Gangguan Emosional Pada Lansia
Gangguan Emosional Pada Lansia
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan
pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatrik pada lanjut usia.
Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik, analaog dengan
psikiatrik anak (Brocklehurts, Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut
usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam manisfestasi
klinis, pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara pathogenesis dewasa muda dan
lanjut usia (Weinberg, 1995; Kolb-Brodie, 1982). Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga
perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis penyerta,
pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif
(Weinberg, 1995; Gunadi, 1984).
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu mulai dipertimbangkan
adanya pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang cukup besar. Bangsal akut, kronis dan day
hospital, merupakan tiga layanan yang mungkin harus sudah mulai difikirkan (Brocklehurts,
Allen, 1987). Tentang bagaimana kerjasama antara bidang psikogeriatrik dan geriatrik dapat
dilihat pada bab mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
1. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak
mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang
dapat memberikan otonomi pada dirinya.
3. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat
dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa
lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan
akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia
tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-
marit.
5. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat
sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah
dirinya.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan
pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia?
Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki
jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun
negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu
kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan
pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan
hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-
masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah
minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan
setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya
memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha
sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga
menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya,
masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia
tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur,
penghasilan berkurang dan sebagainya.
4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah
tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial,
mudah menangis, dan menarik diri.
2. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
3. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang
nyata sesu¬dah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur terganggu
i) Disertai waham, halusinasi
j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu
B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi )
menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang,
fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode
depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi,
terutama pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti
infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam
perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat
yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga
sering disertai depresi.
Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi
(teori biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri
dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).
3. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena
memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan
diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan
pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu yang
kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu
akan memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa
depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang depresi adalah
kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend,
1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya distorsi
pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan tingkat
aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat
mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya (helplessness).
Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984;
Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering
adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis
dan keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned
helplessness) tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan
dasar pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik
yang terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering
dialami individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).
5. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang
rendah (neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi
mengatur kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi
hypothalamus, seperti mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar,
1982; Samiun, 2006), sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan
keluhan-keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar. Monozogotik
Twins (MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara
(Dizigotik Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006). Secara
keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang unik
dari berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri
karena penurunan kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta
kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis
penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya
depresi pada lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga
depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda
(Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup dan
apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang
yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan merupakan stressor
bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan motivasi lansia untuk
tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan kemampuan adaptasi
terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan
kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya.
Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan sering
menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan
social (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti
bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal
karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan
lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi
kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.
b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social
mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan
keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi
ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia
antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan
self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit bagi
lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan rumah
tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi
merupakan pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian
persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering
mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan
depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang hilang
setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah
hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran
penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan
peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).
c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan lansia
tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk
menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga (family
system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi
mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis
menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah
penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya
dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena tinggal
dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan keluarga yang
memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan
mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman,
1998).
5) Pendekatan Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi psikofarmaka (farmakoterapi)
dengan obat anti depresan merupakan pilihan alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan
adalah baik dengan dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.
2.5.10 Penatalaksanaan Depresi pada Lansia:
A. Terapi Biologik
2.5.3. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga
mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran
(Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup sendiri
tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat
lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami
kesepian.