Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………………….. I
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………..II
DAFTAR ISI………….…………………………………………………………………………..1
BAB I – PENDAHULUAN ……………………………………………………………………..2
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………...3
2.1Pengertian obat antipsikotik ……………..…………………………………………………...3
2.2. Pengertian Partisipasi ………………………………………………………………….……3
2.2.1. Antipsikotik generasi pertama ……..………………………………………………5
2.2.1.1. efek samping antipsikotik tipikal ………………………………………..7
2.2.2. Antipsikotik generasi kedua ……………………………………………………...15
2.2.2.1. Risperidone……………………………………………………………..17
2.2.2.2. Clozapine………………………………………………………………..18
2.2.2.3. Olanzapine………………………………………………………………20
2.2.2.4. Quetipine………………………………………………………………..21
2.2.2.5. Aripriprazole……………………………………………………………21
2.3. Interaksi Obat ……………………………………………………………………………..22
2.4. Cara Pemilihan Obat…………………..…………………………………………………...23
2.5. Pengaturan dosis..………………………………………………………………………….24
2.6. Lama Pemberian Terapi ……………………………………………………………………25
2.7. Penggunaan Parenteral……………………………………………………………………..25
BAB III – KESIMPULAN……………………………………………………………………..26
BAB IV – DAFTAR PUSTAKA…… ………………………………………………………….27

1
BAB I
PENDAHULUAN

Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin dalam berbagai
jaras di otak. Obat-obatan antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan
atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada reseptor
pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D-
2 receptor antagonist).1
Dopamine memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis. Berdasarkan penelitian
menggunakan amfetamin dan methamphetamine yang mengeksaserbasi delusi dan halusinasi pada
pasien skizofrenia didapatkan bahwa dopamine merupakan peranan penting dalam etiologi halusinasi dan
delusi tersebut. 1,2
Obat-obat antipsikotik tipikal merupakan antagonis reseptor dopamine sehingga menahan
terjadinya dopaminergik pada jalur mesolimbik dan mesokortikal. Blokade reseptor D dopamine
dapat memberikan efek samping sindrom ekstrapiramidal. 3,4
Sedangkan antipsikotik atipikal merupakan golongan yang selain berafinitas terhadap
Dopamine D-2 receptor juga berafinitas terhadap 5 HT2 Reseptor (Serotonin-
dopamine antagonist ). Secara signifikan tidak memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal
bila diberikan dalam dosis klinis yang efektif.3,4
Pemberian obat antipsikotik tipikal umumnya pada pasien dengan gejala posititf seperti
halusinasi, delusi, gangguan isi pikir dan waham. Sedangkan untuk pasien psikotik dengan gejala
negatif obat tipikal hanya memberikan sedikit perbaikan. Sehingga pemberian obat psikotik
atipikal lebih dianjurkan karena obat atipikal memiliki kemampuan untuk meningkatkan aktivitas
dopaminergik kortikal prefrontal sehingga dengan peningkatan aktivitas tersebut dapat
memperbaiki fungsi kognitif dan gejala negatif yang ada.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat Antipsikotik

Obat antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor


dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya. 3

Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama. Clozapine adalah
suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua obat karena memiliki aktivitas pada
reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini dinamakan sebagai neuroleptik dan transkuiliser mayor.
1
Istilah neuroleptik menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat.

2.2 Jenis-Jenis Antipsikotik 3

No Nama obat
1 Antipsikotik tipikal :
- Phenothiazine
 Rantai aliphatic : chlorpromazine
 Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine
 Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
2 Antipsikotik atipikal :
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole

3
Sediaan obat antipsikotik 4

No Nama obat Sediaan Dosis anjuran


1 Chlorpromazine Tab 25-100 mg 150-600mg/h
Amp 50mg/2cc 50-100 mg(im) setiap 4-6 jam
Anak anak >5 tahun ½ dosis orang
dewasa, anak anak < 5 tahun 1
mg/kgBB . bila perlu diberikan 2x
sehari.

2 Haloperidol Tab 0,5-1,5 mg- 5 mg 5-15 mg/h


Amp 5mg/cc 5-10mg(im) setiap 4-6 jam
Amp 50mg/cc 50 mg (im) setiap 2-4 minggu
3 Perphenazine Tab 2-4-8 mg 12-24 mg/h
4 Fluphenazine Tab 2,5-5 mg 10-15 mg/h
Vial 25 mg/cc 25 mg(im) setiap 2-4 minggu
5 Trifluoperazine Tab 1-5 mg 10-15 mg/h
6 Thioridazine Tab 50-100 mg 150-300 mg/h
7 Sulpiride Amp 100mg/2cc 3-6 amp/h
Tab 200 mg 300-600mg/h
8 Pimozide Tab 4 mg 2-4 mg/h
9 Risperidone Tab 1-2-3 mg 2-6 mg/h
Vial 25 mg/cc 25-50 mg(im) setiap 2 minggu
Vial 50 mg/cc
10 Clozapine Tab 25-100 mg 25-100mg/h
11 Quetiapine Tab 25-100 mg 50-400 mg
200 mg
12 Olanzapine Tab 5-10mg 10-20 mg/h
13 Zotepine Tab 25-50 mg 75-100 mg/h
14 Aripiprazole Tab 10-15 mg 10-15 mg/h

4
2.2.1 ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA (APG I)

Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan dalam dua kelompok
besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi kedua (APG II).
Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di
mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor
Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal.Dapat menurunkan gejala positif
hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala negative.1,5

Mekanisme kerja : Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade


dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem
ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala positif.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal
dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini terutama berakhir pada region striata
ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi
produksi dopamin yang berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine.
Neuron-neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan serabut-
serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari sistem limbik, khususnya
ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua
ini merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan
antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang berlebihan. Potensi
antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat berhubungan dengan afinitas obat tersebut
dengan reseptor D2. Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan
dengan cara menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.5,8

Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di


mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan antagonis reseptor
dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja dari antipsikotik ini menurunkan
hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi
ternyata tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,5,8
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal, dapat memperberat
gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini

5
terjadi, maka merupakan sebuah tantangan terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini
secara teoritis akan menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.5,8
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya gangguan dalam
mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik dapat menyebabkan gangguan
pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal, mengontrol movements atau pergerakan.2,8
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal menyebabkan
peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkat berat badan.
Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita
postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.2,8
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada keempat jalur
dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga timbul
efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif
tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan
meningkatkan berat bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic, mengantuk,
pusing, dan tekanan darah menurun.2,8

6
10

Kerugian pemberian APG I:

1. Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia


2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
3. Peningkatan kadar prolaktin
4. Sering menyebabkan terjadinya kekambuhan

2.2.1.1. Efek samping antipsikotik tipikal


Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine ternyata memberi
efek merugikan pada neurologis dan endokrinologi. Selain itu, berbagai antipsikotik juga
menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan histaminergik jadi menyebabkan
bervariasinya sifat efek merugikan yang ditemukan pada obat-obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek samping baik
endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat memanifestasikan dirinya sebagai
galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya,

7
penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari semua
efek samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup pasien dan
keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .1,2,3

A. Efek Samping Non neurologis1,5,8

1. Efek pada jantung


Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan dengan
antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan perpanjangan interval QT dan PR,
penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek
yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes
yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan karena timbulnya
takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk mengantisipasi hal tersebut sebaiknya

8
pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian
serum potassium dan magnesium.1
2. Hipotensi ortostatik (postural)
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic yang paling
sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya chlorpromazine dan
thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki toleransi
yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya
kemungkinan pasien terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM), tekanan darah
pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam beberapa hari
pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan
sangat membantu pasien sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada
pasien yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan membaringkan
pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi volume dengan cairan sangat
membantu. Pemberian epinefrin dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi.
Metaraminol dan norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih.
Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak menghambat
adrenergic.1,5,8
3. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian
antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hamper semua antipsikotik
adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan
penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-
lesi di tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan kasus, gejala
ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang mempengaruhi
sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan insidensi
sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik. Jika pasien melaporkan adanya
suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus segera dilakukan untuk
memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik
harus segera dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. Purpura

9
trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang dapat terjadi pada pasien
yang diobati dengan antipsikotik. 1

4. Efek Antikolinergik Perifer


Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan, terdiri dari mulut dan hidung kering,
hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan midriasis. Beberapa pasien
juga mengalami mual dan muntah. Obat antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine,
thioridazine, dan trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten.
Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan dapat
mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya dengan
air dan tidak mengunyah permen karet atau permen yang mengandung gula, karena hal
tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi.
Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta preparat
laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi ileus paralitik. Pada kasus
tersebut diperlukan penurunan dosis atau penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik.
Pilocarpine mungkin berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin. 1,5,8

5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan
peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara, galaktorea,
impotensi pada laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme pada wanita. Untuk
mengatasi efek samping tersebut dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang
diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk
gangguan pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine
(bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione, dan imipramin
(tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua hal
tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga
merupakan efek endokrin yang paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal.
Peningkatan berat badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan
dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didaptkan karena adanya blok pada reseptor 5
HT2c1,5,8.

10
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling
sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya
chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi
edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama
dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai proses terbakar
matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa pasien yang menggunakan
chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada
dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya.
Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit
pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1
7. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan dalam
dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang berupa
kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi
dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat
reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai
oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea posterior
yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit
dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir
tidak mempengaruhi penglihatan pasien. 5,8
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang terjadi
dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan pertama terapi dan
ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam,
bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati.
Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan terjadi pada
penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi pada fluphenazine dan
trifluoperazine. 3

11
9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan
reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah delirium,
koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus termasuk
pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat
dipertimbangkan. Terapi kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga
merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal.1

B. Efek Samping Neurologis


Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan
beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis tersebut dikenal
sebagai efek sindrom ekstrapiramidal. Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat
terapi dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok
tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi. 1,2

1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik


Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang diobati
dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal terapi. Gejala-gejala
yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi
gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes.
Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang terjadi, tetapi tremor
yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor esensial mungkin ditemukan dan dinamakan
sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme
adalah reflek ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis
mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan
ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif),
dan ataraksia (kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang
sering didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada skizofrenia. 1,3,8
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik
adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia lebih dari 40
tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat

12
potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang rendah.Penghambatan transmisi
dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme akibat
neuroleptik. 1
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat
antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus dihentikan setelah 4-
6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek
parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat
meneruskan terapi.Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan
karena akan memperbuuk gejala psikotiknya.1,3,8
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala parkinsonisme dapat
terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3 bulan sehingga perlu meneruskan
pemberian antikolinergik setelah menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme
pulih sepenuhnya. 1

2. Distonia Akut akibat Neuroleptik


Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik tipikal
mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam atau 90% pada
tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang
perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat
mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang
menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan
tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis okulorigik, ditandai oleh
gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe distonia lainnya, krisis okulorigik dapat
terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia lain berupa blefarospasme dan distonia
glosofaringeal menyebabkan diartria, disfagia, dan kesulitan bernapas yang dapat
menyebabkan sianosis. 1,2
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi paling
sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua antipsikotik dan paling
sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan
merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar
antipsikotik dalam SSP mulai menurun diantara pemberian dosis. 1,3,8

13
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah
berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi
dengan antikolinergik IM atau diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu
menghilangkan gejala. Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate
dan hipnosis dilaporkan juga efektif. 1,3
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat
terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik.Hal ini dapat terjadi karena reaksi
idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada long acting.1
Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme,
obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan
kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung sel
darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-
kadang disertai dengan gagal ginjal. 1,3
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan suprotif dan
berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100 mg/h atau
amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan lain, pengobatan dengan datrolene juga efektif
dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral dengan
dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30 mg/hari dalam 4x
pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada penanganan SNM membaik maka
pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan kembali.1,3
4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan peningkatan
sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik menurunkan
ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain diperkirakan lebih
epileptogenik dibandingkan obat potensi tinggi. 1,3,5
5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-1.
Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi. Memberikan dosis
antipsikotik harian sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi
untuk efek merugikan tersebut dapat terjadi. 1,2

14
6. Efek Antikolinergik Sentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi terhadap waktu,
orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor dan koma dapat
timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah pertama menghentikan obat penyebab dan
pemberian anticholinergic agents seperti injeksi sulfas atropine 0,25 mg(im), tablet
trihexyphenidyl 3x2mg/hari. Hal ini juga dapat terjadi bila pengehntian mendadak dari
antipsikotik. 1,3

2.2. 2 ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)

APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau antipsikotik
atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antara serotonin dan dopamin pada
ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sanagat
efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya
dapat memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin
(5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone,
olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik ziprasidone belum
tersedia di Indonesia. 1,3,6

Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:

11

15
1. Mesokortikal Pathways

Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade terhadap


antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin pathways sehingga terjadi
keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG II lebih berpengaruh
banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan
dopamin yand dilepas menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini
menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.

APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena di
jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan APG II lebih
banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya
dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal
berkurang sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.1,6,8

2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2 di
jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade reseptor D2 di
mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan APG II dapat
memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin akan menghambat
pelepasan dari dopamin.1,6
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat mengalahkan antagonis
reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin sifatnya antagonis dan
resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan
prolaktin, sedangkan serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis
terapi akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat. Ini
mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.1,6
4. Nigrostriatal Pathways

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:

16
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis terapi
sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk gejala
negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk
pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.1,6

Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:

First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole

Second line: Clozapine.

Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping yang minimal
juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan
dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat antipsikotik.

Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas hidup
penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam masyarakat.3

2.2.2.1 RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug
Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Absorpsi risperidone di usus tidak di
pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi
dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan
dan menurunkan jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan.1
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I tetapi hasil
pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat memperbaiki fungsi kognitif tidak
hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi 9-
hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4. Hydroxyrisperiodne mempunyai
potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang setara dengan risperidone. Eksresi terutama
melalui urin. Metabolisme risperiodne dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine,
karena antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada

17
pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk meminimalkan
timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini dipercepat bila diberikan bersamaan
carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada
pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah.
1,3,7

Indikasi :
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).1,8

Dosis :
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal 2- 6 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Dosis anjuran 25-50mg (im) setiap 2 minggu.
- Sediannya tab 1-2-3 mg. vial 25 mg, 50 mg/cc
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum terlihat
respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.1,3

Efek samping: 1,3


- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea, disfungsi
seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
2.2.2.2 CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS, tidak
menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari prolaktin. Clozapine

18
merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil
farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap
psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat
mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak, yang
berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda dari dopamin
neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal neatness).
Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada
minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat
selam pengobatan.1,3
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian
per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam setelah pemberian obat, dengan waktu
paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam) sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari.
Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas
dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga cenderung rendah
untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8
Dosis :1,3
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan pemberian terbagi.
- Dosis maksimal 150-600 mg / hari.
- Sediaan tablet 25 mg dan 100 mg

Efek samping : 1,3


- Granulositopeni, agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia, leukositosis, leukemia.
- Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
- Mulut kering atau hipersalivasi, penglihatan kabur, takikardi, postural hipotensi, hipertensi.

Kontra indikasi :
- Ada riwayat toksik/hipersensitif.
- Gangguan fungsi Sumsum tulang.
- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.

19
- Koma.
- Depresi SSP.
- Ganguan jantung dan ginjal berat.
- Gangguan liver.

2.2.2.3 OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan
Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak olanzapine
dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada pemberian intramuskular dapat
dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31 jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian
cukup 1 kali sehari. 1,3
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai afinitas yang
kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin (5HT2A/2c), Histamin (H1) dan α1 adrenergik.
Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan
lemah dengan reseptor GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di
sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang merokok
dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine atau antibiotik
ciprofloxacin. 1
Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar sehingga dosis
tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek pada EPS Olanzapine juga agonis
pada 5HT1a sehingga baik untuk antianxietas dan antidepresi. 1

Indikasi :1,3
- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.

Dosis :1,3
- Dosis anjuran 10-20mg/ hari.
- Sedian tablet 5-10mg
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.

20
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.

Efek samping:
- Penigkatan berat badan
- Somnolen
- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor α1
- EPS dan kejang rendah
- Insiden tardive dyskinesia rendah

2.2.2.4 QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A), reseptor dopamin
(D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan α2. Afinitasnya lemah pada reseptor
muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin. Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita
usia lanjut, sehinga perlu penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50% pada
penderita yang mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat, carbamazepin dan
antijamur ketokonazole.1,2,3
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood. Dapat juga
memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama tetapi hasilnya tidak
sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada pasien pertama kali mendapat
quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi
postural.Waktu untuk konsentrasi penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu paruh
berkisar 3-5 jam, setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1
Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan 300mg tablet XR
(50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi
postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi. 1,3

2.2.2.5 ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor D2 dan
reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT2A. Aripiprazole bekerja
sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada
keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole

21
afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin dan
berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole dapat
menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin. 3,7,8
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan CYP 3A4,
menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip dengan aripiprazole pada
reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar
antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai
konsentrasi plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya
diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai keluhan dispepsia, mual dan
muntah.3,7

Indikasi : Skizofrenia.

Dosis : dosis anjuran 10—15mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg). Pemberuannya
dapat 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.
2.3 Interaksi Obat
 Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensi efek samping obat dan tidak ada bukti lebih
efektif (tidak ada sinergis antara 2 obat anti-psikosis). Misalnya, Chlorpromazine +
Reserpine = potensiasi efek hipotensif.3
 Antipsikosis + Antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat (hati-hati
pada pasien dengna hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung).3
 Antipsikosis + anti-anxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan
gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive therapy).3
 Antispikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada pagi hari
sebelum ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas yang tinggi.3

22
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan kejang
meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-related). Yang
paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis Haloperidol.3
 Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antu-psikosis menurun disebabkan gangguan
absorpsi.3

2.4 Cara Pemilihan Obat


 Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama
pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping ; sedasi,
otonomik, ekstrapiramidal). 3

Anti-psikosis Mg. Eq Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks.Pir.


Chlopromazine 100 150 - 1600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 - 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 - 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 - 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 - 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 - 100 + + ++++
Pimozide 2 2 - 6 + + ++
Clozapine 25 25 - 200 ++++ + -
Zotepine 50 75 - 100 + + +
Sulpiride 200 200 - 1600 + + +
Risperidone 2 2 - 9 + + +
Quetiapine 100 50 - 400 + + +
Olanzapine 10 10 - 20 + + +
Aripiprazole 10 10 - 20 + + +

 Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.3
 Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah
optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lain
23
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek
samping belum tentu sama.
 Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat anti-psikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek samping-nya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
 Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih
menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada
pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis – atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya
pada penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau
mempunyai risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal (neuroleptic induced
medical complication).3

2.5 Pengaturan Dosis3


Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan :
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
 Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
 Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping (dosis
pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup
pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari 
sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom Psikosis)  dievaluasi
setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan  “dosis optimal”  dipertahankan sekitar 8-
12 minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu  “dosis maintenance” 
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu) 
tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)  stop.

2.6 Lama Pemberian Terapi3


Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang cukup lama
ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.

24
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis
terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan
setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom Psikosis kambuh
kembali.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk “Psikosis Reaktif
Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu –
2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic Rebound” : gangguan
lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan
pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im), tablet Trihexyphenidyl
3x 2 mg/h). Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson.

2.6 Penggunaan Parenteral


Obat anti-psikosis “long acting” (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau Haloperidol
Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau
sulit teratur makan obat atau apapun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Sebaiknya sebelum
penggunaan parenteral diberikan secara oral lebih dahulu beberapa minggu untuk melihat apakah
terdapat efek hipersensitivitas. Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pad bulan pertama
kemudian bau ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan. Pemberian obat anti psikosis “long acting”
hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus
Skizofrenia. 15 – 25 % kasus menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping
ektrapiramidal.

25
BAB III

KESIMPULAN

Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor


dopamine tipe 2 (D2).

Efek samping yang sering ditimbulkan pada pemakaian antipsikotik tipikal seperti :
gangguan pergerakan seperti distonia, tremor, bradikinesia, akatisia, koreoatetosis, anhedonia,
sedasi, peningkatan berat badan yang sedang, disregulasi tempertur, hiperprolaktinemia, dengan
galaktorea dan amenorea pada wanita dan ginekomastia pada pria, serta disfungsi seksual pada
pria dan wanita, hipotensi postural (ortostatik), interval QT memanjang, risiko terjadi fatal aritmia.

Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal seperti: gangguan
pergerakan yang sedang, sedasi, hiperkolesterolemia, peningkatan berat badan sedang sampai
berat, hipotensi postural, hiperprolaktinemia, kejang.

26
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua.
Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12. Skizofrenia; p. 173-
95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry : Behavioral
sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and
WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta :
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Penggolongan obat psikotropik;
p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta :
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Obat antipsikosis; p.14-22.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-47.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine Antagonism;p.50-62.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how individual
atypical antipsychotic differ;p.63-96.
8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and their
treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic disorders; p.260-89.
9. Psychopharmacology Institute. First Generation of Antipsychotic. Accessed on : 3
November 2014. Available at :
http://psychopharmacologyinstitute.com/antipsychotics/first-generation-antipsychotics/
10. Medlibes online medical library. Dopamine Pathways. Accessed on : 3 November
2014.Available at : http://medlibes.com/entry/dopamine-pathways

27
11. Episodes Self-Negotiated Unit: Side Effects of Atypical Antipsychotic Drugs..Accessed on
3 November 2014.Available at : http://followpics.co/episodes-self-negotiated-unit-side-
effects-of-atypical-antipsychotic-drugs

28
29

Anda mungkin juga menyukai