Anda di halaman 1dari 2

Meski belum menjadi komoditi idola di pasar lokal, porang ternyata memiliki pasar besar di

luar negeri
Porang yang memiliki nama latin Amorphophallus oncophyllus Prain belakangan ini menjadi
topik perbincangan hangat di Jawa Timur. Tanaman yang mulanya dikembangkan untuk
mendukung program konservasi hutan ternyata memiliki potensi ekonomi yang tinggi.
Saat ini porang merupakan komoditas yang populer di ekspor sebagai bahan baku konyaku
atau mi di negara-negara Asia Timur. Sayangnya, negara pemasok komoditas porang tertinggi
masih dipegang oleh Jepang. Indonesia sendiri sudah mulai menjadi pemasok, namun dalam
jumlah sangat kecil.
Porang, atau dalam Bahasa Jawa disebut iles-iles, umbinya memiliki kandungan glukomanan,
yaitu sebuah polisakarida yang jika terlarut akan membentuk gel yang mempunyai viskositas
cukup tinggi sehingga dimanfaatkan menjadi bahan pengemulsi dalam industri pangan,
kertas, dan kosmetik. Dalam industri pangan glukomanan merupakan serat pangan larut air,
bersifat hidrokoloid kuat dan rendah kalori.
Dari hasil olahan tepung ini akan diperoleh glukomanan. Ini diantaranya yang akan
dikembangkan, yang diketahui untuk bahan obat, kosmetik, dan hal-hal lain yang terkait
dengan kesehatan, ujar Deddy Suryadi, S. Hut, M. Si. Berbagai penelitian mengenai manfaat
tanaman ini belakangan marak dilakukan, mulai dari pemanfaatan sebagai makanan padat
darurat, sampai bahan dasar substitusi polimer ramah lingkungan (pengganti plastik).
Pasar porang di Indonesia masih belum maksimal. Dengan potensi manfaat yang begitu
besar, kebanyakan pelaku budidaya menjual porang dengan harga murah dalam bentuk umbi
basah seharga Rp 2500/kg.
Dengan asumsi setiap 1 ha tanaman porang menghasilkan umbi basah hingga 16 ton. Jika
dikalkulasikan maka perolehannya bisa mencapai Rp 40 juta. Sebenarnya pendapatan yang
diterima petani bisa lebih besar dengan memberi nilai tambah pada produk porang, caranya
dengan mengolah umbi dalam bentuk irisan tipis yang dikeringkan sehingga mirip keripik
(chips). Chips porang dihargai hingga Rp 27.000/kg, sementara tepung porang dihargai
hingga Rp 600.000/kg.
Kendala dalam budidaya porang ini adalah belum ditemukannya teknologi pengolah
pascaproduksi massal yang dapat mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi bernilai
tinggi. Sehingga, penanganan pascapanen lebih banyak diambil alih oleh industri yang juga
berperan sebagai eksportir, itu pun hanya sampai mengolah dalam bentuk chips.
Di dalam umbi porang terdapat glukomanan yang bermanfaat, yang akan kita ambil. Namun
juga terdapat Kalsium oksalat yang harus kita saring karena tidak dapat diuraikan oleh tubuh.
Untuk itu diperlukan penemuan teknologi tepat guna yang benar-benar dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat luas, terutama petani agar dapat menghasilkan tepung porang aman yang
bernilai jual tinggi untuk diekspor, tutur Prof. Simon B. Widjanarko, Ph. D.

Saat ini selain menjadi produsen porang terbesar, Jepang juga memiliki teknologi pengolahan
paling maju mengenai penanganan pascaproduksi. Perlu ada impor ilmu dengan
mempelajari teknologi di Jepang, namun tanpa dukungan dari pemerintah kami masih
kesulitan dalam menjaring akses, tambahnya.
Konsentrasi pengembangan budidaya porang Indonesia dilakukan di Madiun, Jawa Timur,
tepatnya kawasan hutan jati yang tersebar di Desa Padas, Desa Klangon, dan Desa
Sumberbendo, Kecamatan Saradan. Kegiatan tersebut merupakan kerjasama antara
Universitas Brawijaya dan Pemerintah Kabupaten Madiun untuk anggaran tahun 2011.
Sejauh ini Universitas Brawijaya merupakan institusi yang secara serius mengaji tanaman
yang kabarnya berasal dari India ini. Tak tanggung-tanggung, Universitas Brawijaya
mendirikan Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia (P4I) yang diketuai oleh
Prof. Simon B. Widjanarko, Ph. D.
Selain Madiun, beberapa wilayah di sekitarnya seperti Nganjuk, Tuban, dan Bojonegoro juga
diprediksi potensial menjadi wilayah perluasan budidaya karena sebagian wilayahnya yang
merupakan hutan naungan seperti terdapat di Madiun.
Inti permasalahan porang di Indonesia masih banyak yang perlu dibenahi di semua lini, mulai
dari pembibitan hingga teknologi pascapanen. Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan
perhatian dari pemerintah. Karena itu Universitas Brawijaya telah merangkul Balitbang Jatim
sebagai fasilitator dalam penelitian serta media yangmempertemukan pihak-pihak terkait,
baik dari kelompok sesama akademisi, petani, maupun pengusaha agar dapat disusun road
map penelitian yang lebih matang sehingga diperoleh target yang jelas manfaatnya bagi
masyarakat. Karena tentunya tujuan utama dari upaya budidaya porang adalah
pemberdayaan perekonomian masyarakat. (rin)

Anda mungkin juga menyukai