Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan
pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatrik pada lanjut usia.
Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik, analaog dengan
psikiatrik anak (Brocklehurts, Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut
usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam manisfestasi
klinis, pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara pathogenesis dewasa muda dan
lanjut usia (Weinberg, 1995; Kolb-Brodie, 1982). Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga
perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis penyerta,
pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif
(Weinberg, 1995; Gunadi, 1984).
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu mulai dipertimbangkan
adanya pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang cukup besar. Bangsal akut, kronis dan day
hospital, merupakan tiga layanan yang mungkin harus sudah mulai difikirkan (Brocklehurts,
Allen, 1987). Tentang bagaimana kerjasama antara bidang psikogeriatrik dan geriatrik dapat
dilihat pada bab mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.

1.2. TUJUAN PENULISAN


Penulisan makalah bertujuan agar pembaca mengetahui dan memahami Askep psikologi
pada lansia.Untuk para perawat agar dapat mengaplikasikan pengetahuan yang didapat kedalam
praktek lapangan.

1.3. METODE PENULISAN


Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode kepustakaan dan Browsing
Internet.

1.4. SISTEMATIKA PENULISAN


Sistematika penulisan yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III ASKEP
BAB IVPENUTUP.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Teori Lansia
2.1.1. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.

2.1.2. Proses Menua


Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho,
1992). Tiga tahapan ini berbeda baik secara biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa
tua berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai
dengan kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan menurun,
gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat.

2.2. Teori Kejiwaan Lansia


2.2.1. Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori
ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia
pertengahan ke lanjut usia.
2.2.2. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan
gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada
seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti yang dimiliki.
2.2.3 Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-
angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi
sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi
kehilangan ganda (triple loss), yakni:
• Kehilangan Peran
• Hambatan Kontak Sosial
• Berkurangnya Kontak Komitmen

2.3. Teori Psikologi


Spikology adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik
sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut
berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang
tidak disadari.( Muhibbin Syah (2001)

2.3.1. Teori Tugas Perkembangan


Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua antara lain
adalah:
a. Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas perkembangan yang spesifik yang dapat
muncul sebagai akibat tuntutan:
a. Kematangan fisik
b. Harapan dan kebudayaan masyarakat
c. Nilai-nilai pribadi individu dan aspirasi
Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan yang memotivasi
seluruh perilaku manusia (Maslow 1954).

2.3.2. Teori Individual Jung


Carl Jung (1960) menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian dari seluruh fase
kehidupan yaitu mulai dari masa kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda, usia
pertengahan sampai lansia. Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran seorang dan
ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau
kearah subyektif. Pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara
kekuatan ini dapat dilihat pada setiap individu dan merupakan hal yang paling penting bagi
kesehatan mental.

2.3.3. Teori Delapan Tingkat Kehidupan


Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat adanya kondisi dimana
kondisi psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan tertentu. Ericson (1950) yang telah
mengidentifikasi tahap perubahan psikologis (delapan tingkat kehidupan) menyatakan bahwa
pada usia tua, tugas perkembangan yang harus dijalani adalah untuk mencapai keeseimbangan
hidup atau timbulnya perasaan putus asa. Peck (1968) menguraikan lebih lanjut tentang teori
perkembangan Erikson dengan mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri dapat dipilih
dalam tiga tingkat yaitu : pada perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, perubahan
tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego terhadap ego preokupasi.
Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas perkembangan
yang harus dijalani oleh lansia adalah menerima identitas diri sebagai orang tua dan
mendapatkan dukungan yang adekuat dari lingkungan untuk menghadapi adanya peran baru
sebagai orang tua (preokupasi). Adanya pensiun dan atau pelepasan pekerjaan merupakan hal
yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan
penurunan harga diri dari orang tua tersebut.

2.4 Faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia. Faktor-faktor
tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka
dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi
kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:

1. Penurunan Kondisi Fisik


Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik
yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji
menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi
fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda.
Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun
sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu
menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga
mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya.
Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan,
tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.

2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual


Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan
berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes
millitus, vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena
pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu,
seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :


 Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
 Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya.
 Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
 Pasangan hidup telah meninggal.
 Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya
cemas, depresi, pikun dsb.

3. Perubahan Aspek Psikososial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman,
pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi
makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia
menjadi kurang cekatan.

Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:

1. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak
mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang
dapat memberikan otonomi pada dirinya.
3. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat
dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa
lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan
akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia
tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-
marit.
5. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat
sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah
dirinya.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan
pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia?
Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki
jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun
negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu
kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan
pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan
hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-
masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah
minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan
setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya
memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha
sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga
menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya,
masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia
tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur,
penghasilan berkurang dan sebagainya.

5. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat


Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya
maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya
menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga
sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka
melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan
orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung
diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila
ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki
keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu
memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak
punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun
tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar.
2.5. Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi pada lansia
2.5.1. Depresi
2.5.1.1. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh
diri (Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang
berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri
atau perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan
depresi merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan bunuh
diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah,
rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii (1996;,
depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan
kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa. Depresi
adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 1998).
2.5.1.2. Tanda Dan Gejala Depresi
Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi beberapa aspek
seperti:
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah,
ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan,
insom¬nia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat
badan.
3. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi,
menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri,
pesimis, ketidakpastian.

4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah
tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial,
mudah menangis, dan menarik diri.

Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:


1. Depresi Ringan
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

2. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis

3. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang
nyata sesu¬dah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur terganggu
i) Disertai waham, halusinasi
j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu

2.5.1.3. Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia


Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di diagnosis salah
atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi praktik dokter umum adalah
mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak
memfokuskan pada keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi
(Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini,
mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamrkan atau tersamarkan oleh gangguan
fisik lainnya (masked depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang tua, penyangkalan
pengabaian terhadap proses penuaan normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak
tertanganinya gangguan ini. Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya
keluhan tidak merasa berharga, sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa
kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan pemilihan diri yang
kurang bahkan penelantaran diri (Wash, 1997).

Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :


1. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang menunjukkan gejala depresi.
Pertama, individu yang mengalami depresi memiliki self-esteem yang sangat rendah. Mereka
berpikir tidak adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa
bersalah terhadap kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi
masalah dan segala sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan terhadap dirinya
(self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani
hidupnya, selalu meminta bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak
ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-besarkan masalah dan selalu pesimistik menghadapi
masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat, performance intelektualnya berkurang.
Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa, kehilangan
semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang
mengalami depresi menggambarkan dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat
terjangkau dan tidak dapat keluar dari sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti pola tidur
yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan seksual yang berkurang.
Lansia lebih rentan terhadap penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena
aging proces juga karena orang yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang
kurang (Schleifer et all, 1984 ; Samiun, 2006).
4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor. Sering
duduk dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar
dan sering menghentikan pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup
untuk menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all
(2004) gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur (sleep)
pada lansia yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa
tidur lagi, penurunan minat dan aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty),
merasa cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan proses pikir
(concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan lamban dan sering duduk terkulai
(psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly)

2.5.1.4. Penyebab Depresi


Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat
keluarga dan keturunan.
2. Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan
marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
3. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda
atau yang sangat berarti.
4. Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan harga
diri rendah mempe ngaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor.
5. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di dominasi
oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan masa depan
seseorang.
6. Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan
semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai
kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon
yang tidak adaptif.
7. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab depresi
terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi,
termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik
dalam irama biologis.

B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi )
menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang,
fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode
depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi,
terutama pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti
infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam
perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat
yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga
sering disertai depresi.
Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi
(teori biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri
dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).

2.5.1.5. Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia


Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health) yang serius
dan kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi juga faktor lain yang saling terkait.
Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada lansia harus dengan multiple approach. Menurut
Samiun (2006) ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu :
1. Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman dan
terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut Hawari (1996), seseorang
yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh dari
kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang dicintai (terhadap suami
atau istri yang meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan
orang itu mengalami kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal,
bersalah dan seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan sedih
dan duka cita sesudah kehilangan objek yang dicintai (loss of love object), tetapi seringkali
mengalami perasaan ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai tetapi marah dan benci
karena telah meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya bahwa intropeksi
merupakan satu-satunya cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik,
marah dan menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang
terjadi pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh dan perubahan
yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-perubahan tersebut diatas seringkali
menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis dan biologis. Menurut
Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya kemampuan
dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan
kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan sering menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi adalah strategi pasif
(defence mcanism) seperti menghindar, menolak, impian, displacement dan lain-lain (Coyne ett
all, 1981 ; Samiun, 2006). Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan
sosial (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stresor. Ada bukti
bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et all, 1983 ; Samiun , 2006).

2. Pendekatan Perilaku Belajar


Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu yang kurang
menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman (punishment) yang lebih banyak
dibandingkan individu yang idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ;
Samiun, 2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini
mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan, kecenderungan
memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan self-concept yang rendah. Hadiah dan
hukuman bersumber dari lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar) dan dari diri sendiri.
Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah yang diterima terlalu rendah dan
hukuman yang diterima terlalu tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri, sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan antara nilai reward dan punishment itu. Peran hadiah dan
hukuman terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ;
Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah seseorang jika
pindah ke tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah dan
perubahan dari tingkah laku yang mendapat hadiah sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi
menjadi tidak berguna. Standar untuk hadiah dan hukuman yang meningkat menyebabkan
performansi yang diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang
sebelumnya diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber alternatif untuk mendapat
hadiah tidak ditemukan.

3. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena
memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan
diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan
pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu yang
kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu
akan memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa
depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang depresi adalah
kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend,
1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya distorsi
pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan tingkat
aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat
mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya (helplessness).
Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984;
Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering
adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis
dan keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned
helplessness) tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan
dasar pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik
yang terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering
dialami individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).

4. Pendekatan Humanistik – Eksitensial


Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi karena adanya
ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu yang menyadari jurang yang dalam
antara reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam kesedihan
dan tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu merasa tidak ada lagi
pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang yang real. Pada lansia yang gagal untuk
bereksistensi diri menyadari bahwa mereka tidak mau berada pada kondisinya sekarang yang
mengalami perubahan dan kurang mampu menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik mereka
segera berakhir. Kegagalan bereksistensi ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai
seseorang yang real.

5. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang
rendah (neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi
mengatur kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi
hypothalamus, seperti mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar,
1982; Samiun, 2006), sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan
keluhan-keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar. Monozogotik
Twins (MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara
(Dizigotik Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006). Secara
keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang unik
dari berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri
karena penurunan kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta
kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis
penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya
depresi pada lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga
depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.

Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:


1. Distorsi dalam perilaku makan
2. Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)
3. Merasa putus asa dan tidak berarti.
4. Berat badan berubah drastis
5. Gangguan tidur.
6. Sulit berkonsentrasi
7. Keluarnya keringat yang berlebihan
8. Sesak napas
9. Kejang usus atau kolik
10. Muntah
11. Diare
12. Berdebar-debar
13. Gangguan dalam aktivitas normal seseorang
14. Kurang energi
2.5.1.6. Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)
Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami seseorang
setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi pada pasca kuasa adalah karena
adanya perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun
tujuan ideal pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari tua,
namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001).
Menurut Kuntioro (2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari
model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension tidak merupakan beban mental
lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental individu dalam masa
pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang takut kehilangan ada yang merasa
senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah).
Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu baik
positif maupun negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan dampak negative
akan mengganggu kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan interpersonal,
peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang besar. Kejadian yang
tidak diinginkan juga sering menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau
(perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan, perubahan
kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan depresi (Stuart dan Larairam, 1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai
kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang
kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini
telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya
keseimbangan mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan
terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan
perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca kuasa (post power
syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial
dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini merasa
lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam
perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan
kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka
keluhan psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan
perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang mengakibatkan
perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di luar dirinya.
Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan mekanisme defensive
antara lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka terjadi perubahan persepsi
seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut Maramis (1995), bahwa stress
psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan dan rasa bersalah yang
menimbulkan mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada sewaktu-waktu, hanya gejala
badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita harus mengingat bahwa manusia
itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia itu terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen psikologik dan
komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistis, putus
asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas lupa timbul
pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak senang, lelah tak
bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat anoreksia
(kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan
konstipasi.

2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda
(Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup dan
apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang
yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan merupakan stressor
bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan motivasi lansia untuk
tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan kemampuan adaptasi
terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan
kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya.
Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan sering
menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan
social (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti
bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal
karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan
lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi
kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.

b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social
mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan
keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi
ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia
antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan
self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit bagi
lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan rumah
tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi
merupakan pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian
persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering
mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan
depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang hilang
setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah
hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran
penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan
peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).

c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan lansia
tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk
menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga (family
system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi
mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis
menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah
penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya
dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena tinggal
dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan keluarga yang
memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan
mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman,
1998).

2.5.1.8. Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia


Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap lingkungannya.
Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi.
Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan alat pengkajian yang
terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada
lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat,
baik oleh peneliti maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini
diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia, dan
memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan keterampilan khusus dari
pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes reliabilitas
alat ini correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan
dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana
yang diisi sendiri dengan menjawab “ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu
sekitar 5-10 menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak
mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0-10
menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-30
termasuk depresi sedang/berat yang membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik
terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya merupakan alat penapisan.
Pernyataan Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan jawaban “ya” diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia sebagai
berikut:
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan kehidupannya?
2. Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau kesenangan akhir-akhir ini?

3. Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup ini?


4. Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?
5. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di masa depan?
6. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang menganggu terus menerus?

7. Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?


8. Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda?
9. Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?
10 Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?
11. Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?
12. Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar dan mengerjakan
sesuatu?
13. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14. Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?
15. Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini menyenangkan?
16. Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?
17. Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?
18. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu?
19. Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?
20 Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang baru?
21. Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?
22. Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada harapan?
23. Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya daripada bapak/ibu?

24. Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?


25. Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?
26. Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?
27. Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi hari?
28. Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?
29. Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?
30. Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam memikirkan sesuatu seperti dulu?

2.5.1.9. Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia


Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu
ditekannkan pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut
karena pendekatan daru satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut
usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam
bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu
pendekatan yang tidak tertuju pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek
psychological, psikososial, spiritual dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik
adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatan derajat kesehatan lanjut
usia, secara utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996).
Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic approach, diantaranya:
1) Pendekatan Psikodinamik
Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-konflik yang
berhubungan dengan kehilangan dan stress. Upaya penanganan depresi dengan mengidentifikasi
kehilangan dan stress yang menyebabkan depresi, mengatasi, dan mengembangkan cara-cara
menghadapi kehilangan dan stressor dengan psikoterapi yang bertujuan untuk memulihkan
kepercayaan diri (self confidence) dan memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887),
pendekatan ini tidak hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi juga untuk mendapatkan
perubahan struktur dan karakter kepribadian yang bertujuan untuk perbaikan kepercayaan
pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi stressor, dan kemampuan untuk mengalami berbagai
macam emosi.
Pendekatan keagaman (spiritual) dan budaya sangat dianjurkan pada lansia. Pemikiran-pemikiran
dari ajaran agama apapun mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini
manusia tidak terbebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat
ditemukan dalam doa-doa yang paada intinya memohon kepada Tuhan agar dalam kehidupan ini
manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia dan di akhirat (Hawari,
1996).
2) Pendekatan Perilaku Belajar
Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan berlebihannya hukuman
atas diri dapat di atasi dengan pendekatan perilaku belajar. Caranya dengan identifikasi aspek-
aspek leingkungan yang merupakan sumber hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan
keterampilan dan strategi baru untuk mengatasi, menghindari, atau mengurangi pengalaman yang
menghukum, seperti assertive training, latihan keterampilan social, latihan relaksasi, dan latihan
manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah peningkatan hadiah dalam hidup dengan self-
reinforcement, yang diberikan segera setelah tugas dapat diselesaikan.
Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang p[erlu diperhatikan dalam pemberian hadiah dan
hukuman, yaitu tugas dan teknik yang diberikan terperinci dan spesifik untuk aspek hadiah dan
hukuman dari kehidupan tertentu dari individu. Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah laku
supaya meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman, serta individu harus diajarkan
keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.
3) Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikit tentang keberhasilan masa
lalu dan sekarang dengan cara mengidentifikasi pemikiran negative yang mempengaruhi suasana
hati dan tingkah laku, menguji individu untuk menentukan apakah pemikirannya benar dan
menggantikan pikiran yang tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck, et al, 1979; Samiun, 2006).
Dasar dari pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari rangkaian
verbalisasi diri (self-talk) terhadap peristiwa/pengalaman yang dialami yang menentukan emosi
dan tingkah laku diri.
Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah menghilangkan episode depresi dan
mencegah rekuren dengan membantu mengidentifikasi dan uji kognisi negative,
mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif, serta melatih respon kognitif dan
perilaku yang baru dan penguatan perilaku dan pemikiran yang positif.
4) Pendekatan Humanistik Eksistensial
Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari kebaradaannya didunia ini
dengan memperluas kesadaran diri, menemukan dirinya kembali dan bertanggung jawab
terhadap arah hidupnya. Dalam pendekatan ini, individu yang harus berusaha membuka pintu
menuju dirinya sendiri, melonggarkan belengu deterministic yang menyebabkan terpenjara
secara psikologis (Corey, 1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi alternative ini membuat
pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa dia sebelumnya, sekarang dan lebih
mempu menetapkan masa depan.

5) Pendekatan Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi psikofarmaka (farmakoterapi)
dengan obat anti depresan merupakan pilihan alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan
adalah baik dengan dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.
2.5.10 Penatalaksanaan Depresi pada Lansia:
A. Terapi Biologik

1. Pemberian obat antidepresan


2. Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy
3. Terapi sulih hormon
4. Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)
B. Terapi Psikososial (Psikoterapi)
Bertujuan mengatasi masalah Psikoedukatif, yaitu:
a. Mengatasi kepribadian maladaptif,
b. Distorsi pola berpikir,
c. Mekanisme koping yang tidak efektif,
d. Hambatan relasi interpersonal.
Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah Sosiokultural, seperti
a. Keterbatasan dukungan dari keluarga,
b. Kendala terkait faktor kultural,
c. Perubahan peran sosial.
C. Perubahan Gaya Hidup
1. Aktivitas fisik terutama olah-raga.
2. Pasien dibiasakan berjalan kaki setiap pagi/sore sehingga energi dapat di serta me(-) stress
karena kadar norepinefrin meningkat.
3. Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan meditasi serta yoga untuk
menenangkan pikirannya
D. Diet Sehat
 Me(-) asupan gizi yg me(+) kadar stress jg perlu dilakukan.
 Memperhatikan jenis makanan yg akan disajikan kpd lanjut usia yg mengalami depresi. Makanan
berat scr otomatis akan memicu tindakan bagian syaraf parasimpatik  cabang dr sistem syaraf
otonom yg me kesadaran.
 Depresi berhub. dg tingkat kesadaran yg rendah. Kesadaran mengacu pd proses psikologis yg
meliputi hal-hal seperti kemampuan utk memusatkan perhatian seseorang & kemampuan utk
bekerja scr efektif.

2.5.2. Berduka Cita


Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Periode
duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seorang penderita lanjut usia.
Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat atau bahkan seekor hewan yang sangat
disanyangi bias mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang
lansia, yang selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2
tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan
periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat
mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti
dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut
biasanya tidak bersifat self limiting. Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan
pada episode tersebut berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan
keluhan, memberikan hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan
dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat,
konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.

2.5.3. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga
mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran
(Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup sendiri
tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat
lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami
kesepian.

Anda mungkin juga menyukai