menguji hipotesis tidak hanya tentang sifat pemikiran
anak pada waktu tertentu, tetapi juga tentang bagaimana pemikiran tersebut berkembang dari
tahap satu ke tahap lainnya. Hal tersebut diringkas oleh Steffe (1977) sebagai berikut:
1. Pengajaran harian kelompok kecil untuk anak-anak oleh para peneliti
2. Pengamatan intensif anak-anak secara individu saat mereka terlibat dalam perilaku
matematika
3. Memperlama keterlibatan dengan anak yang sama selama periode dimulai dari sekitar
6 minggu hingga tahun akademik baru.
4. Wawancara diagnostik dengan anak
5. Catatan rinci pengamatan melalui tape recorder dan karya tulis anak
Hal di atas sangat sesuai dengan mode saat ini. Penekanan utama berikutnya adalah apa
yang dapat kita pelajari dengan pemahaman bergantung pada skema yang tersedia saat ini.
Skema tersebut tidak dapat diamati secara langsung pada anak-anak atau pembelajaran lainnya,
mereka harus menjadikan kesimpulan dari respon mereka sendiri (mendeskripsikan secara
individu). Jenis tanggapan yang kita perlukan untuk tujuan ini mencakup: membedakan antara
apa yang telah dipelajari dengan pemahaman dan apa yang baru saja dihafal sebagai aturan
bukan tanggapan tertulis terhadap pertanyaan standar, tetapi jenis yang diperoleh dalam situasi
diagnostic. Jadi, kombinasi pengajaran dengan wawancara diagnostic menawarkan peluang
untuk kesimpulan, baik tentang keadaan skema anak-anak pada berbagai tahap
pembelajarannya dan tentang proses kemajuan dari satu tahap ke tahap lainnya. Pemikiran ini
masuk akal dalam kaitannya dengan Pendidikan. Seperti halnya dengan bidang ilmu
pengetahuan alam bidang utamanya adalah membuktikan apa yang dapat membantu mereka
untuk mencapai dalam dunia fisik. Jadi, bidang utama teori tipe 2 harus menunjukkan nilainya
adalah Pendidikan. Untuk ini, penelitian berdasarkan pengajaran eksperimen dimulai dengan
baik.
Pengalaman saya sendiri di bidang ini menujukkan bahwa dari pendekatan yang sangat
mirip dengan yang dijelaskan oleh Steffe, tetapi kurang intensif, banyak nilai yang masih bisa
dipelajari. Dari tahun 1980 sampai 1985 seorang kolega dan saya bekerja selama satu pagi
dalam seminggu di sekolah dengan anak-anak berusia 5-11 tahun. Tujuan utama kami adalah
pengujian lapangan dan revisi jika diperlukan, metode dan bahan pengajaran berdasarkan teori
yang dijelaskan dalam buku ini. Posisi yang diambil adalah meskipun selalu ada lebih banyak
yang perlu diketahui tentang bagaimana anak-anak belajar matematika, telah tiba waktunya
sekarang kapan akan lebih memberikan manfaat bagi anak-anak yaitu mengartikan teori
menjadi praktik kelas daripada berupaya untuk mengulas teori lebih jauh. Hal ini masih
merupakan pengajaran eksperimen, walaupun tujuannya adalah salah satu pengujian dan
pengembangan kurikulum daripada mengkonstruksi teori dan saya menemukan pengalaman
yang memperjelas dan bermanfaat.
Situasi pengajaran terdiri dari 3 kategori utama: diskusi yang dipimpin oleh pe-
eksperimen, kegiatan anak-anak yang bekerjasama secara berpasangan atau kelompok kecil,
dan permainan matematika yang terdiri atas 2-6 pemain. Diskusi informal anak-anak satu sama
lain tentang apa yang mereka lakukan, dan juga penjelasan yang mereka berikan satu sama
lain, baik sebagai bantuan maupun pembenaran (Gerakan yang dibuat dalam permainan) sangat
bermanfaat. Hal terpenting juga adalah penggunaan materi yang terstruktur secara matematis.
Banyak yang dipelajari dari pengamatan semacam ini yang selanjutnya berdiskusi dengan guru
yang terlibat. Terkadang juga mengajukan pertanyaan kepada anak-anak, seperti “dapatkah
kamu menjelaskan bagaimana kamu mengetahui tentang …?”
Observasi I
Pe-eksperimen (Ainly, J. Komunikasi Personal, 1985) yang telah melakukannya dengan 3 anak
berusia 5 tahun. Dia bertanya kepada mereka jika mereka dapat menjelaskan apa sebenarnya 5
+ 4. Anak pertama menggunakan perhitungan. Dia telah menghitung 5 dari ini, lalu dia
menghitung 4 lagi dan akhirnya dia menghitung semuanya. Anak kedua menggunakan jarinya,
menggunakan metode menghitung langsung. Anak ketiga melihat ke langit-langit. Ketiga anak
memberikan jawaban yang sama yaitu 9. Rekan saya bertanya kepada anak ketiga: “aku bisa
melihat apa yang dilakukan orang lain, tapi aku tidka bisa melihat apa yang kamu lakukan.
Bisakah kamu memberitahu aku?” kemudian anak tersebut menjawab “5 dan 5 adalah 10”. 4
adalah kurang satunya dari 5, sehingga jawabannya juga kurang satunya dari 10 jadi, 9”.
Penjelasan. 2 anak pertama sama-sama pada tahap pembuatan skema, yaitu menggunakan
mode I (pengalaman fisik). Yang kedua memiliki model yang lebih baik daripada yang pertama
karena mengandalkan setidaknya kesadaran intuitif bahwa kumpulan pertama yang disatukan
adalah bagian dari kumpulan yang dihasilkan dari gabungan. Yang ketiga memiliki skema
relasional, darimana dia dapat memperkirakan sesuatu yang sudah dia ketahui (5 + 5 = 10)
untuk membangun hasil yang baru (5 + 4 = 9). Rantai kesimpulan bagus untuk anak berusia 5
tahun. Banyak pengamatan lain yang membuat saya memandang dengan kekaguman tingkat
pemikiran yang mampu dimiliki anak-anak jika kita membiarkan mereka mempertahankan
kemampuan alami mereka (Ginsberg, 1977).
Tindak lanjut yang menarik dari Observasi saya diberikan pengajaran eksperimen
selama beberapa bulan kemudian dengan anak-anak yang berbeda, dalam sekolah yang berbeda
pula.
Observasi II
Dalam aktivitas ini, saya perihatin dengan pengembangan ingatan yang lancar tentang fakta-
fakta tambahan. (terdapat perbedaan antara cara ini dengan belajar hafalan). Situasi disediakan
permainan untuk 2 orang. Satu pemain menyerahkan kartu yang di atasnya tertulis semua
pasangan penambahan nomor, dari 1 + 1 sampai 5 + 5. Pemain ini harus mengatakan hasilnya
jika dia bisa; disisi lain ada yang menggunakan penggaris, ada juga yang menggunakan
keduanya untuk memeriksa hasilnya jika ia ragu untuk mendapatkannya (hasilnya). (Penggaris
terbuat dari 2 lintasan nomor yang berdampingan. Hal tersebut merupakan perwujudan fisik
perhitungan). Guru harus memberikan saya 2 anak yang menggambarkan keterbelakangan
(lamban) berusia 7 tahun.
Anak dengan kartu yang telah diberikan, memiliki jawaban yang benar untuk 5 + 5; dan
juga dicoba untuk kartu selanjutnya adalah 4 + 5. Dia tidak tahu jawabannya. Bukannya
memberitahu, partnernya mengatakan “kamu tahu 5 + 5, ya kan? Kamu baru saja
mengatakannya. Jadi berapakah 4 + 5?”
Penjelasan. Tidak begitu keterbelakang, anak yang terakhir. Dia tidak hanya memiliki skema
relasional, tetapi dia punya pemahaman intuitif tentang perbedaan antara membantu seseorang
untuk membuat hasilnya sendiri dan hanya memberitahunya. Hampir, anak yang berusia 7
tahun menjadi konstruktivis. Ketika saya menghubungkan ini dengan guru mereka sesudahnya,
dia mengatakan “Oh iya. Dia dapat melakukan apapun yang dia mau. Tetapi hanya saja dia
tidak mencoba”. Saya menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa hal ini mungkin tergantung
pada apakah dia tertarik atau tidak.
Pada akhirnya, konstruksi teori dan pengembangan kurikulum harus seiring dengan
peningkatan profesionalisme guru itu sendiri. Hal tersebut juga mendorong untuk melaporkan
bahwa pengalaman bekerja sebagai guru selama beberapa tahun juga telah memberikan
pengembangan pendekatan Pendidikan berdasarkan pelayanan di sekolah yang memberikan
prospek yang baik. Dalam hal ini, guru mengembangkan pemahaman teoretis mereka sendiri
dalam kaitannya dengan pengalaman dan kebutuhan kelas mereka sendiri. Bekerja dengan
anak-anak mereka sendiri (murid) di kelas mereka sendiri pula (Skemp, 1983).
DAFTAR PUSTAKA