BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui dan mempelajari tentang asuhan keperawatan lansia yang mengalami
gangguan psikologi dan psikososial.
2. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
3. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang
nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur terganggu
i) Disertai waham, halusinasi
j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu
2.5.1.3. Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia
Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di diagnosis
salah atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi praktik dokter umum
adalah mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak
memfokuskan pada keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta darigangguan
emosi (Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini,
mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamrkan atau tersamarkan oleh
gangguan fisik lainnya (masked depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang tua,
penyangkalan pengabaian terhadap proses penuaan normal menyebabkan tidak terdeteksi
dan tidak tertanganinya gangguan ini. Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan
dengan adanya keluhan tidak merasa berharga, sedih yang berlebihan, murung, tidak
bersemangat, merasa kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran bunuh diri
dan pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran diri (Wash, 1997).
B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi )
menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta
seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik
melibatkan konsep kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode
depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi,
terutama pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti
infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan
gangguan alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan
penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang
melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.
Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi
(teori biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial
terdiri dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).
3. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami
depresikarena memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk
menginterpretasikan diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang
berhasil mendapatkan pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan
menginterpretasikan sebagai suatu yang kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya.
Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan memiliki self-concept sebagai seorang
yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa depannya suram dan penuh dengan kegagalan.
Masalah utam pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self-
confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari
adanya distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga
menyebabkan tingkat aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha.
Individu menjadi tidak dapat mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan
merasa tidak berdaya (helplessness). Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan
depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984; Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang
sering adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative,
pesimistis dan keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang
dipelajari (learned helplessness)tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi.
Pengalaman awal memberikan dasar pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan
ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik yang terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian,
dan kegagalan-kegagalan yang sering dialami individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).
2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti
wreda (Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan
tujuan hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi
yang baru, orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan
keterasingan merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya
keinginan dan motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat
meningkatkan toleransi dan kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah
kekurangan kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang
terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress
lingkungan sering menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali
melibatkan dukungan social(social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam
menghadapi stressor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan
emosional yang cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings,
et all, 1983; Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa
hidupnya telah gagal karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang
dicintai mengakibatkan lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri,
sehingga mempengaruhi kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru
tinggal di institusi.
b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan
social mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas
hubungan keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang
dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak
dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di
institusi membuat konflik bagi lansia antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan
karena kehilangan dukungan social yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah
terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya
depresi. Sulit bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus
meninggalkan rumah tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan
atau social ekonomi merupakan pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan
kenangan lama dan pertalian persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan
stabilitas sehingga sering mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan
kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan
pekerjaannya yang hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi
mengakibatkan hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang
dulunya aktif bekerja dan memiliki peran penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti
bekerja mengalami penyesuaian diri dengan peran barunya sehingga seringkali menjadi
tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).
c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan
kecenderungan lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan
banyak yang memilih untuk menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004).
Pergeseran system keluarga (family system)dari extendend family ke nuclear family akibat
industrialisasi dan urbanisasi mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi
dengan sifat mandiri dan individualis menggangap lansia sebagai“trouble maker” dan
menjadi beban sehingga langkah penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya
bagi lansia memperburuk psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia,
karena tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas
perkembangan keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup
yang memuaskan dan mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang
dikutip oleh Friedman, 1998).
Skoring nilai 1 diberikan pada pernyataan Favorable untuk jawaban “ya” dan nilai
0 untuk jawaban “tidak” sedangkan pernyataan Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1
dan jawaban “ya” diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia
sebagai berikut:
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan
kehidupannya?
2. Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau
kesenangan akhir-akhir ini?
3. Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup
ini?
4. Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?
5. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di
masa depan?
6. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang
menganggu terus menerus?
7. Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?
8. Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi
pada anda?
9. Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?
10 Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?
11. Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?
12. Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar
dan mengerjakan sesuatu?
13. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14. Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?
15. Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini
menyenangkan?
16. Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?
17. Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?
18. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu?
19. Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?
20 Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang
baru?
21. Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?
22. Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada
harapan?
23. Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik
keadaannya daripada bapak/ibu?
24. Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?
25. Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?
26. Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?
27. Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi
hari?
28. Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?
29. Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?
30. Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam
memikirkan sesuatu seperti dulu?
2.5.3. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga
mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit
fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran
(Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup
sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain
pihak terdapat lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup
banyak, tohh mengalami kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi social sangat berarti, karena bias
bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran social
penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila memang
terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
2.5.4. Dementia
2.5.4.1. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia
bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa
penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkahlaku.
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan
daya ingat dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan
terhadap fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan
kognitif, perubahan mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan
sehari-hari penderita.
2.5.4.2. Etiologi
Penyebab demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan
yang baik pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal.
Untuk mengingat berbagai keadaan tersebut telah dibuat suatu “jembatan keledai” sebagai
berikut:
D Drugs (obat)
Obat sedative
Obat penenang minor atau mayor
Obat anti konvulsan
Obat anti hipertensi
Obat anti aritmia
E emotional (gangguan emosi, ex: depresi)
M metabolic dan endokrin
Seperti: DM
Hipoglikemia
Gangguan ginjal
Gangguan hepar
Gangguan tiroid
Gangguan elektrolit
E Eye & Ear (disfungsi mata dan telinga)
N Nutritional
Kekurangan vit B6 (pellagra)
Kekurangan vit B1 (sindrom wernicke)
Kekurangan vut B12 (anemia pernisiosa)
Kekurangan asam folat
T Tumor dan Trauma
I Infeksi
Ensefalitis oleh virus, contoh: herpes simplek
Bakteri, contoh: pnemokok
TBC
Parasit
Fungus
Abses otak
Neurosifilis
A Arterosklerosis (komplikasi peyakit aterosklerosis, missal: infark miokard, gagal jantung,
dan alkohol).
Keadaan yang secara potensial reversible atau yang bias dihentikan seperti:
Intoksikasi (obat, termasuk alkohol)
Infeksi susunan saraf pusat
Gangguan metabolic
Gangguan vaskuler (demensia multi-infark)
Lesi desak ruang:
Hematoma subdural akut/kronis
Metastase neoplasma
Hidrosefalus yang bertekanan normal
Depresi (pseudo-demensia depresif)
B. Dementia Presenilis
Seperti namanya, maka gangguan ini gejala utamanya ialah seperti sebelum masa senile
akan dibicarakan 2 macam demensia presenilis yaitu:
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimeir ini biasanya timbul antara usia 50-60 tahun. Yang disebabkan
oleh karena adanya degenerasi kortek yang difus pada otak dilapisan luar, terutama di
daerah frontal dan temporal. Atrofi otak ini dapat dilihat pada pneumoensefalogam, system
ventrikel membesar serta banyak hawa diruang subarachnoid. Penyakit ini dimulai pelan
sekali, tidak ada ciri yang khas pada gangguan intelegensi atau pada kelainan perilaku.
Terdapat disorientasi, gangguan ingatan, emosi yang lebih, kekeliruan dalam berhitung,
dam pembicaraan sehari-hari dapat terjadi afasi, perseverasi (mengulang-ngulang
perkataan; perbuatan tanpa guna), pembicaraan logoklonia (pengulangan tiap suku kata
akhir secara tidak teratur), dan bila sudah berat maka penderita tidak dapat dimengerti lagi.
Ada yang jadi gelisah dan hiperaktif.
Kadang-kadang sepintas lalu timbul aproksia (kehilangan kecakapan yang
diperoleh sebelumnya untuk melakukan pekerjaan atau gerakan yang memerlukan
keterampilan), hemiplegia tau pra plegi, parese pada muka dan spasme pada ekstremitas
juga sering terjadi sehingga pada stadium akhir timbul kontraktur. Pada fase ini sudah
sangant dement dan tidak diadakan kotak dengannya lagi. Biasanya penyakit ini
berlangsung selama 5-10 tahun.
2. Penyakit Pick
Secara patologis penyakit ini ialah atrofi dan gliosis di daerah-daerah asosiatif.
Daerah motoric, sensorik, dan daerah proyeksi secara relative dan banyak berubah. Yang
terganggu ialah daerah kortek yang secara filogenptik lebih mudah dan yang penting buat
fungsi asosiasi yang lebih tinggi. Sebab itu yang terutama terganggu ialah pembicaraan
dan proses berpikir.
Penyakit ini mungkin herediter, diperkirakan terdapat factor menjadi pencetus dari
sel-sel ganglion yang tertentu yaitu: yang genetic paling muda. Lobus frontalis menjadi
demikian atrofis sehingga kadang kelihatan seperti ditekan oleh suatu lingkaran. Biasanya
terjadi pada umut 45-60 tahun, yang termuda yang pernah diberitakan ialah 31 tahun.
Penyakit Pick terdapat 2x lebih banyak pada kaum wanita dari pad kaum pria.
Gejala permulaan: ingatan berkurang, kesukaran dalam pemikiran dan konsentrasi, kurang
spontanitas, emosi menjadi tumpul. Penderita menjadi acuh tak acuh, kadang-kadang tidak
dapat menyesuaikan diri serta menyelesaikan masalah dalam situasi yang baru.
Dalam waktu 1 tahun sudah terjadi demensia yang jelas. Ada yang efor, ada yang
jadi susah dan curiga. Sering terdapat gejala fokal seperti afasia, aproksia, aleksia, tetapi
gejala ini sering diselubungi oleh demensia umum. Ciri afasia yang penting pada penyakit
ini ialah terjadinya secara pelan-pelan (tidak mendadak seperti pada gangguan pembuluh
darah otak), terdapatnya logorrhea yang spontan (yang tidak terdapat pada afasia sebab
gangguan pembuluh darah). Tidak jarang ada echolalia dan reaksi stereotip.
Pada fase lanjut demensia menjadi hebat, terdapat inkontinensia, kemampuan buat
berbicara hilang dan kekeksia yang berat. Biasanya penderita meninggal dalam waktu 4-6
tahun karena suatu penyakit infeksi tambahan.
Smapai sekarang tidak ada pengobatan terhadap kasus demensia presenilis. Dapat
direncanakan bantuan yang simptomatik dalam lingkungan yang memadai. Biar gelisah
dapat dipertimbangkan pemberian obat psikotropik.
Sedangkan ciri-ciri orang yang memiliki Self-esteem yang rendah menurut Dariuszky
(2004) adalah:
1. Sulit menemukan hal-hal yang positif dalam tindakan yang mereka lakukan.
2. Cenderung cemas mengenai hidupnya dan kurang berani mengambil resiko.
3. Kurang menghargai keberhasilan yang mereka raih.
4. Mereka terlalu peduli akan tanggungjawab atas kegagalan yang mereka perbuat dan
mencari alasan untuk membuktikan bahwa mereka salah.
5. Merasa rendah diri ketika berhadapan dengan orang lain.
6. Tidak termotivasi untuk memperbaiki dan menyempurnakan diri.
7. Merasa kurang puas dan tidak bahagia dengan hidupnya, dan tidak mampu meyesuaikan
diri.
8. Pikiran cenderung mudah terserang perasaan putus asa, depresi dan niat bunuh diri.
Tanda dan gejala gangguan Self-esteem menurut Carpenito (2001) sebagai berikut:
1. Pengungkapan diri negative
2. Rasa bersalah atau malu
3. Evaluasi diri tidak mampu menangani kejadian
4. Menghindari diskusi tentang topic dirinya
5. Merasionalisasi penolakan/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik
negative tentang diri
6. Ketidakmampuan untuk menentukan tujuan
7. Ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang baru
8. Hipersensitif terhadap kritik ringan
9. Tanda dari keresahan seperti marah, mudah tersinggung, keputusasaan, dan menangis
10. Mengingkari masalah nyata
11. Perilaku penyalahgunaan diri (pengerusakaan, usaha bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan
menjadi korban)
12. Penampilan tubuh buruk (postur, kontak mata, gerakan)
13. Merasionalisasi kegagalan pribadi
c. Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970) Lansia makin matur
dalam kehidupan keagamaanya , hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan
Zentner, 1970). Perawat harus bias memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutinya dalam keadaan sakit atau
mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang
menghadapi kematian, DR. Tony Styobuhi mengemukakan bahwa maut sering kali
menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti
ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan ngumpul
lagi dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien
lanjut usia akan memberika reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara
menghadapi hidup ini. Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan
keluarga perawat harus dapat menyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi di
tinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu
menghantui pikiran lanjut usia. Umumny pada waktu kematian akan dating agama atau
kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu inilah kelahiran
seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia. Dengan demikian
pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja, melainkan
perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
Intervensi
Bina hubungan saling percaya
Bantu klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal.
Bantu klien membina kembali hubungan interpersonal yang positf / adaptif dan memberikan kepuasan timbal balik
:
a) Beri penguatan dan kritikan yang positif
b) Dengarkan semua kata-kata klien dan jangan menyela saat klien bertanya.
c) Berikan penghargaan saat klien dapat berprilaku yang positif
d) Hindari ketergantungan klien
Libatkan dalam kegiatan ruangan.
Ciptakan lingkungan terapeutik
Libatkan keluarga/system pendukung untuk membantu mengatasi masalah klien.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep diri dan depresi
Tujuan :
1) Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan dirinya
2) Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya
Intervensi
Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat
Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggung jawab terhadap perawatan dirinya
Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta pasien memilih
apakah mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.
Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai tujuan.
Contoh : Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk mandi
(bawa sabun, handuk, pakaian bersih)
Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.
Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.
Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang masih dimiliki
pasien.
Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai dengan
jadwal kegiatan yang sudah dibuat.
4. Resiko membahayakan diri berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan putusasa
Tujuan :
1) Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri
2) Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi
Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide bunuh diri.
Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan masalah secara
konstruktif.
Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungannya
Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien dalam
menyelesaikan masalah
5. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap
respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik.
2) Klien mengunakan koping yang adaptif.
3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif dan
mempertahankan respon koping yang adaptif.
Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa pelayanan geriatrik di Indonesia sudah saatnya diupayakan di seluruh jenjang
pelayanan kesehatan di Indonesia. Untuk itu pengetahuan mengenai geriatric harus sudah
merupakan pengetahuan yang diajarkan pada semua tenaga kesehatan. Dalam hal ini
pengetahuan mengenai psikogeriatri atau kesehatan jiwa pada usia lanjut merupakan salah
satu di antara berbagai pengetahuan yang perlu diketahui. Tatacara pemeriksaan dasar
psikogeriatri oleh karena itu sering disertakan dalam pemeriksaan/assesmen geriatric,
antara lain mengenai pemeriksaan gangguan mental. Kognitif, depresi dan beberapa
pemeriksaan lain.
Saran
Melalui makalah ini kami mengharapkan mahasiswa dapat mengetahui mengenai askep
lansia masalah psikososial, mulai dari konsep psikososial, masalah psikososial pada lansia
serta asuhan keperawatan terkait dengan masalah psikososial tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC