Anda di halaman 1dari 82

FRIENDS, LOVE, AND VOLLEYBALL

Karya : Haifatuzahro
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum ^^

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan nikmat sehat, sempat, dan kuat bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan
novel ini. Sebuah ide cerita yang telah hadir sejak penulis duduk di bangku SMP tapi baru
dapat terselesaikan 8 tahun kemudian. Sholawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan
pada baginda Muhammad SAW, rosul Allah, manusia pilihan yang selelau dinanti
syafa’at dan pertolongannya di hari akhir.

Selanjutnya, penulis mengucap banyak terimakasih kepada orangtua, adik, dan


nenek yang senantiasa menemani penulis dalam menyusun cerita demi cerita dalam novel
ini. Terimakasih pula kepada sahabat penulis saat SMP, Lely dan Eka, teman voli penulis
yang menjadi inspirasi utama dalam penulisan novel ini, serta seseorang yang selalu
mendapat tempat istimewa dalam hati penulis. Terimakasih telah memberikan begitu
banyak goresan kenangan yang terpatri hingga waktu yang terus berjalan tak mampu
menghapusnya.

Sebagian besar cerita novel ini terinspirasi langsung dari kehidupan penulis
semasa SMP dan SMA. Rindu rasanya akan masa-masa dimana selalu berjuang untuk
hal-hal sederhana tapi terasa indah. Semoga novel ini dapat membawa para pembaca
untuk memutar kembali kenangan tentang momen, persahabatan, perjuangan, dan kisah
cintanya saat remaja untuk kemudian mensyukuri segala yang telah terjadi. Bersyukur
pernah mengalaminya dan bahagia karena mengingatnya. Sekian.

Wassalamu’alaikum ^^

Penulis
RINGKASAN

Novel ini bercerita tentang seorang gadis SMA kelas X bernama Salma yang
awalnya hanya memiliki satu tema bernama Fitri. Dia merupakan teman sekaligus
tetangga Salma sejak TK. Salma merupakan orang yang tertutup dan suka berdiam diri di
perpustakaan. Meski dia piawai bermain piano tapi dia tidak percaya diri. Dia bahkan
hanya menjadi pemain instrumen cadangan dalam ekskul musik karena demam
panggunya kambuh saat seleksi.

Kehidupan sederhananya berubah sejak Salma mendapat masalah dengan


seorang kapten voli bernama Yusuf. Dia terpaksa ikut latihan voli demi uang ganti rugi
yang harus Yusuf bayarkan. Namun, dengan bergabungnya Salma dalam klub voli
membuat banyak hal berubah. Dia menemukan kegembiraan dan persahabatan di sana.
Selain itu, dia juga menemukan cinta pertamanya.

Dia jatuh hati pada Yusuf yang selalu bertengkar dengannya bila bertemu.
Namun, perasaan itu harus rela pupus setelah Salma tahu Yusuf dekat dengan Dilla (orang
yang paling baik terhadap Salma di antara teman-teman voli lainnya). Dilla adalah orang
yang tersenyum ramah pada Salma saat pertama kali mengikuti latihan voli. Dilla pun
orang yang paling sabar melatih Salma bermain voli. Hal itu membuat Salma tidak dapat
melakukan apa-apa.

Suatu hari, terjadi kesepakatan antara Yusuf dengan Tomi (kapten tim basket)
yang merupakan sepupu Yusuf. Tomi disuruh Ayah Yusuf untuk membujuk Yusuf
berhenti bermain-main dengan voli dan sekolah di luar negeri. Akhirnya, mereka taruhan
bahwa siapa saja yang kalah peringkat saat Pekan Olah Raga Akhir Tahun (POAT) harus
menuruti permintaan dari yang menang. Sejak saat itu Salma, Yusuf, dan Dilla berlatih
dengan sungguh-sungguh hingga Dilla jatuh sakit. Saat Salma dan Fitri memergoki Yusuf
sedang menjenguk Dilla di rumah sakit, berbagai fakta pun tesibak. Ternyata Dilla adalah
kakak sepupu Yusuf. Selain itu, sejak kepergian ibu Yusuf, hanya Dilla yang mampu
membuat Yusuf tersenyum kembali. Dilla selalu menjadi orang paling istimewa dalam
hati Yusuf. Namun, setelah seminggu dirawat, Dilla akhirnya meninggal dan membuat
semua terpukul akan kepergiannya.
Sebelum Dilla meninggal, semua telah berjanji akan melakukan yang terbaik
untuk POAT. Meski Dilla telah tiada tapi latihan harus terus dilakukan. Semua anggota
klub voli melakukan dengan semangat membara demi kebahagiaan Dilla. Namun sayang,
pada akhirnya klub voli kalah peringkat dengan klub basket akibat kesalahan fatal yang
dilakukan Salma. Hal itu membuat Yusuf marah besar.Yusuf tak lagi terlihat di sekolah
sejak kejadian itu hingga suatu malam Salma diberitahu bahwa Yusuf akan terbang ke
luar negeri. Meski Salma telah menyusulnya ke bandara untuk bertemu terakhir kali, hal
itu pun sia-sia. Yusuf telah pergi tanpa sempat berpamitan dengan Salma. Tanpa sempat
mendapat kata maaf dari Salma. Tanpa sempat mengetahui perasaan Salma yang
sebenarnya.

Pada akhir cerita diberikan epilog dari sudut pandang Yusuf yang ternyata
memiliki perasaan yang sama dengan Salma. Tentang bagaimana pertama kali Yusuf
jatuh hati pada Salma tapi selalu salah tingkah di depannya. Kebodohan tingkahnya
membuat Yusuf selalu bertengkar dengan Salma saat bertemu. Setelah 10 tahun di luar
negeri Yusuf kembali dan bertemu dengan Salma. Saat itu tiba Yusuf telah bersiap dan
tidak akan melakukan hal bodoh lagi.
BLURB

Salma adalah gadis introvert yang suka berdiam diri di perpustakaan. Meski
piawai dalam bermain piano tapi dia tidak percaya diri. Dia bahkan hanya menjadi pemain
instrumen cadangan dalam ekskul musik karena demam panggunya kambuh saat seleksi.

Kehidupan sederhananya berubah sejak Salma mendapat masalah dengan


seorang kapten voli bernama Yusuf. Dia terpaksa ikut latihan voli demi uang ganti rugi
yang harus Yusuf bayarkan. Namun, dengan bergabungnya Salma dalam klub voli
membuat banyak hal berubah. Dia menemukan kegembiraan dan persahabatan di sana.
Selain itu, dia juga menemukan cinta pertamanya.

Dalam hidup memang terkadang kita dihadapkan oleh berbagai pilihan. Ada masa
dimana Salma harus memilih satu di antara tiga pilihan. Sahabat, cinta, dan voli, manakah
yang akhirnya dia pilih?
DAFTAR ISI

I. VOLLEYBALL : Gara-Gara Uang Ganti Rugi


II. VOLLEYBALL : Satu Hal yang Membuatku Bahagia Saat Itu
III. FRIENDS : Aku Tak Mampu Mengerti Diriku Sendiri
IV. LOVE : Bumerang Benci
V. FRIENDS, LOVE, AND VOLLEYBALL
VI. LOVE : Janji Itu Seharusnya Tak Perlu Ditepati
VII. FRIENDS : Di Balik Semua
VIII. VOLLEYBALL : Pekan Olahraga Akhir Tahun
IX. LOVE : Epilog
I. VOLLEYBALL : Gara-Gara Uang Ganti Rugi

Sudah terbilang sore untuk seorang siswi kelas X pulang dari sekolah. Namun,
aku tak bisa berkutik sejak tadi karena hujan masih saja mengguyur deras. Berkali-kali
aku menelepon rumah meminta dijemput. Ini sudah ketiga kalinya tetapi kakakku bilang
“Sebentar lagi, 10 menit lagi Dek.” Memangnya dari telepon pertamaku tadi sudah
berapa menit? Batinku kesal. Sudah bermenit-menit aku menunggu di dekat pintu
gerbang sekolah. Tentu saja di bawah atap dan hanya ditemani suara hujan yang saling
menghantam atap.

Ketika sedang memegang ponsel, aku mendengar seseorang memanggilku dari


arah belakang. “Hey! Salma!” Aku berbalik, tapi gubrak! Seorang pengendara sepeda
menababrak tanganku yang sedang memegang ponsel dan membuat ponselku terjatuh ke
depan. Ponsel terus meluncur keluar atap gerbang sekolah dan terguyur hujan.

“Woy!” jeritku terkejut sekaligus kesal. Mataku terus memelototi ponsel.

Orang yang menabrakku tadi tidak mau berhenti untuk meminta maaf. Dia pergi
dan mengayuh sepedanya dengan cepat.

“Hey, berhenti!” teriakku mengejarnya. Luapan marahku pecah seketika dan


berakhir dengan percuma. Bajuku sudah terlanjur basah kuyub terkena air hujan. Pada
akhirnya orang tadi tak melihat ke belakang. Aku mengambil ponsel yang sudah tak ada
harapan lagi untuk baik-baik saja. Sekujur tubuhku lemas. Pikiranku mulai tak menentu.
Aku berjalan gontai kembali ke tempat semula.

“Salma, maafkan aku, aku tidak tahu kalau akhirnya jadi seperti ini.” ucap Fitri
yang tadi memanggilku sebelum insiden ini terjadi.

“Iya, tidak apa-apa Fit. Bukan salahmu juga.”

“Benar-benar menyebalkan si Yusuf!”

“Kamu kenal dia?”

“Tentu, dia satu kelas denganku, namanya Yusuf.”

“Apa memang sifatnya seperti itu?”

“Tidak, aku juga heran, setahuku dia anak yang humoris dan atletis.”

“Atletis?”
“Iya, dia kapten tim voli sekolah kita, padahal masih kelas X.”

“Apa? Kapten tim voli? Memangnya ada ya sebutan seperti itu. Setahuku yang
ada hanya kapten basket atau kapten sepak bola. Kalau kapten tim voli, terdengar aneh.”

“Hahaha, iya, betul juga kamu. Selain itu, ekstra voli di sekolah kita kan
peminatnya sedikit, pantas saja kalau dia jadi kapten.”

“Karena tidak ada pilihan lain.” Ucapku menahan tawa.

“Hahaha ... bener juga kamu!”

Tawa kami pecah seketika dan langsung teredam oleh suara hujan. Terhenti pula
melihat ponselku yang tidak bisa lagi kuhidupkan.

“Hwaaa... Ponselku!!!”

***

Karena kejadian kemarin, ponselku jadi rusak. Aku dimarahi Ibu semalaman. Aku
hanya bisa diam mendengarkan. Jelas saja dimarahi! Sebab, ponsel itu baru dibelikan Ibu
ketika aku masuk SMA. Butuh waktu yang lama lagi untuk membeli ponsel baru. Huh!
Bikin kesal! Pokoknya aku harus meminta ganti rugi sama Yusuf! Enak saja dia yang
salah tapi aku yang kena batunya. Aku akan buru dia sampai aku dapatkan uang ganti
rugi itu.

Hari Minggu ini Fitri mengajakku jogging di alun-alun kota. Setelah itu, aku
menemaninya ke sekolah karena ada urusan dengan teman sekelasnya mengenai tugas
sekolah. Fitri adalah tetanggaku. Melihat Fitri dengan temannya di bangku depan kelas
sedang mengetik-ngetik laptop membuatku mengantuk. Jadi, aku memutuskan untuk
berjalan-jalan di sekitar sekolah.

Meski hari Minggu tapi sekolah tidak sesepi yang kuduga. Ruang ekstrakulikuler
ramai oleh beberapa siswa yang aku tidak mengenalnya. Aku berjalan menyusuri koridor
hingga sampailah ke deretan kelas yang menghadap lapangan.

Ketika melewati lapangan, mataku langsung tertuju pada sosok yang kukenal.
Pada orang yang telah membuatku kena marah Ibu. Yusuf! Dia sedang dengan santai
duduk bersama beberapa orang di pinggir lapangan. Otakku langsung menemukan sebuah
ide. Ini adalah kesempatan yang bagus bagiku untuk menagih uang ganti rugi dan
membuatnya malu di hadapan teman-temannya.

“Eh Yusuf! Di gerbang kemarin sore, sepertinya sepedamu menabrak seseorang.”


Jelasku mendekati kerumunan orang itu.

“Siapa kamu?” tanya Yusuf.

“Jangan seperti orang bingung deh. Kemarin kamu nabrak tanganku dan membuat
ponselku jatuh dan rusak.”

“Tunguu-tunggu. Pertama kamu bilang nabrak orang, sekarang kamu bilang


nabrak tangan, bicara yang jelas dong.” Jawab Yusuf sedikit tertawa dan membuat yang
lain tersenyum-senyum geli.

“Ya, maksudku aku minta ganti rugi sama kamu! Gara-gara kamu nabrak aku,
ponselku jadi jatuh dan rusak!”

“Aku tidak merasa menabrak siapa-siapa.”

“Kamu jangan pura-pura lupa, ada saksinya kok!”

“Kalau kamu butuh uang minta saja sama orang tua kamu, jangan memeras aku
dengan tuduhan yang tidak-tidak seperti ini dong.”

“Ayo anak-anak kita mulai latihan fisiknya!” seru seorang laki-laki berumur 40
tahunan berbaju olahraga.

“Urusan kita belum selesai!” teriakku pada Yusuf.

“Urusan apa? Urusan apa? Ayo cepat berbaris!” perintah Bapak tadi.

“Eh, Pak, saya bukan anggota voli” jawabku.

“Semua yang ada di lapangan ini adalah anggota voli, jadi cepat berbaris”

“Tapi Pak, saya...”

“Apa kamu mau dihukum?” tanya Bapak tadi.

Benar-benar bukan hari keberuntunganku! Aku yang bukan anggota klub disuruh
ikut latihan. Yusuf dan teman-temannya tak ada yang membela aku sedikit pun, seperti
sengaja menjahiliku. Aku sungguh tak bisa apa-apa dalam hal berbau voli.
Saat aku servis dan passing aku hanya jadi bahan tertawaan mereka. Fitri, dimana
kamu? Aku butuh bantuanmu.

Latihan ini sangat melelahkan. Aku duduk sebentar untuk melepas lelah. Tiba-
tiba kepalaku terhantam bola yang melayang cepat. Aku merasa pusing dan disekelilingku
menjadi gelap.

Saat kubuka mata, segera kukenali tubuhku telah tergeletak di atas kasur UKS.

“Salma, kamu sudah bangun?” tanya Fitri.

“Fitri..., aku lelah! Kamu kemana saja sih, aku seperti ada di neraka! Tanganku
sakit-sakit semua!”

“Lalu siapa suruh kamu pergi-pergi.”

“Salma, maaf.” Kata seseorang dari belakang Fitri. “Aku benar-benar minta
maaf.”

“Yusuf!” panggilku dengan raut wajah sangat marah.

“Lihat wajahmu itu. Sudah seperti sambal terasi! Berarti udah baik-baik saja kan.”
ejek Yusuf sembari melangkahkan kakinya keluar UKS.

“Hey! Kamu harus ganti rugi. Dua kali aku kena masalah karena kamu.”

Yusu berbalik. “Kamu juga sih yang ceroboh.”

“Santai sekali kamu menjawab seperti itu.” sahut Fitri.

“Fitri, jangan ikut campur deh!” sambar Yusuf.

“Kalau kamu tidak mau ganti rugi, nanti aku laporkan kamu ke BK.” kataku ketus.

“Hmmm... baiklah. Aku mau ganti rugi asalkan kamu ikut latihan voli selama satu
bulan. Orang-orang seperti kalian hanya pintar menghujatku dan teman-temanku dari
belakang. Memangnya aku tidak tahu.” Ucap Yusuf dengan senyum dan sejuta rencana
jahatnya. Dari mana dia tahu aku dan Fitri pernah mengejek dia. Apa dia punya indra
keenam?

“Kesepakatan macam apa itu? Lebih terdengar seperti rencana balas dendam. Aku
ikut latihan voli? Apa kamu ingin membuat aku celaka setiap harinya? Aku tidak mau
ditertawakan lagi seperti tadi, hari ini sudah cukup.”
“Kalau kamu berani melaporkanku ke guru BK, aku benar-benar akan selamanya
tidak membayar uang ganti rugi kepadamu.”

Fitri mendekatkan mulutnya ketelingaku dan berbisik. “Salma, jangan bawa-bawa


guru BK lah. Lagipula saat kejadian itu terjadi aku yang memulainya nanti kalau aku ikut
dihukum bagaimana?”

“Benar juga, jadi aku harus menuruti perkatan Yusuf? Tapi aku benar-benar tidak
mau lagi ikut voli”

“Aku bisa menemanimu tapi tolonglah jangan laporkan ke guru BK Sal.”

“Hmmm... tapi kamu harus janji ya ikut voli juga.”

“Iya, iya, itu bisa diatur.”

“Apa kalian sudah selesai? Jadi, kalau besok Kamis kamu tidak muncul di
lapangan aku anggap ini berkahir.” sahut Yusuf.
II. VOLLEYBALL : Satu Hal yang Membuatku Bahagia Saat Itu

Aku benar-benar sudah gila. Aku melakukan perjanjian dengan orang licik seperti
Yusuf. Itu adalah hal paling gila yang pernah aku alami. Ini hidupku sendiri dan pilihan
ada di tanganku. Ponsel belum begitu penting bagiku. Daripada tanganku kesakitan
menerima bola lebih baik aku tidak punya ponsel untuk beberapa bulan ke depan. Tapi..
tetap saja bagaimana aku bisa berkomunikasi dengan teman-temanku? Bagaimana aku
bisa meminta dijemput ketika pulang sekolah?

“Ibu, kapan aku bisa memiliki ponsel lagi?” tanyaku pada Ibu yang sedang
menonton televisi.

“Kamu masih kecil. Ponsel masih belum begitu penting untukmu, kamu sih ponsel
satu tidak dijaga dengan baik.”

“Tapi Bu, aku sudah kelas X SMA, nanti kalau ada informasi penting dari
temanku tentang tugas mendadak bagaimana? Terus kalau nanti aku mau meminta jemput
Ibu atau Kakak bagaimana?”

“Kamu bisa meminjam ponsel temanmu dulu kan?”

“Tapi Bu...”

“Kamu memang pintar sekali beralasan. Ibu mau membelikan ponsel untukmu
lagi asalkan kamu membayar setengah harga dari ponsel yang akan kamu beli itu.”

“Tapi Bu, kok begitu? Lalu aku dapat uang darimana?”

“Terserah saja, mau menunggu hingga hari raya satu tahun lagi agar mendapat
uang dari saudara-saudara atau... yang penting kamu jangan mencuri!”

“Ibu..” panggilku manja.

“Pinjam kakakmu juga boleh.”

“Kakak kan pelit Bu, bukannya aku yang meminjam nanti malah dia yang minta
pinjaman uang.”

“Ibu tetap tidak bisa membelikan kamu ponsel untuk sekarang ini Sal,
mengertilah!”

***
Inikah yang namanya dilema? Aku tidak ingin ikut latihan voli tapi di sisi lain aku
mebutuhkan uang ganti rugi. Benar-benar membuat aku bingung. Tuhan, apa yang harus
aku lakukan?

Sepanjang jalan dari gerbang sekolah hingga ke kelas, pandanganku begitu


kosong. Di kelas pun aku melamun. Hari ini aku harus membuat keputusan nanti sore ke
lapangan atau tidak.

Saat istirahat kuputuskan untuk menyepi di perpustakaan. Perpusatakaan


sekolahanku tidak memiliki meja dan kursi untuk membaca, itu memang disengaja. Jadi,
kami membaca dengan cara lesehan di lantai. Saat aku sedang banyak pikiran aku
memang lebih suka duduk lesehan di perpustakaan yang ada di lantai 2 ini. Sembari
membaca, aku selalu duduk di dekat jendela dan menikmati angin sepoi-sepoi yang
masuk dari jendela. Damai rasanya suasana seperti ini. Membuat perasaanku sedikit demi
sedikit mulai tertata.

“Jangan karena basket lebih populer, kamu berani mengejek klub voli. Jangan
sombong kamu Tom!”

“Tapi memang kenyataannya seperti itu, semua orang pun setuju. Lagipula
prestasi klub voli sekolah ini tak pernah terlihat”

“Oke! Aku buktikan kalau klub voli bisa jadi yang terbaik.”

“Kalau kamu berani, kita lihat siapa yang unggul di Pekan Olahraga Akhir Tahun
ini. Tim basket atau Tim volimu itu!”

“Siapa takut. Pegang perkataanku ini, kalau klub voli yang menang kamu jangan
pernah mengangguku dan teman-teman voliku lagi. Kalau klub basketmu yang menang
aku yang pindah dari sekolah ini dan sekolah di luar negeri!”

“Krincing krincing...” tiba-tiba uang-uang logam dalam sakuku berjatuhan ketika


sedang asyik mengintip mereka. Gawat!

Aku melarikan diri dari perpustakaan sembari menutupi wajahku. Ah! Betapa
malunya diriku. Tapi apa yang dikatakan Yusuf dan orang tadi itu benar? Salah sendiri
tim voli tidak sepopuler tim basket. Jika seperti ini kondisinya sudah pasti aku
mendukung tim basket 100%.
“Hei Salma!” panggil Fitri.

“Eh, Fitri.”

“Bagaimana nanti? Kamu jadi menuruti perkataan Yusuf?”

“Aku masih bingung.”

“Aku sarankan kamu ikuti saja perkataannya, karena kamu juga harus
membuktikan kalau kamu tidak pantang menyerah dan tidak pengecut, ini masalah harga
diri Sal”

“Segitunya ya?”

“Tapi, tetap keputusan ada sama kamu.”

“Keputusanku, ehm...” aku memutar otak berkali-kali.

“... baiklah, demi uang ganti rugi! Aku nyatakan perang pada Yusuf!”

Benar juga kata Fitri, karena dia, aku jadi merugi berkali-kali. Dia harus
membayarnya! Ponselku rusak, aku ditertawakan teman-temannya, dan aku pingsan
karena kejadian kemarin itu semua karena dia. Aku tidak boleh mengalah padanya! Aku
harus jadi pemenang!

Aku dan Fitri dengan hati gugup masuk ke lapangan menuju gerombolan anak
voli yang sedang duduk-duduk. Semua mata memandangiku. Salah satu anak perempuan
di antara mereka tersenyum dengan wajah gembira kepadaku. Keheningan ini membuat
nyaliku semakin kecil.

“Lihat, aku sudah datang. Aku hanya perlu delapan kali berada di sini, jadi akan
kumanfaatkan waktuku sebaik-baiknya.” sahutku memecah keheningan.

“Kamu mau voli atau mau tidur?” tanya Yusuf padaku dengan melihat celana
trining panjang yang kupakai.

“Memang apa salahnya memakai trining panjang?”

“Kau tidak lihat kami?”

Aku memandangi mereka. Memang benar, tidak ada yang memakai trining
panjang. Bahkan Fitri pun memakai celana olahraga pendek selutut. Tapi apa salahnya
memakai trining panjang? Ini lebih sopan.
“Tadi juga aku sudah bilang apa tidak salah kamu memakai trining panjang?”
bisik Fitri padaku. Aku hanya cemberut memandangi Fitri dan Yusuf.

“Mana warnanya pink lagi, memangnya tidak ada warna lain apa?” sahut salah
seorang teman Yusuf.

“Sudah-sudah, jangan saling meledek. Lagipula ini adalah pertamakalinya dia


bergabung di tim voli secara resmi.” Bela perempuan yang tadi memberi senyuman ramah
kepadaku.

“Tapi, tetap saja aneh. Oh, iya aku tahu. Kamu memakai trining panjang untuk
menutupi betismu itu kan?” ledek Yusuf.

“Jangan-jangan betisnya seperti tukang becak.” sahut teman Yusuf yang lainnya.
Mereka semua menertawai aku.

Kepalaku semakin panas, rasanya seperti ingin pecah. Tapi aku berusaha diam dan
meredam rasa kesalku. Aku tidak ingin ledekannya semakin menjadi-jadi. Kejadian ini
mengingatkanku pada MOS. Parahnya lagi karena yang meledekku adalah anak
seangkatan denganku dan orang yang paling aku tidak sukai. Batas kesabaranku lama-
lama terkisis.

“Sembarangan! Lihat betis kalian! Setidaknya betisku mulus tanpa rambut. Tidak
seperti betis kalian yang ih, amit-amit.”

Semua anak perempuan ikut tertawa dengan perkataanku.

“Priiit! Priiiiit! Priiiit! Semuanya berbaris!” panggil seorang laki-laki berumur 40


tahunan yang pernah kujumpai saat hari Minggu. Peluitnya membubarkan ketegangan
ini.

Laki-laki itu bernama Pak Soni. Beliau pelatih voli sekolah kami. Intruksi dan
pengarahan dilakukan beliau sebelum latihan dimulai. Yusuf dengan sejuta kejahilannya
lagi-lagi menjahili aku dan Fitri. Dia memberitahu Pak Soni kalau aku dan Fitri adalah
anggota baru. Akhirnya, aku dan Fitri maju dan memperkenalkan diri. Jelas saja ceritanya
tak sampai hanya di situ. Yusuf dan teman-temannya lagi-lagi bertanya macam-macam
kepada kami.
“Oke! Selamat bergabung di klub voli.” Ucap Pak Soni kepada aku dan Fitri.
Setelah barisan dibubarkan kami melakukan pemanasan. Aku baru pertamakali mengikuti
klub yang berbau olahraga seperti ini. Sebelumnya aku hanya mengikuti klub musik
karena jujur saja dari kecil aku memang tidak suka berolahraga. Mungkin ini juga yang
menyebabkan aku selalu mendapat nilai 75 di rapor pada mata pelajaran Penjaskes. Tes
lari pun aku tidak pernah lulus dan selalu berada di belakang.

Salma Sabila Aryani yang anggun dan lemah lembut ini sekarang sedang
berolahraga? Semua orang yang mengenalku pasti akan menertawaiku termasuk Kakak
dan Ibu. Aku pun merasa hal ini konyol sekali. Tapi kenyataannya memang seperti itu.
Sore ini di lapangan voli aku sedang pemanasan untuk latihan voli.

“Hei Salma, namaku Dilla.” Ucap perempuan yang dari tadi tersenyum ramah
padaku.

“Oh, Dilla.” aku membalas senyumannya.

Setelah Dilla, semua tim voli putri mendekatiku untuk berjabat tangan dan saling
mengenalkan namanya. Jadi tidak enak, karena seharusnya aku yang berkenalan dengan
mereka. Mereka begitu ramah padaku. Mereka juga kompak dan sepertinya sudah
berteman sangat lama. Satu hal yang membuatku senang dan tersenyum hari ini. Aku
mendapatkan teman-teman baru yang mau menerimaku. Dilla, Nahmi, Sukma, Ika, Sari,
dan Putri. Mereka yang membuatku bertahan sore ini. Meski dalam tim voli putri ini
dengan adanya mereka hanya tercipta satu tim, tapi kekompakan mereka membuat ramai
suasana. Aku sekarang paham, mengapa mereka tidak minder dengan klub-klub lain yang
jauh lebih banyak peminatnya. Mereka nyaman disini dan saling berbagi kebahagian. Aku
turut merasakannya meski baru beberapa menit bersama mereka. Sesekali senyumku pun
terkembang karena mereka. Namun, kebahagiaanku hampir rusak ketika aku melihat
Yusuf.

Latihan gerak dasar voli dimulai. Semua anggota berpasang-pasangan dan


memegang satu bola untuk berlatih passing bawah. Aku berpasangan dengan Dilla. Aku
gugup sekali. Aku tidak bisa apa pun dalam hal ini. Kemarin saja aku sudah ditertawakan.
Aku sangat malu. Aku ingin berlari dari sini dan pulang.

“Salma, santai saja. Jangan gugup begitu, nanti kubantu deh. Jangan khawatir.”
ucap Dilla yang membuatku sedikit tenang.
Ketika bola dilambungkan aku menghindar. Aku takut terkena bola. Ketika
dilambungkan lagi aku mencoba menerimanya dengan kedua tanganku tapi hasilnya bola
melambung entah ke mana. Berkali-kali Dilla mengajariku teknik passing bawah yang
benar. Dengan posisi tangan dan badan yang benar. Tapi ini memang bukan bakat dan
minatku. Jadi, tetap saja aku tak bisa mengembalikan dengan baik bola yang telah
dilambungkan Dilla. Aku kagum pada Dilla, dia sangat sabar melatihku. Jika berada di
posisi Dilla, mungkin aku sudah kesal.

Fitri bisa melakukannya dengan baik karena dia pernah mengikuti pertandingan
voli sewaktu SMP. Pikiran dan pandanganku sudah melayang kemana-mana. Aku sudah
tidak fokus dengan latihan ini. Ketika sedang melihat Fitri mataku tersambung melihat
Yusuf. Dia begitu pintar bermain voli. Sambil tertawa pun dia masih bisa dengan mudah
mengembalikan bola yang melambung ke arahnya. Kadang dia mengkombinasikan
dengan gerakan smash atau passing atas. Jelas saja dia bisa karena dia tinggi dan lebih
berpengalaman daripada aku.

Aku yang pandangannya melantur ini dikagetkan oleh Pak Soni yang tiba-tiba
melempar bola ke arah pundakku. Karena aku dari tadi tidak fokus, akhirnya Pak Soni
menggantikan Dilla melatihku. Seperti biasanya, aku berkali-kali tak bisa
mengembalikan bola dengan baik. Pak Soni tidak sesabar Dilla. Beliau memarahiku dan
menghukumku untuk lari keliling lapangan lima kali dengan setiap berbelok di sudut
lapangan aku disuruh melakukan teknik passing bawah. Lagi-lagi aku dipermalukan.

Baru saja aku duduk dan meminum satu tenggak air mineral saat istirahat, Pak
Soni memanggilku. Beliau menyuruhku untuk mengumpulkan bola-bola yang
berserakan. Pak Soni keterlaluan. Beliau membuatku malu lagi di depan anggota voli
lainnya, menyebalkan.

“Eh, teman-teman, kalian tahu nggak kenapa Salma ikut klub voli?” tanya Yusuf
dengan nada suara menyindir dan volume suara yang sengaja dikeraskan agar aku
mendengarnya.

“Memangnya kenapa?”

“Dia itu ikut klub voli semata-mata hanya karena menginginkan uangku. Kalian
masih ingat kan kejadian minggu pagi?”
“Oh, iya. Apa dia itu cewek matre?”

“Sepertinya.”

Kali ini dia sudah keterlaluan. Aku berjalan cepat mendekati Yusuf.

“Apa maumu sebenarnya? Apa waktumu benar-benar hanya digunakan untuk


membicarakan orang lain?” Yusuf hanya mengangkat kedua pundaknya dan memasang
wajah menyebalkan.

“Apa aku yang menuntut hakku atas uang ganti rugi itu namanya matre?”

“Tunggu, tadi yang bilang matre bukan aku.”

“Kalau bukan matre namanya apa?” sahut Bagus yang memang tadi dia yang
berkata seperti itu padaku. Aku tahu namanya dari kaos yang dipakai. Bagian punggung
kaos voli selalu tertera nama pemakainya.

“Yusuf, sudahlah. Jangan mempermainkan Salma lagi, ini sudah keterlaluan.”


bela Dilla.

Suasana semakin memanas. Antara tim voli putri dan tim voli putra tak ada yang
mau mengalah. Pak Soni datang. Beliau menyarankan untuk diadakan pertandingan voli
antara tim voli putra dan tim voli putri. Yusuf menyetujuinya asalkan aku ikut dalam
pertandingan itu. Dilla dan tim voli putri keberatan tapi tentu saja aku tidak boleh menjadi
pengecut. Genderang perang sudah dibunyikan. Aku harus berjuang hingga menjadi
pemenang. Aku ikut dalam pertandingan itu.

Awalnya, tim voli putri mengungguli tim voli putra dengan skor 10-6. Namun,
karena berkali-kali aku melakukan kesalahan, tim voli putra mampu mengungguli skor
kami. Perbedaan skor terpaut sangat jauh. Yusuf melakukan smash kuat yang tertuju ke
arahku. Aku yang seperti patung ini akhirnya terkena bola.

“Aw!” Aku jatuh tersungkur ke belakang. Sakit sekali hingga langit serasa
berputar-putar.

“Salma kamu mimisan.” Sahut Dilla yang segera mendekatiku. Pertandingan


dihentikan dan anggota voli putri mengelilingiku.

“Ah, aku baik-baik saja, akan kubersihkan darahku dulu.” Segera aku berlari ke
toilet.
Perih sekali rasanya. Ini adalah pertamakalinya aku mimisan. Aku begitu panik
dan tak tahu apa yang harus aku laukan. Akhirnya aku menyalakan kran washtafel dan
membersihkan darah yang mengalir dari hidungku.

Entah mengapa pikiranku melayang dan membayangkan suatu kejadian yang


terjadi pada sebuah drama korea. Ketika Geum Jan Di mimisan terkena bola dan Goo Jun
Pyo datang ingin membantu membersihkan mimisannya. Eh, stop-stop! Mengapa aku jadi
membayangkan wajah Goo Jun Pyo tiba-tiba berubah jadi wajah Yusuf. Ini tidak
mungkin terjadi. Ini sangat tidak masuk akal. Dia yang sudah membuat aku seperti ini.
Lagipula terlihat jelas sekali kalau dia melakukannya dengan sengaja.

Setelah berkali-kali kubersihkan akhirnya mimisanku berhenti juga. Syukurlah.


Namun, kulihat di cermin hidungku masih berwarna merah. Aku harap ini tidak menjadi
masalah. Mungkin saja karena benturan bola yang terlalu keras. Aku melangkahkan kaki
keluar toilet.

“Astaga! Kau membuatku kaget.” Aku terkejut sekali melihat Yusuf yang berada
di luar toilet dan sedang bersandar di tembok. Aku langsung salting karena hal yang aku
bayangkan tadi terjadi sekarang. Aku masih tidak percaya. Biasanya jika kita
membayangkan suatu kejadian semakin kecil kejadian itu akan terjadi. Tapi mengapa ini
terjadi? Aku melanjutkan langkah kaki dengan sedikit lebih cepat untuk
meninggalkannya.

“Manja sekali. Hanya terkena seperti itu saja sudah mimisan. Seharusnya tadi
sewaktu di lapangan kamu pakai helm SNI saja.”

“Bukanya minta maaf tapi malah mengejekku lagi. Benar-benar mati rasa dan
kekanak-kanakan. Dengan emosi yang seperti itu tidak mungkin kamu bisa mengungguli
tim basket di Pekan Olahraga Akhir Tahun ini.”

“Oh, sekarang aku paham. Jadi, tadi yang berlari terbirit-birit di perpustakaan itu
kamu?” tawa Yusuf semakin pecah.

“A-a-aku, tadi aku lari karena melihat kecoa di perpus!” sangkalku terbata-bata.

“Mengapa tidak menjerit? Sudah mengaku saja, tidak akan aku beri tahu kepada
siapa-siapa.”
“Yang jelas dengan kamu tidak serius seperti ini, tim voli tidak akan mampu
mengungguli tim basket. Aku benar-benar kasihan pada teman-temanmu. Punya kapten,
tetapi tidak bisa diandalkan.”

“Memangnya kamu bisa apa dalam permainan voli? Jangan selalu melihat
kekurangan orang lain saja kalau kamu tidak bisa memperbaiki kekuranganmu itu.”

“Yang jelas aku mendukung tim basket!”

Yusuf mengepalkan tangannya. Terlihat sekali dia sangat marah dengan


perkataanku tadi. Dia pergi dengan langkah yang cepat.

Di lapangan voli Dilla dan yang lainnya mengkhawatirkan keadanku. Baru


pertama kali aku dikhawatirkan teman seperti ini. Jujur saja dari dulu teman terdekatku
hanyalah Fitri dan dia bukan tipe orang yang suka mengkhawatirkan keadaan orang lain.
Namun, dia orang yang baik. Aku disarankan Pak Soni untuk duduk-duduk saja dan
melihat teman-teman yang lain bertanding voli.

Emosi Yusuf benar-benar cepat berubah. Tadi ketika dia pergi meninggalkan aku,
wajahnya begitu penuh dengan amarah. Tetapi di lapangan voli ini dia bertanding dengan
wajah bahagia dan tertawa berkali-kali. Orang berpostur tubuh tinggi ini dengan piawai
memainkan bola dan membuat tim lawan kewalahan. Aku jadi merasa bersalah karena
tadi aku mengatakan bahwa dia tidak bisa diandalkan. Dilihat dari sisi mana pun aku lebih
tidak bisa diandalkan dalam olahraga voli ini daripada dia.

Aku ikut tersenyum ketika melihat Yusuf tertawa di sela-sela pertandingan.


Pancaran wajah bahagianya sangat jujur dan ikhlas. Mengapa dia tidak pernah tersenyum
dengan ikhlas kepadaku? Dia hanya bisa tersenyum dan tertawa menyindir ketika
bersamaku. Kalau dia tersenyum dan tertawa bahagia dengan ikhlas seperti ini kan terlihat
lebih baik. Bibirku tertarik keatas dan tersenyum berkali-kali melihat bahagianya Yusuf,
Dilla, dan teman-temanku yang lain.
III.FRIENDS : Aku Tak Mampu Mengerti Diriku Sendiri

Hari ini banyak sekali ulangan harian yang menungguku. Akibat tidak terbiasa
bermain voli, tangan pegal-pegal semua. Ibuku tertawa mengetahuinya. Kakakku pun
tertawa hingga mengeluarkkan air mata.

Aku tinggal bersama Ibu dan Kakak karena Ayah sedang bekerja di luar kota.
Ayah hanya pulang ketika hari raya saja. Di antara keluargaku ini memang tidak ada yang
menyukai olahraga. Kami lebih senang bermain musik. Ayah dan Kakak pandai sekali
bermain gitar. Orang yang biasa aku panggil Kakak ini adalah Rino Zulienza. Dia pernah
menjuarai lomba Festival Band sekabupaten saat duduk di kelas XI SMA. Sekarang
Kakak seorang mahasiswa. Kalau Ibu lebih suka bernyanyi. Banyak sekali kaset-kaset
yang berisi lagu-lagu pop yang katanya sudah Ibu koleksi sejak menjadi mahasisiwi.

Sedangkan aku, bisa dikatakan aku belum menemukan bakatku yang sebenarnya.
Aku senang bermain piano tapi itu juga karena ikut-ikutan. Tanteku pernah mengajariku
sebelum dia menikah. Aku merasa penasaran saja dengan alat musik ini. Aku selalu
mengagumi tanteku ketika dia bermain piano dengan piawai. Sesekali aku juga belajar
gitar dari Kakak saat dia lagi goodmood. Entahlah, antara piano dan gitar aku hanya
sekedar bisa dan senang memainkannya karena hobi. Jadi, saat memilih ekstrakulikuler,
yang bisa kuikuti hanyalah klub musik. Itu pun aku tidak terlalu aktif. Aku harus
berlapang dada ketika tidak masuk tim instrumen inti. Demam panggungku kambuh saat
seleksi. Alhasil, aku hanya menjadi pemain cadangan saja.

Kembali ke ulangan harian yang berjejer rapi dalam jadwalku hari ini. Beruntung
pelajaran terakhir adalah pelajaran kosong dan guru piket tidak memberikan tugas pada
kelas kami. Hore!

Seperti kata seseorang yang aku tidak kenal, ada 3 jam pelajaran yang paling
disukai para sisiwa, yaitu: jam istirahat, jam pelajaran kosong, dan jam pulang sekolah.
Aku setuju sekali dengan pendapat itu.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung pergi ke tempat yang paling aku sukai yaitu
perpustakaan. Tempat itu sangat sepi karena seharusnya saat ini masih jam pelajaran.
Bagus! Aku bisa lebih merasa damai dengan keheningan ini.
Wahhh... angin sepo-sepoi dari luar jendela membuatku terhanyut dalam suasana.
Sepertinya aku benar-benar akan tertidur di sini.

Ketika dalam keadaan setengah sadar, aku merasa seperti ada seseorang yang
mengawasiku. Aku terbangun dan melihat di sekelilingku tetapi tidak ada siapa pun. Aku
memejamkan mataku lagi. “Tap, tap, tap.” Aku mendengar ada langkah kaki yang
mendekatiku. Hih, bikin merinding. Tapi siang-siang seperti ini tidak mungkin ada hantu.
Aku membuka mata dan melihat ke arah kanan. Lalu ada yang aneh di sebelah kiriku.
Saat aku lihat...

“Aaaaaaaaaa!” aku menjerit karena terkejut.

“Sedang apa kau di sini?” tanya Yusuf.

“Kau membuatku jantungan! Aku kira tadi ada hantu!”

“Oh, kamu takut sama hantu ya? Whaaahaha” tanya Yusuf meledekku dan
bersuara menirukan suara hantu yang mengerikan.

“Tidak!” sangkalku.

“Memangnya ada hantu setampan aku?” tanya Yusuf.

“Ih, amit-amit. GR banget jadi orang!”

“Kok kamu ada di sini?”

“Kelasku jam pelajaran kosong.”

“Lalu mengapa sendirian di sini? Pasti kamu tidak punya teman ya?”

“Kamu juga sendirian di sini.”

“Aku di suruh keluar kelas oleh guru.”

“Oh, anak nakal!” ledekku memukul dahi Yusuf.

“Jadi di sini ya tempatmu menguping pembicaran orang yang lalu lalang di balik
rak buku?”

Lama tidak kujawab pertanyaannya. Ada hal yang lebih penting untuk aku
tanyakan ke dia.

“Yusuf, kenapa kamu harus bertaruh dengan anak basket?”


“Dengan Tomi, namanya Tomi. Aku tidak bertaruh. Ini sebuah perjanjian.”

“Tapi, jika tim voli tidak bisa unggul, kenapa kamu harus keluar dari sekolah ini
dan pergi ke luar negeri?

“Memangnya kenapa? Kamu khawatir tidak bisa bertemu aku lagi?”

Lagi-lagi kata-kataku membuat dia keGR-an

“Tapi tenang saja, aku tidak akan kalah oleh klub basket!”

“Optimis sekali? Tapi aku masih ragu.”

“Aku tahu, kamu masuk klub voli karena terpaksa. Tapi setelah kemarin kamu
melihat aku dan teman-temanku berlatih. Tidak bisakah kamu melihat kesungguhan
kami? Kenapa kamu masih saja merendahkan kami? Jika Dilla tahu kamu seperti ini, dia
akan sangat kecewa.”

Aku kehabisan kata-kata untuk menanggapinya. Kutundukkan kepala sembari


merenungi perkataannya. Aku jadi merasa bersalah pada Dilla dan teman-teman yang
lain. Mereka sangat baik padaku. Yusuf dan teman-temannya pun meski selalu jahil
padaku tapi mereka tidak berhak atas vonisku yang merendahkan mereka. Mereka
berlatih dengan baik.

“Aku hanya ingin tahu apa alasanmu keluar negeri?”

“Tomi adalah anak pamanku. Ayahku menyuruhnya merayuku untuk sekolah di


luar negri. Sejak awal, Ayah selalu tak setuju aku bermain voli. Tetapi Ayah begitu tidak
perhatian denganku dan impianku. Aku tidak suka sikap Ayah karena beliau tidak pernah
mengurusiku tetapi berani mengatur impianku.”

Mendengar penjelasannya aku merasa simpatik. Namun, tidak ada yang bisa
kuperbuat untuknya.

“Apa kamu sudah bilang tentang taruhan ini dengan teman-teman yang lain?”
tanyaku.

“Tidak, aku tidak akan membicarakannya dengan mereka. Aku harap kamu dapat
menjaga rahasia.”

Aku heran pada Yusuf. Kadang dia begitu menyebalkan dan membuatku marah.
Tapi kadang dia seperti sahabat yang sangat dekat denganku. Sejak penjelasannya hari
itu, aku jadi paham mengapa dia begitu marah padaku. Tanpa sengaja aku telah
merendahakan kemampuannya dan teman-teman tim voli lainnya. Aku seakan tidak
menghargai keringat mereka setiap berlatih voli yang aku pun merasakannya sendiri.
Latihan itu membuat sekujur tubuh terasa sakit setelah bangun tidur keesokan harinya.
Yusuf, Dilla, teman-teman... maafkan aku.

***

Baru 4 kali aku ikut berlatih voli tapi pertemananku dengan anggota klub voli
semakin dekat. Akan aku singkirkan jauh-jauh anggapan klub voli itu terpuruk. Aku
sekarang mulai menyadari bahwa klub voli sangat kuat dan tak boleh terkalahkan begitu
saja oleh klub basket. Aku tidak boleh lagi menghina klub ini. Berkat klub inilah aku
merasa ada. Aku merasa dianggap sebagai sahabat sekaligus keluarga.

Sejak aku masuk sekolah ini teman terdekatku hanyalah Fitri. Di kelas aku seperti
terisolir, entah mengapa. Teman-teman sekelasku seperti memiliki kelompok sendiri-
sendiri. Selain itu, saat istirahat aku lebih sering menghabiskan waktu di perpustakan dan
terkadang di ruang musik. Satu hal yang membuatku tidak begitu dekat dengan teman
sekelas adalah karena aku malas membicarakan hal-hal tidak penting dengan mereka.
Aku bukan tipe orang yang suka bergosip. Semua itu membuatku tidak bisa akrab dengan
teman satu kelas yang gemar sekali melakukan hal itu.

Sepulang sekolah ini, untuk pertama kalinya aku diajak Dilla ke ruang klub voli.
Saat membuka pintu, mataku langsung tertuju pada sebuah gitar yang tergeletak di atas
lemari.

“Gitar siapa itu?” tanyaku.

“Oh, sudah sejak lama ada di situ. Mungkin milik alumni, karena tidak ada yang
bisa menyetem melodinya jadi tidak pernah dimainkan.” Jelas Dilla.

Seketika jiwa musikku tergerak mendengar penjelasan Dilla. Aku mencari kursi
dan meletakkannya di samping lemari.

“Kau mau apa?”

“Mengambil gitar.”

“Kamu bisa memainkannya?”


“Ah sedikit.”

“Benarkah?” sahut seseorang dari depan pintu yang melihat aksiku. Dia Fatikha,
teman sekelasku.

“...Aku pikir kamu hanya pintar pelajaran saja Sal di kelas. Selain itu, kukira kamu
juga tidak ikut eksul voli.” Tambahnya. Perkataannya membuatku menerka-nerka apa
maksudnya? Dia seakan merendahkanku yang menurutnya hanya tahu perpustakaan saja.

“Lho kalian satu kelas? Kenapa kamu tidak mengenal Salma sama sekali? Dia
bahkan ikut klub musik juga. Seorang pianis.” Jelas Dilla.

“Benarkah?!” teriak Fatikha tidak percaya.

“...Kalau begitu mengapa kamu tidak menawarkan diri menjadi ketua pensi kelas
saat pelajaran kesenian tadi? Kalau tahu kamu jago main musik, seisi kelas pasti sangat
senang karena kita lagi kebingungan memikirkan siapa yang jago main musik dan
memimpin saat pensi.”

“A-aku hanya bisa saja, ngga jago.”

“Ayolah, seisi kelas pasti senang. Selain itu, nyanyikan lagu dengan gitar itu. Aku
ingin mendengarkannya.” Ajak Fatikha bersemangat. Dia menarikku ke luar ruang klub
voli. Kami duduk bersama di kursi panjang depan ruang.

Aku sedikit tidak suka dengan sifat memaksanya. Namun, aku juga ingin
memecahkan anggapannya tentang diriku yang hanya tahu tentang pelajaran dan
perpustakaan saja. Kini aku paham mengapa teman-teman satu kelas enggan memulai
pembicaraan denganku. Mereka menganggapku kutu buku dan ansos. Buruk sekali,
selama ini pasti aku juga menjadi bahan pembicaraan mereka.

Baiklah, sebelum aku memainkan gitar aku mencoba membenarkan melodi setiap
senar. Aku memainkan lagu yang sangat kuhafal kuncinya. Lagu yang sering Ayah
mainkan saat di rumah. Laskar Pelangi oleh Nidji.

Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia

Berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya

Laskar pelangi tak kan terikat waktu

Bebaskan mimpimu di angkasa


Warnai bintang di jiwa...

Menarilah dan terus tertawa

Walau dunia tak seindah surga

Bersyukurlah pada yang kuasa

Cinta kita di dunia

Selamanya...

Dilla dan Fatikha ikut bernyanyi denganku. Beberapa orang mendekat ke kami
dan ikut bernyanyi bersama kami. Tepat setelah lagu selesai, teman-teman voli yang lain
datang dan memintaku untuk bernyanyi lagi. Kali ini aku memainkan lagu Siapkah Kau
Tuk Jatuh Cinta Lagi oleh Pelangi. Bertambah ramai laguku ikut dinyanyikan teman-
teman di sekelilingku. Aku merasa bahagia memainkan gitar dan menyanyi bersama
seperti ini. Untuk pertama kalinya aku merasa bahagia berbagi kebahagiaan dengan
teman-teman lewat musik.

Sejak saat itu aku menjadi ketua pensi kelas untuk penilaian akhir semester. Aku
sedikit gugup karena sebelumnya aku tidak pernah aktif mengikuti kegiatan seperti ini.
Namun, sejak kejadian sore itu, teman-teman sekelas yang ikut bernyanyi kala itu jadi
sering mengajakku berbicara. Aku bersyukur tidak lagi merasa terisolir di kelas. Aku pun
sadar, semua ini tidak akan terjadi tanpa bantuan teman-teman voliku yang sedikit demi
sedikit membuatku pandai mengakrabkan diri dengan orang lain.

Sejak sore itu pun, tempat yang kudatangi saat istirahat atau setelah pulang
sekolah menjadi bertambah satu yaitu ruang klub voli. Meski ada di paling pojok deretan
ruang ekstrakulikuler tapi cukup untuk menjadi tempatku dengan teman-teman voli saling
mempererat persahabatan kami.

Aku tahu aku hanyalah anak baru kemarin sore yang bergabung dengan klub voli.
Aku juga heran, mengapa aku begitu mudah tersentuh dengan kebaikan mereka dan
keceriaan yang mereka berikan padaku. Aku baru 4 kali mengikuti latihan secara resmi
tapi mereka seperti telah meanganggapku sebagai teman lama yang sudah lama tidak
bertemu. Mereka langsung saja bersikap baik kepadaku tanpa tahu sikapku yang selama
ini merendahkan klub voli.
Aku telah menemukan diriku kembali. Aku sudah bisa tersenyum tulus lagi. Aku
sudah punya kalian. Teman-teman baruku yang sangat memahamiku. Yang tanpa berkata
langsung menerima aku begitu saja. Aku sudah jatuh hati kepada klub voli. Aku ingin
terus tetap di sini dan berbagi tawa dengan mereka.

***

“Dor!” Dilla mengejutkan aku yang sedari tadi melamun duduk menunggu
dimulainya latihan voli untuk kelima kalinya.

“Semuanya berkumpul!” perintah Pak Soni.

“Hari ini kalian akan melakukan pertandingan dengan alumnus. Saya harap kalian
saling membantu, antara tim putra dan tim putri. Kalian dicampur untuk melawan
alumnus.”

“Hah? Mengapa harus dicampur Pak?” tanya Bagus.

“Karena alumnus kalian hanya terdiri dari satu tim yang juga dicampur. Yusuf,
kamu sebagai kapten, mulailah membagi tim secara adil.”

Pak Soni menjadi wasit dalam pertandingan ini. Kakak kelas yang terdiri dari 2
putri dan 4 putra melawan angkatan kami dengan pembagian serupa. Angkatan kami
terdiri dari Bagus, Dodo, Lukman, Yusuf, Dilla dan Putri.

Dilla dan Putri memang pemain voli terbaik di antara anggota tim voli putri
lainnya. Mereka bahkan pernah mengikuti POPDA hingga ke tingkat nasional. Jelas saja
mereka yang dipilih. Tidak mungkin 1000% aku. Tapi sejujurnya aku juga ingin berada
di lapangan itu, ikut bertanding dan berjuang bersama mereka.

Pertandingan dimulai, kakak kelas berhasil mengungguli kami dengan jarak skor
lumayan jauh. Aku dan teman-teman bersorak sorai memberi dukungan. Kami ingin
membuat mereka santai dan tidak gugup. Benar saja, karena teriakan-teriakan dukungan
kami, sedikit demi sedikit tim kami berhasil mengungguli skor meski masih sering saling
unggul-mengungguli dengan tim alumnus.

Pertandingan berlangsung sengit seakan saling mati-matian menghalau bola jatuh


ke lantai. Tiba-tiba terjadi kesalahan koordinasi. Bola yang melambung ke arah tim kami
dikembalikan bersama oleh Dilla dan Yusuf. Tangan mereka yang siap untuk melakukan
passing bawah saling menyentuh dan melambungkan bola itu ke arah lawan secara
bersamaan. Semua anggota klub voli yang sedang memberi dukungan menyoraki hal
tersebut. “Ciee, ciee..”

Tapi mengapa aku tidak ikut tertawa dan menyoraki mereka? Mengapa aku malah
melamun? Aku seperti berada pada suatu waktu yang berhenti. Hanya ada aku, Yusuf,
dan Dilla. Mengapa aku melihat mereka dengan tatapan kosong seolah tidak senang? Apa
yang sedang aku pikirkan? Bahkan suara teriakan teman-teman di sekelilingku saat itu
tak lagi terdengar apalagi kuhiraukan.

Pertandingan berakhir dengan kemenangan dari tim angkatan kami. Semua sangat
bergembira. Pandanganku sudah seperti biasa, aku tak lagi melamun. Aku turut bahagia
dengan kemenangan ini. Teman-teman saling meneriakkan yel-yel yang aku dan Fitri
belum pernah mendengar sebelumnya. Dilla mengajari lirik yel-yel tersebut dan aku
menirukannya dengan semangat. Momen bahagia seperti ini akan kucatat dalam sejarah
hidupku.

Latihan berlanjut, kami berpasangan saling menerima dan melambungkan bola ke


arah pasangan dengan mengkombinasikan gerakan dasar voli. Aku berpasangan dengan
Bagus. Dia mudah sekali marah dan aku hanya menjadi bahan tertawaan dalam
permainannya. Aku masih belum bisa secara sempurna melambungkan bola lurus ke
depan. Dilla, aku ingin sekarang kamu yang melatihku. Mengapa pada latihan ini tim
putra harus dicampur dengan tim putri? Ini sangat tidak membuatku nyaman.

Terlihat wajah Bagus semakin memerah menahan amarah karena aku selalu
membuatnya mengambil bola. Di puncak kemarahannya dia melakukan smash kuat
mengarah padaku. Reflek, aku melindungi kepala sambil berjongkok. Bola yang dia
smash salah arah dan menuju kepala Dilla. Yusuf dengan sigap memeluk Dilla untuk
melindunginya dari hantaman keras bola tersebut. Lagi-lagi saat kulihat Yusuf dan Dilla
bersama, waktu seolah berhenti dan pandanganku kosong. Aku tak tahu apa yang aku
rasakan? Mengapa aku seperti ini? Ini tidak seperti biasanya, ada apa dengan diriku?

“Eh, maaf ya Yus, aku tadi tidak sengaja.” kata Bagus menghampiri Yusuf.

“Smash-mu itu masih belum sempurna! Berlatihlah dengan benar sebelum


mengggunakannya!” ucap Yusuf dengan nada membentak marah.
“Maaf ya Dil, beneran tadi aku tidak bermaksud mengarahkannya padamu.”

“Apa kamu ingin mengarahkan pada Salma?” tanya Dilla.

“Tentu saja, eh maksudku... Dia tidak pernah mengarahkan bola dengan benar dan
selalu membuatku lelah mengambil bola yang melambung entah kemana. Aku sangat
marah dengan perbuatannya.”

“Kamu jangan sekali-kali menggunakan bola voli dengan kemarahan seperti itu.
Seseorang bisa celaka karenamu!” bentak Putri ikut membelaku.

“Iya, maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi... Salma, carilah orang
lain, aku sudah lelah melatihmu.”

Akhirnya aku dilatih Pak Soni dan seperti biasa, latihanku diakhiri dengan
hukuman mengitari lapangan serta mengambili bola. Lelah sekali jika setiap kali berlatih
voli aku dihukum seperti ini.

Usai latihan aku berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu Fitri mengambil
motor. Kali ini aku tidak lagi meminta antar-jemput Kakak atau Ibu. Ada tukang ojek
gratis. Lumayan, mumpung dia mau. Walaupun ada tumpangan gratis, tapi tetap saja aku
harus membayar jasanya meski bukan dalam bentuk materi. Kadang Fitri yang
menagihnya padaku. Dia memaksaku menemaninya ini-itu.

Langit jingga memayungi suasana kota dengan lampu-lapu yang mulai menyala.
Satu persatu teman voli keluar dari gerbang sekolah sembari menyapaku. Yusuf dan
Salma naik motor berboncengan menuju pintu gerbang. Salma memanggilku dan aku
meresponnya dengan senyum terpaksa. Lagi-lagi pandanganku seperti tidak suka melihat
Yusuf dan Dilla bersama. Sebenarnya ada apa sih denganku? Mengapa aku seperti ini?
Apa yang aku rasakan? Aku tak dapat mengetahui apa yang kurasakan ini. Jelas ini
sesuatu yang aneh. Semakin aneh hingga aku sendiri pun tak dapat mendefinisikannya.

“Tiiiin, tiiiin, tiiiin!” Klakson motor Fitri berbunyi berkali-kali.

“Kalau tidak mau ikut, aku tinggal nih!” kata Fitri tak sabar.

“Ehh, jangan gitu dong, iya-iya aku naik.”

Di jalan, lagi-lagi aku melamun dan benar-benar tak tahu apa yang terjadi pada
diriku sendiri.
“Salma, salma?” panggil Fitri.

“Eh, oh, ada apa Fit?”

“Sudah sampai nih! Dari tadi aku lihat kamu, mengapa kamu sering melamun
begini? Ini bukan kamu banget tahu!” jelas Fitri yang penasaran pada sikapku.

“Aku lelah Fit, besok ya aku ceritanya.”

Aku masuk rumah tanpa melihat Fitri. Pandanganku kembali kosong. Aku
merebahkan tubuh di atas kasur sembari melihat langit-langit. Kutelaah satu persatu
kejadian hari ini yang selalu membuatku melamun. Aku masih belum menemukan
sesuatu yang penting yang membuatku seperti ini. Heran deh, Salma! Bagaimana
mungkin kamu tidak mampu memahami dirimu sendiri?
IV. LOVE : Bumerang Benci

Hari ini aku janjian dengan Fitri bertemu di depan ruang musik setelah selesai
ekskul musik. Fitri mengikuti ekskul PMR pada hari itu juga. Kami sama-sama janjian
setelah ekskul selesai. Fitri selesai sedikit terlambat dari yang lain karena dia piket UKS.
Koridor sangat sepi ketika kami berjalan menuju tempat parkir. Aku tidak ingin lagi
berdiri sendiri di depan gerbang seperti waktu itu untuk menunggu Fitri mengambil
motor. Hal itu membuatku seperti orang hilang.

Sepinya koridor membuatku ingin bertanya sesuatu pada Fitri.

“Eh Fit, ketika pikiranmu selalu kosong dan kamu selalu melamun itu
penyebabnya apa?”

“Karena nilai ulanganku jelek, karena aku belum makan, karena uang sakuku
limit, karena...”

“Yang serius dong.” Sahutku memotong jawaban Fitri.

“Setiap orang kan memiliki alasan yang berbeda-beda ketika pikirannya sedang
kosong.”

“Iyalah, terserah kamu deh. Aku jadi badmood.”

“Salma, apa kamu merasa kosong karena Yusuf?”

“Apa maksudmu? Apa pentingnya membuang waktuku dan membiarkan


pikiranku kosong untuk dia.”

“Kan aku hanya menebak. Memangnya kamu kemarin melamun apa?”

“Aku juga tidak tahu. Aku merasa aneh dengan lamunanku.”

“Aneh?”

“Iya, mengapa aku melamun ketika melihat kebersamaan Yusuf dengan Dilla?
Aku merasa aneh saja.”

“Apa? Kamu merasa cemburu dengan mereka berdua? Yang benar saja?”

“Cemburu? Enak saja! Bukan cemburu, tapi lebih ke perasaan kosong ketika
melihat mereka bersama.”

“Ya itu namanya cemburu. Benarkan tebakan aku, kamu suka sama Yusuf!”
“Ih, ngga mungkin! Jangan samapai deh!”

“Salma, kamu masih begitu polos hingga perasaan suka yang dapat semudah itu
didefinisikan setiap orang pun kamu tidak bisa tahu.”

“Apa?!”

Aku benar-benar terbungkam dengan kata-kata Fitri. Aku suka dengan Yusuf?
Bahkan malaikat di sampingku pun tahu aku sedang berperang dengannya! Bisa-bisanya
perasaan tak sukaku menjadi bumerang. Mengapa aku tak mampu memahami diriku
sendiri? Memahami perasaanku sendiri? Benar kata Fitri, aku masih sangat polos. Aku
belum mengerti apa-apa tentang masalah seperti ini. Ini pertamakalinya bagi diriku
merasa ada rasa yang aneh di hatiku ketika melihat seseorang dekat dengan orang lain.

“Hey! Melamun lagi kan?” kata-kata Fitri lagi-lagi mengejutkanku.

“...Salma, maka dari itu kamu jangan terlalu benci sama orang lain, jadi berubah
suka kan?”

“Ah, aku masih nggak percaya.” sangkalku.

“Kalau benar kamu suka dengan Yusuf, aku sarankan hentikan perasaanmu
sekarang juga. Karena, sepertinya Yusuf dan Dilla sudah sangat dekat.”

“Siapa yang suka, sampai kapan pun aku tidak boleh lupa dengan tujuan awalku.”

“Salma, aku kenal kamu dari TK. Ini pertama kalinya kamu merasakan rasa yang
lain pada seorang laki-laki. Aku gembira akhirnya kamu normal.”

“Nyindir nih..”

“Memang kenyataannya begitu. Tapi aku benar-benar tidak ingin kamu sakit hati
nantinya. Aku pernah merasakannya dan itu menyakitkan.”

“Tenang saja Fit, itu tidak akan terjadi padaku. Maaf ya, aku jadi mengingatkanmu
pada mantan pacarmu.”

“Tidak apa-apa Sal, setidaknya kenangan indahku dengannya lebih banyak


daripada kenangan memilukan. Dan aku khawatir denganmu, aku khawatir kamu tidak
akan mendapat kenangan indah itu dengan Yusuf. Karena, sepertinya dia juga selalu
membuatmu susah dan dia sedang dekat dengan Dilla.”
“Siap Bu! Kamu bicara seperti sudah profesional banget.”

“Hey! Kapan aku menikah dengan Ayahmu? Hahaha.” tawa kami pecah dan
menggema sepanjang lorong koridor sekolah.

Ketika berjalan, dari kejauhan aku melihat Yusuf dan Dilla berjalan ke arah kami.
Aku yang terkejut entah mengapa menjadi salting melihat mereka.

“Hei! Dilla! Yusuf!” panggil Fitri.

“Eh, kenapa kamu panggil mereka?” aku berbisik pada Fitri. Aku yang bertingkah
aneh ini menambah keanehanku dengan membalik badan dan melangkahkan kaki
meninggalkan mereka. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku akan merasa sangat kosong
jika berpapasan dengan mereka. Tanpa menghiraukan panggilan Dilla, aku mempercepat
langkahku meninggalkan mereka.

Fitri mengejarku.

“Salma, apa yang kamu lakukan? Jika kamu seperti ini, mereka akan tambah
curiga sama tingkah anehmu.”

“Masa bodoh!”

Aku dan Fitri berjalan meninggalkan tempat itu sehingga kami tak sempat
berpapasan dengan Dilla dan Yusuf. Kami memutar jalan untuk sampai ke tempat parkir.

***

“Anak-anak, hari ini kalian akan melakukan pertandingan persahabatan dengan


SMA Merah Putih, segeralah bersiap!” suara Pak Soni memecah senda gurau kami.
Seketika suasana menjadi hening.

“Hah?!” jawab beberapa di antara kami.

“Memangnya ada apa dengan sekolah mereka?” tanyaku.

“Kau ini benar-benar kudet! Mereka adalah sekolah yang menjadi langganan juara
umum pada hampir setiap Pekan Olahraga Akhir Tahun.” Jelas Yusuf.

Sudah tahu aku baru bergabung dengan klub voli, harusnya dia maklum. Lagipula
bukankah banyak anggota klub voli yang telah mengikuti POPDA hingga ke tingkat
nasional, apa yang harus ditakutkan?
“Oke, teman-teman, kita tahu bahwa pertandingan ini adalah pertandingan
persahabatan. Tapi cobalah berikan yang terbaik untuk sekolah kita.” Jelas Dilla kepada
semuanya dengan sangat bijaksana.

Jika dilihat-lihat, aku merasa heran terhadap Dilla, mengapa juga dia bisa tahan
dengan sikapnya Yusuf? Yusuf adalah orang yang bertemperamen tinggi sedangkan Dilla
sangat penyabar. Beruntung sekali Yusuf. Jika dibandingkan denganku dari posisi
manapun, aku sama pemarahnya dengan Yusuf. Aku tak bisa mengimbangi sikapnya.
Aku bukanlah orang yang penyabar. Tuhan memang adil. Mungkin ini sebabnya aku tak
punya ruang sedikit pun di hati Yusuf. Aku munafik ya. Dari tadi yang kulakukan hanya
meyakinkan diriku saja bahwa aku tidak akan pernah ada di dalam perasaan Yusuf. Disisi
lain, aku sangat mengaharap ada setitik perasaan yang terbuka oleh Yusuf kepadaku.
Baiklah, aku megaku kalah dengan perasaanku sendiri. Benci itu kini telah berubah
menjadi perasaan suka. Aku jatuh cinta pada Yusuf entah karena apa, sejak kapan,
mengapa, dan bagaimana. Aku tidak tahu.

Jalan kaki. SMA Merah Putih sangat dekat dengan sekolah kami. Kami hanya
membutuhkan waktu 10 menit berjalan kaki untuk sampai di sekolah itu. Lapangan
sekolahnya begitu asing. Beruntung sore ini hanya ada beberapa anak yang masih berada
di sekolah untuk, aku mengira-ngira menonton pertandingan kami.

Aku, sudah jelas menjadi supporter dan pemain cadangan. Melihat teman-teman
yang lain bekerja keras di dalam lapangan membuatku semakin bersemangat
menyemangati mereka. Aku berteriak-teriak hingga tenggorokanku kering. Aku
menyiapkan minum untuk mereka. Sebenarnya melihat betapa tak bergunanya aku di luar
lapangan dengan menonton mereka membuat diriku sedikit berkecil hati. Namun, aku
jadi ingat kata-kata Dilla sebelum ini “Jantung kami adalah bagaimana supporter kami
memompanya.” Aku sedikit senang ketika mengingat kata-kata itu, setidaknya mampu
menghibur dan memberi semangat bagi diriku sendiri.

Set pertama pertandingan tim putri dimenangkan oleh SMA Merah Putih. Ketika
tim putri sedang mendapat pengarahan dari pelatih, aku, Fitri dan tim putra yang lainnya
saling berdiskusi.

“Kau ini , sedang jadi supporter atau sedang menonton wayang? Melongo terus
dari tadi.” cetus Yusuf.
“Lalu, apa yang kalian lakukan dari tadi? Kalian juga tidak memberi semangat.”
sangkalku.

“Sekarang ini bukan saatnya berdebat, ayo kita lakukan taktik itu!” saran Bagus.

“Taktik apa?” tanyaku.

“Kau ikuti saja, jangan banyak tanya.” Perintah Bagus.

Set kedua dimulai, tentu saja aku belum mengerti taktik apa yang dimaksud oleh
mereka. Aku mengikuti mereka saja daripada disalahkan. Mereka berjalan ke arah yang
salah, seharusnya mereka berada di samping lapangan tim voli sekolah kami. Tapi..

“Eh, eh, eh, mengapa kita berada di sini? Seharusnya...”

“Sudah ikuti saja! Kita semangati dan kita goda tim lawan agar mental mereka
down!” jelas Bagus.

“Oh, aku paham...!” jawabku bersemangat, tapi suaraku yang terlalu keras
membuat orang-orang memperhatikan dan melihatku sinis.

“Priiiiitt!”

“Cantik, servisnya yang semangat dong, sambil gaya dikit deh biar bagus
difoto...sini aku foto dulu.” teriak Yusuf kepada perempuan dari tim lawan yang sedang
bersiap servis.

Bagus mempraktikan gaya servis dengan sangat konyol sambil menggoyangkan


pantatnya ke kiri dan ke kanan. Siapa pun yang melihatnya pasti akan tertawa terpingkal-
pingkal. Benar-benar mereka ini, keterlaluan sekali menurunkan mental lawan. Aku
hanya bisa senyum-senyum sendiri dan sesekali hanyut dalam gurauan itu. Benar saja,
tim lawan menjadi sedikit down dan tim putri dari sekolah kami mampu mengungguli
skor mereka.

Selanjutnya seperti itu hingga tim voli putri sekolah kami akhirnya memenangkan
pertandingan. Hore! T

im voli putri tak kalah semangatnya ketika menurunkan mental tim putra lawan.
Kami gila-gilaan menggoda mereka.

“Mas ganteng itu keringetnya dilap dulu dong, sini aku aja yang ngelap.”
“Nomor tujuh cool banget ya kaya artis korea, aku ngefans deh!”

Mungkin pelatih mereka sangat panas ketika kami melakukan hal-hal ini untuk
menurunkan mental anak didiknya. Berkali-kali pelatih itu memelototi kami. Hal itu
bahkan membuat aksi kami semakin menjadi-jadi.

“Berkat taktik goda sana goda sini mengantarkan tim voli sekolah kita
memenangkan pertandingan persahabatan ini! Jaya! Jaya!” ungkap Yusuf bersemangat.

“Akhirnya kita semua mampu memenangkan ini!” Dilla menambahi dengan


senyuman lebar.

“Idenya siapa dulu dong?” sahut Bagus.

“Memangnya siapa? Ide ini juga ide bersama dan hanya dilakukan pada saat yang
mendesak, ye!” jawab Putri.

“Ayo kita rayakan kemenangan kita!” saran Dilla.

“Oh iya, hari ini Dilla kan berulang tahun, selamat ulang tahun ya Dil” ucap Putri.

“Benarkah? Kalau begitu Dilla harus bertanggung jawab akan perut kita.” Sahut
Bagus.

Semua yang berkumpul saling mengucap selamat kepada Dilla tak terkecuali Pak
Soni. Dilla menraktir kami makan bersama. Kami berjalan ke warung dekat sekolah.

“Rumah Makan Padang?” tanyaku.

“Iya, setiap selesai bertanding voli dan menang, kami selalu makan di rumah
makan padang ini.” Jelas Dilla.

“Tapi kan ini ulang tahunmu Dill.”

“Kalau dia nggak mau nggak perlu diajak Dill.” Sahut Yusuf memotong
pembicaraanku.

“Siapa bilang aku nggak mau?”

“Beneran tidak apa-apa Sal?” tanya Dilla.

“Iya” jawabku sembari melebarkan senyum.


“Sal, bukankah kamu tidak kuat makan pedas? Jangan macam-macam deh.” kata
Fitri.

“Sssst! Diam saja, jangan beritahu yang lain, aku bisa menyelesaikannya sendiri.”
jawabku.

Aku mengambil makan dan mencari tempat duduk.

“Salma, ayo duduk di sini!” teriak seseorang dari arah pojok ruangan, ternyata itu
Dilla. Aku tersenyum kepadanya dan duduk di sampingnya. Beberapa saat kemudian
Bagus dan Yusuf duduk di depan kami. Tahu seperti ini sebaiknya aku tidak duduk di
sini. Aku sangat menyesal, aku jadi tak bisa berkutik di depan mereka. Salah tingkahku
mulai kambuh.

“Salma, apa yang kau dan Fitri lakukan kemarin sore?” tanya Yusuf.

Deg! Kejadian waktu itu. Haruskah Yusuf mengungkitnya kembali? Aku harus
jawab apa? Aku sudah merasa pasti dia akan mengejekku dengan kejadian waktu itu. Dia
pasti sudah salah paham terhadapku, aku harus bagaimana?

“A-aku, waktu itu..”

“Iya Sal, kenapa waktu itu tidak memanggil kami dan malah berbalik?” tanya
Dilla yang membuatku semakin terpojokkan.

Aku diintrogasi mati-matian oleh mereka. Apa yang harus aku katakan. Salma,
ayo berpikir!

“Sudah hampir malam, lebih baik kita cepat menghabiskan makanan ini. Aku
sangat lapar. Mengapa kita tidak mulai makan saja?” tanya Bagus.

“Iya, aku juga lapar.” Tambahku.

Bagus aku berhutang budi padamu. Dengan wajah-wajah yang masih penasaran,
mereka akhirnya makan dan tak bertanya apa-apa lagi padaku. Fiuuuh! Benar-benar
membuatku senam jantung.

Pemandangan yang membuat hatiku kesal. Yusuf dan Dilla dari tadi saling tatap
dan saling senyum. Aku berhadapan dengan Bagus. Dia makan amat rakus! Satu-satunya
cara agar aku terbebas dari rasa kesalku ini hanyalah menunduk dan melihat makananku.
Tapi tetap saja mereka ada disampingku. Hal ini membuat selera makanku menghilang.
Akhirnya aku tidak menyadari bahwa aku memasukkan sambal terlalu banyak ke dalam
mulut. Pedass, benar-benar sangat pedas. Wajahku berubah merah seketika dan bibirku
terasa panas sekali.

“Huuh haaah!”

“Lihat, konyol sekali kamu Sal, sambal seperti ini saja sudah membuatmu
kepedesan! Hahaha.” Yusuf tertawa melihatku yang sedang kepedasan memakan sambal.
Bagus ikut tertawa begitu pula Dilla. Aku jadi malu. Segera kuminum es teh hingga habis
setengah gelas.

“Dilla kamu nggak suka daun singkong?” tanya Yusuf.

“Biasanya suka tapi yang ini agak keras, kamu mau?”

“Tentu saja, sini buat aku!”

“Aku juga nggak suka nih, ini buat kamu juga ya!” tawarku pada Yusuf.

“Aku sudah terlalu banyak makan daun singkong, memangnya kau pikir aku ini
kambing?” jawab Yusuf dengan ketus.

“Ya sudah kalau begitu buat kamu aja ya Gus!”

“Enggak! Aku juga bukan kambing kali!” jawab Bagus.

“Memangnya setiap orang yang makan daun-daunan harus disamai dengan


kambing? Maksudku menawarkan pada kalian kan biar daun singkongnya ngga
mubadzir.” Aku memajukan bibir dan merasa kesal. Mereka kembali menyantap
makanan masing-masing.

Hal yang aku khawatirkan sejak tadi mulai muncul. Tiba-tiba perutku mulas. Aku
pergi ke toilet. Sepertinya kebiasaanku sudah muncul. Aku tidak bisa makan makanan
yang terlalu pedas karena perutku akan bereaksi seperti ini. Aku bisa menghabiskan
waktu bermenit-menit di dalam toilet.

“Huh! Lega...” aku keluar toilet dan melihat Dilla bersama Yusuf sedang
membicarakan sesuatu di jalan menuju keluar ruangan ini. Aku menelan ludah. Apakah
aku akan mengulangi lagi kejadian kemarin sore itu? Mereka sudah melihatku dan Dilla
melebarkan senyum kepadaku. Tidak-tidak, kali ini aku tidak boleh berbalik. Jika aku
berbalik memangnya akan ada jalan memutar untuk keluar. Ini akan membuat Dilla dan
Yusuf semakin curiga dan salah paham terhadapku. Dengan perasaan gugup aku
memberanikan diriku menuju mereka. Kusapa mereka agar suasana tidak menjadi aneh.

“Hei, sedang apa kalian di sini?” tanyaku.

“Kami mencarimu. Semuanya sudah berada di luar untuk bersiap pulang.” Jelas
Dilla.

“Benarkah?”

“Iya, apa kau sembelit?” tanya Yusuf dengan senyum menyindir. Aku
memelototinya.

“Dilla, ayo kita pergi.” Aku menarik tangan Dilla. Kami segera meninggalkan
Yusuf. Sepertinya ada yang aneh ketika aku mengajak Dilla keluar dari ruangan itu. Dia
seperti menurutinya dengan setengah hati. Setelah keluar, ternyata teman-teman yang lain
sedang tidak menungguku untuk pulang. Mereka masih bercanda di tempat duduk
masing-masing.

“Bukankah tadi kau bilang mereka sedang menungguku?” tanyaku pada Dilla.

“Anak-anak, ayo kita bersiap pulang, ini sudah hampir malam.” Saran pak Soni
yang berjalan keluar rumah makan ini.

“Tunggu sebentar ya, aku akan membayar ke kasir dulu.” Kata Dilla kepadaku.
Dilla mencoba mengalihkan perhatian dan tidak menjawab pertanyaanku. Dia berbohong.
Dia berbohong menganai hal ini. Aku melihat Yusuf keluar dari ruangan tadi. Sebenarnya
tadi mereka sedang apa? Sepertinya aku mengacaukan pembicaraan mereka sehingga
Dilla berani berbohong kepadaku. Sepertinya mereka sedang berbicara mengenai masalah
serius. Apakah tadi Yusuf sedang menyatakan perasaannya pada Dilla? Ah, tapi
tempatnya tidak mendukung sekali. Kejadian itu membuatku gelisah.

“Hey! Ayo kita pulang!” teriak Fitri yang sudah berada di luar rumah makan. Dia
sudah bersiap duduk di atas motor.

“Iya!” jawabku berlari menghampirinya.

“Dilla terimakasih ya atas semuanya, sering-sering saja seperti ini.” ucap Fitri
pada Dilla yang sedang berboncengan dengan Yusuf.
“Tapi besok kalau kamu yang ulang tahun, kamu yang gantian menraktir aku.”
Jawab Dilla tersenyum.

“Duluan yaa...” tambah Yusuf. Mereka meninggalkan kami.

“Mau kemana mereka? Sudah hampir malam seperti ini berboncengan berdua
seperti itu bukankah tidak baik.” Aku menggerutu sembari memandangi Dilla dan Yusuf
pergi.

“Ayo kita ikuti mereka.” Saran Fitri.

“Apa-apan kamu Fit, buang-buang waktu saja.”

“Bukankah kau penasaran? Jangan munafik deh, sebenarnya aku juga penasaran
dengan mereka. Ayo kita ikuti mereka.”

“Terserah kau saja.”

Akhirnya kami mengikuti Dilla dan Yusuf dari belakang. Aku terus mencoba acuh
dan tidak begitu penasaran kepada mereka. Aku takut perasaan ini membuatku tidak suka
kepada Dilla. Kami mengikuti mereka dan jelas sekali jalan yang kami lewati bukanlah
jalan menuju rumah penduduk. Ini jalan menuju kota. Menuju keramaian, pasar malam.
Ini jalan menuju pasar malam di dekat jembatan di pusat kota.

“Mengapa mereka ke sini? Seperti anak kecil saja.” Gerutuku.

“Apa kita harus mengikuti mereka hingga ke dalam?” tanya Fitri.

“Tidak Fit, itu ide yang buruk! Aku takut kita ketahuan dan mereka semakin
curiga terhadapku Fit. Sudah cukup sampai di sini saja kita mengikuti mereka.”

“Kalau begitu, mari kita menyamar.”

“Apa maksudmu?”

Setelah memarkir motor, Fitri menarikku dan membawaku ke toko aksesoris. Dia
benar-benar melakukannya. Kami memulai penyamaran agar tidak dicurigai ketika
mengikuti mereka. Kami sama-sama memakai topi dan mengurai rambut. Aku jadi heran
deh, kalau seperti ini jadinya sebenarnya siapa yang suka sama Yusuf? Kok jadi Fitri yang
ngotot dan penasaran sama dia. Benar-benar aneh.
“Fitri, aku nggak bisa ikut. Aku nggak ingin membenci Dilla. Aku nggak ingin
melihat semua kejadian ini.” Jelasku pada Fitri ketika kami sedang mencari-cari mereka.

“Salma, apa kamu nggak penasaran pada mereka?”

“Apa yang perlu aku penasarankan lagi? Mereka sudah jelas-jelas dekat.”

“Tidak, aku akan tetap memaksamu untuk ikut. Kita sudah sejauh ini dan...”

“Fitri, mengapa jadi kamu yang ngotot sih?” potong aku.

“Kalau kamu tidak tahan, aku akan menutup matamu.”

“Bukan itu masalahnya, tapi..”

“Eh, itu mereka. Ayo cepat!” lagi-lagi Fitri menarikku mendekati Yusuf dan Dilla
di sebuah stand permaianan.

Setelah mendekat, ternyata ini permainan bianglala. Aku sebelumnya sudah


pernah menaiki ini dan jujur aku tidak suka dengan ketinggian, aku bisa mual-mual.

“Lihat, mereka naik, ayo kita juga naik!” ajak Fitri.

“Apa kamu pikir kalau kita naik kita juga bisa melihat mereka di dalam kurungan
itu?”

“Setidaknya, jika kita naik di seberang mereka, bisa lebih jelas daripada
mengamati dari bawah sini.”

“Fitri, aku takut ketinggian.”

“Yang benar saja? Kamu kan sudah besar!”

Anak ini benar-benar nekad! Nekad membuatku naik bianglala. Nekad


membuatku mula-mual. Selama perjalanan, tanganku sangat dingin. Perasaanku sudah
campur aduk. Aku tidak berkonsetrasi mengamati Yusuf dan Dilla. Aku hanya
berkonsentrasi menahan rasa mualku. Aku menutup mata hingga permainan ini berhenti.

“Cepat, kita sudah ketinggalan mereka.”

“Fitri tunggu! Aku pusing, kita duduk dulu lah..”

“Kamu, benar-benar takut ketinggian?”


Aku hanya mengangguk dan segera duduk. Entah seperti apa raut wajahku saat
itu. Di keramaian seperti ini tentu saja tidak ada yang melihat dan memperhatikan
wajahku yang nggak banget. Kami duduk di dekat penjual es krim.

“Eh, Sal, beli es krim yuk, aku haus.” Ajak Fitri.

“Boleh. Sini aku saja yang beli.” Aku berdiri menghampiri penjual es krim.

“Ye! Kalau sudah lihat es krim aja hilang deh hawa negatifmu tadi.” Sindir Fitri.
Aku hanya nyengir. Es krim enak sih, hehehe.

“Bang, es krim dua yang rasa coklat ya!” pesanku pada pemuda penjual es krim
yang ada disamping kami tadi.

“Bang, beli dua ya!” ada seorang pembeli lagi ternyata.

“Yang rasa apa mas?”

“Kamu rasa apa Dill?”

Dill? Apa mereka, aku segera memutar wajahku melihat pembeli es krim itu. Aku
terpatung sesaat melihat mereka dan segera memalingkan wajahku.

“Fit, di sebelahku, di sebelahku ini. Mereka.. ada.. di sebelahku.” Bisikku pada


Fitri dengan gugup. Fitri segera melihat mereka dan menelan ludah. Dia menutupi
wajahnya dengan topi sembari memalingkan wajah. Beruntung aku dan Fitri sedikit
membelakangi mereka. Kami komat-kamit agar mereka tidak mengenali kami.

“Coklat!” jawab Dilla. Abang penjual es krim itu langsung memegang 4 cone dan
mengisinya dengan es krim coklat.

“Ini yang dua buat neng cantik dan yang dua lagi buat mas ganteng.”

“Berapa Bang?” tanyaku dan Yusuf bersamaan.

“Satunya 5 ribu.”

Aku menyodorkan uang tanpa melihat penjual itu. Aku dan Fitri berjalan cepat
meninggalkan tempat itu.

“Eh Mbak, kembaliannya belum nih!” panggil penjual es krim itu.

Aku dan Fitri tidak mungkin berbalik. Kami benar-benar terpatung dan bingung
harus berbuat apa.
“Ini Mbak kembaliannya.”

Aku berbalik dengan tetap menundukkan wajah sehingga wajahku tertutupi topi.

“Oh, iya, makasih.” Seketika itu pula aku menerima uang kembaliannya dan
cepat-cepat berbalik badan. Namun, orang yang memberiku uang tadi memegangi
tanganku dengan erat sehingga aku tidak bisa berbalik badan dengan cepat.

“Apa kamu mengikuti kami?” tanya orang yang memberiku uang tadi yang
ternyata dia adalah Yusuf.

“Salma, Fitri, apa yang membuat kalian mengikuti kami?” tanya Dilla.

Fitri masih belum membalik badannya dan aku masih menunduk. Aku benar-
benar malu. Sejak awal aku sudah sangat tidak setuju dengan ide ini. Sekarang kami
ketahuan dan tertangkap basah. Kami sudah tidak bisa berkutik lagi. Sungguh
memalukan.

“Lepaskan!” kataku pada Yusuf yang masih memegang tanganku dengan erat.

“Kalian sudah tertangkap basah, apa kalian tidak mau menunjukkan wajah
kalian?” tanya Yusuf yang tidak mau melepaskan tangannya.

“Yusuf! Santai saja kali, karena kita semua sudah berada di sini, ayo kita
bersenang-senang bersama!” ajak Dilla.

Aku gemetar, ini pertamakalinya tanganku dipegang oleh anak laki-laki dan yang
memegangnya sekarang ini adalah Yusuf. Namun sayang, pegangan ini bukanlah
pegangan yang kuharapkan. Sepertinya dia juga merasakan gemetar tanganku. Aku
mencoba menahan rasa gugupku. Aku akan sangat malu jika dia tahu bahwa sekarang ini
aku sedang sangat gugup. Aku menghela nafas. Yusuf membuka topiku. Aku semakin
menundukkan kepala.

“Wajah jelek ini, siapa yang tidak mengenalinya?” ucap Yusuf. Aku merasa
sedikit tersinggung dan segera mengangkat wajahku menimpali perkataannya tadi.

“Apa kau memperhatikanku dari tadi? Atau bahkan dari dulu sehingga sangat
mudah kamu mengenaliku?” jawabku tersenyum puas padanya karena aku sudah
menjawab dengan kata-kata yang mematikan.
“Kamu suka aku, iya kan? Karena itu kamu cemburu melihatku dengan Dilla?”
Jeder! Jantungku serasa berhenti berdetak saat dia mengatakan hal itu. Bagaimana dia
mengetahui ini? Mulutku terkunci untuk membalas kata-katanya.

“Benar kata Dilla, kita kan sudah bersama-sama di sini. Ayo kita bersenang-
senang!” ucap Fitri bersemangat mendekati kami dengan wajah berseri-seri. Dilla
terenyum kepadaku dan Yusuf.

“Aaaaa!” teriakku kesakitan, Yusuf mengencangkan pegangan tangannya seakan


memberi kode agar aku membalas kata-katanya tadi. Aku segera mencoba melepaskan
pegangannya yang kuat.

Yusuf benar-benar selalu membuatku dalam masalah. Dia menatap mataku


dengan sangat tajam. Jelas saja itu sangat menggangguku. Segera aku memalingkan
wajah.

“Kamu suka sama aku, iya kan?” tanya Yusuf untuk yang kedua kalinya. Aku
sangat gugup ketika dia bertanya seperti itu lagi kepadaku. Sekujur tubuhku melemas
seketika.

“Tidak!” jawabku tegas dengan masih memalingkan wajahku. Akhirnya Yusuf


melepaskan tangannya dan menggandeng Dilla. Apa-apaan dia itu, seenaknya saja
pegang sana pegang sini. Aku jadi merasa dipermainkan olehnya.

Pada malam itu kami bersenang-senang mencoba hampir semua permainan di


pasar malam. Aku pulang diselimuti rasa senang, cemas, marah, dan kosong. Senang
karena aku dapat bersenang-senang bersama Yusuf malam ini. Cemas karena aku
khawatir Yusuf benar-benar tahu perasaanku. Marah karena Yusuf tak henti-henti
menjahiliku. Kosong karena aku tentu saja dari tadi memperhatikan gerak-gerik Yusuf
dan Dilla. Aku tidak bisa mengingkari ini lagi. Aku cemburu.
V. FRIENDS, LOVE, AND VOLLEYBALL

Setiap hari aku menantikan saat-saat berlatih voli. Meski aku masuk hanya untuk
uang ganti rugi tapi aku merasa klub ini sudah menjadi bagian dari hidupku. Bukan, bukan
karena aku ada perasaan dengan Yusuf yang kemudian membuatku bersemangat latihan
voli. Tapi karena teman-teman. Teman-teman yang aneh, unik, dan mengesalkan yang
jarang aku temui hingga ke sudut sekolah ini. Teman-teman yang membuatku bisa
bersosialosasi lagi dengan orang lain.

Hari ketujuh aku berlatih voli. Seharusnya aku senang karena sebentar lagi aku
terbebas dari taruhanku dengan Yusuf. Aku akan mendapatkan uang ganti rugiku. Aku
juga sudah bosan dengan bentakkan-bentakkan dari Pak Soni serta kejahilan Yusuf dan
teman-temannya. Aku bosan dengan semua itu. Ditambah lagi di sini aku selalu melihat
Dilla dan Yusuf bersama. Apa lagi hal yang membuatku harus bertahan di sini coba?

“Teman, di sini kamu punya teman.” Fitri mengagetkan lamunanku.

“Eh, kamu bisa menerawang pikiran ya? Bisa-bisanya tiba-tiba bicara seperti itu.”

“Apa jawabanku ini berhubungan dengan apa yang sedang ada dipikiranmu? Wah,
hebat. Padahal tadi aku hanya menebak-nebak lho.”

“GR”

“Teman-teman, bagaimana kalau kita pergi makan di warung angkringan depan


sekolah? Sudah lama aku tidak pergi ke sana.” Ajak Putri bersemangat.

“Ide bagus. Harganya pas banget buat kantongku! Hehe” jawabku sambil tertawa.

“Ayo!” semuanya turut bersemangat menyutujui ide cemerlang Putri.

Seperti yang biasa anak perempuan lakukan. Acara makan di warung angkring itu
tentunya tidak sepi dengan suara-suara kami yang sedang menggosip seseorang diliputi
rasa dan nada suara penasaran serta cekikikan.

“Kalian tahu, dengan hadirnya Salma dan Fitri, klub voli kita semakin ramai dan
aku yakin di Pekan Olahraga Akhir Tahun nanti kita bisa meraih kejuaraan!” ucap Putri
bersemangat.

“Dari tadi ucapanmu seperti orang-orang yang sedang berdemo, bersemangat


sekali. Ada apa sih?” tanya Dilla.
“Aku hanya gembira saja karena Salma dan Fitri menjadi bagian dari kita sejak
hari itu dan aku ingin hingga selamanya, mereka orangnya asik!” jawab Putri.

“Setuju! Ternyata Salma orangnya humoris. Tapi mengapa ya sikapmu selalu


dingin dengan anak laki-laki?” tanya Dilla.

“Aaa..”

“Kalau aku menurut kalian, aku orangnya seperti apa?” tanya Fitri memutus
suaraku.

“Ah! Kamu itu anaknya kepo abis!” celetuk Putri.

“Memangnya itu suatu kelebihan?” tanya Fitri.

“Jangan begitu, Fitri itu sepenglihatanku dia orang yang sangat berpengalaman
dalam berbagai hal.” Ucap Dilla

“Termasuk mengelabuhi guru ketika menyontek. Hahaha” tambahku sambil


tertawa.

“Heh! Tahu aja, ahahaha.” Fitri mengonfirmasi kebenarannya. Hal itu membuat
tawa kami pecah seketika.

“Hahahaha...”

“Kita akan selalu bersama kan?” tanya Dilla merangkul kami berdelapan.

“Tentu saja.” jawab Putri yang diikuti oleh semuanya kecuali aku. Semua
menatapku. Mereka menunggu jawabanku.

“Bagaimana denganmu?” tanya Putri.

“Teman-teman, sepertinya aku tidak bisa. Pertemuan berikutnya adalah hari


terakhir aku akan berlatih bersama kalian lagi.” Jelasku.

“Mengapa begitu? Bukankah taruhan itu tidak menyuruhmu harus meninggalkan


klub voli ini setelah satu bulan?” jelas Fitri.

“Aku, aku tahu tapi...”

“Ayolah Sal, tetaplah bersama kami, bergabunglah bersama kami.” ajak Dilla.

“Iya Sal, klub ini akan terasa sepi tanpa humormu lagi.”ucap Putri menambahkan.
“Bukankah kita masih bisa berteman di luar klub voli?” tanyaku mencairkan
suasana yang mulai mengharu biru.

“Tapi tak akan sedekat ini lagi. Aku takut kamu benar-benar hilang dari klub voli,
dari kami.” Mata Dilla mulai berkaca-kaca. Semua wajah terlihat lesu tak bersemangat.

“Yusuf tak akan setuju. Memangnya aku bisa apa? Aku tak bisa apa-apa dalam
permainan voli.”

“Yusuf juga bukan siapa-siapa. Dia tak berhak menentukan siapa yang pantas dan
tidak pantas untuk masuk klub.” Sahut Putri.

“Jika itu terjadi, kami berjanji kami akan berpihak padamu, kami akan
membelamu hingga kamu tetap menjadi bagian dari klub voli ini.” Tambah Dilla.

Semuanya tersenyum kepadaku dan menanti-nanti kata-kata yang akan aku


ucapkan. Aku menghela nafas dan ikut tersenyum.

“Bagaimana Sal?” tanya Fitri.

“Kalian harus...menepati janji kalian.”

Semuanya tersenyum dengan wajah yang berkaca-kaca. Mereka memelukku


dengan erat. Teman-teman, aku sayang kalian, bagaimana mungkin aku akan
meninggalkan kalian. Karena kalianlah aku menemukan aku yang sebenarnya. Karena
kalianlah aku merasa ada. Kalian teman terbaikku.

***

“Akhirnya aku akan terbebas dari anak-anak amatiran!” ucap Bagus sebelum
latihan voli dimulai.

“Oh iya... ini hari terakhir Salma dan Fitri berada di sini.” Tambah Yusuf.

“Kata siapa? Kami akan terus ikut voli kok.” Celetuk Fitri.

“Yang benar saja, kalau kamu mau ikut voli terus sih aku setuju, tapi kalau dia,
aku tak akan setuju.” Jelas Bagus memandang tajam ke arahku.

“Memangnya apa hakmu berani memilih-milih siapa yang pantas dan tidak pantas
masuk ke klub voli ini.” Jawabku.
“Permaianmu sangat jelek, bagaimana mungkin kamu bertahan di klub ini. Kau
akan jadi pengacau.” Ejek Bagus, sebenarnya aku sedikit sakit hati dengan kata-katanya
itu.

“Apa salahnya sih mereka bergabung dengan kita, lagi pula kita semua di sini juga
berawal dari belajar kan? Apa ada sih pemain voli yang langsung bisa bermain voli?
Mereka juga sebelumnya belajar, mereka juga pernah mengalami hari pertama memegang
bola voli.” Balas Putri.

“Oke, aku punya ide. Bagaimana kalau kita bertanding voli. Tim voli putri versus
tim voli putra. Siapa yang jadi pemenang berhak menentukan Salma dan Fitri boleh
bergabung di klub kita atau tidak.” Saran Yusuf.

“Aku setuju!” sahut Bagus dengan semangat.

“Siapa takut!” sahut Putri.

Pertandingan dimulai. Bagaimanapun, permainan anak laki-laki tentunya lebih


baik daripada anak perempuan. Kami benar-benar diserbu hujan smash berkali-kali.
Mereka tidak menoleransinya sama sekali, menoleransi kalau yang mereka lawan adalah
anak perempuan. Jelas saja tim voli putri kalah mutlak.

“Lihat, kalian terlalu sombong tapi pada akhirnya kalah. Lebih baik kita, sombong
tapi menang!” ledek Bagus.

“Yang aku tahu perilaku sombong itu tidak baik, kenapa harus dibanggakan?”
jawabku.

“Bagaimana keputusan kalian?” tanya Dilla.

Anak laki-laki membentuk lingkaran kecil dan saling berdiskusi. Kami mencoba
menguping-nguping pembicaraan mereka tapi tidak terdengar jelas.

“Oke, keputusan kami sudah bulat kalau ...” ucap Yusuf menghentikan kalimat
berikutnya.

Aku, Fitri, Dilla, dan teman-teman tim voli putri lainnya merasa sangat tegang.
Kami menatap Yusuf dengan wajah penuh pengharapan.

“Kalau keputusannya kami serahkan pada Pak Soni.”


Pak Soni yang sedari tadi berdiri memperhatikan di tepi lapangan tersenyum
ketika kami bersama-sama mendekatinya seperti kumpulan massa yang akan melakukan
tawuran.

“Eh, eh, eh, ada apa ini?” tanya Pak Soni.

“Pak, aku dan Fitri boleh bergabung dengan klub voli ini kan?” tanyaku langsung
tanpa basa-basi.

“Kalian ini bicara apa? Bukankah kalian memang sudah bergabung dengan klub
voli ini sejak satu bulan yang lalu?” jawab Pak Soni bingung.

“Berarti kami boleh selamanya bergabung di tim voli ini kan Pak?” tanya Fitri.

“Mengapa kalian bertanya seperti itu lagi? Sebenarnya ada apa ini?” Pak Soni
yang bingung membuat kami tertawa, sebenarnya menjahili orang tua seperti itu kurang
sopan.

“Hore! Kami boleh bergabung! Hore!” teriak Fitri senang. Aku ikut tersenyum
melihat tingkahnya.

“Tapi Pak, bukankah Pak Soni sudah melihat sebelumnya kalau permainan Salma
sangat jelek.” Ucap Yusuf.

“Iya Pak! Betul!” tambah Bagus.

“Saya di sini tidak membutuhkan anak-anak yang pandai tetapi membutuhkan


anak-anak yang konsisten Yus.” Jelas Pak Soni.

“Terimakasih ya Pak! Terimakasih!” ucapku sembari berjabat tangan dengan Pak


Soni.

Semua anak perempuan bersorak senang dan memancarkan wajah paling bahagia.
Aku sangat senang, senang sekali hingga ingin meneteskan air mata.

“Tapi ingat, kamu harus latihan lebih keras dari siapapun Sal!” perintah Yusuf
sedikit membentak. Sebenarnya itu perintah atau penyemangat? Apapun itu, kata-kata itu
membuatku lebih bahagia sore ini.
VI. LOVE : Janji Itu Seharusnya Tak Perlu Ditepati

Hari ini sangat melelahkan. Pikiranku terbagi-bagi sejak menjadi ketua pensi
kelas. Rapat dan latihan hingga malam cukup menguras tenagaku. Beruntung hari ini
tidak sampai malam karena besok ada ulangan harian Kimia. Pukul 16.00 tepat kami
sudah bersiap-siap pulang.

Fitri sedang menyelesaikan tugas kelompok di rumah temannya dan aku tentu saja
tidak ingin ikut dengannya. Aku memutuskan untuk pulang menunggu jemputan walau
selama apa pun. Aku meminjam ponsel teman sekelasku untuk menghubungi Ibu.

“Ibu sedang sedikit sibuk Nak, sepertinya Ibu akan pulang jam 5. Kalau kamu
nggak sabar kamu bisa naik angkot atau becak.” Begitulah bunyi SMS dari Ibu.

Sudahlah, ini sudah nasibku menjadi orang yang tidak punya ponsel dan tidak
punya kendaraan untuk pulang. Seharusnya Ibu juga tahu kalau aku tidak bisa terus
menerus bergantung pada Fitri. Tapi tidak mungkin juga aku dibelikan sepeda motor.
Kalau sepeda mungkin bisa tapi aku malas latihan naik sepeda. Aku sudah besar dan itu
memalukan.

Ketika keluar dari gerbang sekolah, aku terkejut melihat Yusuf membawa sepeda
di samping pagar sekolah.

“Jadi tidak?” tanya dia padaku.

“Jadi apanya?”

“Kalau tidak, aku akan pulang.”

“Memangnya kita perrnah punya janji....? Oh, ganti rugi! Ternyata kau menepati
janjimu, mana uangnya?”

“Barang harus diganti dengan barang, aku tidak suka dengan caramu meminta
uang seperti itu. Terlihat sekali kalau kau matre.”

Aku menggigit bibir dan menahan marah.

“Dasar orang aneh! Sukanya membuat marah orang lain. Lalu, mana ponselnya?”

“Belum aku beli, karena itu cepat naik!”

“Kita mau membeli ponsel?”


“Cepat naik atau aku tinggal.”

Aku tersenyum senang dan cepat-cepat duduk di belakang sepeda Yusuf. Ini
pertama kalinya aku bisa lebih dekat dengan Yusuf. Pertama kalinya aku berboncengan
dengan Yusuf. Pertama kalinya aku diajak pergi olehnya. Pertama kalinya dan pertama
kalinya. Aku senyum-senyum sendiri hingga tak memperhatikan keadaan di sekitar.

“Aduh!” tiba-tiba sepeda Yusuf melewati polisi tidur. Dia seolah sengaja tidak
mengerem sepeda untuk membuyarkan lamunanku.

“Hei! Kamu ingin aku terjatuh ya?”

“Makanya jangan senyum-senyum sendiri seperti orang gila.”

Apa? Dia tahu kalau dari tadi aku senyum-senyum sendiri. Aduh bodohnya aku!
Aku malu aku malu! Sungguh, ingin sekali aku pergi dari sini. Wajahku memerah dan
aku sangat malu.

“Aduh!” tiba-tiba ada polisi tidur lagi.

“Apa tidak bisa kamu mengerem sepedamu dulu sebelum melewati polisi tidur?”
tanyaku.

“Aku tidak mau kau memegangku ketika aku mengerem sepedanya.”

“Aku juga tidak akan memegangmu!”

“Ah...aduh! Sebenarnya ada berapa banyak polisi tidur di jalan ini sih? Tidak
bisakah kita lewat jalan yang lain?”

“Hahaha...” Yusuf menertawaiku seperti puas menjahiliku.

“Sengaja ya?”

“Konyol sekali, ahahahaha.”

“Senang sekali kau tertawa di atas penderitaan orang lain? Benar-benar tidak
pernah berubah!”

Yusuf diam tak menjawab kata-kataku. Lima menit kemudian kami sampai di
sebuah toko ponsel dan membeli ponsel di sana. Tidak begitu bagus sih tapi cukup mirip
dengan ponselku yang sebelumnya.
“Ini tempat yang dekat dari sekolah, lebih baik aku berjalan kaki daripada naik
sepedamu lagi.” Ucapku pada Yusuf sebelum naik sepeda.

Akhirnya aku berjalan kaki. Yusuf tidak juga menaiki sepeda. Dia ikut berjalan
kaki di sebelahku.

“Maafkan aku ya Sal. Karena aku sudah mempermainkanmu waktu itu, waktu
minggu pagi.” Ucap Yusuf mencoba membuka pembicaraan dengan kata-kata yang
sedikit mengagetkanku.

“Sudah aku lupakan kok. Tapi karena kau membicarakannya lagi, aku jadi
mengingatnya lagi dan ...”

“Aku memang keterlaluan saat itu. Aku tak memaksamu memberi maaf.”
Pembicaraan kembali terhenti. Kami saling tutup mulut dan berjalan hingga beberapa
meter dari toko ponsel.

“Terimakasih ya ...” tiba-tiba kata-kata itu terucap dari mulutku. Jelas saja apa
yang aku katakan tadi tak mungkin mendapat jawaban. Kami masih tidak saling
mengeluarkan suara hingga jalan menuju sekolah hampir habis.

“Yusuf, apa kamu pacaran dengan Dilla?” inilah pertanyaanku yang dari kemarin
selalu mengganjal dan ingin aku pertanyakan padanya.

“Kami...” tiba-tiba kata-kata Yusuf terpotong karena ponselnya berbunyi.

Ternyata Dilla yang menelepon Yusuf. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan
tapi hal ini membuat hatiku ngilu. Sudah susah payah aku memberanikan diri bertanya
seperti itu tapi tiba-tiba saja Dilla menelepon. Sepertinya mereka sedang ada sedikit
masalah. Wajah Yusuf berubah menjadi tegang. Terlihat sekali bahwa dia sedang
mencemaskan Dilla.

“Iya Dill, aku ke situ sekarang.”

Yusuf menaiki sepedanya dan pergi begitu saja meningglkan aku. Dia tidak
berkata apapun padaku. Dia tidak menghiraukan aku. Aku berada di sampingnya dan aku
hanya seperti manusia transparan bagi Yusuf. Dia tidak menolehku atau setidaknya
berkata sesuatu sebelum pergi.
Kakiku tiba-tiba lemas. Dadaku mulai terasa sesak. Aku mencoba menghentikan
tanganku yang bergetar dengan mengepalkannya. Aku memandang langit. Awan kelabu
berarak menutupi langit biru.

Kuhela napas dengan sangat berat. Tuhan... apakah cinta harus sesakit ini? Janji
itu seharusnya tak perlu ditepati agar hatiku tak sesesak ini.

Aku duduk dengan pandangan kosong. Miris sekali kejadian ini. Lebih baik tadi
kami tidak perlu bertemu dan berboncengan jika akhirnya Yusuf pergi tanpa melihatku
apa lagi menjawab pertanyaanku sebelumnya. Selain itu, dia pergi untuk menemui Dilla.

Yusuf pergi dengan cepat bagaikan mimpi. Iya, ini seharusnya hanya terjadi dalam
mimpiku saja agar hatiku tak sesakit ini.

Mataku sudah tak bisa membendung airmata yang dari tadi kutahan. Aku benci
hari ini! Mengapa aku bisa suka sama orang yang sebelumnya aku benci?! Mengapa aku
bisa suka dia padahal jelas-jelas dia tidak pernah menganggapku ada dan selalu
mempermainkan aku! Jelas-jelas dia dekat atau bahkan telah pacaran dengan Dilla. Jelas-
jelas dia sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun padaku. Mengapa aku bisa suka
dan mengharapkannya?

Aku berjalan dengan masih melamun sepanjang perjalananku menuju sekolah.


Benteng-benteng yang kubangun dalam hati berkat kesibukanku selama ini seakan runtuh
seketika. Hancur menjadi puing-puing. Sama sekali tak berarti. Tak berguna.

Aku berjalan gontai menuju sekolah. Air mata ya tadi membanjiri pipi sudah
kuusap kering tapi pikiranku masih melayang-layang pada kejadian tadi. Aku tak
menyadari kemana tujuanku berjalan saat ini. Hingga kulihat di sekelilingku adalah
lapangan voli yang biasa digunakan aku dan teman-temanku berlatih voli.

Aku melihat sekelilingku yang sepi yang hanya tercipta gambar-gambar dari
imajinasiku yang semakin kacau. Gambar-gambar ketika aku dan teman-teman klub voli
berlatih. Gambar ketika pertama kali aku berada di sini, bertengakar dengan Yusuf, selalu
dihukum oleh Pak Soni. Gambar ketika Dilla dengan Yusuf bersama. Ketika pertama
kalinya aku merasakan cemburu pada mereka. Saat itu aku masih belum mengetahui
perasaanku.
Perasaan yang rumit ini lagi-lagi membuatku sesak. Udara yang kuhirup begitu
tersendat. Aku harus tegar! Aku harus berusaha untuk membiasakan diri dengan semua
ini. Aku tidak boleh terlihat sangat malang di hadapannya. Ya! Tidak akan! Sebelumnya
aku adalah anak perempuan yang jarang sekali menangis. Aku perempuan yang kuat.

Sepatuku yang membentur-bentur lantai ini sangat terdengar jelas hingga sudut-
sudut lapangan voli yang sepi. Aku berjalan ke sudut lapangan. Kukeluarkan semua bola
voli dari dalam jaring. Aku tidak peduli dengan seragam OSIS yang masih kukenakan.
Aku meletakkan tas dan mencoba servis dari pinggir lapangan dengan segenap tenaga
yang masih tersisa. Aku harus melakukan servis ini dengan benar. Aku harus membuat
bola ini melayang melewati net minimal 50 kali. Aku harus berusaha, berusaha untuk
melakuakan semuanya dengan benar. Aku sangat payah dalam olahraga ini karena itu
Yusuf selalu merendahkan dan mengejekku. Bagaimana mungkin aku mengharapkan
Yusuf yang mungkin dipikirannya hanyalah ada Dilla dan voli. Dilla yang sangat baik
pada semua orang dan voli yang sangat payah aku mainkan. Dua hal yang berbeda sekali
denganku. Apa harus aku pandai bermain voli agar Yusuf tertarik padaku?

Aku sangat lelah, servisku sering sekali membuat bola itu terhenti sebelum
melewati net. Dari 3 kali servis hanya 1 yang berhasil melewati net. Tapi ini sudah
lumayan bagiku karena aku sudah mampu melakukannya 50 kali. Kepalaku pusing dan
mataku berkunang-kunang.

Aku menghelas napas dan melenturkan badan. Kini aku ingin melakukan servis
atas. Satu kali saja, aku hanya mengharapkan satu kali saja servis atasku ini bisa melewati
net. Aku marah pada diriku sendiri. Aku marah karena apa yang aku lakukan dalam
permainan voli ini selalu payah. Aku menarik ancang-acang untuk melakukan servis atas.
Tetapi sepertinya bahuku tak mau diajak kompromi. Bahuku sakit. Aku menghentikan
gerakanku untuk melakukan servis atas.

Beberapa menit lagi ibuku akan menjemputku. Aku harus bergegas merapikan
semua bola-bola ini. Mungkin saat ini wajahku sudah sangat jelek. Wajahku sudah seperti
orang sakit. Tapi aku tidak peduli dengan semuanya, karena hatikulah yang lebih sakit.

Tinggal melangkahkan kaki beberapa meter aku akan sampai ke gerbang sekolah.
Tapi kaki ini sungguh berat. Kepalaku semakin pusing dan tiba-tiba sekelilingku menjadi
gelap.
“Salma, salma..” suara Yusuf memanggil-manggil namaku terus terngiang-ngiang
di telinga.

Aku merasa ada seseorang memegang kepalaku dan mengoyak tubuhku. Aku
membuka mata dan yang kulihat..., Yusuf?! Aku terkejut. Seketika kujauhkan tubuhku
darinya. Mengapa harus dia yang kulihat saat aku membuka mata?

“Salma, kenapa kamu tidak pulang dan malah berada di sini hingga malam?”

Aku tak menjawab pertanyannya. Aku memalingkan wajah dan berusaha berdiri.
Sepertinya rasa sakit kepalaku belum juga hilang. Tubuhku terasa semakin lemas saja.

Saat mencoba melangkahkan kaki “Ah!” Tiba-tiba kaki kananku terasa sakit untuk
berjalan. Aku terjatuh. Yusuf mengahampiriku. Perlahan dia membuka sepatu yang
kukenakan.

“Sebenarnya apa yang ada dipikiranmu itu? Kau menyiksa dirimu sendiri dengan
berlatih voli tanpa pemanasan, beruntung hanya cidera biasa.”

Aku membisu dan kembali memalingkan wajah. Aku sedang tidak ingin berbicara
dengannya. Tenagaku sudah habis.

“Ah! Sakit!” Jeritku. Dengan spontan kusingkirkan tangan Yusuf yang sedang
memegangi kakiku. Yusuf berbalik memegang tanganku dilanjutkan memegang dahiku.

“Badanmu panas sekali.”

Aku melihatnya sebentar lalu memandangi kakiku. Saat kugerak-gerakan kaki


ternyata sudah tidak terasa sakit.

“Kau pantas jadi tukang pijat.” Kataku sembari tersenyum.

“Merepotkan sekali sih! Ayo ikut denganku, kuantar pulang.”

“Tidak, aku tidak mau diantar oleh orang yang selalu direpotkan olehku!”

“Kau tidak akan dijemput oleh siapa pun, jadi jangan keras kepala! Ayo cepat!”
Yusuf berdiri. Dia berbalik dan melangkah pergi.

“Ayo cepat ini, ayo cepat itu. Aku ini bukan boneka!” gerutuku.

Yusuf berhenti berjalan setelah mengetahui bahwa aku tak mengikutinya.

“Sedang apa di situ?”


Yusuf menghampiri aku.

“Mengapa kau selalu melakukan semuanya sesuka hatimu? Apakah dengan


mempermainkan aku seperti ini memangnya sangat lucu dan membuatmu bahagia?” tiba-
tiba aku menitihkan air mata yang cepat-cepat kuhapus.

“Jangan bicara macam-macam, kenapa setiap kali kita berbicara, selalu saja
bertengkar seperti ini?”

Sebenarnya, aku juga tidak ingin seperti ini Yusuf. Tapi ucapan pedas dan
jutekmu itu membuat aku tidak sabar.

“Kau benar. Kau selalu benar dan aku selalu salah. Puas?” ucapku kesal.

“Ayo pulang sebelum demammu semakin tinggi.”

“Apa pedulimu padaku? Aku sudah punya ponsel dan aku bisa menelepon ibuku
atau menelpon Fitri untuk menjemputku.”

“Memangnya kau pikir sekarang jam berapa?”

Aku melihat jam tanganku.

“Apa?! Jam 9?! Besok aku ada ulangan Kimia. Aku harus cepat pulang!”

“Makanya ayo kuantar pulang!”

Yusuf menarik tanganku menuju mobilnya. Aku baru tahu dia bisa naik mobil.

“Kau pasti belum punya SIM. Kalau ketilang bagaimana? Mending aku pesan
gojek!”

Aku tak kunjung masuk ke dalam mobil sedangkan dia sudah bersiap masuk. Dia
kembali berjalan ke arahku dan memaksaku untuk masuk.

“Badanmu semakin panas. Sudah deh jangan ngeyel!”

Aku pun menurutinya dengan setengah hati.

Mobil belum juga berjalan. Aku terus mengeluarkan kata-kata bernada tinggi
untuk membuat dia marah agar merasa kesal. Tapi anehnya dia tak merespon dan
menjawab pertanyaanku sama sekali.
Saat sedang marah-marah pada Yusuf, tiba-tiba dia melihat ke arahku dengan
tajam. Yes! Sepertinya dia sudah mulai marah padaku. Aku sedikit tersenyum senang
karena sepertinya usahaku untuk membuatnya marah telah berhasil.

Yusuf tak juga mengatakan apa pun dan mendekatkan wajahnya padaku. Aku jadi
gelagapan. Kupalingkan wajah, melihat ke arah depan. Aku gugup dan mematung. Dia
memegang sabuk pengamanku dan mencoba memasangkannya. Tentu aku tak dapat
menerimanya begitu saja.

“Hei! Aku bisa melakukannya sendiri, jangan mencari-cari kesempatan!”

Reflek kupukul tangan Yusuf.

Aku memasang sabuk pengamanku sendiri tapi ternyata sabuk pengaman ini
sedang berpihak kepada Yusuf. Mungkin juga karena tanganku gemetar sehingga aku tak
dapat memasangkan sabuk pengamanku sendiri. Kejadian yang seharusnya tidak terjadi
jika aku bersikap biasa saja padanya.

Akhirnya, dia membantu memasangkan sabuk pengamanku dan memegang


tanganku. Aku meleleh seketika. Kucoba menenangkan tanganku yang gemetar semakin
tak karuan agar tidak diketahui oleh Yusuf.

Aku terkejut bukan main dan memandang Yusuf yang ternyata sedang menatap
tajam padaku. Lebih baik aku mati saja daripada mengalami kejadian yang seperti ini.
Aku menatap Yusuf dengan perasaan yang rumit, tak mampu aku definisikan. Perasaanku
campur aduk, aku benci dia tapi... aku juga masih suka padanya.

Hal ini seharusnya tidak terjadi padaku karena aku takut kenangan ini akan mejadi
kenangan yang menyakitkan. Aku tak ingin terluka lagi oleh sikapnya. Dia masih
memegang tanganku dan wajahnya semakin didekatkan.

“Jauhkan wajahmu!” perintahku sembari memalingkan wajah.

“Dari tadi kau selalu bertingkah aneh, apa kau benar-benar menyukaiku dan
cemburu ketika aku meninggalkanmu untuk menghampiri Dilla?”

“Apa gunanya pertanyaan itu, siapa sih orang yang tidak marah ketika dianggap
sebagai manusia transparan?”

“Oh, jadi kamu marah sama aku karena itu?”


Yusuf menjauhkan wajahnya dan tak lagi memegangi tanganku.

“...Oke, oke, aku minta maaf. Perilakumu itu kekanak-kanakan sekali.”

Dia menjalankan mobilnya menjauhi sekolah menuju ke jalan raya. Jalan yang
sering aku lewati.

“Berarti benar, kau cemburu padaku kan? Kau menyukaiku kan?” tanya Yusuf.

Iya... aku menyukaimu. Aku hanya mampu mengatakannya dalam hati.


VII. FRIENDS : Di Balik Semua

Aku terbangun oleh suara dering ponsel yang tergeletak di atas meja. Sepertinya
aku tidak memasang alarm. Saat aku lihat, ternyata ada panggilan masuk oleh nomor
asing.

“Halo?”
“Iya, halo. Nanti kamu harus membawa pakaian olahragamu. Ada latihan voli
tambahan untuk persiapan POAT.” Jelas orang yang menelponku.

“Siapa?”

“Dibawa saja, jangan sampai lupa!”

“Yusuf? Tapi untuk apa?”

Tuut tuut tuut. Tiba-tiba telpon ditutup olehnya. Apa-apaan ini, mengapa
pertanyanku diabaikan? Kalau seperti ini caranya aku malah jadi malas menuruti
permintaan orang itu. Tapi jika memang benar untuk latihan persiapan Pekan Olahraga
Akhir Tahun (POAT), perkataannnya harus aku tanggapi. Apa salahnya aku membawa
baju olahraga, toh nanti kalau memang tidak latihan juga tidak apa-apa.

***

Sepulang sekolah aku ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang


kupinjam beberapa hari yang lalu. Aku tertarik untuk melihat deretan novel-novel yang
ditata rapi dalam rak. Mungkin saja ada yang bagus.

Saat sedang mengamati judul demi judul novel-novel tersebut, tiba-tiba ponsel
yang aku masukkan dalam saku bergetar. Aku terkejut. Saat kulihat ternyata ada SMS
dari Fitri.

“Salma, maafkan aku. Aku buru-buru pulang. Aku baru saja mendengar Ibuku
kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit. Maafkan aku tidak menunggumu, tadi aku sudah
mencarimu tetapi tidak ketemu.”

Hah? Ibunya Fitri kecelakaan? Aku turut berduka cita dan langsung membalas
SMS-nya. Sebisa mungkin membuatnya lebih tenang.

Aku melihat ada sebuah novel dengan warna sampul yang menarik. Aku
mengeluarkan novel itu dari dalam rak buku. Tiba-tiba ponselku berbunyi dan suaranya
menggema seluas perpustakaan yang sepi. Aku terkejut, aku lupa belum mengubah profil
ponselku menjadi diam.

“Mbak, tolong jangan berisik. Ini perpustakaan.” Tegur seorang pustakawati yang
sedang berjaga.

Aku mengangguk dan menahan rasa malu. Dengan sigap sesegera mungkin pergi
keluar perpustakaan dan mengangkat telepon.

“Halo?”

“Kamu ada dimana? Latihan voli akan segera dimulai, kok belum ke lapangan?”
tanya orang yang tadi pagi menyuruhku memabawa baju olahraga. Dengan jelas segera
kukenali suaranya.

“Hei Yusuf! Bel pulang sekolah juga baru saja berbunyi, kenapa latihannya
secepat ini? Bukankah latihan voli biasanya dilakukan jam 3?”

“Ini bukan latihan biasa, latihan ini untuk persiapan POAT.”

“Iya, aku akan segera ke lapangan!” langsung kututup teleponnya dan berlari
menuju kelas untuk mengambil tas.

Kugendong tas ranselku dan berlari menuju lapangan. Ketika sedang berlari, aku
berpapasan dengan Putri. Lho, kok Putri tidak ke lapangan voli?

“Hei Putri, kok kamu belum ke lapangan?”

“Memangnya ada apa di lapangan?”

“Bukankah sekarang kita seharusnya latihan voli?”

“Latihan voli kan setiap hari Kamis dan kadang-kadang Minggu. Sekarang juga
baru hari Selasa.”

“Apa kamu tidak dikabari?”

“Siapa yang mengabari? Hari ini aku, Nahmi, dan Sukma bahkan mau
mengerjakan tugas dan tidak mendapat kabar apa-apa kok.”

“Oh ya?”

“Iya, eh itu Sukma. Sukma!”


“Hei, ayo kita ke kelas. Nahmi sudah menunggu!”

“Salma, aku duluan ya!” ucap Putri berjalan dan berlalu dariku untuk
menghampiri Sukma.

Aku masih bingung. Ada apa ini sebenarnya? Mengapa dia iseng menyuruhku
latihan voli? Huufft, aku menghembuskan nafas dan mencoba meredam amarah.

Dengan santai kulangkahkan kaki menuju lapangan. Aku, untuk kesekian kalinya,
dipermainkan oleh Yusuf.

Aku sudah berada di tengah-tengah lapangan. Lapangan yang sering digunakan


untuk berlatih voli. Lapangan ini cukup besar. Dua lapangan voli yang saling
berdampingan berada di bawah satu atap yang sama. Atap yang yang menjulang tinggi,
setinggi atap bangunan kelas di lantai dua. Lapangan voli ini sebenarnya merupakan
sporthall yang multifungsi. Bisa dipakai untuk bermain basket dan futsall. Namun, lebih
sering untuk bermain voli karena sebenarnya sudah ada lapangan basket dan footsal
sendiri di belakang sekolah. Satu hal yang membuatku senang berada di sporthall ini
adalah karena memiliki atap. Kami selalu tidak terkena panas matahari ketika berlatih
voli. Namun, hal itu tidak membuat Pak Soni kehilangan cara untuk melatih fisik di
bawah sinar matahari. Pemanasan sebelum latihan voli selalu saja dilakukan di luar
sporthall.

“Kau datang terlambat!” suara itu mengejutkanku dari arah belakang. Kubalikkan
badan dan terlihat seorang laki-laki yang lebih tinggi 15 cm daripada aku. Orang itu
berpakaian olahraga dan membawa bola voli di tangan kanannya. Kepalaku tak berani
mendongak untuk melihat mukanya. Aku sudah tahu bahwa orang itu adalah Yusuf.

“Sudah puas membohongiku?”

“Aku tidak berbohong padamu. Memangnya berlatih voli harus selalu bersama-
sama?”

“Aku sudah badmood, aku tak ingin latihan voli.”

“Lalu untuk apa kamu ke sini?”

Aku berbalik dan berjalan meninggalkan Yusuf.


“Memangnya kau pikir permainanmu sudah baik? Kalau ingin ikut bermain dan
mendapat juara di POAT, kau harus berlatih dua kali lebih keras dibanding yang lainnya.”

Langkahku terhenti. Aku menghela napas untuk meredam rasa kesal. Sambil
berkacak pinggang, aku membalikkan badan.

“Iya, oke, kalau aku harus berlatih voli dua kali lebih keras daripada yang lain.
Aku mau, asalkan jangan sama kamu.”

“Ya sudah. Kamu jangan melihat aku sebagai Yusuf. Kalau kamu masih marah
sama aku, aku menerimanya. Tapi jangan sekali-kali kamu marah kepada voli.”

Perkataan cukup menyentak diriku. Yusuf benar, tidak seharusnya aku juga marah
kepada voli. Mengapa perkataan Yusuf selalu benar?

“Aku akan ganti baju olahraga.”

Entah mengapa aku selalu terhipnotis olehnya. Yusuf, sebenarnya aku tidak marah
padamu. Namun, aku marah pada diriku sendiri. Aku tak mampu memahamimu dengan
baik. Aku sama sekali tidak mengenal baik dirimu.

Sebelum berlatih voli, kami melakukan pemanasan bersama. Latihan voli dibuka
dengan servis. Yusuf memberi contoh gerakan servis bawah yang benar. Sepertinya,
latihan voliku selama sebulan ini tidaklah sia-sia. Dulu, servisku tidak pernah sampai
melewati net. Sekarang aku bisa melakukannya meski kadang masih keluar lapangan,
setidaknya bisa melewati net.

Aku ingat pertama kali berlatih passing bawah dengan Dilla. Saat itu aku masih
takut dengan bola. Aku trauma kepalaku terkena bola lagi sehingga selalu menghindar
dari bola-bola itu. Walau pun bola dapat kuterima dengan passing bawah pada akhirnya
akan melambung entah kemana. Setidaknya karena sering berlatih, passing bawahku
sekarang tidaklah seburuk dahulu.

Aku benar-benar tidak mengerti dengan Yusuf. Dia seperti memiliki kepribadian
ganda. Kadang baik kadang jahat. Aku tidak tahan dengan sikapnya yang gonta-ganti
seperti itu.

”Kemarin baru saja kita bertengkar. Sekarang kamu bersikap baik padaku dan
tidak membentakku sama sekali ketika aku melakukan kesalahan. Sebenarnya kamu ini
apa sih? Menggonta-ganti sikapmu secara drastis begitu, memangnya boleh?” jelasku
pada Yusuf yang sedang mengumpulkan bola.

“Sudah jangan banyak bicara, masukkan bola-bola itu ke dalam jaring.”

“Oh, sedang mencoba mengalihkan pembicaraan ya?”

“Latihan kita cukupkan sampai di sini. Bukankah kamu senang kita akan pulang?”

Aku bete! Kumasukkan bola-bola ke dalam jaring dengan muka sinis.

***

Malam ini aku bersama Ibu menjenguk Bu Budi (Ibunya Fitri) yang sedang
dirawat di rumah sakit. Aku melihat Fitri menunggu kedatangnku di luar ruangan tempat
Bu Budi dirawat.

“Fitri, apa kamu sudah makan? Aku membawa banyak makanan untukmu dan
pastinya juga untuk ibumu.” Jelasku pada Fitri dengan wajah ceria agar dia tak lagi
merasa sedih.

“Sudahlah, jangan memasang muka sok imut seperti itu. Bikin merinding tau!”
ucap Fitri sembari tersenyum.

“Ibu kamu sudah siuman kan Fit?” tanya Ibu.

“Sudah Tante, mari masuk. Beliau juga sedang menunggu kedatangan Tante dan
Salma.”

Kami bertiga memasukki ruangan tempat dirawatnya Bu Budi. Terlihat Pak Joko
(Ayahnya Fitri) duduk di samping kasur Bu Budi. Aku dan Ibu mengembangkan senyum
selebar mungkin kepada mereka.

“Oh, Bu Tuti, mari masuk Bu. Ini Ibu sudah menunggu Bu Tuti sejak Salma
memberitahu Fitri kalau dia dan Bu Tuti akan datang.” Jelas Pak Joko menyambut
kedatangan kami.

Bu Budi hanya tersenyum kepada kami. Dahinya masih berbalut perban. Aku
bersalaman dengannya. Kami semua berdoa bersama untuk kesembuhan Bu Budi.

Keluargaku dengan keluarga Fitri memang sudah sangat dekat sejak kami masih
kecil karena rumah kami berdekatan. Aku sering sekali mengunjungi rumah Fitri begitu
pun sebaliknya sehingga kedua orangtua kami sudah paham bahkan sering saling
berkunjung.

Aku dan Fitri keluar dari ruangan itu. Kami berjalan menuju taman. Mungkin
hanya taman itulah tempat yang paling netral dimana tak tercium lagi bau rumah sakit.
Jujur saja aku tidak begitu menyukai bau rumah sakit.

Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba aku melihat Yusuf sedang berjalan.

“Fit, Fitri, bukankah itu Yusuf?”

“Wah, benar! Itu Yusuf. Kenapa dia ada di rumah sakit ini?”

“Bikin penasaran aja, siapa yang sakit ya?”

“Aku juga penasaran. Ayo kita ikuti dia!” ajak Fitri bersemangat.

Tanpa meminta persetujuanku dia telah menarik tanganku dan mengajakku berlari
bersama mengejar Yusuf. Setelah hanya beberapa meter jarak kami dengan Yusuf kami
berjalan mengendap-endap agar tidak diketahui.

Yusuf berhenti di depan sebuah kamar VIP rumah sakit. Terlihat dia menghela
napas dengan berat seolah menguatkan diri untuk membuka pintu kamar tersebut. Aku
dan Fitri langsung mendekati kamar tersebut setelah Yusuf benar-benar masuk ke
dalamnya.

“Yah kalau seperti ini kita tidak bisa tahu Yusuf menjenguk siapa.” Ucapku putus
asa.

“Kita bisa mengintip dari jendela kamarnya.”

“Kau gila, itu sangat tidak sopan, kita bisa ditegur pegawai rumah sakit!”

“Sekarang masih sepi, aku yang ngintip dan kau awasi keadaan di sekitar, oke?”

“Baiklah...”

“Wah Yusuf menyalami bapak-ibu yang menunggu pasien di dalam. Mereka


tampak akrab Sal.” Lapor Fitri.

“...Bahaya! Bahaya tingkat satu! Kedua bapak-ibu itu akan keluar kamar. Cepat
kita sembunyi.” Ucap Fitri menarik tanganku dan mengajakku bersembunyi.

“Dari tadi aku ditarik-tarik, sakit tahu Fit!”


“Ssssst! Diem dulu, nanti ketahuan.”

Aku hanya memandangnya sinis dan mengusap-usap tangan yang dari tadi Fitri
tariki.

“Aman, ayo kita lanjutkan mengintipnya. Duh, siapa yaa yang ada di dalam, kok
tidak jelas sih.”

“Lihat namanya saja di papan nama pasien.” Ucapku ketus dan berjalan menuju
depan pintu kamar tersebut tempat dimana papan nama pasien tertempel.

Apa?! Fadilla Anggraeni Rahma? Itu Dilla, yang di dalam adalah Dilla?! Ya
Tuhan! Seluruh tubuhku lemas seketika setelah membacanya. Aku menutup mulutku dan
menahan kaget.

“Siapa Sal?”

Tanpa menghiraukan pertanyaan Fitri, cepat-cepat aku ikut mengintip ke dalam


kamar lewat jendela.

“Dilla...” panggilku lirih.

“Dilla? Perempuan yang terbaring itu Dilla?” Fitri sama terkejutnya denganku.

“Ssssssst!” aku langsung menutup mulutnya. Kami kembali memperhatikan ke


dalam kamar.

Terlihat tangan Dilla diinfus. Wajahnya sangat pucat. Yusuf berjalan perlahan
mendekati Dilla dan duduk di kursi dekat ranjang. Dia memegang tangan Dilla. Terlihat
butiran air mata menetes dari pipinya. Kini, aku sangat yakin bahwa Yusuf benar-benar
menyayangi Dilla. Tidak akan ada tempat sama sekali bagi diriku di hatinya. Separuh
hatiku hancur melihat mereka bersama dan separuh lagi hatiku tersayat melihat Dilla
sedang tidak sadarkan diri di atas ranjang. Dia sakit apa?

Yusuf beranjak dari duduknya dan mendekat ke wajah Dilla. Dia mengusap
rambut panjang Dilla yang terurai. Aku jarang melihat Dilla mengurai rambutnya. Dia
lebih sering menguncir rambutnya sama sepertiku.

Terlihat wajah Yusuf teramat sedih melihat keadaan Dilla. Saat ini aku mencoba
menepis rasa cemburu dari separuh hatiku. Aku sangat sedih melihat Dilla terbaring tak
berdaya untuk saat ini. Dia orang yang sangat baik. Dia orang pertama yang tersenyum
padaku saat pertama kali aku bertemu dengannya di lapangan voli.

Tiba-tiba Yusuf mendekatkan wajahnya ke wajah Dilla dan mengecup keningnya.


Deg! Seketika ada desiran aneh dalam hatiku. Jantungku berdegup tak menentu dan
tubuhku melemas.

“Apa?!” Fitri berteriak keras saat melihat kejadian itu hingga terdengar oleh
Yusuf. Cepat-cepat kami bersembunyi. Jantungku berdegup semakin kencang antara
melihat kejadian tadi dan takut Yusuf memergoki kami, semua bercampur menjadi satu.

Belum sempat sepenuhnya kami bersembunyi, suara Yusuf telah sampai pada
telinga kami.

“Sedang apa kalian di sini?” Kami membalik badan dan menunduk bersamaan
merasa bersalah.

“A-anu...Ka-kami..”

“Mengapa kau tidak memberitahu kami kalau Dilla sakit?” sambarku tidak sabar
mendengar lanjutan kata-kata Fitri yang terus terbata-bata.

“Dia tidak ingin ada yang tahu.”

“Dilla sakit apa?” tanya Fitri.

“Mari kita bicara di dalam saja.” Ajak Yusuf.

Kami berjalan memasuki kamar dan duduk di sofa yang sengaja ada untuk
menerima para penjenguk. Yusuf mulai menjelaskan semuanya dari awal.

“Dilla adalah saudara sepupuku. Putri dari saudara tua Ayah. Bisa dibilang dia
Kakak sepupuku dan usianya memang 2 bulan lebih tua daripada aku. Saat ibuku
meninggal dunia, Dilla adalah orang yang selalu berada di sampingku. Menyemangatiku.
Menjagaku dan membuat tawaku berkembang kembali. Dia bagaikan pengganti Ibu
bagiku. Aku sangat menyayanginya. Saat usia kami beranjak dewasa, aku berjanji untuk
selalu melindungi dan menjaganya. Kami memiliki mimpi yang sama untuk membuat
klub voli menjadi juara umum saat POAT ini. Hampir setiap malam kami berlatih voli
bersama. Aku yang selalu mengajak dia. Aku lupa bahwa fisik seorang perempuan tidak
sekuat laki-laki. Dia berlatih hingga dirinya jatuh sakit. Sakit tifus ....Ini semua karena
aku. Dia sakit karena aku.”

“Tidak Yusuf. Dilla memang seorang pekerja keras. Dia pun orang yang sangat
peduli dengan orang lain. Jika dia melihatmu menyalahkan dirimu sendiri seperti ini pasti
dia akan kecewa.” Aku mencoba menenangkan emosi Yusuf.

“Iya Yus, Dilla pun orang yang kuat. Aku yakin dia akan segera siuman dan
kembali sehat.” Tambah Fitri.

“Hmmmm hmmmm.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah ranjang. Segera kami
beranjak dari tempat duduk dan mendekati Dilla.

Dilla telah siuman. Kami semua menghembuskan napas lega. Aku terharu
melihatnya. Yusuf segera menekan tombol panggilan dokter. Beberapa saat kemudian
dua orang berpakaian putih-putih masuk ke dalam kamar dan segera memeriksa keadaan
Dilla. Yusuf pun segera menelpon kedua orangtua Dilla.

Dilla, aku berjanji akan lebih bersungguh-sungguh berlatih voli. Aku akan ikut
mewujudkan mimpimu.

***

Keesokan harinya semua anggota klub voli datang menjenguk Dilla tak terkecuali
Pak Soni. Kami berdoa bersama untuknya dan saling menceritakan hal-hal lucu agar Dilla
dapat tersenyum.

“Dilla, cepat sembuh ya. Kita kesepian nih tidak ada kamu saat latihan.” Ucap
Putri merengek.

“Iya nih, Putri dan Bagus ribut mulu tidak ada yang menengahi. Biasanya kan
kamu yang jadi penengah.” Sambarku sembari menyikut Putri. Wajahnya langsung
cemberut dan melirik tajam ke arah Bagus. Hal itu membuat kami tertawa.

“Yusuf juga tidak berangkat, aw! Voli lagi, aw!” Yusuf segera membungkam
ucapan Bagus dengan menginjak kakinya. Percuma, Bagus tetap meneruskan kata-
katanya. Aku yakin hal itu pasti membuat Dilla bersedih. Ah, sumpah saat itu aku kesal
sekali dengan Bagus. Dia tidak memahami situasi sama sekali.
Benar firasatku, wajah Dilla yang sebelumnya sumringah berubah 180 derajat.
Dia murung.

“Benar begitu Yus?” tanya Dilla mencoba mengonfirmasi. Yusuf hanya


menunduk. Diam. Suasana menjadi kurang bersahabat.

“Aku jadi merasa kecewa nih.”

“Maaf Dilla.”

“Yang lain juga pasti merasa kecewa kan?”

“Iya Dill, benar.” Sambar Bagus. Sungguh, ingin kubungkam mulutnya!

“Kamu juga harus minta maaf pada yang lain.” Pinta Dilla.

“Tentu. Teman-teman, maafkan aku.”

“Itu saja?” tanya Dilla.

“Aku berjanji tidak lagi bolos latihan. Aku akan bersungguh-sungguh berlatih voli
dengan kalian.”

“Selain itu, teman-teman, kalian juga harus berjanji untuk semangat latihan ya!”
pinta Dilla pada kami semua.

“Tentu! Kami janji!” ucap kami hampir bersamaan.

“Kami akan melakukan yang terbaik untuk POAT. Untuk klub voli ini.” ucap
Yusuf mantap. Kami semua pun mengangguk mantap mengiyakan perkataannya. Janji
itu akan selalu kami ingat. Kami tersenyum bersama dengan begitu meyakinkan.

“Nanti kalau menang, Bapak traktir makan di RM padang deh...”

“Asyik!” sorak sorai langsung mengembang di antara kami hingga lupa kalau
sedang di rumah sakit.

***

Hari ini sudah tujuh hari Dilla dirawat di rumah sakit. Setelah rapat pensi dengan
ketua pensi kelas lain, aku mengajak Fitri ke rumah sakit. Saat itu aku melihat Dilla yang
berada di atas ranjangnya didorong keluar kamar oleh orang-orang berbaju putih.
Orangtua Dilla mengikuti dari belakang. Kami pun berjalan mengikutinya.
Langkah kami terhenti saat tahu Dilla masuk ruang ICU. Fitri segera melangkah
lagi dengan meninggalkan aku yang masih berdiri mematung. Kakiku berat untuk
melanjutkan langkah. Badanku serasa lemas dan tak lagi memiliki kekuatan untuk
melangkahkan kaki. Dadaku sesak. Pandanganku mulai kosong. Wajahku memanas. Aku
menggigit bibir yang mulai bergetar. Perasaan ngilu menyeruak dari hati ke seluruh
tubuh. Air mataku mulai menetes tak tertahankan lagi. Aku tak berani mendekat.

Pikiranku kembali memutar kejadian kemarin sore saat aku dan Fitri menjenguk
Dilla. Setiap hari memang aku sempatkan untuk menjenguknya meski sebentar. Saat itu
Fitri sedang di toilet dalam kamar. Dilla mengatakan sesuatu seolah-olah dia akan pergi
selamanya.

“Salma... Aku kenal Yusuf dari kecil. Aku sangat mengenalnya. Jaga dia untukku.
Kini aku tak lagi bisa menjaganya.”

Saat itu aku membalasnya dengan bercanda. Aku tahu. Aku paham. Mungkin bisa
saja itu menjadi pesan terakhir dari Dilla. Namun, aku acuhkan semua pikiran itu. Aku
selalu yakin Dilla akan sembuh dan kembali bermain voli bersamaku.

“Iya Dil, akan aku pastikan untuk menjaga jarak dengannya. Orang seperti dia,
setiap kali kita bertemu saja sudah selalu bertengkar. Hehe.” Aku tersenyum getir.

“Sal! Salma!” panggil Fitri membuyarkan lamunanku.

Aku melihat Fitri meneteskan air mata. Seorang dokter berdiri dengan wajah lesu
di samping Ayah Dilla yang memeluk istrinya. Keduanya menangis. Dokter itu menepuk-
nepuk pundak Ayah Dilla dan mengisyaratkan dengan tangan lainnya bahwa mereka
sudah diperkenankan masuk. Kedua orangtua Dilla masuk ke ruang itu. Tubuhku benar-
benar lemas. Aku merebahkan tubuh di lantai dan menutup mukaku dengan kedua tangan.
Air mataku tak henti-hentinya menetes. Tangisku pecah seketika saat Fitri memelukku.
Dilla, sahabatku, telah pergi untuk selamanya.
VIII. VOLLEYBALL : Pekan Olahraga Akhir Tahun

Semua sangat terpukul dengan kepergian Dilla. Dilla tidak hanya sakit tifus. Maag
kronis yang dideritanya sejak kecil semakin memperparah keadaannya. Dilla... pergilah
dengan tenang, kami akan selalu berdoa untuk kebaikanmu di alam sana. Kami pun tidak
akan mengingkari janji kami padamu untuk bersungguh-sunggu berlatih voli.

Namun, ada satu yang sangat disesali. Sudah sepekan Yusuf tidak berangkat
latihan voli. Aku paham, dia memang butuh waktu untuk sendiri. Hatiku pun masih terasa
sakit saat menginjakkan kaki di sporthall ini. Tercabik-cabik rasanya berlatih voli di
tempat yang mana pertama kali aku bertemu Dilla dan bersua dengannya. Semua pun
pasti merasakan hal yang sama. Akan tetapi, kami tidak boleh melupakan janji kami pada
Dilla. Latihan voli kedua setelah kepergian Dilla benar-benar sangat bersemangat. Kami
semua menggebu-gebu untuk memperoleh kemenangan di POAT nanti demi kebahagiaan
Dilla.

Sore itu setelah berlatih voli, aku memberanikan diri ke rumah Yusuf. Aku, Fitri,
dan Bagus sebagai penunjuk arah. Sesampainya di rumah Yusuf, kami melihat dia sedang
berlatih passing dengan tembok pembatas rumahnya dengan rumah tetangganya. Aku
geram melihat kejadian itu. Segera setelah turun dari motor aku melepas sepatu dan
melayangkan ke arah bola yang sedang dia mainkan. Tepat sasaran. Dia terkejut dan
menoleh.

“Dasar bodoh! Kalau mau berlatih datanglah ke sekolah! Jangan jadi pengecut
yang hanya bisa bicara dengan tembok!” ucapku marah.

Aku mendekat ke arahnya untuk mengambil sepatu tapi kalah cepat dengan dia.

“Eh, sini kembalikan sepatuku!” perintahku mencoba mengambil sepatu yang


telah jatuh di tangannya.

Dia mengangkat sepatu itu ke atas hingga tak dapat kuraih. Curang! Entah apa
yang ada dipikirannya, kemudian sepatuku dia lemparkan ke arah Bagus yang masih
berada di atas motor.

“Tangkap! Jangan sampai kembali ke Salma!” teriak Yusuf.

“Ih apaan sih!”


Aku semakin kesal dan berlari ke arah Bagus. Saat sudah tinggal beberapa langkah
lagi sampai tiba-tiba Bagus melemparkan sepatuku ke arah Fitri. Aku melotot sembari
berkacak pinggang. Segara aku berjalan ke arah Fitri tapi tiba-tiba dia melemparkan
sepatuku kembali ke arah Yusuf. Apa?! Beraninya Fitri ikut bersekongkol dengan
mereka.

“Lihat, sekarang tidak ada yang berpihak padamu. Hahaha.” Ucap Yusuf sembari
tertawa tebahak-bahak.

Bagus dan Fitri ikut tertawa. Dan aku, tersenyum menyadari betapa konyolnya
kejadian itu.

***

Detik-detik menuju POAT semakin dekat. Hampir semua acara penting terjadi
bulan Desember. Mulai dari ulang tahunku, ujian kenaikan kelas (UKK), POAT, dan
pensi. Itu sudah kuurutkan secara kronologis. Aku tidak berharap banyak pada hari
ulangtahunku. Keluargaku memang bukan tipe orang yang suka merayakan hari ulang
tahun. Hanya ucapan selamat dan doa sendiri-sendiri saja dalam sholat.

Sembilan Desember. Hari ulang tahunku bertepatan dengan hari pertama UKK.
Mapel UKK hari ini Bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Aku sudah
belajar, aku optimis bisa mengerjakan soal ujian!

Klub voli sepakat tidak melakukan latihan selama ujian berlangsung (selama
sepekan). Teman-teman satu kelas pun sepakat tidak berlatih pensi hingga ujian selesai.
Hal ini membuat kami lebih fokus ujian.

Selesai ujian perutku sangat lapar. Aku menghampiri Fitri dan mengajaknya ke
kantin.

“Fit, makan yuk, laper nih.”

“Ayok tapi di luar aja deh sekalian, paling di kantin rame, antri, aku ngga suka.”

“Okelah.”

Kami menuju warung mi ayam di belakang sekolah dengan berjalan kaki. Motor
Fitri masih di tempat parkir, entahlah aku tidak bertanya lebih lanjut. Jalanan sepi tidak
seperti biasanya.
Saat sampai di pertigaan sebelum warung mi ayam tiba-tiba Fitri berlari menjauh
dan melempariku dengan air yang dibungkus plastik. Plok! Tepat di badanku. Dia tidak
memberiku kesempatan untuk menghindar. Tiba-tiba badanku kembali dihantam oleh
plastik berisi air yang lain dari berbagai arah.

“Aarrrgghhh! Apa-apaan ini??”

Wusss, tepung terigu pun ikut melayang dihamburkan ke arah badanku diikuti
telor-telor mentah. Iuh! Badanku sudah seperti adonan roti. Aku melihat satu persatu
wajah tersangka di balik jebakan ini. Mereka adalah teman-teman voli dan beberapa
teman satu kelasku. Ini adalah pertama kalinya aku diberi kejutan oleh teman-teman pada
hari ulangtahun. Aku terharu dan sempat meneteskan air mata.

“Ohhh... Salma terharu nih yee.” Ledek Fitri.

Aku meraih tangannya dan memeluknya agar adonan roti yang menempel padaku
ikut mengotorinya. Dia menjerit dan meronta memintaku melepaskan pelukan. Aku
tertawa jahat padanya setelah berhasil mengotorinya.

“Hayoo siapa lagi yang mau.” Ucapku menakuti mereka semua.

Tiba-tiba dari arah belakang aku disiram air menggunakan selang. Aku berbalik
dan air itu menyemprot tepat di depan mukaku. Benar-benar membuatku kesal! Air itu
sampai tertelan olehku.

“Hei! Hentikan!” pintaku sembari berjalan ke arah tersangka penyemprot air itu.
Ternyata dia adalah Yusuf.

“Hore jadi bersih kan? Harusnya kamu berterimakasih.” Ucapnya sembari terus
menyemprotkan air dan tertawa terbahak-bahak.

Aku berusaha meraih selang itu dan berhasil. Tentu saja langsung aku semprotkan
ke arah Yusuf dan teman-teman yang lain. Mereka semua saling berlari berhamburan.

Terimakasih Tuhan. Siang itu adalah siang terbahagia yang pernah kualami pada
hari ulang tahunku.

***

“Sal! Salma!”

“Hmmm...”
“Bangun! Bukankah hari ini kamu tanding voli? Ini udah jam delapan lho.”

“Apa?! Jam delapan?! Ibu kenapa baru dibangunin?!”

“Yaelah salah siapa habis subuh tidur lagi. Ibu sudah buat sarapan. Sana lekas
mandi!”

Aduh! Bodohnya aku ketiduran tanpa memasang alarm pada hari POAT.
Semalam aku latihan pensi hingga pukul 10. Pasti karena aku terlalu lelah hingga
ketiduran pagi ini. Fitri langsung berangkat karena harus mengurus administrasi sehingga
aku naik angkutan umum. Ini sudah siang dan angkutan umum semakin langka. Ya
Tuhan, aku benar-benar panik. Semua kulakukan dengan tergesa-gesa.

“Ibu aku berangkat ya!”

“Eh makan dulu! Mau tanding voli perutmu harus diisi dulu.”

“Ini Salma harus cari angkot Ibu, nanti kelamaan kalau makan.”

“Oh itu tadi ada yang menjemputmu di depan, namanya Yusuf.”

“Hah?”

“Hah heh hah heh. Cepet makan, dia nungguin kamu.”

Akhirnya aku makan dengan cepat sembari menerka-nerka hujatan apa yang akan
Yusuf katakan padaku. Setelah bersalaman dan meminta doa restu pada Ibu aku menuju
Yusuf yang sudah duduk di atas motornya. Langkahku ragu.

“Hei putri solo, cepetan dong! Udah telat, nggak ngangkat telepon, bikin khawatir
aja!” teriak Yusuf sembari melemparkan helm padaku.

“Maaf.” Ucapku pelan, dari segi mana pun memang akulah yang bersalah.

Aku memakai helm dan bersiap menaiki motor Yusuf. Aku tahu itu bukan motor
miliknya. Itu motornya Fitri. Setelah duduk di atas motor jantungku berdetak tidak
karuan. Semoga dia tidak bertanya lagi setelah ini karena suaraku pasti terdengar bergetar
saat menjawab.

Pertama kalinya aku berboncengan di atas motor dengan Yusuf. Aku memegang
pundaknya. Motor melaju dengan kecepatan hampir 100 km/jam karena jalan cukup sepi.
Peganganku semakin kuat dan degupan jantungku pun semakin kencang.
Tempat POAT berada di GOR yang cukup jauh dari sekolah. GOR tersebut sangat
besar. Bisa untuk dua lapangan voli dan dua lapangan basket. Penonton mengitari
lapangan. Jika kalian bisa bayangkan betapa ramainya, itu hampir sama seperti
pertandingan sepak bola nasional di GBK (Gelora Bung Karno). Para supporter ada yang
membawa drum dan galon air mineral untuk ditabuh seperti genderang. Ada yang
membawa bendera sekolah. Ada yang mewarnai wajahnya dan membawa pom-pom. Ada
yang berteriak melantunkan yel-yel. Sungguh sangat ramai dan membuat nyaliku
mengecil. Detak jantungku pun tak kunjung kembali normal. Masih terus berdetak tak
karuan. Entah karena gugup akan bertanding atau gugup sedari tadi bersama Yusuf.

“Hei! Melamun apa sih?” tanya Putri.

“Mukamu pucat, apa kau sakit Sal?” tanya Sukma.

“Eh, enggak kok. Kita bertanding kapan?”

“Masih dua kali pertandingan lagi. Setelah ini tim putra dulu yang akan
bertanding.” Jelas Fitri.

POAT yang dilaksanakan hari Minggu ini membuat jumlah supporter semakin
banyak. Namun, supporter dari sekolahku lebih banyak yang menonton pertandingan
basket. Seharusnya aku sudah paham dengan kondisi ini tapi tetap saja membuatku kesal.
Aku dan teman-teman klub voli putri dengan semangat menjadi supporter tim voli putra
saat sedang bertanding. Permainan mereka sangat luar biasa. Mereka menang pada
pertandingan pertama ini.

Kemenangan itu membuat mentalku bangkit. Setelah pemanasan dan berlatih


sebentar sebelum memulai pertandingan, tim voli putri berkumpul membentuk lingkaran.
Kami saling menumpuk telapak tangan dan berdoa. Pak Soni memimpin jargon dan kami
menyambutnya dengan teriakan keras sembari mengangkat tangan ke atas.

Kami bermain dengan enjoy. Semua latihan yang kami lakukan selama ini tidak
sia-sia sama sekali. Pertandingan pertama pun dimenangkan oleh kami. Pertandingan
berlanjut hingga ke partai final untuk tim putra dan semi final untuk tim putri. Tidak ada
juara 4 dalam pertandingan ini, artinya akan ada dua juara 3. Tim basket putra berhasil
memperoleh juara 1 sedangkan tim basket putri memperoleh juara 2. Masih ada
kesempatan untuk tim voli mengungguli dengan cara kami sama-sama memperoleh juara
1. Optimis bisa!

Saat pertandingan final voli putra SMA kami melawan SMA Merah Putih, musuh
bebuyutan kami. Beberapa supporter pertandingan basket yang telah usai ikut melihat
pertandingan kami. Supporter pertandingan voli dari sekolah kami pun bertambah
banyak. Membuat kami semakin percaya diri.

Set pertama pertandingan dimenangkan oleh tim lawan. Namun, set kedua dan
ketiga dimenangkan oleh tim voli SMA kami. Pertandingan begitu sengit dengan skor set
ketiga 27-25.

Sampailah pada pertandinganku. Semi final ini tim voli putri sudah melawan SMA
Merah Putih. Mentalku sedikit turun. Dilla... apa aku bisa? Kalau boleh, aku berharap
hanya akan menjadi pemain cadangan dalam pertandingan ini agar tidak membuat tim
menjadi kalah. Sungguh jantungku semakin berdetak kencang.

Sama seperti tim putra tadi, tim voli putri kalah pada set pertama. Set kedua aku
masuk untuk bermain menggantikan Fitri. Hal itu bahkan semakin memperburuk
keadaan. Aku seperti menjadi sasaran empuk mereka dalam melayangkan smash keras.
Lima kali berturut-turut aku berbuat kesalahan. Mukaku semakin pucat. Setengah
pertandingan set kedua dilewati dengan skor 5-11 untuk keunggulan tim lawan.

“Fitri kamu masuk lagi ya menggantikan Salma.” Perintah Pak Soni memberi
pengarahan pada jeda pertandingan ini.

“Baik Pak!” jawab Fitri mantap. Aku berdoa yang terbaik untuk mereka dari tepi
lapangan. Semangat teman-teman!

Tim mulai mengejar skor lawan tapi masih saling unggul-mengungguli. Tiba-tiba
Fitri mendapat smash keras dengan posisi bola yang lumayan jauh darinya. Hal itu
membuat badannya tersungkur sembari menerima bola. Buruknya dia tak bisa kembali
berdiri karena kakinya terkilir. Mau tidak mau aku harus kembali masuk menggantikan
Fitri.

“Salma! Kamu harus lebih percaya diri. Aku yakin kamu bisa. Selama ini
progresmu sangat cepat menguasai permainan voli. Percaya dirilah!” ucap Yusuf sembari
memegang pundakku dengan kedua tangannya. Dia tersenyum padaku. Aku mengangguk
mantap dan membalas senyumnya.

“Doakan aku.”

Skor saat aku masuk adalah 22-21 dengan keunggulan tim kami. Aku mulai tidak
terpengaruh permainan lawan dan lebih fokus dengan kerjasama tim. Skor 23-21.
Jantungku semakin berdegup kencang. Aku harus hati-hati dan tidak boleh melakukan
kesalahan apa pun. Skor 24-21. Yeay! Satu poin lagi maka kami akan memenangkan
pertandingan ini. Aku yakin semua orang sedang berdoa untuk kemenangan kami.

Tiba-tiba bola yang melambung tinggi dan kukira keluar lapangan ternyata masih
masuk. Ah! Aku melakukan kesalahan! Harusnya tidak aku biarkan jatuh begitu saja.
Sebagai pemain belakang yang seharusnya menerima bola, kejadian itu membuat diriku
sangat menyesal. Skor menjadi 24-22.

Selanjutnya, dua kali berturut-turut tim lawan mendapat poin dan menyamakan
kedudukan. Hal ini membuatku menjadi lebih gugup lagi. Skor 24-24.

“Ayo semangat! Semangat! Semangat!” ucap Yusuf dari kejauhan. Aku mampu
mendengar suaranya di antara puluhan orang yang berteriak menyemangati kami.

Bola melambung setelah diservis lawan. Putri menerimanya dengan mudah dan
melambungkan ke arah Sukma sebagai tosser. Sukma mengarahkan bola ke arahku tapi
terlalu tinggi untuk kuterima sehingga membuatku melakukan passing atas dan alhasil
tidak dapat kukembalikan melewati net. Skor menjadi 25-24.

Kedua tanganku sudah semakin dingin. Aku berharap Sukma tak lagi
melemparkan bola ke arahku. Sungguh! Aku tak ingin membuat kesalahan.

Kali ini tim lawan melambungkan bola menggunakan servis atas. Bola melesat
cepat seperti smash keras langsung mengarah Sukma yang berada di tengah. Dia langsung
mengembalikan bola melewati net. Kami tahu hal itu bisa menjadi dua arti bagi kami.
Selain mengamankan kami untuk sesaat tapi bisa menjadi senjata ampuh lawan untuk
menyerang kami.

Benar saja, tim lawan melakukan smash keras yang lagi-lagi mengarah ke aku.
Mereka benar-benar kejam! Itu adalah akhir dari segalanya. Aku tidak dapat menerima
bola dengan baik dan bola pun jatuh ke lantai. Skor 26-24 menjadi akhir dari pertandingan
ini. Akhir perjuangan kami yang berujung kekalahan. Tubuhku lemas. Teman-teman
yang lain pun berwajah lesu. Maafkan aku teman-teman. Maafkan aku Dilla. Tanpa sadar
air mataku menetes. Aku berjalan menyalami lawan dengan muka berkaca-kaca dan
berjalan menuju tepi lapangan.

“Bukankah sudah kubilang untuk percaya diri! Aaargh!” teriak Yusuf padaku. Dia
melemparkan bola ke lantai dengan keras dan berjalan pergi. Aku berjongkok sembari
menutupi muka karena tangisku pun pecah.

Itu menjadi hari terakhirku melihat Yusuf. Setelah itu, aku tak lagi melihatnya
berkeliaran di sekolah. Dia menghilang.

***

“Tok! Tok! Tok!” ada tamu mengetuk pintu rumahku malam-malam seperti ini.

“Salma.. tolong buka pintunya!” pinta Ibu.

Dengan malas aku berjalan dari depan TV menuju pintu. Aku terkejut saat tahu
Fitri berada di depan rumah.

“Fitri?! Ada apa?”

“Tante, pinjam Salma dulu ya buat menemani Fitri ke bandara.”

“Bandara?” tanyaku.

“Tapi pulangnya jangan kemalaman ya...” jawab Ibu.

Fitri langsung menarikku ke luar rumah.

“Eh, aku udah pakai baju tidur gini, bentar. Tolong jelasin kenapa kamu mau ke
bandara dan aku minta waktu untuk ganti baju.”

“Yusuf akan ke luar negeri 30 menit lagi. Aku tahu dari Bagus setelah kupaksa
untuk bicara. Nggak ada waktu lagi untuk ganti baju. Ayo aku antar ke bandara!”

“Apa?! Kenapa dia tidak pamit pada kita?”

Aku terkejut setengah mati mendengar penjelasan Fitri. Tanpa berganti baju, aku
langsung menaiki motor Fitri. Butuh waktu hampir 20 menit untuk sampai ke bandara
menggunakan motor dengan kecepatan normal. Motor melaju kencang membelah
jalanan kota malam hari. Angin terasa dingin karena aku hanya memakai piyama. Aku
tidak peduli. Dalam pikiranku saat ini hanyalah Yusuf. Aku harus bertemu dengannya
sebelum dia pergi untuk waktu yang entah berapa lama. Mungkin selamanya.

Sesampainya di bandara aku turun dari motor dan langsung berlari masuk. Aku
mencari-cari Yusuf di ruang tunggu. Dia akan pergi kemana? Apakah pesawatnya sudah
terbang? Dia dimana? Ya Tuhan aku ingin bertemu dengannya untuk terakhir kali. Aku
belum sempat meminta maaf padanya. Aku belum sempat mengatakan perasaanku
padanya. Yusuf, kamu di mana?

Aku berdiri mematung di tengah lalu-lalang orang. Badanku lemas. Pikiranku


kalut. Air mataku menetes.

Yusuf maafkan aku yang tidak bisa percaya diri. Maafkan aku yang selalu
bertengkar bila bertemu denganmu.

Yusuf, aku menyukaimu. Kututup muka dengan menelungkupkan kedua tangan.


Aku menangis terisak sambil berjongkok.

Dia... telah pergi untuk selamanya.

***

Tangisku semalam suntuk hanya menyisakan mata bengkak. Selama apa pun aku
menangis dan menyesali segala yang telah terjadi tidak akan mengubah semua. Dilla juga
pasti akan sedih bila aku terus seperti ini. Teman-teman kelas pun tidak mungkin aku
tinggal untuk melakukan pensi sendiri. Aku masih hidup dan masih akan terus hidup.

Pentas Seni yang digelar 2 hari satu malam untuk seluruh kelas sebagai nilai
pelajaran kesenian adalah acara terakhir sebelum libur kenaikan kelas.

Liburan kali ini aku habiskan ke rumah nenek bersama ibu dan kakakku. Ini bagus
untuk membuat pikiranku tenang dengan suasana desa. Waktu akan terus berjalan dan
aku masih hidup.

Meski kedua orang yang sangat berarti dalam hidup telah pergi, bukan berarti
kehidupanku berhenti. Waktu akan terus berjalan. Aku bersyukur telah bertemu mereka
dan masih bersama teman-teman terbaikku saat ini. Fitri, teman-teman voli, dan teman-
teman kelas. Usiaku masih 15 tahun dan kehidupan SMA-ku yang sebenarnya baru saja
dimulai.
IX. LOVE : Epilog

Sebelum aku melihatnya, gadis yang aku sayangi dan selalu ingin kujaga hanyalah
Dilla. Berkat Dilla, aku kembali hidup menikmati kebahagiaan demi kebahagiaan. Aku
memiliki hobi baru bermain voli dan hari-hariku tidak lagi sebiru saat Ibu pergi. Dilla
juga orang yang pertama kali menyadari ada seorang gadis lain yang mengisi hatiku akhir-
akhir ini. Seorang gadis yang memainkan tuts piano dengan indahnya hingga
menggetarkan jiwa setiap orang yang mendengarnya. Itu terjadi saat MOS, dia yang
dihukum karena datang terlambat akhirnya menghipnotis kami semua saat upacara
penutupan MOS.

Tidak ada yang pernah tahu siapa dia karena dia mengenakan topeng full face.
Pesta topeng sebagai upacara penutupan MOS merupakan acara sakral di SMA baruku.
Namun, aku langsung mengetahui orang tersebut. Dia Salma, orang yang kupergoki
sedang bermain piano di ruang musik pada hari pertamaku masuk sekolah. Dilla tahu
setiap apa yang kurasakan tanpa aku berkata menjelaskan segalanya. Dia orang yang
paling mengerti diriku, paling memahami diriku. Berbeda sekali dengan orang yang
membuatku jatuh hati dengan permainan pianonya. Kami tidak pernah akur. Aku selalu
tidak bisa berkata lembut di depannya seolah salah tingkah. Dia pun tidak pernah peka
dengan apa yang kulakukan padanya. Apa yang kulakukan padanya seolah selalu salah
dan selalu penuh hal-hal yang dia benci.

Aku bahkan tidak bisa mengatakan apa pun saat di depannya. Perkataan yang
kurencanakan seolah musnah seketika saat bersamanya. Mulutku lagi-lagi mengeluarkan
kata-kata yang menyakiti atau membuatnya terpojok. Sungguh, aku laki-laki yang bodoh.

Hingga akhir pun aku melakukan hal bodoh padanya. Saat aku tahu aku harus
pergi dan meninggalkan dia untuk waktu yang lama aku sama sekali tidak dapat berkata
lembut padanya. Amarahku karena tidak lagi dapat bertemu dengannya dan dengan
teman-teman lainnya membuatku mengatakan hal yang menyakitinya. Sungguh, aku
benar-benar bodoh. Di saat terakhir aku melihatnya pun aku tidak mengatakan selamat
tinggal padanya apalagi mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Semua perkataan itu
bagaikan membeku dan tertahan di tenggorokan. Salma, maafkan aku. Maafkan manusia
bodoh ini yang tidak bisa melakukan hal yang benar pada orang yang dicintainya.
Aku selalu menanyakan keadaan Salma lewat Fitri. Aku tidak berani untuk
kembali menyapanya hingga 10 tahun berlalu.

Segera saat pulang ke Indonesia, hal yang pertama kali aku lakukan adalah
mencari Salma. Meski telah satu bulan berada di perusahaan yang sama dengan Salma,
aku masih belum memiliki keberanian untuk menyapannya. Kini selain aku bodoh aku
telah menjadi laki-laki pengecut.

Agenda HUT perusahaan akhir pekan nanti adalah kesempatan emas untuk aku
mulai menyapa Salma. HUT perusahaan diperingati dengan menggelar pertandingan
olahraga antar staff. Tentu saja aku mewakili divisiku untuk bermain voli.

Sejak aku datang ke lapangan voli aku belum melihat dia. Pikiran negatifku terus
berdatangan. Dia mungkin tidak lagi bermain voli sekarang. Dia seorang pianis dan
akulah yang memaksanya bermain voli. Harapan untuk bertemu dengannya kembali
pupus. Rencana untuk kembali menyapanya yang telah kupersiapkan berhari-hari sudah
tidak berguna lagi.

Baiklah, bukankah sekarang seharusnya aku senang karena aku dapat bermain voli
lagi. Aku menikmati pertandingan demi pertanding di lapangan ini hingga semi final.
Setelah pertandingan semi final selasai dengan kemenangan diraih divisiku, aku menoleh
ke arah penonton. Aku masih berharap ada Salma di sana dan benar. Aku melihatnya. Dia
tersenyum padaku. Senyuman yang telah lama tak aku lihat secara langsung. Kakiku
tergerak mendekatinya. Jantungku berdegup kencang. Aku terus menenangkan diri agar
tidak salah tingkah yang dapat menghancurkan semua rencana menyapaku padanya.
Jantungku berdetak semakin kencang. Rasa bahagia dan haru bercampur menjadi satu.

Aku membalas senyumannya. Setelah berada tepat di hadapannya, kami saling


memandang. Dia mengenakan seragam voli dan menguncir rambutnya. Wajahnya lebih
dewasa dari 10 tahun yang lalu tapi tidak membuatku lupa.

“Apakah permaianmu masih seburuk waktu kelas X SMA?” tanyaku.

Dia hanya tertawa kecil dan menawarkan sebotol air mineral.

“Kau tidak kehausan?”

Kami tertawa kecil bersama seakan saling malu-malu.


Jika kalian bertanya mengapa aku masih menyimpan perasaan kepadanya bahkan
setelah bertahun-tahun, karena bagiku jatuh cinta itu sakral. Sejauh mana pun aku pergi,
perasaan itu akan selalu kubawa. Akan tetap ada di dalam hati. Tidak berkurang sedikit
pun. Meski ada banyak orang yang hadir mengetuk pintu hati tapi tetap tak bisa terbuka
sebelum perasaan itu selesai. Memang benar ada dua pilihan yang setiap orang berhak
untuk memilihnya. Memilih untuk melepaskan atau tetap menjaga perasaan itu. Aku
memilih untuk tetap menjaganya hingga kami dipertemukan lagi oleh Tuhan dalam
keadaan siap. Pada saat itu tiba, aku pun harus siap dengan segala kemungkinan yang
terjadi. Aku tidak akan merasa kecewa bila memang takdir tak berpihak kepadaku. Jika
perasaan itu benar-benar tulus pastilah tak akan membuatku kecewa.

SELESAI
BIODATA

Nama : Haifatuzahro
Nama Pena : Alykas
Tempat, tanggal lahir : Tuban, 9 Desember 1997
Alamat : Jalan Petanahan 25, RT 05 RW 02, Dukuh Sokka, Desa Kedawung,
Pejagoan, Kebumen, Jawa Tengah 54361
E-mail : haifa.haifatuzahro@gmail.com
No HP/WA : 0895335864691
Facebook : Haifatuzahro
Twitter : @haifa_tuzahro
Instagram : @haifa_tuzahro
Pekerjaan : Mahasiswa
Hobi : Membaca buku, menulis sastra, desain, berimajinasi, dan berdiskusi
Cita-cita : Penulis dan Guru Kimia
Motto : Berjuang, berdoa, dan bertawakkal
Berat : 50 kg
Tinggi : 158 cm
Kelebihan : Semangat, periang, dan sabar
Kekurangan : Peragu

Anda mungkin juga menyukai