Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA PANGAN

ACARA III
LEMAK/MINYAK

KELOMPOK 3

Penanggung Jawab:
Alifia Permata Dewi (A1M014010)
Nuraini Sari Indah (A1M014031)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2015
ABSTRAK

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai emulsifier,


mengetahui asam lemak bebas yang terdapat dalam berbagai jenis minyak, dan
mengetahui pengaruh suhu terhadap minyak. Metode dalam praktikum ini
dilakukan menggunakan berbagai sampel jenis minyak yaitu minyak jagung,
minyak kedelai, VCO (Virgin Coconut Oil), minyak kelapa sawit komersial, dan
minyak jelantah. Hasil uji emulsifier menunjukkan bahwa emulsifier yang paling
efektif untuk mengemulsikan minyak dan air adalah ovalet, sedangkan, emulsifier
alami berupa asam oleat dan linoleat kurang sempurna dalam membentuk emulsi
minyak dan air. Minyak yang mengalami kerusakan terendah hingga tertinggi
adalah minyak jagung, minyak kedelai, minyak sawit, minyak VCO dan minyak
jelantah. Pengaruh suhu dingin yang paling signifikan secara berurutan dimulai
minyak VCO, minyak jelantah, minyak komersil, minyak kedelai dan minyak
jagung.

Kata kunci: Emulsifier, kerusakan minyak, pengaruh suhu


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau triasilgliserol,


yang berarti “triester dari gliserol” . Lemak dan minyak juga merupakan
senyawa ester. Hasil hidrolisis lemak dan minyak adalah asam karboksilat dan
gliserol. Asam karboksilat ini juga disebut asam lemak yang mempunyai rantai
hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang (Herlina, 2002). Lemak adalah
salah satu sumber zat gizi makro yang dibutuhkan oleh tubuh. Lemak
merupakan suatu senyawa biomolekul, mempunyai sifat umum larut dalam
pelarut-pelarut organik seperti eter, kloroform dan benzen, tetapi tidak larut
dalam air. Berdasarkan strukturnya, lemak mempunyai wujud cair dan padat.
Wujud padat dan cairnya lemak dipengaruhi oleh tingkat kejenuhan asam lemak
yang terdapat di dalamnya. Lemak yang kandungan asam lemaknya terutama
asam lemak tidak jenuh akan bersifat cair pada suhu kamar dan biasanya disebut
sebagai minyak, sedangkan yang kandungan asam lemaknya terutama asam
lemak jenuh akan berbentuk padat.
Lemak/minyak biasa digunakan dalam kebutuhan sehari-hari, baik
untuk keperluan menggoreng, maupun sebagai komponen bahan pangan yang
dikonsumsi seperti keju, margarin, atau mentega. Lemak/minyak memiliki
struktur yang akan mempengaruhi sifatnya seperti bersifat non polar sehingga
takut air dan mudah teroksidasi. Lemak/minyak dapat mengalami emulsi
dengan air apabila terdapat senyawa emulsifier. Kerusakan minyak pada
umumnya, disebabkan oleh proses hidrolisis dan oksidasi dan menyebabkan
ketengikan. Hal ini dipengaruhi oleh jenis minyak yang memiliki struktur
berbeda. Lemak/minyak juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu dapat merubah sifat
fisik dan kimia suatu lemak/minyak.
B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh emulsifier terhadap minyak goreng dan
membandingkan jenis emulsifier terhadap stabilitas emulsi minyak dan air.
2. Mengetahui kerusakan minyak dengan menentukan kandungan asam
lemak bebas.
3. Mengetahui pengaruh suhu terhadap sifat minyak.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Minyak dan lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga
kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan sumber
energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Satu gram
minyak atau lemak dapat menghasilkan 9 kkal,sedangkan karbohidrat dan
protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram. Minyak atau lemak, khususnya
minyak nabati, mengandung asam-asamlemak esensial seperti linoleat,
linolenat, dan arakidonat yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah
akibat penumpukan kolesterol. Minyak dan lemak juga berfungsi sebagai
sumber dan pelarut bagi vitamin-vitamin A, D, E , dan K (Winarno, 2004).
Trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul gliserol dengan
tiga molekul asam-asam lemak (umumnya ketiga asam lemak berbeda-beda)
yang membentuk satu molekul trigliserida dan tiga molekul air (Ketaren, 2005).
Asam lemak merupakan asam lemah dan dalam air terdisosiasi
sebagian. Umumnya, berbentuk cair atau padat pada suhu ruang 27°C. Semakin
panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin
sukar larut. Titik cair suatu lemak atau minyak dipengaruhi oleh sifat asam
lemak penyusunnya, diantaranya panjang rantai C, jumlah ikatan rangkap, dan
bentuk cis atau trans pada asam lemak tak jenuh. Semakin panjang rantai C-nya
maka titik cair semakin tinggi. Sebaliknya, semakin banyak ikatan rangkap,
maka titik cair semakin rendah. Hal ini disebabkan ikatan rangkap antar
molekul asam lemak tak jenuh tidak lurus sehingga kurang kuat ikatannya.
Adapun bentuk trans menyebabkan titik cair lebih tinggi daripada asam lemak
dalam bentuk cis (Rohman, 2007).
Minyak sisa penggorengan atau yang sering disebut minyak jelantah
adalah minyak limbah yang berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti
halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya. Minyak
ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya,
yang dapat digunakan kembali untuk keperluan kuliner. Ditinjau dari komposisi
kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat
karsinogenik yang terjadi selama proses penggorengan (Raharjo, 2008).
Virgin Coconut Oil (VCO) adalah minyak kelapa hasil ekstraksi tanpa
menggunakan panas yang menyebabkan perubahan komposisi ataupun
karakteristik minyak (APCC, 2009). Kandungan asam lemak bebas cukup besar
terdapat dalam minyak VCO hasil pemanasan, hal ini dikarenakan adanya
pemakaian panas dalam pembuatan minyak VCO akan meningkatkan reaksi
hidrolisis lemak menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol (Asy’ari, 2006).
Minyak jagung merupakan minyak yang kaya akan asam lemak tidak
jenuh, yaitu asam linoleat dan linolenat. Kedua asam lemak tersebut dapat
menurunkan kolesterol darah dan menurunkan resiko serangan jantung koroner.
Minyak jagung juga kaya akan tokoferol (Vitamin E) yang berfungsi untuk
fungsi stabilitas terhadap ketengikan. Minyak jagung terdiri dari 59% poly-
unsaturated (PUFA), 24% mono-unsaturated (MUFA), dan 13% asam lemak
jenuh (SFA). Minyak jagung memiliki tingkat PUFA tertinggi setelah minyak
bunga matahari, safflower, kenari dan gandum. PUFA utama adalah asam
linoleat, dengan sejumlah kecil asam linolenat. Minyak jagung mengandung
sejumlah besar ubiquinone dan gamma-tokoferol (vitamin E) dalam jumlah
yang tinggi. PUFA dan vitamin E dari konsumsi minyak jagung dapat
memberikan manfaat kesehatan (Dwiputra, 2015).
Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur karena
memiliki berat jenis yang berbeda. Untuk menjaga agar butiran minyak tetap
tersuspensi di dalam air, pada mentega dan margarin diperlukan suatu zat
pengemulsi (emulsifier). Bahan yang dapat berperan sebagai pengemulsi antara
lain kuning telur, kasein, albumin, atau lesitin (Raharjo, 2008).
Emulsi merupakan proses pencampuran dua larutan yang memiliki fase
yang berbeda. Pada emulsi dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu fase pendispersi,
fase terdispersi dan emulsifier. Fase pendispersi merupakan fase yang
jumlah kandungannya berjumlah banyak. Fase terdispersi memiliki jumlah
yang lebih sedikit dibandingkan fase pendispersi. Emulsifier merupakan
penyatu dari kedua fase tersebut. Bahan emulsifier adalah protein, gum, sabun,
atau garam empedu (Vaclavik, 2003).
Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya
yang dapat terikat baik pada minyak maupun air. Emulsifier tersebut apabila
lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih
membantu terjadinya disperse minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi
minya dalam air (o/w). Emulsifier yang lebih larut dalam minyak (nonpolar)
menyebabkan terjadinya emulsi air dalam minyak (w/o). Cara kerja dari
emulsifier yaitu bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga
mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebut segera
terselubungi oleh selaput tipis emulsifier. Bagian molekul emulsifier non polar
larut dalam lapisan butir-butir lemak, sedangkan bagian yang polar menghadap
kepelarut (air) (Barnabas, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan minyak adalah
penyerapan bau, hidrolisis, dan oksidasi lemak yang dapat menyebabkan
ransiditas. Lemak bersifat mudah menyerap bau. Apabila bahan pembungkus
mudah menyerap lemak, maka lemak yang terserap ini akan teroksidasi oleh
udara sehingga rusak dan berbau. Bau dari bagian lemak yang rusak ini akan
diserap oleh minyak yang ada dalam bungkusan yang mengakibatkan seluruh
lemak menjadi hidrolisis. Hidrolisis dengan adanya air, minyak dapat
terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi ini dipercepat oleh asam,
basa, dan enzim-enzim. Dalam teknologi makanan, hidrolisis oleh enzim lipase
sangat penting karena enzim tersebut terdapat pada semua jaringan yang
mengandung minyak. Dengan adanya lipase, lemak akan diuraikan sehingga
kadar asam lemak bebas lebih dari 10%. Hidrolisis sangat mudah terjadi dalam
lemak dengan asam lemak rendah (lebih kecil dari C14) seperti pada mentega,
minyak kelapa sawit, dan minyak kelapa. Hidrolisis sangat menurunkan mutu
minyak goreng. Minyak yang terhidrolisis, smoke point-nya menurun, bahan-
bahan menjadi coklat dan lebih banyak menyerap minyak. Kerusakan minyak
yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses
ketengikan. Hal ini disebabkan oleh oksidasi radikal asam lemak tidak jenuh
dalam lemak. Oksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang mempercepat reaksi seperti cahaya, panas,
peroksida (Ketaren, 2005).
Minyak juga dapat mengalami kerusakan yang terjadi akibat oleh
beberapa faktor, seperti absorbsi bau dan kontaminasi, aksi enzim, aksi
mikroba, serta reaksi kimia (Pahan, 2006). Kerusakan pada minyak yang utama
adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan hal ini
disebabkan oleh autooksidasi radikal asam tidak jenuh dalam lemak
(Salirawati,2005).
Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan
pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan
polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan
cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak
esensial yang terdapat dalam minyak. Oksidasi minyak dapat berlangsung bila
terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak. Oksidasi biasanya
dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat
selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi
hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas.
Ketengikan (Rancidity) terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida. Jadi
kenaikan Peroxide Value (PV) hanya indikator dan peringatan bahwa minyak
akan berbau tengik. Oksida minyak juga akan menghasilkan senyawa
hidrokarbon, alkohol, lakton serta senyawa aromatis yang mempunyai bau
tengik dan rasa getir. Pembentukan senyawa polimer selama proses
menggoreng terjadi karena reaksi polimerisasi adisi dari asam lemak tidak
jenuh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya bahan menyerupai gum yang
mengendap di dasar tempat penggorengan (Ketaren, 2005).
Pemanasan akan menyebabkan asam lemak tidak jenuh terurai akibat
permukaan minyak yang panas dan kontak langsung dengan udara. Rantai
karbon dalam ikatan rangkap terputus sehingga asam lemak bebas bertambah.
Rantai karbon yang terputus berikatan dengan oksigen sehingga peroksida
minyak juga bertambah (Gunawan, 2003). Selain menjadikan cair, suhu yang
relatif tinggi dan pemanasan yang lama juga dapat merusak lemak dengan
meningkatnya kadar radikal bebas (Hermanto, 2010).
Beberapa hal yang dapat meningkatkan kandungan asam lemak bebas
adalah proses oksidasi dan hidrolisis. Reaksi hidrolisis disebabkan oleh
kandungan air dalam bahan pangan yang digoreng. Di samping itu, terdapat
enzim lipase pada lemak atau minyak mampu menghidrolisis trigliserida
sehingga menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol, akan tetapi pengaruh
hidrolisis enzim ini tidak efektif, karena ada pemanasan. Reaksi lain yang
menghasilkan asam lemak bebas adalah oksidasi. Asam bebas akan terbentuk
selama proses oksidasi yang dihasilkan dari pemecahan dan oksidasi ikatan
rangkap (Gunawan, 2003).
Kadar asam lemak bebas dipengaruhi oleh air yang masuk dalam lemak
sehingga terjadi reaksi hidrolisis yang menyebabkan kerusakan lemak. Semakin
lama pengasapan maka semakin tinggi kadar asam lemak bebas telur asin asap,
karena lama pengasapan berpengaruh terhadap banyak sedikitnya uap air yang
dihasilkan. Uap air dari pengasapan yang lama lebih banyak daripada uap air
yang lebih singkat pengasapannya. Semakin banyak uap air maka semakin
banyak pula lemak yang terhidrolisis olehnya, sehingga kadar asam lemak
bebas meningkat (Apendi, 2013).
Minyak adalah suatu kelompok dari lipida sederhana terbesar yang
merupakan ester dari tiga molekul asam lemak dengan satu molekul gliserol dan
membentuk satu molekul trigliserida yang dalam kondisi ruang (>27oC) akan
berbentuk cair (Heryani, 2008). Sifat fisik minyak dan lemak sangat ditentukan
oleh suhu yang dialaminya. Secara umum sifat fisik minyak dan lemak
ditentukan oleh susunan asam lemak tersebut di dalam triasigliserol.
Karakteristik masing-masing minyak berbeda. Sehingga ketika diberi perlakuan
suhu panas pun perubahanya berbeda-beda dilihat dari segi warna, bau dan
kondisi atau keadaan padat maupun cair (Novarianto, 2004).
Secara umum komponen utama minyak yang sangat menentukan mutu
minyak adalah asam lemaknya karena asam lemak menentukan sifat kimia dan
stabilitas minyak. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu
pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang menimbulkan rasa gatal
pada tenggorokan. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol. Titik asap suatu
minyak goreng tergantung pada kadar gliserol bebasnya. Makin tinggi kadar
gliserol makin rendah titik asapnya, artinya minyak tersebut makin cepat
berasap sedangkan makin tinggi titik asapnya mala makin baik mutu minyak
goreng tersebut (Winarno, 2004).
III. METODE

A. Emulsifier
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah rak tabung reaksi,
tabung reaksi, tabung ukur, pipet ukur, gelas beaker dan kompor. Sedangkan,
bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah Ovalet, Tween 80, asam
linoleat, asam oleat, akuades dan minyak goreng komersial (merk Sania).

Prosedur
Langkah awal praktikum ini yaitu menyiapkan lima tabung reaksi
kemudian masing-masing diisi 5 mL akuades dan 1 mL minyak goreng merk
Sania. Setelah itu, menyiapkan emulsifier. Emulsifier yang tidak berupa cairan
seperti Ovalet perlu dicairkan lebih dahulu. Cara mencairkan Ovalet dapat
dilihat pada lampiran 2. Setelah itu memberikan perlakuan peda kelima tabung
yaitu tabung 1 diberi penambahan Ovalet 0,5 mL ; tabung 2 diberi penambahan
Tween 80 0,5 mL ; tabung 3 diberi perlakuan kontrol atau tidak diberi perlakuan
apapun ; tabung 4 diberi penambahan asam linoleat 0,5 mL dan tabung 5 diberi
penambahan asam oleat 0,5 mL. Semua tabung dikocok selama 1 menit
kemudian didiamkan selama 5 menit. Langkah terakhir yaitu mengamati
kestabilan emulsi dari kelima tabung secara kualitatif, kekeruhan/kejernihan
sistem emulsi kemusian dideskripsikan.

B. Kerusakan Minyak
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan,
erlenmeyer, pipet ukur, kertas aluminium foil, baskom, dan gelas ukur. Bahan
yang digunakan adalah beberapa jenis minyak seperti minyak VCO (Virgin
Coconut Oil), minyak komersial (merk Bimoli), minyak kedelai, minyak
jagung, minyak jelantah, air es, larutan NaOH 0,1 N, indikator PP, dan etanol
netral panas.
Prosedur
Praktikum ini diawali dengan menimbang tiap jenis minyak sebanyak
14,2 g, dan masing-masing dimasukkan ke erlenmeyer 100 mL. Etanol netral
yang telah dipanaskan ditambahkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 25 mL, lalu
dikocok dan didinginkan. Pendinginan dilakukan dengan cara mencelupkan
erlenmeyer ke dalam baskom berisi air es selama beberapa menit. Setelah itu,
dilakukan proses titrasi menggunakan indikator PP dan larutan NaOH 0,1 N.
Indikator PP diteteskan ke dalam erlenmeyer sebanyak 3 kali. Kemudian,
dititrasi menggunakan larutan NaOH yang telah dibuat sebelumnya. Diagram
alir pembuatan larutan NaOH dapat dilihat pada lampiran 2. Titrasi dilakukan
dengan pipet sampai tepat berubah warna menjadi merah jambu.
Kemudian,jumlah larutan NaOH 0,1 N yang digunakan untuk titrasi sampel
beberapa jenis minyak yang diuji, dicatat dan dibandingkan.

C. Pengaruh Suhu terhadap Minyak


Alat dan Bahan
Praktikum ini menggunakan peralatan seperti tabung reaksi, gelas
beaker, pipet ukur, dan termometer. Selain itu, bahan yang digunakan dalam
praktikum ini adalah air, minyak sawit, minyak VCO, minyak kedelai, minyak
jagung, minyak jelantah, karet dan kertas aluminium foil.

Prosedur
Mula-mula 10 tabung reaksi disiapkan dan masing-masing 2 tabung
reaksi diisi dengan tiap jenis minyak sebanyak 5 mL. Tabung reaksi berisi
minyak ditutup dengan kertas aluminium foil dan diikat menggunakan karet.
Kemudian, 2 gelas beaker disiapkan dan masing-masing diisi air bersuhu kamar
dan bersuhu dibawah 5°C sebanyak 250 mL. Tabung reaksi berisi 5 jenis
minyak berbeda dicelupkan ke dalam gelas beaker bersuhu kamar, dan 5 tabung
lagi dicelupkan ke dalam gelas beaker bersuhu dibawah 5°C. Pencelupan
dilakukan selama 10 menit. Setelah itu, setiap jenis minyak diangkat dan
diamati warna, bau, serta kondisi cair/padat pada setiap tabung berisi minyak.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Emulsifier
Hasil
Bahan Emulsifier Kestabilan Kekeruhan Deskripsi
Homogen, Putih,
Minyak Ovalet Stabil ++++
Padat

Homogen,
Minyak Tween 80 Stabil +++ Berbuih,
Viskositas tinggi

Minyak Kontrol Tidak Stabil + Tidak Homogen

Asam
Minyak Tidak Stabil ++ Tidak Homogen
Linoleat

Minyak Asam Oleat Tidak Stabil ++ Tidak Homogen

Pembahasan
Emulsifier atau zat pengemulsi didefinisikan sebagai senyawa yang
mempunyai aktivitas permukaan sehingga dapat menurunkan tegangan
permukaan antara udara-cairan dan cairan-cairan yang terdapat dalam suatu
sistem makanan. Kemampuannya menurunkan tegangan permukaan menjadi
hal menarik karena emulsifier memiliki keunikan struktur kimia yang mampu
menyatukan dua senyawa berbeda polaritasnya (Cahyadi, 2006). Daya kerja
emulsifier yaitu mampu menurunkan tegangan permukaan yang dicirikan oleh
bagian lipofilik (non-polar) dan hidrofilik (polar) yang terdapat pada struktur
kimianya. Ukuran relatif bagian hidrofilik dan lipofilik zat pengemulsi menjadi
faktor utama yang menentukan perilakunya dalam pengemulsian (Charoen,
2011).
Percobaan kali ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh emulsifier
terhadap minyak goreng serta membandingkan jenis emulsifier terhadap
stabilitas emulsi minyak dan air. Perlakuan yang dilakukan yaitu dengan
penambahan beberapa jenis emulsifier pada minyak goreng merk Sania.
Beberapa jenis emulsifier yang digunakan yaitu Ovalet, Tween 80, asam oleat
dan asam linoleat. Ovalet dan Tween 80 merupakan emulsifier alami,
sedangkan, asam oleat dan linoleat merupakan jenis emulsifier buatan.
Praktikum diawali dengan menyiapkan tabung reaksi yang sudah berisi akuades
kemudian ditambahkan minyak goreng merk Sania dengan perbandingan 1:5.
Kemudian, pada masing-masing tabung reaksi diberi perlakuan penambahan
beberapa jenis emulsifier dan satu tabung reaksi dijadikan sebagai control
(tanpa emulsifier). Setelah itu, tabung reaksi dikocok selama 1 menit dan
didiamkan selama 5 menit. Pengocokan dilakukan untuk menyatukan minyak
dan aquades dengan emulsifier tersebut. Hasil dari perlakuan tersebut diamati
kestabilan dan tingkat kekeruhan.
Emulsifier yang berbentuk padat seperti Ovalet, perlu dipanaskan
terlebih dahulu agar mencair. Pencairan ini tidak perlu dilakukan pada
emulsifier buatan lain seperti Tween 80. Menurut Rowe (2009), Tween 80
berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang
khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak
mineral.
Ovalet termasuk emulsifier atau pelembut dan penstabil adonan agar
adonan menjadi homogen dan tidak mudah turun saat dikocok serta adonan
tercampur dengan baik. Komposisi kimia ovalet biasanya adalah mono dan
digliserida. Bahan ovalet juga biasanya menggunakan asam lemak dari hewan
atau tumbuhan. Kehalalannya masih dipertanyakan (Franley, 2005).
Asam linoleat dan asam oleat adalah salah satu penyusun lesitin.
Sehingga sifat dan karakteristiknya memiliki kemiripan. . Mengandung
komponen hidrofobik dan hidrofilik yang digunakan sebagai sifat fungsional
dalam pengolahan pangan.Bersifat polar (bagian kolin) dan non polar (bagian
asam lemak) sehingga sangat efektif sebagai emulsifier (Heryani, 2008).
Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya
yang dapat terikat baik pada minyak maupun air. Emulsifier tersebut apabila
lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih
membantu terjadinya disperse minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi
minya dalam air (o/w). Emulsifier yang lebih larut dalam minyak (nonpolar)
menyebabkan terjadinya emulsi air dalam minyak (w/o). Cara kerja dari
emulsifier yaitu bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga
mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebutsegera
terselubungi oleh selaput tipis emulsifier. Bagian molekul emulsifier yang non
polar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak sedangkan bagian yang polar
menghadap ke pelarut (air).
Hasil pengamatan menunjukkan terdapat beberapa perbedaan kestabilan
pada minyak terhadap jenis emulsifier. Tabung kontrol yang tidak diberi
perlakuan penambahan emulsifier bersifat tidak stabil dan kekeruhannya rendah
serta tidak homogen. Kestabilan emulsi pada perlakuan penambahan ovalet
dihasilkan kestabilan tinggi dengan tingkat kekeruhan tinggi pula dan bersifat
homogen berwarna putih serta padat. Kestabilan emulsi dengan penambahan
Tween 80 bersifat stabil dengan tingkat kekeruhan keruh dan homogen, berbuih
serta viskositasnya tinggi. Hal tersebut dikarenakan tween dan ovalet
merupakan emulsifier buatan sehingga dapat membentuk emulsi air dalam
minyak dan ester dari polioksietilena sorbitan dengan asam lemak yang dapat
menjaga kestabilan tingkat emulsi lebih baik dari emulsifier alami.
Sedangkan, pada asam oleat dan asam linoleat dihasilkan ketidakstabilan
emulsifier dengan tingkat kekeruhan sedikit keruh serta bersifat tidak homogen.
Hal ini disebabkan karena oleat dan linoleat merupakan emulsifier alami yang
kurang dapat menahan pengikatan air dan minyak atau sebaliknya saat setelah
pengocokan sehingga terjadi fase internal atau fase terdispersi selama
penyimpanan cenderung membentuk kumpulan bulatan. Kemudian bulatan-
bulatan berasal atau kumpulan dari bulatan tersebut naik ke permukaan atau
turun ke dasar emulsi membentuk sebuah lapisan fase internal yang pekat, dan
apabila semua atau sebagian cairan dari faase internal menjadi “tidak-teremulsi”
dan membentuk lapisan berbeda pada bagian atas atau bawah emulsi sebagai
akibat dari penggabungan butiran-butiran fase internal.
Hal tersebut sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa terdapat
perbedaan kestabilan emulsi antara penambahan emulsifier alami dan buatan
juga berbeda. Emulsifier buatan memiliki tingkat kestabilan lebih besar
daripada emulsifier alami. Hal ini disebabkan karena emulsifier buatan terdiri
dari beberapa jenis pengemulsi baik dari pencampuran emulsifier alami atau
pencampuran dengan emulsifier sintesis sehingga tingkat kestabilannya dapat
diatur sedangkan pada emulsifier alami tingkat kestabilannya tidak dapat diatur
karena dari bahan yang ada di alam (Khomsan, 2004).
Penambahan emulsifier ovalet mengakibatkan terjadinya pemadatan.
Hal ini dikarenakan ovalet memiliki sifat alami yang padat, apabila ovalet
berada pada suhu ruang maka ovalet akan memadat seperti sifat awalnya
sehingga untuk pemakaian ovalet harus dipanaskan dan dilakukan secara cepat.
Sedangkan, pada perlakuan tween terdapat buih. Hal ini disebabkan karena
komposisi tween yang dapat menimbulkan buih pada komponen yang
teremulsi. Buih dapat didefinisikan sebagai dua fase yang terdiri atas fase gas
dalam fase cair. Buih merupakan dispersi koloid dari fase gas yang terdispersi
di dalam fase cair atau fase padat.
Menurut Muchtadi (2010), kestabilan pada minyak goreng dengan
penambahan emulsifier berbeda-beda. Karena bila dua larutan murni yang tidak
saling campur/ larut seperti minyak dan air dicampurkan lalu dikocok kuat-kuat,
keduanya akan membentuk sistem dispersi yang disebut emulsi. Secara fisik
terlihat seolah-olah salah satu fasa berada di sebelah dalam fasa yang lainnya.
Secara umum, sebuah emulsi dapat juga dianggap tidak stabil secara fisik jika:
a. Fase internal atau fase terdispersi selama penyimpanan cenderung membentuk
kumpulan bulatan (globula),
b. bulatan-bulatan berasal atau kumpulan dari bulatan tersebut naik ke permukaan
atau turun ke dasar emulsi membentuk sebuah lapisan fase internal yang pekat,
dan
c. Apabila semua atau sebagian cairan dari faase internal menjadi “tidak-
teremulsi” dan membentuk lapisan berbeda pada bagian atas atau bawah emulsi
sebagai akibat dari penggabungan butiran-butiran fase intern
B. Kerusakan Minyak
Hasil
Jenis Minyak Jumlah NaOH
(mL)
Minyak VCO 0,07
Minyak sawit 0,09
Minyak jagung 0,03
Minyak kedelai 0,05
Minyak jelantah 0,14

Pembahasan
Lemak merupakan suatu senyawa organik yang tersusun atas gliserol
dan molekul-molekul asam lemak. Setiap jenis minyak memiliki sifat yang
berbeda yang dipengaruhi oleh struktu penyusunnya. Umumnya, minyak dan
lemak merupakan golongan triasilgliserol, yaitu gliserol yang mengikat 3 asam
lemak. Perbedaan lemak dan minyak terletak pada titik lelehnya. Minyak
memiliki titik leleh yang lebih rendah diibanding lemak. Hal ini disebabkan
karena asam lemak penyusun minyak merupakan asam lemak tak jenuh
(berikatan rangkap). Asam lemak penyusun lemak merupakan asam lemak
jenuh (berikatan tunggal). Oleh karena itu, pada suhu ruang minyak berwujud
cair, dan lemak masih berwujud padat.
Praktikum ini menguji kerusakan berbagai jenis minyak dengan
menentukan jumlah asam lemak bebas. Jumlah asam lemak bebas dapat
ditentukan melalui proses titrasi menggunakan larutan NaOH 0,1 N dan
indikator PP. Larutan NaOH dibuat dengan cara melarutkan 5,4 g NaOH dengan
akuades hingga 100 mL. Penggunaan larutan NaOH sebagai titer disebabkan
karena titran yang merupakan berbagai jenis minyak mengandung asam lemak
yang bersifat asam, sehingga titer yang diperlukan untuk titasi harus bersifat
basa. Indikator PP ditambahkan sebanyak 3 tetes ke dalam minyak, setelah itu
dilakukan titrasi sampai terjadi perubahan warna pada minyak menjadi merah
jambu. Perubahan warna pada minyak merupakan indikator bahwa larutan telah
mengalami titik ekuivalen. Saat titik ekuivalen tercapai maka proses titrasi
dihentikan. Indikator asam basa dapat digunakan untuk mengetahui titik
ekivalen. Indikator ditambahkan pada titran sebelum proses titrasi dilakukan.
Indikator ini akan berubah warna ketika titik ekuivalen terjadi, pada saat inilah
titrasi dihentikan. Indikator yang dipakai dalam titrasi asam basa adalah
indikator yang perubahan warnanya dipengaruhi oleh pH seperti indikator PP.
Jumlah NaOH yang digunakan dapat menentukan kadar asam lemak
bebas yang terdapat pada minyak. Semakin tingi jumlah asam lemak bebas,
semakin tinggi pula kerusakan minyak tersebut. Hal tersebut disebabkan karena
asam lemak merupakan senyawa hasil degradasi lemak yang dapat
mengakibatkan ransiditas atau ketengikan. Oleh karena itu, asam lemak bebas
dijadikan sebagai indikator kerusakan minyak.
Kerusakan minyak dapat terjadi akibat proses hidrolisis, oksidasi, dan
reversi. Hidrolisis adalah proses pemecahan lemak menjadi molekul-molekul
penyusunnya seperti gliserol dan asam lemak bebas. Oksidasi merupakan
proses pembentukkan hidroperoksida akibat adanya kontak dengan oksigen.
Sedangkan, reversi merupakan proses perubahan struktur lemak. Ketiga hal
tersebut mengakibatkan perubahan fisik dan kimia lemak, dan menghasilkan
asam lemak bebas yang mengakibatkan ransiditas atau ketengikan. Asam
lemak bebas merupakan hasil degradasi dari trigliserida sebagai akibat
dari kerusakan minyak. Selain itu, asam lemak bebas juga merupakan asam
yang dibebaskan dari proses hidrolisis dari lemak. Asam lemak bebas ini
biasanya ditemukan dalam sel dalam jumlah yang besar.
Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan hasil bahwa minyak yang
menggunakan volume NaOH untuk titrasi dari yang paling sedikit yaitu minyak
jagung sebanyak 0,03 mL, minyak kedelai 0,05 mL, minyak VCO 0,07 mL,
minyak sawit 0,09 mL, dan minyak jelantah sebanyak 0,14 mL. Jumlah volume
NaOH yang digunakan untuk titrasi tersebut dapat digunakan untuk
menentukan tingkat kerusakan minyak.
Minyak jagung mengandung asam lemak tak jenuh yang tinggi. Minyak
tak jenuh seperti minyak jagung, mudah teroksidasi dan terhidrolisis akibat
panas yang dapat menghasilkan asam lemak bebas dan mudah mengalami
ketengikan (Syaiful, 2009). Berdasarkan pengamatan, minyak jagung memiliki
volume NaOH yang paling sedikit untuk proses titrasi yaitu 0,03 mL. Artinya,
minyak jagung memiliki kandungan asam lemak bebas yang lebih sedikit. Hal
ini kemungkinan disebabkan karena minyak jagung terjaga dan tertutup rapat,
sehingga kontak dengan oksigen menjadi minimum dan kerusakan minyak
tertunda.
Minyak kedelai mengandung kurang 85% asam lemak tidak jenuh.
Asam lemak tidak jenuh lebih mudah diabsorpsi usus dan lebih mudah dicerna
daripada asam lemak jenuh (Gunawan, 2003). Berdasarkan pengamatan,
minyak kedelai memiliki volume NaOH yang sedikit untuk proses titrasi yaitu
0,05 mL yang mengartikan minyak kedelai memiliki kandungan asam lemak
bebas yang juga sedikit. Sama seperti minyak jagung, hal ini kemungkinan
disebabkan karena minyak kedelai tertutup dengan rapat, sehingga kontak
dengan oksigen minimum dan juga menunda kerusakan minyak.
Minyak VCO menempati urutan kebutuhan NaOH tersedikit ketiga
yaitu sebanyak 0,07 mL. Minyak VCO diperoleh dari santan kelapa dan dalam
proses pembuatannya ditambahkan air. Penambahan air ini akan menyebabkan
reaksi hidrolisis pada minyak. Hasil dari hidrolisis adalah asam lemak dan
gliserol. Oleh karena itu, jumlah asam lemak bebas pada minyak VCO yang
dianalisis cukup banyak. Menurut Asy’ari (2006), kandungan asam lemak bebas
cukup besar terdapat dalam minyak VCO hasil pemanasan, hal ini dikarenakan
adanya pemakaian panas dalam pembuatan minyak VCO akan meningkatkan
reaksi hidrolisis lemak menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol.
Menurut GAPKI (2015), minyak sawit mempunyai komposisi asam
lemak jenuh dan tidak jenuh dengan proporsi yang seimbang. Berdasarkan
pengamatan, jumlah volume NaOH yang digunakan untuk titrasi pada minyak
sawit adalah 0,09 mL. Artinya, kandungan asam lemak bebas pada minyak
sawit cukup tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena minyak sawit yang
digunakan bukan minyak sawit baru, dan juga terjadi kontak dengan udara
cukup lama.
Minyak jelantah merupakan minyak yang telah digunakan untuk
penggorengan sekali atau lebih. Selama penggorengan, minyak mengalami
hidrolisis dan oksidasi berkali-kali, sehingga menyebabkan jumlah asam lemak
bebas minyak jelantah cukup tinggi. Berdasarkan pengamatan, minyak jelantah
membutuhkan volume NaOH terbanyak yaitu 0,14 mL. Hal ini sesuai dengan
literatur bahwa minyak jelantah kaya akan asam lemak bebas, dan mudah
mengalami kerusakan dan ransiditas.

C. Pengaruh Suhu terhadap Minyak


Hasil
*perlakuan suhu ruang
Jenis Minyak Warna Bau Kondisi
VCO Bening Aroma VCO Cair
Komersil Kuning jernih Aroma minyak sawit Cair
Kedelai Bening kekuningan Aroma minyak kedelai Cair
Jagung Kuning jernih Aroma minyak jagung Cair
Jelantah Kuning pekat Aroma minyak jelantah Cair

*perlakuan suhu dingin


Jenis Minyak Warna Bau Kondisi
VCO Putih Aroma VCO lebih tajam Padat
Komersil Kuning jernih Aroma minyak sawit lebih Cair, lebih
tajam kental
Kedelai Bening kekuningan Aroma minyak kedelai Cair
lebih tajam
Jagung Kuning jernih Aroma minyak jagung lebih Cair
tajam
Jelantah Kuning pekat Aroma minyak jelantah Cair, lebih
lebih tajam kental
Pembahasan
Sifat fisik dan kimia minyak ditentukan oleh faktor internal dan
eksternal minyak. Faktor internal meliputi struktur penyusun minyak tersebut,
sedangkan faktor eksternalnya merupakan faktor lingkungan seperti pH, suhu,
dan faktor kontak dengan udara. Praktikum ini menguji pengaruh suhu terhadap
beberapa jenis minyak. Suhu yang digunakan yaitu suhu ruang dan suhu dingin
(dibawah 5°C). Sedangkan, minyak yang digunakan adalah minyak VCO,
komersil, kedelai, jagung, dan minyak jelantah.
Beberapa jenis minyak diberi perlakuan suhu ruang, semuanya
berwujud cair dan memiliki warna dan bau sesuai karakteristik masing-masing
minyak. Wujud cair minyak pada suhu ruang disebabkan oleh struktur penyusun
minyak yang didominasi oleh asam lemak tak jenuh, sehingga titik lebur
minyak rendah. Setelah minyak diberi perlakuan suhu dingin, minyak-minyak
tersebut mengalami perubahan seperti warna, bau, dan kondisi wujudnya.
Menurut Novianto (2004), ketika minyak diberi perlakuan suhu panas akan
mengalami perubahan yang berbeda dari segi warna, bau dan kondisi atau
keadaan padat maupun cair.
Semakin banyak asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, linoleat atau
asam linolenat pada suatu trigliserida, maka titik leburnya lebih rendah atau
sebaliknya trigliserida yang lebih banyak mengandung asam palmitat dan
stearat, titik cairnya lebih tinggi . Semakin panjang susunan karbon pada asam
lemak, maka titik didih dari minyak akan semakin tinggi. Asam lemak
merupakan asam lemah, dan dalam air terdisosiasi sebagian. Umumnya berfase
cair atau padat pada suhu ruang (27 °C). Semakin panjang rantai C
penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut.
Almatsier (2002) menyebutkan bahwa sifat fisik trigliserida ditentukan oleh
proporsi dan struktur kimia asam lemak yang membentuknya. Semakin panjang
rantai molekul maka tingkat kejenuhan meningkat dan semakin rendah
kelarutannya.
Setelah minyak diberi perlakuan suhu dingin (direndam pada air
bersuhu dibawah 5°C), minyak mengalami perubahan pada bau dan kondisi
wujud. Minyak jagung dan minyak kedelai tidak mengalami perubahan
signifikan, yaitu masih tetap dalam kondisi cair. Minyak komersil dan minyak
jelantah mengalami perubahan yang cukup signifikan, kedua minyak tersebut
bersifat lebih kental dari sebelumnya. Sedangkan, pada minyak VCO terjadi
perubahan yang sangat signifikan. Minyak VCO yang berwujud cair pada suhu
ruang menjadi berwujud padat padat suhu dibawah 5°C.
V. PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulakn sebagai berikut:
1. Emulsifier merupakan senyawa yang dapat menstabilkan emulsi minyak
dan air. Ovalet merupakan emulsifier terkuat dibanding jenis emulsifier lain.
2. Kerusakan minyak disebabkan oleh hidrolisis, oksidasi dan reversi yang
dapat ditentukan oleh kadar NaOH yang digunakan untuk titrasi. Minyak
jelantah mengalami tingkat kerusakan tertinggi.
3. Suhu berpengaruh terhadap sifat minyak. Minyak jelantah mengalami
pengentalan tertinggi saat suhu dingin (dibawah 5°C).

B. Saran
1. Praktikan harus mengontrol suhu gelas beaker saat praktikum emulsifier
agar kedua gelas beaker masing-masing tetap bersuhu ruang dan bersuhu
dibawah 5°C.
2. Praktikan harus berhati-hati dalam menuang minyak ke dalam erlenmeyer
agar minyak tidak tumpah.
DAFTAR PUSTAKA

APCC. 2009. APCC Standards for Virgin Coconut Oil.


http://www.apccsec.org/ document/VCNO. PDF. Diakses tanggal 12
Desember 2015.
Apendi, Kusuma Widayaka, dan Juni Sumarmono. 2013. EVALUASI KADAR
ASAM LEMAK BEBAS DAN SIFAT ORGANOLEPTIK PADA
TELUR ASIN ASAP DENGAN LAMA PENGASAPAN YANG
BERBEDA. Jurnal Ilmiah Peternakan. Vol 1(1):142-150.
Asy’ari, Muhammad dan Bambang Cahyono. 2006. Pra-Standarisasi:
Produksi dan Analisis Minyak Virgin Coconut Oil. JSKA. Vol
9(3): 1 – 9.
Barnabas, Syafrudin, IA dan Pranindhana, I. 2009. Emulsi. Yogyakarta: UPN
Veteran.
Cahyadi, Wisnu. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan
Pangan. Jakarta: Bumi Aksara
Charoen, Ratchanee, Anuvat Jangchud, Kamolwan Jangchud, Thepkunya
Harnsilawat, Onanong Naivikul, dan David Julian McClements. 2011.
Influence of Biopolymer Emulsifier Type on Formation and Stability of
Rice Bran Oil-in-Water Emulsions: Whey Protein, Gum Arabic, and
Modified Starch. Journal of Food Science. Vol 76(1): 165 - 172.
Dwiputra, Dhenny, Ayu Ning Jagat, Fauzia Kusuma Wulandari, Aditya Setya
Prakarsa, Diyah Ayu Puspaningrum, dan Fathiyatul Islamiyah. 2015.
Minyak Jagung Alternatif Pengganti Minyak yang Sehat. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan. Vol 4(2).
Franley. 2005. Pengantar Praktikum Kimia Organik. Yogyakarta: Depdikbud
dirjen Pendidikan Tinggi.
GAPKI, 2015. Mengenal MINYAK SAWIT dengan Beberapa Karakter
Unggulnya. Web:
http://www.gapki.or.id/assets/upload/Buku%20Menge
nal%20Minyak%20Sawit%20Dengan%20Beberapa%20Karakter%20
Ung gulnya-GAPKI.pdf. Diakses tanggal 11 Desember 2015.
Gunawan, Mudji Triatmo, dan Arianti Rahayu. 2003. Analisis Pangan:
Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas Pada Minyak
Kedelai Dengan Variasi Menggoreng. JSKA. Vol 4(3).
Herlina, Netti, dan M. Hendra Ginting. 2002. Lemak dan Minyak. Web:
http://library.usu.ac.id/download/ft/tkimia-Netti.pdf. PDF. Diakses
tanggal 11 Desember 2015.
Hermanto, A. Muawanah, dan P. Wardhani. 2010. Analisis Tingkat Kerusakan
Lemak Nabati dan Lemak Hewani Akibat Proses Pemanasan. Jurnal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Heryani, Kristinah. 2008. “Potensi Zeolit Dari Daerah Kemiri, Purworejo Untuk
Penjernihan Minyak Goreng Bekas”. TEKNIS. Universitas Diponegoro.
Vol 3(1).
Ketaren, S.2005. Minyak Dan Lemak Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi Untuk Kualitas Hidup. Jakarta:
Gramedia.
Muchtadi, Tien R., Sugiyono dan Fitriyono A. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Bandung: Alfabeta.
Novarianto, Hengki. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa
Murni. Jakarta: Penebar Swadaya.
Pahan, Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Medan: Penerbit
Swadaya.
Raharjo, S. dan M. Dwiyuni. 2008. Kajian Sifat Fisiko Kimia Ekstrak Minyak
Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil, VCO) Yang Dibuat Dengan Metode
Pembekuan Krim Santan.Jurnal Teknik Industri Pertambangan. Vol
18(2) : 71 – 78.
Rohman, A. dan Soemantri, 2007. Analisis Makanan. UGM Press:
Yogyakarta.
Rowe. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th Edition. London:
Pharmaceutical Press.
Salirawati, Das, Fitria Meilina K., dan Jamil Suprihatiningrum. 2005. Belajar
Kimia Secara Menarik. Jakarta: PT Grasindo.
Vaclavik, Vickie dan Elizabeth W. Christian. 2003. Essentials of food
science. 2nd edition. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
LAMPIRAN 1

Emulsifier

1 2

3 4

Keterangan: Gambar 1. Perbandingan minyak dengan penambahan emulsifier


yang berbeda. 2. Pengambilan emulsifier jenis Tween 80. 3. Perlakuan kontrol
dengan penambahan akuades. 4. Penuangan minyak ke dalam tabung reaksi.
Kerusakan Minyak

5 6

7 8

Keterangan: Gambar 5. Peimbangan minyak. 6. Pengambilan ethanol netral


panas. 7. Penambahan ethanol netral panas ke dalam erlenmeyer. 8. Kondisi
salah satu jenis minyak setelah mencapai titik ekuivalen titrasi.
Pengaruh Suhu terhadap Minyak

9 10

11

Keterangan: Gambar 9. Perlakuan dengan perendaman suhu ruang. 10.


Perlakuan dengan perendeman suhu dibawah 5°C. 11. Perbandingan keadaan
minyak setelah perendaman suhu ruang.
LAMPIRAN 2

Diagram Alir Pencairan Ovalet

Ovalet dimasukkan secukupnya ke dalam gelas


beaker

Gelas beaker dipanaskan hingga ovalet mencair

Diagram Alir Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N

NaOH ditimbang sebanyak 5,4 g dan dimasukkan


ke dalam Erlenmeyer

NaOH dilarutkan dengan akuades hingga 100 mL

Anda mungkin juga menyukai