Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Di Indonesia, aturan mengenai hak dan kewajiban tenaga kerja termaktub dalam
sebuah perundang-undangan. Adapun peraturan tersebut secara spesifik dirumuskan
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang
lebih sering disingkat UU Ketenagakerjaan. Selain itu disebutkan pula kewajiban dan
hak pekerja dalam UU Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Melalui petunjuk ini,
diharapkan dapat meminimalisasi ketimpangan antara hak dan kewajiban pekerja
yang berpotensi menimbulkan masalah.

Di samping hal tersebut, UU Ketenagakerjaan juga diharapkan sebagai sebuah


cara dalam rangka membangun ketenagakerjaan. Adapun tujuan dari pembangunan
ketenagakerjaan sendiri sesuai yang tertuang dalam pasal 4 UU Ketenagakerjaan
adalah sebagai berikut.

1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan


manusiawi.
2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
3. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan.
4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

II. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui arti penting hak dan kewajiban tenaga kerja


2. Mengetahui dasar hukum hak dan kewajiban tenaga kerja
3. Mengetahui apa saja hak dan kewajiban tenaga kerja
ISI

I. UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Hak Tenaga Kerja

Imbalan alias hak yang paling diharapkan oleh setiap tenaga kerja adalah upah. Dalam
pasal 1 ayat 30, UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa upah adalah

“hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk yang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atau
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”

Namun rupanya, ada banyak jenis hak lain yang dimiliki oleh setiap tenaga kerja
selain imbalan dalam bentuk materi. Untuk lebih lengkapnya, berikut adalah hak
tenaga kerja secara garis besar yang tertuang dalam UU Ketenagakerjaan.

Kesempatan dan Perlakuan yang Sama

Hak tenaga kerja untuk memperoleh kesempatan dan perlakuan yang sama diatur
dalam Bab III. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut.

 Pasal 5

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.

 Pasal 6

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi


dari pengusaha.
Pelatihan Kerja

Dalam rangka meningkatkan kecakapan, produktivitas, dan kesejahteraan tenaga kerja,


pelatihan kerja juga perlu diberikan sebagai bekal. Bab V UU Ketenagakerjaan
mengatur tentang pelatihan ini, termasuk syarat-syarat lembaga yang bertugas
memberi pelatihan.

 Pasal 11

Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau


mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.

 Pasal 18

1. Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah


mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja
pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
2. Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja.
3. Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula
diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.

 Pasal 19

Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan


memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang
cacat yang bersangkutan.

 Pasal 23

Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Penempatan Tenaga Kerja


Sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja dalam wilayah kerja tertentu, pekerja juga
mempunyai hak dalam penempatan dirinya. BAB VI UU Ketenagakerjaan secara
jelas memuat hak-hak yang terkait dengan penempatan tenaga kerja.

 Pasal 31

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di
dalam atau di luar negeri.

Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan

Bab X UU Ketenagakerjaan memuat cukup banyak subbab yang menjelaskan detail


terkait perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan tenaga kerja. Selain bahasan
untuk tenaga kerja secara umum, aturan ini juga menjelaskan hak-hak pekerja
perempuan yang kerap terabaikan dalam implementasinya.

 Pasal 67

1. Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib


memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

 Pasal 76

1. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun


dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00
sampai dengan 07.00 wajib:

1. Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan


2. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
3. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 05.00.

 Pasal 78

1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

 Pasal 79

1. Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.


2. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
3. Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja;
4. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
5. Cuti tahunan, sekurang0kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus; dan
6. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada
tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh
yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada
perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

 Pasal 80

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh


untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

 Pasal 81
1. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.

 Pasal 82

1. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu


setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah)
bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
2. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan.

 Pasal 83

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberik kesempatan


sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

 Pasal 84

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud


dalam pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, pasal 80, dan pasal 82 berhak mendapat
upah penuh.

 Pasal 86

1. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:

1. Keselamatan dan kesehatan kerja;


2. Moral dan kesusilaan; dan
3. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.

Pasal 88

1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi


penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
 Pasal 99

1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan


sosial tenaga kerja.

 Pasal 100

1. Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya,


pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.

Pasal 104

1. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat


pekerja/serikat buruh.

 Pasal 137

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja dilakukan secara sah, tertib,
dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

 Pasal 156

1. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan


membayar uang pesangin dan yang penghargaan masa kerja serta uang
pengganti hak yang seharusnya diterima.

Kewajiban Tenaga Kerja

Sebagaimana hak yang diterima, setiap tenaga kerja wajib memenuhi tanggung
jawabnya. Bab XI tentang Hubungan Industrial memaparkan beberapa kewajiban
yang harus dipenuhi oleh setiap pekerja antara lain sebagai berikut.

 Pasal 102

Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai


fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokrasi, mengembangkan
keterampilan dan keahilannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

 Pasal 126

1. Pengusaha, serikat pekerja dan pekerja wajib melaksanakan ketentuan yang


ada dalam perjanjian kerja bersama.
2. Pengusaha dan serikat pekerja wajib memberitahukan isi perjanjian kerja
bersama ata perubahannya kepada seluruh pekerja.

 Pasal 136

1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh


pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja secara musyawarah untuk mufakat.

 Pasal 140

1. Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja


dilaksanakan, pekerja dan serikat wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat.

Aturan dan Rincian Pendukung

Bila ditinjau dari UU Ketengakerjaan, sepintas terlihat bahwa kewajiban dari seorang
tenaga kerja cenderung lebih sedikit dibandingkan kewajiban yang harus dipenuhi.
Kendati demikian, bukan berarti pekerja dapat bersikap sewenang-wenang. Setiap
pengusaha atau perusahaan pun tentu memiliki aturan khusus dalam menjalankan
kegiatan operasionalnya. Dengan adanya ini, adalah wajib bagi setiap tenaga kerja
untuk juga menjalankan tugas-tugas tersebut selagi tidak bertentangan dengan aturan
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Selain itu, beberapa hak juga lebih lanjut diperinci oleh Keputusan Menteri (Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan) sebagai berikut.

Status Karyawan
Umumnya, status karyawan terbagi atas dua jenis, yakni PKWT (Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu) dan PKWTT (Perjanjian Kerta Waktu Tidak Tertentu). Namun,
seiring dengan semakin banyaknya pekerja lepas alias freelancer, maka dibutuhkan
adanya sebuah aturan yang secara khusus membahas hal tersebut.

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 100 Tahun 2004, pekerja harian
lepas diberlakukan hanya untuk pekerjaan tertentu yang memiliki waktu dan volume
pekerjaan yang berubah-ubah. Di samping itu, upah yang diperoleh biasanya
didasarkan pada waktu, volume pekerjaan, dan kehadiraan pekerja dalam setu hari.

Kebijakan Pengupahan

Upah kerap menjadi isu yang paling sensitif di kalangan pekerja. Lantas, apa saja
yang sebenarnya menjadi komponen dalam pemberian upah atas seorang tenaga
kerja?

Dalam Bab X pasal 88 ayat 3, dinyatakan bahwa kebijakan pengupahan meliputi:

1. Upah minimum;
2. Upah kerja lembur;
3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6. Bentuk dan cara pembayaran upah;
7. Denda dan potongan rupiah;
8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
10. Upah untuk pembayaran pesangon; dan
11. Unpah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Adapun terkait upah minimum, pasal 69 menjelaskan bahwa komposisinya dapat


terdiri atas:

1. Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;


2. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota.
Tunjangan Hari Raya

Selain gaji setiap bulan, satu lagi momen yang paling ditunggu oleh setiap pekerja
adalah THR. Pemberian tunjangan ini pun telah diatur oleh pemerintah melalui
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya
Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di sebuah perusahaan.

Hal ini juga berkaitan dengan sanksi yang akan diberikan. Sebelumnya, perusahaan
tidak akan dikenakan sanksi apa pun bilamana dia tidak memberikan THR kepada
para pekerja yang berada di bawah nauangannya. Namun ketika aturan ini muncul,
perusahaan pun pada akhirnya harus memberikan THR bagi para tenaga kerja. Bila
tidak, maka ada sanksi sebesar 5% dari total THR yang harus dibayarkan kepada
perusahaan.

 Masa Kerja

Lamanya masa kerja seorang tenaga kerja sangat memberikan pengaruh terhadap
jumlah THR yang akan diperoleh. Pekerja yang telah minimal bekerja selama 1 bulan
dalam suatu perusahaan telah berhak untuk mendapatkan THR.

 Komposisi dan Perhitungan

Secara garis besar, perhitungan untuk pembagian THR adalah sebagai berikut.

Total Masa Kerja Hitungan

< 12 bulan secara terus menerus (Masa kerja (dalam bulan) x upah 1 bulan) : 12

>12 bulan secara terus menerus Upah 1 bulan

Adapun yang didefinisikan dari kata ‘upah’ boleh jadi berbeda besarnya antara satu
perusahaan dan yang lainnya sesuai kebijakan masing-masing. Walau begitu, secara
general, besarnya THR yang diberikan boleh jadi hanya berupa gaji pokok atau gaji
pokok dan tunjangan tetap.

 Pajak
Tidak semua pekerja harus mengeluarkan pajak atas Tunjangan Hari Raya yang
diberikan. PPh 21 atas THR hanya akan dikenakan pada setiap pekerja yang
memperolah THR di atas PTKP alias Pendapatan Tidak Kena Pajak. Adapun
nominalnya berkisar antara Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun. Oleh
karenanya, bila tenaga kerja mendapatkan THR kurang dari Rp4,5 juta, maka tidak
ada potongan bea pajak yang dikenakan.

 Waktu Pemberian

Selain besar nominalnya, hal lain dari THR yang senantiasa dinantikan adalah waktu
pemberiannya. Pemerintah telah menetapkan bahwa perusahaan wajib memberikan
THR kepada setiap tenaga kerjanya paling lama 7 hari sebelum hari raya keagamaan
berlangsung.

II. UU 1/1970 tentang Keselamatan Kerja

Hak dan kewajiban pekerja pula disebutkan dalam UU 1/1970 tentang keselamatan
kerja

BAB IV
PENGAWASAN

Pasal 5

1. Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini


sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan
menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang ini
dan membantu pelaksanaannya.
2. Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan
kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan
perundangan.

Pasal 6

1. Barang siapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan


permohonan banding kepada Panitia Banding.
2. Tata cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia
Banding dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
3. Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi.

Pasal 7

Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus membayar


retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan
perundangan.

Pasal 8

1. Pengurus di wajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan


kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan
dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.
2. Pengurus diwajibkan memeriksakan semua tenaga kerja yang berada di bawah
pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan
dibenarkan oleh Direktur.
3. Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan
perundangan.

BAB V
PEMBINAAN

Pasal 9

1. Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja


baru tentang :

1. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam


tempat kerja;
2. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam
tempat kerja;
3. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
4. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah
ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di
atas.
3. Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja
yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan
pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja,
pula dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.
4. Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang
dijalankan.

BAB VI
PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Pasal 10

1. Menteri Tenaga Kerja berwenang membertuk Panitia Pembina Keselamatan


Kerja guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi
efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat
kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha
berproduksi.
2. Susunan Panitia Pembina dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas dan
lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.

BAB VII
KECELAKAAN

Pasal 11

1. Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat


kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga
Kerja.
2. Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud
dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan.
BAB VIII
KEWAJIBAN DAN HAK TENAGA KERJA

Pasal 12

Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk: a.
Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau
keselamatan kerja; b. Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan; c. Memenuhi
dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
d.Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan
kerja yang diwajibkan; e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat
kesehatan dan keselamatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan
diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khususditentukan lain oleh pegawai
pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung jawabkan.

BAB IX
KEWAJIBAN BILA MEMASUKI TEMPAT KERJA

Pasal 13

Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua
petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.

BAB X
KEWAJIBAN PENGURUS

Pasal 14

Pengurus diwajibkan :
1. secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua
syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan
semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang
bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan menurut petunjuk
pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja;
2. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan
kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada
tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai
pengawas atau ahli keselamatan kerja.
3. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang
diwajibkan pada tenaga kerja berada di bawah pimpinannya dan menyediakan
bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan
petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk-petunjuk yang
diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

BAB XI
KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15

1. Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut


dengan peraturan perundangan.
2. Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman
pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-
(seratus ribu rupiah).
3. Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.

Pasal 16

Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu
Undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan di dalam satu tahun sesudah
Undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut
atau berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 17

Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang


ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang ada pada
waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini.

Pasal 18

Undang-undang ini disebut "UNDANG-UNDANG KESELAMATAN KERJA" dan


mulai berlaku pada hari diundangkan.

Anda mungkin juga menyukai