Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH SEJARAH DAN FILSAFAT MATEMATIKA

Oleh
Kelompok 5
Mukti Aji Guno (1613021
Mulia Arifianti (1613021
Tri Firma Yustianingsih (1613021
Indira Putri Gumilang (1613021031)
Elsi Bella Pratiwi (1613021049)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan

makalah ini yang dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah dan Filsafat

Matematika.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan

dari banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungannya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka kritik dan saran

yang membangun sangat diharapkan agar penulisan makalah bisa menjadi lebih

baik lagi dimasa yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini menjadi

berkah dan bermanfaat bagi penulis dan bagi orang lain.

Bandar Lampung, 14 April 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang..................................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah
I.3 Tujuan Penulisan

II. PEMBAHASAN

2.1 Realisme dalam Ontologi Kontemporer

2.2 Godel

2.3 Jaring Keyakinan (The Web Of Belief)

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan, dan pemikiran

manusia secara kritis, dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak di

dalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen, dan percobaan-percobaan,

tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu,

memberikan argumentasi, dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari

proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika, itu semua

mutlak diperlukan logika berpikir, dan logika bahasa.

Filsafat Matematika adalah cabang dari filsafat yang mengkaji anggapan-

anggapan filsafat, dasar-dasar, dan dampak-dampak matematika. Tujuan dari

filsafat matematika adalah untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi

matematika dan untuk memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan

manusia.

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah dan filsafat matematika dalam aliran realisme dalam


Ontologi Kontemporer?
2. Bagaimana filfasat yang dikemukakan oleh Gobel tentang matematika?
3. Bagaimana filsafat Jaring Keyakinan (The Web Of Belief) yang dikemukakan
oleh Quine tentang matematika?
I.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah dan filsafat matematika dalam aliran

realisme dalam Ontologi Kontemporer

2. Untuk mengetahui bagaimana filfasat yang dikemukakan oleh Gobel tentang

matematika?

3. Untuk mengetahui bagaimana filsafat Jaring Keyakinan (The Web Of Belief)

yamg dikemukakan oleh Quine tentang matematika?


II. PEMBAHASAN

Realisme dalam Ontologi Kontemporer

Permasalahan sekitar aplikabilitas matematika barangkali mendapatkan perhatian

yang lebih besar pada masa sekarang ini, dan kemajuan-kemajuan dalam logika

matematis telah dicerna, dimanfaatkan dalam perkara-perkara filosofis. Secara umum,

terdapat dua aliran pikiran dalam filsafat matematikai kontemporer (dan, sampai pada

taraf tertentu, dalam metafisika dan epistemologinya). Salah satu kelompok meyakini

pernyataan-pernyataan dalam matematika seharusnya dipahami kurang lebih secara

harfiah, “pada nilai permukaan'. Aliran pikiran yang kedua adalah kebalikan dari

yang pertama tersebut. Para penganutnya bersikap skeptik terhadap matematika, jika

matematika dimaknai secara harfiah, tetapi mereka menerima nilai penting

matematika dalam segala bidang keilmuan.

A. Realisme Dalam Ontologi Kontemporer

Para penganut aliran pikiran pertama, seperti telah disebutkan, memahami

pernyataan-pernyataan matematis dengan pemaknaan harfiah langsung. Misalnya,

pernyataan “nol adalah suatu bilangan asli” merupakan sebuah aksioma aritmetika,

dan pernyataan “untuk setiap bilangan asli n, terdapat bilangan m > n sedemikian

hingga m adalah prima' merupakan sebuah teorema. Bersama-sama, ini

menyimpulkan ada bilangan-bilangan prima yang banyaknya tak-hingga. Sama


halnya, himpunan-himpunan ada, dan sebagainya. Hanya terdapat satu jenis

‘eksistensi', yang aplikabel pada matematika maupun pada wacana biasa.

Berdasarkan prinsip-prinsip seperti hukum excluded middle dan inferensi-inferensi

terkaitnya, kebanyakan filsuf aliran ini meyakini bahwa eksistensi bilangan-bilangan,

himpunan-himpunan, dan sebagainya, tidak terikat pada pikiran, bahasa, dan

konvensi-konvensi dari matematikawan.

Di dalam peristilahan yang kita gunakan, penganut-penganut aliran yang pertama ini

adalah para realis dalam ontologi. Seperti diketahui, terdapat masalah-masalah

epistemologis serius yang harus diatasi oleh kelompok ini. Misalnya, bagaimana

mungkin manusia mengetahui sesuatu tentang objek-objek matematis, dan konfidensi

apakah yang dapat kita miliki bahwa pemyataan-pemyataan kita tentang objek-objek

seperti itu benar?

Kita segara meninjau beberapa orang realis ontologis. Tokoh-tokoh yang dibahas di

sini adalah juga realis dalam nilai kebenaran. meyakini bahwa sebagian besar

pernyataan matematis adalah benar atau salah secara obektif, tidak terikat pada para

matematikawan. Ringkasnya, para realis ini memandang bahwa para matematikawan

memaksudkan apa yang mereka katakana, dan bahwa apa yang dikatakan oleh para

matematikawan, sebagian besarnya adalah benar. Beberapa realis ontologis yang telah

disebutkan pada bagian-bagian sebelumnya antara lain Plato, Gottlob Frege, dan neo-

logisis Crispin Wright dan Bob Hale.


B. Kurt Go ̈del

Kurt Go ̈del adalah salah seorang logikawan yang paling berpengaruh dalam sejarah.

Meski sepanjang hayatnya dia tertarik kepada filsafat, tetapi standar-standar

pribadinya yang sedemikian tinggi telah membatasi dirinya untuk hanya

mempublikasikan sedikit artikel dalam bidang filsafat. Go ̈ del 1944 dibuka dengan

sebuah kutipan tentang pandangan awal Bertrand Russell bahwa logika “berkenaan

dengan dunia real senyata ‘zoologi’, meski dengan sifat-sifat yang lebih abstrak dan

umum" (Russell l9l9: 169). Dengan memperhatikan logisisme Russell, tampak bahwa

baginya, matematika adalah juga terkait dengan sifat-sifat umum dari 'dunia nyata'.

lni sekurang-kurangnya menyiratkan realisme dalam nilai kebenaran. Pernyataan-

pernyataan matematis adalah benar atau salah. secara objektif. Namun demikian, pada

perkara ontologi, Russell akhirnya menganut suatu pandangan ‘tanpa-kelas', yang

memandang bilangan-bilangan dan objekobjek matematis lainnya sebagai 'fiksi-fiksi

logis'. Go ̈ del berpendapat bahwa anti-realisme ontologis semacam itu tidak dapat

dipertahankan.

Banyak sekali filsafat matematika Russell berfokus pada prinsip ‘lingkaran setan’,

yang dirangkumkan Go ̈ del sebagai “tidak satu pun totalitas dapat memuat anggota-

anggota yang dapat didefinisikan hanya sehubungan dengan totalitas itu, atau

anggota-anggota yang melibatkan atau mensyaratkan totalitas itu.” Perhatikan bahwa

di sini terdapat tiga prinsip yang berbeda:

(1) Tidak satu pun totalitas dapat memuat anggota-anggota yang dapat

didefinisikan hanya sehubungan dengan totalitas itu.


(2) Tidak satu pun totalitas dapat memuat anggota-anggota yang melibatkan

totalitas itu.

(3) Tidak satu pun totalitas dapat memuat anggota-anggota yang mensyaratkan

totalitas itu.

Prinsip (2) dan prinsip (3) tersebut masuk akal, meski tentu saja tergantung pada apa

arti dari 'melibatkan' dan 'mensyaratkan'. Prinsip ini menyisihkan apa yang disebut

'sirkularitas ontologis'. Namun demikian, dua prinsip tersebut tidak berpengaruh

kepada praktik. Go ̈ del memandang hanya bentuk (1) dari prinsip lingkaran setan

tersebut yang menimbulkan pembatasan-pembatasan terhadap matematika, atau pada

bagaimana matematika disajikan. Versi ini menjaga matematikawan agar tidak

megemukakan istilah-istilah tertentu, misalnya definisi-definisi impredikatif-yaitu,

definisi yang merujuk kepada kumpulan yang memuat entitas yang sedang

didefinisikan. Tulisan dia selanjutnya menunjukkan bahwa pembahasan-pembahasan

seperti itu melumpuhkan matematika: “Dapat dibuktikan formalisme matematika

klasik tidak memenuhi bentuk pertama dari prinsip lingkaran setan, karena aksioma-

aksiomanya menyimpulkan eksitensi bilangan-bilangan real yang dapat didefinisikan

dalam formalisme ini hanya dengan merujuk ke semua bilangan real” (Go ̈ del I944:

455). Dengan demikian, bentuk pertama darii prinsip lingkaran setan tidak sejalan

dengan matematika klasik. Go ̈ del mengatakan bahwa dia “memandang ini sebagai

bukti bahwa [versi] prinsip lingkaran setan ini salah, bukan bahwa matematika

klasiklah yang salah.”


Namun demikian, Go ̈ del tidak membiarkan begitu saja ketidakcocokan antara teori

Russell dan praktik matematis. Dia memandang bahwa versi (1) dari prinsip

lingkaran setan berlaku jika dan hanya jika seseorang menganut sudut pandang

konstruktivis terhadap objek-objek dalam matematika (Go ̈ del 1944: 456). Seperti

yang kita ketahui, bagi seorang realis dalam ontologi, definisi bukanlah resep untuk

menciptakan objek, tetapi hanya suatu metode untuk mendeskripsika atau menunjuk

kepada entitas yang memang telaha ada. Dari perspektif ini, definisi-definisi

impredikatif tidak bersifat merusak.

Go ̈ del juga memandang realisme yang dianutnya sesuai dengan versi (2) dan versi

(3) yang masuk akal dari prinsip lingkaran setan: “keadaan seperti itu tidak akan ...

mengkontradksi bentuk kedua dari prinsip lingkaran setan, karena seseorang tidak

dapat mengatakan bahwa objek yang dideskripsikan dengan merujuk ke suatu

totalitas ‘melibatkan’ totalitas ini, meski deskripsi itu sendiri memang melibatkan

totalitas ini; tidak pula keadaan seperti itu mengkontradiksi bentuk ketiga, jika

‘mensyaratkan’ dimaknai sebagai ‘mensyaratkan untuk eksitensi’ bukan ‘untuk ke-

dapat-diketahui-an’.

Salah satu aspek utama dari filsafat Go ̈ del adalah suatu analogi antara objek-objek

matematis dan objek-objek fisik biasa. Dia menelusuri gagasan ini kepada Russell.

Disini Go ̈ del (1944: 449), membuat isyarat yang paling menarik –dan paling

kontroversial-bahwa seperti halnya kita membangun teroi-teori fisika mutakhir untuk

menjelaskan (dan memprediksi) observasi-observasi inderawi, didalam matematika


kita membangun teori-teori mutakhir untuk menjelaskan ‘intuisi-intuisi’, atau

keyakinan-keyakinan intuitif ini meliputi, misalnya, prinsip-prinsip matematika finit

(‘finitary mathematica’) dari David Hilbert.

Tidaklah sepenuhnya jelas apa yang dimaksudkan Go ̈ del dengan istilah intuisi

matematis atau dengan analogi antara matematika dan fisika. Terdapat perbedaan

antara 'pengetahuan-bahwa pernyataan tertentu benar' dan “pengetahuan-dari objek-

objek individual' pegetahuan yang kedua tersebut menuntutkan pengenalan atau

pemahaman tentang objek-objek seperti bilangan. Di dalam artikel tulisannya pada

tahun 1944, Go ̈ del menulis bahwa ”prinsip-prinsip aritmetik dasar, misalnya

persamaan dan pertidaksamaan dasar, memiliki suatu jenis "evidensi tak terbantahkan

yang mungkin paling cocok dibandingkan dengan persepsi inderawi” (hlm. 449). Ini

menyimpulkan bahwa 'data' matematika terdiri atas pernyataan-penyataan tertentu

yang kita pandang bersifat mewajibka sehingga kita coba jelaskan dengan teori

matematis. Pengetahuan di sini dengan demikian adalah ‘pengetahuan-bahwa’

misalnya, pengetahuan bahwa 7 + 5 = l2 atau bahwa kuadrat dari sebarang bilangan

real adalah non-negatif.

Pada karya tulis dia yang selanjutnya, Go ̈ del mendukung filsuf yang memandang

eksistensi objek-objek matematis tidak terikat pada kontruksi-kontruksi kita dan pada

kita memiliki intuisi atas objek-objek itu secara individual ..." (Go ̈ del l964: 474).

Jadi barangkali Go ̈ del memang meyakini bahwa kita memiliki sejenis pemahaman

objek-objek matematis, suatu pegetahuan intuitif tentang objek-objek matematis


individual seperti bilangan-bilangan dan himpunan-himpunan. Namun demikian, kita

sebaiknya jangan dulu memahami semua itu secara terlalu harfiah di sini.

Selanjutnya, Go ̈ del mengemukakan bahwa, meski dengan objek-objek fisik,

persepsi-persepsi inderawi kita tidak cocok secara tepatdengan keyakinan-keyakinan

‘intuitif’ kita tentang objek-objek fisik. Sebuah gedung yang dilihat dari dekat

tampak jauh lebih besar daripada gedung yang sama saat dilihat dari jauh. Jelaslah,

kita meyakini bahwa persepsi inderawi yang besar dan persepsi inderawi yang kecil

tersebut keduanya merupakan persepsi-persepsi atas gedung yang sama. Lebih lanjut,

persepsi inderawi kadang-kadang menipu. Go ̈ del membuat analogi antara ilusi-ilusi

optik didunia fisik dan antinom-antinom seperti Paradoks Russell dalam realrn

matematika. Pada kedua kasus tersebut, kyakinan-keyakinan intuitif kita dapat

bersifat menyesatkan, dan perlu diperbaiki oleh teori.

Penggunaan istilah “intuisi” oleh Go ̈del secara eksplisit merujuk kepada pandangan

Kant. Gagasan pokok dari suatu objek fisik tidak terkandung pada persepsi-persepsi

itu sendiri, tetapi diberikan oleh pikiran. Kita telah membahas ilsafat matematika dari

Immanuel Kant dan pandangan penganut Kant modern dari intuisionis L. E. J.

Browser. Namun demikian. Go ̈ del meninggalkan Kant dan para intuisionis dengan

realisme ontologis yang dianutnya. Dia mengatakan bahwa, bagi Kant intuisi bersifat

“subjektif”. Barangkali di sini gagasanya adalah bahwa intuisi menurut Kant

berkenaan dengan bentuk-bentuk pokok dari persepsi. Bagi Kant, dan bagi para

intuisionis penganut Kant, matematika bersifat ‘tergantung pada pikiran’. Di sisi lain,
Go ̈ del memandang bahwa matematika pokok ‘yang diketahui’ mungkin

mempresentasikan suatu aspek dari reealitas onjektif, tetapi, diperbedakan dari

penginderaan, kehadiran matematika pokok tertentu yang telah diketahui itu mungkin

ditimbulkan oleh sejenis hubungan lainnya antara diri kita sendiri dan realitas. Jadi,

bagi Golden, intuisi-intuisi matematis adalah semacam kilasan-kilasan ke dalam suatu

realm matematis yang objektif.

Perbedaan antara Go ̈ del dan para penganut pandangan Kant berpengaruh kepada

praktik. Lebih awal dalam artikelnya, Go ̈ del meninggalkan konsepsi kontruktivis

tentang matematika “yang mengakui objek-objek matematis sepanjang bahwa objek-

objek matematis itu dapat diinterpretasikan sebagai kontruksi-kontruksi kita sendiri

atau, sekurang-kurangnya dapat selengkapnya diketahui dalam intuisi” (Go ̈del 1964:

474). Bagi seseorang penganut Kant, tidak terdapat yang lain-lainnya bagi objek-

objek matematis selain dari yang diketahui dalam intuisi. Di sisi lain Go ̈ del

memandang bahwa meski intuisi merepresentasika suatu hubungan antara kita dan

realitas matematis, tetapi dunia matematis melampaui ‘persepsi’ kita tentangnya-

demikian pula dunia fisik. Inilah maksud dari tidak terikat pada pikiran (mind-

independent).

Pada artikel sebelumnya. Go ̈ del mengungkapkan kekaguman atas teori tanpa kelas

dari Russell sebagai ”salah satu dan sedikit contoh, yang disajikan secara terperinci,

dari kecenderungan untuk mengeliminasi asumsi-asumsi tentang eksitensi objek-

objek di luar 'data' dan menggantikannya dengan konstuksi-konstruksi berdasarkan


data ini." (Go ̈del 1944: 460). Ini adalah sindiran terhadap upaya-upaya filosofis yang

dilakukan untuk menyangkal pandangan bahwa objek-objek fisik adanya tidak terikat

pada pikiran, dan untuk mengkonstruksi objek-objek seperti itu dari data inderawi.

Pada umumnya disepakati bahwa seluruh upaya semacam itu telah gagal. Go ̈ del

memandang upaya Russell untuk 'mengkonstruksi' objek-objek matematis (dari ciri-

ciri dan sebagainya) juga gagal: “kelas-kelas dan konsep-konsep yang dikemukakan

(via teori tanpa-kelas] tidak memiliki semua silat yang disyaratkan untuk

penggunaannya dalam matematika." Dia menyimpulkan ini adalah suatu verifikasi

untuk pandangan bahwa logika dan matematika (seperti halnya fisika) dibangun pada

aksioma-aksioma dengan muatan yang real, dan muatan ini tidak dapat dihilangkan

dengan argumentasi. (Go ̈del l944: 46l).

Go ̈ del lebih lanjut mengambil analogi antara matematika dan fisika. Kita

mempelajari tentang objek-objek fisik via aktivitas ilmiah sains yang sangat teoretik.

Meski teori-teori dalam sains harus terkait dengan observasi. namun teori-teori ini

'melampaui' observasi. Kita tidak melihat atom dan elektron, tetapi atom dan elektron

membantu kita memahami objek-objek yang kita tidak lihat. Berdasarkan analogi,

untuk menentukan sifat-sifat dari objek-objek matematis. Bilangan-bilangan asli

khususnya, kita harus berangkat ke seberang 'intuisi' dan membangun teori-teori

matematis yang kuat. Selain itu, “telah terbukti bahwa solusi masalah-masalah

aritmetika menuntutkan penggunaaan asumsi-asumsi yang pada esensinya melampaui

aritmetik”. (Go ̈del I944: 449). Go ̈del di sini menunjuk kepada fakta bahwa beberapa

pernyataan sederhana dalam bahasa aritmetika (misalnya, persamaan-persamaan


Diophantine) tidak dapat diputuskan dalam aritmetka dasar, tetapi dapat diselesaikan

dalam teori-teori yang lebih kaya seperti analisis real dan teori himpunan. Mengapa

berpikir bahwa teori himpunan dapat menjelaskan bilangan-bilangan asli seandainya

kita bukan realis, pada tingkatan tertentu, tentang bilangan-bilangan bulat dan tentang

himpunan-himpunan?

Focus utama dari tulisan Go ̈del pada tahun 1964 adalah ‘hipotesis kontinuum’, suatu

studi kasus yang menarik untuk pandangan filosofisnya.

Georg Cantor menunjukkan bahwa tidak terdapat korespondensi satu satu antara

bilangan-bilangan asli dan bilangan-bilangan real. Yaitu, terdapat lebih banyak

bilangan real daripada bilangan asli. Apakah terdapat himpunan-himpunan infinit

yang ukurannya di antara ukuran himpunan bilangan asli dan ukuran himpunan

bilangan real? Dengan kata-kata lain, apakah terdapat suatu himpunan infinit S dari

bilangan-bilangan real sedemikian hingga tidak terdapat korespondensi satu-satu

antara S dan bilangan-bilangan asli dan tidak terdapat korespondensi satu-satu antara

S dan bilangan-bilangan real? ini kadang-kadang disebut masalah kontinuum, karena

ia mempertanyakan 'ukuran' kontinum itu. Cantor mengajukan konjektur bahwa tidak

terdapat kardinalitas-kardinalitas infinit di antara ukuran himpunan bilangan asli dan

ukuran himpunan bilangan real (dan, dengan demikian, tidak terdapat himpunan-

himpunan S seperti yang dideskripsikan tadi). ini dikenal sebagai ‘hipotesis

kontinuum’, yang disingkat CH.


Formalisasi teori himpunan yang diakui dikenal sebagai Zermelo Frankel set theory

with choice (ZFC). Go ̈del (I938) menunjukkan bahwa jika ZFC konsisten, maka ZFC

plus CH adalah juga konsisten. Dengan kata-kata lain, kita tidak mungkin

meruntuhkan hipotesis kontinuum dalam ZFC (kecuali ZFC tidak konsisten). Pada

tulisannya tahun 1964, Go ̈ del mengajukan konjektur bahwa tidaklah mungkin pula

membuktikan CH dalam ZFC. Konjektur ini dikukuhkan oleh Paul Cohen (1963,

meski Go ̈ del tidak mengetahui hasil ini saat dia menulis tahun l964). Dengan

peristilah' teknis, hipotesis kontinuum bersifat independen dari ZF C.

Jadi, apakah status hipotesis kontinuum pada keadaan-keadaan ini? Berdasarkan

kebanyakan dari versi-versi formalisme, hasil independensi ini menjawab perkara

CH. Seorang deduktivis, misalnya, mengklaim bahwa jika Ф adalah suatu pernyataan

dalam bahasa ZFC, maka ‘Ф benar’ dapat ditafsirkan ‘Ф dapat dideduksi dari

aksioma-aksioma ZFC’ dan ‘Ф salah' dapat ditafsirkan ‘Ф dapat diruntuhkan dari

aksiorna-aksioma ZFC‘. Jadi, hasil independensi meta-matematis ini menunjukkan

bahwa CH tidak benar atau tidak salah. Serupa demikian, Hilbert memandang semua

pernyataan non-finit (misalnya, CH) sebagai tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan

seperti itu hanya berperan untuk merampingkan deduksi pernyataan-pernyataan finit.

Karena CH tidak dapat dibuktikan maupun diruntuhkan dalam ZFC, ia tidak memiliki

peran (via ZFC) untuk deduksi pernyataan-pernyataan finit.

Berbeda dari pandangan-pandangan tersebut di atas. realisme Go ̈ del memandang

bahwa istilah-istilah primitif dari teori himpunan memiliki makna yang tertentu, dan
oleh karena itu “konsep konsep dan teorema-teorema yang terkait teori himpunan

mendeskripsikan beberapa realitas yang tertentukan dengan baik, di mana konjektur

Cantor mestilah benar atau salah" (Go ̈del I964: 476). Jadi, bagi Go ̈del, independensi

CH dari ZFC menunjukkan bahwa “aksioma-aksioma ini tidak memuat deskripsi

yang lengkap untuk realitas itu.”

Jadi bagaimana seorang matematikawan menentukan nilai kebenaran dari hipotesis

kontinuum? Seperti telah disebutkan, Go ̈ del (1944: 449) menyatakan bahwa

beberapa pernyataan aritmetika hanya dapat diputuskan dengan bergerak melampaui

aritmetika. ini adalah pelajaran dari teorema ketidaklengkapan yang dikemukakan

olehnya. Begitu juga untuk teori himpunan: “tampaknya mungkin bahwa untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang teori himpunan abstrak dan bahkan untuk

pertanyaanpertanyaan terkait tertentu tentang teori bilangan real akan diperlukan

aksioma-aksioma baru yang didasarkan pada gagasan yang sejauh ini tidak diketahui.

Barangkali juga kesukaran-kesukaran yang tampaknya tidak dapat diatasi yang telah

dihadirkan sekian lama oleh persoalan-persoalan matematis lainnya disebabkan oleh

fakta bahwa aksioma-aksioma yang diperlukan untuk itu belum ditemukan." (Godai

I944: 449).

Dengan demikian, Go ̈ del menghimbaukan aksioma-aksioma baru yang lebih lanjut

“mengungkap konsep himpunan”. Seperti kita lihat, dia meyakini bahwa aksioma-

aksioma dasar teori himpunan memiliki kemestian intrinsik, dan aksioma-aksioma itu

“memaksakan diri kepada kita sebagai benar.” Suatu hal yang baik, tentu saja, bila
aksioma-aksioma baru menikmati kemestian intrinsik seperti itu, tetapi Go ̈ del

meyakini bahwa matematika dapat berjalan tanpa kemestian intrinsik. Kembali, dia

membuat analogi dengan sains alam:

Suatu keputusan yang mungkin tentang kebenaran [dari suatu aksioma baru

yang diajukan] adalah mungkin . . . dalam satu cara lainnya, yaitu, secara

induktif dengan mengkaji 'keberhasilan'-nya. Keberhasilan di sini berarti

kesuburan dalam konsekuensi-konsekuensi, khususnya konsekuensi-

konsekuensi yang 'dapat diverifikasi', yaitu, konsekuensi-konsekuensi yang

dapat didemonstrasikan tanpa aksioma baru itu, yang bukti-buktinya-dengan

bantuan aksioma baru itu-jauh lebih sederhana dan lebih mudah untuk

ditemukan, dan memungkinkan kita untuk menyusutkan banyak bukti yang

berbeda ke dalam satu bukti . . Bagaimanapun, suatu tingkat verifikasi yang

jauh lebih tinggi adalah mungkin. Barangkali terdapat aksioma-aksioma

sedemikian kaya akan konsekuensi-konsekuensi yang dapat diverifikasi,

memberikan banyak kejelasan bagi suatu bidang secara utuh, dan

menghasilkan metode-metode tangguh untuk memecahkan permasalahan

yang, tanpa mempersoalkan apakah mereka bersifat mesti secara intrinsik atau

tidak, aksioma-aksioma itu akan harus diterima sekurang-kurangnya dalam

artian yang sama seperti sebarang teori fisika yang telah mapan. (Go ̈del 1964:

477).

Ini merupakan gema yang menarik dari Program Hilbert, yang juga membicarakan

konsekuensi-konsekuensi finit yang bermakna dari teori-teori ideal. Tetapi, tidak


seperti Go ̈del, tentu saja, Hilbert tidak menjadikan ‘kesuburan’ sebagai kriterion bagi

kebenaran objektif.

Di manakah pandangan Go ̈ del meninggalkan filsafat matematikanya? Khususnya,

bagaimana realismenya berjalan terkait dengan keyakinan-keyakinan filosofis

tradisional tentang matematika? Sekali lagi, terkait pandangan Go ̈ del, matematika

berkenaan dengan suatu realm ideal objek-objek yang adanya tidak terikat pada kita.

Dunia matematis bersifat kekal dan abadi. Jadi, realisme Go ̈ del mendukung

pandangan yang telah bertahan lama bahwa kebenaran matematis bersifat mesti, dan

tidak memiliki sifat kemungkinan seperti pada pemyataan-pemyataan biasa tentang

objek-objek fisik biasa. Bagaimana dengan pengetahuan matematis? Jika kita taat

kepada metodologi tradisional untuk mendeduksi teorema-teorema dari aksioma-

aksioma yang memiliki, seperti Go ̈ del katakan, kemestian intrinsik, maka kiranya

pengetahuan matematis bersifat apriori, atau tidak terikat pada pengalaman (asalkan

aksioma-aksioma itu diketahui apriori). Dengan memperhatikan tema-tema aliran

Kant dalam pikiran Go ̈ del, maka masuk akal dianggapkan bahwa dia memandang

matematika bersifat sintetik-berbeda dari para logisis. Bagaimana dengan pandangan

umum bahwa pengetahuan matematis adalah, atau seharusnya, bersifat pasti? Seperti

telah dibahas, Go ̈ del memandang antinom-antinom sebagai pertanda bahwa intuisi

bersifat falibel. Jadi, matematika tidak pasti secara absolut. Kepastian absolut ini

lebih lanjut diruntuhkan oleh metodologi memilih aksioma-aksioma baru berdasarkan

kesuburannya. Dengan kata-kata Go ̈ del sendiri, aksioma-aksioma baru itu “hanya

mungkin [ada]”. Pada tulisannya yang lebih dahulu, Go ̈ del mengakui bahwa
seandainya suatu metodologi seperti ini lazim, maka “matematika mungkin

kehilangan cukup banyak ‘kepastian mutlak'-nya. tetapi ini telah jauh berlangsung

sampai pada tingkatan tertentu” (Go ̈del 1944: 339).

Di bagian akhir tulisannya pada tahun l964, Go ̈ del menyebutkan kemungkinan

bahwa suatu aksioma matematis yang baru akan diterima berdasarkan kesuburannya

dalam fisika, meski dia mengindikasikan bahwa pernyataannya tersebut bersifat

spekulatif saja dalam keadaan sains dan matematika saat ini. Kita masih jauh dari

mampu untuk membuat sebarang koneksi-koneksi produktif antara aksioma-aksioma

matematis baru yang diajukan dan prinsip-prinsip dalam fisika. Namun demikian,

pikirkanlah, seandainya metodologi ini digunakan, maka pengetahuan matematis

akan kehilangan status apriori-nya. Pada situasi tersebut, kita akan menggunakan

teori fisika untuk menentukan kebenaran matematis.

C. Jaring Keyakinan (The Web Of Belief)

W.V.O. Quine, salah seorang filsuf kontemporer yang paling berpengaruh (sekurang-

kurangnya di sisi Amerika dari Samudera Atlantik), adalah penerus empirisisme teguh

dari John Stuart Mill. Ingat kembali bahwa tema utama dari empirisisme yaitu bahwa

semua pengetahuan yang substansial pada akhirnya didasarkan pada observasi

inderawi. Seperti kita lihat, filsafat matematika dari Mill tergoyahkan karena

filsafatnya menjelaskan hanya matematika sederhana seperti geometri dasar dan

hasiljumlah aritmetik yang kecil. Sebagian alasan dari kegagalan Mill adalah

ketaatannya kepada pandangan bahwa semua pengetahuan matematis didasarkan


pada induksi enumeratif-mengambil konklusi-konklusi umum dari kasus-kasus

individual. Seperti kita menjadi yakin bahwa semua burung gagak berwarna hitam

dengan mengamati banyak burung gagak, kita menjadi yakin bahwa 2 + 3 = 5 dengan

membilangnya sedemikian banyak kali. Empirisisme Quine seteguh pandangan Mill,

tetapi epistemologi matematikanya lebih mutakhir, mengakomodasi banyak sekali,

jika tidak semua, matematika kontemporer.

Salah satu sifat lain yang terkait dalam filsafat Quine adalah naturalisme teguh, yang

juga diwariskan dari Mill. Quine menggambarkan naturalisme sebagai

“ditinggalkannya tujuan filsafat pertama" dan “pengakuan bahwa di dalam sains itu

sendiri realitas hendaknya diidentifikasi dan dideskripsikan” (Quine l98l: 72). Filsafat

tidak berdiri mendahului sains, tidak pula berperan untuk menjustifikasi pernyataan-

pernyataan dalam sains. Epistemologi harus berpadu dengan sains alam, terutama

fisika: "Filsuf naturalistik memulai penalararmya di dalam warisan teori dunia

sebagai pertimbangan yang berlaku" dan “warisan teori dunia itu utamanya adalah

teori dalam sains, produk mutakhir dari upaya ilmiah sains.” Bersama Mill, Quine

meyakini bahwa sesungguhnya tidak ada pengetahuan yang bersifat apriori.

Tulisan awal Quine sebagian besar merupakan reaksi terhadap satu aliran empirisisme

lain, yaitu positivisme logis dari gurunya, Rudolf Carnap, dan tokoh-tokoh lain dalam

Lingkaran Vienna. Seperti telah kita ketahui, Camap tidak meyakini bahwa

matematika pada dasarnya didasarkan pada observasi inderawi. Pandangan Carnap

mengadakan perbedaan antara kalimat-kalimat analitik, yang benar atau salah


berdasarkan makna istilah-istilah yang dikandungnya, dan kalimat-kalimat sintetik,

benar atau salah berdasarkan bagaimana adanya dunia.

Pada artikel yang penting bagi filsafatnya, Two Dogma of Empiricism (l95l), Quine

membangun latar bagi empirisisme teguhnya. Dia menyerang 'dogma' bahwa terdapat

perbedaan fundamental antara kebenaran-kebenaran yang bersifat analitik, atau

didasarkan pada makna-makna yang tidak terikat pada fakta, dan kebenaran-

kebenaran sintetik, yang didasarkan pada fakta (Quine l95l: 20). Quine tentu tidak

mengingkari pepatah lama bahwa nilai kebenaran dari setiap kalimat yang tak-

ambigu didasarkan pada, sekaligus, makna istilah-istilah dalam kalimat maupun

bagaimana adanya dunia Tesis yang diajukan Quine yaitu bahwa faktor-faktor bahasa

dan faktor-faktor dunia saling terjalin, dan tidak terdapat keterpisahan tajam antara

semua itu. Jadi, tidaklah bermakna bila dikatakan bahwa suatu kalimat tertentu benar

berdasarkan bahasa semata. Bagi Quine, satu “dogma” lain yang ditolaknya adalah

“reduksionisme: pandangan bahwa tiap pernyataan yang bermakna adalah ekuivalen

dengan suatu konstruk logis pada istilah-istilah yang merujuk ke pengalaman-segera.”

Gagasan di balik ‘dogma’ ini yaitu bahwa masing-masing pernyataan yang bemakna

harus merupakan kombinasi logis dari pemyataan-pemyataan yang secara langsung

dapat diverifikasi melalui pengalaman.

Sebagai pengganti untuk dua ‘dogma’ itu, Quine mengajukan metafora bahwa sistem

keyakinan-keyakinan kita adalah suatu ‘jaring tanpa-kelim' (a seamless web). Tiap

‘simpul’ (keyakinan) memiliki hubungan-hubungan yang tak terbilang banyaknya ke

simpul-simpul lain dalam jaring tersebut. Beberapa hubungan tersebut bersifat logis,
dalam artian bahwa menerima beberapa keyakinan mensyaratkan penerimaan atas

keyakinan-keyakinan lainnya. Beberapa hubungan itu bersifat linguistik, dipandu

oleh penggunaan bahasa. Simpul-simpul yang langsung berkaitan dengan

pengalaman, sedemikian hingga mereka dapat dikukuhkan oleh observasi langsung,

berada pada tepi-tepi jaring. Berdasarkan metafora ini, pengalaman inderawi

menimpa jaring hanya pada batas-batas luar, melalui iritasi-iritasi pada ujung-ujung

syaraf kita-observasi. Observasi-observasi baru menimbulkan perubahan-perubahan

dalam jaring, via hubungan-hubungan tak terbilang antara simpul-simpul, sampai

tercapai suatu ekuilibrium.

Bagi Quine, “sains adalah suatu alat untuk memprediksi pengalaman yang akan

datang berdasarkan pengalaman yang telah lalu” (Quine I95 I: 56). Pada akhirnya,

satu-satunya evidensi yang relevan dengan suatu teori adalah pengalaman inderawi.

Jelaslah ini adalah empirisisme. Namun demikian, Quine berpendapat bahwa

pengalaman tidak berkenaan dengan pemyataan-pernyataan ilmiah sains yang

ditimbang satu demi satu. Keyakinan-keyakinan kita menghadapi 'mahkamah'

pengalaman hanya dalam kelompok-kelompok. Berpedoman kepada pengalaman

yang tegas, seorang ilmuwan sains memiliki banyak pilihan atas yang manakah dari

keyakinan-keyakinannya yang hendaknya dimodifikasi. Di dalam filsafat, istilah

teknis untuk pandangan Quine adalah holisme. Ini adalah penolakan terhadap

‘dogma’ yang kedua.

Para kritik terhadap pandangan Quine menyebutkan bahwa beberapa kalimat ternyata

benar berdasarkan makna. Apakah pengalaman inderawi untuk membantah bahwa,


misalnya, ‘jejaka-jejaka [adalah] belum pemah .menikah', atau bahwa ‘6 = 6’?

Apakah Quine sungguh memandang pengalaman-pengalaman seperti itu mungkin?

Perhatikan, dilema ini mensyaratkan bahwa jika suatu kalimat tidak benar

berdasarkan makna, maka ia tidak dapat dikukuhkan oleh pengalaman inderawi. Pada

sebarang kasus, barangkali boleh dianggapkan bahwa Quine dapat mengakui bahwa

beberapa kalimat memang benar berdasarkan makna, sehingga bersifat analitik.

Bagaimanapun, bahasa adalah bagian dari dunia alamiah, dan seseorang mungkin

memandang bahwa linguistik berperan penting daam jaring keyakinan. Pokok

pandangan Quine, yaitu bahwa analitisitas tidak dapat memainkan peran sentral

seperti yang dianggapkan oleh para positivis logis. Dengan demikian, gagasannya

adalah bzhwa tidak terdapat kebutuhan filosofis yang real untuk mengedepankan

gagasan analitisitas: Quine menyimpulkan “gagasan analitisitas hanya menempati

domain yang lebih rendah di mana intuisi-intuisi pendukungnya berpengaruh

dominan: domain belajar bahasa dan semantik empirik" (hlm. 208).

Kembali ke topik utama kita, apakah matematika itu? Jelaslah, pandangan Quine

memerlukan penjelasan tentang matematika yang berbeda dari penjelasan

terpengaruh logisisme seperti yang dituturkan oleh Carnap. Tanpa realm khusus untuk

kalimat-kalimat analitik, Quine harus bergabung dengan Mill dalam pandangan

bahwa bahkan matematika (sesungguhnya, atau pada akhirnya) didasarkan pada

observasi. Pandangan Mill gagal karena epistemologinya yang terbatas. Holisme

Quinc, via jaring keyakinan, memberikan kerangka yang diperlukan untuk menyerang

bangunan terdalam dari pandangan bahwa matematika bersifat apriori.


Bagi Quine, teori-teori sains merupakan alat-alat dalam jaring keyakinan yang

bertujuan untuk mengorganisasikan dan memprediksi observasi-observasi. Teori yang

sesungguhnya, atau paling pokok, dari teori ilmiah sains adalah fisika. Kita menerima

fisika sebagai benar karena kedudukan utamanya dalam jaring keyakinan. Tanpanya,

kita tidak dapat mengorganisasikan dan memprediksikan pengalaman-pengalaman

sebanyak yang dapat kita capai sekarang. Matematika berperan sentral dalam sains-

sains. Sukarlah dibayangkan bagaimana kita melakukan sebarang penelitian ilmiah

sains yang serius tanpa melibatkan matematika. Jadi, bagi Quine, matematika itu

sendiri memiliki kedudukan sentral dalam jaring keyakinan. Dia menerima

matematika sebagai benar dengan alasan yang sama seperti dia menerima fisika

sebagai benar. Matematika terletak jauh dari “batas luar' jaring keyakinan, di mana

observasi berperan lebih langsung. Kriterion sesungguhnya untuk menerima setiap

sesuatu-matematika, fisika, psikologi, objek-objek biasa, mitos-adalah bahwa ia harus

memainkan peran esensial dalam jaring keyakinan. Fisika, kimia, dan bersama itu,

matematika, tertanamkan dalam jaring keyakinan, sehingga kita mempercayai

bidang-bidang tersebut. Quine memandang bahwa kita meyakini eksistensi objek-

objek biasa dengan alasan serupa-karena kedudukan mereka dalam jaring keyakinan.

Mitologi Yunani tidak sedemikian tertanamkan, dan dengan demikian kita tidak

meyakininya.

Apa pun manfaat dari program filosofis umumnya, Quine benar bahwa sukarlah kita

menarik batas yang tajam dan prinsipil di antara matematika dan cabang-cabang sains
yang lebih teoretis, khususnya fisika (tidak temasuk batas-batas jurusan dan faktor-

faktor seperti tingkat gaji dan kategori-kategori pendanaan). Terdapat suatu

kontinuum dengan sains eksperimental pada salah satu ujung, sains yang lebih

teoretis dan matematika terapan ke arah tengah, dan matematika murni pada satu

ujung yang lainnya. Disiplin-disiplin ilmu yang berbeda secara alamiah berpadu.

Seorang penganut holisme tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima sebagian

besar sains sebagai benar, atau mendekati benar. Oleh karena itu, dia harus pula

menerima matematika sebagai benar.

Ini mendukung suatu realisme dalam nilai kebenaran. Kita mencapai realisme dalam

antologi dengan menegaskan bahwa matematika dipahami pada nilai pemukaan,

sebagaimana kita juga memahami fisika pada nilai permukaan. Pernyataan-

pernyataan matematis menunjuk kepada (dan memiliki variabel-variabel yang

mencakup pada) entitas-entitas seperti bilangan-bilangan real, titik-titik geometrik,

dan himpunan-himpunan. Beberapa pemyataan-pemyataan matematis ini adalah

benar secara harfiah. Jadi, bilangan-bilangan, titik-titik, dan himpunan-himpunan itu

ada. Selain itu, dalam pandangan ini tampak bahwa eksitensi objek-objek tidak terikat

pada matematikawan.

Salah satu artikulasi paling jelas dari argumen yang melandasi perspektif Quine

tentang matematika dapat ditemukan dalam Philosophy of Logic dari Hilary Puhun

(1971: ch. 5). Pandangan bahwa tidak terdapat objek-objek abstrak. misalnya

bilangan dan himpunan, saat ini disebut nominalisme. Bagi seorang nominalis, segala
sesuatu yang ada itu bersifat kongkret, atau fisik. Definisikan suatu bahasa

nominalistik sebagai bahasa yang tidak merujuk ke, dan tidak memiliki kuantor-

kuantor yang mencakup pada, objek-objek abstrak. Bagi Putnam, persoalan realisme

matematis (dalam ontologi atau nilai kebenaran) berkenaan dengan pertanyaan

apakah bahasa nominalistik dapat melayani kebutuhan-kebutuhan sains. Quine dan

Putnam memandang bahwa bahasa nominalistik tidak dapat melakukannya, dan ini

menyiratkan bahwa mereka tidak menganut nominalisme (tetapi, pada suatu waktu,

pengahran Quine terhadap objek-objek abstrak tidak tegas; lihat Goodman dan Quine

1947).

Putnam memandang bahwa fisika klasik dan modern penuh dengan besaran-besaran

yang diukur dengan biiangan-bilangan real: volume, gaya, massa, jarak, suhu,

tekanan udara, percepatan, dan sebagainya. Selain itu, relasi-relasi antara besaran-

besaran ini dituliskan dalam persamaan-persamaan. Jadi, tiada harapan untuk

'melakukan' sains tanpa menggunakan bilangan-bilangan real, dan oleh karena itu

Putnam menyimpulkan bahwa bilangan real ada 'Argurmen indispensabilitas' Quine-

Putnam ini menyatakan hanya terdapat satu pengertian 'eksistensi'. Objek-objek fisik

sedang, planet-planet, elektron-elektron dan bilangan-bilangan semuanya ada dalam

pengertian yang sama. Pada semua kasus, kriterianya adalah penggunaan objek-objek

seperti itu dalam upaya ilmiah sains.

Perhatikan bahwa argumen indispensabllitas yang diartikulasikan sejauh ini tidak

memberikan apa pun layaknya penjelasan terperinci tentang peran matematika dalam
sains-sains alam. Pandangan Quine-Putnarn tidak memecahkan masalah-masalah

filosofis mana pun tentang aplikabilitas matematika. Lebih tepatya, Quina dan

Putnam mengambil aplikasi sebagai suatu fakta-sejenis datum filosofis-dan menarik

konklusi konklusi ontologis dan semantik tentang matematika. Penjelasan lebih

terperinci tentang peran matematika dalam sains akan memperkuat argumen

indispensabilitas Quine-Putnam atau malah memberikan alat yang diperlukan oleh

para nominalis untuk menunjukkan bahwa matematika sama sekali dapat diabaikan.

Pandangan Quine tentang matematika jelas tidak sesuai dengan pandangan-

pandangan tradisional bahwa kebenaran matematis bersifat mesti, dan bahwa

pengetahuan matematis itu bersifat apriori. Sekali lagi, sebagai seorang empirisis

yang teguh, Quine menolak inti gagasan pengetahuan apriori. Semua pengetahuan-

keseluruhan jaring keyakinan-didasarkan pada pengalaman inderawi. Tidak terdapat

sumber-sumber lain bagi pengetahuan. Selain itu, Quinc meyakini bahwa tidak ada

kebenaran yang bersifat mesti, atau pasti secara mutlak dalam artian tidak dapat

diperbaiki atau tidak dapat direvisi berdasarkan pengalaman yang akan datang.

Tidaklah cukup kita meninggalkan hal-hal begitu saja dengan penolakan besar-

besaran terhadap pandangan-pandangan tradisional tentang matematika. Beban Quine

yaitu menjelaskan mengapa matematika dianggapkan, pada masa lalu dan saat ini,

sebagai bersifat mesti, pasti, dan diketahui apriori. Apakah yang telah menyesatkan

para leluhur kita dan terus menyesatkan banyak sekali dari kita saat ini? Bagi Quine,

matematika tertanamkan secara dalam pada jaring keyakinan, seperti halnya bagian-
bagian yang lebih teoretis dari sains-sains alam. Ini secara sendirinya tidak

menjelaskan keyakinan yang telah bertahan sedemikian lama bahwa matematika

bersifat apriori. Tidak seorang pun cenderung untuk keliru menyimpulkan bahwa

fisika teoretis bersifat mesti dan diketahui apriori (kecuali rasionalisme tradisional).

Prima facie, tampaknya terdapat perbedaan-perbedaan penting di antara kalimat-

kalimat seperti ‘7 + 5 = 12’ dan kalimat-kalimat seperti ‘gaya gravitasi berbanding

terbalik dengan jarak’ atau 'elektron-elektron memiliki muatan yang berlawanan

terhadap muatan proton-proton'. Sekurang-kurangnya, pernyataan-pernyataan

matematis sederhana memiliki tingkat kedapatjelasan yang tinggi dan, barangkali,

kepastian, yang tidak dimiliki oleh sains yang sangat teoretis.

Salah satu perbedaan antara matematika dan fisika teoretis adalah kita tidak dapat

membayangkan kebenaran-kebenaran matematis sederhana, setidaknya, sebagai

sebaliknya. Kita tidak dapat memahami 7 + 5 sebagai selain 12. Tetapi, ini adalah

suatu sifat psikologis manusia, bukan pemahaman metafisik mendalam tentang sifat

kebenaran matematis. Namun demikian, ini membawa beberapa filsuf untuk

berkesimpulan (secara keliru) bahwa kebenaran matematis bersifat mesti. Selain itu,

matematika meresap ke dalam jaring sains, dalam artian ia memainkan peran dalam

hampir setiap sela dan celah. Karena matematika juga sangat tersebar luas, maka ia

sangat tidak cenderung menjadi bidang yang direvisi oleh observasi-observasi yang

tegas. Saat kita memiliki data yang meruntuhkan suatu teori, maka seorang ilmuwan

sains akan memeriksa untuk memodifikasi bagian-bagian lebih terkait sains dalam

teori itu, dan bukan matematikanya. Alasan untuk hal tersebut bersifat pragmatis,
bukan metafisik. Modifikasi terhadap matematika akan menyebabkan terlalu banyak

kerusakan bagi bagian-bagian lain dari jaring, sehingga akanlah sukar mencapai

ekuilibrium. Bagi penganut pandangan Quine, matematika memiliki status relatif

apriori dalam artian bahwa matematika “dipertahankan tetap” saat ilmuwan sains

memeriksa kesesuaian teori dengan observasi. inilah sedekat mungkin yang mereka

mampu ke arah pandangan tradisional bahwa matematika mesti dan diketahui apriori.

Para pengikut Quine menegaskan bahwa revisi-revisi pada matematika (dan logika)

mungkin saja terjadi.

Dari holisme dan empirisismenya, Quine menerima sebagai benar hanya bagian-

bagian dari matematika yang menemukan aplikasi dalam sains. Tegasnya, agar

seorang pengikut Quine menerima suatu cabang matematika, maka haruslah terdapat

koneksi, betapa pun jauh, antara pernyataan-pernyataan dari cabang itu dan

observasi-observasi inderawi. Jika tidak demikian, matematika itu bukan, atau tidak

seharusnya menjadi, bagian dari jaring keyakinan. Quine berkata bahwa dia dapat

menerima sekian matematika lagi, untuk tujuan-tujuan 'pembulatan'. Barangkali, dia

memaksudkan bahwa suatu cabang matematika dapat diterima jika ia berperan dalam

mengorganisasikan dan menyederhanakan matematika yang tidak berperan dalam

jaring keyakinan. Namun demikian, matematika terapan plus ‘pembulatan’ tidak

memeras habis semua matematika kontemporer. Quine secara eksplisit meragukan

pencapaian-pencapaian lebih lanjut dari teori himpunan, Karena tidak terdapat

aplikasi-aplikasi yang diketahui bagi sains: “Sedemikian banyak dari matematika

sebagaimana yang dikehendaki untuk penggunaan dalam sains empirik bagi saya
adalah setara dengan yang lain-lainnya dalam sains. [Sebagian dari teori himpunan

tingkat lanjut adalah] pada pijakan yang sama sepanjang [ia] berkenaan dengan suatu

pembulatan untuk tujuan penyederhanaan, tetapi apa yang lebih jauh lagi setara

dengan sistem-sistem yang tidak diinterpretasikan” (Quine I984: 788). Untuk cabang-

cabang yang tidak diinterpretasikan, Quine mengambil posisi hipotetis, sangat mirip

dengan pandangan yang diistilahkan sebagai 'deduktivisme'.

Para matematikawan sendiri tidak memandang aplikasi-aplikasi dalam sains sebagai

suatu kriterion kebenaran matematis. Sebagian besar, mereka sama sekali tidak

berurusan dengan aplikasi-aplikasi dalam kerja sehari-hari mereka, dan mereka tidak

bersandar pada peranan matematika dalam sains untuk mengukuhkan pemyataan-

pernyataan matematis. Metodologi dari matematika bersifat deduktif, sehingga suatu

pernyataan matematis harus dibuktikan sebelum ia diketahui. Oleh karena itu,

empirisisme Quine tidak sejalan dengan metodologi matematika. Seorang penganut

pandangan Quine mungkin berargumentasi bahwa, secara pragmatis, kita telah

menemukan bahwa dengan matematika dipraktikkan “untuk matematika itu sendiri”,

terlepas dari aplikasi-aplikasi mana pun, matematika berperan untuk melayani

kebutuhan-kebutuhan sains. Namun demikian, alasan yang sesungguhnya untuk

menjadi seorang realis dalam nilai kebenaran tentang (beberapa) pernyataan

matematis dan untuk meyakini eksistensi (beberapa) objek matematis yaitu

kedudukan matematika dalam bidang sains.

D. Realisme Teori Himpunan


Pada sekitar tahun l990-an terjadi publikasi banyak sekali buku penting dalam filsafat

matematika. Salah satu kontribusi pentingnya adalah pembelaan Penelope Maddy

(1990) bagi realisme ontologis dan nilai kebenaran yang mensintesis aspek-aspek dari

platonisme Gede! dan empirisisme Quine, dengan menghindari kelemahan-

kelemahan dari keduanya.

Seperti Quine (dan Mill), Maddy adalah seorang naturalis. Dia mengargumentasikan

bahwa realisme ontologis tentang suatu type entitas terjustifikasi jika eksistensi

objektif dari entitas-entitasnya merupakan bagian dari penjelasan terbaik kita tentang

dunia. Maddy (I990) mendukung argumen indispensabilitas Quince-Putnam. Karena

matematika bersifat esensial bagi sains modern, dan sains modern ini adalah “teori

terbaik“ yang kita miliki, maka kita memiiiki alasan yang bagus untuk meyakini

eksistensi objek-objek matematis. Penilaian teori-teori sains memberi kita sedikit

pilihan dalam perkara ini. Namun demikian, Maddy memandang sebagai suatu

keperluan bahwa sebarang filsafat matematika harus mewadahi sebagian besar

matematika, bukan hanya bagian-bagian yang terbukti berguna bagi para ilmuwan

sains. Selain itu, dia mencatat bahwa argumen indispensabilitas mengabaikan

'kedapatjelasan' dari matematika dasar. Pada umumnya, bagian-bagian yang paling

teoretis dari jaring keyakinan adalah apa pun kecuali apa yang serta-merta dapat jelas,

dan oleh karena itu tidaklah tepat matematika dimasukkan ke dalam bagian-bagian

teoretis dari jaring keyakinan dan meninggalkannya demikian.


Dengan demikian, Maddy mengupayakan ‘platonisme kompromi’: “Dari

Quinta/Putnam, kompromi ini mengambil sentralitas argumen-argumen

indispensabilitas; dari Go ̈ del, kompromi ini mengambil pengakuan bentuk-bentuk

evidensi yang mumi matematis berikut tanggung jawab untuk menjelaskannya”

(Maddy I90: 35). Epistemologi Maddy untuk matematika 'bertingkat-dua'. Pada

tingkat yang bawah, kita memiliki “intuisi”, yang mendukung prinsip-prinsip dasar

dari teori-teori matematis yang pokok. Dengan mengikuti pandangan Gode, aksioma-

aksioma dari berbagai cabang matematika memaksakan diri kepada kita sebagai

benar. Pada tingkat yang atas, matematika dijustifikasi ‘secara ekstrinsik’, melalui

aplikasi-aplikasinya pada matematika di tingkat yang bawah dan pada sains alam.

Tiap tingkatan dari epistemologi Maddy tersebut mendukung satu tingkat yang lain,

dan bersama-sama, dua tingkatan itu mewadahi keseluruhan rentang matematika-

demikianlah kira-kira argumentasi dari Maddy.

Seperti kita ketahui, pengertian Go ̈ del tentang intuisi matematis sering kali dikritik-

atau dicemoohkan-karena tidak sejalan dengan naturalisme. Bagaimanakah manusia,

sebagai organisme fisik yang menghuni semesta fisik, dapat memiliki pengetahuan

intuitif dari realm objek-objek abstrak yang lembam secara kausal? Bagaimanakah

pikiran manusia, seperti dijelaskan oleh psikologi empirik, dapat mengetahui sesuatu

tentang himpunan-himpunan dan bilangan-bilangan, seperti yang dideskripsikan oleh

matematika? Maddy secara serius menjalankan ‘tanggung jawab untuk merjelaskan'

intuisi matematis-yang tingkat bawah dari epistemologinya. Intuisi matematis harus


dapat dihargai dengan alasan-alasan yang bersifat ilmiah sains sebelum seorang

naturalis dapat menggunakannya.

Ingat bahwa, bagi Go ̈ del, intuisi matematis beranalogi dengan persepsi inderawi.

Maddy mengajukan suatu koneksi yang lebih erat antara matematika dan persepsi

inderawi (Maddy I990: cb. 2, lihat juga 1980). Bagi Maddy, objek-objek matematis

yang hendaknya dijustifikasi adalah himpunan-himpunan, dan oleh karena itu dia

menyebut pandangannya sebagai ‘realisme teori himpunan’. Dia mengemukakan

bahwa kita sebenarnya mempersepsi beberapa himpunan, yaitu himpunan-himpunan

dari objek-objek fisik berukuran sedang. Inovasi Maddy sekurang-kurangnya

membawa beberapa objek matematis ke dalam dunia fisik, sedemikian hingga masuk

ke dalam bidang langsung dari fisika dan psikologi.

Sebagai cabang-cabang matematika murni, teori-teori himpunan modern tidak

berkenaan dengan himpunan-himpunan dari objek-objek fisik. Hirarki teori himpunan

sepenuhnya abstrak, terdiri atas himpunan kosong, powerset dari himpunan kosong,

dan sebagainya. Maddy tidak mengklaim bahwa kita mempersepsi ‘himpunan-

himpunan mumi’ seperti itu, tidak pula bahwa kita memiliki intuisi-intuisi langsung

tentangnya. Sebagai tanggung jawab kepada filsuf-filsuf yang cenderung menolak

objek-objek abstrak, Maddy (1990: ch. 5) menunjukkan bagaimana untuk melepaskan

himpunan-himpunan murni, dengan membuat sketsa suatu teori himpunan yang

cukup kuat di mana setiap sesuatunya adalah suatu objek fisik atau suatu himpunan

dari himpunan-himpunan yang terdiri atas objek-objek fisik.


Banyak sekali garapan Maddy dalam filsafat matematika berfokus pada perkara

kalimat-kalimat independen, dan perkara yang terkait erat tentang apa yang

sebenarnya melandasi keyakinan pada aksioma-aksioma teori himpunan (1988,

1988a, 1993). Ketertarikannya pada naturalisme (dan independensi) membawa

Maddy untuk melakukan studi ekstensif tentang metodologi matematis dan peran

matematika dalam sains-jaring keyakinan. Kerjanya ini mewujud dalam Naturalism

Mathematics (1997) (Lihat juga Maddy I995, I996). Fokus pada naturalisme

mengarahkan Maddy untuk secara substansal memodifikasi realisme yang dibelanya

dalam bukunys Realism in Mathematics (1990). Pada sebarang kasus, Maddy

mengemukakan bahwa sifat apriori dan matematika adalah lemah. Barangkali, Maddy

lebih dekat kepada Mill dan Quins dibandingkan kepada pandangan-pandangan

tradisional tentang sifat dari pengetahuan matematis.


III. PENUTUP

III.1Kesimpulan
Secara umum, terdapat dua aliran pikiran dalam filsafat matematikai
kontemporer (dan, sampai pada taraf tertentu, dalam metafisika dan
epistemologinya). Salah satu kelompok meyakini pernyataan-pernyataan dalam
matematika seharusnya dipahami kurang lebih secara harfiah, “pada nilai
permukaan'. Aliran pikiran yang kedua adalah kebalikan dari yang pertama
tersebut.
Sifat-sifat pandangan realisme dalam ontologi kontemporer
1. Sifat-sifat pandangan realisme dalam ontologi kontemporer antara lain:
2. Para realis ontologis memahami pernyataan-pernyataan matematis dengan
pemaknaan harfiah langsung;
3. Hanya terdapat satu jenis 'eksistensi', yang aplikabel pada matematika maupun
pada wacana biasa;
4. Kebanyakan realis ontologis meyakini bahwa eksistensi bilangan-bilangan,
himpunan-himpunan, dan sebagainya, tidak terikat pada pikiran, bahasa, dan
konvensi-konvensi dari matematikawan.
Sifat-sifat intuisi matematis menurut Godel antara lain:
1. intuisi-intuisi (matematis) adalah keyakinan-keyakinan yang telah berurat-
berakar tentang objek-objek matematis.
2. Keyakinan-keyakinan intuitif dapat bersifat menyesatkan dan perlu
diperbaiki oleh teori.
3. Intuisi-intuisi matematis adalah semacam kilasan-kilasan ke dalam suatu

realm matematis yang objektif.


4. Meski intuisi merepresentasikan suatu hubungan antara kita dan realitas

matematis, tetapi dunia matematis melampaui 'persepsi' kita tentangnya.


Sifat-sifat dari pandangan Quine antara lain:
1. Empirisisme (dari Mili), bahwa semua pengetahuan yang substansial pada

akhirnya didasarkan pada observasi inderawi. Sesungguhnya tidak ada

pengetahuan apriori.
2. Naturalisme (dari Mili), bahwa fílsafat tidak berdiri mendahului sains,

tidak pula berperan untuk menjustifikasi pernyataan-pernyataan dalam

sains. Epistemologi harus berpadu dengan sains alam, terutama fisika.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai