Anda di halaman 1dari 5

Metode Kultur Jaringan, Jadikan Satu

pohon Kelapa Berbuah Kopyor Semua


Eviyanti Minggu, 26 Mei 2019, 13:37

PANEN kelapa kopyor pada lahan seluas 1 hektare di "Science Techno Park UMP" (Universitas Muhamaddiyah
Purwokerto) dihadiri Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristek, Muhammad Dimyati dan Rektor
UMP .*/ EVIYANTI/PR

PURWOKERTO, (PR).- Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) berhasil


mengembangkan kultur jaringan kelapa kopyor dan menjadi satu-satunya riset kelapa kopyor di
Indonesia, bahkan di dunia.

Metode kultur jaringan yang dikembangkan dosen Program Studi Pendidikan Biologi di
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMP Sisunandar, dapat menghasilkan tanaman
yang dapat berbuah banyak dan seluruhnya kopyor. Tentunya punya nilai ekonomi tinggi, bisnis
buah kelapa yang terbilang langka ini sangat menjanjikan.

Sisunandar menyebutkan, jenis buah kelapa kopyor sudah ada di alam dan hanya di daerah
tertentu yang bisa menghasilkan. Kelapa kopyor jumlahnya sangat sedikit antara 2-3 butir dari
satu pohon kelapa yang memiliki bakat untuk menghasilkan kopyor.
Sehingga tidak heran jika bahan baku minuman menyegarkan ini harganya mahal.

Saat ini melalui rekayasa budidaya, kelapa kopyor bisa dikembangkan dengan tingkat
produkstivitas tinggi.

Melalui risetnya, Sismundar menanam 148 pohon kelapa kopyor pada lahan seluas 1 hektare di
Science Techno Park UMP, di komplek kampus universitas swasta terkemuka di Purwokerto.

Dari 148 pohon kelapa kopyor yang dikembangkan terdiri dari 10 kultivar atau jenis, yakni
masing-masing 4 kultivar kelapa kopyor jenis Banyumas dan Pati, serta kultivar Sumenep dan
Lampung masing-masing 1.

Di tanah air hanya ada empat kultivar kelapa kopyor yakni kultivar Banyumas, Pati Semenep dan
Lampung. Sebab hanya di daerah tersebut yang bisa muncul kelapa kopyor.

"Semua jenis kelapa kopyor tersebut kemudian dikembangkan dengan sistem kultur jaringan,
dan hasilnya 100 persen isi kelapa, kopyor," kata Sismunandar saat panen perdana kelapa kopyor
yang dihadiri Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristek, Muhammad Dimyati
dan Rektor UMP beberapa waktu lalu .

Kenapa pengembangan budidaya kelapa kopyor harus menggunakan kultur jaringan,


menurutnya karena kelapa kopyor tidak bisa dibenih. Hal itu lantaran sel seharusnya melekat
pada dinding kelapa hancur dan terkelupas.

“Kelapa menjadi kopyor, itu karena pengaruh beberapa enzim yang membuat dinding sel tidak
melekat pada dinding kelapa, sehingga tidak bisa dikembangbiakan," tambahnya.

Oleh karena itu, pembenihan harus dilakukan melalui rekayasa di laboratorium dengan teknik
kultur jaringan. Pembenihan dimulai dengan mengambil embrio kelapa lalu ditanam dalam
tabung dengan medium tanam.

Dosen dengan disertasi S3 di Autralia ini menambahkan, selama proses tersebut sedikitnya ada
30 bahan kimia yang digunakan kemudian setiap bulan pindah media tanam hingga usia 14
bulan.
Setelah tanaman berusia 2 tahun dengan tinggi 15 sentimeter (cm), tanaman dipindah ke alam
bebas, untuk lahan yang bagus, air cukup, kelapa kopyor bisa dipanen setelah 4 tahun.

"Jika pada pohon kelapa biasa hanya menghasilkan satu atau dua butir kopyor ,namun dengan
pengembangan melalui kultur jaringan maka satu pohon 100 persen kelapa kopyor. Usia
produksi tanaman bisa mencapai 25-30 tahun,” kata Sisunandar.

Nilai ekonomi kelapa kopyor sangat tinggi di pasar mencapai Rp 30-35 ribu per butir, sedangkan
kelapa biasanya hanya dihargai Rp 5000 per butir. Sedangkan bibit kelapa kopyor yang siap
tanam laku sampai Rp 4 juta.

Pertama di dunia

Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Dr. Muhammad Dimyati, M.Sc mengatakan, kebun
plasma nutfah kelapa kopyor ini merupakan pertama di dunia. Temuan tersebut bisa dimanfatkan
oleh industri skala nasional maupun dunia, mengingat tingkat kebutuhan untuk industri makanan
dari buah yang eksotik tersebut cukup menjanjikan.

"Hasil penelitian ini harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan yang lebih luas
bagi bangsa. Untuk industri makanan ataupun kosmetik dunia," terangnya.

Industri skala nasional bahkan dunia bisa memetik manfaat dari temuan langka ini. Sebab,
kelapa kopyor tidak hanya untuk makanan saja, tetapi bisa dipergunakan untuk kesehatan
maupun kosmetik.

Oleh karena, dia mendorong UMP agar bisa mengembangkan unit bisnis kelapa kopyor,
mengingat kebutuhan kelapa kopyor di Indonesia sangat besar.

Sumber : PikiranRakyat
Produk Rekayasa Genetika Dukung
Ketahanan Pangan

Apel rekayasa genetika dari Okanagan diklaim mampu bertahan dan tidak berubah menjadi
kecokelatan setelah dikupas atau diiris. ( Foto: Arctic Apples )
Vento Saudale / FER Kamis, 18 Oktober 2018 | 21:12 WIB

Bogor - Guru Besar Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Parulian Hutagaol,
mengungkapkan, teknik rekayasa genetika pada pangan pertama kali dikembangkan untuk
menjawab berbagai permasalahan seperti ketahanan pangan dan perubahan iklim.

"Sayangnya, Indonesia masih ada kekhawatiran tanaman bioteknologi mengganggu lingkungan.


Alhasil, uji lingkungan, pangan, dan pakan yang ada di level pemerintah memakan waktu yang
tidak sebentar," kata Parulian dalam diskusi Hari Pangan Nasional (HPN) 2018, di Kampus IPB
Barangsiang, Kota Bogor, Kamis (18/10).

Parulian mengatakan, pihaknya melihat tak ada alasan Indonesia untuk menghambat produk
rekayasa genetika (PRG). Kenyataannya, jagung dan gula yang diimpor merupakan produk-
produk PRG.

"Kita makan. Lalu kenapa kita larang menanam? Berarti kta lebih menyukai uang kita diberi
kepada asing, dan memberi lapangan kerja bagi negara lain," tandasnya.

Menurutnya, teknologi rekayasa pangan dapat memberikan manfaat yang besar terutama untuk
pemanfaatan produk pertanian. Namun, hal tersebut memerlukan kehati-hatian dan kecermatan
agar tidak menimbulkan sesuatu yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan bagi
keanekaragaman hayati, lingkungan, dan kesehatan manusia.

"Rekayasa genetika pangan mulai dilakukan riset dua dekade lalu. Hasil riset tersebut masih
perlu sertifikasi pemerintah untuk bisa di produksi secara masal," paparnya.

Parulian mengatakan, Indonesia sendiri belum berhasil mengembangkan tanaman transgenik


secara masal. "Di lingkungan Asia, hanya Indonesia yang belum mengelola secara mandiri
pengembangan pangan rekayasa genetika sudah lebih maju dan marak dilakukan," tandasnya.

Sumber: BeritaSatu.com

Anda mungkin juga menyukai