Anda di halaman 1dari 4

Solo, Kota Sederhana Penuh Makna

Karya: Aprilia Ningsih, S.Pd

Empat tahun lalu, aku menginjakkan kaki di kota pinggiran yang pada awalnya
tak begitu kusuka, namun darinya beratus kisah berawal dan menghadirkan banyak
makna. Solo namanya, kota yang terkemuka dengan gaya bahasanya yang pelan dan
halus, serabi Solonya yang original tiada dua, dan makanannya yang murah meriah.
Aku tak pernah menyangka akan menempatinya selama empat tahun. Semua berawal
dari hasil SNMPTNku yang menyatakan aku diterima di program studi PPKn
Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Sejujurnya ini bukan kampus pilihan
pertamaku dan benar saja bahwa selama tiga bulan aku mengawali kuliah disana
diwarnai tangis cengeng hari demi hari. Aku merindukan keluargaku, merindukan
kampung halamanku di Kulon Progo yang nyaman, merindukan kasur dan gulingku
yang adem dan masih banyak lagi. Namun apa daya aku harus terdampar di tempat
yang menurutku antah berantah saat itu.
Aku tidak tahu menahu soal Solo dan bisa dibilang ini adalah pertama kalinya
aku menginjakkan kaki di Solo. Beruntung tetanggaku memiliki teman yang sedang
kuliah di UNS juga, jadi aku bisa ikut ngekos disana. Mbak Pujik, begitu aku
memanggilnya, dia begitu sabar dan baik bahkan terlalu baik. Tak jarang aku dan
mbak kosku yang lain mengomelinya karena dia begitu baik. Kami sering
mengomelinya agar dia sesekali mau berkata “tidak” ketika dimintai bantuan. Tapi
sepertinya sulit bagi Mbak Pujik, dia malaikat tak bersayap.
Beberapa hari sebelum masa Orientasi Mahasiswa Baru (Osmaru) dimulai, aku
berkeliling di daerah sekitar kosku bersama Mbak Pujik. Kosanku terletak di Jalan
Surya tepatnya di Gang Halimun Nomor II tapi karena Mbak Pujik dan yang lain
memberitahuku bahwa jalannya hampir tenggelam, maka aku menuliskan di alamatku
“Jalan Surya Hampir Tenggelam”, alhasil siapapun yang melihat data diriku pasti
meledekku. Aku saat itu, polos sekali rupanya.
Jalanan di belakang kampus lumayan menanjak, ada dua jalan utama menuju area
kosan mahasiswa yaitu Jalan Surya dan Jalan Kabut. Pertama, Jalan Kabut, adalah
jalan yang sering dilewati mahasiswa berangkat ataupun pulang kuliah sampai sore
hari. Namun jalan ini begitu sunyi senyap di malam hari dan justru terkesan sedikit
mencekam. Di Jalan Kabut tidak ada minimarket, tidak ada laundry, tidak ada toko
cemilan kiloan, tidak ada warnet, dan itu semua yang mungkin membuatnya sepi
pengunjung. Yang kedua adalah Jalan Surya, tempat yang tak pernah sepi dari
pengunjung. Jalanan ini adalah kebalikan dari Jalan Kabut, suasananya ramai dan
begitu hidup bahkan sampai malam hari. Berbagai makanan dan tempat belanja ada
disana. Dari kosanku, aku hanya perlu keluar gang dan belok kanan, menaiki jalan
menanjak dan mulai melihat keramaian. Disana ada warung angkringan Mas Sam
yang sangat terkenal dengan es tehnya yang begitu segar, ada warung makan Aurora
yang menunya beraneka ragam, tempat anak kosan mampir untuk makan dengan
menu lengkap dan harga murah. Ada oseng kacang panjang, oseng buncis, sayur sop,
sayur tempe, tempe goreng, telor balado, ikan pindang, dan banyak pilihan jus buah
walaupun aku lebih sering membeli es tehnya hehehe.
Di Jalan Surya terdapat sebuah minimarket yang begitu ramai, namanya
minimarket REA, disana ada banyak kebutuhan sehari-hari. REA bagaikan vitamin
bagiku karena setiap bulan aku selalu menikmati belanja disana, memilih barang yang
kubutuhkan, memilih camilan yang kusuka dan tak lupa membeli beberapa coklat.
Hal itu membuatku begitu gembira walau sederhana. Masih banyak tempat-tempat
yang penuh dengan kenangan di Solo, di sekitar kampusku yang dikenalkan oleh
Mbak Pujik dan aku perlahan mulai membiasakan diri.
Agustus 2012, aku mulai menjalankan Osmaru, bertemu dengan teman-teman
baru dan tentunya tempat baru. Kampusku UNS adalah kampus yang bisa kukatakan
tidak terlalu megah namun nyaman untuk ditempati. Aku berangkat ke kampus
dengan berjalan kaki, melewati trotoar yang dikelilingi gedung-gedung besar. Pertama
kupijakkan kaki masuk gerbang belakang, akan kulihat gerbang kokoh bertuliskan
“Mangesthi Luhur Ambangun Negara”, slogan UNS yang kucinta. Lurus kedepan,
aku melewati masjid kampus, tempat yang adem dan nyaman untuk mampir. Selain
untuk sholat, masjid Nurul Huda atau lebih dikenal dengan sebutan NH sangat cocok
untuk duduk bersantai, ngobrol dan juga wifian dengan suasana adem ayem. Aku
menyukai NH dan segala kesejukan yang ditawarkannya. Disamping NH, berdiri
gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berseberangan dengan Medical
Center serta Student Center UNS. Lalu untuk menuju gedung tempat kuliahku cukup
berjalan sekitar tujuh menit dari gedung UKM. Tempatku kuliah biasa kami sebut
dengan istilah gedung C. Untuk usia bangunan, kukira gedung C sudah cukup tua.
Kursi coklat kayu besar dan lantai tegel menjadi saksi betapa awetnya gedung C
bertahan. Lantai dua, tempat kuliah kami terletak di ujung utara, gedungnya langsung
terhubung dengan gedung D, tempat anak MIPA belajar.
Awal aku menjalani masa kuliah tidak begitu antusias hingga kemudian perlahan
aku mendapatkan teman dekat, dia adalah Aifa, Erma dan Rini, sahabatku selama di
kampus. Kami selalu bersama bahkan hingga wisuda S1. Mereka adalah orang-orang
yang dikirim Tuhan untuk menempaku selama di kampus. Alasannya adalah karena
mereka bertiga rajinnya luar biasa tidak seperti aku yang ada bibit-bibit pemalasnya.
Mereka yang telah banyak menyemangatiku, membuat hariku ceria dan bersedih,
membuat hariku berwarna dan tentunya membuat kehidupan kuliahku penuh cerita.
Di belakang kampusku, terdapat warung makan bernama Bhesus yang
menyediakan ayam goreng dengan sambel lombok ijo yang tumpah ruah alias boleh
ambil sepuasnya. Disana kami sering makan siang dan nongkrong bersama. Aku dan
Aifa sering memesan ati goreng, rasanya enak dan gurih, sempurna. Di seberang
Bhesus terdapat warung yang menyediakan aneka sosis dan bola ikan yang dibakar.
Aku ingat sekali, diantara kami berempat, Aifa yang paling sering membeli sosis
bakar hingga suatu hari tidak tahu kenapa, dia mulai keracunan sosis hingga sakit.
Momen itu yang akhirnya membuat orang tua Aifa menginap di solo selama
seminggu lebih. Lucu dan sekaligus menyedihkan bercampur jadi satu.
Kembali ke dalam UNS, bisa dibilang UNS adalah kampus yang asri karena
begitu banyak pohon di dalamnya yang besar dan rindang. Yang paling kusuka adalah
deretan pohon Angsana di sepanjang jalanan UNS, pohon Angsana memiliki bunga
berwarna kuning cerah yang kecil namun melimpah. Saat musim berbunga tiba,
jalanan dan halaman kampus menjadi kuning alami, ditutupi oleh Angsana yang
berjatuhan diterpa angin, indah sekali. Saat musim itu tiba, orang-orang akan
mengambil foto dan membuat bentuk-bentuk lucu dari kumpulan bunga Angsana.
Danau UNS juga ikut menguning dipenuhi bunga diatasnya. Pernah sekali aku berfoto
disana dan setelah itu salah seorang temanku menanyakan apakah aku pergi ke Cina
atau Jepang, padahal itu adalah kampusku sendiri, di kota Solo, kota yang sederhana
dan layak untuk dicintai ini.
Aku selalu kemana-mana dengan berjalan kaki hingga mungkin aku terbiasa
berjalan cepat dan bahkan berlari karena terlambat, tapi aku juga kadang berjalan
pelan menikmati sekitar, melihat gedung fakultas kedokteran yang begitu teduh dan
hijau, melihat halaman gedung fakultas hukum yang dipenuhi mobil beraneka warna,
mengamati gedung fakultas sastra yang unik walaupun kadang tak mengerti maksud
dari karya seninya, menikmati langkah sepatuku yang terus menapak hingga sampai
tujuanku.
Solo memang bukan pilihanku di awal, tapi Solo menjadi tempat terbaik bagiku
kemudian. Solo mengajarkanku apa itu bersyukur atas apa yang dianugerahkan Tuhan
kepada manusia walau itu tidak sesuai dengan permintaannya. Solo membuatku
besyukur memiliki sahabat sahabat yang ada dan selalu menguatkan saat aku sedih
dan bahagia. Kota ini menjadi saksi perjuanganku dalam belajar, mengantri untuk
mengeprint tugas di belakang kampus, mengejar bus kampus dengan berlarian, dan
mengerjakan apapun dengan mandiri. Yah benar sekali, mandiri karena aku mulai
terbiasa mandiri menyiapkan makan, mencuci baju, menyetrika, mengurus diri yang
sedang sakit, belajar dan menenangkan diri sendiri. Kota yang sederhana ini selalu
mengingatkanku pada hangatnya orang-orang menyapaku dan mulai dekat denganku,
memberiku keluarga di perantauan dan rasa nyaman.
Kini, empat tahun sudah aku meninggalkan Solo dan segenap cerita yang
menyertainya. Aku dan teman-temanku sama-sama tumbuh dan meniti jalannya
masing-masing. Bukan berarti kami berpisah, kami hanya terpisah dan tentu masih
bisa bertemu suatu hari nanti. Terima kasih banyak Solo, karenamu aku tumbuh
menjadi aku yang lebih baik dan dewasa. I mean, I can’t forget you because you
always stay in my heart. Luvv!
BIODATA

Aprilia Ningsih, lahir di Kulon Progo, 19 April 1994, alumni Universitas Sebelas
Maret (UNS) yang saat ini aktif sebagai guru PPKn di MTs N 1 Kulon Progo.
Hobinya membaca novel, menulis, menonton drama dan bermain dengan kucing
kesayangan. Selain itu ia juga gemar membuat quotes di IG @april_putudarso.
Ia percaya bahwa Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan apa yang dibutuhkan
manusia. Hal itu tidak selalu tepat seperti apa yang diinginkan, namun itu pasti yang
terbaik. Tugas manusia adalah bersyukur atas apa yang telah dianugerahkan tanpa
perlu membandingkannya dengan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai