Anda di halaman 1dari 3

Eyang Menado dari Kuningan

Oleh Prof. Dr. NINA H. LUBIS, M.S.i


https://lemburkuring2007.wordpress.com/2007/06/16/eyang-hasan-maolani/

HINGGA 2006, jumlah pahlawan nasional bangsa Indonesia baru 136 orang. Hanya delapan
orang yang berasal dari kalangan ulama, 2 orang di antaranya berasal dari Jawa Barat, yaitu K.H.
Zaenal Mustofa dari Singaparna (Kabupaten Tasikmalaya), dan K.H. Noer Alie dari Kabupaten
Bekasi.

Apakah ini berarti ulama kurang berperan dalam perjuangan meraih kemerdekaan? Agaknya
bukan itu penyebabnya, namun peran para ulama, para kiai belum banyak digali para peneliti. Di
Jawa Barat, ada banyak kiai, ulama yang berjuang sejak abad ke-19 hingga masa perang
kemerdekaan

Dalam menghadapi pengaruh penetrasi Barat satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah
melakukan gerakan sosial sebagai bentuk protes sosial. Demikian juga yang terjadi di berbagai
tempat di Tatar Sunda, termasuk di Kabupaten Kuningan. Gerakan sosial yang terjadi di daerah
ini dilakukan oleh Kiai Haji Hasan Maolani (1779-1874) dari Desa Lengkong. Masyarakat
mengenalnya sebagai “Eyang Menado” karena ia diasingkan ke Menado (meskipun
sesungguhnya diasingkan ke Tondano, sebelah selatan Menado), selama 32 tahun hingga
meninggal dunia di sana.

Sumber-sumber yang memberitakan adanya gerakan ini sangat terbatas. Pertama sekali
dilaporkan dalam Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 (Exhibitum, 31 Januari
1851, no. 27). Kemudian disebutkan pula dalam tulisan E. de Waal, yang berjudul Onze Indische
Financien, 1876, secara sangat singkat. Selanjutnya, diuraikan cukup panjang, dalam disertasi
D.W.J. Drewes, yang berjudul Drie Javaansche Goeroe’s (1925).

Baru tahun 1975 A. Tisnawerdaya, menulis biografi ringkas Kiai Hasan Maolani. Hingga
sekarang masih ada peninggalan K.H. Hasan Maolani, berupa bangunan rumah panggung
berdinding anyaman bambu dan benda-benda milik pribadi. Selain itu, masih ada tinggalan
berupa naskah yang ditulis di atas kertas dengan tinta hitam dan merah. Naskah berjudul Fathul
Qorib, ini ditulis dalam huruf Arab pegon, berbahasa Jawa campur Sunda. Peninggalan berharga
lainnya adalah kumpulan surat-surat yang dikirim Kiai Hasan dari pengasingannya.

Silsilah

K.H. Hasan Maolani dilahirkan pada 1199 Hijriah atau 1779 Masehi di Desa Lengkong,
sekarang termasuk Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan. Menurut silsilahnya, Kiai
Hasan Maolani, memiliki leluhur hingga kepada Sunan Gunung Jati. Ketika Hasan Maolani
dilahirkan, Panembahan Dako, seorang kiai yang makamnya banyak diziarahi orang karena
kekeramatannya, mengatakan bahwa anak ini benar-benar cakap dan memiliki “bulu kenabian”.
Maksudnya, memiliki tanda-tanda akan menjadi ulama. Sejak kecil anak ini dikenal memiliki
sifat-sifat yang baik. Hatinya lembut berbudi luhur, sayang kepada sesama makhluk, termasuk
binatang. Sejak kecil, Hasan Maolani suka menyepi (uzlah) di tempat-tempat yang jarang
dikunjungi orang, setelah dewasa ia sering menyepi di Gunung Ciremai.

Hasan mula-mula menimba ilmu di Pesantren Embah Padang. Setelah itu, ia menimba ilmu di
Pesantren Kedung Rajagaluh (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin, Cirebon. Selain itu,
Hasan masih belajar lagi di beberapa pesantren lain. Setelah dewasa, Hasan Maolani, belajar
tarekat: Satariyah, Qodariyah, Naksabandiyah, dst. Namun, akhirnya Hasan Maolani menganut
tarekat Satariyah. Sekembali dari berguru di beberapa pesantren, Hasan Maolani kembali ke
desa asalnya di Lengkong dan membuka pesantren.
Kiai keramat

Sejak ia membuka pesantren, berduyun-duyun orang yang datang ingin menjadi santrinya.
Jumlah santri yang mondok cukup banyak hingga 40 pondok yang disediakan tidak mampu
menampungnya. Selain itu, makin hari makin banyak orang datang kepada K.H. Hasan Maolani
untuk berbagai keperluan, mulai dari berobat hingga meminta tolong untuk menyelesaikan
berbagai persoalan hidup. Tentu saja, adanya orang berkumpul setiap hari, dalam jumlah banyak
mengundang kecurigaan pemerintah kolonial, yang baru saja usai menghadapi Perang
Diponegoro (1825-1830).

Salah satu ajaran Kiai Hasan Maolani, yang penting dan dianggap membahayakan pemerintah
kolonial adalah tentang “jihad”. Ajaran yang ditulisnya dalam Fathul Qorib demikian: “Jika
sekiranya para orang kafir memasuki negeri Muslimin atau mereka bertempat yang dekat
letaknya dengan negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah
fardlu ain bagi kaum Muslimin. Wajib bagi ahli negeri itu untuk menolak (menghalau) para
orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk menolak.”

Jelas, bahwa Kiai Hasan Maolani memiliki kesadaran bahwa negerinya sedang dijajah.
Kesadaran ini disampaikan kepada masyarakat, yang datang maupun yang jauh melalui surat-
suratnya. Perang Diponegoro menyisakan pelajaran bagi pemerintah kolonial untuk segera
meredam ajaran-ajaran yang dianggap membangkitkan kesadaran rakyat untuk menentang orang
kafir (dalam hal ini pemerintah jajahan). Itulah sebabnya, pemerintah kolonial melalui kaki
tangannya di Kabupaten Kuningan segera melancarkan tudingan bahwa Kiai Hasan Maolani
dituduh menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan syariah, menghasut rakyat untuk
melakukan perlawanan.

Padahal, ajaran-ajarannya seperti yang disebutkan di atas, tidak ada yang tidak sesuai dengan
syariah. Dalam hal ini, kita bisa menduga apa motif pemerintah kolonial dalam melancarkan
tuduhan kepada Kiai Hasan, tidak lain hanya untuk menjatuhkan nama Kiai Hasan di mata
masyarakat pribumi dan mencari-cari kesalahannya.

Residen Priangan setelah mendapat informasi mengenai surat edaran dan akibat yang
ditimbulkannya, segera mengirim surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia, menyampaikan
usul agar kerusuhan itu harus diselidiki di Lengkong, Kabupaten Kuningan (Cirebon).

Pengaruh Kiai Hasan Maolani semakin mendalam di kalangan penduduk, bahkan sampai
merembet kepada para pemimpin pribumi. Hal ini dijadikan alasan oleh residen untuk
menangkap Kiai Hasan. Residen Priangan menulis surat ke Batavia yang menyatakan bahwa
rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Kiai Hasan Maolani daripada kepada Bupati
Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Kiai Hasan akan melawan “gubernemen”
(pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam.

Kiai Hasan Maolani yang sederhana itu dengan kata-katanya yang dibuat sedemikian rupa,
hingga dipandang sebagai orang yang mempunyai kekuatan luar biasa dan dilebihkan dari
keistimewaan ulama lainnya, sungguh membahayakan masyarakat serta mengganggu
ketenteraman jika kepentingan kiai tersebut mendapat angin. Pada bagian akhir suratnya,
Residen Priangan menulis kata-kata “Saya berharap bahwa Paduka Yang Mulia akan mendapat
alasan, juga dengan laporan yang telah diberikan oleh para bupati. mengenai orang tersebut,
untuk mengasingkan Kiai Lengkong dari Pulau Jawa.”

Diasingkan ke Tondano

Melihat gerakan Kiai Hasan Maolani, yang semakin hari dianggap semakin berbahaya,
pemerintah kolonial akhirnya mengambil tindakan Kiai Hasan harus ditangkap. Dalam catatan
keluarga, Kiai Hasan Maolani dibawa oleh petugas pemerintah kolonial, pada Hari Kamis,
tanggal 12 Sapar 1257 H (1837 Masehi) waktu asar. Dikatakan bahwa kiai akan dibawa
menghadap kepada Residen Cirebon untuk dimintai keterangan. Namun ternyata, Kiai Hasan
tidak pernah kembali. Ia ditahan di Cirebon.

Ternyata setelah berada dalam tahanan di Cirebon, para murid, santri, dan masyarakat umum
datang berduyun-duyun tiap hari menjenguk Kiai Hasan Maolani. Hal ini membuat pemerintah
kolonial kewalahan. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memindahkan Kiai Hasan ke Batavia
dengan diangkut kapal laut. Di Batavia, Kiai Hasan Maolani tetap saja mendapat kunjungan para
murid dan santrinya dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, setelah ditahan
selama 9 bulan di Batavia, diambil tindakan lain: Dengan surat keputusan tanggal 6 Juni 1842,
Kiai Hasan Maolani diasingkan ke Menado dengan status sebagai tahanan negara.

Kiai Hasan ternyata dibawa terlebih dahulu ke Ternate, dari sini kemudian dibawa ke Kaema.
Seratus hari kemudian, ia dipindahkan ke Tondano. Di sini Kiai Hasan tinggal di Kampung Jawa
bersama pasukan Kiai Mojo (panglima pasukan Diponegoro) yang diasingkan dari Jawa Tengah.

Pengasingan

Ternyata selama di pengasingan, Kiai Hasan Maolani tidak tinggal diam. Di Kampung Jawa, ia
mengajar bekas pasukan Diponegoro yang ingin mendalami agama Islam. Lama-kelamaan,
makin banyak muridnya, termasuk orang sekitar. Banyak orang yang tadinya non-Islam berhasil
diislamkan. Akhirnya, Kiai Hasan membuka pesantren, yang dikenal sebagai “Pesantren Rama
Kiai Lengkong”. Semakin lama namanya tambah terkenal bukan karena kekeramatannya, namun
juga karena ajarannya yang mudah dimengerti. Kiai Hasan juga menaruh perhatian besar
terhadap pengembangan pertanian dan perikanan sebagaimana dilakukannya di Desa Lengkong
dahulu.

Putra kiai yang bernama Mohamad Hakim pernah mengajukan suatu permohonan kepada
pemerintah agar ayahnya dikembalikan dari tempat pengasingannya. Namun, Residen Priangan
yang dimintai pendapatnya tentang hal ini tetap berpegang pada pendiriannya. Ia tidak mau
mengambil risiko dengan mengatakan bahwa seorang yang diasingkan belum tentu akan jera
dengan hukuman yang ditimpakan kepadanya.

Kemudian keempat orang putranya kembali mengajukan permohonan kepada pemerintah pada
bulan Desember 1868, yang isinya menyatakan bahwa ayah mereka yang sudah berusia 90 tahun
itu supaya dikembalikan ke Jawa. Semua permintaan ini ditolak karena Kiai Hasan dianggap
terlalu berbahaya meskipun sudah diasingkan, pengaruhnya masih terasa. Para murid, santri, dan
rakyat tetap menjalankan anjuran-anjurannya baik dalam beribadah ritual maupun ibadah sosial.
Untuk ketiga kalinya, salah seorang putra Kiai Hasan Maolani mengajukan permohonan untuk
menengok ayahnya di Menado. Semula Residen Cirebon menolak permohonan itu, tetapi setelah
mendapat saran dari gubernur jenderal, barulah putra kiai yang bernama Kiai Absori diizinkan
menengoknya ke Menado.

Pada tanggal 29 April 1874 Kiai Hasan Maolani meninggal dunia dan dimakamkan di Kompleks
Pemakaman Kiai Mojo di Tondano. Kiai Hasan diasingkan begitu lama, namun namanya tetap
melekat di hati rakyat Kuningan. Orang mengenangnya sebagai “Eyang Menado”. Makamnya
banyak diziarahi orang, baik orang Kuningan maupun masyarakat setempat. Namun, yang perlu
dilakukan sekarang adalah bagaimana kita memberikan penghargaan atas perjuangannya.
Rasanya bukan hanya masyarakat Kuningan yang setuju agar K.H. Hasan Maolani diangkat
sebagai pahlawan nasional. Semoga.***

Penulis, guru besar ilmu sejarah Universitas Padjadjaran Bandung.


Sumber : HU. Pikiran Rakyat

Anda mungkin juga menyukai