Anda di halaman 1dari 12

KECERDASAN INTUITIF DAN REFLEKTIF

TUGAS
PSIKOLOGI PENDIDIKAN MATEMATIKA

Dosen Pengampu:
Dr. Siti Khabibah, M.Pd

Disusun Oleh:
Nama NIM
Risky Dwi Yulanda 19070785001
Mia Saskia 19070785011

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA
2019
BAB V
KECERDASAN INTUITIF DAN REFLEKTIF

A. Pendahuluan
Ada sebuah anekdot tentang seorang profesor matematika yang sangat terkenal. Dia
menceritakan pengalamannya ketika menangani audien, kemudian menulis sebuah
pernyataan matematis di papan yang berbunyi: “Tentu, ini adalah jelas”. Melihat tulisan itu
lalu ia berkata lagi, “Paling tidak, saya pikir ini jelas”. Keraguannya semakin bertambah,
kemudian ia berkata “Maafkan saya” dan ia mengambil pensil dan kertas, kemudian keluar
dari ruang kelas sekitar 20 menit. Setelah kembali, dia berkata “Ya, saudara-saudara, ini
memang benar-benar jelas”.
Secara psikologis, yang menjadi daya tarik dari cerita ini adalah tidak adanya
ketepatan dan kemantapan antara pernyataan pertama yang dapat dipercaya dengan
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk berpikir. Setelah timbul keraguan, maka tidak akan
ada lagi kepercayaan yang didapat kembali oleh profesor tersebut. Pada pernyataan pertama,
dapat diartikan “Secara intuisi kami dapat menerima kebenaran dari pernyataan itu”. Pada
pernyataan kedua, diartikan bahwa melalui analisis logika, penerimaan secara intuisi pada
pernyataan pertama dibenarkan. Menjadi yakin akan sesuatu adalah satu hal; mengetahui
mengapa sesuatu itu yakin adalah hal lain.
Contoh lain yang serupa misalnya mengalikan 16 dengan 25. Maka akan timbul
pertanyaan. 1) Berapakah jawabannya? 2) Jelaskan bagaimana anda mengerjakannya!
Mungkin untuk menjawab pertanyaan pertama, kita dapat menjawab cepat, tetapi untuk
menjawab pertanyaan kedua, kita akan mengalihkan perhatian dari tugas pertama dan
melibatkan proses mental dalam memperoleh jawaban pertanyaan kedua.
Contoh lainnya yaitu penggunaan kata “is” pada dua kalimat berikut ini. “What I
am writing with is chalk” dan “Chalk is white”. Maka akan timbul pertanyaan 1) Tepatkah
penggunaan kata “is”? 2) Apakah artinya sama? Pertanyaan pertama dapat segera dijawab;
tetapi untuk menjawab pertanyaan kedua kita harus memikirkan penggunaan kata “is”
dalam setiap kalimat.
Pada ketiga contoh di atas, terdapat perbedaan antara dua model fungsi kecerdasan
yaitu intuitif dan reflektif.

B. Kecerdasan Intuitif dan Reflektif


Intuitif dapat diartikan berdasarkan bisikan hati atau bersifat intuisi, yaitu daya
atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari.
Reflektif dapat diartikan gerakan badan diluar kesadaran atau kemauan atau bersifat
refleks, yaitu gerakan otomatis dan tidak dirancang terhadap rangsangan dari luar yang
diberikan suatu organ atau bagian tubuh yang terkena. Pada tahap intuitif, kita menyadari
dari data reseptor kita (pengelihatan dan pendengaran) dari lingkungan eksternal, data ini
lalu secara otomatis diklasifikasi dan dihubungkan dengan data-data yang lain dengan
konsep struktural yang dijelaskan pada Bab 1 dan 2. Kita juga merespon dari lingkungan
eksternal dengan menggunakan otot-otot yang menempel pada tulang rangka kita,
contohnya yaitu menulis dan berbicara. Aktivitas ini secara luas terkendali dan diarahkan
melalui cara timbal-balik dari informasi berikutnya tentang hasil progressnya, beserta
melalui reseptor eksternal kita. Dalam banyak kasus, hal ini dapat secara keseluruhan
berhasil tanpa kesadaran tentang keterlibatan proses mental, contoh, ketika membaca
dengan keras, mengemudi kendaraan, atau menjawab pertanyaan 16 x 25?

LINGKUNGAN LUAR
RESEPTOR
AKTIVITAS MENTAL
INTERVENSI

EFEKTOR

Pada tingkat reflektif, intervensi-intervensi aktivitas mental ini menjadi objek


dari kesadaran introspeksi. Seorang siswa yang menumpang kendaraan bertanya kepada
kita “Mengapa kita harus mengubah gigi (gear) sebelum melewati tikungan tajam?”.
Seolah kita melakukan “tanpa berpikir” (hal itu dapat dikatakan tanpa refleksi), kita
tidak memiliki kesulitan dalam menjelaskan alasan kita. Atau, setelah menjawab dalam
sekejap “400” untuk pertanyaan “16x25”, kita mungkin akan bertanya “Bagaimana
kamu melakukan itu begitu cepat?” dan setelah menjelaskan metode kita (ada banyak
pilihan), kita mungkin juga akan diminta untuk membenarkan itu lebih dari pertanyaan
pencarian, melibatkan perkalian asosiatif.
Data penting yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak datang
dari lingkungan, tetapi dari sistem konseptual yang kita miliki. Hal ini dapat dilihat
pada diagram di bawah ini pada diagram di bawah yang berlabel ‘Intervensi Aktivitas
Mental’. Kita mengarahkan perhatian kita ke sumber data ini dengan mudah dan secara
terbiasa kita sering meremehkan kemampuan refleksi ini pada proses mental kita. Kita
tentu akan sering merasakan kejutan. Kesadaran kita akan dunia luar dapat terdeteksi
melalui panca indera, yaitu, mata, telinga dan sebagainya, dan urat syaraf. Namun tidak
ada susunan syaraf yang mampu merasakan sesuatu yang sama dengan ‘melihat’
bayangan atau ‘mendengar’ ucapan batin kita.
ALINGKUNGAN LUAR

RESEPTOR RESEPTOR
AKTIVITAS MENTAL
INTERVENSI

EFEKTOR
Bahkan, kemampuan ini sangat kurang berkembang pada anak-anak. Berikut ini
dua contoh dari karya Piaget (1928):
Weng (7 tahun): “Meja ini panjangnya 4 meter. Jika ada 3 meja. Berapa panjang
meja sekarang?” “12 meter” “Bagaimana cara menghitungnya?” “Saya menambahkan
2 dan 2 dan 2 dan 2 dan 2, dan 2” “Mengapa harus2?” “Agar tidak mengambil angka
yang lain”
Gath (7 tahun): “Kalian bertiga akan diberi 9 apel. Berapa banyak apel yang
akan kalian terima setiap anak?” “Tiga buah” “Bagaimana kamu menghitungnya?”
“Saya mencoba berpikir”
“Apa?” “Saya mencoba berpikir di kepala” “Apa yang dipikirkan di kepalamu?” “Saya
menghitung … saya mencoba hingga memperoleh 3”
Dengan mengetahui kemampuan anak untuk mengerjakan suatu hal, maka kita
dapat mengetahui bagaimana dia akan mengerjakan hal lain. Tetapi hal ini tergantung
dari perbedaan individu, dan penulis memperoleh jawaban dari seorang anak yang
berusia 6 tahun 10 bulan (mengenai pertanyaan panjang meja) yaitu “12 kaki”. “Bisakah
kamu menjelaskan cara memperolehnya?”. “Baik, saya memulai dari 3, 6, 9, 12”. Untuk
pertanyaan kedua (mengenai membagi apel) yaitu “Tiga”. “Bagaimana cara kamu
memperolehnya?”. “3+3+3 menjadi 9”. Kemudian secara spontan ia menambahkan,
“Cara cepatnya adalah 3 x 3 = 9”
Sekalinya kita dapat merefleksi pada skema kita dan bagaimana kita dapat
menggunakannya, langkah pernting berikutnya dapat kita raih. Kita dapat membuat
suatu skema baru dan membuat rencana baru. Seseorang anak mungkin tidak dapat
menyelesaikan 16 x 25 secara cepat, tetapi setelah diberi petunjuk bahwa 16 x 25 dapat
ditulis menjadi 4 x (4 x 25) = 4 x 100. Sehingga dengan cara yang sama, diharapkan
anak juga dapat menyelesaikan perkalian lain seperti 24 x 25 secara cepat, bahkan
menyelesaikan 25 x 25. Jika seorang anak dapat menyelesaikan semua itu, ini akan
menunjukkan bahwa anak tersebut telah mencapai skema sederhana dan tidak sekedar
jawaban atas pertanyaan tertentu.
Kita dapat mengganti skema lama dengan skema baru. Sebagai contoh: Penulis
menahan rem, sedangkan di sisi lain pembaca menginginkan trailer maju. Hal ini tidak
akan berhasil, oleh karena itu teman pengemudinya menyarankan pendekatan alternatif
yaitu jika pembaca hanya mendorongnya dengan tangan, maka akan mengalami
kesulitan menyetirnya. Kemudian bayangkan jika diri anda sendiri mendorong mobil
dengan menggunakan boat trailer yang digandengkan, maka mobil tersebut juga akan
maju dengan mudah. Substitusi skema ini ternyata berhasil.
Kita dapat membenarkan kesalahan dalam skema yang sudah ada. Ketika kita
berkata ‘saya tahu kalau saya salah,’ hal ini berakibat tidak hanya pada sebuah refleksi
pada metode yang kita punya tetapi juga pada penemuan bagian-bagian kecil yang
mengakibatkan kesalahan, yang biasanya diikuti dengan perubahan secara tersetruktur
pada suatu sistem. Hanya pada bagaimana kita dapat membuat perubahan-perubahan
dalam skema kita, secara utuh atau sebagian detail, masih belum diketahui. Sehingga
diagram masih perlu diberikan tambahan sebagai berikut:
LINGKUNGAN LUAR
RESEPTOR RESEPTOR
AKTIVITAS MENTAL

AKTIVITAS MENTAL
INTERVENSI
INTERVENSI

EFEKTOR EFEKTOR

Berikut ini contoh yang melibatkan aktifitas reflektif.


Seseorang ingin mengetahui bagaimana cara mengalikan dua pecahan desimal,
misalnya 1,2 dan 0,57. Maka kita dapat menerangkan bahwa titik desimal dapat
dihilangkan terlebih dahulu, kemudian mengalikan dengan cara biasa, dan langkah
terakhir menyisipkan kembali titik desimal dengan cara menghitung total banyaknya
angka dibelakang titik desimal dari dua angka tersebut. (12 x 57 = 684; 1,2 memiliki
satu angka di belakang koma, 0,57 memiliki dua angka di belakang koma-jumlah ada
tiga angka di belakang koma; tulis desimal di depan tiga angka-jawabannya adalah
0,684). Aturan ini memungkinkan anak mendapatkan jawaban benar, tetapi siswa tidak
mengetahui pengertian notasi desimal. Untuk menjelaskan metode, kita dapat
mengerjakan dengan cara:
12 57 684
1,2 × 0,57 = × = = 0,684
10 100 1000
Pangkat 10 pada penyebut = jumlah angka 0 di penyebut = jumlah angka setelah
tanda desimal. Perkalian penyebut sama dengan menambah angka 0, untuk menambah
angka di desimal.
Setelah menyelesaikan perkalian tersebut, kita dapat melangkah ke bagian
selanjutnya, tanpa disadari kita telah menggunakan metode komunikasi. Kemudian kita
dapat memutuskan metode yang lebih baik nantinya untuk mendemonstrasikan metode
yang utama, sebelum menunjukkan (atau meminta peserta didik untuk mencari) cara
cepatnya. Sehingga kita akan dapat mengkomunikasikan skema perkalian desimal.
Pencapaian lebih jauh dari aktifitas refleksi adalah pada generalisasi matematika.
Dalam proses mempelajari penggunaan perpangkatan, contohnya, kita dapat
membedakan dua tahap yang berbeda. Seteah mendefinisikan notasinya, dengan contoh
sebagai berikut:
𝑎2 = 𝑎 × 𝑎
𝑎3 = 𝑎 × 𝑎 × 𝑎
𝑎4 = 𝑎 × 𝑎 × 𝑎 × 𝑎, dst.
Hal ini dapat dilihat bahwa
𝑎2 × 𝑎3 = 𝑎 × 𝑎 × 𝑎×𝑎×𝑎
5
=𝑎
Dengan hal ini, secara intuitif siswa mampu membuat sebuah skema umum secara
langsung seperti:
𝑎5 × 𝑎7 = 𝑎12 , dst
Dengan menggunakan metode perkalian pecahan aljabar yang sudah mereka pahami,
mereka dapat juga membentuk sebuah skema pembagian, diturunkan dari contoh
seperti:
𝑎×𝑎 ×𝑎 ×𝑎 ×𝑎
𝑎5 × 𝑎2 = = 𝑎3
𝑎 ×𝑎
Dengan cara lain mereka dapat menulisnya dengan:
𝑎15 ÷ 𝑎6 = 𝑎9 , dst
Setelah membentuk kedua skema yang berkaitan tersebut, mereka dapat
memformulasikannya:
Dinyatakan dengan simbol di bawah.
𝑎𝑚 × 𝑎𝑛 = 𝑎𝑚+𝑛
𝑎𝑚 ÷ 𝑎𝑛 = 𝑎𝑚−𝑛
Dimana m dan n sebagai bilangan asli selain nol. Dan pada kasus pembagian,
nilai m harus lebih besar dari pada n. Formulasi ini terlepas dari metode-metode dari
beberapa contoh khusus dan membantu untuk menguji keyakinan mereka. Batasan
dimana nilai m dan n harus bilangan asli dan nilai m lebih besar dari n dianggap penting
menurut definisi awal 𝑎2 , 𝑎3 …, karena simbol seperti 𝑎0 , 𝑎−2 , 𝑎1/2, tidak berarti dalam
definisi ini. Tetapi metode-metode ini sekarang terpisah bagian per bagian dari metode
aslinya. Batasan yang awalnya terlihat benar dan tepat menjadi suatu hal yang perlu
dipertanyakan. Dalam kondisi apakah metode ini (1) dapat digunakan (2) berguna untuk
menghilangkan batasan tersebut?
Sebuah kriteria yang masuk akal dan beralasan untuk menjawab pertanyaan (1)
adalah metode baru seharusnya tidak memperlihatkan ketidak konsistenan dengan
metode yang sudah diketahui, dan untuk (2), dengan menghilangkan batasan aslinya,
penggunaan index dapat berguna dan bermakna bagi siswa.
Banyak pembaca akan familiar dengan index notasi berikut
𝑎0 diartikan sebagai 1
1
𝑎−2 diartikan sebagai 𝑎2
1
𝑎2 diartikan sebagai √𝑎
Dan seterusnya. Dengan makna ini dan yang sama dengan pangkat negatif dan
pecahan, batasan aslinya dapat dihilangkan. Dapat dikatakan notasi dan metode telah
digeneralisasikan.
Proses mental seperti apakah yang dilibatkan?

Metode

Contoh Contoh Contoh


Dari serangkaian contoh, metode umumnya dapat diturunkan dan dapat
diterapkan di contoh-contoh yang sejenis.

Metode

Contoh Contoh Contoh

Contoh Contoh

Metode ini selanjutnya diformulasikan secara eksplisit, dilihat sebagai entitas


dalam dirinya sendiri dan analisis strukturnya.
Struktur ini digunakan untuk menemukan cara menggunakan metode yang sama
dengan jenis contoh yang baru. Contoh asli dimasukkan dalam bidang yang luas.

Metode

Contoh Asli Contoh Baru

Proses generalisasi matematika yang dideskripsikan diatas adalah sebuah


aktifitas yang canggih dan powerful. Canggih, dikarenakan hal ini melibatkan refleksi
bentuk-bentuk metode yang disatu sisi mengabaikan kontennya. Powerful dikarenakan
hal ini memungkinkan kesadaran, kontrol dan rekontruksi akurasi dari skema yang
sudah ada, tidak hanya dalam merespon tuntutan untuk berasimilasi pada situasi baru
sebagaimana mereka ditemui, tapi karena permintaan sudah ada sebelumnya, mencari
atau membuat contoh-contoh baru untuk menyesuaikan konsep yang luas. Mencoba
menyelesaikan hal tersebut secara intuitif lebih banyak menimbulkan hit or miss dan
tidak akan terurut. Harus diterima bahwa langkah yang intuitif sering menjadi sumber
dari perumusan yang disengaja, menunjukkan arah yang mungkin belum diselidiki.
Namun, intuisi terkadang “lets one down”. Yaitu, ketika mengalami analisis kritis,
kelemahan yang ditemukan, tidak konsisten dengan ide yang diterima, yang
membenarkan asimilasi (dan mencoba) menjadi prinsip yang mustahil. Telah
disebutkan pada awal chapter pertama untuk berhati-hati terhadap penilaian intuitif
hingga telah diuji secara analitis.
Sebuah contoh yang banyak ditemui generalisasi matematika berturut adalah
bilangan. Secara historis dan untuk pelajar individu, menghitung bilangan asli terlebih
dahulu. Ini adalah sifat dari kumpulan diskrit (dan dapat dihitung) objek, dan metode
untuk penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian, yang dikembangkan
selama berabad-abad, yang dipelajari dalam dekade pertama atau oleh anak-anak dari
keturunan kita sendiri. Selanjutnya hal-hal lain yang dihadapi disebut 'pecahan', 'angka
negatif', dan aturan yang diberikan yang diduga menjadi cara yang benar untuk
menambah dan mengurangi, mengalikan dan membagi. Benar menurut kriteria apa?
Seringnya adalah guru yang memutuskan sebuah aturan yang dimiliki itu belum atau
harus diikuti. Dalam kasus tersebut, pemahaman akan hilang, dan tidak dapat kembali.
Yang lebih buruk, dimana 'masuk akal' tidak lagi menjadi kriteria pernyataan
matematika itu dinilai. Yang terburuk, pelajar lain telah yakin bahwa matematika
membosankan dan tidak penting - benar apa yang disajikan – tetapi salah dalam
matematika.
Bagaimana mungkin gagasan tentang bilangan umumnya berhasil melalui
tahapan angka-angka pecahan, bilangan bulat, bilangan rasional, dll.? Ringkasnya, kita
perlu merumuskan sifat formal dari sistem bilangan asli. Dengan sistem bilangan asli,
berarti himpunan bilangan asli dengan operasi-operasi penjumlahan dan perkalian,
dimana setiap dua anggota dari himpunan dapat dikombinasikan (satu cara atau lebih)
untuk mendapatkan anggota lain dari himpunan. Dengan sifat formal yang kita maksud
adalah sifat yang tidak bergantung pada contoh tertentu. Jadi 12 + 9 = 21 dan 12 x 9 =
108 bukan sifat formal, tetapi 12 + 9 = 9 + 12 dan 12 x 9 = 9 x 12 meskipun tidak
dinyatakan secara umum. Kelima sifat formal sistem bilangan asli adalah:
𝑎 + 𝑏 = 𝑏 + 𝑎
𝑎 × 𝑏 = 𝑏 × 𝑎
𝑎 + (𝑏 + 𝑐) = (𝑎 + 𝑏) + 𝑐
𝑎 × (𝑏 × 𝑐) = (𝑎 × 𝑏) × 𝑐
𝑎 × (𝑏 + 𝑐) = 𝑎 × 𝑏 + 𝑎 × 𝑐
di mana a, b, c adalah setiap bilangan asli. Sifat ini sering dianggap sebagai hal yang
sepele, padahal mereka adalah pondasi dasar dari semua manipulasi numerik. Sebagai
contoh, tanpa sifat pertama ukuran dari tagihan belanja kami akan bergantung pada
barang yang kami beli pertama dan tanpa ketiga, itu akan bergantung pada dua item
yang asisten tambahkan bersama pertama. Kelima sifat ini juga dengan bantuan notasi
indeks, dasar aljabar dasar.
Yang perlu diperhatikan dalam menghitung bilangan adalah ia memiliki
keterbatasan. Dengan adanya satuan dapat memperbesar kemungkinan pengukuran
obyek secara terus-menerus, tetapi ada angka yang tidak mengandung semua yang kita
butuhkan untuk ukuran yang kurang dari satuan. Bilangan baru yang sesuai dengan
bilangan yang rusak ini dimasukkan. Terlalu dini untuk menyebut bilangan, sebelum
kita mengeneralisasikan skema 'sistem bilangan', kita harus memenuhi dua persyaratan
konsistensi dan kegunaan.
Konsistensi berarti bahwa kita harus menemukan cara 'penjumlahan' dan
'perkalian' entitas baru yang memiliki lima sifat formal di atas. Kegunaan berarti bahwa
hasil manipulasi harus menghasilkan pengetahuan mengenai obyek material dari entitas
ini. Dan meskipun hal ini tidak penting, itu akan menjadi sangat membantu jika tanda-
tanda untuk entitas baru dapat dikembangkan dari tanda-tanda umum yang sudah
digunakan dan jika metode untuk 'penjumlahan' dan 'perkalian' dapat memanfaatkan
sejumlah besar penambahan dan perkalian hasil yang telah dipelajari. Semua
persyaratan ini, ketika layak maka memungkinkan perpaduan dari sistem angka baru
untuk skema yang telah ada dan mudah dipraktekkan.
Pembaca yang mengeksplorasi lebih lanjut akan belajar banyak tentang dasar-
dasar pemikiran matematis. Hal yang sama berlaku untuk pengembangan bilangan bulat
positif dan negatif, bilangan rasional dan bilangan real. Dalam hal ini lebih diutamakan
proses daripada hasil, dan terutama aktivitas pada refleksi sifat formal dari skema
bagian dari proses generalisasi matematika, dan yang merupakan salah satu kegiatan
yang paling canggih dari kecerdasan reflektif.
Fungsi kecerdasan reflektif sangat penting untuk kemajuan matematika ke
tingkat yang lebih tinggi, dan lebih penting lagi untuk mengetahui pada usia berapa
mulai muncul kecerdasan reflektif, dan bagaimana kita dapat membantu atau
mempercepat munculnya kecerdasan reflektif. Pertanyaan pertama dapat dijawab
melalui penelitian Inhelder dan Piaget (1958) yang menunjukkan bahwa anak akan
mengembangkan kemampuan untuk memikirkan pada isi (content) selama usia 7 – 11
tahun, dan memanipulasi ide-ide konkret dengan berbagai cara, seperti melakukan aksi
(dalam imajinasi). Tetapi mereka menemukan bahwa subyeknya tidak dapat beralasan
secara formal sampai masa dewasa. Yang berkaitan erat dengan ini, mereka menyatakan
bahwa anak-anak yang lebih muda tidak dapat membantah hipotesis meskipun hipotesis
ini bertolak belakang dengan pengalaman mereka.
Dalam penelitian ini, subyek diambil secara acak di sekolah Swiss. Dapat
dikatakan, penelitian menunjukkan kemajuan perkembangan kecerdasan reflektif pada
anak-anak, dengan interaksi kemampuan bawaannya dengan pengalaman kebudayaan
dan pendidikan yang mereka peroleh. Apa yang tidak kita ketahui saat ini adalah sejauh
mana tingkat perkembangan kecerdasan reflektif dapat membantu anak dalam belajar.
Sebagai pertimbangan, kebanyakan anak belajar menyanyi secara spontan. Seorang
anak laki-laki yang menjadi anggota koor King’s College, Cambridge, atau Magdalen
College, Oxford, awalnya mendengar orang lain menyanyi kemudian menirunya. Tetapi
pembelajaran ini banyak dipercepat sehingga banyak hal yang dicapai dalam waktu
singkat. Sekarang perkembangan kemampuan reflektif dan pemberian alasan formal
bukanlah subyek yang sengaja diajarkan. Hal ini dikarenakan tidak terlalu penting dan
kita tidak tahu bagaimana cara mengajarkannya, karena kita juga belum tahu bagaimana
hal itu dapat dipelajari.
Hipotesis yang beralasan mengenai pendapat terakhir tersebut adalah adanya
situasi yang menghendaki siswa untuk merumuskan idenya secara eksplisit dan
menunjukkan mereka dapat berpikir secara logis dari ide lain dan ide-ide yang dapat
diterima secara umum. Dengan kata lain, saling pendapat dan diskusi adalah cara-cara
pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi pengembangan kecerdasan reflektif.
Guru telah mencoba mengajarkan kecerdasan reflektif. Dalam mengajarkan
suatu topik, guru lebih menekankan pada klarifikasi pemikiran siswanya. Penelitian
sederhana juga mendukung pandangan ini. Siswa-siswa SLTP yang berusia sekitar 14
tahun diajarkan beberapa topik yang berbeda oleh guru matematikanya. Masing-masing
diberikan sebuah tes mengenai topik yang telah diajarkan, kemudian siswa dibagi
menjadi dua kelompok yang sama berdasarkan hasil tes tersebut. Kelompok pertama
mengajarkan apa yang telah mereka pelajari mengenai bilangan kepada kelompok
kedua. Siswa yang beraksi sebagai tenaga pengajar berpikir bahwa siswanya akan dites
mengenai apa yang telah diajarkan oleh mereka. Sebenarnya, pada akhir penelitian
semua dites lagi atas topik yang telah mereka pelajari. Tujuannya adalah untuk
membandingkan efek pengajaran suatu topik pada orang lain, dan terus
mempraktekkannya sendiri. Hasilnya nampak sangat jelas bahwa kelompok siswa yang
menjadi tenaga pengajar mempunyai hasil tes akhir yang lebih baik.
Komunikasi muncul sebagai salah satu pengaruh yang menguntungkan pada
perkembangan kecerdasan reflektif. Salah satu faktor yang bersangkutan adalah
perlunya mengkaitkan ide dengan simbol-simbol. Faktor lainnya adalah adanya
interaksi ide-ide seseorang dengan ide-ide orang lain, tetapi ide umum yang dihasilkan
kurang egosentris, lebih bebas sesuai pengalaman individu. Sebagaimana telah
dikemukakan, arah dan tujuan diskusi pada pembelajaran adalah menjelaskan ide-ide
dalam pikiran seseorang, menyebutnya dengan istilah-istilah yang tidak menimbulkan
salah paham, menyatakan hubungannya dengan ide-ide lain; memodifikasi kelemahan
pihak lain dan akhirnya mendapatkan struktur yang lebih kuat dan lebih kohesif
dibandingkan sebelumnya.
Pembahasan sebelumnya telah membawa implikasi bahwa seorang individu
pada tahap intuitif, mampu berpikir mengenai gabungan bentuk dan isi, dan mampu
beralasan formal. Secara umum, jika seorang anak berada pada tahap tertentu yang
seharusnya sedang mempelajari materi A, maka ia sudah mampu menguasai materi B.
Sehingga melalui tahapan-tahapan serupa dalam setiap materi baru, mereka harus lebih
cepat maju dibandingkan anak lain yang seumuran. Setiap orang hampir tidak dapat
diharapkan untuk memikirkan konsep-konsep yang belum dibentuk, walaupun sistem
reflektif seseorang dapat berkembang bagus. Sehingga tingkatan “intuitif sebelum
reflektif” sebagian bisa benar untuk materi baru pada bidang studi matematika.
Walaupun kita relatif kurang mengetahui mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan kecerdasan reflektif pada umumnya, tetapi satu hal dapat kita pastikan
adalah kecerdasan reflektif pasti muncul.
Siswa yang masih pada tahap intuitif, biasanya banyak tergantung pada cara
penyajian materi oleh guru. Jika konsep baru yang didapati sangat jauh dari skema yang
ada, mungkin dia tidak mampu mengasimilasikannya; khususnya karena tingkat
akomodasi yang mungkin pada tingkat intuitif lebih rendah daripada yang dicapai
dengan refleksi. Maka pada tahap-tahap awal, guru harus menganalisis konseptual
siswa secara cermat sebagai dasar merencanakan pembelajaran, sehingga siswa dapat
melakukan sintesa struktur-struktur dalam ingatannya sendiri. Itulah hal yang harus
diperhatikan, tidak peduli apakah pembelajaran terjadi langsung oleh guru, maupun
pembelajaran tidak langsung yaitu dari buku. Pembelajaran langsung oleh guru
mempunyai keuntungan yaitu pertanyaan dapat diajukan, penjelasan dapat diberikan;
dan bahkan keuntungan yang lebih besar bahwa guru yang sensitif dapat
mempersepsikan perkembangan skema tiap siswanya, dan mengajarkan materi yang
tepat sesuai dengan kondisi siswa. Pendekatan ini lebih fleksibel, disesuaikan dengan
penguasaaan siswa sehingga tidak harus tepat sesuai rencana yang telah disiapkan.
Dalam proses pembelajaran, guru memiliki peran terakhir yaitu mengurangi
ketergantungan siswa. Contohnya, ketika seorang anak sedang mengerjakan teka-teki
jigsaw, ibunya diminta untuk memberikan bagian-bagian untuk digabungkan dengan
bagian yang telah ia susun. Tetapi tahap dicapai ketika ia tidak lagi meminta kami
melakukan hal itu, dan menuju kemandirian tersebut guru matematika harus memberi
kebebasan kepada siswa. Sekali seseorang mampu menganalisis materi baru untuk diri
mereka sendiri, mereka mampu masuk pada skema mereka sendiri dengan cara yang
paling bermakna untuk diri sendiri, yang mungkin sama atau tidak dengan cara yang
disajikan oleh guru.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga tugas guru matematika,
yaitu: menyesuaikan materi matematika sesuai dengan pengembangan skema
matematis pada siswa, menyesuaikan cara penyajian materi sesuai dengan kemampuan
berfikir siswa (intuitif dan hanya penalaran konkrit, atau intuitif, penalaran konkrit dan
juga berpikir formal), dan meningkatkan kemampuan analitik siswa untuk mencerna ke
tahap dimana mereka tidak lagi tergantung pada guru.
Dan meskipun kami memiliki beberapa alasan mengenai mendorong
pengembangan terakhir ini, namun pengetahuan kami dalam hal ini masih jauh dari
sempurna. Dalam hal ini, sama seperti yang lain, guru terbaik adalah mereka yang tetap
aktif belajar.

C. Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Kecerdasan intuitif adalah sebuah kecerdasan dimana didasarkan pada respon
terhadap keadaan lingkungan sekitar yang masuk dari reseptor (kelima indra kita)
yang berikutnya diproses menjadi sebuah input.
2. Kecerdasan reflektif adalah sebuah kecerdasan yang menggunakan skema kecerdasan
intuitif untuk melakukan evaluasi dari apa yang dihasilkan dari kecerdasan intuitif.
Dalam proses pengajaran, guru haruslah peka dan bisa mengelola kedua jenis
kecerdasan ini dari siswanya.
3. Ada tiga tugas guru matematika, yaitu:
- Menyesuaikan materi matematika sesuai dengan pengembangan skema
matematis pada siswa
- Menyesuaikan cara penyajian materi sesuai dengan kemampuan berfikir siswa
(intuitif dan hanya penalaran konkrit, atau intuitif, penalaran konkrit dan juga
berpikir formal)
- Meningkatkan kemampuan analitik siswa untuk mencerna ke tahap dimana
mereka tidak lagi tergantung pada guru.
DAFTAR PUSTAKA

Skemp, R. R. (1987). The Psychology of Learning Mathematics: Expanded American


Edition. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher

Anda mungkin juga menyukai