Anda di halaman 1dari 8

TAT TWAM ASI

Pengertian Tat Twam Asi

Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah
engkau, engkau adalah aku”. Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana
kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat
kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita
mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati
perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita,
demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku.
Di dalam bahasa Sansekerta, kata ”tat” berasal dari suku kata ”tad” yang berarti
”itu” atau ”dia”. Kata ”tvam’ berasal dari suku kata ”yusmad” yang berarti”kamu”
dan ”asi” berasal dari urat kata ” as(a) ” yang berarti ”adalah”. Jadi secara sederhana
kata ”Tat Twam Asi” bisa diartikan ” kamu adalah dia” atau ”dia adalah kamu”. Di
dalam Katha Upanisad dinyatakan.

“nityo nityanam cetanas cetananam


eko bahunam yo vidadhati kaman
tam pitha-gam ye 'nupasyanti dhiras
tesam santih sasvati netaresam”

Artinya:
“Diantara kepribadian yang kekal dan yang berkesadaran, ada satu kepribadian yang
menyediakan keperluan dari kepribadian-kepribadian yang lainnya. Orang bijaksana
yang memuja kepribadian yang satu ini, yang bertempat tinggal di alamNya yang
rohani akan mampu mencapai kedamaian sejati sedangkan yang lain, yang tidak
memujaNya tidak akan mencapai kedamaian”.
Dari sloka ini dapat kita simpulkan bahwa tat tvam asi berarti ”kamu (semua
makhluk hidup) dan dia (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah sama”. Kata ”sama” di
sini hendaknya tidak disalahartikan. Ini tidak berarti bahwa kita sepenuhnya sama
dengan Tuhan, namun kita mempunyai sifat yang sama dengan Tuhan dalam jumlah
yang kecil. Di dalam Srimad Bhagavad Gita, kepribadian Ida Sang Hyang Widhi
Wasa bersabda:

“mamaivamso jiva-loke
jiva-bhutah sanatanah
manah-sasthanindriyani
prakrti-sthani karsati”
Artinya:
“Para makhluk hidup di dunia material ini merupakan percikan terkecil dari diriku
yang kekal. Disebabkan oleh keterikatan hidup, mereka berjuang keras untuk
menghadapi 6 indria termasuk pikiran”.
Kata ”mama eva amsah” yang berarti percikan terkecil-Ku, mempunyai makna yang
sangat penting. Seperti contoh, air yang diambil dari lautan dan dimasukan ke dalam
gelas mempunyai sifat yang sama dengan seluruh air laut. Namun air yang di dalam
gelas tidak akan mampu menghanyutkan desa, sedangkan ketika bencana sunami,
air yang bersifat sama yang berada di lautan mampu menghancurkan berbagai
tempat di berbagai negara. Meskipun air yang di dalam gelas sama dengan air laut,
yaitu mempunyai rasa yang sama dan juga molekul yang sama, tetapi perbedaannya
adalah jumlah dan kekuatan. Sama halnya, makhluk hidup yang merupakan percikan
terkecil dari kepribadian Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Sri Visnu, maka mereka
mempunyai sifat yang sama dengan Tuhan yaitu sat, cid dan ananda (kekal, penuh
pengetahuan dan penuh kebahagiaan). Semua sifat ini dimiliki oleh para makhluk
hidup dalam jumlah yang terbatas, sedangkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki
sifat tersebut dalam jumlah yang tidak terbatas. Perbedaan lainnya adalah sifat
murni yang dimiliki oleh makhluk hidup sangat mudah diselubungi oleh khayalan
sedangkan sifat Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak pernah terselubungi. Dengan
demikian, meskipun makhluk hidup penuh kebahagiaan, namun karena diselubungi
oleh khayalan, makhluk hidup di dunia material ini berjuang keras untuk mencapai
kebahagiaan dengan berbagai cara. Jadi ini adalah salah satu pengertian dari
kata “Tat Twam Asi”, yang secara sederhana bisa diringkas sebagai berikut ”kamu
para makhluk hidup mempunyai sifat yang sama dengan Dia (Tuhan). Karena
makhluk hidup mempunyai kesamaan dengan Tuhan, maka dengan menginsyafi
dirinya melalui proses Yoga, seseorang akan mendapat contoh dan pengertian
tentang Tuhan. Seperti halnya dengan mengerti unsur yang menyusun setetes air
laut, kita sudah bisa dianggap mengerti seluruh air di lautan tetapi di dalam jumlah
yang berbeda. Dengan mempelajari setetes air laut kita akan bisa membayangkan
unsur yang sama yang ada di dalam lautan, namun memiliki kekuatan dan jumlah
yang jauh lebih besar.
Uraian di atas merupakan pengertian pertama yang bisa diambil dari arti kata “Tat
Twam Asi”. Untuk mengerti sedikit lebih lanjut tentang pengertian kata ini, kita akan
mengacu kepada sebuah komentar dari seorang acarya (guru besar) pengajar Veda
yang telah memperjuangkan dan mempertahankan Veda. Beliau mengajarkan Veda
ke seluruh pelosok India pada jaman perkembangan paham kekosongan dari filsafat
Budha di daerah India. Beliau adalah Sripad Ramanujacarya, seorang acarya yang
hidup sekitar sembilan ratus tahun yang lalu. Berdasarkan Sripad Ramanujacarya,
kata ”TatTwam Asi” dapat diartikan sebagai berikut: ”Tasya TvamAsi”. Tasya berarti
milik dia, jadi “Tasya Tvam Asi”artinya ”Kamu adalah milik Dia”. Bagaimana cara
menganalisa pengertian ini, kita akan bahas sedikit berdasarkan tata bahasa
Sansekerta sebagai berikut: Di dalam bahasa Sansekerta, ada istilah yang disebut
dengan ”samasa” yaitu gabungan kata yang membentuk kalimat baru dan arti yang
sama. Ketika beberapa kata di dalam kalimat digabungkan, maka masing-masing
kata tersebut kembali ke suku kata dasarnya dan kata terakhir mengambil bentuk
sesuai dengan peranan di dalam kalimat, apakah sebagai subjek, predikat atau
objek. Di dalam kata “Tat Twam Asi”, kata ’tat- tvam’ bisa dianggap sebagai suatu
gabungan kata di dalam sebuah kalimat. Kalimat ini berasal dari kalimat ”tasya
tvam”, kemudian ketika digabungkan, kata ”tasya” kembali ke kata dasarnya, yaitu
”tad”. Maka akan menjadi ”tad-tvam”. Kemudian berdasarkan aturan sandi, hurup
”d” yang diikuti oleh huruf ”t” akan berubah menjadi ”t”, maka kita menemukan
kata ”tat tvam”. Untuk membentuk sebuah kalimat, maka kata-kata yang
digabungkan harus memiliki kata kerja. Dengan demikian kata kerja ”as(a)” yang
berarti ”adalah” ditambahkan di dalam kalimat tersebut. Karena tvam (kamu)
adalah orang kedua tunggal, maka kata kerja ”as(a)”, berdasarkan aturan tata
bahasa Sansekerta akan berubah menjadi ”asi”. Dengan demikian kita mendapatkan
kata“Tat Twam Asi”, yang artinya kamu adalah milik-Nya. Kalimat ”Kamu adalah
milik-Nya”, berarti semua makhluk hidup merupakan milik kepribadian Ida Sang
Hyang Widhi Wasa karena Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah sumber segala
sesuatu, dan segala seuatu berada di bawah kendali Beliau. Pernyataan ini juga
ditemukan di dalam Bhagavad Gita sebagai berikut,

“aham sarvasya prabhavo


mattah sarvam pravartate
iti matva bhajante mam
budha bhava-samanvitah”
Artinya:
“Aku adalah sumber dari segala sesuatu baik alam material maupun alam rohani.
Segala sesuatu berasal dari diriKu. Orang bijaksana yang mengetahui ini secara
sempurna menekuni pengabdian suci bhakti dan menyembahKu dengan sepenuh
hatinya”.
Dengan demikian, ini merupakan tugas dari semua makhluk hidup, khususnya umat
manusia untuk mengabdikan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Singkat kata,
arti kedua yang bisa diambil dari kata tat tvam asi adalah sebagai berikut, “kita
semua sebagai makhluk hidup merupakan milik Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
berkewajiban untuk menyembah Beliau”. Pengertian yang lain dari kalimat tat tvam
asi adalah berhubungan dengan ”Jiva”, yang nantinya akan menghubungkan kita
dengan hukum karma phala. ”Kamu adalah dia” dan ”dia adalah kamu” bisa juga
diartikan bahwa kita, para jiva, yang merupakan percikan terkecil dari Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, atau dengan kata lain sebagai ciptaan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, mempunyai sifat dan hak yang sama antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, ketika kita melakukan suatu karma atau aktivitas, itu akan selalu
berhubungan dengan makhluk lain.

Konsep Tat Twam Asi dalam mewujudkan Kreta Jagadhita

Dalam Hindu untuk mewujudkan Kreta Jagadhita atau menciptakan kesejahteraan


dalam kehidupan perlu didasari atas konsepsi “Tat Twam Asi” yang mengisyaratkan
pentingnya solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat sehingga terbentuk
kehidupan masyarakat yang sejahtera. Dalam kitab Bhagawata Purana: 10.22.35
disebutkan sebagai berikut:

“Adalah kewajiban bagi setiap orang untuk mendedikasikan (membaktikan)


hidupnya, intelejensi (kepandaiannya), kekayaannya, kata-katanya, dan
pekerjaannya bagi kesejahteraan mahluk lain”

Agama Hindu mengajarkan adanya ajaran toleransi umat beragama agar terciptanya
kesejahteraan, seperti diterangkan oleh I Ketut Wiana, Wakil Sekjen Parisada Hindu
Dharma Indonesia bahwa banyaknya agama yang diturunkan oleh Tuhan adalah
suatu kebijaksaan Tuhan. Jalan yang berbeda-beda itu memiliki satu tujuan yaitu
jalan menuju Tuhan. Disamping itu sebagai makhluk sosial umat Hindu tidak
semata-semata rukun dengan sesama manusia. Tetapi juga harus harmonis secara
Vertical dan Horizontal. Secara Vertikal (ke atas) dekat dengan Tuhan sebagai Raja
Alam Semesta (Prajapati), Horizontal (kebawah) menanamkan rasa kasih sayang
pada semua makhluk secara Horizontal mengembangkan kerukunan dengan sesama
manusia.
Dalam ajaran Kitab suci Veda, agar terciptanya kehidupan yang Kreta Jagadhita
dijelaskan secara gamblang dalam ajaran “Tat Twam Asi”. Ajaran “Tat Twam Asi”
merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, dan sebaliknya kamu
adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti
menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri
(Upadesa, 2002: 42). Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara. Hakekat
atman yang menjadikan hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber
yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan
terkecil dari Tuhan. Kita sama-sama makhluk ciptaaan Tuhan. Sesungguhnya filsafat
“Tat Twam Asi” ini mengandung makna yang sangat dalam. Tatwam asi
mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk
lainnya. Bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang
lain. Maka dari itu janganlah sekali-kali menyakiti hati orang lain. Dan sebaliknya
bantulah orang lain sedapat mungkin kamu membantunya, karena sebenarnya
semua tindakan kita juga untuk kita sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengnan
baik, maka akan terwujud suatu kerukunan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma
atma aikhyam”, yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman sama.

Implementasi konsep Tat Twam Asi dalam mewujudkan Kreta Jagadhita

Sistem kekeluargaan dan kekerabatan adalah sebuah ciri yang melekat pada
seluruh kebudayaan di Indonesia. Tidak terkecuali pada masyarakat Hindu di Bali.
Sistem tersebut menjadi hukum adat bagi terciptanya hubungan antara manusia
dengan manusia. Hubungan antar manusia dalam ajaran Hindu di Bali tertuang
dalam filosofi “Tat Twam Asi” sebagai dasar hukum. Secara harfiah Tat artinya
ia, Twam artinya kamu, dan Asi artinya adalah. Secara keseluruhan berarti “ ia
adalah kamu”. Saya adalah kamu dan segala mahkluk adalah sama. Ini berarti
menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Dan menyakiti orang lain berarti
pula menyakiti diri sendiri. Prinsip dasar Tat Twam Asi ini dalam kehidupan
adat Bali diberi pengertian ke dalam asas-asas sebagai berikut.
a. Asas suka duka, artinya dalam suka dan duka dirasakan bersama-sama.
b. Asas paras paros, artinya orang lain adalah bagian dari diri sendiri dan diri
sendiri adalah bagian dari orang lain.
c. Asas salunglung sabayantaka, artinya baik buruK, hidup mati ditanggung
bersama.
d. Asas saling asih, saling asah, saling asuh, artinya saling menyayangi atau
mencintai, saling memberi dan mengoreksi, serta saling tolong menolong antar
sesama hidup.
Masyarakat Hindu Bali biasanya menyediakan diri untuk datang ke rumah atau ke
tempat warga masyarakat yang lain yang mempunyai atau mengadakan suatu
kegiatan misalnya upacara, membangun rumah, selamatan dan lain-lain. Aktifitas ini
merupakan pengejawantahan dari asas “Tat Twam Asi”, yang lebih dikenal dengan
nama Metetulung.
Selain itu, ada juga adat mejotan, yaitu memberi sejenis kue atau makanan
atau buah-buahan kepada tetangga atau sahabat-sahabat lainnya ketika seseorang
mengadakan suatu upacara atau selesai mengadakan selamatan tertentu. Dalam
menjaga hubungan baik antara manusia dengan manusia, rasa hormat memanglah
sangat penting untuk diperhatikan. Bagaimana anak muda menghormati yang tua,
dan yang tua menghargai yang muda. Penghormatan dalam masyarakat Bali tidak
didasarkan atas ekonomi atau kekayaan.
Dalam masyarakat Bali, ada tiga kelompok yang dituakan, disebut Tri Kang
Sinanggeh Werda (mahuta), di antaranya sebagai berikut.
a. Wahya Werda, mereka yang disebut tua karena usianya.
b. Jnana Werda, mereka yang disebut tua karena ketinggian ilmu pengetahuannya,
baik ilmu pengetahuan keduniawian maupun kerohanian.
c. Tepo Werda, mereka yang disebut tua karena telah banyak menimba pengalan
hidup.
Ketiga kelompok ini dalam masyarakat adat Bali selalu mendapatkan penghormatan
yang sesuai dengan kekuatan yang dimiliki dan selalu diperhitungkan dalam setiap
acara atau kegiatan sesuai dengan proporsinya masing-masing. Masyarakat Hindu di
Bali meyakini bahwa menjaga hubungan antar sesama manusia merupakan
wujud kepercayaan agama hindu dan sebagai jalan untuk mewujudkan
keselamatan dan kedamaian. Semua ini tidak lain agar terciptanya kehidupan yang
Kreta Jagadhita.
Sebagai ilustrasi penerapan ajaran “Tat Twam Asi” yang lain dalam kehidupan
sehari-hari dicontohkan sebagai berikut:
Bila kita menunjuk orang lain dengan menggunakan jari tangan, ternyata
spontanitas hanya 2 (dua) jari saja menunjuk orang lain, selebihnya 3 (tiga) jari
lainnya menunjuk pada diri kita sendiri. Kesimpulannya perbandingan prosentase
menunjuk orang lain dan menunjuk diri sendiri (40:60 %), lebih besar presentase
yang ditujukan kepada diri sendiri. Berarti bila kita mengatakan orang lain jahat,
sesungguhnya diri kita sendiri jauh lebih jahat dari orang lain yang kita tuduh
berbuat kejahatan. Demikian juga sebaliknya, bila mengatakan baik kepada orang
lain tentu diri kita lebih baik dari mereka. Lebih parah lagi bila menunjuk dalam
keadaan kesal, dongkol, dan emosional tinggi tentu akan menunjuk orang lain
dengan tangan dikepal, maka sepenuhnya (100%) jari tangan menunjuk atau
mengalamatkan apa yang diucapkan itu tertuju pada diri kita sendiri. Pandangan ini
mengkristal dalam upaya membina terwujudnya kerukunan hidup beragama,
kehidupan yang sejahtera (Kreta Jagadhita) yang berlandaskan pada prinsip
kebenaran ajaran “Tat Ttwam Asi. Oleh karena itu, tidak alasan untuk menjelek-
jelekkan atau menyakiti orang lain. Maka dari itu berbuat baiklah kepada orang lain
atau agama lain, bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya di muka bumi ini,
tanpa terkecuali.
Ajaran tat twam asi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan
apa yang sedang dirasakan orang lain. Seseorang bila menyakiti orang lain
sebenarnya ia telah bertindak menyakiti atau menyiksa dirinya sendiri, dan
sebaliknya bila telah membuat orang lain menjadi senang dan bahagia, maka
sesungguhnya dirinya sendirilah yang ikut merasakan kebahagiaan itu juga.
Tat twam asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalinnya
hubungan yang serasi atas dasar “asah, asih, dan asuh” di antara sesama hidup.
Dalam Sarasamuscaya: 317, menyatakan:
“Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada brahmana budiman
yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa
sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang terhadap dirimu,
perbuatan seperti orang sadhu hendaknya sebagai balasanmu. Janganlah sekali-kali
membalas dengan perbuatan jahat, sebab orang yang berhasrat berbuat kejahatan
itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri”

Dalam upaya mewujudkan kehidupan yang Kreta Jagadhita atau kehidupan yang
sejahtera dan rukun, selain konsep “Tat Twam Asi” diterapkan sehari-hari antar
sesama, juga perlu diterapkan dalam kehidupan intern umat beragama. Agar
kerukunan ini tercapai, perlu diterapkannya konsep “Tat Twam Asi”. Seperti halnya
dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan secara manusiawi (tanpa kekerasan)
melalui jalan musyawarah intern umat beragama, musyawarah antar umat
beragama melalui wadah yang sudah cukup gencar mengadakan dialog dan juga
pertemuan atau musyawarah antara umat beragama dengan pemerintah. Melalui
cara-cara seperti itu diharapkan semakain sering diadakan temu muka antara tokoh-
tokoh agama, berkomunikasi langsung saling mengenal satu sama lainnya, duduk
berdampingan satu sama lainnya membahas masalah kerukunan. Sehingga semakin
dapat menghilangkan prasangka buruk sebagai bentuk kesalah pahaman diantara
sesama penganut umat beragama. Semua ini dapat terwujud hanya melalui
terbinanya kesadaran akan hidup bersama secara berdampingan, kesadaran saling
membutuhkan, saling melengkapi satu sama lainnya, niscaya kerukunan hidup
beragama dapat terwujud. Kerukunan hidup beragama menjadi dambaan kita
semua, sebab bila hal ini terwujud, maka kita akan dapat merasakan satu
kedamaian. Kerukunan perlu dipupuk, dan dikembangkan dalam rangka
menumbuhkan rasa kesadaran umat beragama, sehingga terwujudnya rasa
persatuan dan kesatuan bangsa sesuai bunyi slogan lambang negara kita “Bhineka
Tunggal ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ungkapan ini cocok
dengan kondisi negara republik Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam agama,
kebudayaan, adat istiadat, etnis dan lain sebagainya, namun pada hakekatnya kita
semua adalah satu, yaitu satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air, sebagaimana
telah diikrarkan dalam sumpah pemuda.
Bila dihayati, keadaan yang beraneka ragam agama akan mewujudkan suatu
keindahan. Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan/unity in diversity).
Seperti halnya beraneka tanaman bunga yang tumbuh di sekeliling taman membuat
taman menjadi indah. Kita sebagai komponen bangsa Indonesia harus menyadarai
kondisi yang demikian. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa keberhasilan
dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia berkat tergalangnya rasa
persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga kita mampu mewujudkan kemerdekaan.
Selain implementasi di atas, contoh yang lain adalah ketika kita melakukan kegiatan
yang saleh terhadap orang lain, seperti memberi sedekah. Karena dia adalah kamu
dan kamu adalah dia, dengan demikian, sekarang dia (salah satu roh) menerima
sedekah dari kamu (yang juga merupakan sang roh), maka suatu hari dia mesti dan
pasti akan memberi sedekah kepadamu. Itu merupakan hukum alam. Sama halnya
sekarang kamu membunuh dia di dalam bentuk seekor binatang, karena sang roh
diuraikan berpindah dari badan yang satu ke badan yang lain setelah meninggal di
dalam proses reinkarnasi, ”dehino smin yatha dehe kaumaram yauvanam jara” ,
maka suatu hari nanti waktu akan mengatur dimana dia akan mendapat badan
manusia dan kamu mendapat badan binatang. Saat itu, giliran dia yang akan
membunuh kamu. Ini merupakan suatu keadilan Tuhan di dalam bentuk hukum
alam. Dengan demikian, ajaran tat tvam asi juga bisa diambil dari segi sosial seperti
contoh diatas. Karena dia adalah kamu dan kamu adalah dia, maka kita harus
berusaha memperlakukan setiap jiva dengan baik seperti kita memperlakukan diri
kita sendiri. Kalimat “Tat Twam Asi” dalam arti ini sangat berhubungan erat dengan
istilah Tri Hita Karana, yaitu bagaimana seharusnya kita, sebagai makhluk sosial,
berhubungan dengan lingkungan di sekitar kita yaitu alam beserta isinya dan
menyadari bahwa semuanya adalah ciptaan Tuhan. Karena itu kita semestinya
memelihara ciptaan Tuhan seperti kita memelihara diri kita sendiri. Dengan
demikian kesejahteraan semua umat akan tercapai dengan diterapkannya konsep
“Tat Twam Asi” ini.
Dalam kehidupan, apabila konsep “Tat Twam Asi” tidak diterapkan, kesejahteraan
tidak akan pernah tercapai, karena egoisme yang tinggi akan mempengaruhi setiap
individu. Adapun contoh konsep “Tat Twam Asi” tidak diterapkan, yaitu adanya
konflik antar desa atau antar banjar menjadi bukti nyata. Ketika “Tat Twam Asi”
tidak bisa dijadikan acuan, konflik akan makin melebar. Dampaknya akan ada
kasepekangi (pengucilan). Kalau sudah kasepekang, sembahyang ke pura pun tidak
boleh, apalagi mau ngaben. Suatu saat nanti sepertinya perlu kuburan umum, desa
umum dan pedanda umum bagi mereka yang kena kasepekang. Dari contoh ini
dapat kita lihat, apabila ajaran “Tat Twam Asi” tidak bisa kita terapkan tentunya
hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat, Kreta Jagadhita akan
semakin menjauh dari kehidupan kita, karena semua orang hanya akan menjalankan
kehendaknya sendiri, orang Bali menyebutnya “nganggoang kite”. Dan sebaliknya
apabila konsep ini diterapkan, tidak akan ada istilah mustahil kesejahteraan akan
segera terwujud.

Anda mungkin juga menyukai