Anda di halaman 1dari 12

CHAPTER 10

TEORI TIPE 1 DAN TEORI TIPE 2:


DARI BEHAVIORISME KE KONSTRUKTIVISME

Skema yang dijelaskan dalam Bab 8 terkait dengan model mental, model
mental itu mewujudkan fitur yang dipilih dari dunia luar. Pada tingkat
pengetahuan umum model mental dapat meningkatkan kekuatan kita untuk
memahami , memprediksi , dan membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada di
dunia nyata. Contohnya seperti pengrajin, teknisian, dan semua yang tentang
desain-desain, mereka menggunakan kemampuan mental models. Mental model
itu biasa dipelajari dan dilatihkan.
Teori adalah model mental yang lebih abstrak dan umum daripada yang
dibangun dan digunakan pada sehari-hari. Terkadang, apa yang diamati, dan
penyebabnya, berada di sekitar pada tingkat abstraksi yang sama. Seperti saat
melihat pohon bergoyang dan kita bisa merasakan anginnya mengenai wajah, dan
kita mengetahui bahwa angin yang menyebabkan pohon tersebut bergoyang. Di
lain waktu, ini bukan penyebab.

A. Teori Tipe 1 dan Teori Tipe 2


Teori tipe 1 adalah sebuah model mental abstrak, umum, dan teruji dari
keteraturan di dunia fisik. Ini disebut dengan law of nature dan kualitas untuk
deskripsi ini memiliki kekuatan penjelasan dan prediksi. Semua ilmu pengetahuan
alam seperti kimia, astronomi, metalurgi, genetika, teori elektromagnetik masuk
ke dalam teori tipe 1.
Teori tipe 2 adalah sebuah model keteraturan tentang proses teori tipe 1
terbentuk dan perencanaan pelaksanaanya. Contoh teori tipe 2 adalah teori Piaget,
teori Van Hiele tentang pembelajaran matematika, dan Skemp tentang teori
kecerdasan. Dan teori konstruktivisme juga termasuk dalam teori tipe 2.

Teori 1 berhububungan dengan dunia fisik, teori 2 berhubungan dengan


pikiran, segala sesuatu yang tidak terlihat oleh kita tetapi ada pada diri kita. Teori

1
2

1 bisa dibangun, diuji, dan diprediksi. Sebaliknya untuk teori tipe 2 tidak bisa
karena ada di dalam pikiran. Pada Teori 1 gampang untuk memanipulasi sikap
dari orang lain, jadi kita bisa memanipulasi sikap orang lain.

B. Teori dan Metodologi


Metodologi itu adaalah suatu kumpulan metode untuk membangun
(dibangun dan dites) suatu teori, bersama dengan sebuah pemikiran yang
menentukan apakah sebuah metode tepat atau tidak. Metodologi dan teori
hubungannya erat, suatu teori yang baik dibangun dengan menggunakan
metodologi yang tepat. Contoh, Steffe (1977) menuliskan:
konstruktivisme, teori epistemologis, belum menghasilkan teori pembelajaran
matematika. Namun, beberapa prinsip dasar dari konstruktivisme telah digunakan
untuk memberikan analogi yang kuat untuk membuat model dalam pengajaran
dan pembelajaran matematika. Steffe menggunakan metodologi yang disebut
dengan model pembelajaran eksprimen,
Ginsburg (1977) juga menyatakan secara eksplisit posisi teoritis dan
metodologi.
Dengan menggunakan teori Piaget, saya mencoba untuk menunjukkan
seperti apa dan bagaimana perkembangan proses berpikir anak dalam
menyelesaiakn masalah matematika baik dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Dan metode yang digunakan adalah wawancara lebih mendalam terhadap anak-
anak dalam menyelesaikan bermacam jenis masalah.
Ketika seorang peneliti tidak memiliki alasan indikasi eksplisit untuk
memilih suatu metodologi yang digunakan, terdapat beberapa alasan yang
mungkin terjadi pada pemilihan metodologi.
1. Dia berharap yang membaca tulisannya ini memiliki teori yang sama dan
metodologi yang sama. Ini biasanya pada penelitian-penelitian dalam ilmu
alam, seperti listrik dan magnet, kimia, dan fisika anatomi. Penelitian
semacam ini menurut Khun (1970) adalah penelitian ilmu pengetahuan
normal.
2. Teori yang secara umum sama tapi digunakan dalam konteks yang
berbeda sehingga metodologi yang digunakan berbeda.
3

3. Terdapat suatu hasil pengamatan sistematis yang belum disimpulkan sebagai


suatu teori, maka akan dilakukan penelitian sehingga memperoleh teori.
4. Kesimpulan yang diperoleh dan metodologi yang digunakan tidak
berkaitan.
Dari keempat alasan di atas Skemp berpendapat, bahwa alasan (2) dan (3)
dapat diterima, (4) tidak bisa diterima, (1) juga bisa dterima, tetapi tidak dalam
bidang yang berbeda hanya pada bidang ilmu pengetahuan alam.

C. Metodologi Tipe 1 dan Metodologi Tipe 2


Metodologi tipe 1 berkaitan dengan pembentukan (membangun dan
pengujian) model yang membutuhkan fungsi delta-one yang baik. Ketika model
ini telah dibentuk, maka model ini adalah teori tipe 1. Metodologi tipe 2 berkaitan
dengan pembentukan (membangun dan pengujian) model tapi lebih kepada
bagaimana proses pada teori tipe 1 itu dibentuk, bagaimana pelaksaan
perencanaan dari toeri tipe 1 itu. Ketika model ini telah dibentuk maka model ini
adalah teori tipe 2.Pada tbel 8.1 terdapat penjelasan skema building dan skema
testing. Metodologi itu akan semakin baik jika menggunakan kombinasi keduanya
membangun dan pengujian.

D. Metodologi dalam Ilmu Alam


Setiap ilmu alam memiliki metode yang berbeda-beda. Metodologi yang
berbeda digunakan untuk astronomi dan aerodinamik, elektronik dan geofisika.
Ilmu-ilmu ini memiliki prinsip-prinsip tertentu secara umum, dan bersama
membentuk apa yang disebut dengan metode ilmiah (Popper, 1976).
Untuk membangun teori dalam ilmu alam, tiga model pembentukan skema
dapat diterima dan tepat. Tidak ada kekurangan contoh untuk setiap model. Teori
Faraday tentang elektromagnetik berdasarkan pada observasi, defleksi dari sebuah
jarum kompas (pembentukan cara 1). Kemunculan setiap generasi ilmuan baru
termasuk studi tentang penemuan tentang masa lalu (pembentukan cara 2). Dari
struktur konseptual yang terbangun melalui jalan ini, pikiran dengan kreatifitasnya
membentuk ide-ide baru. Ide-ide tersebut dapat muncul dalam berbagai jenis cara,
beberapa tergolong dalam ilmiah: seperti mimpi Kekule yang terkenal yaitu
4

seekor ular memakan ekornya, hal ini menginspirasi dia dalam menemukan
pengetahuan tentang struktur molekul Benzena. Tetapi ilmuan terkenal lain (baca
Ghisellin, 1952) telah juga mengetes pentingnya intuisi dalam penemuan mereka.
Kita membutuhkan semua ide yang bisa kita dapatkan untuk menghasilkan
penemuan baru, dan tidak terlalu khawatir tentang darimana sumbernya.
Yang penting adalah bahwa ide-ide baru ini di tes dengan benar sebelum
diterima menjadi bagian dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, tiga cara sangat
penting: tetapi dalam ilmu alam cara 1 tidak terabaikan. Motto dari Royal Society,
nemine inverbo, memberitahukan bahwa tidak hanya kata-kata tetapi oleh tes
eksperimen yang berulang-ulang bahwa sebuah teori (tipe 1) akhirnya teruji atau
tidak.
Hal ini cocok dengan model terbaru. Jika tujuan pembentukan teori tipe 1
adalah untuk meningkatkan kekuatan delta one yang berhubungan dengan dunia
fisik, dunia fisik merupakan tempat teori tipe 1 harus membuktikan
keberhasilannya. Kriteria lain seperti ekonomi keterkaitan, intelegensi juga
penting. Kriteria ini membantu untuk membuat sebuah teori lebih bermanfaat,
dengan memfasilitasi perubahan pengetahuan (apa) menjadi pengetahuan
(bagaimana).

E. Metodologi yang Digunakan dalam Penelitian Pendidikan Matematika


1. Metodologi Behavioristik dan Neo-Behavioristik
Pengaruh dominan yaang dialami sekolah selama bertahun-tahun pada
masa dahulu sekarang telah hilang, dan relatif sedikit inovasi dalam penelitian
yang termasuk dalam behavioristik. Namun, behavioristik masih memberikan
contoh yang baik tentang hubungan antara teori dan metodologi; dan terdapat
pelajaran penting yang bisa dipelajari dengan menganalisis kesalahan yang bisa
kita lihat sejalan dalam pendekatan behavioristik. Jika kita tidak belajar dari hal
tersebut, kita kemungkinan jatuh dalam kesalahan yang sama meskipun berada
dalam satu situasi yang baru.
Perkembangan behavioristik sangat dekat hubungannya dengan usaha
akademik para psikolog untuk membangun psikologi sebagai ilmu yang diterima.
5

Sangat bisa dipahami bahwa usaha-usaha ini diambil sebagai model ilmu alam,
bahkan pada masa awal lahirnya psikologi membuktikan kemampuannya dalam
memungkinkan kita untuk membentuk lingkungan fisik, sehingga telah
menunjukkan pertumbuhan tingkat eksponensial.
Ciri-ciri metode dalam semua ilmu fisik adalah:
1. Eksperimen yang dapat diubah, di mana orang lain bisa menguji hasil peneliti
individu, sebagai sebuah peringatan awal terhadap kesalahan eksperimen dan
sebagai materi prasyarat untuk penerimaan secara umum terhadap hasil
tersebut.
2. Pengukuran dalam satuan standar, tanpa syarat dan hasil eksperimen (untuk
poin 1) tidak bisa digambarkan secara akurat.
3. Isolasi dan manipulasi variabel bebas, sehingga pengaruh yang terpisah pada
variabel bebas bisa diukur.
4. Hasil disajikan dalam pernyataan kualitatif dan kuantitatif.
untuk menggunakan metode ini dalam penelitian psikologi, penyesuaian sangat
diperlukan.
Untuk menolak model behavioristik karena sangat mekanis sangat bisa
dipahami, tetapi dalam pandangan saya, bukan alasan yang baik. Carpenter (1979)
menunjukan bahwa “Pertanyaan yang sesuai adalah pragmatis. Model mana yang
lebih tepat untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku?” Walaupun metode
pengajaran berdasarkan (secara sadar atau tidak) pada model behavioristik telah
memperoleh keberhasilan dalam membawa berbagai jenis kebiasaan belajar
seperti tekanan oleh tikus dan menendang bola ping pong oleh penguin,
merupakan sebuah kenyataan pahit bahwa metode pengajaran berdasarkan model
behavioristik gagal dalam membentuk bentuk belajar yang lebih tinggi
tingkatannya, karena manusia sangat berbeda dari tikus dan penguin laboratorium,
dan matematika merupakan contoh yang jelas. Selain itu, kelemahan model
behavioristik yaitu model tersebut tidak berfungsi karena adanya kritik yang
dibuat dengan alasan mereka (behavioristik) mempunyai kesalahan kategori.
Kesalahan kategori pertama yang dipercaya melekat pada beberapa model
behavioristik yaitu apakah lingkungan fisik tidak berbeda dengan aktivitas kita
6

dalam membentuk lingkungan tersebut. Setiap upaya yang dilakukan oleh A


untuk membentuk perlaku B menyatakan beberapa tingkat kehilangan kebebasan
untuk B, apakah ini disadari atau tidak. Hal ini menyebabkan terjadinya
kemungkinan bahwa secara sadar atau tidak, B akan berusaha mempertahankan
kebebasannya dengan menolak pembentuk perilakunya. Apakah B bertahan atau
tidak, dan berapa banyak, akan mungkin bervariasi antar individu dan akan
bergantung sebagian pada bagaimana masing-masing menafsirkan keadaan.
Ketika faktor ini ada, atau terdapat kemungkinan yang kuat akan keberadaannya,
disarankan untuk mengabaikannya.
Kesalahan kategori kedua dibuat ketika simbol disamakan dengan konsep:
ketika sebuah tanda di atas kertas disamakan dengan maknanya. Untuk
behavioristik, pernyataan
a(x + y) = ax + ay
dan
perkalian bersifat distributif terhadap penjumlahan
adalah dua hal yang berbeda. Tetapi bagi seorang matematikawan, hal tersebut
merupakan dua cara di antara banyak cara berbeda menyatakan makna yang sama;
dan bagi seorang pendidik matematika, yang penting adalah siswa memahami hal
ini, memahami artinya dan bisa menunjukkan bahwa siswa mengaplikasikan
skema terhadap contoh yang bervariasi. Jadi untuk para peneliti dalam pendidikan
matematika, perbedaan antara simbol dan konsep hanya satu bahwa perbedaan
tersebut sangat penting untuk diperhatikan.
Kesalahan kategori ketiga dan yang paling penting karena menjadi ciri-ciri
model behavioristik yaitu gagal untuk membedakan antara teori tipe 1 dan tipe 2.
2. Interview Diagnostik dan Eksperimen Pengajaran
Sangat berbeda dengan yang disebutkan sebelumnya, metodologi dan
teori, merupakan hasil kerja Piaget dan koleganya. Sebuah pengakuan yang jelas
dan pasti dari metode Piaget, dan keasliannya, ditemukan dalam Opper (1977).
Metodologi selanjutnya mungkin berbeda, poin demi poin, dengan metode
yang dikelompokkan sebagai ciri metodologi behavioristik pada sesi sebelumnya.
Selain sebuah eksperimen yang bisa digantikan, sekarang kita memiliki interview
7

individu, tidak ada dua individu yang mirip. Selain design ekperimen yang secara
baik direncanakan, dan dijalankan sejauh mungkin terhadap rencana-rencana ini
dalam setiap langkah, kita memiliki eksperimen yang mana hanya situasi awal dan
hipotesis yang dipersiapkan dengan baik, hipotesis dan prosedur baru secara
sukses dikenalkan berdasarkan hasil eksperimen sejauh ini. Selain hasil yang
diukur dalam satuan standar juga dihadirkan secara deskriptif. Kadang kutipan
atau keluaran dari respon verbal anak-anak diberikan secara verbal, bersama
dengan kesimpulan orang yang melakukan eksperimen. Selanjutnya, dalam
metodologi behavioristik hasil eksperimen biasanya diberikan dalam bentuk
beberapa jenis gambar, seperti sebuah matriks korelasi, tabel rata-rata dan standar
deviasi, analisis varian, bersama dengan level signifikansi, yang kesimpulannya
merupakan hipotesis eksperimen jika dalam hal ini dikonfirmasi.
Hal yang berbeda, hasil dari eksperimen Piaget yang disajikan dalam
bentuk beberapa pernyataan umum memberikan sebuah sintesis atau kilasan
pernyataan terakhir dari pemkiran orang yang melakukan eksperimen, hasil dari
modifikasi yang sukses hipotesis asli Piaget selama pelaksanaan eksperimen. Dan
pada akhirnya pendekatan Piaget lebih banyak memakan waktu, berkaitan dengan
jumlah subjek dari siapa data dikumpulkan, daripada behavioristik. Jumlah waktu
yang digunakan oleh orang yang melakukan eksperimen merupakan sebuah
kesulitan praktis utama dalam penelitian gaya Piaget.
Apakah asumsi implisit yang mendasari paradigma yang berbeda ini? Hal
ini akan dirangkum sebagai berikut:
Paradigma Behavioristik. Apa yang kita minati adalah tingkah laku subjek yang
dapat diamati secara umum, dan hal ini dibentuk oleh kondisi eksternal terhadap
subjek. Kondisi ini bisa didefinisikan secara operasional, dan dikontrol dengan
sebuah tingkatan ketepatan oleh seorang peneliti atau guru. Faktor-faktor internal
pada subjek, dan khususnya faktor-faktor spesifik pada individu, munculnya
secara acak dan bisa dihilangkan dengan teknik statistik yang sesuai/ tepat.
Paradigma Piaget. Apa yang kita minati adalah proses mental yang muncul pada
tingkah laku subjek yang bisa diamati, dan hal ini merupakan hasil proses internal
terhadap subjek. Proses mental bervariasi antara individu yang berbeda, dan di
8

antara individu yang sama pada umur yang berbeda; dan perbedaan sama
pentingnya dengan kemiripan. Untuk menyelidiki proses mental, kita butuh kerja
sama individu dalam hubungan searah dengan peneliti, membuat hipotesis
tentang proses mental dasar yang diuji terhadap berbagai tingkah laku yang dapat
diamati.

F. Pengajaran Eksperimen
Teori klasik Piaget tidak terlalu berfokus pada fungsi pengajaran. Dalam
konteks pendidikan, hubungan antara pengajaran dan belajar, bersama dengan
sifat dasar dan kualitas belajar, merupakan salah satu fokus kajian. Jadi, sudah
biasa jika peneliti mendasarkan penyelidikan pada metodologi eksperimen
pengajaran. Diantaranya adalah penganut konstruktivis.
Rangkuman enam prinsip konstruktivistik diberikan oleh Steffe, Richards,
dan Von Glassersfeldt (1979). Diantara ciri utama sebagai berikut.

“Pengetahuan dipandang sebagai pesinggungan terhadap invarians dalam


pengalaman organisme hidup daripada kesatuan, struktur dan kejadian dalam
sebuah keberadaan dunia yang independen. Operasi mental merupakan bagian
dari sebuah struktur total, dan struktur dipandang sebagai pengaturan operasi.
Perilaku yang berbeda dari seorang anak bisa ditafsirkan sebagai bawaan dari
struktur kognitif yang sama. Susunan lingkungan belajar harus
dipertimbangkan dalam dua kerangka referensi. Pada satu sisi, terdapat sistem
operasi yang mengatur pengalaman anak dan, pada sisi lain, terdapat isi yang
bisa dipelajari. Konsep, struktur, keterampilan, atau apapun yang dipandang
sebagai “pengetahuan” tidak dapat disampaikan dengan instan dari guru ke
siswa atau dari pengirim ke penerima. Pengetahuan harus dibangun, bagian
demi bagian, selain elemen yang harus ada pada subjek.”

Pembaca tidak akan luput memperhatikan hubungan yang dekat antara ide-
ide dalam kutipan tersebut dan yang dibahas pada bagian sebelumnya. Ketika
pertama membaca makalah dari mana intisari tersebut dkutip, terasa berada pada
posisi karakter Moliere dalam Le Bourgois Gentilhomme, yang menemukan
bahwa Moliere telah mengucapkan prosa sepanjang hidupnya tanpa
mengetahuinya. Dalam kasus sendiri, saya telah menjadi seorang konstruktivis
sejak awal 1960 (Skemp, 1962), walaupun belum menemukan istilah kontruktivis
sampai pertengahan tahun 1970.
9

Metodologi ini bisa dianggap sebagai perluasan wawancara diagnostik,


dimana tujuannya adalah untuk membuat dan mengetes hipotesis tidak hanya
tentang ciri dasar pemikiran anak pada waktu tertentu, tetapi tentang bagaimana
pemikiran tersebut dibangun dari satu tahap ke tahap lain. Hal ini dirangkum oleh
Steffe (1977) sebagai berikut:
1. Peneliti mengajar kelompok kecil anak sehari-hari.
2. Pengamatan intensif terhadap setiap anak sebagaimana meraka ikut serta
dalam perilaku matematika.
3. Memperlama keterlibatan dengan anak yang sama selama enam minggu
menuju tahun akademik baru.
4. Wawancara diagnostik dengan anak,
5. Catatan rinci observasi dengan tape recorder dan hasil kerja tertulis anak.
Selanjutnya sangat cocok dengan model terbaru. Penekanan utama
berikutnya adalah apa yang bisa dipelajari dengan pemahaman tergantung pada
skema yang tersedia. Skema tersebut tidak bisa diamati secara langsung pada
anak, atau siswa lain: anak harus dirujuk berdasarkan tanggapannya. Jenis
tanggapan yang dibutuhkan untuk tujuan ini, yang termasuk membedakan antara
apa yang telah dipelajari dengan pemahaman dan apa yang baru saja dihafal
sebagai sebuah aturan, bukan merupakan tanggapan tertulis pada pertanyaan
standar, tetapi yang diperoleh dalam keadaan wawancara diagnostik. Jadi,
perpaduan antara situasi pengajaran dengan wawancara diagnostik menawarkan
kesempatan untuk penarikan kesimpulan tentang gambaran skema anak pada
tingkatan yang berbeda dalam belajar, dan tentang proses dimana anak
berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan lain.
Urutan pemikiran ini juga masuk akal dalam hubungannya dengan
pendidikan. Hanya sebagai sebuah bidang utama dimana ilmu-ilmu alam
membuktikan kepantasan yaitu ketika bisa membantu dalam perolehan di dunia
fisik, jadi sebuah bidang utama dimana teori tipe 2 harus menunjukan
kepantasannya yaitu pendidikan. Untuk ini, penelitian berdasarkan pada
pengajaran eskperimen berhenti menuju permulaan yang baik.
10

Pengalaman pribadi dalam bidang ini menyarankan bahwa dari sebuah


pendekatan yang persis sama seperti yang dijelaskan Steffe, tetapi kurang intensif,
banyaknya nilai masih bisa dipelajari. Dari tahun1980 sampai 1985, saya dan
seorang teman bekerja sekali seminggu di sekolah-sekolah yang siswanya
berumur 5-11 tahun, tujuan utamanya adalah mengetes dan merevisi bidang
dimana pentingnya metode pengajaran dan materi berdasarkan pada teori yang
dijelaskan pada buku terbaru. Posisi yang diambil adalah walaupun selalu terdapat
lebih yang perlu diketahui tentang bagaimana anak mempelajari matematika,
sudah saatnya ketika terdapat banyak manfaat terhadap anak dari perwujudan
dalam kelas mempraktekkan teori yang dibangun daripada dari usaha untuk
memperhalus teori yang masih jauh. Hal ini masih termasuk eksperimen
pengajaran, walaupun tujuannya adalah salah satu tes dan pengembangan
kurikulum daripada pembentukan teori.
Situasi pengajaran termasuk dalam tiga kategori utama: diskusi yang
dipimpin oleh peneliti, aktivitas siswa dalam kelompok kecil atau berpasangan,
dan permainan matematika untuk 2-6 anak. Diskusi informasi anak dengan yang
lain tentang apa yang dikerjakan, dan juga penjelasan yang mereka berikan
kepada yang lain, keduanya sebagai bantuan dan pembenaran sangat dihargai.
Yang penting juga adalah penggunaan materi yang berstruktur matematika. Dari
banyak hal yang dipelajari berasal dari jenis pengamatan tersebut, dan termasuk
bagian diskusi dengan guru. Kadang, ditanyakan kepada anak, seperti “bisakah
menjelaskan bagaimana kamu mengetahuinya?”
Pengamatan 1
Peneliti (Ainley, J., komunikasi personal, 1985) mengajar tiga anak berumur 5
tahun. Peneliti bertanya jika mereka bisa menentukan hasil 5 + 4. Anak pertama
menggunakan perhitungan. Dia menghitung sebanyak 5, kemudian menghitung
lagi sebanyak 4 dan akhirnya menghitung keseluruhan. Anak kedua menggunakan
jari, menggunakan metode perhitungan. Anak ketiga melihat ke atas langit-langit.
Ketiga siswa memberikan jawaban yang sama yaitu Sembilan. Seorang teman
bertanya kepada anak ketiga: “Saya bisa melihat apa yang dilakukan oleh yang
lain untuk mendapatkan jawaban, tetapi tidak bisa melihat apa yang kamu
11

lakukan. Bisakah kamu menjelaskannya?” anak ketiga menjawab, “5 dan 5 sama


dengan 10, 4 kurang satu dari 5, jadi jawabannya kurang satu: sembilan”.
Penafsiran. Anak pertama dan kedua berada pada tingkatan pembentukan skema,
menggunakan cara 1 (pengalaman fisik). Anak kedua memiliki model yang lebih
tinggi daripada anak pertama karena menghitung menyatakan setidaknya sebuah
kesadaran intuitif bahwa kumpulan pertama disatukan merupakan bagian dari
kumpulan yang merupakan hasil dari gabungan. Anak ketiga memiliki skema
yang berhubungan, dimana dia bisa memperhitungkan dari sesuatu yang sudah
diketahuinya (5 + 5 = 10) untuk membentuk hasil yang baru (5 + 4 = 9).
Rangkaian kesimpulan yang sangat bagus untuk seorang anak berusia 5 tahun.
Dalam observasi jenis ini dan lainnya telah menunjukkan bahwa dengan
kekaguman tingkatan berpikir yang dapat dilakukan oleh anak, jika kita
membiarkan mereka untuk memelihara kemampuan alami (Ginsberg, 1977).
Pengamatan menarik lain juga dilakukan beberapa bulan kemudian dengan anak
yang berbeda, di sekolah yang berbeda.
Pengamatan 2
Dalam aktivitas ini, memfokuskan dalam membangun mengingat dengan lancar
fakta penjumlahan (terdapat perbedaan cara ini dengan belajar menghafal).
Digunakan permainan untuk dua orang dalam belajar. Pemain yang satunya
membagikan kartu yang bertuliskan semua pasangan angka penjumlahan, dari 1+1
sampai 5+5. Pemain tersebut harus mengatakan hasil jika bisa melakukannya;
pemain yang lain memiliki aturan pemasangan linear, yang dia gunakan juga
untuk mengecek hasil jika ada keraguan atau untuk memperoleh hasil jika
dibutuhkan. (aturan pemasangan linear dibuat dari dua angka yang menampakkan
sisi demi sisi. Hal ini merupakan perwujudan fisik perhitungan). Guru
memberikan dua orang anak usia 7 tahun yang agak terbelakang.
Anak yang memegang kartu memberikan jawaban yang benar untuk 5 + 5; dan
kartu selanjutnya yang dia bagikan adalah 4 + 5. Dia tidak tahu jawaban. Tanpa
memberi tahu dia, temannya mengatakan, “kamu tahu 5 + 5, bukan? Kamu baru
saja mengatakannya. Jadi, berapakah 4 + 5?”
Penafsiran. Tidak terlalu terbelakang, anak yang terakhir. Dia tidak hanya
memiliki sebuah skema yang berhubungan, tetapi juga memiliki pemahaman
12

intuitif tentang perbedaan antara menolong seseorang untuk membangun hasilnya


sendiri, dan hanya memberitahunya. Hampir, anak tujuh tahun menjadi sangat
konstruktivis. Ketika dihubungkan dengan gurunya, dia berkata “Oh, iya. Dia bisa
melakukan apapun selagi dia ingin. Hanya saja dia tidak mencoba.” Saya
menahan diri untuk mengatakan bahwa hal ini mungkin bergantung pada apakah
dia tertarik atau tidak.
Pada akhirnya, pembentukan teori dan pengembangan kurikulum harus
dilengkapi dengan meningkatnya professional guru. Hal tersebut juga mendorong
untuk melaporkan bahwa pengalaman bekerja sebagai guru selama bertahun-tahun
juga telah menghasilkan pengembangan pendekatan terhadap pendidikan
berdasarkan pelayanan yang memberikan prospek yang baik. Dalam hal ini, guru
membangun pemahaman teoritis yang berhubungan erat dengan pengalaman
personal dan kebutuhan kelas, mengajar anak-anak dalam kelas sendiri.

Model mental adalah nama lain dari peta kognitif. Peta kognitif sama
dengan struktur konseptual atau skema-skema hanya sedikit lebih. Peta kognitif
adalah sebuah atlas kognitif, dari jenis yang agak khusus.

Anda mungkin juga menyukai