Wilayah lautan dapat dibagi menjadi beberapa zonasi yang dapat dilihat
secara horizontal dan secara vertikal. Secara horizontal, laut dapat dibagi menjadi
dua yaitu: 1) Zona neritik (bagian pesisir) yang meliputi paparan benua; dan 2)
Zona oseanik yang meliputi laut lepas. Secara vertikal pembagian wilayah laut
didasarkan atas intensitas atau daya tembus cahaya matahari ke dalam kolom
perairan, yaitu; 1) Zona Fotik atau zona epipelagis; dan 2) Zona afotik (Barnes
dan Hugnes, 1999).
Secara vertikal zona afotik pada kawasan pelagis dapat juga dibagi lagi
dalam beberapa zona yaitu: 1) Zona mesopelagis yang merupakan bagian teratas
zonasi afotik yang terletak pada kedalaman 700-1000 meter; 2) Zona batipelagis
yang merupakan daerah yang terletak pada kedalaman antara 700-1000 meter dan
2000-4000 meter; 3) Zona abisal pelagis yang merupakan daerah di atas daratan
pasang surut laut yang mencapai kedalaman 6000 meter; dan 4) Zona hadal
pelagis, zona yang merupakan perairan terbuka dari palung laut dengan
kedalaman 6000-10000 meter.
Menurut (Nybakken, 1992) wilayah dasar laut atau bintik dapat dibagi
menjadi beberapa zonasi, yaitu;
1. Zona lithoral, yaitu wilayah pantai atau pesisir atau “shore”. Pada saat air
pasang wilayah ini tergenang air dan pada saat air laut surut berubah menjadi
daratan. Oleh karenanya wilayah ini sering disebut wilayah pasang surut.
2. Zona Supralitoral atau zona laut dangkal atau zona paparan benua yaitu
wilayah bentik yang posisinya berada di bawah zona neritik pelagic pada
paparan benua yang dapat diukur dari batas wilayah pasang surut hingga
kedalaman 150 m, karena zona ini masih mendapat cahaya maka di dalam
zona ini umumnya duhuni oleh organisme dari berbagai komunitas seperti
rumpit laut, padang lamun terumbu karang dan sebagainya.
3. Zona Batial atau wilayah dasar laut dalam, yaitu wilayah dasar laut yang
terdapat pada kedalaman antara 150 hingga 1800 meter, atau daerah dasar
yang mencakup lereng benua hingga mencapai kedalaman 4000 meter. Zona
ini tidak dapat ditembusi oleh sinar matahari, sehingga organisme yang hidup
di dalam kolom air pada zona ini tidak sebanyak yang terdapat di zona
neritik.
4. Zona Abisal atau wilayah dasar laut sangat dalam, yaitu wilayah dasar laut
yang berada pada kedalaman lebih dari 1800 meter hingga kedalaman 4000-
6000 meter. Di wilayah ini suhunya sangat dingin dan tidak ada tumbuhan,
jenis hewan yang hidup di wilayah ini sangat terbatas.
5. Zona Hadal adalah wilayah bentik berupa palung lautan yang berada pada
kedalaman antar 6000-10000 meter, seperti laut Banda yang memiliki
kedalaman mencapai 10000 meter.
Apabila suatu organisme mempunyai batas untuk suatu faktor yang relatif
konstan dan berada dalam jumlah yang banyak maka faktor tersebut tidak
merupakan faktor pembatas. Semua faktor fisik alami tidak hanya merupakan
faktor pembatas dalam arti merugikan tetapi juga penting sebagai faktor pengatur
dalam arti menungtungkan sehingga keadaan selalu homeostasis.
b. Suhu
Suhu air adalah salah satu sifat fisik yang paling penting dari lingkungan
laut yang memberikan pengaruh pada banyak fisik, kimia, peristiwa geokimia, dan
biologis. Suhu mengontrol tarif di mana reaksi kimia dan proses biologis (seperti
metabolisme dan pertumbuhan) berlangsung. Suhu air sebagian menentukan
konsentrasi gas terlarut dalam air laut termasuk oksigen dan karbon dioksida,
yang sangat terkait dengan proses biologis. Suhu juga merupakan salah satu faktor
yang paling penting abiotik mempengaruhi distribusi spesies laut (Lalli dan
Parsons, 1997).
c. Salinitas
Salinitas mengacu pada kandungan garam air laut. Salinitas di perairan
permukaan meningkat dengan penghilangan air melalui penguapan, dan berkurang
terutama melalui penambahan air tawar melalui pengendapan, baik dalam bentuk
hujan atau salju, atau dari Sungai inflow. Pada garis lintang yang lebih tinggi,
salinitas juga menurun oleh es dan salju mencair. Salinitas rendah ditemukan di
daerah Kutub, yang memiliki tinggi curah hujan serta es mencair. Hewan yang
hidup di laut telah berevolusi malalui berbagai mekanisme fisiologis dari
osmoregulasi yang melawan masalah kehilangan air dari proses osmosis.
Sebagian besar ikan laut mengeskresikan sangat kecil jumlah urin dan mensekresi
garam di insang. Jenis aktif transportasi, di mana ginjal bekerja melawan
kecenderungan osmotik normal, memerlukan pengeluaran energi. Penyu, burung
laut, dan Mamalia laut juga menunjukkan berbagai cara untuk menjaga
keseimbangan osmotik dengan lingkungan mereka (Lalli dan Parsons, 1997).
d. Tekanan
Tekanan hidrostatik adalah faktor lingkungan fisik lain yang
mempengaruhi kehidupan di laut. Tekanan ditentukan oleh berat air di atasnya per
satuan luas pada kedalaman tertentu. Hubungan antara tekanan dan kedalaman
dianggap linear secara efektif, yang artinya tekanan bertambah seiring dengan
tingkat kedalaman (Lalli dan Parsons, 1997).
e. Gerakan air
Air laut selalu dalam keadaan bergerak. Gerakan-gerakan air laut disebabkan
oleh beberapa faktor, seperti angin yang menghembus di atas permukaan laut,
pengadukan yang terjadi karena perbedaan suhu air dari dua lapisan, perbedaan
tinggi permukaan laut, pasang surut dan lain-lain. Gerakan air laut ini sangat
penting bagi berbagai proses alam. Gerakan air laut ini dikenal sebagai arus,
gelombang, pasang surut dan sebagainya (Rumimohtarto dan Juwana, 2002).
Pasang surut air laut disebabkan oleh adanya daya tarik menarik antara bumi dan
bulan. Pola pasang surut berbeda pada lokasi yang berbeda. Durasi pasang surut
dapat menjadi faktor pembatas pada biota bentik yang hidup sesil (Litaay dkk.,
2018).
f. pH
pH merupakan salah satu faktor pembatas di lingkungan laut. pH air laut
umumnya berkisar antara 7-8 atau umumnya air laut bersifat basa. Adanya
kesetimbangan karbonat di laut memungkinkan pH air laut berada di sekitar pH
tersebut. Bila terjadi perubahan pH yang ekstrim, misalnya perubahan pH menjadi
asam, maka akan berdampak pada biota laut yang memiliki cangkang dari bahan
karbonat. Keasaman air laut dapat disebabkan karena saturasi CO2 yang
disebabkan oleh polusi. Asam dapat melarutkan bahan karbonat, sehingga
penurunan kadar pH air laut menjadi asam akan berdampak negatif pada biota
yang memiliki cangkang yang terbuat dari materi tersebut (Litaay dkk., 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, R.S.K dan R.N. Hugnes. 1999. An Introduction to Marine Ecology 3rd
Edition. Blackwell Science Ltd. London
Litaay, M., M. Asnadi, D. Priosambodo. 2018. Buku Ajar Biologi Laut. Jurusan
Biologi FMIPA Unhas.
Romimohtarto, K. dan Sri Juwana. 2002. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang
biota laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019