Anda di halaman 1dari 7

Nama : Erica Adelia Gunawan

Kelas : XI IPS 1

No Absen : 15

1. Tentukan tema Cerpen “Anak Bungsu Sepasang Guru” karya Yusuf A.N
Mengenai kehidupan seorang keluarga dan masa depan seorang anak

2. Bagaimanakah Karakteristik tokoh tokohnya dan bagaimana cara pendeskripsian tokoh-


tokohnya
 Trimo
 Seorang kepala keluarga / suami
 Sebagai Guru SMA
 Teguh terhadap pendiriannya : “masa depan selalu misteri bukan? Dan
sekolah tidak
 Ana
 Anak ketiga/ perempuan
 Juru Masak (koki)
 Mempunyai anak 2
 Pekerja Keras, sehingga ia membuka usaha restoran
 Sukmi
 Seorang ibu rumah tangga / istri
 Sebagai Guru TK
 Arif
 Anak keempat/ laki-laki
 Seorang Politisi

3. Bagaimana sudut pandang pengarang dalam cerpen tersebut, Jelaskan!


Cerpen tersebut menggunakan sudut pandang campuran, karena terdapat sudut pandang
orang ketiga (ia) dan sudut pandang orang pertama (aku).

4. Jelaskan tahapan alur dari cerpen tersebut mulai dari :


 Abstraksi
SEJAK semalam Trimo sudah yakin, pagi ini akan menjadi pagi yang sangat
mendebarkan. Mendaftarkan Agil ke sekolahan, sungguh, bagi Trimo tidak kalah
mendebarkan dibandingkan detik-detik menjelang kelahiran enam anaknya.

 Orientasi
Dengan mata masih kemerahan lelaki tua itu bangkit dari ranjang melangkah ke
dapur. Sukmi, istrinya baru saja mengangkat telur dadar dengan sorok—
menuntaskan minyaknya di mangkuk. Tak jauh dari tempat itu pintu kamar mandi
terlihat mengatup, byar-byur air dan senandung sumbang terdengar dari dalam: Aku
ingin begini...aku ingin begitu...
“Kau dengar itu?” Sukmi bertanya setelah melihat suaminya muncul dari arah pintu.
Trimo tahu, lagu yang dinyanyikan Agil itu adalah soundtrack film kartun Jepang.
“Suara hati anak kita, Pak!” Sukmi menjawab pertanyaannya sendiri sembari
mengangkat tremos kemudian menuangkan airnya ke cangkir. Melihat Trimo diam
membatu, Sukmi meneruskan kalimatnya sambil mengaduk kopi, “Jarang-jarang lho,
anak seusia Agil sudah memikirkan masa depan”
Memang, tapi masa depan selalu misteri bukan? Dan sekolah tidak menjanjikan
cerlangnya, terkadang bisa jadi menggelapkannya. Trimo ingin mengatakan itu,
dengan menunjukkan bukti-bukti nyata yang sangat dekat dengan kehidupannya,
yakni lima kakak Agil yang sekarang hidup bahagia dan sejahtera tanpa pernah
makan bangku sekolah menengah pertama. Tapi Trimo telah mengatakan semua itu
semalam. Trimo yakin, kemantapan hati istrinya untuk mendaftarkan Agil
melanjutkan sekolah tidak akan berubah hanya karena mendengar kalimat-kalimat
yang sama.
Trimo beranjak dari dapur, membawa cangkir kopinya ke ruang tengah. Duduk di
sofa, setelah menyeruput kopi dan menyalakan kreteknya, Trimo mengedar
pandang, menatap satu-satu foto-foto yang terpajang memenuhi dinding ruangan.
Memandang enam foto anaknya, sembilan foto sang cucu, satu foto yang
merangkum 25 wajah terdiri anak, cucu, mantu, istri dan dirinya sendiri, Trimo tak
pernah jemu. Pernah suatu ketika Trimo ingin memindah foto-foto itu ke ruang
tamu, tetapi Sukmi melarangnya dengan alasan tak tampak ada di antara foto
anaknya yang berpose mengenakan toga. “Malu, apa kata orang nanti…” demikian
Sukm berdalih saat Trimo mengutarakan niatnya.

“Kenapa harus malu?” tanggap Trimo waktu itu.


“Kita ini guru, Pak. Bapak guru SMA, aku guru TK. Tapi anak-anak kita...” sembari
mendedahkan dua telapak tapak tangan, “Hanya lulus esde.”
“Memang begitu kenyataannya.”
“Itu gara-gara Bapak!”
“Lho!”
“Kok lho? Kalau Bapak menyuruh mereka melanjutkan sekolah pastilah mereka kini
sudah pada jadi sarjana, insinyur, pejabat….”
“Belum tentu, Sukmi. Dan perlu aku tegaskan lagi, bukan aku yang nyuruh mereka
tidak melanjutkan sekolah.”
“Tapi Bapak menyetujui pilihan anak-anak ‘kan?”

 Komplikasi
Sejatinya, sebagai seorang Guru, Trimo terkadang merasa tak enak hati jika anaknya
tidak melanjutkan sekolah. Dan memang, lima anak pertama Trimo, semuanya
sudah didaftarkan ke SMP terdekat di Kecamatan, 3 kilo jauhnya dari rumah; harus
menyusuri jalan setapak dan menyeberang jembatan gantung menyeberangi serayu
pula. Pun dua setel seragam, tas, sepatu, dan peralatan tulis yang baru sudah
dibelikan. Tapi begitulah…
“Sekolahnya jauh. Kawan-kawan Noor tidak ada yang melanjutkan. Masa’ Noor
harus berangkat dan pulang sendiri,” kilah si sulung Noor.
“Bapak akan mengantar dan menjemputmu setiap hari,” bujuk Sukmi. “Ya ‘kan,
Pak?” menoleh ke arah Trimo, disambut anggukan dan senyum kecil Trimo.
Noor yang tak lagi punya alasan, pada akhirnya menurut. Tapi di sekolahan, Noor
yang sulit bergaul merasa terasing. Guru-guru baru, teman-teman baru, materi-
materi pelajaran baru, tak ada yang menyenangkan baginya, membuatnya
memutuskan berhenti sekolah. Seribu bujukan dan rayuan tidak membuatnya
tertarik untuk berangat sekolah. Trimo dan Sukmi yang tak ingin anaknya diterkam
gelap kebodohan berinisiatif membeli buku-buku, mengajar Noor pelajaran setiap
sore dan malam. Sedang ketika pagi sampai siang Noor menghabiskan waktu di
rumah tetangganya yang penjahit.
Tiga tahun kemudian Neng yang doyan buku sejak TK meniru kakaknya. Juga Ana,
menolak sekolah dengan alasan yang sama; tak ada kawan esde-nya yang
melanjutkan. Arif sedikit melegakan, mengurangi rasa malu sepasang guru itu.
Bersama beberapa anak sekampung yang sebagian besar adalah laki-laki, enam hari
dalam seminggu Arif rela berjalan kaki sejauh 6 kilo. Tetapi diam-diam Arif kerap
membolos, bikin onar di kelas dan tak lupa ikut tawuran, hingga akhirnya
dikeluarkan dari sekolah. Trimo kemudian memutuskan membawa Arif ke pesantren
setelah memergoki daun ganja di dalam dompetnya.
Empat tahun setelah peristiwa memalukan itu secara mengejutkan Sukmi hamil
muda. Sufyan, adiknya Arif, anak kelima yang masih kelas lima itu mulai merasakan
perhatian Sukmi padanya lambat laun berkurang. Dan ketika adik lelakinya lahir
diberi nama Agil, Sufyan yang telah merasakan nikmatnya menjadi bungsu lebih dari
sebelas tahun diserang cemburu, membuatnya jarang di rumah dan sering
membantah titah Trimo dan Sukmi. Dan ketika lulus sekolah dasar, diam-diam Arif
membujuk Sufyan untuk tidak melanjutkan sekolah melainkan ngaji di pesantren
bersamanya. Sufyan merasa sangat tertarik setelah dikatakan kepadanya bahwa
hidup di pesantren jauh lebih enak dari pada tinggal di rumah.
Orang tua harus siap ditinggalkan jika tidak ingin meninggal lebih awal, demikian
Trimo berkeyakinan. Ia tak pernah sedih dan telah membalik kepercayaannya pada
pepatah leluhur bahwa kumpul tidak kumpul asal makan. Biarlah Noor, Neng, Ana,
Arif, dan Sufyan tak lagi tinggal serumah, yang penting mereka memiliki
penghidupan layak, bisa makan kenyang meskipun hidup saling berjauhan. Bagi
Trimo lima anaknya yang pertama telah membuatnya bangga, meski tak satu pun
dari mereka ada yang jadi sarjana.
Tak dinyana, Noor yang telah beranak tiga kini memiliki bisnis konveksi yang
memang menjadi impiannya sejak esde. Neng yang pecinta buku sempat jadi
pengarang, meskipun sejak menikah dengan pegawai perpustakaan Neng tak penah
menulis, tapi ia telah melahirkan tiga anak dalam waktu enam tahun—buah karya
yang cukup mengejutkan. Ana yang hobi masak, kini membuka restoran, memiliki
sepuluh karyawan dan dua anak menggemaskan. Sementara Arif yang sempat lima
tahun mengabdi pada Kiai di pesantren, kini jadi politisi, sering pula mengisi
pengajian di pelosok-pelosok negeri. Sedangkan Sufyan yang masih bujang, setelah
enam tahun di pesantren, memilih mengontrak rumah dan kini sedang merintis
warung kopi dan usaha laundry. Semuanya hidup bahagia. Dan bisa dipastikan
kebahagiaan mereka belum seberapa dibanding kebahagiaan yang dirasakan Trimo.
Teringat masa lalu lima anaknya, pun pencapaian-pencapaian mereka, benak Trimo
tak terhindar dari kesimpulan: “Belajar tidak berarti harus di sekolah!” Trimo yang
baru sebulan lalu pensiun setelah menjadi guru lebih dari tiga puluh lima tahun telah
pula menyimpan riwayat mantan anak-anak didiknya. Banyak siswa yang dulu
dikenal paling pendiam di kelas kini jadi tukang jual obat keliling, supir bus, atau
petani salak. Sebagian anak yang dulu dikenal rajin mengerjakan PR, dan nilai
ujiannya paling baik, sekarang bekerja di pabrik kayu lapis, penjaga swalayan, dan
sebagian lagi menjadi pegawai negeri. Anak-anak yang melanjutkan sampai
perguruan tinggi, banyak yang menganggur, satu dua beruntung (atau sial?) bisa jadi
Camat atau Bupati, tapi banyak juga yang pada akhirnya gila, mati karena narkoba,
kecuali beberapa anak tetap bisa bertahan hidup karena tidak malu jadi kuli.
Kadang-kadang, sambil menyungging senyum kecil Trimo membatin, buah yang
jatuh memang tak jauh-jauh dari pohonnya. Betapa Trimo remaja juga pernah
menolak untuk sekolah. Tetapi karena ayahnya yang tentara mengancam hendak
mengusirnya dari rumah jika tak mau sekolah Trimo pun pasrah. Menjadi guru
adalah nasib yang tak pernah dicita-citakannya, meskipun pada akhirnya ia bisa
menikmatinya sepenuh hati—inilah salah satu wujud bhaktinya pada orangtua.
Tahun demi tahun ia lewati dengan nurani yang menjerit-jerit oleh kenyataan;
sekolah hanya menjadi penjara yang memisahkan anak didik dari persoalan-
persoalan nyata di sekitar lingkungannya; sekolah bukan tempat belajar melainkan
pabrik di mana robot-robot diproduksi. Trimo sudah berusaha merubah iklim buruk
yang ada di sekolahannya, misal dengan mengusulkan agar Persputakaan Sekolah
lebih banyak mengoleksi buku bacaan ketimbang buku paket yang usianya pendek
dan telah banyak bertumpukan di gudang, dengan membiasakan siswa berdiskusi
memecahkan persoalan aktual. Tetapi ia tidak berdaya dengan sistem. Ia cuma
seorang guru IPS biasa, cuma berijasah Ahli Muda. Pernah suatu ketika Trimo protes
dengan kebijakan Kepala Sekolah yang mewajibkan siswanya ikut Taur ke Bali.
Akibat ulahnya itu, Trimo justru di mutasi ke SMA lain.
Dendamnya dengan kedzaliman mantan atasan yang menendangnya pindah ke
sekolah lain itu, membuat semangatnya menjadi Guru yang baik justru berkobar. Ia
kerap berpesan kepada murid-muridnya, “Negeri ini sedang sakit. Masa depan
kalianlah yang menentukan kesembuhan atau bertambah parah sakitnya.” Ia yakin,
salah satu dari berpasang-pasang telinga yang mendengar itu kelak akan ada yang
menjadi guru juga. Ia yakin, guru sangat bisa menjadi agen perubahan jika ia
sungguh-sungguh menjadi guru. Dan ia berharap, semoga akan semakin banyak lahir
guru-guru yang tidak hanya sibuk mengurus perutnya saja.
Ahai, Guru Trimo. Lihatlah, lelaki dengan kerut-merut di wajahnya itu masih
ngungun di atas sofa ruang tengah, sesekali mendesah mengamati foto-foto yang
terpajang di dinding. Ia tahu, sebentar lagi Agil selesai mandi, memakai seragam
sekolah dasar yang sudah Sukmi siapkan, kemudian menyuruh Trimo untuk segera
berkemas, meski fajar baru saja menetas. Sejak dua minggu lalu Agil yang nilai
ujiannya rangking satu sekecamatan datang kepada Trimo menunjukkan brosur full
color yang kemudian diketahui didapat dari Fendi, teman sekelas anaknya. “Ini
sekolah unggulan, Pak. Nanti, Agil mau kos bareng Fendi. Biar Bapak tidak repot-
repot antar. Kasihan, Bapak, ‘kan sekolahnya jauh.”
Mendengar kalimat Agil, Trimo terheran, atau lebih tepatnya tercengang. Dadanya
berdesir, teringat akan sistem sekolah yang tak kunjung berubah kecuali kurikulum
yang sekadar berganti nama. Bahwa Agil menunjukkan minat untuk sekolah, sebuah
minat yang berbeda dengan kakak-kakaknya itu hanya karena dipengaruhi
lingkungan, tak murni muncul dari hati. Beberapa hari sebelum Ujian Agil pernah
mengatakan kalau dirinya ingin menjadi pengusaha, dan Trimo tahu ijazah tidak
diperlukan oleh seorang pengusaha. Maka, Trimo tidak menyetujui permintaannya,
tidak pula berinisiatif mendaftarkannya ke sekolah lain. Tetapi karena Sukmi berkali-
kali mendesaknya, dan Agil ngambek tak mau makan, berat hati akhirnya Trimo
mengalah.
***
“Kalau kamu tidak diterima bagaimana?”
“Pasti diterima dong! Kan nilaiku bagus. Bapak ini gimana sih?”
“Ya bisa saja. Sainganmu ‘kan banyak, dan bukankah masih ada test tulis dan
wawancara.”
“Pokoknya aku harus diterima. Aku akan belajar keras biar lulus test seleksi.”
“Hmm, kalau misal, kamu sudah belajar, tapi tetap tidak diterima?”
“Takdir.”
“Dan kamu akan kecewa?”
“Tidak tahu.”

 Evaluasi
Percakapan terhenti. Sementara sepeda motor Trimo terus melaju lamban di atas
jalan aspal yang baru sebulan silam diresmikan. Melintasi sawah-ladang, tanjakan
berliku tajam, jembatan gantung, lalu tiba di jalan besar, sepeda motor Trimo lebur
dalam keriuhan. Agil yang mengenakan seragam merah putih dengan tas gendong
berisi ijazah dan bermacam piagam penghargaan sudah tak sabar ingin cepat sampai
di tujuan. Di kepalanya telah tersimpan sekian rencana, tak sabar untuk segera
diwujudkan; nanti, bersama Fendi, ia akan tinggal di kamar kos di pinggiran kota,
bisa keluar rumah kapan saja, jalan-jalan ke mana saja, terbang bebas di angkasa,
la..la..la...
Jantung Trimo kian rapat berdebar, doanya terus pula berdenyar, menyatu dengan
butiran darah. Ia berharap Agil tidak diterima di sekolah unggulan yang akan
didaftar. Kalau pun Agil kecewa, biarlah. Tidak lebih dari seminggu Agil pasti akan
menerima takdirnya, pikir Trimo. Trimo ingin anaknya yang bungsu itu menjadi
manusia tangguh dan merdeka, dan karenanya ia bermaksud mendidik Agil di rumah
saja.
Ah, masa’ iya? Bukankah Agil ingin sekolah dan menghalang-halangi keinginan bocah
ingusan itu adalah sama saja mengekang kemerdekaannya?
***
“Agil, sebelum formulir ini Bapak tandatangi, tolong jawab pertanyaan Bapak.
Kepana kau ingin sekolah?”
“Untuk mencari ilmu, Pak. Bapak ini gimana sih, gitu aja ditanyakan. ”
“Kenapa tidak ke pesantren saja, di sana juga kau bisa belajar banyak ilmu.”
“Aku ingin di sekolah sini, bukan di pesantren.”
“Baiklah. Memangnya apa yang menjadi cita-citamu?”
“Aku ingin menjadi penerus Bapak.”
“Apa?”
“Menjadi Guru.”
“Perasaan kau pernah bilang ingin jadi pengusaha.”
“Tidak, Pak. Sekarang aku mantap, aku ingin jadi guru. Seperti Bapak dan Ibu.”
“Sungguh?”
“Kenapa kau ingin jadi guru?”
“Kenapa ya? Emm…”
“Sini!” Trimo menarik lengan ke luar dari ruang tempat pendaftaran. Menuntun
bocah itu ke tempat yang sepi.

 Resolusi
Sebenarnya Trimo tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar dari mulut
anaknya. Agil ingin menjadi guru? Kenapa itu tidak dikatakannya dari dulu? Terus
terang Trimo terharu mendengar itu. Atau, pikiran Agil telah dipengaruhi oleh
Sukmi, yang kini tengah sibuk mengurus Sertifikasi? Mungkinkah Sukmi telah
mengatakan kepada Agil bahwa dengan menjadi guru hidup akan terjamin?
Bisa jadi. Tapi bagi Trimo, menjadi Guru bukan
soal kesejahteraan, melainkan lebih pada
pengabdian sebagai seorang pencerah
kehidupan. 

 Koda
“Jika benar kau ingin jadi guru, mulai sekarang berjanjilah…”
“Apalagi sih, Pak?” Agil tidak paham dengan perasaan yang bergemuruh di dada
Bapaknya.
“Kelak, sayangilah murid-muridmu seakan-akan mereka adalah anak-anakmu. Guru
bukan jabatan, melainkan panggilan hidupmu kan? Maka kau mesti ikhlas menjalani
kerjamu nanti.”
“Aku juga mau menjawab begitu tadi…”
“Satu lagi, Gil. Kau mesti terus memperbaiki kualitas pribadi dan ilmumu, jika ingin
muridmu berpikir dan berperilaku baik.”
“Tentu. Ah, ayah mengguruiku melulu…”

5. Bagaimana tanggapan Anda jika cerpen tersebut dihubungkan dengan kehidupan sekarang!
Menurut saya, jika hal tersebut terjadi di kehidupan sekarang bisa terjadi bisa tidak.
Dikarenakan, setiap individu mempunyai kemauan, dan tekad yang berbeda-beda. Dimana
ada yang ingin berusaha untuk mencapai kesuksesannya atau cita-citanya. Adapula, yang
ingin tercapai cita-citanya tapi tidak mau berusaha.
Namun yang dapat saya ketahui, ada beberapa orang di sekitar/ di sekeliling saya yang putus
sekolah atau lulusan sarjana yang menganggur karena tidak mendapatkan pekerjaan
disebabkan tidak mau berusaha dan pada akhirnya mereka nongkrong-nongkrong yang tidak
berguna sehingga terjerumus ke lingkungan menyimpang Seperti ; minum-minuman keras
dan menggunakan narkoba untuk menghilangkan rasa stress dan pikiran mereka yang
sebagai pengangguran atau yang kerjanya hanya nongkrong-nongkrong tadi.

Anda mungkin juga menyukai