PBL 12 Pembahasan
PBL 12 Pembahasan
Hipertensi pada kehamilan terjadi sekitar 10% dari keseluruhan ibu hamil di
seluruh dunia. Pre-eklampsia adalah penyebab utama kematian ibu dan bayi
perinatal serta morbiditas di seluruh dunia. Pre-eklampsia dapat berkembang
menjadi Eklampsia (preeklamsia dengan kejang) yang merupakan keadaan darurat
(WHO, 2011). Hipertensi selama kehamilan meliputi hipertensi gestasional
(hipertensi yang diinduksi kehamilan tanpa proteinuria), preeklampsia (hipertensi
dengan proteinuria), dan hipertensi kronis (didiagnosis sebelum kehamilan dengan
atau tanpa riwayat pre-eklamsia) (Dipiro et al., 2005). Pre-eklampsia adalah
gangguan yang paling menonjol diantara gangguan hipertensi lain karena besarnya
dampak terhadap kesehatan ibu dan bayi. (WHO, 2011).
Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya insiden preeklamsia pada
ibu hamil. Faktor risiko yang dapat meningkatkan insiden preeklampsia antara lain
molahidatidosa, nulipara, usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, janin
lebih dari satu, multipara, hipertensi kronis, diabetes melitus atau penyakit ginjal.
Preeklampsia/eklampsia dipengaruhi juga oleh paritas, genetik dan faktor
lingkungan (Cunningham et al., 1995).
Etiologi
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab
terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah
faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut
meliputi;
1. Riwayat preeklampsia.
2. Primigravida
3. Kegemukan
4. Kehamilan ganda
5. Riwayat penyakit tertentu
Patofisiologi
Pre-eklampsia memiliki patofisiologi yang kompleks, utamanya
menyebabkan terjadinya abnormalitas plasenta. Invasi yang salah dari arteri spiral
oleh sel sitotropoblast terjadi selama preeklampsia. Penelitian terbaru menunjukkan
invasi sitototropoblast pada uterus melalui jalur diferensiasi di mana sel janin
mengadopsi bagian dari endothelium. Pada preeklamsia proses diferensiasi ini
berlanjut. Kelainan terjadi terkait dengan oksida jalur nitrat, yang memberikan
kontribusi substansial pada kontrol vaskular Apalagi penghambatan sintesis nitrat
oksida mencegah implantasi embrio.
Meningkatnya resistensi arteri rahim menginduksi sensitifitas yang lebih
tinggi terhadap vasokonstriksi sehingga terjadi iskemia plasenta kronis dan stress
oksidatif. Iskemia plasenta kronis ini menyebabkan janin komplikasi, termasuk
retardasi pertumbuhan intrauterine dan kematian intrauterin. Secara paralel, stress
oksidatif menginduksi pelepasan zat ke sistem sistemik ibu seperti radikal bebas,
lipid teroksidasi, sitokinin, dan serum terlarut faktor pertumbuhan endotel vaskular.
Kelainan ini bertanggung jawab atas disfungsi endotel dengan vascular
hiperpermeabilitas, trombofilia, dan hipertensi untuk mengimbangi penurunan
aliran di arteri rahim karena vasokonstriksi perifer. Disfungsi endotel bertanggung
jawab terhadap tanda-tanda klinis yang diamati pada ibu, yaitu gangguan
endothelium hati yang menyebabkan sindrom onset HELLP (Hemolysis, Elevated
Liver enzymes and Low Platelet count), kerusakan endotelium serebral yang
menyebabkan refrakter gangguan neurologis, atau bahkan eklampsia. Penipisan
faktor pertumbuhan endotel vaskular pada pembuatan podosit endotheliosis mampu
menghalangi celah diafragma pada membran dasar, sehingga memperparah
penurunan filtrasi glomerulus dan menyebabkan proteinuria. Akhirnya, disfungsi
endotel meningkatkan anemia hemolitik mikroangiopati dan hiperpermeabilitas
pembuluh darah terkait dengan penyebab edema albumin serum rendah, terutama
pada tungkai bawah atau paru-paru (Uzan et al., 2011).
Tanda dan Gejala
Pre-eklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis terhadap Pre-eklampsia
ditegakkan dengan adanya proteinurin, namun jika protein urin tidak didapatkan,
salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia yaitu :
1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).
(POGI, 2016).
Klasifikasi
Berdasarkan berbagai gejala, Pre-eklampsia dibagi menjadi Pre-eklampsia
ringan dan Pre-eklampsia berat. Pre-eklampsia berat dibagi menjadi Pre-eklampsia
berat tanpa impending eclampsia dan Pre-eklampsia berat dengan impending
eclampsia. Impending eclampsia merupakan Pre-eklampsia yang disertai keluhan
nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri abdomen
kuadran kanan atas.
Perawatan Eskpektatif
Tersedia fasilitas perawatan maternal dan neonatal
intensif
Janin viabel (usia kehamilan 34 minggu)
Dilakukan rawat inap dan pemberian magnesium sulfat
dihentikan
Evaluasi ibu dan janin setiap hari (tanda-tanda vital,
gejala, dan blood test)
Obat antihipertensi oral
3. Magnesium Dapat dipantau dengan ada Hipermagnesia, (tanda: Dosis awal Dosis awal MgSO4 50% 10 Infus 1 Tepat dosis
sulfat tidaknya gejala klinis depresi pernapasan dan MgSO4 MgSO4 4 g g i.m diteruskan g/jam atau
secara i.v. tiap 6 jam (40 dengan i.m
berupa kejang (Manuaba, hilangnya tendon 20% 4 g selama 10-15 g/hari) sebanyak 5
1998). refleks dalam, mual, menit, diikuti g di masing-
infus 1 g/jam masing
(Berdasarkan kasus nilai muntah, rasa haus,
MgSO4 atau dengan pantat.
RR pasien adalah 18 hipotensi,
mengantuk, 50% 10 g i.m sebanyak 5 Dilanjutkan
kali/menit dan jumlah urine kebingungan, bicara i.m g di masing- setiap 4 jam
diteruskan masing pantat. (60 g/hari)
output pasien adalah cadel, penglihatan tiap 6 jam Dilanjutkan
800cc/24 jam, maka pasien ganda, kelemahan otot, setiap 4 jam
(Sweetman,
dapat menerima terapi bradikardia, koma, dan
2009).
magnesium sulfat) serangan jantung)
(Sweetman, 2009).
4. Nifedipine Nifedipine merupakan Pening (10% - 27%), 10 mg 10-30 mg tiga 30 mg/hari 120- Tepat Dosis
obat lini pertama sebagai pusing (10% - 23%) , sekali kali sehari 180/hari
(Lacy et al., (Lacy et al.,
antihipertensi pada wanita mual/heartburn (10% - 2009) 2009)
30 mg
hamil. Pemilihan 11%), merasa letih sehari
nifedipine dikarenakan (10% - 12%) (Lacy et
pasien mengalami al., 2009)
hipertensi dengan tekanan
darah 160/110 mmHg,
dimana nifedipine
memiliki onset kerja yang
cepat (NCCWC, 2010).
Setelah pemberian
nifedipine perlu dilakukan
pemantauan terhadap
tekanan darah pada pasien,
dimana tekanan darah
pasien dipantai setelah 15
menit dan 20 menit
berikutnya.
5. Ketorolac Dapat dilakukan dengan Sakit kepala (17%) Dosis Dosis injeksi Injeksi Alinamin Dosis Tepat dosis
penilaian nyeri. Penilaian dispepsia (12%), mual injeksi Alinamin F F diberikan 3 x injeksi
(12%) (Lacy et al., diberikan 1-2 1 ampul sehari Alinamin F
dilakukan setelah operasi. 2009) ketorolac ampul 1-2 kali diberikan
Penilaian nyeri perlu adalah 3x sehari secara maksimal 4
IV perlahan x 1 ampul
dilakukan secara regular 30 mg
(Anonim, sehari
setiap 4 – 8 jam untuk sehari 2016). secara IV
perlahan
melihat keberhasilan terapi (Anonim,
yang telah diberikan dan 2016).
6. Alinamin F Dapat dilihat dari adanya Efek samping pada ibu Dosis Dosis injeksi 90 mg/hari Dosis Tepat Dosis
gas/angin atau pasien berupa Hipersensitivitas Injeksi ketorolac 30 maksimum
perhari 120
kentut setelah operasi. terhadap penggunaan Alinamin F mg single dose mg (Lacy,
alinamin F seperti adalah atau 30 mg et al., 2009)
ruam, shock serta sesak sekali 1 setiap 6 jam
nafas ampul (Lacy, et al.,
, sehari 3 2009)
ampul
7. Vitamin C Dapat dipantau pada luka Efek samping yang 200 mg - 600 mg sehari Maksimum Tepat Dosis
operasi apakah sudah umum terjadi dari sekali, 600 2000 mg
mg sehari sehari
membaik atau belum. penggunaan vitamin C
adalah mual, muntah,
diare, sakit kepala
(Sweetman, 2009).
8. Asam Dapat dilakukan dengan Stress Ulcer mual, Tepat Dosis
Sekali : 500 500 mg; lalu
mefenamat penilaian nyeri. Penilaian muntah, sakit kepala, 1500 mg -
mg 250 mg setiap
dilakukan sebelum dan
sesudah terapi, kemudian pusing (Sweetman, Sehari : 4 jam sesuai
dilihat apakah nyeri dapat 2009). 1500 mg kebutuhan
berkurang setelah terapi.
(Lacy et al.,
2009)
9. Ceftriaxone Dapat dilihat apakah Adapun efek samping Dosis 2 g (dosis 2 gram - Tepat Dosis
terjadi tanda tanda SIRS, yang mungkin ceftriaxone dewasa)
2 gram
dan melihat adanya tanda- dirasakan pada sehari (ASHP
tanda infeksi seperti penggunaan ceftriaxone Therapeutic
adanya nanah, pemantauan adalah diare, colitis, Guidelines,
luka operasi dengan mual dan muntah, sakit 2013).
melakukan pemantauan kepala, reaksi alergi dan
pada nyeri yang masih gangguan fungsi hati
dirasakan oleh pasien dan ginjal (Lacy et al.,
disekitar luka operasi. 2009).
10. Rob (Ferous Dilihat dari nilai Hb (13,5- Efek samping yang 300 mg 300 mg 2-4 300 mg - Tidak Tepat
sehari kali sehari Dosis
sulfat) 17,5 g/dL) umum terjadi dari
(Lacy, et al.,
penggunaan sediaan (Ditingkatkan
2009)
menjadi 2
besi oral adalah mual, kali sehari
nyeri ulu ati, feses 300 mg)
hitam, kram perut,
konstipasi, dan diare
(Katzung et al., 2012).
a. Terapi Setelah Pasien Keluar Rumah Sakit
Untuk mengatasi rendahnya kadar Hb pasien, maka apoteker
merekomendasikan terapi Rob Ferrous Sulfat oral 2 kali sehari selama 1 bulan dan
pasien juga diberikaan asam mefenamat untuk mengatasi nyeri bekas luka s.c yang
digunakan jika perlu saat sakit maksimal 3 kali sehari setiap 8 jam (BNF, 2014).
b. Terapi Non Farmakologi
Pada kondisi setelah operasi, pasien mengalami edema pada kaki. Edema
disebabkan oleh retensi air dan kenaikan tekanan vena pada kaki maka dapat
disarankan dengan memposisikan kaki/tungkai kaki pasien lebih tinggi dari tubuh ,
ubah posisi sesering mungkin, istirahat berbaring dengan posisi miring kiri untuk
memaksimalkan drainase pembuluh darah kedua tungkai (Sinclair, 2009).
Penggunaan Obat yang Rasional
Berdasaran Kemenkes RI (2011) suatu pengobatan dikatakan telah rasional
apabila memenuhi kriteria tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan
obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama
pemberian, waspada terhadap efek samping serta sesuai dengan keadaan pasien.
Untuk menilai apakah terapi yang diterima pasien Ny. FS telah memenuhi kriteria
POR maka apoteker perlu melakukan pengkajian setiap kriteria POR dari obat-
obatan yang diterima pasien seperti sebagai berikut:
Tepat Indikasi
Tabel 2. Pengkajian Ketepatan Indikasi Terapi yang Diperoleh Pasien
Tang Obat yang
Kondisi Kinik Indikasi Penilaian
gal Diberikan
23/06 Edema kaki Pre operasi: 1) Ranitidin Setiap
(tidak PO pencernaan
106) Untuk
membantu
cc RD5 i
s/d 12 persalina
jam post n: 10-30
partum. unit
Dalam 1 dalam
ampul
terdapat 500 mL
10 unit infus
oksitosin - Mencega
h
perdarah
an
postpart
um:5-20
unit
dalam
500 mL
infus
(Sweetm
an,
2009)
600 mg mg sehari
sehari
8. Asam 500 mg; Tepat
mefenamat lalu 250 Dosis
Sekali : mg setiap
500 mg 4 jam
1500 mg -
Sehari : sesuai
1500 mg kebutuhan
(Lacy et
al., 2009)
9. Ceftriaxone Injeksi: 1 1-2 gram 2 gram - Tepat
gram setiap 12- Dosis
sekali 24 jam
2 gram (dosis
sehari dewasa)
(Lacy et
al., 2009)
1 Rob (Sulfat 300 mg Oral: 300 300 mg - Tidak
0. Ferosus) sehari mg 2-4 Tepat
kali sehari Dosis
(Lacy, et (Dose too
al., 2009) low)
1 Amoksisilin 500 mg - 1,5 2 gram Tepat
1. sekali gram sehari Dosis
1500 mg sehari (Sweetma
sehari n, 2009)
Tepat Pasien
Pada kasus ini, bentuk sediaan yang diberikan kepada pasien adalah sediaan
injeksi dan infus secara intravena serta tablet secara peroral. Pemilihan bentuk
sediaan injeksi dan infus secara intravena telah tepat untuk kondisi pasien yang
membutuhkan penanganan serta respon terapi yang cepat. Selain itu, pasien
merupakan pasien dewasa yang mampu mengonsumsi sediaan obat padat seperti
tablet sehingga pemilihan bentuk sediaan tersebut juga telah tepat. Obat-obatan
yang diresepkan tidak kontraindikasi dengan kondisi pasien yang menerima resep
sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi yang diberikan telah tepat pasien.
Waspada Efek Samping
Efek samping yang dapat muncul pada penggunaan obat beserta cara
pengatasannya dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Efek Samping Obat dan Cara Pengatasan.
No Obat Efek Samping Cara Pengatasan
1. Infus RD5 Nyeri, memar, infeksi Efek samping penggunaan
bakteri, trombosis, emboli, infus RD5 yang perlu
dan kerusakan saraf (USP, diwaspadai adalah trombosis
2014). dan emboli, dimana
pengatasan hal tesebut dapat
dilakukan dengan memastikan
pemberian cairan yang tepat
dan memadai sehingga
komplikasi yang lebih serius
dapat dicegah
2. Oksitosin Mual, muntah, sakit Efek samping oksitosin yang
kepala, kontraksi rahim harus diwaspadai adalah mual
yang berlebihan. dan muntah, dimana hal
tersebut dapat diatasi dengan
pemberian anti emetik pada
terapi pasien.
3. Magnesium Hipermagnesia, (tanda: Hipermagnesia merupakan
sulfat depresi pernapasan dan efek samping yang harus
hilangnya diwaspadai, dimana
tendon refleks dalam, pengatasan hal tersebut dapat
mual, muntah, rasa haus, dilakukan dengan
hipotensi, mengantuk, memperbaiki ventilasi,
kebingungan, bicara cadel, pemberian 10 mL kalsium
penglihatan ganda, glukonas 10% secara intravena
kelemahan otot, dengan perlahan ataupun
bradikardia, koma, dan dengan memaksa terjadinya
serangan jantung) diuresis dengan menggunakan
(Sweetman, 2009). infus manitol (Sweetman,
2009).
4. Nifedipine Pening, pusing, Dosis nifedipine dapat
mual/heartburn, merasa diturunkan dan pasien
letih (Lacy et al., 2009) diinformasikan untuk
mengonsumsi obat setelah
makan. Apabila efek samping
pasien tidak teratasi maka
pasien direkomendasikan
untuk mengganti obat dengan
regimen lainnya.
5. Ketorolac Sakit kepala, dispepsia, Efek samping ketorolac yang
mual (Lacy et al., 2009) lebih sering muncul adalah
.
iritasi lambung dan ulkus
peptikum, dimana pengatasan
hal tersebut dapat dilakukan
dengan pemberian obat PPI.
Pemberian obat ketorolac juga
diberi batasan maksimal 5
yaitu 48 jam – 72 jam untuk
meminimalisir terjadinya efek
samping tersebut.
6. Alinamin F Efek samping pada ibu Apabila efek samping berupa
berupa Hipersensitivitas Hipersensitivitas yang ditandai
terhadap penggunaan dengan adanya ruam, shock
alinamin F seperti ruam, dan sesak nafas terjadi pada
shock serta sesak nafas pasien maka penggunaan obat
tersebut harus segera
dihentikan. Penanganan reaksi
Hipersensitivitas akibat efek
samping yang muncul dari
penggunaan obat tersebut pada
pasien juga perlu dilakukan.
7. Vitamin C Efek samping yang umum Efek samping vitamin C
terjadi dari penggunaan berkaitan erat dengan tingkat
vitamin C adalah mual, dosis dan dapat dicegah
muntah, diare, sakit kepala dengan menurunkan dosis.
(Sweetman, 2009).
8. Asam Stress Ulcer mual, Pasien diinformasikan untuk
mefenamat muntah, sakit kepala, mengonsumsi obat setelah
pusing (Sweetman, 2009). makan. Apabila efek samping
pasien tidak teratasi maka
pasien direkomendasikan
untuk mengganti obat dengan
regimen lainnya.
9. Ceftriaxone Adapun efek samping Efek samping ini berkaitan erat
yang mungkin dirasakan dengan tingkat dosis dan dapat
pada penggunaan dicegah dengan menurunkan
ceftriaxone adalah diare, dosis.
colitis, mual dan muntah,
sakit kepala, reaksi alergi
dan gangguan fungsi hati
dan ginjal (Lacy et al.,
2009).
10. Rob (Ferous Efek samping yang umum Efek samping ini sering
sulfat) terjadi dari penggunaan berkaitan dengan tingkat dosis
sediaan besi oral adalah dan dapat dicegah dengan
mual, nyeri ulu ati, feses menurunkan dosis. Selain itu
hitam, kram perut, pasien diinformasikan untuk
konstipasi, dan diare meminum obat setelah atau
(Katzung et al., 2012). bersamaan dengan makanan
(Katzung et al., 2012).
11. Amoksisilin Hipersensitivitas, diare. Efek samping yang berbahaya
Efek lain yang dari penggunaan amoksisilin
ditimbulkan adalah mual, adalah reaksi Hipersensitivitas
ruam, colitis (Lacy et al., yang ditandai dengan adanya
2009). ruam, shock dan sesak nafas,
dimana hal tersebut dapat
diatasi dengan menghentikan
penggunaan obat. Penanganan
reaksi Hipersensitivitas akibat
efek samping yang muncul dari
penggunaan obat tersebut pada
pasien juga perlu dilakukan.
Compounding dan Dispensing
Compounding bertujuan untuk:
a. Mendapatkan dosis yang tepat dan aman
b. Menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan
secara oral atau emperal
c. Menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan bermutu.
d. Menurunkan total biaya obat
Jenis Compounding dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya:
a. Compounding sediaan farmasi khusus
1) Compounding sediaan farmasi parenteral nutrisi
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh
tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga
stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang
menyertai.
Kegiatan:
a) Mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk
kebutuhan perorangan.
b) Mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi
Faktor yang perlu diperhatikan:
a) Tim yang terdiri dari dokter, apoteker, perawat, ahli gizi.
b) Sarana dan prasarana
c) Ruangan khusus
d) Lemari pencampuran Biological Cabinet Safety
e) Kantong khusus untuk nutrisi parenteral
2) Compounding sediaan farmasi pencampuran obat steril
Melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin
kompatibilitas, dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang
ditetapkan.
Kegiatan:
a) Mencampur sediaan intravena kedalam cairan infus
b) Melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang
sesuai
c) Mengemas menjadi sediaan siap pakai
Faktor yang perlu diperhatikan:
a) Ruangan khusus
b) Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
c) HEPA Filter
(Depkes RI, 2009)
Dispensing sediaan farmasi dapat dilakukan dengan sistem UDD, ODD atau
kombinasi keduanya. Pada tahap dispensing apoteker dapat memberikan KIE
kepada perawat maupun pasien/keluarga pasien. Informasi yang diberikan kepada
perawat dapat berupa indikasi, mekanisme, efek samping, cara penggunaan,
interaksi obat, cara penyimpanan obat dan ciri-ciri sediaan rusak. Sedangkan
informasi yang diberikan kepada pasien/keluarga pasien dapat berupa indikasi, efek
samping, cara penggunaan dan cara penyimpanan.
Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya
kesalahan pemberian obat. Dispensing sediaan steril bertujuan menjamin agar
pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan; menjamin sterilitas
dan stabilitas produk; melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan
steril meliputi:
Pencampuran Obat Suntik
Pencampuran obat steril dilakukan sesuai kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas
dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan. Kegiatan yang
dilakukan pada pencampuran obat suntik yaitu mencampur sediaan intravena ke dalam
cairan infus; melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai;
dan mengemas menjadi sediaan siap pakai. Faktor yang perlu diperhatikan yaitu ruangan
khusus; lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan HEPA Filter (Depkes RI,
2009).
Compounding and Dispensing sedian dalam kasus diatas dilakukan dengan
teknik aseptis. Obat yang terdapat pada resep dicek ketersediaannya di IFRS
kemudian dicek sediaannya selanjutnya dicatat pada kartu stok untuk kemudian
diberi etiket dan disekahkan pada perawat. Pada saat penyiapan obat apoteker wajib
memakai APD sesuai dengan persyaratan, khusus untuk sediaan injeksi kering
seperti Ceftriaxone dan Coamoxiclav perlu diracik dengan pelarut yang seusi dan
dikerjakan dalam LAF untuk mejaga kesterilan dari sediaan.
Penandaan dilakukan pada setiap sediaan yang akan diserahkan pada perawat
maupun pada pasien langsung. Penandaan untuk sediaan high alert seperti MgSO4
diberikan perhatian khusus saat penyerahan pada perawat dan diberikan etiket
khusus high alert, selain itu untuk sediaan yang direkontusi diberikan perhatian
khusus pada BUD (Beyond Use Date) karena untuk setiap sediaan memiliki waktu
BUD yang berbeda.
I. KASUS pbl 12
Sebagai seorang Apoteker, Anda telah menyusun identifikasi masalah terkait
obat dan melakukan penyelesaian masalah terkait obat yang ada pada rekam
pengobatan pasien. Pada saat ini, Anda akan melakukan tahap penyiapan dan
peracikan sediaan farmasi.
American College of Obstetricians and Gynecologists. 2013. Hypertension in
Pregnancy. Washington, DC: American College of Obstetricians and
Gynecologists.
Anonim, 2016. Alinamin-F Injections (diakses pada
http://www.ndrugs.com/?s=alinamin-f%20injections, tanggal 21
November 2018).
BNF. 2014. British National Formularium 67. London: BMJ Group.
BPOM RI. 2018. Pusat Informasi Obat Nasional (e-pionas). Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI.
Brun-Buisson, C. 2000. The Epidemiology of Systemic Inflammatory Response.
Intensive Care Med. 26(Suppl 1):S64-74.
Chandiramani, M., Andrew S., and Jason W. 2007. Modern Management of
Postpartum Hypertension. Medical Problems in Pregnancy.
Chandra, S., Tripathi, A.K., Mishra, S., Amzarul, M., and Vaish, A.K. 2012.
Physiological Changes in Hematological Parameters During Pregnancy.
Indian J Hematol Blood Tranfus. Vol. 28(3): 144-146.
Dennis, A.T. 2012. Management of Pre-Eclampsia: Issues for Anaesthetists.
Anaesthesia. 67:1009-1020.
Depkes RI. 2009. Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI. 2009. Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan Sediaan
Sitostatika. Jakarta: Depkes RI Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu
Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.
Desiyana, Lidya S., Ajoedi Soemardi, Maksum Radji. 2008. Evaluasi Penggunaan
Antibiotika Profilaksis di Ruang Bedah Rumah Sakit Kanker
“Dhamais” Jakarta dan Hubungannya dengan Kejadian Infeksi Daerah
Operasi. Indonesian Journal of Cancer 4:126-131.
Gildasio, S., Oliveira, D., Deepti, A., and Benzon, H.T. 2012. Perioperative Single
Dose Ketorolac to Prevent Postoperative Pain: A Meta-Analysis of
Randomized Trials. Analgesia: Research Reports. Vol. 114(2): 424-
433.
Goddard, A.F., James, M.W., McIntyre, A.S., dan Scott, B.B. 2011. Guidelines for
The Management of Iron Deficiency Anaemia. London: British Society
of Gastroenerology. P. 1-5
James, P.R and Catherine N.P. 2004. Management of Hypertension Before, During
and After Pregnancy. Heart. Vol 90(12).
Kanji S., and Devlin J.W. 2008. Antimicrobial Prophylaxis in Surgery In Dipiro
J.T. (eds), Talbert, R. (eds), Yee, G. (eds), Matzke, G. (eds), Wells, B.
(eds), Posey, M. (eds) Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach
Seventh Edition. US : McGraw-Hill Companies.
Katzung, B. G., S. B. Masters, dan A. J. Trevor. 2012. Basic and Clinical
Pharmacology 12th Edition. New York: Mc-Graw Hill.
Kemenkes RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Direktorat Bina
Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika. Jakarta : Kemenkes
RI.
Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L., 2009, Drug Information
Handbook, 17th edition, Lexi-Comp for the American Pharmacists
Association.
Tita AT, Rouse DJ, Blackwell S, Saade GR, Spong CY, Andrews WW. Emerging
concepts in antibiotic prophylaxis for cesarean delivery: a systematic
review. Obstet Gynecol 2009;113:675–82.
Trisnawati, N.L. 2017. Gambaran Pelaksanaan Pencegahan Infeksi Nosokomial
Pada Perawat Di Ruang HCU Puspanjali Dan Rawat Inap Janger RSUD
Kabupaten Badung. Skripsi. Denpasar: Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Tumirah, Miatuningsih, dan Suparji. 2009. Perbandingan Lama Penyembuhan
Luka Post Operasi Seksio Sesarea dengan Terapi Antibiotika
Profilaksis dan Terapeutik. Jurnal Penelitian Poltekes Depkes
Surabaya 7(2) : 99-106.
USP. 2014. United State Pharmacopesia 38. USA: FDA.
Weeks, A. 2015. The Prevention and Treatment of Postpartum Haemorrhage: What
do We Know, and Where Do We Go to Next?. International Journal
of Obstetrics and Gynaecology. 122(2):202–10.