Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU III

MODUL TUMBUH KEMBANG

KELOMPOK 1

1. Reza Redha Ananda I111121005


2. Safira Sukma Dewinda I1011161010
3. Amalia Putri I1011161015
4. Erica Sugandi I1011161029
5. Ririh Cintya Anjani I1011161034
6. Hesti Ratna Pratiwi I1011161023
7. Khusnul Wasilah I1011161047
8. Haryani Tya Arini I1011161054
9. Syarif Muhammad Lukmanul Hakim I1011161055
10. Vivi Yanthi I1011161069
11. Sembodho Edi Kurniawan I1011161072

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Inneke, seorang anak tunggal, perempuan, usia 5 tahun 9 bulan, memunyai
tinggi badan 120 cm dan berat 32 kg. Sejak usia 1 tahun hingga saat ini, ibu
Inneke masih memberikan bubur dan susu dengan porsi yang cukup banyak
setiap 3-4 jam sekali. Inneke hingga saat ini belum mampu makan makanan
padat. Bila diberikan makanan padat, Inneke menolak, kadang disertai muntah
sehingga ibu akhirnya melanjutkan pemberian bubur dan susu dengan frekuensi
sekitar 5-6 kali sehari. Selain itu, Inneke sering mengonsumsi es krim. Di rumah,
Inneke gemar menonton televisi dan bermain videogame sampai lupa belajar.
Pergi dan pulang sekolah selalu diantar naik kendaraan pribadi. Olahraga hanya
dilakukan pada jam yang dijadwalkan di sekolah. Ayahnya bekerja sebagai
direktur di sebuah perusahaan dan ibunya bekerja sebagai dokter di Puskesmas
Kecamatan. Pada pemeriksaan fisis tampak tungkai bawah melengkung seperti
huruf “O”.

1.2 Klarifikasi dan Definisi


1. Muntah : pengeluaran isi lambung melalui mulut seringkali membutuhkan
dorongan yang kuat.1
2. Obesitas : penumpukan (akumulasi) lemak abnormal atau berlebihan.2

1.3 Kata Kunci


1. Inneke, anak perempuan tunggal
2. Usia 5 tahun 9 bulan
3. Belum mampu makan makanan padat
4. Aktivitas fisik kurang
5. Sosio ekonomi tinggi
6. Tinggi badan 120 cm, berat badan 32 kg
7. Frekuensi makan 5-6 kali sehari

1
8. Sering mengonsumsi es krim
9. Tungkai bawah berbentuk huruf “O”
10. Suka menonton TV dan bermain videogame

1.4 Rumusan Masalah


Inneke, anak perempuan berusia 5 tahun 9 bulan yang mempunyai berat
badan 32 kg, tinggi badan 120 cm memiliki pola makan yang tidak sesuai usia,
aktivitas fisik yang kurang, sosio ekonomi yang tinggi, dan mengalami kelainan
tungkai bawah melengkung seperti huruf “O”.

2
1.5 Analisis Masalah

1.6 Hipotesis
Inneke, anak perempuan 5 tahun 9 bulan mengalami obesitas yang
disebabkan oleh factor pola makan yang tidak sesuai dan berlebihan serta pola
hidup yang kurang baik sehingga menghambat dan mengganggu proses
pertumbuhan dan perkembangan.

3
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Obesitas pada anak
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Factor risiko
e. Klasifikasi
f. Gejala klinis
g. Patofisiologi
h. Komplikasi
i. Kurva Pertumbuhan berat badan terhadap panjang badan, berat badan
terhadap umur, indeks massa tubuh
j. Tata laksana
k. Prognosis
l. Pencegahan
2. Kesulitan makan pada anak
a. Definisi
b. Etiologi
c. Jenis kelainan yang dialami
3. a. Mengapa anak perempuan 5 tahun 9 bulan belum bisa makan makanan
padat, dan apabila diberikan muntah?
b. Bagaimana perkembangan oromotor bayi normal?
4. Tibia vara (blount disease)
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
5. Bagaimana hubungan obesitas dengan tungkai bawah melengkung seperti
huruf O?
6. Bagaimana asupan nutrisi sesuai usia anak?
7. Bagaimana peran aktivitas fisik pada anak?
8. Bagaimana perkembangan anak pada usia sekolah (pada umur 5 tahun)?

4
BAB II

ISI

2.1 Obesitas pada anak


2.1.1 Definisi
Obesitas adalah penumpukan (akumulasi) lemak abnormal atau
berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan.2 Sama halnya seperti berat
badan, kelebihan berat badan dinilai dengan indeks massa tubuh (IMT).
Obesitas juga merupakan masalah kesehatan yang terbesar pada banyak
negara-negara berkembang, seperti India. Pada tingkat yang lebih sederhana,
obesitas adalah suatu penyakit ketidakseimbangan kalori yang disebabkan
oleh kelebihan asupan kalori yang melebihi asupan yang dibutuhkan tubuh.3
Anak- anak dikategorikan obesitas yaitu ketika lahir hingga kurang dari
usia 5 tahun, nilai dari penilaian berdasarkan kurva berat badan menurut
tinggi badan lebih dari 3 SD (standar deviasi) di atas median pada Kurva
pertumbuhan WHO. Seseorang juga dikatakan obesitas apabila pada usia 5
tahun hingga 19 tahun, indeks massa tubuh berdasarkan umur lebih dari 3
SD di atas median pada Kurva Pertumbuhan.4
2.1.2 Etiologi
Obesitas terjadi karena ketidak-seimbangan antara asupan energi dengan
keluaran energi (energy expenditures), sehingga terjadi kelebihan energi
yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi
tersebut dapat disebabkan oleh asupan energi yang tinggi atau keluaran
energi yang rendah.5
Kegemukan dan obesitas terutama disebabkan oleh faktor lingkungan.
Faktor genetik meskipun diduga juga berperan tetapi tidak dapat
menjelaskan terjadinya peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas.
Pengaruh faktor lingkungan terutama terjadi melalui ketidakseimbangan
antara pola makan, perilaku makan dan aktivitas fisik. Hal ini terutama

5
berkaitan dengan perubahan gaya hidup yang mengarah pada sedentary life
style.6
Pola makan yang merupakan pencetus terjadinya kegemukan dan
obesitas adalah mengkonsumsi makanan porsi besar (melebihi dari
kebutuhan), makanan tinggi energi, tinggi lemak, tinggi karbohidrat
sederhana dan rendah serat.6
Selain pola makan dan perilaku makan, kurangnya aktivitas fisik juga
merupakan faktor penyebab terjadinya kegemukan dan obesitas pada anak
sekolah. Keterbatasan lapangan untuk bermain dan kurangnya fasilitas
untuk beraktivitas fisik menyebabkan anak memilih untuk bermain di dalam
rumah. Selain itu, kemajuan teknologi berupa alat elektronik seperti video
games, playstation, televisi dan komputer menyebabkan anak malas untuk
melakukan aktivitas fisik.6
Sebagian besar gangguan homeostasis energi ini disebabkan oleh faktor
idiopatik (obesitas primer atau nutrisional), sedangkan faktor endogen
(obesitas sekunder atau non-nutrisional, yang disebabkan oleh kelainan
hormonal, sindrom, atau defek genetik) hanya mencakup kurang dari 10%
kasus.5
Secara klinis obesitas idiopatik dan endogen dapat dibedakan
sebagaimana yang tercantum pada Tabel 1.5

TABEL 1. Karakteristik dan etiologi obesitas5


Obesitas Idiopatik Obesitas Endogen
> 90% kasus < 10% kasus
Perawakan tinggi Perawakan pendek
Umumnya didapatkan Umumnya tidak didapatkan
riwayat obesitas pada keluarga riwayat obesitas pada keluarga
Fungsi mental normal Fungsi mental mengalami retardasi
Pertumbuhan tulang terlambat
Pertumbuhan tulang normal
(delayed)

6
2.1.3 Epidemiologi

Berdasarkan laporan gizi global atau Global Nutrition Report (2014),


Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang memiliki 3 permasalahan gizi
sekaligus, yaitu stunting (pendek), wasting (kurus), dan juga overweight
(obesitas). Data riset kesehatan dasar (Riskesdas, 2013) menyebutkan
bahwa prevalensi balita gemuk menurut BB/TB pada anak usia 0-59 bulan
sebesar 11,8% sedangkan data survey pemantauan status gizi menyatakan
bahwa prevalensi balita gemuk menurut BB/TB usia 0-59 bulan sebesar
5,3%.7
Sementara itu, Riskesdas 2013 menggambarkan kondisi anak di
Indonesia sebanyak 8 dari 100 anak di Indonesia mengalami obesitas.
Prevalensi obesitas anak yang dihitung berdasarkan indeks massa tubuh
dibandingkan usia (IMT/U) pada kelompok anak usia 5-12 tahun besarnya
8%. Prevalensi tertinggi obesitas pada anak usia 5-12 tahun adalah DKI
Jakarta.7
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami
masalah gizi balita gemuk, karena menurut WHO 2010, suatu negara
dikatakan tidak lagi memiliki masalah gizi bila indikator balita gemuk
berada di bawah 5%.7

2.1.4 Factor risiko 8,9,10


1. Tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi yang merupakan faktor
risiko cardiovaskular disease (CVD)
2. Peningkatan risiko intolerasi insulin, resistensi insulin dan diabetes
tipe 2.
3. Masalah pernapasan seperti, asthma dan sleep apnea.
4. Masalah sendi dan penyakit muskuloskeletal.
5. Masalah sosial bullying dan stigma.
6. Masalah psikologis seperti kecemasan dan depresi.
7. Beberapa faktor penyebab obesitas pada anak lainnya adalah
karakteristik anak, aktifitas fisik, kebiasaan kurang mengonsumsi

7
sayur dan buah, kelebihan asupan energi dan protein, dan riwayat
obesitas orangtua.11

2.1.5 Klasifikasi
Menurut gejala klinisnya, obesitas dibagi menjadi: 12
1. Obesitas sederhana (simple obesity)
Obesitas sederhana didefinisikan apabila terdapat gejala kegemukan
tanpa disertai kelainan hormonal/mental/fisik lainnya. Obesitas ini
terjadi karena factor nutrisi.
2. Bentuk khusus obesitas
a. Kelainan endokrin/hormonal
Pada kelainan ini, penyakit yang tersering adalah sindrom Cushing
yang terjadi pada anak yang sensitive terhadap pengobatan dengan
hormone steroid.
b. Kelainan somatodismorfik
Pada kelainan ini, penyakit yang muncul adalah sindrom Prader-
Willi, sindorm Summit dan Carpenter, sindrom Laurence-Moon-biedl,
dan sindrom Cohen. Obesitas pada kelainan ini hampir selalu disertai
retardasi mental dan kelainan ortopedi.
c. Kelainan hipotalamus
Kelainan hipotalamus memengaruhi nafsu makan dan berakibat
obesitas. Kelainan ini dapat disebabkan oleh kraniofaringioma,
leukemia serebral, trauma kepala, dan lain-lain.

2.1.6 Gejala klinis

Manifestasi klinis obesitas secara umum, antara lain:13


 Wajah bulat dengan pipi tembem dan dagu rangkap
 Leher relatif pendek
 Dada membusung dengan payudara membesar mengandung
jaringan lemak
 Perut membuncit (pendulous abdomen) dan striae abdomen

8
 Pada anak laki-laki : Burried penis, gynaecomastia
 Pubertas dini genu valgum (tungkai berbentuk X) dengan kedua
pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan yang
dapat menyebabkan laserasi kulit.

2.1.7 Patofisiologi
Asupan dan pengeluaran energi tubuh diatur oleh mekanisme saraf dan
hormonal. Hampir setiap individu, pada saat asupan makanan meningkat,
konsumsi kalorinya juga ikut meningkat, begitupun sebaliknya. Karena itu,
berat badan dipertahankan secara baik dalam cakupan yang sempit dalam
waktu yang lama. Diperkirakan, keseimbangan yang baik ini dipertahankan
oleh internal set point atau lipostat, yang dapat mendeteksi jumlah energi
yang tersimpan (jaringan adiposa) dan semestinya meregulasi asupan
makanan supaya seimbang dengan energi yang dibutuhkan.14
Skema yang dapat dipakai untuk memahami mekanisme neurohormonal
yang meregulasi keseimbangan energi dan selanjutnya mempengaruhi berat
badan secara garis besar, ada 3 komponen pada sistem tersebut: 14
1. Sistem aferen, menghasilkan sinyal humoral dari jaringan adipose
(leptin), pankreas (insulin), dan perut (ghrelin).
2. Central processing unit, terutama terdapat pada hipotalamus, yang mana
terintegrasi dengan sinyal aferen.
3. Sistem efektor, membawa perintah dari hypothalamic nuclei dalam
bentuk reaksi untuk makan dan pengeluaran energi.
Pada keadaan energi tersimpan berlebih dalam bentuk jaringan adipose
dan individu tersebut makan, sinyal adipose aferen (insulin, leptin, ghrelin)
akan dikirim ke unit proses sistem saraf pusat pada hipotalamus. Di sini,
sinyal adipose menghambat jalur anabolisme dan mengaktifkan jalur
katabolisme. Lengan efektor pada jalur sentral ini kemudian mengatur
keseimbangan energi dengan menghambat masukan makanan dan
mempromosi pengeluaran energi. Hal ini akan mereduksi energi yang

9
tersimpan. Sebaliknya, jika energi tersimpan sedikit, ketersedian jalur
katabolisme akan digantikan jalur anabolisme untuk menghasilkan energi
yang akan disimpan dalam bentuk jaringan adiposa, sehingga tercipta
keseimbangan antara keduanya.14
Pada sinyal aferen, insulin dan leptin mengontrol siklus energi dalam
jangka waktu yang lama dengan mengaktifkan jaras katabolisme dan
menghambat jaras anabolisme. Sebaliknya, ghrelin secara dominan menjadi
mediator dalam waktu yang singkat.14
Hormon ghrelin menstimulasi rasa lapar melalui aksinya di pusat makan
di hipotalamus. Sintesis ghrelin terjadi dominan di sel-sel epitel di bagian
fundus lambung. Sebagian kecil dihasilkan di plasenta, ginjal, kelenjar
pituitari, dan hipotalamus. Sedangkan reseptor ghrelin terdapat di sel-sel
pituitari yang mensekresikan hormon pertumbuhan, hipotalamus, jantung,
dan jaringan adiposa.14
Konsentrasi ghrelin dalam darah paling rendah terjadi setelah makan
dan meningkat ketika puasa sampai waktu makan berikutnya. Walaupun
insulin dan leptin sama-sama berpengaruh dalam siklus energi, data yang
ada menyatakan bahwa leptin mempunyai peran yang lebih penting
daripada insulin dalam pengaturan homeostatis energi di sistem saraf
pusat.14
Sel-sel adiposa berkomunikasi dengan pusat hypothalamic yang
mengontrol selera makan dan pengeluaran energi dengan cara
mengeluarkan leptin, salah satu jenis sitokin. Jika terdapat energi tersimpan
yang berlimpah dalam bentuk jaringan adiposa, dihasilkan leptin dalam
jumlah besar, melintasi sawar darah otak, dan berikatan dengan reseptor
leptin. Reseptor leptin menghasilkan sinyal yang mempunyai dua efek, yaitu
menghambat jalur anabolisme dan memicu jalur katabolisme melalui
neuron yang berbeda. Hasil akhir dari leptin adalah mengurangi asupan
makanan dan mempromosikan pengeluaran energi. Karena itu, dalam
beberapa saat, energi yang tersimpan dalam sel-sel adipose mengalami
reduksi dan mengakibatkan berat badan berkurang. Pada keadaan ini,

10
equilibrium atau energy balance tercapai. Siklus ini akan terbalik jika
jaringan adiposa habis dan jumlah leptin berada di bawah ambang batas
normal.14
Cara kerja leptin secara molekuler sangat kompleks dan belum dapat
diuraikan secara lengkap. Secara garis besar, leptin bekerja melalui salah
satu bagian jaras neural terintegrasi yang disebut leptin-melanocortin circuit.
Pemahaman tentang sirkuit ini penting mengingat obesitas merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius dan pengembangan obat
antiobesitas tergantung sepenuhnya pada pemahaman jaras ini.14

2.1.8 Komplikasi
Obesitas memiliki komplikasi yang pada anak dan remaja dapat
menyerang hampir setiap sistem organ mayor. Berikut tabel yang
menunjukkan komplikasi yang ditimbulkan akibat obesitas.3,15

Tabel 2. Komplikasi dan Efek Obesitas pada Anak 3,15

Komplikasi Efek
Psikososial Perlakuan yang berbeda dari
teman-teman sebayanya,
kemungkinan diejek, kurang
diterima oleh teman-teman
sekolah, terisolasi.
Endokrin (metabolisme) a) Metabolisme glukosa
- Resistensi insulin
- Prediabetes (tergantung
pada toleransi glukosa)
- Diabetes mellitus tipe 2
- Sindrom metabolism
b) Isu-isu terkait pertumbuhan dan
pubertas
 Perempuan

11
- Hiperandogenisme atau
sindrom ovarium
polikistik
- Menstruasi yang lebih
awal
 Laki-laki
- Jangka waku pubertas
yang lambat
- Pseudo-micropenis
(penis tersembunyi)
- Sirkulasi androgen
yang berkurang
Kardiovaskular - Hipertensi
- Hipertrofi jantung
- Dislipidemia
- Risiko jantung lainnya
- Penyakit jantung iskemik pada
usia dewasa
- Kematian mendadak pada usia
dewasa
Gastrointestinal - Penyakit non-alkohol
perlemakan hati
- Steatohepatitis
- Cholestasis/cholelithiasis
Respirasi - Sleep apnea
- Asma
- Sindrom Pickwickian
Ortopedi - Coxa vara
- Slipped capital femoral
epiphysis (SCFE)

12
- Epiphysis
- Blount disease
- Fraktur
- Leg-calve-perthes disease
Neurologi - Hipertensi idiopatik
intracranial (pseudotumor
cerebri)
Dermatologi - Acanthosis nigricans
- Intertrigo
- Furunculosis

2.1.9 Kurva Pertumbuhan berat badan terhadap panjang badan, berat


badan terhadap umur, indeks massa tubuh
Kurva yang digunakan adalah CDC, dikarenakan kurva CDC digunakan
untuk anak di atas 5 tahun. Berikut ini dilampirkan kurva untuk anak diatas
5 tahun perempuan.16

13
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Tinggi badan dan berat badan
menurut umur (2-20 tahun) 16

14
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan BMI (Body Mass Index) menurut
umur (2-20 tahun) 16

15
Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Berat badan menurut tinggi
badan (2-20 tahun) 16

16
2.1.10 Tata laksana
Prinsip tata laksana gizi lebih dan obesitas pada anak adalah menerapkan
pola makan yang benar, aktivitas fisis yang benar, dan modifikasi perilaku
dengan orangtua sebagai panutan. Tujuan tata laksana gizi lebih dan
obesitas pada anak harus disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak,
penurunan berat badan mencapai 20% di atas berat badan ideal, serta pola
makan dan aktivitas fisis yang sehat dapat diterapkan jangka panjang untuk
mempertahankan berat badan tetapi tidak menghambat pertumbuhan dan
perkembangan.5
A. Pola Makan yang Benar
Pemberian diet seimbang sesuai requirement daily allowances
(RDA) merupakan prinsip pengaturan diet pada anak gemuk karena
anak masih bertumbuh dan berkembang dengan metode food rules,
yaitu:5
1. Terjadwal dengan pola makan besar 3x/hari dan camilan 2x/hari
yang terjadwal (camilan diutamakan dalam bentuk buah segar),
diberikan air putih di antara jadwal makan utama dan camilan, serta
lama makan 30 menit/kali
2. Lingkungan netral dengan cara tidak memaksa anak untuk
mengonsumsi makanan tertentu dan jumlah makanan ditentukan
oleh anak
3. Prosedur dilakukan dengan pemberian makan sesuai dengan
kebutuhan kalori yang diperoleh dari hasil perkalian antara
kebutuhan kalori berdasarkan RDA menurut height age dengan berat
badan ideal menurut tinggi badan
Langkah awal yang dilakukan adalah menumbuhkan motivasi anak
untuk ingin menurunkan berat badan setelah anak mengetahui berat
badan ideal yang disesuaikan dengan tinggi badannya, diikuti dengan
membuat kesepakatan bersama berapa target penurunan berat badan
yang dikehendaki.5

17
Sebagai alternatif pilihan jenis makanan dapat menggunakan the
traffic light diet. The traffic light diet terdiri dari green food yaitu
makanan rendah kalori (<20 kalori per porsi) dan lemak yang boleh
dikonsumsi bebas, yellow food artinya makanan rendah lemak namun
dengan kandungan kalori sedang yang boleh dimakan namun terbatas,
dan red food yaitu mengandung lemak dan kalori tinggi agar tidak
dimakan atau hanya sekali dalam seminggu.5
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan kalori
dengan metode food rules, yaitu:5
a. Kalori yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan normal.
Pengurangan kalori berkisar 200–500 kalori sehari dengan target
penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. Penurunan berat badan
ditargetkan sampai mencapai kira-kira 20% di atas berat badan ideal
atau cukup dipertahankan agar tidak bertambah karena pertumbuhan
linier masih berlangsung
b. Diet seimbang dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 30%,
dan protein cukup untuk tumbuh kembang normal (15-20%). Bentuk
dan jenis makanan harus dapat diterima anak, serta tidak dipaksa
mengonsumsi makanan yang tidak disukai
c. Diet tinggi serat dapat membantu pengaturan berat badan melalui
jalur intrinsik, hormonal dan colonic. Ketiga mekanisme tersebut
selain menurunkan asupan makanan akibat efek serat yang cepat
mengenyangkan (meskipun kandungan energinya rendah) serta
mengurangi rasa lapar, juga meningkatkan oksidasi lemak sehingga
mengurangi jumlah lemak yang disimpan. Pada anak di atas 2 tahun
dianjurkan pemberian serat dengan rumus (umur dalam tahun + 5) g
per hari.

18
B. Pola Aktivitas Fisik yang Benar
Pola aktivitas yang benar pada anak dan remaja obes dilakukan
dengan melakukan latihan dan meningkatkan aktivitas harian karena
aktivitas fisis berpengaruh terhadap penggunaan energi.5
Peningkatan aktivitas pada anak gemuk dapat menurunkan napsu
makan dan meningkatkan laju metabolisme. Latihan aerobik teratur
yang dikombinasikan dengan pengurangan energi akan menghasilkan
penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan hanya dengan diet
saja.5
Center for Disease Control and Prevention menganjurkan anak dan
remaja harus melakukan latihan fisis setiap hari selama 60 menit atau
lebih, yang terdiri dari aktivitas aerobik, penguatan otot, dan penguatan
tulang.5
1. Aktivitas aerobik
Aktivitas aerobik merupakan latihan fisis yang dapat dilakukan
setiap hari selama 60 menit atau lebih. Aktivitas aerobik terdiri dari
aktivitas aerobik dengan intensitas sedang (misalnya jalan cepat)
atau aktivitas aerobik dengan intensitas bugar (misalnya berlari).
Aktivitas aerobik dengan intensitas bugar dilakukan paling sedikit
tiga kali dalam satu minggu.5
2. Penguatan otot (muscle strengthening)
Aktivitas penguatan otot, seperti senam atau push-up, dilakukan
paling sedikit tiga kali dalam satu minggu sebagai bagian dari total
latihan fisis selama 60 menit atau lebih.5
3. Penguatan tulang (bone strengthening)
Aktivitas penguatan tulang, seperti lompat tali atau berlari,
dilakukan paling sedikit tiga kali dalam satu minggu sebagai bagian
dari total latihan fisis selama 60 menit atau lebih.5

19
C. Modifikasi Perilaku
Tata laksana diet dan latihan fisis merupakan komponen yang efektif
untuk pengobatan, serta menjadi perhatian paling besar bagi ahli
fisiologi untuk memperoleh perubahan makan dan aktivitas perilakunya.
Oleh karena prioritas utama adalah perubahan perilaku, maka perlu
menghadirkan peran orangtua sebagai komponen intervensi.5
Beberapa cara pengubahan perilaku berdasarkan metode food rules
diantaranya adalah: 5
a. Pengawasan sendiri terhadap berat badan, masukan makanan, dan
aktivitas fisis, serta mencatat perkembangannya
b. Kontrol terhadap rangsangan/stimulus, misalnya pada saat
menonton televisi diusahakan untuk tidak makan karena menonton
televisi dapat menjadi pencetus makan. Orangtua diharapkan dapat
meniadakan semua stimulus di sekitar anak yang dapat merangsang
keinginan untuk makan
c. Mengubah perilaku makan, misalnya belajar mengontrol porsi dan
jenis makanan yang dikonsumsi, serta mengurangi makanan camilan
d. Penghargaan, yaitu orangtua dianjurkan untuk memberikan
dorongan, pujian terhadap keberhasilan atau perilaku sehat yang
diperlihatkan anaknya, misalnya makan makanan menu baru yang
sesuai dengan program gizi yang diberikan, berat badan turun, dan
mau melakukan olahraga
e. Pengendalian diri, misalnya dapat mengatasi masalah apabila
menghadapi rencana bepergian atau pertemuan sosial yang
memberikan risiko untuk makan terlalu banyak, yaitu dengan
memilih makanan yang berkalori rendah atau mengimbanginya
dengan melakukan latihan tambahan untuk membakar energi.

2.1.11 Prognosis

Obesitas pada masa kanak-kanak merupakan salah satu tantangan


kesehatan masyarakat yang paling serius di abad 21. Anak yang kelebihan

20
berat badan cenderung menjadi orang dewasa gemuk. Mereka lebih
mungkin daripada anak-anak yang tidak kelebihan berat badan untuk
mengembangkan diabetes dan penyakit kardiovaskular pada usia yang lebih
muda, yang pada gilirannya terkait dengan kemungkinan kematian prematur
dan kecacatan yang lebih tinggi.17 Prognosis obesitas tergantung pada
penyebab dan ada/tidaknya kompilkasi. Pada obesitas yang berlanjut
sampai dewasa, morbiditas dan mortalitasnya tinggi.12

2.1.12 Pencegahan

Pencegahan terjadinya gizi lebih dan obesitas terdiri dari 3 tahap,


pencegahan primer dengan menerapkan pola makan dan aktivitas fisik yang
benar sejak bayi, pencegahan sekunder dengan mendeteksi early adiposity
rebound dan pencegahan tersier dengan mencegah terjadinya
komorbiditas.5

Gambar 4. Adiposity Rebound 18


A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan menggunakan dua strategi pendekatan
yaitu strategi pendekatan populasi untuk mempromosikan cara hidup sehat

21
pada semua anak dan remaja beserta orang tuanya, serta strategi pendekatan
pada kelompok yang berisiko tinggi mengalami obesitas. Anak yang
berisiko mengalami obesitas adalah seorang anak yang salah satu atau kedua
orangtuanya menderita obesitas dan anak yang memiliki kelebihan berat
badan semenjak masa kanak-kanak. Usaha pencegahan dimulai dari
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan di Pusat Kesehatan
Masyarakat.5
B. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendeteksi early adiposity
rebound. Anak mengalami peningkatan IMT pada tahun pertama kehidupan.
Indeks massa tubuh menurun setelah usia 9-12 bulan dan mencapai nilai
terendah pada usia 5-6 tahun, dan selanjutnya meningkat kembali pada masa
remaja dan dewasa. Nilai IMT paling rendah adalah disebut sebagai
adiposity rebound. Waktu terjadinya adiposity rebound merupakan periode
kritis untuk perkembangan obesitas pada masa anak.5
C. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier dilakukan dengan mencegah komorbiditas yang
dilakukan dengan menata laksana obesitas pada anak dan remaja. Prinsip
tata laksana obesitas pada anak berbeda dengan orang dewasa karena faktor
tumbuh kembang pada anak harus dipertimbangkan. Tata laksana obesitas
pada anak dan remaja dilakukan dengan pengaturan diet, peningkatan
aktivitas fisis, mengubah pola hidup (modifikasi perilaku), dan terutama
melibatkan keluarga dalam proses terapi. Sulitnya mengatasi obesitas
menyebabkan kecenderungan untuk menggunakan jalan pintas, yaitu diet
rendah lemak dan kalori, diet golongan darah atau diet lainnya serta
berbagai macam obat. Penggunaan diet rendah kalori dan lemak dapat
menghambat tumbuh kembang anak terutama di masa emas pertumbuhan
otak, sedangkan diet golongan darah ataupun diet lainnya tidak terbukti
bermanfaat untuk digunakan dalam tata laksana obesitas pada anak dan
remaja. Penggunaan obat dipertimbangkan pada anak dan remaja obes

22
dengan penyakit penyerta yang tidak memberikan respons pada terapi
konvensional.5

2.2 Kesulitan makan pada anak


2.2.1 Definisi
Kesulitan/gangguan makan bukanlah diagnosis atau penyakit tetapi
merupakan gejala atau tanda adanya penyimpangan atau kelainan yang
sedang terjadi pada tubuh anak.12

2.2.2 Etiologi
Kesulitan makan pada anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yakni faktor organik meliputi penyakit (infeksi tenggorokan/ lambung)
kelainan bawaan dan gangguan dalam gigi dan rongga mulut, faktor
psikologis merupakan dampak yang diberikan orang tua yang
berpengaruh pada psikologis anak, dan faktor gizi meliputi makanan
yang disediakan terhadap anak termasuk snack dan camilan.19 Faktor
lain penyebab anak malas makan atau sulit makan adalah faktor fisik,
faktor kebiasaan, tipologi anak, dan menu yang tidak variatif ”. Kebiasaan
mengabaikan makanan atau malas makan pada anak merupakan persoalan
yang banyak dialami oleh orang tua. Padahal, di masa pertumbuhannya,
anak sangat membutuhkan banyak nutrisi penting. Jika tidak,
tumbuh kembangnya akan terhambat dan anak mengalami banyak masalah
seiring dengan pertambahan usianya. Oleh karena itu, orang tua perlu segera
mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi persoalan ini.20

2.2.3 Jenis kelainan yang dialami


Masalah makan biasanya dialami pada anak umur (2-5 tahun), karena
kesalahan cara pemberian makan selama bayi. Berbagai masalah
menyebabkan anak kehilangan selera makan atau kurang nafsu makan
(anoreksia). Di pihak lain balita memiliki lingkungan dan ruang gerak yang
semakin luas, sehingga mudah terkena atau terpajan terhadap kuman
penyakit. Misalnya penyakit infeksi, infestasi cacing, dan lain-lain.12

23
a. Kelainan Psikologis

Anoreksia psikogenik adalah berkurangnya nafsu makan yang


disebabkan oleh faktor psikologis. Faktor psikologis yang paling
menentukan dalam usia dini adalah kegelisahan dan kebimbangan orang
tua atau pengasuh. Bayi tampaknya rentan terhadap sikap tersebut dan
memberi reaksi dalam bentuk kegelisahan, gangguan tidur, menangis
berlebih bahkan muntah. Nafsu makan sering kali berubah-ubah, tergantung
pada perasaan anak pada saat makan dan tergantung pada hiburan yang
diberikan. Anak juga tidak mau mengunyah makanan dan menelan makanan
yang padat. Persoalan yang lebih sering di hadapi adalah kekhawatiran ibu.
Kita biasanya berhadapan dengan dua perilaku ibu, yaitu ibu yang terlalu
memperhatikan anaknya dan ibu yang lebih menggampangkan perawatan
anaknya. Ibu yang terlalu memperhatikan anaknya, biasanya mempunyai
fixed idea yang terlalu terpaku tentang apa makanan yang akan diberikan
kepada anaknya.12

b. Kelainan Organik
 Kelainan gigi geligi dan rongga mulut
Kelainan bawaan : Celah bibir (labioschisis), celah langitan
(Palatoschisis), labiopalatoschisis, frenulum lidah pendek,
makroglosi, gangguan menghisap, mengunyah dan mendorong
makanan ke faring (makroglosi) serta hambatan transportasi
makanan di esofagus. Penyakit infeksi : stomatitis, gingivitis,
tonsillitis. Serta kelainan rongga mulut yang juga dapat
menyebabkan gangguan menelan.12
 Kelainan pada saluran cerna
Kelainan bawaan : atresia esophagus, achalasia, spasme
deudenum, penyakit hirschsprung, hernia hiatus. Penyakit infeksi :
diare, infestasi cacing, muntah, kembung, kolik, E.Coli.12
 Penyakit infeksi secara umum

24
Penyakit infeksi akut yang dapat menyebabkan gangguan makan
adalah infeksi saluran nafas akut atas/bawah. Sementara itu,
penyakit infeksi kronis yang dapat mengakibatkan gangguan makan
adalah tuberkulosis paru dan malaria.12
 Kelainan non infeksi
Kelainan bawaan di luar rongga mulut dan cerna. Berupa
penyakit jantung bawaan dan sindrom down. Penyakit
neuromuscular adalah serebral palsi. Penderita serebral palsi
mengalami difungsi susunan saraf pusat sehingga timbul disfagia
dalam berbagai derajat. Secara berlahan akan kehilangan
kemampuan menghisap, mengunyah dan menelan. Kenyataan ini
menerangkan mengapa pada sebagian penderita masih dapat
menerima makanan cair atau lembek secara aktif karena
kemampuan menelan masih baik. Meskipun kemampuan
mengunyah atau menghisap menghilang.12
 Penyakit lainnya
Penyakit keganasan antara lain tumor Willems. Penyakit
hematologi berupa anemia dan leukemia. Penyakit metabolik
endokrin adalah diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular dan
penyakit lain.12

2.3 Mengapa anak perempuan 5 tahun 9 bulan belum bisa makan makanan
padat, dan apabila diberikan muntah?

Sensory Food Aversion

Cara terbaik untuk menangani anak dengan sensory food aversion yaitu
memberikan pemahaman terlebih dahulu kepada orangtua mengenai keadaan
anak. Orangtua perlu diberikan penjelasan bahwa anaknya memiliki indera
pengecap yang lebih sensitif yang menyebabkan rasa yang berlebih pada
makanan tertentu sehingga makanan tersebut dirasakan terlalu menyengat.21

Cara orangtua menghadapi keadaan ini:

25
1. Ketika bayi atau anak menunjukkan reaksi aversive terhadap suatu jenis
makanan seperti memuntahkan kembali makanan, mual atau vomitus,
orangtua sebaiknya jangan memaksakan anak untuk memakan makanan
tersebut karena pemberian berulang makanan yang dianggap aversive
cenderung meningkatkan kecemasan dan penolakan anak.21
2. Untuk anak balita, dapat digunakan cara modeling. Orangtua memberikan
contoh dengan memakan makanan yang dianggap aversive oleh anak dan
menunggu hingga anak meminta mencoba mencicipi makanan tersebut. Hal
ini dianggap lebih efektif dibandingkan dengan menempatkan makanan
tersebut diatas piring, dan meminta mereka untuk memakannya. Hal ini
diharapkan meningkatkan rasa penasaran dan keinginan balita untuk ikut
merasakan makanan yang sedang dimakan orangtuanya. Orangtua
dianjurkan untuk bersifat netral dan menunggu reaksi anak terhadap
makanan, apakah mereka menyukainya atau tidak. Apabila makanan
tersebut dianggap bersifat aversive, maka anak akan memuntahkannya dan
tidak mau.22 Konsekuensi cara ini yaitu orangtua harus memperhatikan
pemenuhan kalori anak dan memberikan suplemen pada anak karena
seringkali anak akan kekurangan mikronutrien. Anak dengan sensory food
aversion pada umumnya lebih memilih jenis makanan yang manis seperti
permen. Pada keadaan ini, orangtua dapat menanganinya dengan
memberikan porsi kecil dari permen tersebut saat waktu makan anak dan
mengizinkan anak untuk memakannya terlebih dahulu jika mereka
menginginkannya namun anak tidak boleh memakan permen diluar waktu
makan yang telah ditetapkan. Hal ini agar permen tidak lagi dianggap
makanan istimewa. Anak yang menolak makanan memerlukan proses
mengunyah lebih keras seperti daging atau sayuran berserat dapat
mengalami keterlambatan motorik oral dan gangguan bicara. Pada kasus ini
anak dapat dibantu dengan terapi bicara dan motorik oral memakannya
kembali, namun setidaknya anak menjadi tidak takut untuk mencoba jenis
makanan baru lainnya.21

26
3. Pada anak usia prasekolah, pemilihan jenis makanan dan pola makan anak
pada usia demikian bergantung juga pada jenis makanan yang dimakan oleh
anak seusianya. Pada kasus anak seusia ini, anak dapat dibantu membuat
hierarki jenis makanan yang tidak mereka sukai dengan memberikan
skoring mulai dari 1 sampai 10, dengan nilai 1 untuk makanan yang paling
tidak sering dihindari hingga 10 untuk jenis makanan yang paling sering
dihindari. Anak dianjurkan mulai memakan makanan dengan nilai skoring
terendah. Anak diberikan hadiah poin berupa 10 poin untuk tiap makanan
baru yang dicoba hingga poin final 50. Pada awalnya anak hanya mampu
makan satu gigitan kemudian semakin lama semakin bertambah banyak
hingga pada akhirnya ketika mereka mulai dapat memakan hingga 50
gigitan. Setelah memakan 50 gigitan makanan baru, anak umumnya sudah
mulai menyadari bahwa ternyata rasa makanan tersebut dapat ditoleransi
dan mereka siap mencoba makanan baru lainnya.21 Selain itu, pada usia 5
tahun, anak sudah harus makan seperti pola makan pada umumnya, yaitu
sarapan, makan siang, dan makan malam. Pada umur ini, anak-anak mudah
bosan, sehingga perlunya variasi makanan pada anak. Selain itu, tipe
makanan juga wajib diperhatikan. Hindari pemberian susu terlalu banyak.
Selanjutnya, lebih baik kalau makan dilakukan bersama seluruh anggota
keluarga dengan mengajarkannya duduk bersama di meja makan.23

Kurang Stimulasi
Anak perempuan 5 tahun 9 bulan pada kasus ini juga belum bisa
makan makanan padat kemungkinan dikarenakan mengalami kelainan
neurodevelopmental yang akan menganggu proses pembelajaran makan.
Selain itu, kesulitan makan yang terjadi pada anak tersebut juga dipengaruhi
oleh faktor psikologi dimana anak tidak mau mengunyah makanannya dan
tidak mau menelan makanan padat dikarenakan secara naluriah anak lebih
menyenangi makanan yang lebih lembut, asin, atau manis. Anak harus
belajar banyak pada waktu mulai diberi makanan padat, yaitu tidak

27
mengisap seperti pada pemberian susu formula, melainkan mengunyah dan
menelan makanan dalam bentuk padat.12

2.3.1 Perkembangan oromotor pada bayi


Tabel 3. Perkembangan oromotor pada bayi 24
Usia Perkembangan Oromotor
6-9 bulan Menggigit dan mengunyah gerakan rahang ke atas dan ke
bawah
Menelan dengan mulut tertutup
Menempatkan makanan di antara rahang atas dan bawah
9-12 bulan Gerakan lidah ke samping kiri dan ke kanan serta memutar
Mulai mencakupkan bibir pada pinggir cangkir
12-23 bulan Gerakan mengunyah berputar, rahang stabil

2.4 Tibia vara (blount disease)


2.4.1 Definisi
Blount Disease (Tibia Vara) adalah kelainan bentuk tungkai bawah
akibat beban tubuh yang terlalu berat sehingga tungkai bawah berbentuk
seperti huruf “O”.25 Tibia vara merupakan kelainan patologi yang paling
sering dihubungkan dengan genu varum. Ciri-cirinya yaitu pertumbuhan
yang abnormal dari aspek media proksimal tibia epifisis, menghasilkan
kecacatan varus.3 Penyakit blount diklasifikasikan berdasarkan usia
menjadi:3
1. Infantile (1 sampai 3 tahun)
2. Juvenile (4 sampai 10 tahun)
3. Adolescent (>11 tahun)

28
Gambar 5. Tibia vara (Blount disease)26

Penyakit blount yang lambat terjadi tidak lebih sering jika dibandingkan
dengan penyakit infantile. Penyebabnya tidak diketahui, kemungkinan
tekanan pertumbuhan dari meningkatnya kekuatan tekanan yang ditumpu
oleh lutut medial.3

2.4.2 Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit Blount atau tibia vara masih belum
diketahui secara pasti. Namun, factor-faktor yang diduga menyebabkan
penyakit ini adalah bayi berjalan pada usia yang terlalu dini, obesitas,
kekurangan vitamin D, atau kombinasi dari factor-faktor ini. Peningkatan
kejadian obesitas dan kekurangan vitamin D banyak terjadi pada pasien
dengan infantile Blount disease.27

2.4.3 Patofisiologi
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara IMT
(Indeks Massa Tubuh) dengan kelainan bentuk kaki panah (bow leg) pada

29
pasien tibia vara fase awal. pada beberapa anak di penelitian ini yang
menderita tibia vara, memiliki IMT yang tinggi. Penelitian juga
menunjukkan bahwa pengurangan berat badan dapat mengurangi angka
keperluan intervensi bedah karena kelainan bentuk kaki. Selain itu,
penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan kuat antara abnormalitas
metabolisme dengan Blount disease. Banyak pasien dengan kadar vitamin
D yang rendah dalam tubuh didiagnosa menderita Blount disease
dibandingkan dengan anak-anak dengan kadar vitamin D yang lebih
tinggi.26
Bagian medial pada lempeng epifisis tibialis atas dapat mengalami
gangguan pertumbuhan epifisis local yang dikenal sebagai tibia vara, yang
ditandai dengan kelainan bentuk kaki progresif. Kombinasi pertumbuhan
yang berkurang di bagian lempeng medial epifisis dan pertumbuhan normal
yang berlanjut pada bagian lateral menyebabkan kelainan progresif
angulatori varus, yaitu kaki berbentuk seperti panah (bow leg). Setelah
beberapa tahun, bagian lempeng medial epifisis menutup sebelum
waktunya.28
Pada tahap awal tibia vara, tidak ada gejala. Pemeriksaan menunjukkan
adanya kelainan varus pada lutut, kelainan yang sangat mencolok saat
terjadi unilateral. Pada pemeriksaan radiografi, ada kekurangan pengerasan
bagian medial epifisis tibialis atas.28

2.5 Bagaimana hubungan obesitas dengan tungkai bawah melengkung seperti


huruf O?
Penyakit blount yang lambat terjadi biasanya terjadi pada pasien obesitas
dengan ciri-ciri paha yang lebar, dengan perbandingan pria: wanita yaitu 4:1
dan lebih dari 90% pasien obesitas dan berkulit gelap. Penyakit ini berhubungan
dengan distal femoral varus dengan laporan kejadian 19%-60%. Hal ini
menunjukkan bahwa medial femoral fisis juga mengalami hambatan
pertumbuhan dikarenakan muatan berat yang melewati sendi lutut medial
terutama pada pasien obesitas berusia lebih tua dan orang obesitas.29

30
2.6 Bagaimana asupan nutrisi sesuai usia?
Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang, secara umum di golongkan
menjadi 3, yaitu: 12
1. Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH)
Meliputi:
a. Pangan/gizi merupakan kebutuhan terpenting.
b. Perawatan kesehatan dasar, antara lain imunisasi, pemberian ASI,
pertimbangan bayi/anak yang teratur, pengobatan kalau sakit dll.
c. Papan/permukiman yang layak
d. Hygiene perorangan, sanitasi lingkungan.
e. Sandang
f. Kesegaran jasmani, rekreasi dll.
2. Kebutuhan emosi/kasih sayang (ASIH)
Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan
selaras antara ibu/pengganti ibu dengan anak merupakan syarat mutlak
untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun
psikososial. Berperannya dan kehadiran ibu/penggantinya sedini dan
selanggeng mungkin, akan menjalin rasa aman bagi bayinya. Ini
diwujudkan dengan kontak fisik (kulit/mata) dan psikis sedini mungkin,
misalnya dengan menyusui bayi secepat mungkin segera setelah lahir.
Kekurangan kasih saying ibu pada tahun-tahun pertama kehidupan
mempunyai dampak negatif pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental
maupun sosial emosi yang disebut “Sindrom Deprivasi Maternal”.12
Kasih sayang dari orang tuanya (ayah-ibu) akan menciptakan ikatan
yang erat (bonding) dan kepercayaan dasar (basic trust).12
3. Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)
Stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar
(pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (ASAH) ini
mengembangkan perkembangan mental psikososial: kecerdasan,
keterampilan, kemandiriann, kreativitas, agama kepribadian, moral etika,
produktivitas dsb. Anak yang banyak mendapatkan stimulasi akan lebih

31
cepat berkembang daripada anak yang kurang atau bahkan tidak
mendapatkan stimulasi.12

Kebutuhan asupan nutrisi pada bayi dan anak sesuai usianya antara lain:
1. Usia 0-6 bulan
Hanya diberikan ASI eksklusif. Pada periode ini ASI saja sudah dapat
memenuhi kebutuhan gizi bayi.30
2. Usia 6-9 bulan
Bayi sudah mulai diperkenalkan dengan MP-ASI berbentuk lumat halus
karena bayi sudah memiliki reflek mengunyah. Contoh bubur susu, biskuit
yang ditambah air/susu, pisang atau papaya yang dilumatkan.30
3. Usia 9-12 bulan
Mulai diperkenalkan dengan makanan lembek yaitu berupa nasi tim atau
saring bubur saring dengan frekuensi 2 kali sehari. Untuk mempertinggi
nilai gizi makanan, nasi tim bayi ditambah sedikit demi sedikit dengan
sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak kelapa atau margarin. Bahkan
makanan ini dapat menambah kalori bayi. Di samping memberikan rasa
enak juga mempertinggi penyerapan vitamin A. Nasi tim bayi harus diatur
secara berangsur. Lambat laun mendekati bentuk dan kepadatan makanan
keluarga.30
4. Usia 1-5 tahun
Kebutuhan nutrisi pada balita sebenarnya juga dipengaruhi oleh usia
balita, besar tubuh dan tingkat aktivitas yang dilakukan.30
a. Energi : biasanya balita membutuhkan sekitar 1.000 sampai 1.400 kalori
per hari.
b. Kalsium : dibutuhkan kurang lebih 500 mg per hari
c. Zat besi : dibutuhkan 7 mg per hari
d. Vitamin C dan D
Tubuh anak terdiri dari struktur tulang, otot, peredaran darah, jaringan
otak dan organ-organ lain. Perkembangan tiap struktur ini sangat

32
dipengaruhi oleh masukan berbagai macam nutrisi makanan penunjang
pertumbuhan.30
5. Usia sekolah (6-13 tahun)
Anak usia sekolah membutuhkan lebih banyak energi dan zat gizi yang
lebih dibanding dengan anak balita. Diperlukan pula tambahan energi,
protein, kalsium, telor, zat besi, karena pertumbuhan pada kisaran usia ini
sedang pesat dan aktivitas anak semakin bertambah.30
Untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi anak terkadang makan
hingga 5 kali sehari. Namun sebaiknya anak tetap diajari untuk makan 3 kali
sehari dengan menu gizi yang tinggi yaitu: sarapan, makan siang, dan makan
malam. Anak juga perlu untuk diajari sarapan pagi agar dapat berpikir
dengan baik di sekolah.30
Tabel 4. Kecukupan beberapa zat gizi anak sehari 30
Umur BB Energi Protein Vitamin Kalsium Zat besi
(kg) (kkal) (g) A (S.I) (mg) (mg)
1-3 thn 12 1250 23 350 500 8
4-6 thn 18 1750 32 460 500 9
7-9 thn 24 1900 37 460 500 10
10-12 30 2000 45 500 700 14
thn

2.7 Bagaimana peran aktivitas fisik pada anak?


Aktivitas fisik yang tepat akan memberikan manfaat pada anak-anak untuk:
1. Mengembangkan jaringan muskuloskeletal yang sehat (tulang, otot dan
persendian);
2. Mengembangkan sistem kardiovaskular yang sehat (jantung dan paru-
paru)
3. Mengembangkan system neuromuskular (koordinasi dan kontrol
gerakan)
4. Menjaga berat badan yang sehat.

33
Aktivitas fisik juga telah dikaitkan dengan manfaat psikologis pada
anak-anak dengan gejala kecemasan dan depresi. Aktivitas fisik juga dapat
membantu dalam pengembangan sosial anak-anak dengan memberikan
kesempatan untuk mengekspresikan diri, membangun rasa percaya diri,
interaksi sosial dan integrasi. Anak-anak yang aktif secara fisik cenderung
menerapkan perilaku sehat lainnya (misalnya menghindari penggunaan
tembakau, alkohol dan narkoba) serta menunjukkan kinerja akademik yang
lebih baik di sekolah. Selain itu, anak yang tidak rutin berolah raga justru
cenderung memiliki asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak
yang rutin berolahraga. Makanan dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi
timbulnya obesitas baik secara bersama maupun masing-masing.31

2.8 Bagaimana perkembangan anak pada usia sekolah (pada umur 5 tahun)?
Tabel 5. Perkembangan anak umur 5 tahun 3,12
TAHAPAN PERKEMBANGAN
Usia Motorik Motorik Personal- Bahasa Kognitif lainnya
kasar halus dan sosial
adaptif
5 - Skipping - Meniru - Menaruh - Menghitung - Mengenal 4
tahun - Berjalan bentuk minat - Mengerti warna
jinjit dan segiempat kepada kebalikan - Memeprkirakan
berjalan aktivitas - Menghitung bentuk dan
dengan orang hari-hari besarnya benda,
tumit dewasa dalam membedakan
- Menari seminggu besar dan kecil

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Dipiro JT, Schwinghammer TL. Pharmacotherapy Handbook. Seventh Edition.


New York: McGraw-Hill Medical; 2011
2. World Health Organization. Obesity and Overweight [Internet]. [June 2016; 21
September 2017]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/.
3. Marcdante KJ, Kliegmann RM, Jenson HB, Behrman RE, Levine DA, et al.
Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi Keenam. Singapura: Elsevier;
2014.
4. World Health Organization. Report of the Commission on Ending Childhood
Obesity. Geneva: World Health Organization; 2016.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Diagnosis, Tata Laksana, dan Pencegahan Obesitas Pada Anak dan Remaja;
2014.
6. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak: Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan
Obesitas pada Anak Sekolah. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.
7. Kementrian Kesehatan RI. Bayi Gemuk, Lucu, tapi Belum Tentu Sehat
[Internet]. [20 Januari 2017; 21 September 2017]. Available from:
http://www.kemkes.go.id/development/site/dinas-kesehatan/index.php?cid=1-
17012300002&id=bayi-gendut-lucu-tapi-belum-tentu-sehat.
8. Pollock NK. Childhood Obesity, Bone Development, and Cardiometabolic Risk
Factors. Molecular Cell Endocrinology. 2015;410:52-63.
9. Africa JA, Newton KP, Schwimmer JB. Lifestyle Interventions Including
Nutrition, Exercise, And Supplements for Nonalcoholic Fatty Liver Disease In
Children. Dig Dis Sci. 2016;61(5):1375–86.
10. Morrison KM, Shin S, Tarnopolsky M, et al. Association of Depression and
Health Related Quality of Life with Body Composition In Children and Youth
with Obesity. Journal of Affective Disorders 2015;172:18–23.

35
11. Sartika RAD. Faktor Risiko Obesitas Pada Anak 5-15 Tahun Di Indonesia.
Makara, Kesehatan. 2011;15(1): 37-43.
12. Soetjiningsih, IG.N., Gde Ranuh. Tumbuh Kembang Anak. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2013.
13. Koyama S, Ichikawa G, Kojima M, Shimura N, Sairenchi T, Arisaka O.
Adiposity Rebound And The Development Of Metabolic Syndrome. Pediatrics.
2014;133:114-9.
14. Febry AB. Ilmu Gizi untuk Praktisi Kesehatan.Graha Ilmu. Yogyakarta; 2013.
15. Sugondo, S., Obesitas. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata,
M., Setiasti, S., editors. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi Kelima.
Jakarta: Acta Medica Indonesiana; 2009.
16. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Ninth Ed. Philadephia: Elsevier Saunders; 2015.
17. Güngör NK. Overweight and Obesity in Children and Adolescents. Journal of
Clinical Research in Pediatric Endocrinology. 2014; 6(3): 129-43.
18. Centers of Disease Control and Prevention. Growth Charts [Internet]. [30 May
2000; 21 September 2017]. Available from: http://www.cdc.gov/growthcharts.
19. World Health Organization. 10 Facts on Obesity [Internet]. [May 2017; 21
September 2017]. Available from:
http://www.who.int/features/factfiles/obesity/facts/en/index2.html.
20. Arini, Ni Putu Novi., dkk. 2015. Penerapan Metode Bercakap - Cakap
Berbantuan Media Kartu Gambar untuk Meningkatkan Kemampuan
Berbahasa Lisan pada Anak Usia Dini. E-journal PG PAUD Universitas
Pendidikan Ganesha. 2015; 3(1): 1-10.
21. Waugh RB, Markham DL, Kreipe RE, Walsh BT. Feeding and Eating Disorder
in Childhood. International Journal of Eating Disorders. 2010;1:1–14.
22. Chatoor I. Diagnosis and Treatment Oof Feeding Disorders Iin Infants,
Toddlers And Young Children. Washington: Zero to Three; 2009.
23. Nagrani DG. Penanganan Kesulitan Makan (Feeding Difficulty) pada Si Kecil
[Internet]. [31 Agustus 2017; 24 September 2017]. Available from:

36
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-anak/penangan-kesulitan-makan-
feeding-difficulty-pada-si-kecil.
24. Sjarif DR, Endang DL, Maria M, Sri SN. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan
Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2011. p.120-3,5-6.
25. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
26. Sabharwal S. Blount Disease: An Update. Orthopedic Clinics of North America.
2015; 37-47.
27. Birch JG. Review Article: Blount Disease. Journal of American Academy of
Orthopaedic Surgeons. 2013;21:408-18.
28. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal Systems.
Edisi 3. Jakarta: FKUI RSCM; 2008.
29. White, CD. Dix-Peek, S. Huyssteen, AL van. Hoffman, EB. Late-onset Blount`s
disease. Cape Town: SA Orthopaedic Journal; 2012. Vol. 11.
30. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2009.
31. World Health Organization. Physical Activity and Young People. [2011;
September 21, 2017]. Available from:
http://www.who.int/dietphysicalactivity/factsheet_young_people/en/.

37

Anda mungkin juga menyukai