Anda di halaman 1dari 40

Epidemiologi

Hipertensi pada kehamilan terjadi sekitar 10% dari keseluruhan ibu hamil di
seluruh dunia. Pre-eklampsia adalah penyebab utama kematian ibu dan bayi
perinatal serta morbiditas di seluruh dunia. Pre-eklampsia dapat berkembang
menjadi Eklampsia (preeklamsia dengan kejang) yang merupakan keadaan darurat
(WHO, 2011). Hipertensi selama kehamilan meliputi hipertensi gestasional
(hipertensi yang diinduksi kehamilan tanpa proteinuria), preeklampsia (hipertensi
dengan proteinuria), dan hipertensi kronis (didiagnosis sebelum kehamilan dengan
atau tanpa riwayat pre-eklamsia) (Dipiro et al., 2005). Pre-eklampsia adalah
gangguan yang paling menonjol diantara gangguan hipertensi lain karena besarnya
dampak terhadap kesehatan ibu dan bayi. (WHO, 2011).
Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya insiden preeklamsia pada
ibu hamil. Faktor risiko yang dapat meningkatkan insiden preeklampsia antara lain
molahidatidosa, nulipara, usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, janin
lebih dari satu, multipara, hipertensi kronis, diabetes melitus atau penyakit ginjal.
Preeklampsia/eklampsia dipengaruhi juga oleh paritas, genetik dan faktor
lingkungan (Cunningham et al., 1995).
Etiologi
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab
terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah
faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut
meliputi;
1. Riwayat preeklampsia.
2. Primigravida
3. Kegemukan
4. Kehamilan ganda
5. Riwayat penyakit tertentu
Patofisiologi
Pre-eklampsia memiliki patofisiologi yang kompleks, utamanya
menyebabkan terjadinya abnormalitas plasenta. Invasi yang salah dari arteri spiral
oleh sel sitotropoblast terjadi selama preeklampsia. Penelitian terbaru menunjukkan
invasi sitototropoblast pada uterus melalui jalur diferensiasi di mana sel janin
mengadopsi bagian dari endothelium. Pada preeklamsia proses diferensiasi ini
berlanjut. Kelainan terjadi terkait dengan oksida jalur nitrat, yang memberikan
kontribusi substansial pada kontrol vaskular Apalagi penghambatan sintesis nitrat
oksida mencegah implantasi embrio.
Meningkatnya resistensi arteri rahim menginduksi sensitifitas yang lebih
tinggi terhadap vasokonstriksi sehingga terjadi iskemia plasenta kronis dan stress
oksidatif. Iskemia plasenta kronis ini menyebabkan janin komplikasi, termasuk
retardasi pertumbuhan intrauterine dan kematian intrauterin. Secara paralel, stress
oksidatif menginduksi pelepasan zat ke sistem sistemik ibu seperti radikal bebas,
lipid teroksidasi, sitokinin, dan serum terlarut faktor pertumbuhan endotel vaskular.
Kelainan ini bertanggung jawab atas disfungsi endotel dengan vascular
hiperpermeabilitas, trombofilia, dan hipertensi untuk mengimbangi penurunan
aliran di arteri rahim karena vasokonstriksi perifer. Disfungsi endotel bertanggung
jawab terhadap tanda-tanda klinis yang diamati pada ibu, yaitu gangguan
endothelium hati yang menyebabkan sindrom onset HELLP (Hemolysis, Elevated
Liver enzymes and Low Platelet count), kerusakan endotelium serebral yang
menyebabkan refrakter gangguan neurologis, atau bahkan eklampsia. Penipisan
faktor pertumbuhan endotel vaskular pada pembuatan podosit endotheliosis mampu
menghalangi celah diafragma pada membran dasar, sehingga memperparah
penurunan filtrasi glomerulus dan menyebabkan proteinuria. Akhirnya, disfungsi
endotel meningkatkan anemia hemolitik mikroangiopati dan hiperpermeabilitas
pembuluh darah terkait dengan penyebab edema albumin serum rendah, terutama
pada tungkai bawah atau paru-paru (Uzan et al., 2011).
Tanda dan Gejala
Pre-eklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis terhadap Pre-eklampsia
ditegakkan dengan adanya proteinurin, namun jika protein urin tidak didapatkan,
salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia yaitu :
1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).
(POGI, 2016).

Klasifikasi
Berdasarkan berbagai gejala, Pre-eklampsia dibagi menjadi Pre-eklampsia
ringan dan Pre-eklampsia berat. Pre-eklampsia berat dibagi menjadi Pre-eklampsia
berat tanpa impending eclampsia dan Pre-eklampsia berat dengan impending
eclampsia. Impending eclampsia merupakan Pre-eklampsia yang disertai keluhan
nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri abdomen
kuadran kanan atas.

Tabel 1. Klasifikasi Pre-eklampsia (Manuaba, 2010)


Tipe Pre- Tanda dan Gejala
eklampsia
Pre-eklampsia 1. Tekanan darah sistolik 140 atau kenaikan 30 mmHg
Ringan dengan interval pemeriksaan 6 jam.
2. Tekanan darah diastolic 90 atau kenaikan 15 mmHg
dengan interval pemeriksaan 6 jam
3. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu
4. Proteinuria 0,3 g atau lebih dengan tingkat kualitatif
plus 1 sampai 2 pada urine kateter atau urine aliran
pertengahan
5. Edema generalisata yaitu pada lengan, muka dan
perut.
6. Tidak disertai kerusakan organ
Pre-eklampsia Bila salah satu diantara gejala atau tanda ditemukan pada
Berat ibu hamil, sudah dapat digolongkan Pre-eklampsia berat.
1. Tekanan darah 160/110 mmHg pada dua kali
pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama
2. Oliguria, urine < 400 cc/24 jam
3. Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik
pada sampel urin sewaktu yang dikumpulkan
paling sedikit empat jam sekali.
4. Keluhan subjektif: nyeri epigastrium, gangguan
penglihatan, nyeri kepala.
5. Edema paru dan sianosis
6. Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.
7. Gangguan visus dan serebral : penurunan
kesadaran, nyeri kepala persisten, skotoma, dan
pandangan kabur.
8. Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas
abdomen akibat teregangnya kapsula glisson
9. Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar
enzim ALT dan AST.
10. Perdarahan pada retina
11. Trombosit <100.000/mm
12. Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya
enzim laktat dehidrogenase.
Peningkatan gejala dan tanda Pre-eklampsia berat
memberikan petunjuk akan terjadi eklampsia, yang
mempunyai prognosis buruk dengan angka kematian
maternal dan janin tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya kejang.

Guideline Terapi Preeklamsia Berat


Tujuan penatalaksanaan terapi pada pre-eklampsia berat adalah:
1. Untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal
serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu.
2. Untuk melahirkan bayi cukup bulan dan dapat hidup di luar.
3. Untuk mencegah terjadinya peningkatan komplikasi pada ibu.
4. Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan ibu
hamil.
Pada dasarnya pada pengelolaan pre-eklampsia berat, sedapat mungkin harus
berusaha mempertahankan kehamilan sampai aterm. Jika perjalanan penyakitnya
memburuk dan dijumpai tanda-tanda impending eklampsia, kehamilan harus segera
diakhiri tanpa memandang umur kehamilan. Di samping itu, pemeriksaan terhadap
kesejahteraan janin harus dilakukan secara ketat. Biometri janin, biophysical profile
janin harus dievaluasi 2 kali seminggu, bila keadaan janin memburuk terminasi
kehamilan harus segera dilakukan, tergantung dari keadaan janinnya apakah
persalinan dapat dilakukan pervaginam atau per-abdominal (POGI, 2016).
Berikut adalah kriteria terminasi dan manjemen terapi pada preeklampsia berat :
Tabel 1. Kriteria Terminasi Pada Preeklampsia Berat (POGI, 2016)
 Evaluasi di kamar bersalin dalam 24-48 jam
 Diberikan Kortikosteroid untuk pematangan paru,
Magnesium Sulfat untuk Profilaksis, dan Obat
Antihipertensi
 USG, monitoring fetal heart rate, monitoring gejala, dan
dilakukan tes laboratorium

Jika terjadi Kontraindikasi untuk melanjutkan Terapi


Ekspektatif
 Eklampsia
 Edema Paru Ya Lakukan persalinan
 DIC (Dissemenated Intravascular Coagulation) setelah kondisi Ibu
 Hipertensi Berat, tidak terkontrol stabil
 Gawat Janin
 Solusio Plasenta
 IUFD (Intrauterine Fetal Death)
 Janin tidak viabel

Apakah ada tambahan komplikasi Terapi Ekspektatif


 Sindrom Persisten
 Berikan
 Sindrom HELLP atau parsial sindrom HELLP kortikosteroid
Ya
 Pertumbuhan janin terhambat untuk pematangan
 Severe Oligohydramnions paru
 Reversed End Diastolic Flow  Lakukan
 Inpartu persalinan setelah
 Gangguan Ginjal Berat 48 jam

Perawatan Eskpektatif
 Tersedia fasilitas perawatan maternal dan neonatal
intensif
 Janin viabel (usia kehamilan 34 minggu)
 Dilakukan rawat inap dan pemberian magnesium sulfat
dihentikan
 Evaluasi ibu dan janin setiap hari (tanda-tanda vital,
gejala, dan blood test)
 Obat antihipertensi oral

 Usia kehamilan ≥ 34 minggu


Ya
 KPP atau inpartu
 Perburukan kondisi maternal-fetal Lakukan persalinan
 Ketuban pecah dini

Gambar 1. Manajemen Terapi Pre-Eklampsia Berat (American College of


Obstetricians and Gynecologist, 2013)
Identifikasi Masalah Terkait Obat (DRP) Kasus
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara, dan lama
pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang mahal adalah beberapa contoh
dari penggunaan obat yang tidak rasional. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak
rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar
daibandingkan manfaatnya. Dampak negatif dapat berupa:
a. Dampak klinik (contohnya terjadi efek samping dan resistensi kuman)
b. Dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau)
(KepmenKes RI, 2011).
Analisa penggunaan obat yang rasional dapat dilakukan dengan identifikasi
DRP, yakni :
SUBYEKTIF
PROBLEM
DAN TERAPI DRP
MEDIK
OBYEKTIF
Peningkatan ˗ Subjektif : - Amoksisilin ˗ Unnecesary Drug
kadar WBC ˗ Obyektif : 3 x 500 mg Therapy
WBC = 16,74 x WBC merupakan
109/L (normal indikator untuk inflamasi
4,5-10,5 x 109/L) dimana pada ibu hamil
HR = 84 kali/menit dengan preeklampsia
(normal:80-90 sesudah melahirkan
kali
/menit) umumnya mengalami
Suhu = 370C peningkatan nilai WBC
RR = 20 kali/menit (Chandra, 2012). Pada
(normal : 18-20 kasus, ditemukan
kali
/menit) terjadinya peningkatan
nilai WBC, namun
peningkatan nilai WBC
tidak signifikan. Untuk
memastikan pemilihan
penggunaan antibiotik
pada kasus ini dapat
dilihat pula tanda-tanda
adanya infeksi harus
memenuhi dua diantara
kondisi seperti
peningkatan suhu tubuh,
peningkatan RR,
peningkatan HR, dan
peningkatan WBC
(Kemenkes RI, 2011)
Pada kasus nilai RR, HR,
dan suhu tubuh normal
sehingga penggunaan
Amoksisilin 3 x 500 mg
pada tanggal 26 tidak
perlu diberikan. Antibiotik
profilaksis umumnya
diberikan jika risiko
infeksi nosokomial pada
Rumah Sakit tempat
pasien di rawat sedang-
tinggi, namun pada
penelitian menunjukkan
bahwa angka risiko infeksi
nosokomial di RSUD
Badung tempat pasien di
rawat pada kasus ini
sebesar 1,3 % yang masih
dibawah standar (≤ 1,5 %)
sehingga angka kejadian
tergolong rendah
(Trisnawati 2017). Hal ini
menunjukkan bahwa
terapi antibiotik
profilaksis tidak perlu
diperpanjang hingga
pasien Keluar Rumah
Sakit (KRS)
Penurunan Subyektif : - Ferrous ˗ Dose too low
nilai Hb dan Obyektif : Sulfat 1 x 1 Dosis pemberian ferro
RBC ˗ Hb = 7,8 tab sulfat yang dianjurkan
˗ RBC = 2,79 adalah 200 mg 2-3 kali
sehari (BPOM RI, 2018).
Sehingga Dosis pemberian
(Sulfat Ferosus) rendah

Penyelesaian Masalah Terkait Obat (DRP)


1. DRP 1- Unnecesary drug therapy
Tanda-tanda adanya infeksi harus memenuhi dua diantara kondisi berikut,
yaitu: peningkatan suhu tubuh, peningkatan RR, peningkatan HR, dan peningkatan
WBC (Kemenkes RI, 2011) Pada kasus nilai RR, HR, dan suhu tubuh normal, dan
juga tidak terdapat hasil kultur, hanya nilai WBC yang mengalami peningkatan,
sehingga penggunaan Amoksisilin 3 x 500 mg pada tanggal 26 tidak perlu
diberikan. Maka apoteker menyarankan kepada dokter penulis resep untuk tidak
menggunakan amoksisislin.
2. DRP 2-Dosis Too Low
Dalam resep terdapat penggunaan ferrous sulfat 300 mg 1 x 1 tablet,
sedangkan menurut pustaka frekuensi pemberian ferrous sulfat adalah 2-4 kali.
Selain itu, kebutuhan besi dosis oral untuk anemia adalah 200 mg 2-3 kali sehari
(BPOM RI, 2018). Sedangkan sediaan Rob Ferrous Sulfat 300 mg setara 60 mg
besi fero, sehingga dosis Rob Ferrous Sulfat per harinya adalah:
300 mg X
=
60 mg 200 mg
X = 1000 mg/ hari
Dapat juga dilihat dari data laboratorium kekurangan zat besi pasien
sebanyak 4 gram , diketahui 1 gram Hb terdiri dari 3,47 mg Fe (Saljoughian, 2007)
sehingga diperlukan 13,88 mg Fe jadi dosis Rob Ferrous Sulfat per harinya adalah:
Rob Ferrous Sulfat 300 mg setara 60 mg besi ( diabsorpsi sekitar 6 – 8 mg)
(Susiloningtyas, 2017) sehingga untuk kebutuhan 13,88 mg Fe diperlukan sekitar
Rob Ferrous Sulfat 600 mg setara 120 mg besi maka pemberian Rob Ferrous Sulfat
300 mg adalah 2 – 3 kali sehari. Selain itu, untuk kondisi anemia desfisiensi zat
besi. Apoteker menyarankan kepada dokter penulis resep untuk meningkatkan
frekuensi pemberian hingga 2 – 3 kali sehari selama 3 – 4 minggu (Lacy et al.,
2009).
Plan terkait penyelesaian masalah DRP :
a. DRP 1- Unnecesary drug therapy
Plan pada tingkat Penulis Resep yaitu dilakukan konsultasi dengan dokter
penulis resep terkait penggunaan amoksisilin. Diketahui tidak adanya tanda – tanda
infeksi yang dialami pasien (tidak timbul 2 dari 4 gelaja SIRS) maka perlu
dikonsultasikan terhadap dokter terkait pemberian amoksisilin.
b. DRP 2-(Dose too low)
Plan pada tingkat Penulis Resep yaitu dilakukan konsultasi dengan dokter
penulis resep terkait pemberian obat ferrous sulfat, dimana frekuensi pemberian
obat kurang yang mengakibatkan dosis yang diberikan rendah sehingga perlu
adanya peningkatan frekuensi pemberian menjadi 2 kali sehari sebelum makan
selama 1 bulan, setelaah obat habis pasien dianjurkan konsultasi kembali ke dokter.
Plan terkait terapi farmakologi dan non farmakologi :
a. Terapi Farmakologi
Pada terapi farmakologi, pasien diberikan obat – obatan yang dapat
mendukung kondisi pasien pasca operasi yaitu khususnya pada penanganan nyeri
dan pencegahan terjadinya infeksi. Kemudian dilakukan pemantauan penggunaan
obat dan monitoring efek samping obat. Pada pemantauan penggunaan obat
dilakukan pemantau terhadap efektivitas terapi obat yang diberikan apakah mampu
menghilangkan nyeri pasien pasca operasi dan memperbaiki kondisi lainnya pasca
operasi. Kemudian untuk monitoring efek samping obat dilakukan pemantauan efek
samping obat yang mungkin terjadi pada pasien.
Berikut Pemantauan Penggunaan Obat dan Monitoring Efek Samping Obat yang dilakukan:

Dosis Lazim Dosis Maksimum


No Obat Efektivitas Terapi Efek Samping Keterangan
Resep Pustaka Resep Pustaka
1. Infus RD5 Hilangnya rasa
lemas, Nyeri, memar, infeksi 1000 cc/24 1000 cc (USP, 1000 cc - Tepat Dosis
mudah lelah, wajah pucat bakteri, trombosis, jam i.v 2014)

dan malaise, dilakukan emboli, dan kerusakan


evaluasi klinis dari data saraf (USP, 2014).
laboratorium pada kadar
Na, K, dan Cl merupakan
parameter yang dipantau
dalam terapi pemberian
infus RD5.
(Pada kasus ini diketahui
kadar Na dan Cl berada
diatas rentang normal dan
memiliki kadar K berada
dibawah rentang normal
yaitu 3,4 Hal ini
mengindikasikan bahwa
pasien mengalami
hipokalemia ringan sedang
(Sumantri, 2009)).
2. Oksitosin Pada post operasi, dapat Mual, muntah, sakit 10-30 unit Drip 2 - - Tepat Dosis
dilakukan dengan melihat kepala, kontraksi rahim dalam 500 amp/500 cc
nilai Hb pasien yang mL infus RD5 s/d 12
mengindikasikan apakah yang berlebihan (Induksi jam post
terjadi perdarahan atau (Sweetman, 2009). kontraksi partum. Dalam
tidak. Oksitosin diduga persalinan) 1 ampul
digunakan sebagai terdapat 10
5-20 unit
stimulan uterus, dimana unit oksitosin
dalam 500
dapat digunakan untuk
mL infus
induksi persalinan dan
(mencegah
perbaikan kontraksi uterus
perdarahan
dalam persalinan (Muarif,
postpartum)
2002).
(Sweetman,
2009)

3. Magnesium Dapat dipantau dengan ada Hipermagnesia, (tanda: Dosis awal Dosis awal MgSO4 50% 10 Infus 1 Tepat dosis
sulfat tidaknya gejala klinis depresi pernapasan dan MgSO4 MgSO4 4 g g i.m diteruskan g/jam atau
secara i.v. tiap 6 jam (40 dengan i.m
berupa kejang (Manuaba, hilangnya tendon 20% 4 g selama 10-15 g/hari) sebanyak 5
1998). refleks dalam, mual, menit, diikuti g di masing-
infus 1 g/jam masing
(Berdasarkan kasus nilai muntah, rasa haus,
MgSO4 atau dengan pantat.
RR pasien adalah 18 hipotensi,
mengantuk, 50% 10 g i.m sebanyak 5 Dilanjutkan
kali/menit dan jumlah urine kebingungan, bicara i.m g di masing- setiap 4 jam
diteruskan masing pantat. (60 g/hari)
output pasien adalah cadel, penglihatan tiap 6 jam Dilanjutkan
800cc/24 jam, maka pasien ganda, kelemahan otot, setiap 4 jam
(Sweetman,
dapat menerima terapi bradikardia, koma, dan
2009).
magnesium sulfat) serangan jantung)
(Sweetman, 2009).
4. Nifedipine Nifedipine merupakan Pening (10% - 27%), 10 mg 10-30 mg tiga 30 mg/hari 120- Tepat Dosis
obat lini pertama sebagai pusing (10% - 23%) , sekali kali sehari 180/hari
(Lacy et al., (Lacy et al.,
antihipertensi pada wanita mual/heartburn (10% - 2009) 2009)
30 mg
hamil. Pemilihan 11%), merasa letih sehari
nifedipine dikarenakan (10% - 12%) (Lacy et
pasien mengalami al., 2009)
hipertensi dengan tekanan
darah 160/110 mmHg,
dimana nifedipine
memiliki onset kerja yang
cepat (NCCWC, 2010).
Setelah pemberian
nifedipine perlu dilakukan
pemantauan terhadap
tekanan darah pada pasien,
dimana tekanan darah
pasien dipantai setelah 15
menit dan 20 menit
berikutnya.
5. Ketorolac Dapat dilakukan dengan Sakit kepala (17%) Dosis Dosis injeksi Injeksi Alinamin Dosis Tepat dosis
penilaian nyeri. Penilaian dispepsia (12%), mual injeksi Alinamin F F diberikan 3 x injeksi
(12%) (Lacy et al., diberikan 1-2 1 ampul sehari Alinamin F
dilakukan setelah operasi. 2009) ketorolac ampul 1-2 kali diberikan
Penilaian nyeri perlu adalah 3x sehari secara maksimal 4
IV perlahan x 1 ampul
dilakukan secara regular 30 mg
(Anonim, sehari
setiap 4 – 8 jam untuk sehari 2016). secara IV
perlahan
melihat keberhasilan terapi (Anonim,
yang telah diberikan dan 2016).

respon pasien terhadap


terapi. Ketorolac pasaca
operasi deiberikan 2 jam
setelah operasi (Lacy et al.,
2009).

6. Alinamin F Dapat dilihat dari adanya Efek samping pada ibu Dosis Dosis injeksi 90 mg/hari Dosis Tepat Dosis
gas/angin atau pasien berupa Hipersensitivitas Injeksi ketorolac 30 maksimum
perhari 120
kentut setelah operasi. terhadap penggunaan Alinamin F mg single dose mg (Lacy,
alinamin F seperti adalah atau 30 mg et al., 2009)
ruam, shock serta sesak sekali 1 setiap 6 jam
nafas ampul (Lacy, et al.,
, sehari 3 2009)
ampul
7. Vitamin C Dapat dipantau pada luka Efek samping yang 200 mg - 600 mg sehari Maksimum Tepat Dosis
operasi apakah sudah umum terjadi dari sekali, 600 2000 mg
mg sehari sehari
membaik atau belum. penggunaan vitamin C
adalah mual, muntah,
diare, sakit kepala
(Sweetman, 2009).
8. Asam Dapat dilakukan dengan Stress Ulcer mual, Tepat Dosis
Sekali : 500 500 mg; lalu
mefenamat penilaian nyeri. Penilaian muntah, sakit kepala, 1500 mg -
mg 250 mg setiap
dilakukan sebelum dan
sesudah terapi, kemudian pusing (Sweetman, Sehari : 4 jam sesuai
dilihat apakah nyeri dapat 2009). 1500 mg kebutuhan
berkurang setelah terapi.
(Lacy et al.,
2009)
9. Ceftriaxone Dapat dilihat apakah Adapun efek samping Dosis 2 g (dosis 2 gram - Tepat Dosis
terjadi tanda tanda SIRS, yang mungkin ceftriaxone dewasa)
2 gram
dan melihat adanya tanda- dirasakan pada sehari (ASHP
tanda infeksi seperti penggunaan ceftriaxone Therapeutic
adanya nanah, pemantauan adalah diare, colitis, Guidelines,
luka operasi dengan mual dan muntah, sakit 2013).
melakukan pemantauan kepala, reaksi alergi dan
pada nyeri yang masih gangguan fungsi hati
dirasakan oleh pasien dan ginjal (Lacy et al.,
disekitar luka operasi. 2009).
10. Rob (Ferous Dilihat dari nilai Hb (13,5- Efek samping yang 300 mg 300 mg 2-4 300 mg - Tidak Tepat
sehari kali sehari Dosis
sulfat) 17,5 g/dL) umum terjadi dari
(Lacy, et al.,
penggunaan sediaan (Ditingkatkan
2009)
menjadi 2
besi oral adalah mual, kali sehari
nyeri ulu ati, feses 300 mg)
hitam, kram perut,
konstipasi, dan diare
(Katzung et al., 2012).
a. Terapi Setelah Pasien Keluar Rumah Sakit
Untuk mengatasi rendahnya kadar Hb pasien, maka apoteker
merekomendasikan terapi Rob Ferrous Sulfat oral 2 kali sehari selama 1 bulan dan
pasien juga diberikaan asam mefenamat untuk mengatasi nyeri bekas luka s.c yang
digunakan jika perlu saat sakit maksimal 3 kali sehari setiap 8 jam (BNF, 2014).
b. Terapi Non Farmakologi
Pada kondisi setelah operasi, pasien mengalami edema pada kaki. Edema
disebabkan oleh retensi air dan kenaikan tekanan vena pada kaki maka dapat
disarankan dengan memposisikan kaki/tungkai kaki pasien lebih tinggi dari tubuh ,
ubah posisi sesering mungkin, istirahat berbaring dengan posisi miring kiri untuk
memaksimalkan drainase pembuluh darah kedua tungkai (Sinclair, 2009).
Penggunaan Obat yang Rasional
Berdasaran Kemenkes RI (2011) suatu pengobatan dikatakan telah rasional
apabila memenuhi kriteria tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan
obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama
pemberian, waspada terhadap efek samping serta sesuai dengan keadaan pasien.
Untuk menilai apakah terapi yang diterima pasien Ny. FS telah memenuhi kriteria
POR maka apoteker perlu melakukan pengkajian setiap kriteria POR dari obat-
obatan yang diterima pasien seperti sebagai berikut:
Tepat Indikasi
Tabel 2. Pengkajian Ketepatan Indikasi Terapi yang Diperoleh Pasien
Tang Obat yang
Kondisi Kinik Indikasi Penilaian
gal Diberikan
23/06  Edema kaki Pre operasi: 1) Ranitidin Setiap

 GCS: 456 1) Ranitidin IV Pencegahan terapi yang


diberikan
 AICD: -/-/-/- 2) Ondansentro ulkus yang
kepada
 TD 160/100 n IV disebabkan stres
pasien telah
 N: 84x/menit 3) Tramadol IV dan pencegahan
“Tepat
 RR pneumonitis
Indikasi”
18x/menit Terminasi SC: aspirasi asam
Coamoxiclav IV selama operasi
 G2P1-1 Post operasi: (Lacy et al.,
37/38 1) Infus RD5 2009).
minggu TBJ IV 2) Ondansentron
2500 g + 2) Oksitosin Mencegah mual
PEB Drip IV dan muntah
 T Afebris 3) MgSO4 IV pasca operasi
(tidak awal, atau
demam) kemudian postoperative
 Pro terminasi IM tiap 6 nausea and
sectio jam vomiting
caesaria 4) Nifedipin PO (PONV) (Lacy

 Proteinuri 5) Ketorolac i.v et al., 2009).

(3+) 6) Alinamin F 3) Coamoxiclav

 Na: 147 i.v Antibiotik

(nilai normal 7) Vitamin C profilaksis

137-145) 8) Ceftriaxone 4) Infus RD5

 K: 3,0 (nilai IV Terapi cairan,

normal 3,5- elektrolit dan

5,5) nutrisi (Lacy et


al., 2009).
 Cl: 114 (nilai
normal 98- 5) Oksitosin
Postpartum:
106)
mencegah
24/06  Nyeri 1) Infus RD5
pendarahan
 Edema kaki IV
postpartum
 TD 160/90 2) Nifedipin PO
(Sweetman,
 N: 84x/menit 3) Asam
2009).
 RR Mefenamat
6) MgSO4
18x/menit PO
Mencegah
 WBC: 18,2 4) Ceftriaxone
kejang pada
(nilai normal IV
preeklamsia
4,5-10,5)
 Na: 153 berat dan
(nilai normal eklamsia (Lacy
137-145) et al., 2009).
 K: 3,2 (nilai 7) Nifedipin
normal 3,5- Antihipertensi
5,5) (Lacy et al.,
 Cl: 113 (nilai 2009).
normal 98- 8) Ketorolac
106) Menangani nyeri
akut sedang
25/06  Nyeri 1) Infus RD5 sampai berat

 Edema kaki IV yang

 TD 130/80 2) Nifedipin PO memerlukan


analgesia pada
 N: 88x/menit 3) Asam
Mefenamat tingkat opioid
 RR
PO (Lacy et al.,
20x/menit
4) Ceftriaxone 2009).
 T Afebris
IV 9) Alinamin F
(tidak
5) Rob PO Suplemen:
demam)
Vitamin B1
digunakan untuk
26/06  Nyeri 1) Infus RD5
meningkatkan
 TD 130/80 IV
motilitas usus
 N: 80x/menit 2) Nifedipin PO
pasien pasca
 RR 3) Asam
operasi, yang
20x/menit Mefenamat
ditandai dengan
 T Afebris PO
adanya
(tidak 4) Rob PO
kentut/buang
demam) 5) Amoxicillin
angin. Hal ini
PO
bertujuan untuk
menghilangkan
27/06  Nyeri (±) 1) Nifedipin PO
 TD 140/90 2) Asam efek bius pada
 N: 80x/menit Mefenamat usus dan
 RR PO mengembalikan
20x/menit 3) Rob PO gerak peristaltik

 T Afebris 4) Amoxicillin sehingga

(tidak PO pencernaan

demam) dapat kembali

 Cl: 112 (nilai normal.

normal 98- 10) Vitamin C

106) Untuk
membantu

28/06  Edema kaki 1) Nifedipin PO pembentukan


kolagen dan
 TD 120/70 2) Asam
bahan
 N: 80x/menit Mefenamat
interseluler lain
 RR PO
3) Rob PO dalam jaringan,
20x/menit
sehingga dapat
 T Afebris
mempercepat
(tidak
penyembuhan
demam)
11) Ceftriaxone
Antibiotik
29/06  TD 110/80 1) Nifedipin PO
profilaksis
 N: 80x/menit 2) Asam
12) Asam
 RR Mefenamat
Mefenamat
20x/menit PO
Menangani nyeri
 T Afebris 3) Rob PO
dari ringan
(tidak
hingga sedang
demam)
(Lacy et al.,
2009).
30/06  TD 110/80 KRS
13) Rob
 N: 86x/menit (Roboransia)
Ferro Sulfat.
 RR Merupakan
20x/menit suplemen besi
 T Afebris oral untuk
(tidak mengatasi
demam) rendahnya kadar
sel darah merah
(RBC) dan kadar
hemoglobin
(Hb)
Berdasarkan hasil pengkajian kondisi klinik pasien dengan terapi obat yang
diberikan, dapat disimpulkan bahwa terapi yang diberikan kepada pasien Ny. FS
selama dirawat di RS telah tepat indikasi.
Tepat Obat
Tepat pemilihan obat adalah keputusan untuk melakukan upaya terapi
diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang
dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit (Kemenkes RI,
2011). Untuk menilai ketepatan pemilihan obat, maka didasarkan juga pada
algoritma terapi, yang didasarkan pada keluhan yang disampaikan oleh pasien.
a. Infus RD5
Kadar Na, K, dan Cl pasien merupakan parameter yang dipantau dalam terapi
pemberian infus RD5. Pasien pada kasus ini diketahui memiliki kadar Na dan Cl
berada diatas rentang normal dan memiliki kadar K berada dibawah rentang normal
yaitu 3,0 (nilai normal K: 3,5-5,5). Hal ini mengindikasikan bahwa pasien
mengalami hipokalemia ringan sedang (Sumantri, 2009). Infus RD5 merupakan
terapi yang digunakan untuk menggantikan air (cairan hipotonik) yang hilang,
memberikan suplai kalori, juga dapat dibarengi dengan pemberian obat-obatan,
dimana pada kasus ini pasien juga diberikan obat oksitosin sehingga infus RD5 ini
dapat digunakan sebagai pembawanya. Untuk mencapai kadar kalium berada dalam
rentang normal, selain pemberian terapi infus RD5, pasien juga diharapkan untuk
diberikan modifikasi diet untuk mencapai kadar K, Na dan Cl berada dalam rentang
normal. Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan infus RD5 pada resep ini
dapat dikatakan telah tepat obat.
b. Oksitosin
Penggunaan oksitosin untuk pasien Ny. FS dapat dikatakan tepat obat karena
kondisi kehamilan pasien sudah mencapai 37/38 minggu, dimana kondisi tersebut
sudah dikatakan janin cukup bulan atau aterm, sehingga dengan kondisi pasien
preeklamsia proses kelahiran dilakukan dengan Secio caesaria. Pemberian
oksitosin hingga 12 jam postpartum kepada pasien berfungsi untuk mencegah
hemoragi postpartum (pendarahan pasca melahirkan) (Sweetman, 2009; Weeks,
2015).
c. Magnesium Sulfat
Tatalaksana terapi untuk pasien Ny. FS yang diketahui mengalami pre-
eklampsia berat salah satunya adalah magnesium sulfat (gambar 4). Magnesium
sulfat mempunyai efek antikejang dan vasodilator dan merupakan agen pencegahan
eklampsia paling efektif. Magnesium sulfat merupakan lini pertama yang
direkomendasikan untuk profilaksis eklampsia pada wanita dengan preeklampsia
berat (Denis, 2012). Magnesium sulfat digunakan untuk mencegah terjadinya
kejang sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian magnesium sulfat sudah tepat
obat.
Gambar 4. Penatalaksanaan Preekamsia Berat (Leeman and Fontaine, 2008).
d. Nifedipine
Nifedipine merupakan obat lini pertama sebagai antihipertensi pada wanita
hamil. Pemilihan nifedipine dikarenakan pasien mengalami hipertensi dengan
tekanan darah 160/110 mmHg, dimana nifedipine memiliki onset kerja yang cepat
yakni 15 sampai 30 menit dan dapat berlangsung selama kurang lebih 6 sampai 12
jam. Nifedipine juga direkomendasikan untuk mengatasi hipertensi selama
kehamilan dan selama menyusui (NCCWC, 2010). Meskipun nifedipine terdapat
pada kelenjar susu namun masih dalam rentang aman atau kompatibel untuk ibu
yang menyusui. Nifedipine ini merupakan obat yang masuk kedalam kategori C,
dimana penggunaan obat dengan kategori C harus mempertimbangkan rasio risiko-
manfaat obat (Lacy et al, 2009).
Selama penggunaan nifedipine, pasien perlu dipantau tekanan darahnya yakni
setiap 15 menit dan 20 menit setelah penggunaan, untuk mengetahui adanya
penurunan tekanan darah pasien. Penurunan tekanan darah secara signifikan juga
dihindari, hal ini dikarenkan adanya penurunan tekanan darah yang drastic dapat
menyebabkan hipoperfusi plasenta, yang dapat membahayakan janin. Hipoperfusi
plasenta menyebabkan penurunan aliran darah ke janin sehingga pasokan oksigen
dan nutrisi berkurang secara tiba-tiba yang dapat menyebabkan syok pada janin.
Setelah melahirkan umumnya tekanan darah meningkat selama 5 hari. Namun dapat
pula pasien mengalami normotensive segera setelah melahirkan, namun dapat
terjadi hipertensi kembali pada 1 minggu setelah melahirkan. Sehingga perlu
diberikan obat antihipertensi untuk mengontrol tekanan darah pasien. Penghentian
penggunaan obat antihipertensi pada kasus preeclampsia adalah 6 minggu setelah
melahirkan (James and Catherine, 2004). Namun penggunaan obat antihipertensi
tidak dapat dihentikan secara tiba-tiba, dimana perlu dilakukan penurunan dosis
terlebih dahulu sebelum penggunannya dihentikan. Berdasarkan uraian diatas,
pemberian nifedipine sudah sesuai untuk penanganan hipertensi yang diderita
pasien.
e. Ketorolac
Ketorolac merupakan obat NSAID yang digunakan dalam terapi analgesia
pro-operasi. Ketorolac memiliki hasil yang efektif dalam mengurangi nyeri pasca
operasi (Gildasio et. al., 2012). Ketorolac pra operasi diberikan 2 jam sebelum
operasi (Lacy et al., 2009). Ketorolac merupakan analgesic non-opioid yang
menjadi pilihan utama untuk manajemen terapi postpartum dibandingkan dengan
analgesik opioid. Hal ini disebabkan karena terapi analgesik opioid dapat
memberikan efek negatif pada hasil menyusui. Analgesik opioid juga dieksresikan
di ASI dalam konsentrasi yang tinggi, sehingga penggunaanya tidak
direkomendasikan bagi pasien. Analgesik non opioid yang menjadi pilihan yaitu
ketorolac umumnya yang digunakan sebagai terapi postpartum, terutama setelah
operasi sesar. Ketorolac juga sama efektif dengan morfin dan petidin yang dapat
mencegah nyeri akut pascabedah dari tingkat nyeri sedang sampai dengan berat
tanpa menyebabkan depresi pada pernapasan. (Lee, et al., 2010). Sehingga
pengguaan ketorolac dalam kasus ini dapat dikatakan tepat obat.
f. Alinamin F
Alinamin F mengandung vitamin B1 dalam bentuk Thiamini
TetrahydroFurfuryl Disulfidi Hydrochloridum. Alinamin F berbeda dengan vitamin
B1 lainnya karena memiliki karakteristik tidak rusak oleh enzim aneurinase, suatu
enzim yang merusak vitamin B1 yang dihasilkan oleh beberapa bakteri di dalam
usus dan penyerapan TTFD secara optimal dari saluran pencernaan. Pemberian
vitamin ini pada pasien yang menjalani sectio caesarea akan dapat meningkatkan
motilitas usus pasien pasca operasi, yang ditandai dengan adanya kentut/buang
angin. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan efek bius pada usus dan
mengembalikan gerak peristaltik sehingga pencernaan dapat kembali normal.
Berdasarkan hal tersebut, pemberian alinamin F pada kasus ini telah tepat obat.
g. Vitamin C
Penggunaan vitamin C pada pasien setelah melakukan sectio caesarea sudah
tepat, karena penggunaan vitamin C pada pasien setelah sectio caesarea diberikan
sebagai terapi suportif untuk meningkatkan sistem imun pasien pasca operasi,
membantu proses sintesis pada kolagen untuk proses penyembuhan luka, dan
membantu terbentuknya sistem imun dalam tubuh, sehingga pada pasien pasca
operasi akan mengurangi resiko terjadinya infeksi pada luka caesarean section
(Almatsier, 2009).
h. Asam Mefenamat
Asam mefenamat merupakan golongan analgesik non opioid (NSAID) yang
biasa digunakan untuk mengatasi nyeri disminorea dalam jangka waktu pendek (≤7
hari) pada nyeri ringan sampai sedang termasuk sakit kepala, sakit gigi dan post
operasi (Moll et al., 2011). Penggunaan analegsik pasca operasi berupa asam
mefenamat dosis 500 mg kurang efektif dibandingkan penggunaan diklofenak 50
mg dimana keberhasilan asam mefenamat mirip dengan analgesik ringan seperti
parasetamol 1000 mg (Moll et al., 2011). Jika dilihat terhadap efek samping,
penggunaan obat golongan NSAID dapat mempengaruhi tekanan darah dari pasien,
dimana obat asam mefenamat memiliki efek <1% terhadap peningkatan tekanan
darah (Lacy et al., 2009). Sedangkan penggunaan diklofenak harus hati-hati dalam
menentukan pada pasien dengan riwayat gagal jantung kongestif, hipertensi,
peningkatan usia atau lainnya kondisi predisposisi retensi cairan dimana prevalensi
>1%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian asam mefenamat sudah tepat
obat.
i. Ceftriaxone
Antibiotik profilaksis digunakan bagi pasien yang belum terkena infeksi,
tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila terkena
infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obat-obatan profilaksis
harus diarahkan terhadap organisme yang mempunyai kemungkinan terbesar dapat
menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh
pathogen (Kemenkes RI, 2011). Desiyana dkk (2008) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa adanya kekhawatiran terhadap keadaan luka operasi, perawatan
pasca bedah dan sumber-sumber infeksi lainnya menyebabkan antibiotika
profilaksis dapat digunakan lebih dari 24 jam di lapangan. Penggunaan antibiotika
terapi setelah operasi umumnya adalah selama 3 hari (Tumirah dkk., 2009).
Antibiotik yang sering digunakan untuk profilaksis pada kasus sectio caesarea
adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama single dose seperti
cephazolin. Jika pasien alergi penisilin, clindmisin atau eritromisin dapat digunakan
(Tita et al., 2009).

Gambar 5. Rekomendasi antibiotik profilaksis pada prosedur obstetrik


Pada kasus ini pasien diberikan profilaksis berupa dan Ceftriaxone
merupakan sefalosporin generasi ketiga yang diberikan secara IV atau IM.
Penggunaan antibiotik ceftriaxone mempunyai kemampuan melawan bakteri
basilus gram negatif (Kanji dan Devlin, 2008). Penentuan penggunaan antibiotik
profilaksis tidak hanya berdasarkan jenis/golongan antibiotik, tetapi juga
tergantung pada pola kuman yang terdapat di rumah sakit. Berdasarkan hal
tersebut, pemberian ceftriaxone pada kasus ini telah tepat obat.
j. Rob
Pada kasus ini pasien mengalami anemia yang ditunjukkan oleh penurunan
nilai sel darah merah (RBC), kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit setelah
menjalani operasi. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas
pengangkut oksigen oleh darah (Goddard et al, 2011). Pemberian sediaan besi oral
seperti Rob (ferosus sulfat) pada kasus ini telah tepat dimana mekanisme kerja
ferosus sulfat adalah membentuk inti dari cincin heme Fe-porfirin yang bersama-
sama dengan rantai globin membentuk hemoglobin (Santiago, 2012). Fungsi utama
hemoglobin adalah transport oksigen ke seluruh tubuh (Thomas and Lumb, 2012).
Oleh karena itu, peningkatan kadar hemoglobin dapat meningkatkan kapasitas
pengangkut oksigen oleh darah. Apabila dilihat dari nilai hemoglobin (Hb) pasien
maka pasien belum memerlukan transfusi darah. Keputusan melakukan transfusi
harus selalu berdasarkan penilaian yang tepat dari segi klinis penyakit dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Seseorang membutuhkan transfusi darah ketika jumlah
sel komponen darahnya tidak mencukupi untuk menjalankan fungsinya secara
normal. Rekomendasi transfusi sel darah merah pada pasien anemia adalah sebagai
berikut:
 Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar
Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat
ditunda jika pasien asimptomatik dan atau penyakitnya memiliki terapi
spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima
(Rekomendasi A).
 Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila
ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium (Rekomendasi C).
 Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi
tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen
lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit
jantung iskemik berat) (Rekomendasi A).
(Oehadian, 2012)
k. Amoksisilin
Amoksisilin merupakan obat yang termasuk dalam antibiotik golongan
penisilin (antibiotik beta-laktam). Obat ini memiliki spektrum yang luas dan efektif
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Amoksisilin mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi sintesis dinding sel
bakteri. Dengan terhambatnya reaksi ini maka sintesis peptidoglikan akan terhenti
dan membunuh bakteri (Katzung et al., 2012). Penggunaan amoksisilin pada kasus
ini dapat dikatakan tidak tepat obat dikarenakan tidak ditemukan tanda-tanda
infeksi atau SIRS pada pasien. Pasien dikatakan SIRS apabila terdapat 2 atau lebih
tanda SIRS, yaitu: (1) suhu lebih dari 38oC atau kurang dari 36oC; (2) denyut
jantung lebih dari 90x/menit; (3) Frekuensi napas lebih dari 20x/menit; (4) Leukosit
>12.000/µL atau <4.000/µL (Brun-Buisson, 2000). Tetapi apabila terjadi tanda
SIRS maka penggunaan amoksisilin dapat direkomendasikan pada pasien.
Tepat Dosis
Tepat dosis merupakan dosis atau jumlah obat yang diresepkan kepada pasien
sesuai dengan kebutuhan individual dari pasien dan dosis yang diberikan berada
dalam rentang terapi. Berikut adalah perbandingan kesesuaian dosis resep dengan
dosis pustaka (Tabel 3).
Tabel 3. Perbandingan Dosis Resep dan Dosis Pustaka.
N Obat Dosis Lazim Dosis Maksimum Keterang
o an
Resep Pustaka Resep Pustaka
1. Infus RD5 1000 1000 cc 1000 cc - Tepat
cc/24 (USP, Dosis

jam i.v 2014)


2. Oksitosin Drip 2 - Induksi - - Tepat
amp/500 kontraks Dosis

cc RD5 i
s/d 12 persalina
jam post n: 10-30
partum. unit
Dalam 1 dalam
ampul
terdapat 500 mL
10 unit infus
oksitosin - Mencega
h
perdarah
an
postpart
um:5-20
unit
dalam
500 mL
infus
(Sweetm
an,
2009)

3. Magnesium Dosis Dosis awal MgSO4 40 mg/ Tepat


Sulfat awal MgSO4 4 50% 10 hari (Lacy dosis

MgSO4 g secara g i.m et al.,


20% 4 g i.v. selama diteruska 2009).
10-15 n tiap 6
MgSO4 menit, jam (40
50% 10 g diikuti g/hari)
i.m infus 1
diteruska g/jam atau
n tiap 6 dengan i.m
jam sebanyak
5 g di
masing-
masing
buttock.
Dilanjutka
n setiap 4
jam
(Sweetma
n, 2009).
4. Nifedipine 10 mg 10-30 mg 30 120- Tepat
sekali tiga kali mg/hari 180/hari Dosis
30 mg sehari (Lacy et
sehari (Lacy et al., 2009)
al., 2009)
5. Injeksi Dosis Dosis Injeksi Dosis Tepat
Alinamin F Injeksi injeksi Alinami injeksi dosis

Alinamin Alinamin nF Alinamin


F adalah F diberika F
sekali 1 diberikan n3x1 diberikan
ampul, 1-2 ampul ampul maksimal
sehari 3 1-2 kali sehari 4x1
ampul sehari ampul
1 ampul: secara IV sehari
25 mg/10 perlahan secara IV
mL (Anonim, perlahan
2017). (Anonim,
2017).
6. Injeksi Dosis Dosis 90 Dosis Tepat
Ketorolac injeksi injeksi mg/hari maksimu Dosis
ketorolac ketorolac m perhari
adalah 30 mg 120 mg
3x 30 mg single (Lacy, et
sehari dose atau al., 2009)
30 mg
setiap 6
jam
(Lacy, et
al., 2009)

7. Vitamin C 200 mg - 600 mg Maksimu Tepat


sekali, sehari m 2000 Dosis

600 mg mg sehari
sehari
8. Asam 500 mg; Tepat
mefenamat lalu 250 Dosis
Sekali : mg setiap
500 mg 4 jam
1500 mg -
Sehari : sesuai
1500 mg kebutuhan
(Lacy et
al., 2009)
9. Ceftriaxone Injeksi: 1 1-2 gram 2 gram - Tepat
gram setiap 12- Dosis
sekali 24 jam
2 gram (dosis
sehari dewasa)
(Lacy et
al., 2009)
1 Rob (Sulfat 300 mg Oral: 300 300 mg - Tidak
0. Ferosus) sehari mg 2-4 Tepat
kali sehari Dosis
(Lacy, et (Dose too
al., 2009) low)
1 Amoksisilin 500 mg - 1,5 2 gram Tepat
1. sekali gram sehari Dosis
1500 mg sehari (Sweetma
sehari n, 2009)
Tepat Pasien
Pada kasus ini, bentuk sediaan yang diberikan kepada pasien adalah sediaan
injeksi dan infus secara intravena serta tablet secara peroral. Pemilihan bentuk
sediaan injeksi dan infus secara intravena telah tepat untuk kondisi pasien yang
membutuhkan penanganan serta respon terapi yang cepat. Selain itu, pasien
merupakan pasien dewasa yang mampu mengonsumsi sediaan obat padat seperti
tablet sehingga pemilihan bentuk sediaan tersebut juga telah tepat. Obat-obatan
yang diresepkan tidak kontraindikasi dengan kondisi pasien yang menerima resep
sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi yang diberikan telah tepat pasien.
Waspada Efek Samping
Efek samping yang dapat muncul pada penggunaan obat beserta cara
pengatasannya dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Efek Samping Obat dan Cara Pengatasan.
No Obat Efek Samping Cara Pengatasan
1. Infus RD5 Nyeri, memar, infeksi Efek samping penggunaan
bakteri, trombosis, emboli, infus RD5 yang perlu
dan kerusakan saraf (USP, diwaspadai adalah trombosis
2014). dan emboli, dimana
pengatasan hal tesebut dapat
dilakukan dengan memastikan
pemberian cairan yang tepat
dan memadai sehingga
komplikasi yang lebih serius
dapat dicegah
2. Oksitosin Mual, muntah, sakit Efek samping oksitosin yang
kepala, kontraksi rahim harus diwaspadai adalah mual
yang berlebihan. dan muntah, dimana hal
tersebut dapat diatasi dengan
pemberian anti emetik pada
terapi pasien.
3. Magnesium Hipermagnesia, (tanda: Hipermagnesia merupakan
sulfat depresi pernapasan dan efek samping yang harus
hilangnya diwaspadai, dimana
tendon refleks dalam, pengatasan hal tersebut dapat
mual, muntah, rasa haus, dilakukan dengan
hipotensi, mengantuk, memperbaiki ventilasi,
kebingungan, bicara cadel, pemberian 10 mL kalsium
penglihatan ganda, glukonas 10% secara intravena
kelemahan otot, dengan perlahan ataupun
bradikardia, koma, dan dengan memaksa terjadinya
serangan jantung) diuresis dengan menggunakan
(Sweetman, 2009). infus manitol (Sweetman,
2009).
4. Nifedipine Pening, pusing, Dosis nifedipine dapat
mual/heartburn, merasa diturunkan dan pasien
letih (Lacy et al., 2009) diinformasikan untuk
mengonsumsi obat setelah
makan. Apabila efek samping
pasien tidak teratasi maka
pasien direkomendasikan
untuk mengganti obat dengan
regimen lainnya.
5. Ketorolac Sakit kepala, dispepsia, Efek samping ketorolac yang
mual (Lacy et al., 2009) lebih sering muncul adalah
.
iritasi lambung dan ulkus
peptikum, dimana pengatasan
hal tersebut dapat dilakukan
dengan pemberian obat PPI.
Pemberian obat ketorolac juga
diberi batasan maksimal 5
yaitu 48 jam – 72 jam untuk
meminimalisir terjadinya efek
samping tersebut.
6. Alinamin F Efek samping pada ibu Apabila efek samping berupa
berupa Hipersensitivitas Hipersensitivitas yang ditandai
terhadap penggunaan dengan adanya ruam, shock
alinamin F seperti ruam, dan sesak nafas terjadi pada
shock serta sesak nafas pasien maka penggunaan obat
tersebut harus segera
dihentikan. Penanganan reaksi
Hipersensitivitas akibat efek
samping yang muncul dari
penggunaan obat tersebut pada
pasien juga perlu dilakukan.
7. Vitamin C Efek samping yang umum Efek samping vitamin C
terjadi dari penggunaan berkaitan erat dengan tingkat
vitamin C adalah mual, dosis dan dapat dicegah
muntah, diare, sakit kepala dengan menurunkan dosis.
(Sweetman, 2009).
8. Asam Stress Ulcer mual, Pasien diinformasikan untuk
mefenamat muntah, sakit kepala, mengonsumsi obat setelah
pusing (Sweetman, 2009). makan. Apabila efek samping
pasien tidak teratasi maka
pasien direkomendasikan
untuk mengganti obat dengan
regimen lainnya.
9. Ceftriaxone Adapun efek samping Efek samping ini berkaitan erat
yang mungkin dirasakan dengan tingkat dosis dan dapat
pada penggunaan dicegah dengan menurunkan
ceftriaxone adalah diare, dosis.
colitis, mual dan muntah,
sakit kepala, reaksi alergi
dan gangguan fungsi hati
dan ginjal (Lacy et al.,
2009).
10. Rob (Ferous Efek samping yang umum Efek samping ini sering
sulfat) terjadi dari penggunaan berkaitan dengan tingkat dosis
sediaan besi oral adalah dan dapat dicegah dengan
mual, nyeri ulu ati, feses menurunkan dosis. Selain itu
hitam, kram perut, pasien diinformasikan untuk
konstipasi, dan diare meminum obat setelah atau
(Katzung et al., 2012). bersamaan dengan makanan
(Katzung et al., 2012).
11. Amoksisilin Hipersensitivitas, diare. Efek samping yang berbahaya
Efek lain yang dari penggunaan amoksisilin
ditimbulkan adalah mual, adalah reaksi Hipersensitivitas
ruam, colitis (Lacy et al., yang ditandai dengan adanya
2009). ruam, shock dan sesak nafas,
dimana hal tersebut dapat
diatasi dengan menghentikan
penggunaan obat. Penanganan
reaksi Hipersensitivitas akibat
efek samping yang muncul dari
penggunaan obat tersebut pada
pasien juga perlu dilakukan.
Compounding dan Dispensing
 Compounding bertujuan untuk:
a. Mendapatkan dosis yang tepat dan aman
b. Menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan
secara oral atau emperal
c. Menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan bermutu.
d. Menurunkan total biaya obat
 Jenis Compounding dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya:
a. Compounding sediaan farmasi khusus
1) Compounding sediaan farmasi parenteral nutrisi
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh
tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga
stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang
menyertai.
Kegiatan:
a) Mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk
kebutuhan perorangan.
b) Mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi
Faktor yang perlu diperhatikan:
a) Tim yang terdiri dari dokter, apoteker, perawat, ahli gizi.
b) Sarana dan prasarana
c) Ruangan khusus
d) Lemari pencampuran Biological Cabinet Safety
e) Kantong khusus untuk nutrisi parenteral
2) Compounding sediaan farmasi pencampuran obat steril
Melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin
kompatibilitas, dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang
ditetapkan.
Kegiatan:
a) Mencampur sediaan intravena kedalam cairan infus
b) Melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang
sesuai
c) Mengemas menjadi sediaan siap pakai
Faktor yang perlu diperhatikan:
a) Ruangan khusus
b) Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
c) HEPA Filter
(Depkes RI, 2009)
Dispensing sediaan farmasi dapat dilakukan dengan sistem UDD, ODD atau
kombinasi keduanya. Pada tahap dispensing apoteker dapat memberikan KIE
kepada perawat maupun pasien/keluarga pasien. Informasi yang diberikan kepada
perawat dapat berupa indikasi, mekanisme, efek samping, cara penggunaan,
interaksi obat, cara penyimpanan obat dan ciri-ciri sediaan rusak. Sedangkan
informasi yang diberikan kepada pasien/keluarga pasien dapat berupa indikasi, efek
samping, cara penggunaan dan cara penyimpanan.
 Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya
kesalahan pemberian obat. Dispensing sediaan steril bertujuan menjamin agar
pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan; menjamin sterilitas
dan stabilitas produk; melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan
steril meliputi:
 Pencampuran Obat Suntik
Pencampuran obat steril dilakukan sesuai kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas
dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan. Kegiatan yang
dilakukan pada pencampuran obat suntik yaitu mencampur sediaan intravena ke dalam
cairan infus; melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai;
dan mengemas menjadi sediaan siap pakai. Faktor yang perlu diperhatikan yaitu ruangan
khusus; lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan HEPA Filter (Depkes RI,
2009).
Compounding and Dispensing sedian dalam kasus diatas dilakukan dengan
teknik aseptis. Obat yang terdapat pada resep dicek ketersediaannya di IFRS
kemudian dicek sediaannya selanjutnya dicatat pada kartu stok untuk kemudian
diberi etiket dan disekahkan pada perawat. Pada saat penyiapan obat apoteker wajib
memakai APD sesuai dengan persyaratan, khusus untuk sediaan injeksi kering
seperti Ceftriaxone dan Coamoxiclav perlu diracik dengan pelarut yang seusi dan
dikerjakan dalam LAF untuk mejaga kesterilan dari sediaan.
Penandaan dilakukan pada setiap sediaan yang akan diserahkan pada perawat
maupun pada pasien langsung. Penandaan untuk sediaan high alert seperti MgSO4
diberikan perhatian khusus saat penyerahan pada perawat dan diberikan etiket
khusus high alert, selain itu untuk sediaan yang direkontusi diberikan perhatian
khusus pada BUD (Beyond Use Date) karena untuk setiap sediaan memiliki waktu
BUD yang berbeda.

A. PEMAPARAN MASALAH pbl 11


Sebagai seorang Apoteker, Anda telah melakukan tahapan patient assessment
terhadap kasus. Sebelum melakukan tahapan compounding dan dispensing sediaan
obat, Anda melakukan identifikasi masalah terkait obat dan melakukan
penyelesaian masalah terkait obat pada resep tersebut, dimana hal tersebut
merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang Anda lakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (quality of patient’s life).

I. KASUS pbl 12
Sebagai seorang Apoteker, Anda telah menyusun identifikasi masalah terkait
obat dan melakukan penyelesaian masalah terkait obat yang ada pada rekam
pengobatan pasien. Pada saat ini, Anda akan melakukan tahap penyiapan dan
peracikan sediaan farmasi.
American College of Obstetricians and Gynecologists. 2013. Hypertension in
Pregnancy. Washington, DC: American College of Obstetricians and
Gynecologists.
Anonim, 2016. Alinamin-F Injections (diakses pada
http://www.ndrugs.com/?s=alinamin-f%20injections, tanggal 21
November 2018).
BNF. 2014. British National Formularium 67. London: BMJ Group.
BPOM RI. 2018. Pusat Informasi Obat Nasional (e-pionas). Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI.
Brun-Buisson, C. 2000. The Epidemiology of Systemic Inflammatory Response.
Intensive Care Med. 26(Suppl 1):S64-74.
Chandiramani, M., Andrew S., and Jason W. 2007. Modern Management of
Postpartum Hypertension. Medical Problems in Pregnancy.
Chandra, S., Tripathi, A.K., Mishra, S., Amzarul, M., and Vaish, A.K. 2012.
Physiological Changes in Hematological Parameters During Pregnancy.
Indian J Hematol Blood Tranfus. Vol. 28(3): 144-146.
Dennis, A.T. 2012. Management of Pre-Eclampsia: Issues for Anaesthetists.
Anaesthesia. 67:1009-1020.

Depkes RI. 2009. Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI. 2009. Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan Sediaan
Sitostatika. Jakarta: Depkes RI Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu
Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Desiyana, Lidya S., Ajoedi Soemardi, Maksum Radji. 2008. Evaluasi Penggunaan
Antibiotika Profilaksis di Ruang Bedah Rumah Sakit Kanker
“Dhamais” Jakarta dan Hubungannya dengan Kejadian Infeksi Daerah
Operasi. Indonesian Journal of Cancer 4:126-131.

Gildasio, S., Oliveira, D., Deepti, A., and Benzon, H.T. 2012. Perioperative Single
Dose Ketorolac to Prevent Postoperative Pain: A Meta-Analysis of
Randomized Trials. Analgesia: Research Reports. Vol. 114(2): 424-
433.

Goddard, A.F., James, M.W., McIntyre, A.S., dan Scott, B.B. 2011. Guidelines for
The Management of Iron Deficiency Anaemia. London: British Society
of Gastroenerology. P. 1-5

James, P.R and Catherine N.P. 2004. Management of Hypertension Before, During
and After Pregnancy. Heart. Vol 90(12).
Kanji S., and Devlin J.W. 2008. Antimicrobial Prophylaxis in Surgery In Dipiro
J.T. (eds), Talbert, R. (eds), Yee, G. (eds), Matzke, G. (eds), Wells, B.
(eds), Posey, M. (eds) Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach
Seventh Edition. US : McGraw-Hill Companies.
Katzung, B. G., S. B. Masters, dan A. J. Trevor. 2012. Basic and Clinical
Pharmacology 12th Edition. New York: Mc-Graw Hill.
Kemenkes RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Direktorat Bina
Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika. Jakarta : Kemenkes
RI.
Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L., 2009, Drug Information
Handbook, 17th edition, Lexi-Comp for the American Pharmacists
Association.

Leeman, L. and Fontaine, P. 2008. Hypertensive Disorders of Pregnancy. Am Fam


Physician. Vol.78(1):93-100.
Manuaba IBG, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana, EGC, Jakarta.
Moll, R., S. Derry, R. A. Moore, and H. J. McQuay. 2014. Single Dose Oral
Mefenamic Acid for Acute Postoperative Pain in Adults. Europe PMC
Funders Group: John Wiley & Sons
Muarif, Y. S. 2002. Perbandingan Keberhasilan Misoprostol dan Tetes Oksitosin
untuk Induksi Persalinan pada Kehamilan Lewat Bulan. Tesis. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro: Semarang.
Oehadian, A. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Kalbemed.
POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tata
Laksana Pre-Eklamsia. Semarang: Himpunan Kedokteran Feto
Maternal POGI.
Santiago, P. 2012, Ferrous versus Ferric Oral Iron Formulations for the Treatment
of Iron Deficiency: A Clinical Overview. The Scientific World Journal.
2012:1-5.
Sinclair, C. 2009. Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC .
Sumantri, S. 2009. Pendekatan Diagnostik Hipokalemis. Jakarta: Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Susiloningtyas, I. 2017. Pemberian Zat Besi (Fe) Dalam Kehamilan. Semarang :
Fakultas Ilmu Keperawatan Islam Sultan Agung.
Sweetman, S. C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference. United
Kingdom. Pharmaceutical Press.
Thomas, C. and A. B. Lumb. 2012, Physiology of Haemoglobin, Contin Educ
Anaesth Crit Care Pain, 12(5):251-256.

Tita AT, Rouse DJ, Blackwell S, Saade GR, Spong CY, Andrews WW. Emerging
concepts in antibiotic prophylaxis for cesarean delivery: a systematic
review. Obstet Gynecol 2009;113:675–82.
Trisnawati, N.L. 2017. Gambaran Pelaksanaan Pencegahan Infeksi Nosokomial
Pada Perawat Di Ruang HCU Puspanjali Dan Rawat Inap Janger RSUD
Kabupaten Badung. Skripsi. Denpasar: Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Tumirah, Miatuningsih, dan Suparji. 2009. Perbandingan Lama Penyembuhan
Luka Post Operasi Seksio Sesarea dengan Terapi Antibiotika
Profilaksis dan Terapeutik. Jurnal Penelitian Poltekes Depkes
Surabaya 7(2) : 99-106.
USP. 2014. United State Pharmacopesia 38. USA: FDA.
Weeks, A. 2015. The Prevention and Treatment of Postpartum Haemorrhage: What
do We Know, and Where Do We Go to Next?. International Journal
of Obstetrics and Gynaecology. 122(2):202–10.

Anda mungkin juga menyukai