Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

LARINGOMALASIA

Disusun oleh:
Arvin Diego Tandoyo

Pembimbing:
dr. Yozyta Rachman, Sp.THT-KL
dr. Chippy Ahwil, Sp.THT-KL (K)
dr. Farisa Rizky, Sp.THT-KL
dr. Yohanes Runtung, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK.1 RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 12 AGUSTUS – 14 SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIKA ATMA JAYA
BAB I
PENDAHULUAN

Laringomalasia didefinisikan sebagai kelainan kongenital pada laring berupa


kolapsnya struktur supraglotik pada saat inspirasi, yang mengakibatkan impendansi
aliran udara secara intermiten. Hal ini menimbulkan gejala utama berupa stridor
inspiratoris kronik dan menjadi penyebab tersering stridor pada bayi dan anak.1,2
Pasien dengan laringomalasia menunjukkan gejala pada saat baru dilahirkan, dan
setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap berkembang stridor
inspiratoris dengan nada tinggi yang dapat timbul karena agitasi, menangis, menyusui,
infeksi saluran napas atau posisi supine. Hal ini dapat berdampak pada kesulitan dalam
pemberian makanan seperti terjadi batuk, chocking, episode sianotik, regurgitasi, atau
emesis.1,3
Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula
terjadi segera setelah kelahiran dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada
umur 12-18 bulan dan dapat bertahan sampai usia 4 tahun atau masa anak-anak.2,4
Namun, pada sekitar 5-20% kasus anak-anak, permasalahan respirasi seperti
obstructive sleep apnea, takipnu, dyspnu, distres pernafasan atau hipoksemia dapat
terjadi. Pada kasus yang lebih berat, progresi menjadi hipertensi pulmoner dan kor-
pulmonal dapat terjadi tanpa terapi yang tepat.1
Berdasarkan fakta-fakta bahwa laringomalasia menempati urutan kelainan
kongenital tersering pada neonatus, bayi dan anak-anak, dan apabila tidak diterapi
dengan seksama dapat menimbulkan komplikasi yang berat, maka diperlukan
pemahaman lebih lanjut tentang hal-hal tersebut sehingga memudahkan kita untuk
mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat pada laringomalasia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Laring


Laring merupakan kompleks organ yang berfungsi sebagai sfingter pada
pertemuan antara saluran cerna dengan saluran nafas dan berperan penting dalam
proteksi saluran nafas, pernafasan dan fonasi. Dalam menjalankan fungsi ini, struktur
eksternal dan internal laring bekerja dibawah kontrol persarafan.5 Bagian paling atas
dari laring adalah epiglottis yang bergerak posterior ke arah faring. Pada bagian dalam,
glotis terlihat seperti segitiga yang terbuka ketika inspirasi dan menutup ketika fonasi.
Pada daerah glotis terdapat pita suara asli (plika vokalis) dan superolateral dari pita
suara asli terdapat pita suara palsu (plika ventrikularis). Posterior glotis dibentuk oleh
sepasang kartilago arytenoid yang merupakan perlekatan posterior dari plika vokalis
dan plika ventrikularis. Buka dan tutup glotis merupakan koordinasi otot yang
menggerakkan aritenoid. Ariepiglotis fold merupakan daerah mukosa yang berada
antara aritenoid dan epiglottis. Ariepiglotis fold ini memisahkan sinus piriformis
dengan glottis.6
Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang
dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan
jalan nafas. Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang
dewasa hingga C6. Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan
membuka sekitar 4 mm ke arah lateral. Fungsi laring terdiri dari:
1. Proteksi, yakni untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam
trakea dengan menutup aditus laring dan rima glottis secara bersamaan
2. Refleks batuk, dapat mengeluarkan benda asing yang telah masuk ke dalam
trakea serta mengeluarkan sekret
3. Respirasi, yakni dengan mengatur besar kecilnya rima glottis
4. Sirkulasi, dengan terjadinya perubahan tekanan udara dalam traktus
trakeobronkial maka sirkulasi darah dari alveolus akan terpengaruh, demikian juga
sirkulasi darah tubuh
5. Proses menelan, dengan menggerakkan laring bagian bawah ke atas, menutup
aditus laringis dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin
masuk ke dalam laring
6. Emosi, yakni dapat mengekspresikan emosi seperti berteriak, mengeluh,
menangis dan lain-lain
7. Fonasi, yakni membuat suara dengan menentukan tinggi rendahnya nada.4,5

Gambar 1. Penampang anterior laring

Gambar 2. Penampang posterior laring


2.2 Embriologi Laring
Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif. Pada saat
embrio berusia 3,5 minggu, suatu alur yang disebut laringotrakeal groove tumbuh
dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak disebelah posterior dari
eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan lengkung ke IV daripada
lengkung ke III.7
Lapisan dalam laring berasal dari endoderm, tetapi tulang rawan dan otot berasal
dari mesenkim lengkung faring ke-4 dan ke-6. Sebagai akibat dari proliferasi
mesenkim yang berlangsung cepat, auditus laringis berubah bentuknya dari sebuah
celah sagital menjadi lobang berbentuk T. Selanjutnya ketika mesenkim kedua
lengkung faring tersebut berubah menjadi kartilago tiroidea, krikoidea, serta
aritenoidea, bentuk dewasa auditus laringis yang khas sudah dapat dikenali.8
Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi dua
struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi lapisan
epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama mengalami
rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini, misalnya fistula
trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah menjadi esofagus dan
bagian laringotrakeal.7
Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak diantara
lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk celah vertikal
yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya hipobrachial eminence yang
tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan tumbuh menjadi epiglottis. Sepasang
aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan pada perkembangan selanjutnya sepasang
massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan yang kemudian akan menjadi kartilago
kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura
interaritenoid yang kemudian berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama
minggu ke 5 – 10, lumen laring mengalami obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali
terbentuk lumen yang berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan
menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika vokalis palsu
terbentuk antara minggu ke 8 – 9.7
Kira-kira pada saat terbentuk tulang rawan, epitel laring juga berproliferasi dengan
cepat, sehingga untuk sementara menutup lumen. Selanjutnya ketika terjadi vakuolisasi
dan rekanalisasi, terbentuklah sepasang resesus lateral yaitu ventrikel laringealis.
Resesus tersebut dibatasi oleh lipatan-lipatan jaringan yang tidak menghilang
melainkan berdiferensiasi menjadi pita suara palsu dan sejati.8

Gambar 3. Perkembangan Laring

Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan selanjutnya,
sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 – 16 mm). Otot-
otot laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid
posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari mesoderm lengkung
brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M. Krikotiroid berasal dari
mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N. Laringeus Superior.
Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial dan dipersarafi oleh N.
Hipoglosus.9
Tulang hyoid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada saat
lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Katilago tiroid akan mulai mengalami penulangan
pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago krikoid mulai usia 25
sampai 30 tahun inkomplit, begitu pula dengan aritenoid.10

2.3.Definisi
Laringomalasia merupakan kelainan kongenital anomali laring yang banyak
ditemukan pada neonatus dan penyebab paling sering stridor, obstruksi saluran napas
pada bayi. Keluhan stridor biasanya dan biasanya dikenali orang tua sebagai
bunyi/suara napas dengan nada tinggi yang terjadi akibat aliran udara napas menembus
daerah obstruksi, saat bayi tidur dalam posisit erlentang dan akan bertambah buruk saat
makan.11

2.4.Epidemiologi
Laringomalasia adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi.
Anak laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada anak
perempuan. Angka kejadian laringomalasia di dunia belum pasti, namun diduga
mengenai 60-70% bayi dengan stridor kongenital. Laringomalasia dan trakeomalasia
merupakan dua kelainan kongenital tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%)
neonatus,bayi,dan anak yang sering menyebabkan stridor.3

2.5. Manifestasi Klinis


Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada
70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah
lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai
dengan retraksi sternum, interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernafasan. Pada
beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau
dipicu oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada
tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan
dan bersifat intermitten dan hanya timbul bila usaha bernafas bertambah seperti saat
anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan
makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada
korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan.12
Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi nafas yang berat. Penderita
laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah
sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal
tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan
regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat
sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada saat inspirasi.24
Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan pada
laringomalasia. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang
lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan
timbul hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung,
penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder
dari laringomalasia.5 Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk
membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasinya adalah: Tipe 1, yaitu prolaps
dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; Tipe 2, yaitu memendeknya plika
ariepiglotika; Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.13

2.6. Etiopatogenesis
Etiologi pasti dari LM sampai sekarang masih belum diketahui. Terdapat beberapa
teori yang menjelaskan tentang penyebab LM, yaitu teori imaturitas kartilago,
abnormal anatomi dan imaturitas neuromuskular14
1. Imaturitas Kartilago Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Sutherland and
Lack pada akhir abad ke-19.Menurut teori ini flaksiditas dari laring diakibatkan oleh
terlambatnya maturitas kartilago yang membentuk laring. Teori ini kemudian tidak
begitu diterima karena pemeriksaan histologi kartilago pada pasien LM yang
mempunyai gejala menunjukkan jaringan kartilago dengan fibro elastin yang normal.15
2. Abnormalitas Anatomi Menurut teori ini, laringomalasia diakibatkan oleh
terdapatnya jaringan laring yang berlebihan pada bayi. Laring pada bayi lebih lunak
dan lebih rentan mengalami edema mukosa. Sering didapatkan epiglotis yang omega
shapednya menghilang (tubular shape), adanya jaringan /mukosa yang berlebihan yang
nantinya akan mengakibatkan terjadinya LM. Penelitian akhir-akhir ini juga
mendapatkan hubungan yang kuat antara LM dengan gastresophageal reflux disease
(GERD) dan laringopharingeal refluks (LPR), Studi menunjukkan hampir 80% pasien
LM juga mengalami refluks, tetapi hal ini masih menjadi perdebatan apakah penyakit
refluks ini mengakibatkan LM/ LPR atau akibat tekanan negatif intratoraks pada pasien
LM yang memicu refluks dan memperparah edema laring.14
3. Imaturitas Neuromuskular Teori lain yang menjelaskan terjadinya LM ini
adalah peran dari lemahnya kontrol neuromuskular yang mengakibatkan hipotonus
relatif pada otot dilator supraglotis yang mengakibatkan stuktur supraglotis akan kolaps
dan tertutup. Kelainan pada nervus Vagus akan mengakibatkan menurunnya tonus
laring sehingga terjadi kolaps struktur laring dan gangguan mekanisme menelan yang
memicu obstuksi jalan nafas dan gangguan menelan. Hal ini terjadi akibat tidak
berkembangnya sistem saraf pusat , terutama nervus perifer dan batang otak yang
berperan dalam mengontrol pernafasan dan menjaga patensi jalan nafas. Refleks
laryngeal adductor merupakan refleks nervus vagus yang berperan dalam fungsi laring
dan fonasi. Aktivasi serabut aferen dari saraf ini diperantarai oleh nervus Laringeus
superior yang terletak di lipatan ariepiglotis. Rangsangan pada saraf ini kemudian
diteruskan ke nukleus batang otak dan memerintahkan serabut motorik untuk mengatur
pernafasan dan menelan. Adanya kelainan pada jalur neuromuskular ini diduga
menjadi etiologi terjadinya laringomalasia serta keluhan dalam makan.11

2.6. Klasifikasi Laringomalasia


Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat
klasifikasi untuk laringomalasia. Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam
tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps
walaupun kombinasi apapun dapat terjadi.
Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua
melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya
mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.13

Gambar 4: Tipe 1 laringomalasia, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid


yang tumpang tindih;

Gambar 5: Tipe 2 laringomalasia, yaitu memendeknya plika ariepiglotika;

Gambar 6: Tipe 3 Laringomalasia, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.\


2.7. Diagnosis
Diagnosis laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
laringoskopi fleksibel dan radiologi. Pemeriksaan utama untuk diagnosis
laringomalasia adalah dengan menggunakan laringoskopi fleksibel. Hawkins dan Clark
menyatakan bahwa laringoskopi fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada
neonatus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi tegak melalui kedua hidung.
Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring dan supraglotis. Dengan cara
ini bentuk kelainan yang menjadi penyebab dapat terlihat dari atas.16
Laringoskopi fleksibel dapat membantu menyingkirkan diagnosis anomali laring
lainnya seperti kista laring, paralisis pita suara, malformasi pembuluh darah,
neoplasma, hemangioma subglotis, gerakan pita suara paradoks, stenosis glotis dan
web glotis. Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu
risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan kurang
akurat dalam menilai keadaan subglotis dan trakea.16
Masih menjadi perdebatan di kalangan ahli apakah setiap bayi dengan
laringomalasia harus melalui pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi meskipun
pemeriksaan tersebut masih merupakan standar baku untuk menilai obstruksi nafas,
mengingat pemeriksaan ini memiliki beberapa kelemahan bagi kelompok umur
neonatus, seperti resiko anestesi dan instrumentasi, alat endoskopi yang khusus,
membutuhkan ahli anestesi yang handal, dan biaya yang mahal
Olney dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan laringoskopi
dan bronkoskopi. Kriterianya adalah:15
1. Bayi laringomalasia dengan gangguan pernafasan yang berat, gagal tumbuh,
mengalami fase apnea, atau pneumonia berulang.
2. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laringomalasia yang
ditunjukkan oleh laringoskopi fleksibel.
3. Bayi dengan lesi di laring.
4. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti
2.8 Penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan pasien LM, perlu diperhatikan berat dan ringannya
gejala saat pertama didiagnosis, adanya faktor komorbid serta adanya perbaikan atau
perburukan gejala setelah terapi awal. Penatalaksanaan LM dibagi atas terapi
konservatif dan tindakan pembedahan.
Terapi konservatif merupakan terapi pilihan pada pasien LM derajat ringan dan
sedang tanpa keluhan yang berhubungan dengan makan. Pasien harus dikontrol dan
observasi tumbuh kembang serta keluhan saluran nafas yang berhubungan dengan
makan. Jika terdapat sedikit keluhan makan, terapi konservatif dengan posisi makan
tegak lurus, asupan sedikit-sedikit dan sering dengan ASI atau formula yang
dipadatkan, dan medikamentosa untuk mencegah refluks asam lambung. Lansoprazole
7,5mg sekali sehari dan domperidone (1mg/kg/hari) bisa digunakan sebagai terapi anti
refluks asam lambung.16
Tindakan pembedahan dilakukan pada semua pasien LM derajat berat, pasien LM
derajat ringan atau sedang yang mempunyai penyakit komorbid seperti trakeomalasia
atau stenosis subglotis atau pasien yang gagal dengan terapi konservatif, pasien
laringomalasia yang gagal tumbuh kembang dan riwayat aspirasi berulang. Pada pasien
yang akan dilakukan tindakan pembedahan, sebelum dilakukan tindakan sebaiknya
pasien diberikan antagonis reseptor H2 dosis tinggi (3mg/kgBB) atau PPI sekali sehari.
Beberapa jenis tindakan pembedahan untuk LM adalah : supraglotoplasti dan
epiglotoplasti. Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe LM berupa supraglotoplasti
dengan melakukan eksisi mukosa aritenoid redundant pada tipe I, insisi lipatan
ariepiglotis yang memendek pada tipe II dan epiglotoplasti pada LM tipe III.13,15
BAB III KESIMPULAN

Laringomalasia merupakan kelainan kongenital anomali laring yang banyak


ditemukan pada neonatus dan penyebab paling sering stridor, obstruksi saluran napas
pada bayi. Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring yang paling sering
terjadi. Anak laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering
daripada anak perempuan. Angka kejadian laringomalasia di dunia belum pasti, namun
diduga mengenai 60-70% bayi dengan stridor kongenital
Etiologi pasti dari LM sampai sekarang masih belum diketahui. Terdapat beberapa
teori yang menjelaskan tentang penyebab LM, yaitu teori imaturitas kartilago,
abnormal anatomi dan imaturitas neuromuskular.
Diagnosis laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
laringoskopi fleksibel dan radiologi. Pemeriksaan utama untuk diagnosis
laringomalasia adalah dengan menggunakan laringoskopi fleksibel
Dalam penatalaksanaan pasien LM, perlu diperhatikan berat dan ringannya gejala
saat pertama didiagnosis, adanya faktor komorbid serta adanya perbaikan atau
perburukan gejala setelah terapi awal. Penatalaksanaan LM dibagi atas terapi
konservatif dan tindakan pembedahan.
DAFTAR ISI

1) Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid Satu, Edisi 13.
Binarupa Aksara. Jakarta. 1994
2) Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of the Larynx. In: Ballenger JJ,
Snow JB, eds. Ballenger’s Otorhinology Head & Neck Surgery. 17th ed. Spain:
Decker BC; 2008:847-858.
3) Johnson JT, Rosen CA. Upper Airway Anatomy and Fuction. In: Gayle WE, ed.
Bailey Head & Neck Surgey Otolaryngology. V. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2014:868-878.
4) Snell RS. Anatomi Klinik Edisi Ketiga Bagian Ketiga. Jakarta : EGC ;1997. h 156-7.)
5) (Hermani B, Kartosoediro S, Syahrial MH. Disfonia dan Kelainan Laring. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ;2007. h 231-7.)
6) Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery .
Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 598-606)
7) Sadler. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi ke-7.2000.Jakarta:EGC)
8) Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997.
page 1/12/1-1/12/18)
9) Landry AM, Thompson DM. Laryngomalacia: disease presentation and spectrum, and
management. Int J Pediatr. 2012;2012:1-6
10) Revell SM, Clark WD. Late onset laryngomalacia a cause of pediatric obstructive sleep
apnea. Int J Pediatr Otorhinilaringol. 2010; 75: p. 231-8.
11) Pamuk AE, Süslü N, Günaydın RÖ, Atay G, Akyol U. Laryngomalacia : patient outcomes
following aryepiglottoplasty at a tertiary care center. Tourkish J Pediatr. 2013;55:524-528.
12) Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. In: Snow JB editors. Otorhinolaryngology
head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003: p. 1049-51
13) Olney DR, Greinwald H, Smith RJH, Bauman NM. Laryngomalacia and Its Treatment.
Laryngoscope. 1999;(November):1770-1775
14) Schwartz DS. Tracheomalacia. (Update Aug 6, 2009: cited Feb 2, 2011). Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/426003.
15) Fattah HA, Gaafar AH. Laryngomalacia : Diagnosis and management. Egypt J Ear, Nose,
Throat Allied Sci. 2012;12(3):149-153
16) Werner JA, Lippert BM, Dunne AA, Ankerman T, Folz BJ, Seyberth H. Epiglottopexy for
the treatment of severe laryngomalacia. Eur Arch OtoRhino-Laryngology.
2002;259(9):459-464.

Anda mungkin juga menyukai