PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui dan mempelajari tentang asuhan keperawatan lansia yang mengalami gangguan
psikologi dan psikososial.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
3. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur terganggu
i) Disertai waham, halusinasi
j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu
2.5.1.3. Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia
Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di diagnosis salah
atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi praktik dokter umum adalah
mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak memfokuskan
pada keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi (Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini,
mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamrkan atau tersamarkan oleh gangguan fisik
lainnya (masked depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang tua, penyangkalan pengabaian
terhadap proses penuaan normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak tertanganinya gangguan
ini. Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya keluhan tidak merasa berharga,
sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa kosong, tidak ada harapan, menuduh
diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran diri (Wash,
1997).
B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi ) menurut
Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang, fungsi
fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode depresi dan
mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi, terutama pada
wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti infeski,
neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam perasaan.
Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat yang
menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga sering
disertai depresi.
Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi (teori
biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri dari
psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).
3. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena
memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan
diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan
pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu yang
kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan
memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa depannya
suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa
percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya
distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan
tingkat aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat
mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya (helplessness).
Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984;
Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering
adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis dan
keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness)
tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan dasar
pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik yang
terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering dialami
individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).
5. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang rendah
(neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur
kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi hypothalamus, seperti
mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar, 1982; Samiun, 2006),
sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan keluhan-keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar. Monozogotik
Twins (MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara
(Dizigotik Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006). Secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang
unik dari berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri
karena penurunan kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta
kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis penurunan
neuron-neuron dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi pada
lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga depresi pada
lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda
(Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup
dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru,
orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan
merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan
motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan
kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan
kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya.
Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan sering
menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan
social (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti
bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah
gagal karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai
mengakibatkan lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga
mempengaruhi kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.
b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social
mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan
keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi ini
dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia antara
integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan
self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit
bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan rumah
tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi merupakan
pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian persahabatan
yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering mengakibatkan lansia merasa
kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang
hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah
hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran
penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan peran
barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).
c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan
lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk
menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga (family
system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi
mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis
menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah penyelesainnya
dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya dan
mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena
tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan
keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan
mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman, 1998).
Skoring nilai 1 diberikan pada pernyataan Favorable untuk jawaban “ya” dan nilai 0 untuk
jawaban “tidak” sedangkan pernyataan Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan jawaban
“ya” diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia sebagai
berikut:
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan
kehidupannya?
2. Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau
kesenangan akhir-akhir ini?
3. Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup
ini?
4. Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?
5. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di
masa depan?
6. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang
menganggu terus menerus?
7. Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?
8. Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi
pada anda?
9. Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?
10 Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?
11. Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?
12. Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar
dan mengerjakan sesuatu?
13. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14. Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?
15. Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini
menyenangkan?
16. Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?
17. Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?
18. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu?
19. Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?
20 Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang
baru?
21. Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?
22. Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada
harapan?
23. Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik
keadaannya daripada bapak/ibu?
24. Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?
25. Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?
26. Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?
27. Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi
hari?
28. Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?
29. Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?
30. Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam
memikirkan sesuatu seperti dulu?
2.5.3. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga
mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat,
gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran (Brocklehurts-
Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup sendiri
tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat
lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami
kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi social sangat berarti, karena bias bertindak
menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran social penderita, di samping
memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila memang terdapat disabilitas penderita
dalam hal-hal tersebut.
2.5.4. Dementia
2.5.4.1. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi
aktifitas sehari-hari. Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit
biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu
sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkahlaku.
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya ingat
dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap fungsi
kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan kognitif, perubahan
mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari penderita.
2.5.4.2. Etiologi
Penyebab demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang baik
pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Untuk mengingat
berbagai keadaan tersebut telah dibuat suatu “jembatan keledai” sebagai berikut:
D Drugs (obat)
Obat sedative
Obat penenang minor atau mayor
Obat anti konvulsan
Obat anti hipertensi
Obat anti aritmia
E emotional (gangguan emosi, ex: depresi)
M metabolic dan endokrin
Seperti: DM
Hipoglikemia
Gangguan ginjal
Gangguan hepar
Gangguan tiroid
Gangguan elektrolit
E Eye & Ear (disfungsi mata dan telinga)
N Nutritional
Kekurangan vit B6 (pellagra)
Kekurangan vit B1 (sindrom wernicke)
Kekurangan vut B12 (anemia pernisiosa)
Kekurangan asam folat
T Tumor dan Trauma
I Infeksi
Ensefalitis oleh virus, contoh: herpes simplek
Bakteri, contoh: pnemokok
TBC
Parasit
Fungus
Abses otak
Neurosifilis
A Arterosklerosis (komplikasi peyakit aterosklerosis, missal: infark miokard, gagal jantung, dan
alkohol).
Keadaan yang secara potensial reversible atau yang bias dihentikan seperti:
Intoksikasi (obat, termasuk alkohol)
Infeksi susunan saraf pusat
Gangguan metabolic
Gangguan vaskuler (demensia multi-infark)
Lesi desak ruang:
Hematoma subdural akut/kronis
Metastase neoplasma
Hidrosefalus yang bertekanan normal
Depresi (pseudo-demensia depresif)
B. Dementia Presenilis
Seperti namanya, maka gangguan ini gejala utamanya ialah seperti sebelum masa senile akan
dibicarakan 2 macam demensia presenilis yaitu:
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimeir ini biasanya timbul antara usia 50-60 tahun. Yang disebabkan oleh
karena adanya degenerasi kortek yang difus pada otak dilapisan luar, terutama di daerah frontal
dan temporal. Atrofi otak ini dapat dilihat pada pneumoensefalogam, system ventrikel membesar
serta banyak hawa diruang subarachnoid. Penyakit ini dimulai pelan sekali, tidak ada ciri yang
khas pada gangguan intelegensi atau pada kelainan perilaku. Terdapat disorientasi, gangguan
ingatan, emosi yang lebih, kekeliruan dalam berhitung, dam pembicaraan sehari-hari dapat terjadi
afasi, perseverasi (mengulang-ngulang perkataan; perbuatan tanpa guna), pembicaraan logoklonia
(pengulangan tiap suku kata akhir secara tidak teratur), dan bila sudah berat maka penderita tidak
dapat dimengerti lagi. Ada yang jadi gelisah dan hiperaktif.
Kadang-kadang sepintas lalu timbul aproksia (kehilangan kecakapan yang diperoleh
sebelumnya untuk melakukan pekerjaan atau gerakan yang memerlukan keterampilan),
hemiplegia tau pra plegi, parese pada muka dan spasme pada ekstremitas juga sering terjadi
sehingga pada stadium akhir timbul kontraktur. Pada fase ini sudah sangant dement dan tidak
diadakan kotak dengannya lagi. Biasanya penyakit ini berlangsung selama 5-10 tahun.
2. Penyakit Pick
Secara patologis penyakit ini ialah atrofi dan gliosis di daerah-daerah asosiatif. Daerah
motoric, sensorik, dan daerah proyeksi secara relative dan banyak berubah. Yang terganggu ialah
daerah kortek yang secara filogenptik lebih mudah dan yang penting buat fungsi asosiasi yang
lebih tinggi. Sebab itu yang terutama terganggu ialah pembicaraan dan proses berpikir.
Penyakit ini mungkin herediter, diperkirakan terdapat factor menjadi pencetus dari sel-sel
ganglion yang tertentu yaitu: yang genetic paling muda. Lobus frontalis menjadi demikian atrofis
sehingga kadang kelihatan seperti ditekan oleh suatu lingkaran. Biasanya terjadi pada umut 45-60
tahun, yang termuda yang pernah diberitakan ialah 31 tahun.
Penyakit Pick terdapat 2x lebih banyak pada kaum wanita dari pad kaum pria. Gejala
permulaan: ingatan berkurang, kesukaran dalam pemikiran dan konsentrasi, kurang spontanitas,
emosi menjadi tumpul. Penderita menjadi acuh tak acuh, kadang-kadang tidak dapat menyesuaikan
diri serta menyelesaikan masalah dalam situasi yang baru.
Dalam waktu 1 tahun sudah terjadi demensia yang jelas. Ada yang efor, ada yang jadi susah
dan curiga. Sering terdapat gejala fokal seperti afasia, aproksia, aleksia, tetapi gejala ini sering
diselubungi oleh demensia umum. Ciri afasia yang penting pada penyakit ini ialah terjadinya
secara pelan-pelan (tidak mendadak seperti pada gangguan pembuluh darah otak), terdapatnya
logorrhea yang spontan (yang tidak terdapat pada afasia sebab gangguan pembuluh darah). Tidak
jarang ada echolalia dan reaksi stereotip.
Pada fase lanjut demensia menjadi hebat, terdapat inkontinensia, kemampuan buat
berbicara hilang dan kekeksia yang berat. Biasanya penderita meninggal dalam waktu 4-6 tahun
karena suatu penyakit infeksi tambahan.
Smapai sekarang tidak ada pengobatan terhadap kasus demensia presenilis. Dapat
direncanakan bantuan yang simptomatik dalam lingkungan yang memadai. Biar gelisah dapat
dipertimbangkan pemberian obat psikotropik.
Dariuszky (2004) memberikan karakteristik individu yang memiliki Self-esteem tinggi sebagai
berikut:
1. Mempunyai harapan yang positif dan realitis atas usahanya mapupun hasil dari usahanya.
2. Bersedia mempertanggungjawabkan kegagalan maupun kesalahannya.
3. Memandang dirinya sama dan sederajat dengan orang lain.
4. Cenderung melakukan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan dirinya.
5. Tidak kuatir akan keselamatan hidupnya dan lebih berani mengambil resiko.
6. Mempunyai bukti atau alas an yang kuat untuk menghargai dirinya sendiri atas keberhasilan yang
telah diraihnya.
7. Relative puas dan bahagia dengan hidupnya dan kemampuannya cukup bagus dalam hal
penyesuaian diri.
Sedangkan ciri-ciri orang yang memiliki Self-esteem yang rendah menurut Dariuszky (2004)
adalah:
1. Sulit menemukan hal-hal yang positif dalam tindakan yang mereka lakukan.
2. Cenderung cemas mengenai hidupnya dan kurang berani mengambil resiko.
3. Kurang menghargai keberhasilan yang mereka raih.
4. Mereka terlalu peduli akan tanggungjawab atas kegagalan yang mereka perbuat dan mencari
alasan untuk membuktikan bahwa mereka salah.
5. Merasa rendah diri ketika berhadapan dengan orang lain.
6. Tidak termotivasi untuk memperbaiki dan menyempurnakan diri.
7. Merasa kurang puas dan tidak bahagia dengan hidupnya, dan tidak mampu meyesuaikan diri.
8. Pikiran cenderung mudah terserang perasaan putus asa, depresi dan niat bunuh diri.
Tanda dan gejala gangguan Self-esteem menurut Carpenito (2001) sebagai berikut:
1. Pengungkapan diri negative
2. Rasa bersalah atau malu
3. Evaluasi diri tidak mampu menangani kejadian
4. Menghindari diskusi tentang topic dirinya
5. Merasionalisasi penolakan/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik negative
tentang diri
6. Ketidakmampuan untuk menentukan tujuan
7. Ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang baru
8. Hipersensitif terhadap kritik ringan
9. Tanda dari keresahan seperti marah, mudah tersinggung, keputusasaan, dan menangis
10. Mengingkari masalah nyata
11. Perilaku penyalahgunaan diri (pengerusakaan, usaha bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan menjadi
korban)
12. Penampilan tubuh buruk (postur, kontak mata, gerakan)
13. Merasionalisasi kegagalan pribadi
Stuart dan Sudeen (1993); Keliat (1994), mengemukakan 10 cara individu mengekspresikan secara
langsung harga diri rendah yaitu:
1. Mengejek dn mengkritik pandagan negative tentang dirinya. Sering mengatakan dirinya “bodoh”,
“tidak tahu apa-apa” dan sikap negative terhadap dirinya.
2. Merendahkan/mengurangi martabat diri
3. Menghindari, mengabaikan atau menolak kemampuan yang nyata dimiliki dan merasa tidak
mampu melakukan apapun.
4. Rasa bersalah dan khawatir
5. Individu menolak diri dan menghukum diri sendiri, iritabel dan pesimis terhadap kehidupan.
Kadang timbul perasaan dirinya penting yang berlebih-lebihan. Dapat juga ditemukan gejala fobia
dan obsesi.
6. Manifestasi fisik
7. Keluhan tidak punya tenaga, cepat lelah, gejala psikosomatis, tekanan darah tinggi, dan
penyalahgunaan zat.
8. Menunda keputusan
9. Sangat ragu-ragu dalam mengambil keputusan, rasa aman terancam dan ketegangan peran.
10. Masalah dalam berhubungan dengan orang lain
11. Menarik diri dan isolasi social karena perasaan tidak berharga. Kadang menjadi kejam dan
mengeksploitasi orang lain.
12. Menarik diri dari realitas
13. Kecemasan karena penolakan diri mencapai tingkat berat atau panic, individu mungkin mengalami
gangguan asosiasi, halusinasi, curiga, cemburu dan paranoid.
14. Merusak diri
15. Harga diri yang rendah mendorong klien untuk mengakhiri kehidupan karena merasa tidak
berguna dan tidak ada harapan untuk hidup.
16. Merusak/melukai orang lain
17. Kebencian dan penolakan pada diri dapat dilampiaskan ke orang lain.
18. Kecemasan dan takut
19. Kekhawatiran menghadapi masa depan yang tidak jelas karena merasa tidak mampu menjalani
kehidupan. Pandangan hidup seiring terpolarisasi.
2.5.5.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem
Harga diri (Self-esteem) bukanlah suatu sifat bawaan ang tidak dapat diubah. Ia diengaruhi
oleh berbagai factor seperti suasana hati, kondisi kesehatan, kehilangan sesuatu yang dicintai,
kehilangan pekerjaan. Pension dan lain-lain. Banyak orang yang tidak mampu mengatasi kondisi
seprti itu dan jatuh dalam kekalutan emosional dan tidak memiliki persepsi yang sehat mengenai
dirinya mauoun lingkungan eksternalnya, sehingga orang itu memiliki Self-esteem yang rendah
(Dariuszky, 2004).
Menurut Stuart dan Sudeen (1993); Keliat (1994), stressor yang mempengaruhi Self-esteem
adalah penolakan dan kurangnya penghargaan dari orang lain, persaingan, kesalahan dan
kegagalan yang berulang, cita-cita yang tidak dapat dicapai, ideal self yang tidak realistic dan gagal
bertanggungjawab terhadap diri.
Factor-faktor yang mempengaruhi Self-esteem menurut Carpenito (2001):
1) Patofisiologi
Berhubungan dengan perubahan penampilan, sekunder akibat dari kehilngan citra tubuh,
kehilangan fungsi tubuh dan bentuk badan berubah akibat dari trauma, pembedahan, dan cacat
lahir.
2) Situasional (personal, lingkungan)
Berhubungan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan, umpan balik, perasaan diabaikan sekunder
akibat kemaitian orang terdekat. Perasaan kegagalan/penurunan berat badan. Kegagalan disekolah,
riwayat ketidakefektifan hubungan dengan orang tua, riwayat penyalahgunaan zat, penolakan
orang tua, harapan yang tidak realistis dari orang tua, hukuman yang tidak konsisten. Perasaan
tidak berdaya dan/atau kegagalan sekunder akibat dari institusional seperti penjara, rumah sakit
jiwa, panti asuhan, dan rumah penitipan.
3) Maturasional
Pada usia bayi dan usia bermain berhubungan dengan kurangnya stimulasi dan kedekatan dengan
orang tuanya, perpisahan dari orang tua/orang terdekat, evaluasi negative yang terus menerus oleh
orang tua, ketidakadekuatan dukungan orang tua, dan ketidakmampuan untuk mempercayai orang
terdekat.
4) Sumber eksternal dan internal
Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap Self-esteem. Pada sumber
internal, misalnya orang yang humoris koping individunya lebih efektif. Sumber eksternal
misalnya adanya dukungan dari masyarakat, dan ekonomi yang kuat.
5) Pengalaman sukses dan gagal
Ada kecenderungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan Self-esteem seseorang, dan
frekuensi gagal yang sering mengakibatkan rendahnya Self-esteem.
c. Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970) Lansia
makin matur dalam kehidupan keagamaanya , hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam
sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970). Perawat harus bias memberikan ketenangan dan kepuasan
batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutinya dalam keadaan sakit atau
mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang
menghadapi kematian, DR. Tony Styobuhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah
rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan ngumpul lagi dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberika
reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara menghadapi hidup ini. Adapun
kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat menyakinkan
lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi di tinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus
mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia. Umumny pada waktu
kematian akan dating agama atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali.
Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja,
melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
Intervensi
Bina hubungan saling percaya
Bantu klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal.
Bantu klien membina kembali hubungan interpersonal yang positf / adaptif dan memberikan
kepuasan timbal balik :
a) Beri penguatan dan kritikan yang positif
b) Dengarkan semua kata-kata klien dan jangan menyela saat klien bertanya.
c) Berikan penghargaan saat klien dapat berprilaku yang positif
d) Hindari ketergantungan klien
Libatkan dalam kegiatan ruangan.
Ciptakan lingkungan terapeutik
Libatkan keluarga/system pendukung untuk membantu mengatasi masalah klien.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep diri dan depresi
Tujuan :
1) Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan dirinya
2) Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya
Intervensi
Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat
Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggung jawab terhadap perawatan dirinya
Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta pasien memilih apakah
mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.
Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai tujuan. Contoh :
Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk mandi (bawa sabun,
handuk, pakaian bersih)
Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.
Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.
Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang masih dimiliki pasien.
Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal
kegiatan yang sudah dibuat.
4. Resiko membahayakan diri berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan putusasa
Tujuan :
1) Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri
2) Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi
Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide bunuh diri.
Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan masalah secara
konstruktif.
Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungannya
Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien dalam menyelesaikan
masalah
5. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon
kehilangan pasangan.
Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik.
2) Klien mengunakan koping yang adaptif.
3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif dan
mempertahankan respon koping yang adaptif.
Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa pelayanan geriatrik di Indonesia sudah saatnya diupayakan di seluruh jenjang
pelayanan kesehatan di Indonesia. Untuk itu pengetahuan mengenai geriatric harus sudah
merupakan pengetahuan yang diajarkan pada semua tenaga kesehatan. Dalam hal ini pengetahuan
mengenai psikogeriatri atau kesehatan jiwa pada usia lanjut merupakan salah satu di antara
berbagai pengetahuan yang perlu diketahui. Tatacara pemeriksaan dasar psikogeriatri oleh karena
itu sering disertakan dalam pemeriksaan/assesmen geriatric, antara lain mengenai pemeriksaan
gangguan mental. Kognitif, depresi dan beberapa pemeriksaan lain.
DAFTAR PUSTAKA
Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC
TOP
0 opmerkings:
Tuis
Subscribe to: Plaas opmerkings (Atom)
Blogger news
Template by:
About