Anda di halaman 1dari 49

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan,
diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatrik pada lanjut usia. Saat ini disiplin
ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik, analaog dengan psikiatrik anak
(Brocklehurts, Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia memerlukan
pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam manisfestasi klinis, pathogenesis dan
patofisiologi gangguan mental antara pathogenesis dewasa muda dan lanjut usia (Weinberg, 1995;
Kolb-Brodie, 1982). Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga perlu dipertimbangkan, antara
lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat
(polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif (Weinberg, 1995; Gunadi,
1984).
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu mulai dipertimbangkan adanya
pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang cukup besar. Bangsal akut, kronis dan day hospital,
merupakan tiga layanan yang mungkin harus sudah mulai difikirkan (Brocklehurts, Allen, 1987).
Tentang bagaimana kerjasama antara bidang psikogeriatrik dan geriatrik dapat dilihat pada bab
mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah asuhan keperawatan lansia yang mengalami gangguan psikologi dan psikososial?

1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui dan mempelajari tentang asuhan keperawatan lansia yang mengalami gangguan
psikologi dan psikososial.

1.3.2. Tujuan Khusus


1) Mengetahui tentang Konsep Teori Lansia
2) Mengetahui tentang Teori Kejiwaan Lansia
3) Mengetahui tentang Teori Psikologi dan Psikososial.
4) Mengetahui tentang Teori Psikososial Lansia
5) Mengetahui tentang Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial
6) Mengetahui tentang Tahap-tahap Asuhan Keperawatan Lansia

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Teori Lansia


2.1.1. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.
2.1.2. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui
tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992).
Tiga tahapan ini berbeda baik secara biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa tua
berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai
dengan kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan menurun,
gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat.

2.2. Teori Kejiwaan Lansia


2.2.1. Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini
menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia
pertengahan ke lanjut usia.
2.2.2. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan
gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada
seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti yang dimiliki.
2.2.3 Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur
mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut
usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda
(triple loss), yakni:
 Kehilangan Peran
 Hambatan Kontak Sosial
 Berkurangnya Kontak Komitmen

2.3. Teori Psikologi


2.3.1. Teori Tugas Perkembangan
Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua antara lain adalah:
a. Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas perkembangan yang spesifik yang dapat
muncul sebagai akibat tuntutan:
a. Kematangan fisik
b. Harapan dan kebudayaan masyarakat
c. Nilai-nilai pribadi individu dan aspirasi
Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan yang memotivasi
seluruh perilaku manusia (Maslow 1954).

2.3.2. Teori Individual Jung


Carl Jung (1960) menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian dari seluruh fase
kehidupan yaitu mulai dari masa kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda, usia
pertengahan sampai lansia. Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran seorang dan
ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau
kearah subyektif. Pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara
kekuatan ini dapat dilihat pada setiap individu dan merupakan hal yang paling penting bagi
kesehatan mental.

2.3.3. Teori Delapan Tingkat Kehidupan


Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat adanya kondisi dimana kondisi
psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan tertentu. Ericson (1950) yang telah
mengidentifikasi tahap perubahan psikologis (delapan tingkat kehidupan) menyatakan bahwa
pada usia tua, tugas perkembangan yang harus dijalani adalah untuk mencapai keeseimbangan
hidup atau timbulnya perasaan putus asa. Peck (1968) menguraikan lebih lanjut tentang teori
perkembangan Erikson dengan mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri dapat dipilih
dalam tiga tingkat yaitu : pada perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, perubahan
tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego terhadap ego preokupasi.
Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas perkembangan yang
harus dijalani oleh lansia adalah menerima identitas diri sebagai orang tua dan mendapatkan
dukungan yang adekuat dari lingkungan untuk menghadapi adanya peran baru sebagai orang tua
(preokupasi). Adanya pensiun dan atau pelepasan pekerjaan merupakan hal yang dapat dirasakan
sebagai sesuatu yang menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan penurunan harga diri dari
orang tua tersebut.

2.4. Teori Psikososial Lansia


2.4.1. Definisi
Perkembangan psikososial lanjut usia adalah tercapainya integritas diri yang utuh.
Pemahaman terhadap makna hidup secara keseluruhan membuat lansia berusaha menuntun
generasi berikut (anak dan cucunya) berdasarkan sudut pandangnya. Lansia yang tidak mencapai
integritas diri akan merasa putus asa dan menyesali masa lalunya karena tidak merasakan hidupnya
bermakna (Anonim, 2006). Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh Arya (2010) perubahan
psikososial lansia adalah perubahan yang meliputi pencapaian keintiman, generatif dan integritas
yang utuh.

2.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Psikososial Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikososial lansia menurut
Kuntjoro (2002), antara lain:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang
bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun,
kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini
semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang
selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam
kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan
kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau
harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus
mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara
seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai
gangguan fisik seperti:
a. Gangguan jantung
b. Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
c. Vaginitis
d. Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
e. Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
f. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya .
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya
cemas, depresi, pikun dsb.
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian
dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara
fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak
seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat
dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak
mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami
post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat
memberikan otonomi pada dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi
kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak
bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi
merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap
merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat
sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah
dirinya.
4. Perubahan Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun
adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya
sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan,
kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa
pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga
di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia?
Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki
jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun
negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu
kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan
pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya
diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut
dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan
pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki
kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa
lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing.
Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan
macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga
menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya,
masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia
tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur,
penghasilan berkurang dan sebagainya.
5. Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya
maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya
menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga
sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka
melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan
orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung
diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu
orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki
keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu
memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak
punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun
tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk
pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay rehabilitation yang tetap
memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat
bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada
hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia

2.5. Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial


2.5.1. Depresi
2.5.1.1. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu rnakan,
psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri
(Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan
dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan
marah yang dalam (Nugroho, 2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan depresi
merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan bunuh diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah,
rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii (1996;,
depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan
kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa. Depresi
adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 1998).

2.5.1.2. Tanda Dan Gejala Depresi


Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi beberapa aspek
seperti:
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah,
ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan,
insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
3. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi,
menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis,
ketidakpastian.
4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah
tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial,
mudah menangis, dan menarik diri.

Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:


1. Depresi Ringan
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

2. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis

3. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur terganggu
i) Disertai waham, halusinasi
j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu
2.5.1.3. Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia
Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di diagnosis salah
atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi praktik dokter umum adalah
mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak memfokuskan
pada keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi (Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini,
mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamrkan atau tersamarkan oleh gangguan fisik
lainnya (masked depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang tua, penyangkalan pengabaian
terhadap proses penuaan normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak tertanganinya gangguan
ini. Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya keluhan tidak merasa berharga,
sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa kosong, tidak ada harapan, menuduh
diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran diri (Wash,
1997).

Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :


1. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang menunjukkan gejala depresi. Pertama,
individu yang mengalami depresi memiliki self-esteem yang sangat rendah. Mereka berpikir tidak
adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa bersalah
terhadap kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi masalah dan
segala sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan terhadap dirinya (self-confident)
yang tidak adekuat. Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani hidupnya, selalu
meminta bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak ada gunanya
berusaha. Keempat, membesar-besarkan masalah dan selalu pesimistik menghadapi masalah.
Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat, performance intelektualnya berkurang. Keenam,
generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat
dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang mengalami depresi
menggambarkan dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat terjangkau dan tidak dapat
keluar dari sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti pola tidur yang
terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan seksual yang berkurang. Lansia lebih
rentan terhadap penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena aging proces
juga karena orang yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang kurang (Schleifer
et all, 1984 ; Samiun, 2006).
4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor. Sering duduk dengan
terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar dan sering
menghentikan pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk
menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all (2004)
gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur (sleep) pada lansia
yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa tidur lagi,
penurunan minat dan aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa cepat
lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan proses pikir
(concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan lamban dan sering duduk terkulai
(psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly)

2.5.1.4. Penyebab Depresi


Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat keluarga
dan keturunan.
2. Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan marah
yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
3. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda atau
yang sangat berarti.
4. Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan harga diri
rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor.
5. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di dominasi oleh
evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan masa depan seseorang.
6. Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan semata-
mata trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali
terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang
tidak adaptif.
7. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab depresi
terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi,
termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik
dalam irama biologis.

B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi ) menurut
Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang, fungsi
fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode depresi dan
mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi, terutama pada
wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti infeski,
neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam perasaan.
Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat yang
menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga sering
disertai depresi.

Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi (teori
biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri dari
psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).

2.5.1.5. Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia


Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health) yang serius dan
kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi juga faktor lain yang saling terkait.
Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada lansia harus dengan multiple approach. Menurut
Samiun (2006) ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu :
1. Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman dan
terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut Hawari (1996), seseorang
yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh dari
kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang dicintai (terhadap suami
atau istri yang meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan
orang itu mengalami kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal, bersalah
dan seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan
sedih dan duka cita sesudah kehilangan objek yang dicintai (loss of love object), tetapi seringkali
mengalami perasaan ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai tetapi marah dan benci
karena telah meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya bahwa intropeksi merupakan
satu-satunya cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik, marah dan
menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang terjadi pada
lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh dan perubahan yang terjadi
terutama perubahan psikososial. Perubahan-perubahan tersebut diatas seringkali menjadi stresor
bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis dan biologis. Menurut Maramis (1995), pada
lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara
psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi
terhadap perubahan dan stres lingkungan sering menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi adalah strategi
pasif (defence mcanism) seperti menghindar, menolak, impian, displacement dan lain-lain (Coyne
ett all, 1981 ; Samiun, 2006). Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan
dukungan sosial (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stresor.
Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup,
kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et all, 1983 ; Samiun , 2006).

2. Pendekatan Perilaku Belajar


Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu yang kurang
menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman (punishment) yang lebih banyak
dibandingkan individu yang idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ; Samiun,
2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini mengakibatkan lansia
merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan, kecenderungan memiliki self-esteem yang
kurang dan mengembangkan self-concept yang rendah. Hadiah dan hukuman bersumber dari
lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar) dan dari diri sendiri. Situasi akan bertambah buruk
jika seseorang menilai hadiah yang diterima terlalu rendah dan hukuman yang diterima terlalu
tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan
antara nilai reward dan punishment itu. Peran hadiah dan hukuman terhadap diri sendiri yang tidak
tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ; Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah seseorang jika pindah
ke tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah dan perubahan dari
tingkah laku yang mendapat hadiah sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi menjadi tidak
berguna. Standar untuk hadiah dan hukuman yang meningkat menyebabkan performansi yang
diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang sebelumnya diterima
dapat menyebabkan depresi apabila sumber alternatif untuk mendapat hadiah tidak ditemukan.

3. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena
memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan
diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan
pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu yang
kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan
memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa depannya
suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa
percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya
distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan
tingkat aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat
mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya (helplessness).
Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984;
Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering
adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis dan
keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness)
tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan dasar
pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik yang
terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering dialami
individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).

4. Pendekatan Humanistik – Eksitensial


Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi karena adanya
ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu yang menyadari jurang yang dalam
antara reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam kesedihan
dan tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu merasa tidak ada lagi
pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang yang real. Pada lansia yang gagal untuk bereksistensi
diri menyadari bahwa mereka tidak mau berada pada kondisinya sekarang yang mengalami
perubahan dan kurang mampu menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik mereka segera
berakhir. Kegagalan bereksistensi ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai seseorang yang
real.

5. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang rendah
(neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur
kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi hypothalamus, seperti
mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar, 1982; Samiun, 2006),
sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan keluhan-keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar. Monozogotik
Twins (MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara
(Dizigotik Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006). Secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang
unik dari berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri
karena penurunan kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta
kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis penurunan
neuron-neuron dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi pada
lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga depresi pada
lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.

2.5.1.6. Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)


Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami seseorang
setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi pada pasca kuasa adalah karena
adanya perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun
tujuan ideal pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari tua, namun
dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001).
Menurut Kuntioro (2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari
model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension tidak merupakan beban mental lansia,
jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental individu dalam masa pensiun, dalam
kenyataannya ada yang menerima ada yang takut kehilangan ada yang merasa senang memiliki
jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu baik positif maupun
negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan dampak negative akan mengganggu
kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan interpersonal,
peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang besar. Kejadian yang
tidak diinginkan juga sering menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau
(perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan, perubahan
kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan depresi (Stuart dan Larairam, 1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai
kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang
kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini
telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya
keseimbangan mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan
terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan
perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca kuasa (post power syndrome).
Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial dari orang
yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini merasa
lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam perasaan
pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan
(kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka keluhan
psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang
mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di
luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan mekanisme
defensive antara lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka terjadi perubahan
persepsi seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut Maramis (1995), bahwa
stress psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan dan rasa bersalah yang
menimbulkan mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada sewaktu-waktu, hanya gejala
badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita harus mengingat bahwa manusia
itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia itu terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen psikologik
dan komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistis,
putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas lupa timbul
pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak senang, lelah tak
bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat anoreksia
(kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan
konstipasi.

2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda
(Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup
dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru,
orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan
merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan
motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan
kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan
kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya.
Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan sering
menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan
social (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti
bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah
gagal karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai
mengakibatkan lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga
mempengaruhi kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.

b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social
mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan
keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi ini
dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia antara
integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan
self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit
bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan rumah
tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi merupakan
pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian persahabatan
yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering mengakibatkan lansia merasa
kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang
hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah
hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran
penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan peran
barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).

c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan
lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk
menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga (family
system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi
mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis
menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah penyelesainnya
dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya dan
mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena
tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan
keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan
mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman, 1998).

2.5.1.8. Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia


Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap lingkungannya.
Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi. Jika
dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi
dan dapat dipercayai serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada lansia. Salah satu
yang paling mudah digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti
maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan oleh
Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia, dan memiliki keunggulan
mudah digunakan dan tidak memerlukan keterampilan khusus dari pengguna. Instrument GDS ini
memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes reliabilitas alat ini correlates significantly of
0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan dibuat sebagai alat penapisan depresi
pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab
“ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu sekitar 5-10 menit untuk
menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak mencakup hal-hal somatic yang
tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi,
nilai 11-20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat yang
membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih rinci,
karena GDS hanya merupakan alat penapisan. Spesifikasi rancangan pernyataan perasaan (mood)
depresi seperti tabel berikut:
Table 5.1 Spesifikasi rancangan kuesioner GDS
Butir Soal

Parameter Favorable Unfavorable


Minat aktivitas 2, 12, 20, 28 27
Perasaan sedih 16, 25 9, 15, 19
Perasaan sepi dan bosan 3, 4
Perasaan tidak berdaya 10, 17, 24
Perasaan bersalah 6, 8, 11, 18, 23 1
Perhatian/konsentrasi 14, 26, 30 29
Semangat atau harapan terhadap masa 13, 22 5, 7, 21
depan

Skoring nilai 1 diberikan pada pernyataan Favorable untuk jawaban “ya” dan nilai 0 untuk
jawaban “tidak” sedangkan pernyataan Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan jawaban
“ya” diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia sebagai
berikut:
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan
kehidupannya?
2. Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau
kesenangan akhir-akhir ini?
3. Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup
ini?
4. Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?
5. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di
masa depan?
6. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang
menganggu terus menerus?
7. Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?
8. Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi
pada anda?
9. Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?
10 Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?
11. Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?
12. Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar
dan mengerjakan sesuatu?
13. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14. Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?
15. Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini
menyenangkan?
16. Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?
17. Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?
18. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu?
19. Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?
20 Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang
baru?
21. Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?
22. Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada
harapan?
23. Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik
keadaannya daripada bapak/ibu?
24. Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?
25. Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?
26. Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?
27. Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi
hari?
28. Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?
29. Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?
30. Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam
memikirkan sesuatu seperti dulu?

2.5.1.9. Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia


Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu
ditekannkan pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut karena
pendekatan daru satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang
membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang
kesehatan jiwa (mental health) disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu pendekatan yang
tidak tertuju pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek psychological, psikososial,
spiritual dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik adalah pendekatan yang
menggunakan semua upaya untuk meningkatan derajat kesehatan lanjut usia, secara utuh dan
menyeluruh (Hawari, 1996).
Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic approach, diantaranya:
1) Pendekatan Psikodinamik
Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-konflik yang
berhubungan dengan kehilangan dan stress. Upaya penanganan depresi dengan mengidentifikasi
kehilangan dan stress yang menyebabkan depresi, mengatasi, dan mengembangkan cara-cara
menghadapi kehilangan dan stressor dengan psikoterapi yang bertujuan untuk memulihkan
kepercayaan diri (self confidence) dan memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887), pendekatan
ini tidak hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi juga untuk mendapatkan perubahan struktur
dan karakter kepribadian yang bertujuan untuk perbaikan kepercayaan pribadi, keintiman,
mekanisme mengatasi stressor, dan kemampuan untuk mengalami berbagai macam emosi.
Pendekatan keagaman (spiritual) dan budaya sangat dianjurkan pada lansia. Pemikiran-
pemikiran dari ajaran agama apapun mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia
ini manusia tidak terbebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat
ditemukan dalam doa-doa yang paada intinya memohon kepada Tuhan agar dalam kehidupan ini
manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia dan di akhirat (Hawari,
1996).
2) Pendekatan Perilaku Belajar
Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan berlebihannya
hukuman atas diri dapat di atasi dengan pendekatan perilaku belajar. Caranya dengan identifikasi
aspek-aspek leingkungan yang merupakan sumber hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan
keterampilan dan strategi baru untuk mengatasi, menghindari, atau mengurangi pengalaman yang
menghukum, seperti assertive training, latihan keterampilan social, latihan relaksasi, dan latihan
manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah peningkatan hadiah dalam hidup dengan self-
reinforcement, yang diberikan segera setelah tugas dapat diselesaikan.
Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang p[erlu diperhatikan dalam pemberian hadiah
dan hukuman, yaitu tugas dan teknik yang diberikan terperinci dan spesifik untuk aspek hadiah
dan hukuman dari kehidupan tertentu dari individu. Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah laku
supaya meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman, serta individu harus diajarkan
keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.
3) Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikit tentang keberhasilan
masa lalu dan sekarang dengan cara mengidentifikasi pemikiran negative yang mempengaruhi
suasana hati dan tingkah laku, menguji individu untuk menentukan apakah pemikirannya benar
dan menggantikan pikiran yang tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck, et al, 1979; Samiun,
2006). Dasar dari pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari
rangkaian verbalisasi diri (self-talk) terhadap peristiwa/pengalaman yang dialami yang
menentukan emosi dan tingkah laku diri.
Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah menghilangkan episode depresi
dan mencegah rekuren dengan membantu mengidentifikasi dan uji kognisi negative,
mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif, serta melatih respon kognitif dan
perilaku yang baru dan penguatan perilaku dan pemikiran yang positif.
4) Pendekatan Humanistik Eksistensial
Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari kebaradaannya didunia
ini dengan memperluas kesadaran diri, menemukan dirinya kembali dan bertanggung jawab
terhadap arah hidupnya. Dalam pendekatan ini, individu yang harus berusaha membuka pintu
menuju dirinya sendiri, melonggarkan belengu deterministic yang menyebabkan terpenjara secara
psikologis (Corey, 1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi alternative ini membuat
pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa dia sebelumnya, sekarang dan lebih mempu
menetapkan masa depan.
5) Pendekatan Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi psikofarmaka
(farmakoterapi) dengan obat anti depresan merupakan pilihan alternative. Hasil terapi dengan obat
anti depresan adalah baik dengan dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.

2.5.2. Berduka Cita


Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Periode duka cita
merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seorang penderita lanjut usia. Meninggalnya
pasangan hidup, seorang teman dekat atau bahkan seekor hewan yang sangat disanyangi bias
mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang
selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2 tahun pertama
setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan periode yang sangat
rawan. Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat mengekspresikan
dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti dengan menangis dan
kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut biasanya tidak bersifat
self limiting. Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan pada episode tersebut
berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan keluhan, memberikan
hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan dan berjalan terlalu
berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat, konsultasi psikiatrik
mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.

2.5.3. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga
mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat,
gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran (Brocklehurts-
Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup sendiri
tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat
lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami
kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi social sangat berarti, karena bias bertindak
menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran social penderita, di samping
memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila memang terdapat disabilitas penderita
dalam hal-hal tersebut.

2.5.4. Dementia
2.5.4.1. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi
aktifitas sehari-hari. Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit
biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu
sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkahlaku.
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya ingat
dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap fungsi
kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan kognitif, perubahan
mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari penderita.

2.5.4.2. Etiologi
Penyebab demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang baik
pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Untuk mengingat
berbagai keadaan tersebut telah dibuat suatu “jembatan keledai” sebagai berikut:
D Drugs (obat)
Obat sedative
Obat penenang minor atau mayor
Obat anti konvulsan
Obat anti hipertensi
Obat anti aritmia
E emotional (gangguan emosi, ex: depresi)
M metabolic dan endokrin
Seperti: DM
Hipoglikemia
Gangguan ginjal
Gangguan hepar
Gangguan tiroid
Gangguan elektrolit
E Eye & Ear (disfungsi mata dan telinga)
N Nutritional
Kekurangan vit B6 (pellagra)
Kekurangan vit B1 (sindrom wernicke)
Kekurangan vut B12 (anemia pernisiosa)
Kekurangan asam folat
T Tumor dan Trauma
I Infeksi
Ensefalitis oleh virus, contoh: herpes simplek
Bakteri, contoh: pnemokok
TBC
Parasit
Fungus
Abses otak
Neurosifilis
A Arterosklerosis (komplikasi peyakit aterosklerosis, missal: infark miokard, gagal jantung, dan
alkohol).

Keadaan yang secara potensial reversible atau yang bias dihentikan seperti:
 Intoksikasi (obat, termasuk alkohol)
 Infeksi susunan saraf pusat
 Gangguan metabolic
 Gangguan vaskuler (demensia multi-infark)
 Lesi desak ruang:
 Hematoma subdural akut/kronis
 Metastase neoplasma
 Hidrosefalus yang bertekanan normal
 Depresi (pseudo-demensia depresif)

Penyebab dari Demensia Non Reversible :


1. Penyakit Degenerative
 Penyakit Alzhemeir
 Demensia yang berhubungan dengan badan Lewy
 Penyakit pick
 Penyakit Huntingon
 Kelumpuhan supranuklear progresif
 Penyakit Parkinson
2. Penyakit Vaskuler
 Penyakit serebrovaskuler oklusif (demensia multi-infark)
 Penyakit Binswanger
 Embolisme serebral
 Arteritis
 Anoksia sekunder akibat henti jantung, gagal jantung akibat intiksikasi karbon monoksida
3. Demensia Traumatic
 Perlukaan kranio-serebral
 Demensia pugilistika
4. Infeksi
 Sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS)
 Infeksi opportunistic
 Penyakit creutzfeld-jacob progresif
 Kokeonsefalopati multi fokal progresif
 Demensia pasca ensefalitis
Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala demensia
adalah penyakit Alzhemeir, penyakit vaskuler (pembuluh darah), demensia leury body, demensia
frontotemporer dan 10% diantaranya disebabkan oleh penyakit lain. Penyakit yang dapat
menyebabkan timbulnya gejala demensia ada 7S, sebagian dapat disembuhkan dan sebagian besar
tidak dapat disembuhkan. 50%-60% penyebab demensia adalah penyakit Alzhemeir. Alzhemeir
adalah kondisi dimana sel saraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat
ditransmisikan sebagaimana mestinya.

2.5.4.3. Karakteristik Demensia


Menurut John (1994) bahwa lansia yang mengalami demensia juga akan mengalami keadaan
yang sama seperti orang depresi yaitu akan mengalami deficit aktivitas kehidupan sehari-hari
(AKS), gejala yang sering menyertai demensia adalah :
A. Gejala Awal
 Kinerja mental menurun
 Fatique
 Mudah lupa
 Gagal dalam tugas
B. Gejala Lanjut
 Gangguan kognitif
 Gangguan afektif
 Gangguan perilaku
C. Gejala Umum
 Mudah lupa
 Aktivitas sehari-hari terganggu
 Disorientasi
 Cepat marah
 Kurang konsentrasi
 Resti jatuh

2.5.4.4. Klasifikasi Demensia


A. Dementia Senilis
Kekurangan peredaran darah ke otak serta pengurangan metabolism dan O2 yang
menyertainya merupakan penyebab kelainan anatomis di otak. Pada banyak orang terdapat
kelainan aterosklerosis seperti juga yang terdapat pada demensia senifilis, tetapi tidak diketemukan
gejal-gejal demensia. Otak mengecil terdapat suatu atrofi umum, terutama pada daerah frontal.
Yang penting ialah jumlah sel berkurang. Kadang-kadang ada kelainan otak yang jelas, tetapi
orang itu tidak psikotik, sebaliknya pada orang yang sudah jelas demensia kadang-kadang ada
sedikit kelaianan pada otak, jadi tidak selalu ada korelasi antara besarnya kelainan histology dan
beratnya gangguan intelegensi.
1) Gejala
 Biasanya sesudah umur 60 tahun baru timbul gejala-gejala yang jelas untuk membuat diagnose
demensia senilis. Penyakit jasmaniah atau gangguan emosi yang hebat dapat mempercepat
munduran mental.
 Gangguan ingatan jangka pendek, lupa tentang hal-hal yang baru terjadi, merupakan gejala dini,
juga kekurangan ide-ide dan gaya pemikiran abstrak. Yang menjadi egosentrik dan egoistic, lekas
tersinggung dan marah-marah. Kadang-kadang timbul aktivitas seksual yang berlebihan atau yang
tidak pantas, sesuatu tanda control berkurang atau usaha untuk kompensasi psikologis.
 Penderita menjadi acuh tak acuh terhadap pakaian dan rupanya. Ia menyimpan barang-barang
yang tidak berguna, mungkin timbul waham bahwa ia akan dirampok, akan dirasuni atau ai miskin
sekali atau tidak disuka orang.
 Orientasi terganggu dan ia mungkin pergi dari rumah dan tidak mengetahui jalan pulang.
 Penilaiannya berkurang sehingga ia dapat menyukarkan dan menbahayakan lalu lintas dijalan.
 Ia mungkin jadi korban penjahat karena ia mudah diajak, umpamanya dalam hal penipuan dan
sex.
 Banyak menjadi gelisah waktu malam, mereka berjalan-jalan tak bertujuan dan menjadi
dekstruktif. Mungkin timbul delirium waktu malam, ini karena penglihatan yang terbatas diwaktu
gelap bila penderita dengan demensia senilis ditaruh dalam kamar yang gelap, maka akan timbul
disorientasi.
 Ingatan jangka pendek makin lama makin keras terganggu, maka makin lama makin banyak ia
lupa, sehingga penderita hidup dalam alam pikiran sewaktu ia masih muda atau masih kecil.
 Gejala jasmani: kulit menjadi tipis, keriput, dan atrofis, BB mengurang, atrofi pada otot-otot,
jalannya menjadi tidak stabil, suara kasar, dan bicaranya jadi pelan, dan tremor pada tangan dan
kepala.
 Gejala psikologis: sering hanya terdapat tanda kemunduran mental umum (demensia simplek).
Tetapi tidak jarang juga terjadi kebingungan dan delirium, atau depresi atau serta agitasi. Ada yang
menjadi paranoid. Pada presbiofrenia terutama dapat gangguan ingatan serta konvabulasi dan
dapat dianggap sebagai salah satu jenis demensia senilis dan beberapa gejala yang menonjol dan
sedikit lebih cepat.
2) Prognosa
Tidak baik, jalannya progresif, demensia makin lama makin berat sehingga akhirnya penderita
hidup secara vegetative saja, walaupun demikian penderita dapat hidup selama 10 tahun atau lebih
setelah gejala-gejala menjadi nyata.
3) Diagnosa
Perlu dibedakan dari arteroskelorosa otak, tapi kedua hal ini tidak jarang terjadi bersama-sama.
Pada melankolia involusi tidak didapat tanda-tanda demensia. Kadang-kadang sindroma otak
organis sebab uremia, anemia, payah jantung atau penyakit paru-paru dapat serupa dengan psikosa
senilis.
4) Pengobatan
 Pertahankan perasaan aman dan harga diri, perhatikanlah dan cobalah memuaskan kebutuhan rasa
kasih saying, rasa masuk hitungan, tercapainya sesuatu dan rasa penuh dibenarkan serta dihargai.
 Kamarnya jangan gelap gulita dan taruhlah barang-barang yang sudah ia kenal sejak dulu untuk
mempermudah orientasinya.

B. Dementia Presenilis
Seperti namanya, maka gangguan ini gejala utamanya ialah seperti sebelum masa senile akan
dibicarakan 2 macam demensia presenilis yaitu:
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimeir ini biasanya timbul antara usia 50-60 tahun. Yang disebabkan oleh
karena adanya degenerasi kortek yang difus pada otak dilapisan luar, terutama di daerah frontal
dan temporal. Atrofi otak ini dapat dilihat pada pneumoensefalogam, system ventrikel membesar
serta banyak hawa diruang subarachnoid. Penyakit ini dimulai pelan sekali, tidak ada ciri yang
khas pada gangguan intelegensi atau pada kelainan perilaku. Terdapat disorientasi, gangguan
ingatan, emosi yang lebih, kekeliruan dalam berhitung, dam pembicaraan sehari-hari dapat terjadi
afasi, perseverasi (mengulang-ngulang perkataan; perbuatan tanpa guna), pembicaraan logoklonia
(pengulangan tiap suku kata akhir secara tidak teratur), dan bila sudah berat maka penderita tidak
dapat dimengerti lagi. Ada yang jadi gelisah dan hiperaktif.
Kadang-kadang sepintas lalu timbul aproksia (kehilangan kecakapan yang diperoleh
sebelumnya untuk melakukan pekerjaan atau gerakan yang memerlukan keterampilan),
hemiplegia tau pra plegi, parese pada muka dan spasme pada ekstremitas juga sering terjadi
sehingga pada stadium akhir timbul kontraktur. Pada fase ini sudah sangant dement dan tidak
diadakan kotak dengannya lagi. Biasanya penyakit ini berlangsung selama 5-10 tahun.

2. Penyakit Pick
Secara patologis penyakit ini ialah atrofi dan gliosis di daerah-daerah asosiatif. Daerah
motoric, sensorik, dan daerah proyeksi secara relative dan banyak berubah. Yang terganggu ialah
daerah kortek yang secara filogenptik lebih mudah dan yang penting buat fungsi asosiasi yang
lebih tinggi. Sebab itu yang terutama terganggu ialah pembicaraan dan proses berpikir.
Penyakit ini mungkin herediter, diperkirakan terdapat factor menjadi pencetus dari sel-sel
ganglion yang tertentu yaitu: yang genetic paling muda. Lobus frontalis menjadi demikian atrofis
sehingga kadang kelihatan seperti ditekan oleh suatu lingkaran. Biasanya terjadi pada umut 45-60
tahun, yang termuda yang pernah diberitakan ialah 31 tahun.
Penyakit Pick terdapat 2x lebih banyak pada kaum wanita dari pad kaum pria. Gejala
permulaan: ingatan berkurang, kesukaran dalam pemikiran dan konsentrasi, kurang spontanitas,
emosi menjadi tumpul. Penderita menjadi acuh tak acuh, kadang-kadang tidak dapat menyesuaikan
diri serta menyelesaikan masalah dalam situasi yang baru.
Dalam waktu 1 tahun sudah terjadi demensia yang jelas. Ada yang efor, ada yang jadi susah
dan curiga. Sering terdapat gejala fokal seperti afasia, aproksia, aleksia, tetapi gejala ini sering
diselubungi oleh demensia umum. Ciri afasia yang penting pada penyakit ini ialah terjadinya
secara pelan-pelan (tidak mendadak seperti pada gangguan pembuluh darah otak), terdapatnya
logorrhea yang spontan (yang tidak terdapat pada afasia sebab gangguan pembuluh darah). Tidak
jarang ada echolalia dan reaksi stereotip.
Pada fase lanjut demensia menjadi hebat, terdapat inkontinensia, kemampuan buat
berbicara hilang dan kekeksia yang berat. Biasanya penderita meninggal dalam waktu 4-6 tahun
karena suatu penyakit infeksi tambahan.
Smapai sekarang tidak ada pengobatan terhadap kasus demensia presenilis. Dapat
direncanakan bantuan yang simptomatik dalam lingkungan yang memadai. Biar gelisah dapat
dipertimbangkan pemberian obat psikotropik.

2.5.4.5. Pemeriksaan Demensia


Pemeriksaan penting yang harus dilakukan untuk penderita, mulai dari pengkajian latar
belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian status mental dan sebagai penunjang juga
diperlukan tes laboratorium.
1. Berikut ini untuk menguji aspek-aspek Kognitif dan Fungsi Mental
Nilai Maksimum Score Pertanyaan
Orientasi
5 (tahun) (musim) (tanggal) (hari) (bulan apa
sekarang)
5 Dimana kita: (negara
bagian)(wilayah)(kota)(rumah sakit)(lantai)
Registrasi
3 Nama 3 objek: 1 detik untuk mangatakan
masing-masing. Kemudian tanyakan klien
ketiga objek setelah anda mengatakannya.
Beri 1 poin untuk setiap jawaban yang
benar. Kemudian ulangi sampai ia
mempelajari ketiganya. Jumlahkan
percobaan dan catat.
Perhatian dan
Kalkulasi
5 Seri 7’s. 1 poin untuk setiap kebenaran
Berhenti setelah 5 jawaban. Bergantian eja
“kata” ke belakang.
Meminta
3 Minta untuk mengulang ketiga objek di atas.
Berikan 1 poin untuk setiap kebenaran.
Bahasa
9 Nama pensil dan melihat (2poin)
Mengulangi hal berikut: “task ada jika, dan
atau tetapi”(1 poin)
Nilai Total
Compos mentis Apatis Somnolen Soporus Koma
Keterangan:
Nilai maksimal 30, nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan kognitif yang
memerlukan penyelidikan lanjut. Kriteria demensia:
 Ringan : 21 - 30
 Sedang : 11 – 20
 Berat : < 10
2. Pemeriksaan Portabel untuk Status Mental (PPMS = MMSE = mini mental state examination)
Daftar pertanyaan Penilaian
1. Tanggal berapakah hari ini? (bulan, 0-2 kesalahan = baik
tahun) 3-4 kesalahan = gangguan intelek
2. Hari apakah ini? ringan
3. Apakah nama tempat ini? 5-7 kesalahan = gangguan intelek
4. Berapa nomor telepon bapak/ibu? (bila sedang
tidak ada telepon, dijalan apakah rumah 8-10 kesalahan = gangguan intelek
bapak/ibu?) berat
5. Berapakah umur Bapak/Ibu?
6. Kapan Bapak/Ibu lahir? (tanggal, bulan, Bila penderita tak pernah sekolah,
tahun) nilai kesalahan diperbolehkan +1 dari
7. Siapakah nama gubernur kita? nilai di atas.
(walikota/lurah/camat)  Bila penderita sekolah lebih dari
8. Siapakah nama gadis ibu anda? SMA, kesalahan yang diperbolehkan -1
9. Hitung mundur 3-3, mulai dari 20! dari nilai diatas.

2.5.4.6. Penanganan Pasien Demensia


Tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan jika menghadapi pasien demensia aialah sebagai
berikut:
a. Terapi obat dengan pengawasan dokter
b. Intervensi non obat :
1. Intervensi Lingkungan
 Penyesuaian fisik (bentuk ruangan, warna, alat yang tersedia).
 Penyesuaian waktu (membuat jadual rutin).
 Penyesuaian lingkungan malam hari (mandi air hangat, tidur teratur).
 Penyesuaian indra (mata, telinga).
 Penyesuaian nutrisi (makan makanan dengan gizi seimbang).
2. Intervensi Perilaku
Wandering
 Yakinkan dimana keberadaan pasien.
 Berikan keleluasaan bergerak di dalam dan di luar rumah.
 Gelang pengenal “hendaya memory”.
Agitasi dan Agresifitas
 Hindari situasi yang memprovokasi
 Hindari argumentasi
 Sikap kita tenang dan mantap
 Alihkan perhatian kenal lain
Sikap dan pertanyaan yang berulang
 Tenang, dengarkan dengan baik, jawab dengan penuh pengertian. Bila masih berulang, acuhkan
dan usahankan aluhkan ke hal yang menarik.
 Perilaku seksual yang tidak wajar/ sesuai
 Tenang dan bombing pasien keruang pribadinya
 Alihkan ke hal yang menarik perhatiannya
 Bila didapatkan dalam keadaan telanjang, berilah pakaian atau selimut untuk menutupi badannya.
Bantu mengenakan baju kembali.
3. Intervensi Psikologis
 Psiko terapi individual
 Psiko terapi kelompok
 Psiko terapi keluarga
4. Intervensi untuk “care giver” (pengasuh) diperlukan :
 Dukungan mental
 Pengembangan kemampuan adaptasi dan peningkatan kemandirian
 Kemampuan menerima kenyataan
5. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi mudah lupa :
 Lakukan latihan terus-menerus, berulang-ulang
 Tingkatkan perhatian
 Asosiasikan hal yang diingat dengan hal yang sudah ada dalam otak
6. Aktivitas Keagamaan
7. Mengembangkan hobi yang ada seperti melukis, memasak, main music, berkebun, fotografi.

2.5.5. SELF-ESTEEM Lanjut Usia


2.5.5.1. Pengertian
Branden (2001) mendefinisikan self-esteem sebagai cara pandang individu terhadap
dirinya, bagaimana seseorang menerima dirinya dan menghargainya sebagai individu yang utuh.
Nilai yang kita taruh atas diri kita sendiri berdasar penilaian kita sejauhmana memenuhi harapan
diri. Harga diri yang tinggi merupakan nilai positif yang kita lekatkan pada diri yang berakar dari
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalah, kekalahan dan kegagaln, tetapi
tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga (Dariuszky, 2004).
Self-esteem adalah semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahui individu
tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan
Sundeen, 1998). Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuan, interaksi dengan orang
lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan obyek, tujuan serta
keinginan (Tarwoto & Wartonah, 2003). Self-esteem dipelajari melalui kontak social dan
pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandagan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh
bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya (Stuart dan Sunden, 1993;
Kelliat, 1994).
Ideal self adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan
standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan cita-cita, apa yang diinginkan dan nilai yang
ingin dicapai. Ideal self akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma social,
keluarga dan budaya (Stuart dan Sunden, 1998).

2.5.5.2. Self-Esteem Pada Lanjut Usia


Pada usia lanjut umumnya dorongan dan kemauan masih kuat, akan tetapi kadang-kadang
realisasinya tidak dapat dilaksanakan, karena kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional
(functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) akibat dari
aging process. Keinginan yang tidak dapat dilaksanakan akibat keterbatasan ini seringkali
menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan diri lanjut usia (lack of self-confidence).
Menurut Dariuszky (2004), unsur penting dalam pertumbuhan perasaan berguna dan selg-
esteem seseorang adalah pengakuan (approval). Pengakuan oleh anak-anaknya dan orang lain
sangat oenting bagi lansia, yang berarti ada penerimaan dari orang lain tentang kondisi dan
perubahan pada dirinya sebagai individu. Penerimaan orang lain menimbulkan rasa aman,
penerimaan diri (self-acceptance) dan peneguhan diri (self-affirmation) lansia sebagai pribadi yang
unik dan tetap terjaga eksistensinya. Apabila pengakuan dari orang lain tidak didapatkan, maka
lansia merasa tidak aman dan tidak dapat menerima diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Lansia menjadi tidak percaya diri (self-confident), selalu menanyakan eksistensi dirinya,
cenderung untuk menyalahkan diri dan memiliki self-esteem yang rendah.
Hilangnya harga diri (lack of self-esteem) timbul akibat kehilangan symbol-simbol self-
esteem yang mempengaruhi cara memandang dan menjalani kehidupan. Pada lansia symbol-
simbol self-esteem yang hilang seperti status social, kekuasaan, peran dalam kehidupan, pekerjaan
dan nilai-nilai yang dianut (Dariuszky, 2004). Hilangnya symbol self-esteem ini mengakibatkan
lansia merasa tidak berguna, tidak berdaya, putus asa, kekecewaan, rasa sesal, bersalah, dan mudah
jatuh dalam depresi.
Menurut Maslow (Maramis, 2004), self-esteem merupakan salah satu kebutuhan dari setiap
individu yang harus dipenuhi untuk mencapai aktualisasi diri sebagai puncak kebutuhan individu.
Tetapi kebutuhan itu baru akan dicapai apabila kebutuhan yang lebih dasar sudah terpenuhi, seperti
kebutuhan biologis, kebutuhan sandang, pangan dan papan, kebutuhan rasa aman dan nyaman,
kebutuhan kasih sayang. Kebutuhan akan self-esteem berpengaruh terhadap motivasi seseorang
untuk beraktifitas dan kreatifitas untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain untuk
pencapaian kebutuhan yang paling tinggi, yaitu kebutuhan aktualisasi diri.

2.5.5.3. Karakteristik Self-Esteem


Self-esteem berpengaruh besar terhadap kualitas dan kebahagian hidup seseorang
(Dariuszky, 2004). Seseorang yang memiliki Self-esteem yang tinggi akan merasa tenang, mantap,
optimistis, mampu mengendalikan situasi dirinya dan lebih mampu mengatasi masalah-masalah
dan kesulitan hidup. Sedangkan Self-esteem yang rendah sering menimbulkan pesimistis dan
mudah menyerah terhadap permasalahan yang dihadapi.
Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan memandang dirinya sebagai seseorang
yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan apa yang ia inginkan. Harga diri
yang rendah berhubungan dengan hubungan interpersonal yang buruk dan menonjol pada klien
skozofrenia dan depresi (Stuart dan Sundeen, 1998).

Dariuszky (2004) memberikan karakteristik individu yang memiliki Self-esteem tinggi sebagai
berikut:
1. Mempunyai harapan yang positif dan realitis atas usahanya mapupun hasil dari usahanya.
2. Bersedia mempertanggungjawabkan kegagalan maupun kesalahannya.
3. Memandang dirinya sama dan sederajat dengan orang lain.
4. Cenderung melakukan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan dirinya.
5. Tidak kuatir akan keselamatan hidupnya dan lebih berani mengambil resiko.
6. Mempunyai bukti atau alas an yang kuat untuk menghargai dirinya sendiri atas keberhasilan yang
telah diraihnya.
7. Relative puas dan bahagia dengan hidupnya dan kemampuannya cukup bagus dalam hal
penyesuaian diri.

Sedangkan ciri-ciri orang yang memiliki Self-esteem yang rendah menurut Dariuszky (2004)
adalah:
1. Sulit menemukan hal-hal yang positif dalam tindakan yang mereka lakukan.
2. Cenderung cemas mengenai hidupnya dan kurang berani mengambil resiko.
3. Kurang menghargai keberhasilan yang mereka raih.
4. Mereka terlalu peduli akan tanggungjawab atas kegagalan yang mereka perbuat dan mencari
alasan untuk membuktikan bahwa mereka salah.
5. Merasa rendah diri ketika berhadapan dengan orang lain.
6. Tidak termotivasi untuk memperbaiki dan menyempurnakan diri.
7. Merasa kurang puas dan tidak bahagia dengan hidupnya, dan tidak mampu meyesuaikan diri.
8. Pikiran cenderung mudah terserang perasaan putus asa, depresi dan niat bunuh diri.

Tanda dan gejala gangguan Self-esteem menurut Carpenito (2001) sebagai berikut:
1. Pengungkapan diri negative
2. Rasa bersalah atau malu
3. Evaluasi diri tidak mampu menangani kejadian
4. Menghindari diskusi tentang topic dirinya
5. Merasionalisasi penolakan/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik negative
tentang diri
6. Ketidakmampuan untuk menentukan tujuan
7. Ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang baru
8. Hipersensitif terhadap kritik ringan
9. Tanda dari keresahan seperti marah, mudah tersinggung, keputusasaan, dan menangis
10. Mengingkari masalah nyata
11. Perilaku penyalahgunaan diri (pengerusakaan, usaha bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan menjadi
korban)
12. Penampilan tubuh buruk (postur, kontak mata, gerakan)
13. Merasionalisasi kegagalan pribadi
Stuart dan Sudeen (1993); Keliat (1994), mengemukakan 10 cara individu mengekspresikan secara
langsung harga diri rendah yaitu:
1. Mengejek dn mengkritik pandagan negative tentang dirinya. Sering mengatakan dirinya “bodoh”,
“tidak tahu apa-apa” dan sikap negative terhadap dirinya.
2. Merendahkan/mengurangi martabat diri
3. Menghindari, mengabaikan atau menolak kemampuan yang nyata dimiliki dan merasa tidak
mampu melakukan apapun.
4. Rasa bersalah dan khawatir
5. Individu menolak diri dan menghukum diri sendiri, iritabel dan pesimis terhadap kehidupan.
Kadang timbul perasaan dirinya penting yang berlebih-lebihan. Dapat juga ditemukan gejala fobia
dan obsesi.
6. Manifestasi fisik
7. Keluhan tidak punya tenaga, cepat lelah, gejala psikosomatis, tekanan darah tinggi, dan
penyalahgunaan zat.
8. Menunda keputusan
9. Sangat ragu-ragu dalam mengambil keputusan, rasa aman terancam dan ketegangan peran.
10. Masalah dalam berhubungan dengan orang lain
11. Menarik diri dan isolasi social karena perasaan tidak berharga. Kadang menjadi kejam dan
mengeksploitasi orang lain.
12. Menarik diri dari realitas
13. Kecemasan karena penolakan diri mencapai tingkat berat atau panic, individu mungkin mengalami
gangguan asosiasi, halusinasi, curiga, cemburu dan paranoid.
14. Merusak diri
15. Harga diri yang rendah mendorong klien untuk mengakhiri kehidupan karena merasa tidak
berguna dan tidak ada harapan untuk hidup.
16. Merusak/melukai orang lain
17. Kebencian dan penolakan pada diri dapat dilampiaskan ke orang lain.
18. Kecemasan dan takut
19. Kekhawatiran menghadapi masa depan yang tidak jelas karena merasa tidak mampu menjalani
kehidupan. Pandangan hidup seiring terpolarisasi.
2.5.5.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem
Harga diri (Self-esteem) bukanlah suatu sifat bawaan ang tidak dapat diubah. Ia diengaruhi
oleh berbagai factor seperti suasana hati, kondisi kesehatan, kehilangan sesuatu yang dicintai,
kehilangan pekerjaan. Pension dan lain-lain. Banyak orang yang tidak mampu mengatasi kondisi
seprti itu dan jatuh dalam kekalutan emosional dan tidak memiliki persepsi yang sehat mengenai
dirinya mauoun lingkungan eksternalnya, sehingga orang itu memiliki Self-esteem yang rendah
(Dariuszky, 2004).
Menurut Stuart dan Sudeen (1993); Keliat (1994), stressor yang mempengaruhi Self-esteem
adalah penolakan dan kurangnya penghargaan dari orang lain, persaingan, kesalahan dan
kegagalan yang berulang, cita-cita yang tidak dapat dicapai, ideal self yang tidak realistic dan gagal
bertanggungjawab terhadap diri.
Factor-faktor yang mempengaruhi Self-esteem menurut Carpenito (2001):
1) Patofisiologi
Berhubungan dengan perubahan penampilan, sekunder akibat dari kehilngan citra tubuh,
kehilangan fungsi tubuh dan bentuk badan berubah akibat dari trauma, pembedahan, dan cacat
lahir.
2) Situasional (personal, lingkungan)
Berhubungan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan, umpan balik, perasaan diabaikan sekunder
akibat kemaitian orang terdekat. Perasaan kegagalan/penurunan berat badan. Kegagalan disekolah,
riwayat ketidakefektifan hubungan dengan orang tua, riwayat penyalahgunaan zat, penolakan
orang tua, harapan yang tidak realistis dari orang tua, hukuman yang tidak konsisten. Perasaan
tidak berdaya dan/atau kegagalan sekunder akibat dari institusional seperti penjara, rumah sakit
jiwa, panti asuhan, dan rumah penitipan.
3) Maturasional
Pada usia bayi dan usia bermain berhubungan dengan kurangnya stimulasi dan kedekatan dengan
orang tuanya, perpisahan dari orang tua/orang terdekat, evaluasi negative yang terus menerus oleh
orang tua, ketidakadekuatan dukungan orang tua, dan ketidakmampuan untuk mempercayai orang
terdekat.
4) Sumber eksternal dan internal
Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap Self-esteem. Pada sumber
internal, misalnya orang yang humoris koping individunya lebih efektif. Sumber eksternal
misalnya adanya dukungan dari masyarakat, dan ekonomi yang kuat.
5) Pengalaman sukses dan gagal
Ada kecenderungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan Self-esteem seseorang, dan
frekuensi gagal yang sering mengakibatkan rendahnya Self-esteem.

2.6. Tahap-tahap Asuhan Keperawatan Lansia


2.6.1. Pengkajian
Proses pengumpulan data untuk mengidentifikasi massalah keperawatan meliputi aspek
a. Fisik
 Wawancara
 Pemeriksaan fisik: Head to Toe dan system tubuh
b. Psikologis
Pemeriksaan psikologis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan Status Mental.
Pemeriksaan status mental meliputi bagaimana penderita berpikir (proses pikir), merasakan
dan bertingkah laku selama pemeriksaan. Keadaan umum penderita adalah termasuk penampilan,
aktivitas psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktifitas bicara.
Gangguan motorik, antara lain gaya berjalan menyeret, posisi tubuh membungkuk, gerakan
jari seperti memilin pil, tremor dan asimetri tubuh perlu dicatat (Kaplan et al, 1997). Banyak
penderita depresi mungkin lambat dalam bicara dan gerakannya. Wajah seperti topeng terdapat
pada penderita penyakit Parkinson (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
Bicara penderita dalam keadaan teragitasi dan cemas mungkin tertekan. Keluar air mata
dan menangis ditemukan pada gangguan depresi dan gangguan kognitif, terutama jika penderita
merasa frustasi karena tidak mampu menjawab pertanyaan pemeriksa (Weinberg, 1995; Kaplan et
al, 1997; Hamilton, 1985). Adanya alat bantu dengar atau indikasi lain bahwa penderita menderita
gangguan pendegaran, misalnya selalu minta pertanyaan diulang, harus dicatat (Gunadi, 1984).
Sikap penderita pada pemeriksa untuk bekerjasama, curigaa, bertahan dan tak berterima
kasih dapat memberi petunjuk tentang kemungkinan adanya reaksi transferensi. Penderita lanjut
usia dapat bereaksi pada dokter muda seolah-olah dokter adalah seorang tokoh yang lebih tua,
tidak peduli, terhadap adanya perbedaan usia (Weinberg, 1995; Laitman, 1990).
1. Gangguan Persepsi. Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia merupakan fenomena yang disebabkan
oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa harus mencatat apakah penderita mengalami
kebingungan terhadap waktu atau tempat selama periode halusinasi. Adanya kebingungan
menyatakan suatu kindisi organic. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor otak dan patologi fokal
yang lain. Pemeriksaan yang lebih lanjut siperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti (Hamilton,
1985).
2. Fungsi Visuospasial. Suatu penurunan kapasitas visuospasial adalah normal dengan lanjutnya
usia. Meminta penderita untuk mencontoh gambar atau menggambar mungkin membantu dalam
penilaian. Pemeriksaan neuropsikologis harus dilaksanakan jika fungsi visuospasial sangat
terganggu (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
3. Proses Berpikir. Gangguan pada progesi pikiran adalah neologisme, gado-gado kata,
sirkumstansialitas, asosiasi longgar, asosiasi bunyi, flight of ideas, dan retardasi. Hilangnya
kemampuan untuk dapat mengerti pikiran abstrak mungkin merupakan tanda awal dementia.
4. Isi pikiran harus diperiksa adanya obsesi, preokupasi somatic, kompulsi atau waham.
Gagasan tentang bunuh diri atau pembunuhan harus dicari. Pemeriksa harus menetukan apakah
terdapat waham dan bagaimana waham tersebut mempengaruhi kehidupan penderita. Waham
mungkin merupakan alas an untuk dirawat. Pasien yang sulit mendengar mungkin secara keliru
diklasifikasikan sebagai paranoid atau pencuriga (Weinberg, 1995; Kaplan et al, 1997; Hamilton,
1985; Laitman, 1990).
5. Sensorium dan Kognisi. Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indra tertentu, sedangkan
kognisi mempermasalahkan informasi dan intelektual (Hamilton, 1985; Weinberg, 1995).
6. Kesadaran. Indicator yang peka terhadap disfungsi otak adalah adanya perubahan kesadaran ,
adanya fluktuasi tingkat kesadaran atau tampak letargik. Pada keadaan yang berat penderita dalam
keadaan somnolen atau stupor (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
7. Orientasi. Gangguan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang berhubungan dengan gangguan
kognisi. Gangguan orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan kecemasan,.
Gangguan buatan, gangguan konversi dan gangguan kepribadian, terutama selama periode stress
fisik atau lingkungan yang tidak mendukung (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985). Pemeriksa
harus menguji orientasi terhadap tempat dengan meminta penderita menggambar lokasi saat ini.
Orientasi terhadap orang mungkin dinilai dengan dua cara: apakah penderita, mengenali namanya
sendiri, dan apakah juga mengenali perawat dan dokter. Orientasi waktu diuji dengan menanyakan
tanggal, tahun, bulan dan hari.
8. Daya Ingat. Daya ingat dinilai dalam hal daya ingat jangka panjang, pendek dan segera. Tes yang
siberikan pada penderita dengan memberikan angka enam digit dan penderita diminta untuk
mengulangi maju dan mundur. Penderita dengan daya ingat yang tak terganggu biasanya dapat
mengingat enam angka maju dan lima angka mundur. Daya ingat jangka panjang diuji dengan
menanyakan tempat dan tanggal lahir, nama dan hari ulang tahun anak-anak penderita. Daya ingat
jangka pendek dapat diperiksa dengan beberapa cara, misalnya menyebut tiga benda pada awal
wawancara dan meminta penderita mengingat kembali benda tersebut diakhir wawancara. Atau
dengan mengulangi cerita tadi secara tepat/persis (Hamilton, 1985).
9. Fungsi Intelektual, Konsentrasi, Informasi dan Kecerdasan. Sejumlah fungsi intelektual
mungkin diajukan untuk menilai pengetahuan umum dan fungsi intelektual. Menghitung dapat
diujikan dengan meminta penderita untuk mengurangi 7 angka dari 100 dan mengurangi 7 lagi
dari hasil akhir dan seterusnya samapi dicapai angka 2. Pemeriksa mencatat respons sebagai dasar
untuk pengujian selanjutnya. Pemeriksa juga dapat meminta penderita untuk menghitung mundur
dari 20 ke 1, dan mencatat waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pemeriksaan tersebut
(Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
10. Pengetahuan umum adalah yang berhubungan dengan kecerdasan. Penderita ditanya nama
presiden Indonesia, nama kota besar di Indonesia. Pemeriksa harus memperhitungkan tingkat
pendidikan penderitam status social ekonomi dan pengalaman hidup penderita dalam menilai hasil
dari beberapa pengujian tersebut.
11. Membaca dan Menulis. Penting bagi klinisi untuk memeriksa kemampuan membaca dan menulis
dan menetukan apakah penderita mempunyai deficit bicara khusus. Pemeriksa dapat meminta
penderita membaca kisah singkat dengan suara keras atau menulis pada penderita. Apakah menulis
dengan tangan kiri atau kanan juga perlu dicatat. (Hamilton, 1985).
12. Pertimbangan. Pertimbangan (judgement) adalah kapasitas untuk bertindak sesuai dengan
berbagai situasi. Apakah penderita menunjukkan gangguan pertimbangan, apa yang akan
dilakukan oleh penderita, misalnya jika ia menemukan surat tertutup, berperangko dan ada
alamatnya di jalan anu? Apa yang akan dilakukan oleh penderita bila ia mencium bau asap di
sebuah gedung bioskop? Apakah penderita mampu mengadakan pembedaan? Apakah penderita
mampu membedakan antara seorang kerdil dan seorang anak? Mengapa seorang memerlukan KTP
atau surat kawin? Dan seterusnya.

c. Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970) Lansia
makin matur dalam kehidupan keagamaanya , hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam
sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970). Perawat harus bias memberikan ketenangan dan kepuasan
batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutinya dalam keadaan sakit atau
mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang
menghadapi kematian, DR. Tony Styobuhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah
rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan ngumpul lagi dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberika
reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara menghadapi hidup ini. Adapun
kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat menyakinkan
lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi di tinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus
mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia. Umumny pada waktu
kematian akan dating agama atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali.
Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja,
melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.

2.6.2. Diagnosa Keperawatan


1. Kesepian berhubungan dengan menarik diri
Tujuan :
1. Pasien mampu mengekspresikan perasaannya
2. Pasien mampu kembali bersosialisasi dengan lingkungan

Intervensi
 Bina hubungan saling percaya
 Bantu klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal.
 Bantu klien membina kembali hubungan interpersonal yang positf / adaptif dan memberikan
kepuasan timbal balik :
a) Beri penguatan dan kritikan yang positif
b) Dengarkan semua kata-kata klien dan jangan menyela saat klien bertanya.
c) Berikan penghargaan saat klien dapat berprilaku yang positif
d) Hindari ketergantungan klien
 Libatkan dalam kegiatan ruangan.
 Ciptakan lingkungan terapeutik
 Libatkan keluarga/system pendukung untuk membantu mengatasi masalah klien.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep diri dan depresi
Tujuan :
1) Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan dirinya
2) Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya

Intervensi
 Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat
 Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
 Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggung jawab terhadap perawatan dirinya
 Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta pasien memilih apakah
mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.
 Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai tujuan. Contoh :
Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk mandi (bawa sabun,
handuk, pakaian bersih)
 Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
 Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.
 Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.
 Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
 Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang masih dimiliki pasien.
 Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
 Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal
kegiatan yang sudah dibuat.

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas


Tujuan :
1) Pasien mampu mengidentifikasi penyebab gangguan pola tidur
2) Pasien mampu memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
Intervensi
 Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang biasanya
 Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur
 Diskusikan cara-cara utuk memenuhi kebutuhan tidur
 Kurangi tidur pada siang hari
 Minum air hangat/susu hangat sebelum tidur
 Hindarkan minum yang mengandung kafein dan coca cola
 Mandi air hangat sebelum tidur
 Dengarkan musik yang lembut sebelum tidur
 Anjurkan pasien untuk memilih cara yang sesuai dengan kebutuhannya)
 Berikan pujian jika pasien memilih cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tidurnya
 Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk memfasilitasi agar pasien
dapat tidur.

4. Resiko membahayakan diri berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan putusasa
Tujuan :
1) Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri
2) Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi
 Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
 Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide bunuh diri.
 Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
 Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan masalah secara
konstruktif.
 Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
 Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungannya
 Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
 Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien dalam menyelesaikan
masalah

5. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon
kehilangan pasangan.
Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik.
2) Klien mengunakan koping yang adaptif.
3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.

Intervensi
 Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
 Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
 Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
 Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
 Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
 Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
 Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
 Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif dan
mempertahankan respon koping yang adaptif.
 Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
 Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bahwa pelayanan geriatrik di Indonesia sudah saatnya diupayakan di seluruh jenjang
pelayanan kesehatan di Indonesia. Untuk itu pengetahuan mengenai geriatric harus sudah
merupakan pengetahuan yang diajarkan pada semua tenaga kesehatan. Dalam hal ini pengetahuan
mengenai psikogeriatri atau kesehatan jiwa pada usia lanjut merupakan salah satu di antara
berbagai pengetahuan yang perlu diketahui. Tatacara pemeriksaan dasar psikogeriatri oleh karena
itu sering disertakan dalam pemeriksaan/assesmen geriatric, antara lain mengenai pemeriksaan
gangguan mental. Kognitif, depresi dan beberapa pemeriksaan lain.
DAFTAR PUSTAKA

Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC

TOP

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking

Tuis
Subscribe to: Plaas opmerkings (Atom)
Blogger news
Template by:

About

Anda mungkin juga menyukai